• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. A. Penelitian Terdahulu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. A. Penelitian Terdahulu"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

10

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

A. Penelitian Terdahulu

Berdasarkan hasil penelusuran yang penulis lakukan di universitas sekitar Solo (UMS, UNS, UNIVET, UNISRI, UGM), diperoleh beberapa penulisan skripsi dengan menggunakan teknik penyutradaraan seperti di bawah ini:

1. Anton Tri Cahyono. C0296012. Konsep Penyutradaraan Ista Bagus Putranto dalam Lakon ”Wabah” Karya Hanindawan. Skripsi Jurusan Sastra Indonesia

Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Objek yang dikaji dalam penelitian ini adalah aspek-aspek formal yang membangun naskah lakon Wabah karya Hanindawan sebagai objek awal untuk menangkap makna, kemudian dilanjutkan dengan mengkaji aspek interpretasi sebagai bekal menyusun konsep penyutradaraan lakon tersebut sebagai bentuk dari proses penyutradaraan Ista Bagus Putranto.

Penelitian ini merupakan hasil dari proses penyutradaraan sutradara Ista Bagus Putranto dengan Teater Kedok Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta yang dilaksanakan pada tanggal 9 Mei 2001 di Aula Fakultas Kedokteran.

Secara keseluruhan, unsur-unsur naskah lakon Wabah mempunyai keterjalinan yang erat antara penokohan, alur, latar, tikaian, tema dan amanat, serta cakapan. Interpretasi sutradara Ista Bagus Putranto yang kreatif dan penggarapan tata panggung, tata lampu, tata rias dan busana, serta tata musik menghasilkan cerita yang menarik saat dipentaskan. Hal ini didukung oleh

(2)

konsep penyutradaraan sutradara Ista Bagus Putranto yang menggunakan metode campuran antara teori Laissez Faire dan Gordon Craig.

2. Janta Setiana. C0200032. Teknik Penyutradaraan Rohmat Basuki dalam Naskah Lakon ”Aum” Karya Putu Wijaya. Skripsi Jurusan Sastra Indonesia

Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Penelitian ini menjawab masalah bagaimana teknik penyutradaraan dan tugas sutradara Rohmat Basuki sebagai bentuk penyutradaraaan terhadap naskah lakon Aum karya Putu Wijaya.

Analisis penelitian ini menggunakan pendekatan teknik penyutradaraan dan tugas sutradara dari Rohmat Basuki selama menyutradarai naskah lakon Aum karya Putu Wijaya sebagai kebutuhan pementasan.

Simpulan dari penelitian ini yaitu teknik penyutradaraan yang dilakukan oleh Rohmat Basuki dalam menyutradarai naskah lakon Aum karya Putu Wijaya.

Kedelapan teknik Rohmat Basuki itu, antara lain: 1) menentukan nada dasar, meliputi: menentukan dan memberikan suasana khusus, membuat lakon gembira menjadi suatu banyolan, mengurangi bobot tragedi yang berlebihan, memberikan prinsip dasar pada lakon, 2) memilih pemain atau pengkastingan, meliputi: casting to type, casting by ability, dan antitype casting, 3) latihan, meliputi olah vokal, olah tubuh, olah rasa, reading, dan blocking, 4) tata teknik dan pentas, meliputi: tata ruang, tata lampu, tata musik, tata rias, dan tata busana, 5) menguatkan dan melemahkan scene, meliputi adegan yang dibuat oleh sutradara Rohmat Basuki dari adegan I sampai XI, 6) menciptakan aspek-aspek laku, dengan pendekatan ketat dan fleksibel, 7) mempengaruhi jiwa pemain, meliputi: observasi, diskusi, dan latihan alam, 8)

(3)

koordinasi, meliputi: mengumpulkan semua yang terlibat, baik para pemain, crew setting, crew ligthing, makeuper, pemusik, dan produksi untuk tumbuh

bersama dalam menyukseskan pertunjukan Aum karya Putu Wijaya ke dalam pertunjukan drama.

Pendekatan yang dilakukan oleh Rohmat Basuki dalam menyutradarai naskah lakon Aum karya Putu Wijaya adalah menggunakan gaya penyutradaraan Laisez Faire dan Gordon Craig. Laisez Faire adalah gaya penyutradraan dengan memberikan kesempatan bagi para pemain untuk lebih mengembangkan dirinya, gaya Laisez faire dilakukan pada para pemain yang memiliki “jam terbang” tinggi dalam pengalaman bermainnya, sedangkan Gordon Craig yaitu gaya penyutradaraan dengan cara-cara ketat, gaya ini digunakan bagi pemain-pemain yang pemula.

Dari penelusuran penulis, teori tentang teknik penyutradaraan hanya digunakan oleh dua orang penulis, yaitu Anton Tri Cahyono dan Janta Setiana, sehingga Teknik Penyutradaraan Budi Riyanto dalam Naskah Lakon

”Keluarga yang Dikuburkan” benar-benar belum diteliti oleh penulis lain.

B. Kajian Pustaka

Teknik penyutradaraan adalah suatu cara seorang sutradara dalam melakonkan perannya untuk mengangkat sebuah naskah lakon ke dalam bentuk pementasan.

Ajib Hamzah berpendapat bahwa “Sutradara ketika berkehendak menyutradarai suatu naskah lakon, keberangkatan naskah lakon itu didukung oleh konsep yang telah dimiliki sebagai hasil kontrak dengan naskah” (1985: 196-197).

(4)

Sementara Suyatna Anirun berpendapat bahwa setiap pagelaran drama selalu bertolak dari pencetusnya ide-ide. Ide-ide yang telah melembaga menjadi suatu gagasan-gagasan itu mengembang menjadi bahasa teater” (1978: 19).

Sutradara adalah orang yang dapat mengaktualisasikan naskah lakon ke dalam panggung pementasan. Sutradara tidak dapat bekerja sendiri. Dalam setiap proses pementasan, sutradara akan berhadapan dengan naskah, aktor, kru panggung, serta penonton. Harymawan menjelaskan bahwa kedudukan seorang sutradara berada di tengah-tengah segitiga, ia bertindak sebagai pusat kekuatan, berikut adalah bagan yang menjelaskan posisi sutradara dalam proses pementasan:

pengarang/ naskah

sutradara

aktor penonton (Harymawan, 1993: 64).

Menurut Suyatna Anirun, ada empat unsur yang mengusung terciptanya sebuah teater yaitu, naskah, pemain, tempat pertunjukan, dan penonton. Semua merupakan satu kesatuan yang meruang, hanya dari sana kita akan mendapat kemungkinan terciptanya atmosfer teateral. Atmosfer tersebut hanya tercita apabila naskah sedang dimainkan, dipertunjukkan dengan tingkat permainan yang optimal, bertenaga dan berpengaruh, diusung oleh kondisi ruangan dan teknik akustik yang memadai sehingga secara visual memungkinkan terjadinya komunikasi estetis maupun emosional dengan penonton (Suyatna Anirun, 2002:

41).

(5)

Seorang sutradara adalah seorang seniman, ia menyiapkan dan merencanakan kerja dan usaha-usaha kreatif untuk dapat menyuguhkan pementasan yang baik, namun sutradara juga menyadari bahwa seni bukan suatu dogma, apa yang diharapkan objektif selalu menjadi subjektif. Hal ini berkaitan dengan citra seseorang terhadap keindahan masing-masing ditentukan oleh sikap dan penalaran yang berbeda-beda.

Teknik penyutradaraan yang digunakan sutradara dalam memunculkan naskah lakon ke atas pangung meliputi beberapa cara, menurut Japi Tambayong, teknik yang digunakan oleh sutradara meliputi “memilih naskah, menentukan pokok penafsiran, memilih pemain, bekerja dengan staff, melatih pemain, dan mengkoordinasi setiap bagian” (1981: 68-70). Sementara Harymawan dalam bukunya berjudul Dramaturgi menguraikan teknik dalam proses penyutradaraan adalah menentukan nada dasar, casting, tata dan teknik pentas, menyusun miss and scene, menguatkan dan melemahkan scene, menciptakan aspek-aspek laku,

dan mempengaruhi jiwa pemain. Adapun penjelasan dari tugas dalam proses sutradara adalah sebagai berikut :

a. Menentukan Nada Dasar

Menentukan nada dasar adalah mencari motif yang memasuki karya lakon dan kemudian memberi ciri kejiwaan dalam suatu perwujudan naskah lakon dasar dapat bersifat sebagaimana berikut:

1). Menentukan dan memberikan suasana khusus.

2). Membuat lakon gembira menjadi suatu banyolan.

3). Mengurangi bobot tragedi yang terlalu berlebihan.

4). Memberikan prinsip dasar pada lakon.

(6)

5). Ringan

b. Menentukan Casting

Yang dimaksud casting ialah proses penuangan untuk menentukan pemeran berdasarkan analisis naskah untuk diwujudkan dalam pentas. Beberapa macam casting yang digunakan sutradara, adalah sebagai berikut:

1). Casting by ability : casting berdasarkan kecakapan yang terbaik dan terpandai sebagai pemeran utama, serta menjadikan pemain dengan tokoh-tokoh yang penting dan sukar.

2). Casting to type : casting berdasarkan kondisi/kesesuaian fisik dengan peran tokoh. Sutradara akan memilih pemainnya yang sesuai dalam memerankan tokoh dengan melihat kesesuaian fisik pemain dengan tokoh yang akan dilakoninya.

3). Antitype casting : casting yang agak bertentangan dengan keadaan watak maupun sifat pemeran dalam memerankan tokoh yang akan dimainkannya. Proses pengcastingan dengan model ini akan membuat pemain lebih mengeksplor dirinya.

4). Casting to emotional temperament: casting berdasarkan pada hasil observasi hidup pribadi, adanya kesamaan/kesesuaian dengan peran yang dimainkan dalam hal emosi dan temperamen. Pada tipe pengkastingan gaya emotional

(7)

temperament, sutradara akan lebih mudah menggarap para

pemainnya karena pemain memiliki kemiripan kondisi keseharian dengan tokoh yang dilakoninya.

5). Therapeutic casting: casting yang dikemukakan untuk seorang pelaku yang bertentangan sekali watak aslinya dengan maksud menyembuhkan atau terapi mengurangi ketakseimbangan jiwanya. Pada tipe penyutradaraan gaya therapeutic casting, sutradara sudah mencapai tahapan suhu

di mana ia mengerti betul kondisi para pemainnya dan berusaha untuk menyeimbangkan kondisi kejiwaan para pemainnya.

Dalam melakukan casting, sutradara harus memilih pemain atau orang yang sesuai untuk memainkan tokoh yang dimaksud. Kesesuaian itu berdasar pada fisik, karakter, warna suara, temperamen kesehariannya, dan mungkin juga pengalaman atau ““jam terbang””

yang dimilikinya dalam dunia panggung atau seni peran.

c. Tata dan Teknik Pentas

Tata dan teknis pentas adalah segala yang menyangkut soal tata setting, tata rias dan busana, tata cahaya dan tata musik, kesemuanya

disesuaikan dengan nada dasar. Dalam merencanakan tata pentas, seorang sutradara mempunyai konsep mengenai tata pentas sebuah lakon yang akan disutradarainya, yang memberikan gambaran mengenai tata setting, tata rias dan busana, tata cahaya, dan tata musiknya.

(8)

Pelaksanaan tata pentas ini dikerjakan oleh pekerja panggung, seperti penata setting, perias dan penata kostum, penata lampu dan penata musik. Hubungan sutradara dengan pekerja panggung tersebut, sutradara hanya memberikan konsep tata pentas secara garis besarnya saja, dan pekerja panggung mengerjakan menurut konsep tata pentas sutradara.

d. Menyusun Miss en Scene

Menyusun miss en scene adalah menyusun segala perubahan yang terjadi dan terdapat pada daerah pemain akibat adanya perpindahan pemeran atas perlengkapan panggung, pemberian bentuk bisa dicapai dengan hal-hal berikut :

1). Sikap pemain 2). Pengelompokan

3). Pembagian Tempat Kedudukan Para Pelaku 4). Variasi Saat Keluar dan Masuk

5). Variasi Posisi dari Dua Pemain yang Berhadap-hadapan 6). Komposisi dengan Menggunakan Garis dalam Penempatan

Pelaku

7). Ekspresi Kontras dalam Pakaian Pemeran 8). Efek yang Ditimbulkan oleh Tata Sinar Lampu 9). Memperhatikan Latar Belakang Pentas

10). Keseimbangan dalam Komposisi Pentas 11). Dekorasi

(9)

Dalam menyusun miss en scene, sutradara akan menjumpai permasalahan mengenai bahasa naskah yang diangkat ke bahasa panggung, yang lazim disebut tekstur. Bahasa panggung atau tekstur meliputi, tata pentas, action, blocking, dan mood. Tata pentas meliputi aksi dan reaksi yang dilakukan oleh tokoh atau pelaku di panggung;

baik dalam bentuk gesture (gerak isyarat), business (kesibukan), dan movement (gerak berpindah tempat). Adapun blocking meliputi

pengelompokkan pemain, pembagian tempat kedudukan pemain, variasi saat keluar dan masuk panggung, keseimbangan dalam komposisi dengan menggunakan garis dalam penempatan pelaku. Mood merupakan suasana jiwa yang tercipta atau diciptakan dalam setiap babak atau adegan.

e. Menguatkan atau Melunakkan Scene

Teknik ini adalah cara penggarapan suatu lakon yang dituangkan pada bagian-bagian adegan lakon. Sutradara bebas menentukan tekanan pada bagian-bagian lakon menurut pandangannya sendiri tanpa mengubah naskah. Kondisi penguatan dan pelunakan scene bisa didukung dengan efek cahaya dan musikalitas.

f. Menciptakan Aspek-aspek Laku

Sutradara memberikan saran-saran pada para aktor agar mereka menciptakan apa yang disebut laku simbolik atau akting kreatif, yaitu cara berperan yang biasanya tidak terdapat dalam instruksi naskah, tetapi diciptakan untuk memperkaya permainan, sehingga penonton lebih jelas dengan kondisi batin seorang pemeran.

(10)

g. Mempengaruhi Jiwa Pemain

Ada dua macam kedudukan sutradara sebagai penggarap cerita lakon:

1). Ciri Sutradara Teknikus

Dia akan menciptakan suatu pagelaran pentas yang menyolok dan menarik perhatian publik dengan teknik dekor yang luar biasa, tata sinar yang mewujudkan kostum yang menarik. Penyutradaraan teknikus terkesan mengelabuhi penonton dengan tampilan secara visual tanpa memahami unsur keaktorannya yang notabene sebagai media penyampai suatu maksud dari teks drama.

2). Ciri Sutradara Psikolog

Gaya sutradara psikologi memang kurang memperhatikan aspek selain keaktoran karena dalam penggambaran watak dia akan lebih mengutamakan tekanan psikologis, khususnya pada cara acting yang murni ketika prestasi permainan pribadi ditempatkan dalam arti sebenarnya. Jadi aspek di luar wilayah keaktoran agak dikesampingkan.

h. Koordinasi

Sutradara memerlukan koordinasi dengan semua pihak yang berhubungan dengan proses pementasan.

Dalam sebuah proses penggarapan suatu naskah lakon, seorang sutradara harus mampu memilih jalur yang akan dipilihnya untuk menjalankan penyutradaraannya. Jalur yang dipilihnya akan menjadi pedoman

(11)

kepemimpinannya dan menentukan tindakan yang akan diambilnya dalam sebuah proses tersebut. Japi Tambayong membagi kepemimpinan seorang sutradara, antara lain sebagai berikut :

a. Sutradara Konseptor: sutradara, tak pelak, adalah dengan sendirinya konseptor. Tetapi, seorang sutradara konseptor, berdiri sebagai pemegang konsep penafsiran yang ketat. Ia menyerahkan konsep penafsirannya pada para pemain, dan dibiarkannya pemain-pemain itu mengembangankan konsep itu secara kreatif, tetapi juga terikat.

b. Sutradara Koordinator: jika sebuah pertunjukan bersifat komersial, tentu aktor-aktor yang dipilih bermain adalah aktor-aktor ternama, atau paling tidak aktor-aktor yang sudah jadi. Mereka dipakai dan dibayar.

Tugas sutradara disini, kuran lebih adalah pengarah. Ia tinggal mengkoordinasi pemain-pemain itu dengan konsep penafsirannya.

c. Sutradara Diktator, sutradara di sini tidak percaya pada pemain- pemainnya. Ia menjadi guru yang mengharapkan pemainnya dicetak persis seperti dirinya. Baginya tidak berlaku konsep penafsiran dua arah seperti sutradara konseptor. Ia mendambakan seni sebagai dirinya, “seni adalah aku”. Pemain-pemainnya tetap buta tuli, mereka hanya dibuat robot.

d. Sutradara Suhu: untuk Indonesia, barangkali pedoman sutradara sebagai suhu, amat diperlukan bagi pembangunan jangka panjang. Sutradara adalah seorang suhu, yang mengamalkan ilmu bersamaan dengan mengasuh batin anggota pemainnya. Kelompok teaternya dibuat seperti sebuah padepokan. Ada masanya belajar bersama-sama, ada masanya membangkang dan menyanggah guru, lalu ada masanya berdiri sendiri.

Para aktor diberi keyakinan, bahwa mereka adalah cantrik-cantrik yang kelak harus hadir dengan dirinya sendiri, melawan secara jantan kepada pemimpinnya. Jantan di sini berarti, ilmunya telah benar-benar mustaid.

(Japi Tambayong, 1981: 73-74).

Menurut Nano Riantiarno, dalam dunia penyutradaraan, tercatat ada empat jenis “gaya” sutradara. Semua berkaitan erat dengan perilaku atau perangainya sebagai seorang manusia. “gaya” dari sutradara tersebut yaitu sebagai berikut :

a) Sutradara Pemarah

Dalam dunia penggarapan, banyak sutradara yang mengikuti

“gaya” ini. Hal ini disebabkan karena adanya suatu pengertian bahwa seorang sutradara marah-marah untuk menghasilkan hasil yang optimal.

(12)

Sutradara pemarah sulit sekali untuk menjalin komunikasi yang baik dengan para pekerja panggung dan pemain-pemainnya. Padahal kerja panggung dalam suatu proses merupkan suatu kerja bersama. Dunia kesenian bagi sutradara pemarah makin lama akan makin sempit. Dia akan kehilangan banyak momen berharga.

b) Sutradara Pendiam

Gaya jenis ini juga memiliki banyak pengikut. Sutradara jenis ini biasanya lebih suka bekerja sendirian. Dia kurang gemar memerintah atau berpetuah, tapi lebih suka langsung memberi contoh. Harapannya, semoga yang lain tak enak hati dan mau bekerja lebih optimal pada masing-masing bidangnya. Sutradara jenis ini dapat menjadi bumerang bagi proses pementasan tersebut. Hal ini akan membuat orang yang ikut dalam proses pementasannya akan bertindak seenaknya.

c) Sutradara Cerewet

Biasanya seorang sutradara yang cerewet menyimpan niat untuk membuat hasil kerjanya jadi sesempurna mungkin. Dia suka menganggap para pekerjanya adalah orang-orang yang bodoh yang harus selalu digiring dan wajib diberitahu hingga hal-hal paling detil. Perkembangan pekerjaan harus berasal dari dirinya saja. Pertimbangan orang lain kurang dihargai, dan semua keputusan harus atas ijinnya.

Sutradara jenis ini mengatur sampai pada hal sekecil apapun. Ia ingin semua berjalan seperti keinginannya.

d) Sutradara Romantis

(13)

Sutradara jenis ini entah mengapa selalu ingin memacari para pemainnya. Ia ingin merasa lebih dekat dengan pemainnya. Sutradara ini merasa bahwa kedekatan antara dirinya dengan aktor akan mempermudah dalam memberikan petunjuk maupun instruksi-instruksi meskipun hal tersebut tentunya mempunyai benberapa kendala seperti mengesampingkan profesionalismenya sebagai seorang sutradara.

Hal yang berbeda dikemukakan oleh Harymawan dalam bukunya, dramaturgi. Menurut Harymawan, terdapat dua gaya sutradara, yaitu gaya Gordon Craig dan Gaya Laisez Faire. Gordon Craig menyatakan bahwa ide dan gagasan seorang sutradara harus dilaksanakan oleh para aktor. para aktor harus mendedikasikan dirinya pada ide-ide sutradara. Gaya Gordon Craig ini menciptakan sesuatu yang sesuai dengan harapan sutradara, sempurna, dan teliti, namun gaya ini akan menjadikan seorang sutradara terkesan diktator. Gaya Laisez Faire merupakan kebalikan dari Gordon Craig. Sutradara memberikan kesempatan bagi para aktornya untuk lebih leluasa berekspresi. Sutradara bertindak sebagai pendamping, namun hal ini akan menimbulkan adanya kekacauan dan kurang teratur karena tiap-tiap aktor dibiarkan berkembang menurut kemampuannya, sehingga hanya aktor-aktor yang berpengalaman saja yang dapat menghadirkan pementasan yang baik.

Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa penyutradaraan sebuah naskah lakon berangkat dari suatu konsep penyutradaraan yang didapat oleh seorang sutradara untuk memvisualisasikan suatu naskah lakon ke atas panggung, dalam hal ini seorang sutradara harus mempunyai pedoman dalam sebuah proses penggarapan.

(14)

Teknik penyutradaraan merupakan cara yang digunakan oleh sutradara dalam mengangkat naskah lakon yang ia pilih menjadi sebuah pementasan. Gaya yang digunakan oleh seorang sutradara akan dapat mempengaruhi bagaimana bentuk pementasan yang akan ditampilkan di atas panggung.

Beberapa teori tersebut di atas akan dipakai sebagai dasar atau landasan dalam memecahkan permasalahan dalam penelitian ini.

C. Kerangka Pikir

Berdasarkan kerangka berpikir tersebut di atas akan mempermudah mengungkap permasalahan yaitu tentang teknik penyutradaraan sutradara Budi

Teknik Penyutradaraan Budi Riyanto

Menentukan nada dasar

Menentukan casting/pemeranan

Latihan

Tata dan Teknik Pentas

Menguatkan atau Melemahkan

Scene

Menciptakan Aspek-aspek

Laku

Mempengaruhi Jiwa Pemain

Koordinasi

Gaya Penyutradaraan Laisez Faire dan Gordon Craig

(15)

Riyanto terhadap naskah lakon “Keluarga yang dikuburkan” karya Afrizal Malna.

Teknik penyutradaraan yang diterapkan oleh Budi Riyanto meliputi delapan langkah, yaitu: menentukan nada dasar, menentukan casting/ pemeranan, latihan (terdiri dari olah vokal, olah tubuh, olah rasa, reading, blocking), tata dan teknik pentas (tata setting/ruang, tata lampu, tata rias dan busana, dan tata musik), menguatkan atau melemahkan scene, menciptakan aspek-aspek laku, mempengaruhi jiwa pemain, dan koordinasi.

Budi Riyanto menggunakan gaya penyutradaraan Laisez Faire dan Gordon Craig. Teori Gordon Craig menyatakan bahwa ide gagasan dari sutradara harus dipatuhi dengan mutlak, para pemain harus mendedikasikan dirinya terhadap ide sutradara. Gaya penyutradaraan ini biasanya digunakan Budi Riyanto untuk berproses dengan pemain-pemain pemula/ baru. Pemain pemula/ baru disini dilihat dari lamanya ia bergabung dengan teater TESA (mahasiswa baru).

Sedangkan teori Laisez Faire adalah suatu gaya penyutradaraan yang memberikan suatu kebebasan bagi pemain untuk mengekspresikan dirinya.

Referensi

Dokumen terkait

Alasan yang bersifat yuridis dari penundaan tersebut adalah kebijakan presiden yang berlandaskan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik

Dari 2 (dua ) kasus diatas dapat dilihat bahwa Jaksa Penuntut Umum yang menanganinya ialah Jaksa Penuntut Umum yang berbeda. Dalam kasus Anak pertama ditangani oleh Jaksa Penuntut

This  study  was  aimed  to  propose  the  instructional  materials  on  short  functional  texts  for  Senior  High  School  students  grade  X.  The  problem  of 

Apa yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana dan rehabilitasi terhadap pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkotika.. Pembahasan dan

[r]

Sleman, dan utara Kota Yogyakarta) dengan curah hujan lebih besar dari.. Mata air yang mempunyai

Korupsi merupakan tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas resmi suatu jabatan negara karena keuntungan status atau uang yang menyangkut pribadi (perorangan, keluarga

Mara Tulus Maruba Simanjuntak, 2009, Koordinasi Kejaksaan dengan komisi pemberantasan korupsi dalam penyidikan tindak pidana korupsi, Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya