commit to user BAB II
LANDASAN TEORI
A. Subjective Well-Being 1. Pengertian Subjective Well-Being
Subjective well-being merupakan salah satu kajian dalam psikologi positif yang didefinisikan sebagai suatu fenomena yang meliputi evaluasi kognitif dan emosional individu terhadap kehidupan mereka termasuk kebahagiaan, ketentraman, berfungsi penuh, dan kepuasan pada hidup (Diener, dkk., 2003a).
Subjective well-being berfokus pada bagaimana dan mengapa seseorang memaknai kehidupannya dengan jalan yang positif menggunakan penilaian baik secara kognitif maupun afektif. Diener menambahkan bahwa peneliti lebih suka menggunakan istilah “subjective well-being” meskipun kebahagiaan terkadang juga digunakan sebagai sinonim dari subjective well-being.
Menurut Veenhoven (dalam Eid & Larsen, 2008), subjective well-being paling cocok digunakan untuk menggambarkan kebahagiaan manusia secara utuh (overall happiness). Veenhoven menjabarkan bahwa subjective well-being merupakan domain menyeluruh yang mencakup konstrak yang luas yang berhubungan dengan evaluasi subjektif individu terhadap kualitas hidupnya.
Peneliti lainnya seperti Linley & Joseph (2004) menjelaskan bahwa subjective well-being adalah gabungan antara kepuasan hidup (komponen kognitif) dengan afek positif yang dikurangi dengan afek negatif (komponen afektif). Hal tersebut juga diperkuat dengan pendapat Palwelski (dalam Lopez, 2009) mengartikan
subjective well-being sebagai keadaan afek positif yang tinggi, afek negatif yang rendah dan kepuasan hidup yang tinggi. Penyataan tersebut juga sesuai dengan pernyataan Diener (2009b) bahwa subjective well-being terdiri dari level jangka panjang atas afek positif, sedikit afek negatif, dan kepuasan hidup seseorang.
Berdasarkan uraian beberapa ahli di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa subjective well-being adalah penilaian individu terhadap kualitas hidupnya secara utuh yang mencakup evaluasi kognitif berupa kepuasan kepuasan hidup pada ranah tertentu maupun global dan evaluasi afektif berupa pengalaman afek positif yang menyenangkan lebih tinggi dibanding afek negatif yang kurang menyenangkan.
2. Aspek Subjective Well-Being
Diener, dkk (dalam Eid & Larsen, 2008) mengatakan bahwa subjective well- being secara luas berfokus pada dua komponen yang berkaitan dengan kesejahteraan diri, yaitu pengalaman emosi positif dan negatif pada diri individu;
dan kepuasan hidup individu secara global. Kemudian Diener menambahkan komponen lagi yaitu kepuasan dalam ranah/domain tertentu di dalam definisi subjective well-being (Schimmack dalam Eid & Larsen, 2008). Andrew dan Whitney (dalam Diener, 2009b) juga menguatkan bahwa terdapat tiga aspek utama dalam subjective well-being, yaitu penilaian kepuasan hidup, afek positif, dan afek negatif. Berikut gambar yang menggambarkan hirarki komponen subjective well-being tersebut:
Gambar 1.
A Hierarchical Model of Happiness (sumber: Diener, dkk., 2003)
© copyrigtht by Diener
Keempat aspek subjective well-being di atas sering digolongkan menjadi komponen afektif dan komponen kognitif. Komponen afektif terdiri dari afek positif dan afek negatif. Sedangkan komponen kognitif terdiri dari kepuasan hidup secara global dan kepuasan pada ranah tertentu. (Schimmack dalam Eid & Larsen, 2008). Hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Komponen afektif subjective well-being
Diener, dkk. (1999) menyatakan bahwa suasana hati dan emosi yang bersama-sama diberi label afek, menggambarkan mengenai evaluasi individu terhadap kejadian yang terjadi pada hidupnya. Diener (dalam Eid &
Larsen, 2008) menyebutkan bahwa dengan melakukan perbandingan antara pengalaman emosi positif dan negatif yang dialami oleh seseorang sehari- hari maka dapat diprediksi mengenai level subjective well-being yang
individu dapat dilakukan berdasarkan atas perbandingan komponennya yaitu afek positif dan afek negatif (Schimmack dalam Eid & Larsen, 2008) yang dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Evaluasi terhadap afek positif
Diener (2009a) menyatakan bahwa afek positif adalah kombinasi dari gairah dan kesenangan serta termasuk di dalamnya terdapat emosi- emosi yang positif seperti aktif, waspada, dan bersemangat. Menurut Keyes dan Magyar-Moe (dalam Lopez & Snyder, 2003), afek positif merupakan istilah yang digunakan untuk menunjukkan pengalaman emosi yang memberikan reaksi antusias, kesenangan, dan kebahagiaan dalam hidup. Emosi positif atau menyenangkan adalah bagian dari klan subjective well-being karena emosi-emosi tersebut merefleksikan reaksi seseorang terhadap peristiwa-peristiwa yang menunjukkan bahwa hidup berjalan sesuai dengan apa yang diinginkan.
Diener, dkk. (1999) menyatakan bahwa afek positif individu yang mempengaruhi subjective well-being mencakup kesenangan (joy), suka cita (elation), kepuasan (contentment), harga diri (pride), rasa kasih sayang (affection), kebahagiaan (happiness), dan kegembiraan sesaat (ecstasy).
2) Evaluasi terhadap afek negatif
Afek negatif menggambarkan mood dan emosi yang tidak menyenangkan, dan merefleksikan respon negatif yang dialami seseorang
yang dialami (Diener, 2009b). Menurut Diener, dkk. (1999) afek negatif individu yang mempengaruhi subjective well-being mencakup rasa bersalah dan malu (guilt and shame), kesedihan (sadness), kecemasan dan kekhawatiran (anxiety and worry), kemarahan (anger), tekanan (stress), depresi (depression),dan kedengkian (envy).
b. Komponen kognitif subjective well-being
Komponen kognitif mengacu pada kepuasan hidup (Life Satisfaction) yang berdasar pada kepercayaan atau sikap individu dalam menilai hidupnya (Schimmack dalam Eid & Larsen, 2008). Individu kemudian menilai apakah situasi dan kondisi dalam hidupnya sudah positif dan memuaskannya (Pavot dalam Eid & Larsen, 2008). Haybron (dalam Eid &
Larsen, 2008) juga menjelaskan bahwa kepuasan hidup merupakan suatu hal yang dinilai secara holistic, memuat keseluruhan dari kehidupan individu atau total penilaian kehidupan sepanjang hidupnya. Kepuasan hidup tergantung pada prioritas masing-masing individu. Hidup dinilai puas atau tidak merupakan kebebasan setiap individu, apakah sesuai dengan cita- citanya atau tidak. Evaluasi kognitif terhadap kepuasan hidup dibagi menjadi kepuasan hidup secara global (Global Life Judgement) dan kepuasan hidup pada ranah-ranah tertentu (Domain Satisfaction).
1) Evaluasi kepuasan hidup secara global
Evaluasi kehidupan secara kognitif dinilai berdasarkan evaluasi kehidupan secara menyeluruh atau global (Pavot dalam Eid & Larsen, 2008). Diener (2009b) menjelaskan bahwa kepuasan hidup
mencerminkan penilaian seseorang mengenai hidupnya dengan cara membandingkan dengan standar yang dimiliki. Kepuasan hidup secara global dimaksudkan untuk merepresentasikan penilaian individu secara umum dan reflektif terhadap hidupnya.
Diener, dkk. (1999) menjelaskan bahwa kepuasan hidup secara global memiliki beberapa bagian yang mempengaruhi subjective well-being, antara lain adalah keinginan merubah hidup (desire to change life), kepuasan pada kehidupan saat ini (satisfaction with current life), kepuasan pada kehidupan di masa lampau (satisfaction with past), kepuasan pada masa depan (satisfaction with future), dan pandangan orang-orang terdekat mengenai kehidupannya (significant other’s views of one’s life).
2) Evaluasi kepuasan hidup pada ranah tertentu
Pavot (dalam Eid Larsen, 2008) menjelaskan bahwa secara konsep, kepuasan seseorang terhadap ranah kehidupannya yang tertentu berfokus pada penilaian mengenai beberapa aspek yang spesifik. Diener, dkk.
(1999) menyebutkan beberapa ranah yang mempengaruhi subjective well-being yang diantaranya adalah pekerjaan (work), keluarga (family), waktu luang (leisure), kesehatan (health), keuangan (finances), diri sendiri (self), dan kelompok tertentu (one’s group).
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa aspek subjective well-being meliputi evaluasi komponen afektif yang berupa evaluasi afek positif maupun
afek negatif, dan evaluasi komponen kognitif yang meliputi evaluasi kepuasan hidup secara global dan kepuasan hidup pada ranah tertentu.
3. Faktor yang Mempengaruhi Subjective Well-Being
Diener (2009a) menyebutkan beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat subjective well-being, yaitu:
a. Kontrol diri
Ariati (2010) menyatakan kontrol diri diartikan sebagai keyakinan individu bahwa ia akan mampu berperilaku dalam cara yang tepat ketika menghadapi suatu peristiwa. Kontrol diri ini akan mengaktifkan proses emosi, motivasi, perilaku, dan aktivitas fisik. Dalam kontrol diri tersebut juga meliputi regulasi emosi yang dapat mengurangi emosi negatif sehingga terhindar dari simtom depresi, merasa lebih memiliki kepuasan hidup, lebih optimis, dan memiliki kepercayaan diri yang lebih baik (Gross & John, 2004).
b. Optimis
Secara umum, orang yang optimis mengenai masa depan merasa lebih bahagia dan puas dengan kehidupannya. Individu yang mengevaluasi dirinya dalam cara yang positif, akan memiliki kontrol yang baik terhadap hidupnya, sehingga memiliki impian dan harapan yang positif tentang masa depan (Ariati, 2010). Scheneider (dalam Ariati, 2010) menyatakan bahwa kesejahteraan psikologis akan tercipta bila sikap optimis yang dimiliki oleh individu bersifat realistis.
c. Pendapatan
Terdapat sejumlah bukti yang menunjukkan adanya hubungan positif antara pendapatan dan subjective well-being di berbagai negara (Larson, dalam Diener, 2009a). Menurut Diener (2009a), pendapatan biasanya didasarkan pada sumber-sumber eksternal yang dapat meningkatkan subjective well-being seseorang, juga merupakan sumber daya yang berasal dari kesejahteraan individu. Namun pendapatan ternyata hanya mempengaruhi subjective well-being pada tingkat yang lebih rendah, dimana kebutuhan dasar belum terpenuhi. Apabila kebutuhan dasar telah terpenuhi, peningkatan pendapatan atau kekayaan hanya sedikit mempengaruhi subjective well-being (Diener, dkk., dalam Lopez & Snyder, 2002).
d. Kepribadian
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa sifat kepribadian tertentu (ekstravert misalnya) akan lebih banyak mengalami afek positif, dibandingkan sifat yang lain (neuroticsm misalnya) yang lebih banyak mengalami afek negatif (Rusting & Larsen dalam Diener, 2009a). Diener, dkk. (1999) menjelaskan bahwa subjective well-being dapat memiliki kesensitifan pada faktor eksternal, seperti keberhasilan atau perceraian, tetapi hasil penelitian menunjukkan bahwa kemunculan subjective well-being tetap stabil sepanjang waktu dan itu cukup kuat hubungannya dengan sifat kepribadian yang dimiliki individu.
e. Faktor biologis
Campbell, dkk (dalam Diener, 2009a) menemukan bahwa meskipun kesehatan dinilai oleh subyek sebagai faktor yang paling penting dalam kebahagiaan, kepuasan akan kesehatan sebenarnya termasuk delapan prediktor kepuasan hidup yang terkuat. Bultena dan Oyler (dalam Diener, 2009a) menemukan adanya pengaruh kesehatan pada subjective well-being meskipun perbedaan interaksi sosial telah dikontrol. Miller (dalam Diener, 2009a) melaporkan bahwa kesehatan hanya akan mempengaruhi kepuasan pada cross-sectional, tidak longitudinal.
f. Faktor demografis 1) Umur
Individu yang lebih tua mempunyai kepuasan yang lebih besar dalam setiap domain kehidupannya kecuali kesehatan. Diener, dkk (dalam Diener, 2009a) mengatakan sebagian hasil penelitian menunjukkan terdapat kenaikan yang lambat pada kepuasan dengan usia, tetapi tambpaknya afek positif dan afek negatif lebih intens dialami oleh kaum muda. Dengan demikian, kaum muda tampaknya mengalami tingkat kesenangan yang lebih tinggi, tetapi orang-orang tua tampaknya menilai hidupnya dengan cara yang lebih positif.
2) Jenis kelamin
Meskipun perempuan lebih banyak menunjukkan afek negatif, tetapi juga terlihat lebih banyak mengalami kesenangan (Braun dalam Diener, 2009b). Studi tersebut menunjukkan bahwa perempuan yang lebih muda
lebih bahagia dibandingkan laki-laki yang lebih muda, dan perempuan yang lebih tua lebih bahagia dibandingkan laki-laki yang lebih tua (Medley dalam Diener, 2009a). Meskipun kebalikan ini terjadi di sekitar usia 45 tahun, tetapi perbedaan antara jenis kelamin tidak pernah memiliki korelasi yang kuat.
3) Ras
Pada negara Amerika, kulit hitam biasanya ditemukan memiliki subjective well-being lebih rendah dibandingkan dengan kulit putih (Andrews dan Withey dalam Diener, 2009a), meskipun hal itu tidak ditemukan secara universal (Messer dalam Diener, 2009a). Keadaan karena faktor urbanisasi dan pendapatan yang rendah, menjadi seseorang berkulit hitam juga memberikan faktor tambahan bagi subjective well- being yang rendah, tetapi hanya untuk kelompok tertentu.
4) Pekerjaan
Campbel, dkk (dalam Diener, 2009a) menemukan bahwa individu yang tidak memiliki pekerjaan (pengangguran) merupakan kelompok yang tidak bahagia, bahkan ketika perbedaan pendapatan telah dikontrol. Hal ini menggambarkan bahwa menjadi pengangguran memiliki efek yang sangat efektif terhadap subjective well-being untuk banyak individu yang sudah jelas mengalami kesulitan keuangan. Bradburn (dalam Diener, 2009a) memberikan bukti-bukti bahwa keadaan pengangguran mempengaruhi well-being baik pada laki-laki dan perempuan. Akan tetapi, hal ini bukan
berarti bahwa ibu rumah tangga tidak lebih bahagia dari yang bekerja yang bergaji (Wright dalam Diener, 2009a).
5) Pendidikan
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa korelasi subjective well-being dengan pendidikan lebih banyak memiliki efek positif pada perempuan dibanding laki-laki (Glenn & Weaver dalam Diener, 2009a). Analisis Campbell (dalam Diener, 2009a) menunjukkan bahwa meskipun pendidikan dapat menjadi suatu sumber daya bagi individu, hal ini juga dapat meningkatkan aspirasi dan memberikan peringatan bagi individu tentang alternatif kehidupan.
6) Agama
Iman, pentingnya agama, dan tradisionalisme agama secara luas berhubungan dengan subjective well-being (Cameron, dkk. dalam Diener, 2009b). Cameron menemukan bahwa religiusitas berkorelasi terbalik dengan suasana hati yang positif.
7) Status pernikahan dan keluarga
Beberapa studi skala besar menunjukkan bahwa individu yang menikah memiliki tingkat subjective well-being yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu yang tidak menikah (Andrews dan Withey dalam Diener, 2009a). Glen & Weaver (dalam Diener, 2009b) menemukan bahwa pernikahan adalah faktor paling kuat bagi subjective well-being bahkan ketika pendidikan, pendapatan, dan pekerjaan tidak terkontrol.
g. Perilaku dan hasil 1) Kontak sosial
Beberapa penelitian telah menemukan adanya hubungan positif antara berbagai macam pengukuran objektif tetang aktivitas sosial dengan berbagai macam pengukuran subjective well-being (Rhodes dalam Diener, 2009a) Kontak sosial sangat direkomendasikan jika ingin meningkatkan happiness dan hal ini telah terbukti efektif (Fordyce dalam Diener, 2009a).
Peningkatan atau penurunan kontak sosial akan disertai dengan perubahan yang terjadi pada subjective well-being (Graney dalam Diener, 2009a).
Dukungan sosial juga merupakan bentuk dari interaksi sosial. Hasil penelitian Saputri (2013) yang menunjukkan bahwa ada hubungan postif antara dukungan sosial dengan psychological well being yang merupakan bagian dari subjective well-being.
2) Kejadian dalam hidup
Kejadian hidup memperlihatkan hubungan konsisten dengan subjective well-being meskipun tidak terlalu signifikan (Diener, 2009a). Kejadian hidup yang baik berhubungan dengan afek positif sedangkan kejadian buruk berhubungan dengan afek negatif (Reich dan Zautra dalam Diener, 2009a).
3) Aktivitas
Kozma dan Stones (dalam Diener, 2009a) menemukan bahwa beberapa aktivitas merupakan faktor yang baik bagi subjective well-being. Schaffer
(dalam Diener, 2009a) menjelaskan bahwa hubungan antara aktivitas dan subjective well-being tergantung kepada kepribadian individu.
Berdasarkan beberapa hasil penelitian dan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi subjective well-being adalah kontrol diri, optimis, pendapatan, kepribadian, faktor biologis, faktor demografis (seperti usia, pendidikan, dan agama), dan perilaku hasil (seperti kontak sosial dan kejadian dalam hidup).
B. Regulasi Emosi 1. Pengertian Regulasi Emosi
Thompson (1994) mendefinisikan regulasi emosi sebagai proses secara ekstrinsik dan intrinsik yang bertanggung jawab untuk memantau, mengevaluasi, dan memodifikasi reaksi emosional secara intensif dan dan khusus untuk mencapai suatu tujuan. Regulasi emosi juga dapat diartikan sebagai kemampuan untuk mengevaluasi dan mengubah reaksi-reaksi emosional untuk bertingkah laku tertentu yang sesuai dengan situasi yang sedang terjadi (Thompson, dalam Garnefski, dkk., 2001). Hal senada juga dijelaskan Garnefski dkk (2001) bahwa regulasi emosi berhubungan dengan kehidupan manusia dan dapat membantu dalam mengelola, mengatur emosi dan mengendalikan emosi agar tidak berlebihan pada suatu situasi. Sehingga individu dapat bertingkah laku yang responsif dalam menghadapi suatu situasi emosional.
Campos (dalam Putnam & Silk, 2005) mendefinisikan regulasi emosi sebagai modifikasi proses di dalam sistem yang menghasilkan emosi atau manifestasinya
dalam perilaku. Sedangkan menurut Gross (2002) regulasi emosi ditinjau dari proses pengolahan emosi yang terjadi dalam individu. Gross lebih lanjut juga menjelaskan bahwa regulasi emosi melibatkan strategi baik sadar dan bawah sadar yang digunakan individu untuk memodulasi respon emosional mereka dalam bentuk perasaan, perilaku, dan respon fisiologis terhadap suatu kejadian.
Ahli lainnya seperti Eisenberg & Spinrad (2004) mendefinisikan regulasi emosi sebagai proses permulaan, pemeliharaan, modulasi, intensitas atau lamanya perasaan , dan proses emosi yang berhubungan dengan fisiologis yang berperan dalam mencapai suatu tujuan. Hal tersebut juga sesuai dengan pernyataan Bonano (dalam Tamir, 2011) bahwa regulasi emosi merupakan proses bahwa individu dapat mengatur emosi mereka agar mereka dapat berhasil mengejar tujuan.
Berdasarkan paparan dari para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa regulasi emosi merupakan proses individu mengolah emosi dengan memantau, mengevaluasi, dan memodifikasi reaksi emosional sesuai dengan situasi yang sedang terjadi demi mencapai suatu tujuan tertentu.
2. Aspek Regulasi Emosi
Gratz & Roemer (2004) mengemukakan aspek yang terdapat dalam regulasi emosi terkait dengan detail kemampuan individu dalam mengatur emosi.
Komponen tersebut antara lain:
a. Awareness of emotion (awareness)
Awareness of emotion merupakan kemampuan individu untuk menyadari adanya emosi yang hadir pada dirinya. Individu dalam kemampuan ini
mampu memberikan perhatian pada emosi yang dirasakannya dan mengakui emosi yang sedang dirasakan.
b. Emotional clarity (clarity)
Emotional clarity merupakan kemampuan individu untuk mengetahui secara jelas tentang emosi yang dialami. Individu mampu memahami dengan pasti perasaannya dan tidak mengalami kebingungan dalam memahami emosi yang sedang dialami.
c. Acceptance of emotional response (acceptance)
Acceptance of emotional response merupakan kemampuan individu untuk menerima suatu peristiwa yang menimbulkan emosi negatif dan tidak merasa malu merasakan emosi tersebut.
d. Control emotional responses (impulse)
Control emotional responses merupakan kemampuan untuk mengontrol perilaku impulsif dan berperilaku sesuai dengan tujuan yang diinginkan bila individu mengalami emosi negatif. Kemampuan tersebut untuk dapat mengontrol emosi yang dirasakannya dan menampilkan respon emosi tepat.
e. Engaging in goal directed behavior (goals)
Engaging in goal directed behavior merupakan kemampuan individu untuk tidak terpengaruh oleh emosi negatif yang dirasakannya sehingga dapat tetap berpikir dan melakukan sesuatu dengan baik.
f. Strategies to emotion regulation (strategies)
Strategies to emotion regulation merupakan keyakinan individu untuk dapat mengatasi suatu masalah, memiliki kemampuan untuk menemukan
suatu cara yang dapat mengurangi emosi negatif dan dapat dengan cepat menenangkan diri kembali setelah merasakan emosi yang berlebihan.
Berbeda dengan Gratz & Roemer, ahli lainnya yakni Thompson (1994) memandang regulasi emosi dalam suatu dinamika yang nantinya dapat terbagi menjadi beberapa aspek mulai dari permulaan adanya kesadaran tentang emosi hingga usaha untuk mengubah emosi. Aspek regulasi emosi menurut Thompson (1994) tersebut yaitu :
a. Memonitor emosi (emotion monitoring)
Memonitor emosi adalah kemampuan individu untuk menyadari dan memahami keseluruhan proses yang terjadi di dalam diri, seperti perasaan, pikiran dan latar belakang dari tindakan. Dengan memonitor emosi akan membantu individu terhubung dengan emosi-emosi, pikiran-pikiran dan hubungan inilah yang membuat individu mampu menamakan setiap emosi yang muncul.
b. Mengevaluasi emosi (emotions evaluating)
Mengevaluasi emosi adalah kemampuan individu untuk mengelola dan menyeimbangkan emosi-emosi yang dialami. Kemampuan mengelola emosi- emosi khususnya emosi negatif seperti kemarahan, kesedihan ,kecewa, dendam dan benci akan membuat individu tidak terbawa dan terpengaruh secara mendalam. Hal ini mengakibatkan individu tidak mampu lagi beroikir rasional.
c. Modifikasi emosi (emotions modifications)
Modifikasi emosi yaitu kemampuan individu untuk mengubah emosi sedemikian rupa sehingga mampu memotivasi diri terutama ketika individu berada dalam keadaan putus asa, cemas dan marah. Kemampuan tersebut membuat individu mampu bertahan dalam masalah yang membebani dan terus berjuang ketika menghadapi hambatan dan tidak mudah putus asa
Dari uraian ahli-ahli di atas dan berdasarkan kesesuaian kontrak yang ingin diteliti, peneliti menggunakan aspek yang dikemukakan oleh Gratz & Roemer (2004) yaitu awareness of emotion (awareness), emotional clarity (clarity), acceptance of emotional response (acceptance), control emotional responses (impulse), engaging in goal directed behavior (goals), dan strategies to emotion regulation (strategies).
C. Dukungan Sosial 1. Pengertian Dukungan Sosial
Dukungan sosial didefinisikan sebagai informasi dari orang lain yang dicintai, terhormat dan nilai-nilai, dan bagian dari jaringan komunikasi dan kewajiban bersama (Taylor, 2009). Gottlieb (dalam Smet, 1994) menjelaskan dukungan sosial sebagai bantuan yang diberikan berupa informasi verbal atau non-verbal, saran, bantuan nyata atau tindakan yang diberikan kepada orang lain, yang memiliki efek emosional atau efek perilaku bagi pihak penerima. Hal ini dapat
dimaknai bahwa dukungan sosial yang diterima dapat membuat individu merasa tenang, diperhatikan, timbul rasa percaya diri dan kompeten.
Pernyataan senada juga dikemukakan oleh Sarafino (1994) bahwa dukungan sosial mengacu pada kesenangan yang dirasakan, penghargaan, kepedulian, atau bantuan yang diterima dari orang-orang atau kelompok-kelompok lain. Ahli lainnya seperti Johnson & Johnson (2001) menambahkan dukungan sosial berasal dari orang-orang penting yang dekat (significant other) bagi individu yang membutuhkan bantuan. Dukungan sosial tersebut dapat berupa dukungan emosional, dukungan penghargaan atau harga diri, dukungan instrumental, dukungan informasi atau dukungan dari kelompok. Pemberian dukungan membantu individu menghadapi situasi yang menimbulkan ketegangan. Rook (dalam Smet, 1994) mendefinisikan dukungan sosial sebagai salah satu fungsi pertalian sosial. Adanya segi fungsional tersebut dapat mencakup dukungan emosional, yang mendorong seseorang untuk mengungkapkan perasaan, pemberian nasehat atau informasi, dan pemberian bantuan material (Ritter, dalam Smet 1994).
Berdasarkan pernyataan dari para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial adalah dukungan dari orang-orang di lingkungan sekitar yang dapat berupa emosional, dukungan penghargaan atau harga diri, dukungan instrumental, dukungan informasi formal maupun nonformal atau dukungan dari kelompok agar individu dalam menghadapi permasalahannya.
2. Aspek Dukungan Sosial
Dukungan sosial yang diberikan kepada individu memiliki beberapa bentuk.
Sarafino (1994) menjelaskan ada lima aspek dukungan sosial, yaitu:
a. Dukungan emosional
Merupakan dukungan berupa ungkapan empati, kepedulian, dan perhatian kepada orang yang menerima. Kesediaan orang untuk memperhatikan dengan rasa nyaman, tentram, jaminan perlindungan dan merasa dicintai saat mereka menghadapi masalah dalam hidupnya.
b. Dukungan penghargaan
Dukungan penghargaan terjadi melalui ungkapan penghargaan yang positif untuk individu, dorongan maju atau persetujuan dengan gagasan atau perasaan individu, dan perbandingan positif antara satu individu dengan individu yang lain. Hal seperti ini akan mengembangkan penghargaan diri seseorang, kompetensi yang dimiliki dan nilai-nilai.
c. Dukungan instrumental
Dukungan instrumental merupakan suatu dukungan yang berupa pemberian sesuatu berupa bantuan nyata atau dukungan alat. Dukungana ini juga mencakup bantuan secara langsung seperti memberikan pinjaman uang bagi orang yang memerlukannya. Dukungan ini membantu seseorang untuk melakukan aktivitasnya.
d. Dukungan informatif
Dukungan informatif mencakup pemberian nasihat, petunjuk, saran-saran, informasi, atau umpan balik. Dukungan ini dapat membantu individu
mengatasi masalah dengan cara memperluas wawasan dan pemahaman individu terhadap masalah yang dihadapi. Informasi diperlukan untuk mengambil keputusan dalam menyelesaikan masalah tersebut.
e. Dukungan jaringan sosial
Dukungan jaringan sosial merupakan perasaan keanggotaan dalam suatu kelompok yang saling berbagi kesamaan kesenangan dan aktivitas sosial.
Dukungan ini membuat individu merasa dianggap sebagai anggota/bagian dari suatu kelompok.
House (dalam Smet, 1994) membagi dukungan sosial menjadi empat aspek, yaitu:
a. Dukungan emosional
Merupakan pemberian dukungan secara afeksi kepada individu mencakup ungkapan empati, kepedulian, dan perhatian terhadap orang-orang yang bersangkutan.
b. Dukungan penghargaan
Berupa ungkapan rasa hormat secara positif kepada seseorang, dorongan maju atau persetujuan dengan gagasan atau perasaan individu, dan perbandingan sosial antara satu orang dengan orang lainnya.
c. Dukungan instrumental
Bantuan instrumental dapat berupa bantuan nyata dan langsung kepada individu berupa barang ataupun jasa. Bantuan ini dapat diwujudkan seperti pemberian bantuan alat, keuangan, dan peluang waktu kepada individu.
d. Dukungan informatif
Bantuan dapat berupa pemberian nasihat atau pengarahan, saran, petunjuk, dan umpan-balik yang berguna bagi individu untuk menyelesaikan masalah.
Sarason dkk (1990) mengungkapkan bahwa dukungan sosial adalah transaksi interpersonal yang melibatkan salah satu faktor atau lebih dari karakteristik berikut ini:
a. Afeksi
Ekspresi menyukai, mencintai, mengagumi, dan menghormati.
b. Penegasan
Ekspresi persetujuan, penghargaan terhadap ketepatan, kebenaran dari beberapa tindakan pernyataan, pandangan.
c. Bantuan
Transaksi yang memberikan bantuan dan pertolongan secara langsung, diantaranya adalah barang, uang, informasi, nasihat, dan waktu.
Taylor (2012) membagi dukungan sosial menjadi beberapa aspek, antara lain:
a. Tangible assistance
Berupa bantuan material seperti jasa atau layanan, bantuan keuangan, atau dalam bentuk barang.
b. Informative support
Bantuan yang dilakukan dengan memberikan suatu informasi yang mungkin saja dapat membantu individu untuk memahami permasalahannya atau keadaan yang menekan, agar menjadi lebih baik dan terarah, baik mengenai
sumber permasalahannya maupun strategi coping yang dapat digunakan untuk menguraikan permasalahan tersebut.
c. Emotional support
Dukungan ini dapat diberikan dengan menentramkan dan meyakinkan orang tersebut bernilai dan harus diperhatikan. Melakui kehangatan dan pengasuhan yang diberikan oleh orang lain dapat membuat seseorang yang berada dalam tekana menjadi lebih tenang.
d. Invisible support
Menurut Bolger, Zuckerman, dan Kessel (dalam Taylor, 2012) berupa dukungan yang diberikan kepada orang lain yang tidak disadari oleh seseorang yang menerima bantuan dan bantuan tersebut tentunya memberikan keuntungan pada penerima bantuan.
Berdasarkan paparan di atas penelitian ini menggunakan aspek dukungan sosial yang dikemukakan oleh Sarafino (1994) yakni dukungan emosional, dukungan penghargaan, dukungan instrumental, dukungan informatif, dan dukungan jaringan sosial karena sudah mencakup juga dukungan jaringan sosial yang merupakan bentuk dukungan dalam komunitas sesuai dengan cakupan yang akan diteliti.
D. Hubungan Antara Regulasi Emosi Dan Dukungan Sosial Dengan Subjective Well-Being Pada Yogini
1. Hubungan Antara Regulasi Emosi Dan Dukungan Sosial Dengan Subjective Well-Being Pada Yogini
Orang dewasa bertanggung jawab penuh atas segala perbuatannya sebagai individu dan makluk sosial serta dapat menentukan sendiri keadaannya, mengatur kepentingannya, dapat membimbing dan membantu yang lebih muda dalam memenuhi kebutuhan mereka (Meichati, 1983). Mereka dituntut untuk lebih mandiri, matang secara pikiran dan emosi, dapat berhubungan positif dengan orang lain, dan mampu mengatasi permasalahannya dengan segera. Ketika tuntutan-tuntutan tersebut tercapai maka kebahagiaan dan kepuasan hidup akan lebih dinilai tercapai oleh individu.
Beberapa cara yang ditempuh dalam mencapai kebahagiaan tersebut diantaranya dengan melakukan aktivitas yang membuat rileks dan senang. Stress menghadapi rutinitas harian memerlukan penyaluran yang bisa membuat energi kembali penuh dan meningkatkan mood. “Me time” merupakan istilah yang menjadi trend dewasa ini untuk mewakili aktivitas meluangkan waktu khusus demi mengurangi stressor dan ketegangan yang dihadapi sehari-hari. Me time menjadi waktu yang tepat untuk intropeksi diri untuk memahami diri sendiri membuat mood menjadi lebih baik dan bisa menemukan solusi untuk masalah (Oktaviani, 2013).
Salah satu bentuk aktivitas “me time” yang biasa dilakukan adalah dengan berolahraga. Beberapa orang memilih olahraga karena dengan olahraga dapat
melepaskan hormon feromon yang dikenal sebagai hormon yang membuat rileks dan mengurangi stress. Gerakan-gerakan olahraga yang menitik beratkan pada pernafasan dan olah tubuh lembut seperti yoga menjadi pilihan beberapa orang.
Yoga mampu membantu individu memusatkan pikirannya menjadi positif dengan mengeliminasi emosi negatif. Meditasi dan gerakan yoga yang lembut membawa ketenangan dalam pikiran dan emosi individu. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Acarya (2011) bahwa yoga mampu mengontrol emosi-emosi negatif yang mengganggu, mengurangi stress, dan mengembangkan kontrol kejiwaan.
Pemfokusan emosi positif dan berkurangnya afek negatif yang dapat dicapai dalam yoga tersebut dapat diartikan sebagai subjective well-being atau kebahagiaan secara utuh. Tingginya emosi positif, rendahnya emosi negatif, dan evaluasi kepuasan hidup merupakan komponen afektif pembentuk subjective well- being. Hal ini sesuai dengan pendapat Diener, dkk (dalam Eid dan Larsen, 2008) mengatakan bahwa subjective well-being secara luas berfokus pada dua komponen yang berkaitan dengan kesejahteraan diri, yaitu pengalaman emosi positif dan negatif pada diri individu; dan kepuasan hidup.
Subjective well-being didefinisikan Veenhoven (dalam Eid & Larsen, 2008) sebagai domain menyeluruh yang mencakup konstrak luas yang berhubungan dengan evaluasi subjektif individu terhadap kualitas hidupnya. Sedangkan Linley
& Joseph (2004) menjabarkan bahwa subjective well-being adalah gabungan antara kepuasan hidup (komponen kognitif) dengan afek positif yang dikurangi dengan afek negatif (komponen afektif). Jadi dapat dimaknai bahwa subjective
mencakup evaluasi kognitif berupa kepuasan hidup pada ranah tertentu maupun global dan evaluasi afektif berupa pengalaman afek positif yang menyenangkan lebih tinggi dibanding afek negatif yang kurang menyenangkan.
Beberapa penelitian yang telah dilakukan peneliti membuktikan hubungan praktik yoga dengan hal yang terkait dengan subjective well-being. Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Narasimham, dkk (2011) pada 312 partisipan di India menunjukkan hasil bahwa terdapat peningkatan afek positif yang signifikan setelah melakukan latihan pernafasan, suryanamaskar, dan teknik relaksasi yang mendalam. Sebaliknya afek negatif juga menurun setelah melakukan serangkaian kegiatan yoga tersebut. Hal tersebut dapat diartikan bahwa yoga mampu mencapai dengan komponen afektif dalam subjective well-being yakni afek positif yang tinggi dan afek negatif yang rendah.
Kedua, penelitian yang juga dilakukan di India oleh Rathore & Choudhary (2013). Penelitian eksperimen pre-post dilakukan untuk mengetahui dampak berlatih yoga pada subjective well-being dan stress. Subjek dipilih secara purposive sebanyak 30 wanita dan 30 pria. Hasil akhir penelitian menunjukkan bahwa terdapat dampak positif yang signifikan dari pada subjek yang latihan yoga terhadap variabel subjective well-being dan emotional intelegence. Yoga juga mengurangi tingkat stress dan emosi negatif lainnya. Ketiga, hasil penelitian yang dilakukan oleh Lucia (2013) dalam disertasinya. Sebagian besar partisipan yang melakukan yoga mengaku yoga bermanfaat bagi kesehatan secara keseluruhan.
Partisipan yoga memiliki kesehatan fisik yang baik, kepuasaan hidup yang lebih
tinggi, dan kesejahteraan diri yang tinggi dibanding dengan partisipan yang tidak melakukan yoga.
Hasil survey pada pelaku yoga wanita yang disebut dengan yogini menunjukkan bahwa setelah melakukan yoga penilaian subjective tentang kebahagian secara utuh perlahan meningkat baik jangka pendek dan jangka panjang. Subjek dipilih berdasarkan usianya yakni usia dewasa muda (20-40 tahun) di Hatha Yoga Ganep’s. Keempat responden mengungkapkan lebih sering mengalami afek positif seperti rasa senang, puas, berharga, dan bahagia dibanding sebelum rutin beryoga. Mereka juga mengemukakan bahwa perasaan negatif menjadi dapat berkurang dirasakan ketika melakukan yoga, seperti perasaan sedih, cemas, marah, tertekan, depresi, iri, dan bersalah yang berlebihan. Kepuasan dan kualitas hidupnya juga diakui sudah dalam kategori cukup baik. Hal tersebut mengindikasi bahwa ada kecenderungan bahwa pelaku yoga memiliki subjective well-being yang tinggi. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Diener (2009a) bahwa subjective well-being terdiri dari level jangka panjang atas afek positif, sedikit afek negatif, dan kepuasan hidup seseorang.
Subjective well-being yang tinggi memberikan dampak yang positif, antara lain adalah kesehatan, performansi kerja yang lebih baik, hubungan sosial yang lebih baik, dan banyak lagi perilaku yang positif (Diener, 2009a). Oleh karena itu pengupayaan subjective well-being penting dilakukan oleh setiap individu. Namun ada beberapa faktor yang menyebabkan subjective well-being individu berbeda tingkatnya pada setiap orang. Faktor-faktor tersebut antara lain kontrol diri,
pendidikan, dan agama), dan perilaku hasil (seperti kontak sosial dan kejadian dalam hidup). Namun diantara beberapa faktor tersebut regulasi emosi (bagian dari kontrol diri) dan dukungan sosial (bagian dari kontak sosial) menarik minat peneliti untuk melakukan penelitian lanjutan.
Regulasi emosi merupakan bagian dari kontrol diri karena masuk dalam dalam proses kontrol diri sesuai dengan pernyataan (Ariati, 2010) bahwa kontrol diri akan mengaktifkan proses emosi, motivasi, perilaku, dan aktivitas fisik. Definisi regulasi emosi dipaparkan oleh Thompson (1994) sebagai proses secara ekstrinsik dan intrinsik yang bertanggung jawab untuk memantau, mengevaluasi, dan memodifikasi reaksi emosional secara intensif dan dan khusus untuk mencapai suatu tujuan.
Widowaty dan Kumolohadi (2007) meneliti intensitas melakukan yoga terkait dengan regulasi emosi yang diwakili variabel kecerdasan emosi pada orang dewasa di Yogyakarta. Kecerdasan emosi merupakan bagian dari regulasi emosi karena mempunyai definisi kemampuan mengenali perasaan diri sendiri dan orang lain, memotivasi diri sendiri, mengelola emosi diri dengan baik dalam berhubungan dengan orang lain. Definisi tersebut tercakup dalam komponen regulasi emosi. Hasil penelitian yang didapatkan menunjukkan bahwa ada hubungan positif yang signifikan antara kecerdasan emosi dengan intensitas melakukan yoga. Semakin tinggi intensitas yoga maka semakin tinggi kecerdasan emosinya dan sebaliknya.
Penelitian terkait dengan regulasi emosi dan subjective well-being juga ditemukan dengan hasil yang positif. Hasil penelitian Machmuroch, dkk (2012) menunjukkan hasil bahwa regulasi emosi dapat menurunkan tingkat ekspresi emosinya dimana ekspresi emosi ini tercakup dalam subjective well-being. Singh
& Mishra (2011) menambahkan bahwa regulasi emosi berkorelasi positif dengan kesehatan mental, kesehatan fisik, dan kepuasan hubungan, dan kinerja dimana hal tersebut tercakup dalam subjective well being. Hal tersebut sesuai dengan komponen kognitif subjective well-being oleh Diener yakni kepuasaan ranah tertentu yang meliputi kepuasan kesehatan dan pekerjaan.
Faktor kedua dari subjective well-being yang menarik perhatian peneliti adalah dukungan sosial. Kontak sosial sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi subjective well-being individu (Diener, 2009a). Kontak sosial yang menjadi payung dari dukungan sosial mutlak dibutuhkan karena manusia adalah makhluk sosial. Kontak sosial tersebut dapat berupa interaksi interpersonal, partisipasi sosial, maupun dukungan sosial. Hal tersebut dapat dimakna bahwa hubungan yang sehat dan akrab di lingkungan keluarga, relasi kerja, peer group, dan organisasi lainnya mempengaruhi tingkat kesejahteraan yang dirasakan individu.
Gottlieb (dalam Smet, 1994) menjelaskan dukungan sosial sebagai bantuan yang diberikan berupa informasi verbal dan nonverbal, bantuan nyata atau tindakan yang diberikan kepada orang lain, yang memiliki efek emosional atau efek perilaku bagi pihak penerima. Misalnya dukungan dari keluarga terdekat dan
menghadapi situasi yang menimbulkan ketegangan. Dukungan sosial membuat individu lebih bisa menerima kehidupan dan memandang positif dirinya.
Pada relasi individu dengan komunitas, dukungan sosial menjadi hal yang penting mempengaruhi subjective well-being. Penelitian di Australia, mengemukan bahwa dukungan sosial berhubungan negatif dengan pengalaman stress (Gencoz & Ozlale, 2004). Pengalaman stres tersebut diasosiasikan dengan bentuk afeksi negatif yang muncul. Hal tersebut dapat diartikan dengan dukungan sosial yang tinggi berhubungan dengan rendahnya pengalaman stress yang menjadi ciri subjective well-being yang tinggi. Johnson & Johnson (1991) menambahkan dukungan sosial dapat mengurangi tingkat stress dimana orang yang jarang stress akan merasa lebih bahagia, dan sebaliknya.
Sementara itu, relasi sosial juga merupakan faktor yang mempengaruhi regulasi emosi. Pengaturan emosi individu dalam menghadapi situasi akan menjadi lebih mudah ketika dibantu relasi sosial positif berupa penerimaan dukungan yang baik dari orang di sekitar individu. Relasi sosial yang positif akan tercipta bila adanya dukungan sosial dan keintiman emosional. Pengaturan emosi yang dilakukan individu terjadi atas respon terhadap lingkungan sekitarnya termasuk permasalahan dengan orang-orang di sekitarnya. Hubungan yang di dalamnya terdapat dukungan sosial dan keintiman membuat individu mampu mengembangkan diri, meminimalkan masalah-masalah psikologis, kemampuan pemecahan masalah yang adapted. Selanjutnya, regulasi emosi dan dukungan sosial yang baik tersebut akan membuat individu memandang hidupnya lebih positif dan meningkatkan kesejahteraan hidupnya secara keselurahan.
Bussing, dkk (dalam Bhavanani, dkk., 2014) mengobservasi dampak dan keterkaitan intervensi yoga pada regulasi emosi, kontak sosial, dan kualitas hidup pelaku yoga. Tabel 1 berikut menunjukkan hasil observasi tersebut:
Tabel 1.
Level of Action and Observed Effect of Yoga Intervention LEVEL OF ACTION AND OBSERVED EFFECT OF YOGA
INTERVENTION
Specific effects Unspesific effects Cognition Comtemplative states,
mindfulness, self-identity, self- efficacy, beliefs, expectations
Control of attentional
Emotion Emotional regulation Quality of life Psysiology Vagal afferent activity,
respiration, relaxation response, stress reduction
Sosial contacts
Psysical body Physical flexibility, endurance Healthy life style
Pada ranah emosi, intervensi yoga menunjukkan efek spesifik berupa peningkatkan regulasi emosi yang baik yang kemudian terkait dengan kualitas hidup yogis yang lebih baik dan positif sebagai dampak lanjutannya. Sedangkan pada ranah fisiologis. Intervensi yoga meningkatkan respon relaksasi dan mengurangi stress yang dirasakan individu. Dampak lanjutan yang dihasilkan meningkatkan kontak sosial yang baik dengan lingkungan sekitar individu.
Hasil penelitian dan uraian yang telah dipaparkan di atas membuktikan bahwa regulasi emosi dan dukungan sosial berkorelasi positif dengan subjective well- being. Regulasi emosi dan dukungan sosial yang tinggi akan mununjukkan subjective well-being yang tinggi. Afeksi positif tinggi, afeksi negatif yang rendah, dan kepuasan hidup secara global maupun ranah tertentu akan mudah dicapai dengan adanya regulasi emosi dan dukungan sosial yang tinggi. Hal
berdasarkan hasil survey menunjukkan karakteristik subjective well-being yang tinggi.
2. Hubungan Antara Regulasi Emosi dengan Subjective Well-Being pada Yogini
Regulasi emosi dipaparkan oleh Thompson (1994) sebagai proses secara ekstrinsik dan intrinsik yang bertanggung jawab untuk memantau, mengevaluasi, dan memodifikasi reaksi emosional secara intensif dan dan khusus untuk mencapai suatu tujuan. Thompson menambahkan terdapat tiga komponen di dalam regulasi emosi yaitu: memonitor emosi (emotion monitoring), mengevaluasi emosi (emotion evaluating), dan modifikasi emosi (emotion modification). Sedangkan menurut Gratz & Roemer (2004), regulasi emosi mempunyai enam aspek yaitu awareness of emotion (awareness), emotional clarity (clarity), acceptance of emotional response (acceptance), control emotional responses (impulse), engaging in goal directed behavior (goals), dan strategies to emotion regulation (strategies).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan positif yang signifikan antara kecerdasan emosi dengan intensitas melakukan yoga (Widowaty dan Kumolohadi, 2007). Semakin tinggi intensitas yoga maka semakin tinggi kecerdasan emosinya dan sebaliknya. Kecerdasan emosi merupakan dapat bagian dari regulasi emosi karena mempunyai definisi kemampuan mengenali perasaan diri sendiri dan oranglain, memotivasi diri sendiri, mengelola emosi diri dengan
baik dalam berhubungan dengan orang lain. Definisi tersebut tercakup dalam komponen regulasi emosi.
Penelitian terkait dengan regulasi emosi dan subjective well-being juga ditemukan dengan hasil yang positif. Pertama, penelitian Singh & Mishra (2011) menunjukkan bahwa regulasi emosi berkorelasi positif dengan kesehatan mental, kesehatan fisik, dan kepuasan hubungan, dan kinerja dimana hal tersebut tercakup dalam subjective well-being. Hal tersebut sesuai dengan komponen kognitif subjective well-being oleh Diener yakni kepuasaan pada ranah tertentu.
Kedua, hasil penelitian korelasi psychological well-being dengan regulasi emosi juga ditemukan pada penelitian Bernanti (2014) yang menunjukkan hubungan positif dan signifikan antara regulasi emosi dengan psychological well- being pada caregiver di RSJD Surakarta. Psychological well-being masuk dalam cakupan subjective well-being karena di dalam pemahaman individu tentang subjective well-being secara otomatis meliputi evaluasi afeksi yang menjadi fokus psychological well-being. Hasil pelatihan regulasi emosi pada caregiver pasien skizofrenia oleh Machmuroh, dkk (2012) menunjukkan hasil bahwa regulasi emosi dapat menurunkan tingkat ekspresi emosinya, dimana ekspresi emosi ini tercakup dalam subjective well-being.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kemampuan regulasi emosi yang tinggi mampu meningkatkan subjective well-being. Sebaliknya dengan rendahnya regulasi emosi akan menurunkan subjective well-being yang dimiliki individu.
3. Hubungan antara Dukungan Sosial dengan Subjective Well-Being pada Yogini
Kontak sosial yang menjadi payung dari dukungan sosial mutlak dibutuhkan karena manusia adalah makhluk sosial. Gottlieb (dalam Smet, 1994) menjelaskan dukungan sosial sebagai bantuan yang diberikan berupa informasi verbal dan nonverbal, bantuan nyata atau tindakan yang diberikan kepada orang lain, yang memiliki efek emosional atau efek perilaku bagi pihak penerima. Sarafino (1994) mendukung dengan pernyataan dukungan sosial mengacu pada kesenangan yang dirasakan, penghargaan, kepedulian, atau bantuan yang diterima dari orang-orang atau kelompok-kelompok lain. Misalnya keluarga terdekat dan teman-teman dalam komunitas. Pemberian dukungan membantu individu menghadapi situasi yang menimbulkan ketegangan.
Korelasi antara dukungan sosial dengan subjective well-being ditemukan pada penelitian Rohmad (2014) yang dilakukan pada mahasiwa Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta. Hasil penelitian menunjukkan dukungan sosial mempunyai korelasi yang sangat signifikan terhadap kesejahteraan subjektif yang dimiliki mahasiswa. Sedangkan pada subjek wanita usia dewasa, hasil yang serupa ditemukan pada penelitian Gatari (2008) menemukan hubungan signifikan antara perceived social support terhadap subjective well-being pada ibu pekerja.
Bantuan yang diterima ibu pekerja berupa dukungan sosial dari lingkungan sekitar meningkatkan kebahagiaannya.
Saputri (2013) dalam penelitiannya juga menemukan bahwa terdapat hubungan postif antara dukungan sosial dengan psychological well-being pada
santri di pondok pesantren. Dimana psychological well-being tersebut tercakup dalam subjective well-being. Pada relasi individu dengan komunitas, dukungan sosial menjadi hal yang penting mempengaruhi subjective well-being. Penelitian di Australia pada pria yang aktif dalam komunitas, mengemukakan bahwa dukungan sosial berhubungan negatif dengan pengalaman stress (Gencoz &
Ozlale, 2004). Pengalaman stress tersebut diasosiasikan dengan bentuk afeksi negatif yang muncul. Hal tersebut dapat diartikan dengan dukungan sosial yang tinggi berhubungan dengan rendahnya pengalaman stress yang menjadi ciri subjective well being yang tinggi.
Johnson & Johnson (1991) juga menguatkan korelasi dukungan sosial dengan psychological well-being. Dukungan sosial dapat meningkatkan psychological well-being seseorang yang merupakan perhatian, kasih sayang, pengertian, dan kedekatan yang mengarah pada keyakinan individu dan meningkatkan harga diri individu. Dukungan sosial membuat individu lebih bisa menerima kehidupan dan memandang positif dirinya. Johnson menambahkan dukungan sosial dapat mengurangi tingkat stress dimana orang yang jarang stress akan merasa lebih bahagia, dan sebaliknya. Rasa bahagia tersebut kemudian menjadi pertanda psychological well-being yang tinggi.
Uraian di atas menunjukkan tingginya dukungan sosial yang diterima individu akan mampu meningkatkan subjective well-being. Sebaliknya, rendahnya dukungan sosial yang diterima individu akan mampu menurunkan subjective well- being individu.
E. Kerangka Pemikiran
H 2
H 1
H 3
Gambar 2.
Kerangka Pemikiran Hubungan Regulasi Emosi dan Dukungan Sosial dengan Subjective Well-Being pada Yogini di Hatha Yoga Ganep’s
Panah H1 (Hipotesis 1) menggambarkan adanya hubungan antara regulasi emosi dan dukungan sosial terhadap subjective well-being pada yogini di Hatha Yoga Ganep’s Semakin tinggi regulasi emosi yang dimiliki dan semakin tinggi dukungan sosial yang diterima, maka akan semakin tinggi subjective well-being yang dimiliki yogini.
Panah H2 (Hipotesis 2) menggambarkan adanya hubungan antara regulasi emosi terhadap subjective well-being pada yogini di Hatha Yoga Ganep’s.
Semakin tinggi regulasi emosi yang dimiliki yogini, maka akan semakin tinggi subjective well-being yang dimiliki yogini.
Regulasi Emosi
Dukungan Sosial
Subjective Well-Being
Panah H3 (Hipotesis 3) menggambarkan adanya hubungan antara dukungan sosial terhadap subjective well-being pada yogini di Hatha Yoga Ganep’s.
Semakin tinggi dukungan sosial yang diterima oleh yogini maka akan semakin tinggi subjective well-being yang dimiliki yogini.
F. Hipotesis
Berdasarkan dari landasan teori yang dikemukakan dan analisa teori-teori yang telah dijabarkan sebelumnya, maka hipotesis dari penelitian ini adalah:
1. Terdapat hubungan antara regulasi emosi dan dukungan sosial dengan subjective well-being pada Yogini di Hatha Yoga Ganep’s.
2. Terdapat hubungan antara regulasi emosi dengan subjective well-being pada Yogini di Hatha Yoga Ganep’s.
3. Terdapat hubungan antara dukungan sosial dengan subjective well being pada Yogini di Hatha Yoga Ganep’s.