Analisis Pemahaman Kepo (
Knowing Every Particular Object
)Di Kalangan Mahasiswa
Pranajaya
Program Studi Ilmu Perpustakaan Fakultas Teknologi Informasi
Universitas YARSI PENDAHULUAN
Rasa ingin tahu merupakan fitrah dari Allah SWT karena manusia merupakan makhluk sosial yang tidak bisa terpisah dari lingkungannya. Hal ini juga ditegaskan dalam Al‐Qur’an, Surat Al‐Alaq ayat 1‐5 yang salah satu pengertiannya adalah membaca sudah menunjukkan bahwa kita sebagai manusia harus terus belajar mencari tahu. Rasa ingin tahu yang dimiliki manusia telah membawa manusia mampu menjelajah rahasia alam (Sulistyo‐Basuki,2006, hlm.16).
Perkembangan teknologi informasi yang begitu massif telah menyebabkan terjadinya ledakan informasi. Akibatnya, banyak informasi yang selalu ingin diketahui oleh manusia. Namun tidak semua informasi yang dihasilkan oleh teknologi informasi merupakan informasi yang valid.
Kendati demikian, keingintahuan yang kuat tentang suatu konten informasi tersebut ternyata begitu digandrungi oleh banyak orang.
Di kalangan mahasiswa, rasa selalu ingin tahu pada umunya dikarenakan takut ketinggalan informasi. Fenomena ini sering diistilahkan dengan sebutan KEPO atau kepanjangan dari Knowing Every Particular Object. Di kalangan mahasiwa, fenomena Kepo seperti mewabah yang seringkali menjadi ha‐hal yang tidak menyenangkan. Bahkan adakalanya bisa menjadi masalah sosial karena istilah Kepo diartikan secara negatif.
Seseorang yang Kepo sering diartikan sebagai orang yang ingin tahu atau sok tahu banget, atau selalu ingin tahu urusan orang lain. Dengan kata lain, Kepo mengarah pada sifat ingin tahu dengan segala yang ada disekitarnya, khususnya, urusan orangsecara berlebihan (KEPO, https://id.crowdvoice.com).
brought to you by CORE View metadata, citation and similar papers at core.ac.uk
provided by Universitas Terbuka Repository
Kata kepo juga berasal dari kata Kaypoh. Bahasa Hokkien yang banyak dipakai di Singapura dan sekitarnya yang artinya selalu ingin tahu, mencampuri urusan orang lain, dan nggak bisa diam. Kata ini juga punya konotasi yang negatif (KEPO, http://www.urbandictionary.com).
Munculnya pemahaman semacam ini dalam masyarakat telah mendorong saya untuk meneliti pemahaman mahasiswa terhadap konseo dan fenomena Kepo. Studi ini difokuskan pada para mahasiswa Program Studi Ilmu Perpustakaan Fakultas Teknologi Informasi Universitas YARSI di Jakarta.
Kepo dan Jejaring Sosial
Esensi dari media sosial adalah memudahkan kita untuk menjalin komunikasi dengan teman‐teman kita yang jauh, atau malah menemukan teman‐teman baru. Dalam keterangan lain, Kepo yang merupakan akronim dari Knowing Every Particular Object adalah sebutan untuk orang yang serba ingin tahu detail dari sesuatu, apapun yang lewat di hadapannya selama itu terlihat oleh matanya walaupun hanya sekelebat. Dalam beberapa kasus orang kepo adalah orang yang serba ingin tahu, bisa jadi seperti semacam kecanduan untuk tahu segala hal yang sepele dan itu bisa dia unggulkan sebagai kekuatan orang tersebut. Kepo memiliki beberapa dampak positif dan beberapa dampak negative.Dampak positif Kepo antara lain: lebih peduli terhadap lingkungan sekitar, menambah pengetahuan, menghasilkan uang, dan menemukan orang‐orang baru. Sementara itu, dampak negatif dari Kepo meliputi: menjadi sombong akan pengetahuan yang didapatkan, terlalu mencampuri urusan orang lain, dan penyalahgunaan pengetahuan yang didapat untuk membodohi orang lain.
Menurut Weingus (2014),ada lima manfaat dari rasa ingin tahu seseorang, yaitu:
1. Dapat mempererat hubungan, rasa ingin tahu tentang seseorang dan dunia di sekitar kitaakan membuat kehidupan sosial kita bertambah kaya. Ketika menunjukkan “interest” kita terhadap apa yang disampaikan seseorang kepada kita, lalu kita dapat mendiskusikannyadan seseorang tersebut akhirnya akan merasa
“enjoy” menghabisi waktu dengan kita.
2. Bisa membantu melindungi pemikiran atau otak kita, menunda atau menangguhkan mental kita tetap aktif akan memastikan
pemikiran atau otak kita tetap baik. ‘Staying mentally active is definitely good for your brain’.
3. Dapat membantu mengatasi kecemasan, rasa ingin tahu juga bisa menghilangkan rasa cemas. Rasa ingin tahu kita dan perasaan yang meluap tentang seseorang yang baru memungkinkan akan menghapus rasa cemas . ‘…curiosity and excitement about getting to know an attractive new person might push your anxieties into the background’.
4. Berhubungan dengan rasa bahagia.
5. Membantu kita dalam mempelajari banyak hal. ‘It can help you learn pretty much anything…it’s much easier to learn not‐so‐
interesting things when our curiosity is piqued’
Sementara itu, rasa ingin tahu seseorang juga dianggap sangat penting.
Dalam ranah pendidikan, rasa ingin tahu (curiosity) dipandang sebagai suatu hal yang positif sebab bisa memotivasi seseorang untuk belajar (Gentry, 2014). Beberapa alasan tentang pentingnya rasa ingin tahu adalah:
1. Bisa membuat pikiran atau otak kita menjadi aktif, seseorang yang selalu ingin tahu akan selalu bertanya.Pikirannya selalu aktif dan akan semakin bertambah kuat melalui latihan‐latihan pertanyaan‐
pertanyaan yang berkesinambungan.’Curious people always ask questions and search for answers. Their minds are always active’.
2. Bisa membuat pikiran menjadi lebih tajam karena selalu menemukan ide‐ide baru akibat dari rasa selalu ingin tahu.’When you are curious about something, your mind expects and anticipates new ideas related to the subject’.
3. Bisa membuka kemungkinan‐kemungkinan dan dunia baru. ‘By being curious you willbe able to see new worlds and possibilities that are normally not visible’.
4. Bisa membuat hidup penuh dengan kegembiraan jauh dari kebosanan. ‘It brings excitement into your life the lives of curious people are far from boring’. (The Importance, https://www.andersonuniversity.edu).
Menurut studi yang dilakukan oleh Matthias J.Gruber, Bernard D. Gelman dan Charan Ranganath di University of California di Davis, Kepo ternyata dapat membantu lebih mudah mengingat sesuatu, yakni
a. Mengapa harus Kepo? Karena sesuatu akan mudah diingat jika obyeknya menarik. Untuk membuat sesuatu terlihat menarik, butuh hasrat keingintahuan yang menjadikannya menarik. Jika tidak ada rasa keingintahuan atau kepo, tentu kita tidak ingin mempelajarinya bukan? “Rasa ingin tahu yang besar menjadi faktor utama seseorang menyimpannya dalam memori” begitu ungkap Gruber, Gelman dan Ranganath. Lebih baik lagi ketika kepo dapat kamu lakukan sebelum tidur, karena ketika kamu bangun ingatanmu akan bertambah 2 kali. Contoh, kamu suka sekali dengan drama korea dan menonton serinya sampai habis, saat tertidur memorimu akan mengingat 2 kali dann saat terbangun pasti dirimu terngiang‐ngiang serial drama Korea yang kamu tonton semalam bukan?
b. Saat penasaran itu ada, berilah reward segera untuk memunculkan rasa senang. Bukankah sulit untuk memunculkan rasa ingin tahu?
Jika iya untuk mempertahankannya kamu perlu memberi reward terhadap dirimu sendiri, dengan begitu otak memunculkan enzime dopaminenya. Nantinya Neutrostransmitter akan memunculkan perasaan yang membuat kita baik atau senang. Saat inilah yang baik untuk kita belajar dan memperoleh informasi sebanyak‐
banyaknya dan hal terebut sangat membantu untuk mengingat banyak hal tentang hal yang kita pelajari.
c. Selanjutnya setelah dirimu memiliki rasa ingin tahu dan senang untuk mencari tahunya, otomatis dirimu akan banyak bertanya tentang apa yang kamu pelajari, mengapa demikian? Dari pertanyaan‐pertanyaan tersebut dirimu akan menjawab penasaran dengan mencari jawabannya sendiri. Dalam mencari jawaban ada proses unik karena kalian akan mencoba untuk mengingat kembali.
Saat itulah proses belajar yang efektif. Dengan ketiga langkah ini, kita dapat memotivasi diri sendiri dan memberi imbalan sendiri
dengan menjawab rasa keingintahuan.
(Kepo,http://student.cnnindonesia.com/pelajar).
Jejaring sosial
Perkembangan teknologi yang pesat membawa kita menuju era komunikasi yang semakin mudah, semenjak ditemukannya internet, munculah berbagai jejaring sosial bagi orang‐orang untuk mempermudah
komunikasi jarak jauh yang murah. Mulai dari Friendster, Facebook, Twitter sampai yang sedang popular saat ini, Path. Tapi dalam penggunaan jejaring sosial juga muncul fenomena – fenomena unik yang kejadiannya malah membuat kita menemukan “istilah baru” yang populer dijadikan percakapan sehari‐hari. Sebut saja seperti kata galau, stalking, kepo, psywar, dll. Dan dari beberapa istilah itu salah satunya adalah fenomena kepo (knowing every particular object).
Metode Penelitian dan Ruang Lingkup Studi
Studi ini bertujuan mendeskripsikan analisis tentang perilaku para mahasiswa Program Studi Ilmu Perpustakaan Fakultas Teknologi Informasi Universitas YARSI di Jakarta, dalam memahami konsep kepo. Permasalahan utama yang diangkat dalam studi ini adalah bagaimana tingkat pemahaman para mahasiswa Program Studi Ilmu Perpustakaan Fakultas Teknologi Informasi Universitas YARSI di Jakarta terhadap fenomena kepo, rasa selalu ingin tahu atau penasaran yang belakangan ini sangat marak melanda semua orang tidak terkecuali para mahasiswa.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian survei (Riduwan, 2004, hlm.49) dengan melibatkan 50 mahasiswa program Studi Ilmu Perpustakaan angkatan 2016 sebagai anggota sampel.Instrumen yang digunakan dalam pengumpulan data adalah kuesioner yangmenggunakan skala pengukuran Likert (tabel 1), mulai dari tidak setuju sampai dengan sangat setuju.
Tabel 1. Empat Skala Pengukuran
Sangat Setuju = SS 4
Setuju = S 3
Kurang Setuju = KS 2
Tidak Setuju = TS 1
Hasil Penelitian
Dari 50 buah kuesioner yang dibagikan kepada responden, hanya 30 kuesioner yang terisi dan dapat dianalisis. Deskripsi hasil penelitian adalah sebagai berikut:
1. Karakteristik Responden
Grafik 1: Jenis Kelamin Grafik 2: Asal Angkatan 2016 (30)
Grafik nomor 1 memberikan gambaran bahwa sebagian besar responden berjenis kelamin perempuan yaitu 16 orang (53%), sedangkan yang berjenis kelamin laki‐laki hanya 14 (47%).
Dari grafik 2 tergambar bahwa asal angkatan mahasiswa seluruhnya adalah angkatan 2016 atau 30 orang (100%).
Laki- laki (14
) 47%
Peremp uan (16)
53% 100%
Deskripsi Hasil Studi
Grafik 3: P‐1: Saya pernah
mendengar istilah Kepo
Grafik 4: P‐2: Saya menggunakan media sosial Facebook
Grafik nomor 3 memberikan gambaran bahwa hampir seluruh responden 27 (90%) sudah tahu atau mengenal media sosial.
Sebuah penelitian mencatat bahwa secara global Indonesia termasuk sebagai pengguna media sosial tertinggi sampai‐sampai dijuluki sebagai negara Twitter dan negeri Facebook. ‘This has made Indonesia high on the global list of social media users, being labelled by the media as ‘Twitter Nation’
and ‘Facebook Country’ (Nugroho and Syarief, 2012). Oleh karena itu
Dari grafik 4 terlihat bahwa 21 orang (70%) menyatakan menggunakan media sosial Facebook Sisanya 9 (30%) tidak menggunakan. Data yang dikemukakan oleh Smith dalam Abdulahi; Samadi; Gharleghi (2014), bahwa pengguna
‘Facebook has nearly one billion users worldwide with more than 90% of teens’. Sementara itu sebuah penelitian yang didukung oleh UNICEF sebagai bagian dari SS (18)
60%
S (9) 30%
KS (0) 0%
TS (3) 10%
SS (6) 20%
S (15) 50%
KS (6) 20%
TS (3) 10%
tidaklah heran akibat dari pengaruh perkembangan tersebut menimbulkan dampak terhadap bahasa gaul yang sangat tinggi termasuk lahirnya istilah kepo di kalangan pelajar.
proyek multi‐negara pada program Digital Citizenship Safety, dan dilakukan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Menunjukkan bahwa kebanyakan yang menggunakan internet adalah dari kelompok usia 10 sampai 19 tahun, populasi besar dari 43,5 juta anak‐anak dan
remaja (Studi,
https://www.unicef.org
/indonesia). Sementara itu jumlah pengguna facebook sebagian besar adalah kalangan remaja dilihat dari stastistik pengguna facebook di Indonesia usia 13‐17 dan 18‐24 yang paling banyak menggunakan facebook (Kadir, 2014).
Grafik 5: P‐3: Saya menggunakan
mediasosial Twitter
Grafik 6: P‐4: Saya menggunakan media sosial Instagram
SS (5)
17%
S (13) 43%
KS (7) 23%
TS (5) 17%
SS (17) S (11) 57%
37%
KS (1) 3%
TS (1) 3%
Grafik nomor 5 di atas memberikan gambaran bahwa lebih dari separuh yaitu 60% responden adalah pengguna media sosial Twitter. Selebihnya 12 (40%) adalah sebaliknya. Menurut Kemenkominfo dalam Anasari dan Handoyo (2015), Indonesia menempati urutan ke lima pengguna Twitter terbesar di dunia.
Dari grafik 6 tergambar bahwa 28 orang (94%) menggunakan Instagram, hanya 2 orang (6%) yang tidak menggunakan media sosial Instagram. Walaupun media sosial ini berdasarkan hasil sebuah penelitiandianggap sebagai media sosial yang paling buruk bagi kesehatan mental dan jiwa. Begitu kesimpulan survei yang dilakukan terhadap 1.500 remaja dan orang dewasa muda di Inggris namun nyatanya peminatnya tetap tinggi (Instagram,
http://nationalgeographic.co.id).
Grafik 7: P‐5: Saya suka membuka profil seseorang di salah satu medis sosial
Grafik 8: P‐6: Saya tidak bisa lepas dari telepon seluler
Grafik nomor 7 di atas memberikan
gambaran bahwa sebagian besar responden yaitu 23 (76%)
Dari grafik 8 tergambar bahwa 21 responden (70%) menyatakan tidak bisa lepas dari telepon seluler SS (7)
23%
S (16) 53%
KS (6) 20%
TS (1) 4%
SS (7) 23%
S (14) 47%
KS (8) 27%
TS (1) 3%
menyatakan suka membuka profil seseorang di salah satu media dan alias kepo. Sisanya 7 (24%) adalah sebaliknya.
(ponsel). Sedangkan 9 (30%) menyatakan sebaliknya. Kendati telepon seluler ditenggarai memiliki pengaruh negatif apalagi terhadap para pelajar atau siswa yang notabene merupakan remaja yang belum matang, tetapi penggemarnya cukup besar. ‘Using social media becomes a risk to adolescents more often than most adults realize’.
(O’Keeffe and Clarke‐Pearso, 2011)
Grafik 9: P‐7:Saya selalu meng‐
update status
Grafik 10: P‐8: Saya merasa terganggu jika tidak melihat foto atau video di media sosial
dan tidak mem‐fol1ow
Grafik 9 memberikan gambaran bahwa mayoritas responden 22 (73%) tidak selalu meng‐upload status. Sementara itu sisanya yaitu 7 (27%) selalu meng‐upload status.
Menurut Klap dalam Ayun (2015) identitas meliputi segala hal pada seseorang yang dapat menyatakan secara sah dan dapat dipercaya tentang dirinya sendiri – statusnya, nama, kepribadian, dan masa lalunya. Kegiatan men‐gupdate status merupakan salah satu cara untuk memperlihatkan identitas.
Dari grafik 10 terlihat bahwa sebagian responden yaitu 25 (83%) tidak merasa terganggu jika tidak melihat foto atau video di media sosial dan tidak mem‐follow. Hanya 5 (27%) yang merasa terganggu. Jadi, dengan kata lain mau di‐follow atau tidak maka hal tersebut tidak menjadi masalah. Para ahli menyarankan untuk berhenti membandingkan hidup Anda dengan orang lain, apalagi jika Anda hanya melihat kehidupan SS (3)
10%S (5) 17%
KS (17) 56%
TS (5) 17%
SS (2) 7%S (3) 10%
KS (17) 56%
KS (8) 27%
orang lain melalui media sosial.
Gunakan media sosial hanya untuk hiburan dan mencari informasi semata, dan janganlah terus‐menerus berkomunikasi dengan orang lain melalui media sosial. Komunikasi manusia sebaiknya tetap dilakukan dengan bertatap muka (Awas, http://iradiofm.com).
Grafik 11: P‐9: Saya tidak mau ketinggalan
info atau ingin selalu disebut mengetahui informasi terbaru dan meng‐upload‐ nya di media
sosial
Grafik 12: P‐10: Saya selalu menuliskan lol (laugh out loud
= tertawa terbahak‐
bahak) untuk menanggapi lelucon orang lain
Grafik nomor 9 di atas memberikan
gambaran bahwa 17 responden (57%) menyatakan bahwa mereka tidak mau ketinggalan info atau selalu ingin disebut mengetahui informasi terbaru dan meng‐upload‐
nya di media sosial
Dari grafik 10 dapat dilihat bahwa hanya 12 responden (40%) yang menyatakan setuju bahwa mereka selalu menuliskan lol (laugh out loud = tertawa terbahak‐bahak) untuk menanggapi lelucon orang lain.
18 (60%) menyatakan tidak selalu menuliskan lol.
Kesimpulan
Kepo adalah merupakan salah satu istilah yang lahir akibat dari perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang belakangan ini sudah menggejala terutama di kalangan remaja termasuk para mahasiswa.
SS (4) 13%
S (13) KS (9) 44%
30%
TS (4) 13%
SS (5) 17%
S (7) 23%
KS (10) 33%
TS (8) 27%
Secara umum asalkan tidak berlebihan dan bersifat positif maka jika ditinjau dari sudut psikologi, rasa penasaran, ingin selalu tahu atau Kepo ini bukan hal yang mengganggu. Ketika seseorang sudah terobsesi terhadap sesuatu, dan hal ini menyebabkan terganggunya kegiatan sehari‐hari, seperti misalnya jadi malas belajar dan beraktivitas lainnya maka Kepo harus ditinggalkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 90% responden sudah pernah dengar istilah Kepo. Paling tinggi media sosial yang digunakan responden adalah Instagram (94%) di antara media sosial lainnya yaitu Facebook (70%) dan Twitter (60%). Mayoritas responden (76%) tidak selalu membuka profil seseorang di media sosial. Sebagian besar dari mereka (70%) tidak bisa meninggalkan atau lepas dari telepon seluler (ponsel).
Selanjutnya lebih dari separuh responden yaitu 73 % juga tidak selalu meng‐
update status. Dan 83 % dari seluruh responden tidak merasa terganggu jika tidak melihat foto atau video di media sosial. Namun demikian 83% dari responden merasa tidak mau ketinggalan info atau ingin selalu disebut mengetahui informasi. Ketika ada lelucon di media sosial sebagian besar responden yaitu 60% menyatakan tidak pernah menanggapi dengan menambahkan akronim lol (laugh out loud = tertawa terbahak‐bahak).
Referensi
Anasri, Novi dan Handoyo, Pambudi. (2015). Media Sosial sebagai Panggung Drama (Studi Deskriptif Presentasi Diri Pengguna Twitter di Kalangan Mahasiswa Unesa). Paradigma Volume 03 Nomor 3.
Arikunto. (2002). Penelitian Suatu Pendekatan Khusus. Bina Aksara, Jakarta.
Awas depresi akibat media sosial. Diakses 15 Oktober 2017 dari http://iradiofm.com,
Ayun, Primada Qurrota. (2015). Fenomena Remaja Menggunakan Media Sosial dalam Membentuk Identitas. Channel, Oktober, Vol. 3, No. 2, hal.
1‐16
Genry, James W [et.al.]. (2014). Managing The Curiosity Gap Does Matter:
What Do We Need To Do
...https://journals.tdl.org/absel/index.php/absel/article/view/751 diakses 14 Oktober 2017
The Importance of Being…Curious. Diakses pada 14 Oktober 2017 dari https://www.andersonuniversity.edu/sites/default/files/student‐
success/importance‐of‐being‐curious.pdf.
Instagram Jadi Media Sosial Paling Buruk bagi Kesehatan Mental. Diakses 15 Oktober 2017 dari http://nationalgeographic.co.id/berita/2017/07, Ismayati, Nita. (2017). Hasil Wawancara di Universitas YARSI Jakart pada 7
Agustus 2017.
Kadir, Latifa. (2014). Motif Remaja terhadap penggunaan Situs jejaring Facebook (Siswa SMKNegeri 7 Samarinda). eJournal Ilmu Komunikasi, 2 (4): 53‐63.
KEPO. Diakses 25 April 2017 dari https://id.crowdvoice.com
Kepo. Diakses 25 April 2017 dari
http://www.urbandictionary.com/define.php?term
KEPO. Diakses 25 April 2017 dari https://crimsonstrawberry.wordpress.com/2013/07/14/kepo/
Kepo Dapat Menstimulus Ingatan. Diakses 25 April 2017 dari http://student.cnnindonesia.com/pelajar/20160324132114‐317‐
11945/kepo‐dapat‐menstimulus‐ingatan/.
Nugroho, Yanuar and Sofie Shinta. (2012). Beyond Click‐Activism? New Media and Political Processes in Contemporary Indonesia. Friedrich‐
Ebert‐Stiftung (FES), Berlin.
O'Keeffe, Gwenn Schurgin and Clarke‐Pearso, Kathleen. (2011). The Impact of Social Media on Children, Adolescents, and Families. Pediatrics. April, VOLUME 127 / ISSUE 4
Riduwan. (2004). Metode & Teknik Menyusun Tesis. Alfabeta, Bandung Sulistyo‐Basuki. (2006). Metode Penelitian. Wedatama Widya Sastra‐
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI.Depok.
Weingus, Leigh. (2014).5 Benefits of Being A Curious Person. Diakses 14 Oktober2017 dari https://www.huffingtonpost.com.