• Tidak ada hasil yang ditemukan

JURNAL OLEH: PESTA PARJAGAL LUMBANBATU DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "JURNAL OLEH: PESTA PARJAGAL LUMBANBATU DEPARTEMEN HUKUM PIDANA"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

1

PUTUSAN NOMOR 15/PID.SUS-PRK/2016/PN.MDN DAN PUTUSAN PENGADILAN TINGGI NOMOR 561/PID.SUS.PRK/2016/PT-MDN)

JURNAL

OLEH:

PESTA PARJAGAL LUMBANBATU 150200288

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

Dosen Pembimbing I: Prof. Dr. Ediwarman, S.H., M.Hum Dosen Pembimbing II: Liza Erwina, S.H., M.Hum

Email: Pestalumbanbatu96@gmail.com

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2019

(2)

2

(3)

3 A. Data Pribadi

Nama Lengkap Pesta Parjagal Lumbanbatu

Jenis Kelamin Laki-Laki

Tempat, Tanggal Lahir Medan, 11 November 1996 Kewarganegaraan Indonesia

Status Belum Menikah

Identitas

Agama Kristen Protestan Alamat Jalan Sisingamangaraja

Gang Kasih Nomor 4A, Medan

No. Telpon 081365778187

Email Pestalumbanbatu96@gmail.c om

B. Pendidikan Formal

Tahun Institusi Pendidikan Jurusan IPK 2003-2009 SD SWASTA METHODIST-2

MEDAN - -

2009-2012 SMP SWASTA METHODIST-2

MEDAN - -

2012-2015 SMA SWASTA METHODIST-2

MEDAN IPS -

2015-2019 Universitas Sumatera Utara Hukum 3,78

C. Data Orang Tua

Nama Ayah/Ibu Rosintan Manullang Pekerjaan Ibu Rumah Tangga

Alamat Jalan Sisingamangara Gang Kasih Nomor 4 A, Medan

(4)

i

PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA WARGA NEGARA ASING DALAM TINDAK PIDANA PERIKANAN DI KAWASAN SELAT MALAKA (STUDI PUTUSAN NOMOR 15/PID.SUS-PRK/2016/PN.MDN

DAN PUTUSAN PENGADILAN TINGGI NOMOR 561/PID.SUS.PRK/2016/PT-MDN)

ABSTRAK

Pesta Parjagal Lumbanbatu, Ediwarman, Liza Erwina*

Selat Malaka merupakan salah satu jalur pelayaran terpenting di dunia, sama pentingnya seperti Terusan Suez atau Terusan Panama. Tentunya, tindak pidana perikanan pun sering terjadi di Selat Malaka. Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini, yaitu bagaimana penerapan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan oleh penegak hukum di Selat Malaka, lalu apa faktor penyebab terjadinya tindak pidana perikanan oleh Warga Negara Asing dari perspektif krimonologi, serta bagaimana kebijakan kriminal oleh penegak hukum mengatasi tindak pidana perikanan di Selat Malaka. Penelitian ini merupakan penelitian hukum empiris-normatif yaitu pengumpulan data primer dan data sekunder dengan penelitian kepustakaan. Hasil penelitian dianalisis secara kualitatif yaitu dengan mengumpulkan, mempelajari, dan memahami data yang akan menghasilkan data deskriptif analitis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaturan sanksi tindak pidana perikanan terdapat pada Pasal 84 sampai Pasal 100 C Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Adapun faktor internal (usia dan jenis kelamin) dan faktor eksternal (kondisi geografis Selat Malaka) merupakan faktor yang menyebabkan terjadinya tindak pidana perikanan. Upaya penal (pemidanaan) serta non penal (pengawasan oleh instansi terkait) sudah diterapkan pemerintah untuk menanggulangi tindak pidana perikanan oleh warga negara asing.

Kata Kunci : Tindak Pidana Perikanan, Warga Negara Asing, Kriminologi.

1

* Departemen Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, Indonesia

(5)

ii

NUMBER 15/PID.SUS-PRK/2016/PN.MDN AND SENTENCE OF HIGH COURT NUMBER 561/PID.SUS.PRK/2016/PT-MDN)

ABSTRACT

Pesta Parjagal Lumbanbatu, Ediwarman, Liza Erwina*

The Malacca Strait is one of the most important shipping lanes in the world, as important as the Suez Canal and the Panama Canal. For that reason, fisheries crimes often occur in the Straits of Malacca. The problems discussed in this research are namely how to apply Law No. 45 of 2009 concerning Amendments to Law No. 31 of 2004 concerning Fisheries by the law enforcers in the Malacca Strait, then the factors causing the occurrence of fishery crimes by foreign citizens from a criminological perspective, as well as how criminal policies by the law enforcers in dealing with fisheries criminal offenses in the Malacca Strait. This research is an empirical-normative law research, which is done by collecting primary and secondary data through library research. The results of the study were analyzed quantitatively by collecting, studying, and understanding data that would produce analytical descriptive data. Research results showed that the regulation of fisheries criminal sanctions contained in Article 84 to Article 100 c of Law Number 45 of 2009 concerning Amendments to Law No. 31 of 2004 concerning Fisheries. The internal factors (age and gender) and external factors (geographical conditions of the Malacca Strait) are factors that cause fisheries crime. Penal (criminal) and non-penal (oversight by related agencies) efforts have been implemented by the government to tackle fisheries criminal offenses by foreign citizens.

Keyword : Fisheries Crimes, Foreign Citizens, Criminology

* Department of Criminal Law, Faculty of Law, University of Sumatera Utara, Medan, Indonesia

(6)

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Hal itu sebagaimana perintah dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada Pasal 33 ayat (3).2

Salah satu bidang Sumber Daya Alam yang menjadi perhatian oleh negara adalah bidang perikanan. Hal ini disebabkan ketergantungan manusia terhadap laut sebagai salah satu sumber daya kehidupan yang memiliki potensi yang cukup besar untuk memenuhi kebutuhan manusia.3

Indonesia adalah negara kepulauan (archipelago state). Indonesia terbentang dari Sabang sampai Merauke dengan jumlah pulau sebanyak 17.508 pulau dengan panjang pantai 81.000 km2 yang terdiri atas 0,3 juta km2 (5,17%) wilayah laut teritorial, 2,8 juta km2 (48,28%) wilayah perairan kepulauan, serta 2,7 juta km2 (46,55%) wilayah Zona Ekonomi Eksklusif.4 Diantara pulau-pulau tersebut, terdapat selat yang merupakan wilayah perairan yang relatif sempit yang menghubungkan dua permukaan datar.

Salah satu selat yang terkenal di Asia Tenggara adalah Selat Malaka. Selat Malaka adalah sebuat selat yang terletak di antara Semenanjung Malaysia dan Pulau Sumatera, Indonesia. Dari segi ekonomi dan strategis, Selat Malaka merupakan salah satu jalur pelayaran terpenting di dunia. Sebanyak 50.000 kapal

2 Zaidar, Dasar Filosofi Hukum Agraria Indonesia, (Medan : Pustaka Bangsa Press, 2016), hlm. 52.

3 Hasjim Djalal, Perjuangan Indonesia di Bidang Hukum Laut, (Bandung : Bina Cipta, 1979), hlm. 1.

4 Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman RI, Penggantian dan Pembaharuan Perundang-Undangan Kolonial Menjadi Nasional (Stb. 1939 No. 442 Territoriale Zee En Maritieme Kringen Ordonantie), (Jakarta, 1996/1997), hlm. 1.

(7)

melintasi Selat Malaka setiap tahunnya, mengangkut antara seperlima dan seperempat perdagangan laut dunia.5

Tidak tertutup kemungkinan bahwa yang melakukan tindak pidana perikanan di wilayah Selat Malaka adalah Warga Negara Asing. Kejahatan oleh Warga Negara Asing di wilayah Selat Malaka dapat merusak sumber daya perikanan, ekosistem laut, perekonomian, dan sosial masyarakat sehingga perlu ditangani secara terpadu. Hal tersebut terus terjadi meskipun pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan RI Nomor 37/Permen- KP/2017 Tentang Standar Operasional Prosedur Penegakan Hukum Satuan Tugas Pemberantasan Penangkapan Ikan Secara Illegal (Illegal Fishing).

5 https://id.wikipedia.org/wiki/Selat_Malaka diakses pada tanggal 5 Mei 2019 Pukul 09.00 WIB.

(8)

3

Melihat keadaan bahwa begitu banyaknya aktivitas di Selat Malaka yang dilakukan oleh beberapa negara, membuat perlu dilakukan pengawasan dan penegakan hukum terhadap setiap perbuatan yang bertentangan dengan hukum.

Ini disebabkan karena banyaknya tindak pidana perikanan yang terjadi di Kawasan Selat Malaka tersebut. Pengawasan dan penegakan hukum yang ekstra sangat diperlukan guna menjaga sumber daya alam Indonesia agar keberlangsungannya terus berkesinambungan.

Bergerak dari situasi tersebut, setiap tindak pidana yang terjadi tentu dapat dimintai pertanggung jawaban pidana. Pertanggung jawaban pidana mengandung makna bahwa setiap orang yang melakukan tindak pidana atau melawan hukum sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang, maka orang tersebut patut mempertanggung jawabkan perbuatan sesuai dengan kesalahannya.6

Tidak tertutup kemungkinan bahwa yang melakukan tindak pidana perikanan di wilayah Selat Malaka adalah Warga Negara Asing, kejahatan oleh Warga Negara Asing di Selat Malaka dapat merusak sumber daya perikanan, ekosistem laut, perekonomian, dan sosial masyarakat sehingga perlu ditangani secara terpadu. Hal tersebut terus terjadi meskipun pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan RI Nomor 37/Permen-KP/2017 Tentang Standar Operasional Prosedur Penegakan Hukum Satuan Tugas Pemberantasan Penangkapan Ikan Secara Ilegal (Illegal Fishing).

Dengan melihat fenomena dimana Warga Negara Asing tidak jera-jera atau tidak menghormati hukum di Indonesia, maka perlu dibahas mengenai tindak pidana perikanan di Selat Malaka dewasa ini ditinjau dari segi kriminologi yang menguraikan faktor-faktor penyebab terjadinya Tindak Pidana Perikanan berdasarkan Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 15/Pid.Sus- PRK/2016/PN.Mdn dan Putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor 561.PID.SUS- PRK/2016/PT-MDN dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan guna melihat bagaimana fungsi Undang-Undang tersebut serta

6 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Cetakan ke-9, (Jakarta : Rineka Cipta, 2015), hlm. 41.

(9)

kebijakan kriminal yang diambil oleh penegak hukum untuk mengatasi tindak pidana perikanan di Selat Malaka.

B. Rumusan Masalah

Adapun permasalahan yang akan dibahas antara lain :

1. Bagaimana pengaturan hukum tentang tindak pidana perikanan?

2. Bagaimana faktor penyebab terjadinya tindak pidana perikanan oleh Warga Negara Asing dari perspektif kriminologi?

3. Bagaimana kebijakan kriminal oleh penegak hukum untuk mengatasi tindak pidana perikanan di Selat Malaka (Studi Putusan Nomor 15/PID.SUS-PRK/2016/PN.MDN dan Putusan Nomor 561/PID.SUS.PRK/2016.PT-MDN)?

(10)

5

II. HASIL PENELITIAN

A. Pengaturan Hukum Tentang Tindak Pidana Perikanan

1. Ketentuan Yang Mengatur Tentang Wilayah Laut Indonesia

a) Wilayah Laut Indonesia Menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 Tentang Pengesahan United Nations Convention on The Law of The Sea/UNCLOS (Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa Tentang Hukum Laut)

Konvensi PBB Tentang Hukum Laut pada tahun 1985 di Montego Bay, Jamaika merupakan Konvensi Hukum Laut yang ketiga. Sebelumnya telah berlangsung sebanyak dua kali, yakni Konvensi PBB I Tentang Hukum Laut (1958) dan Konvensi PBB II Tentang Hukum Laut (1960) dimana keduanya dilaksanakan di Jenewa, Swiss. Pada Konvensi PBB Tentang Hukum Laut (1958), Indonesia mengirimkan delegasi guna memperjuangkan prinsip-prinsip negara kepulauan. Pada intinya, wilayah laut suatu negara berdasarkan UNCLOS dapat digambarkan sebagai berikut :

Sumber : Djunarsjah tahun 2014

b) Wilayah Laut Indonesia Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 Tentang Kelautan

Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 Tentang Kelautan menegaskan kembali bahwa wilayah laut terdiri atas wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi serta laut lepas dan kawasan dasar laut internasional. Kedua wilayah tersebut menurut undang-undang ini juga memiliki pembagian-pembagian sebagai berikut:

(11)

a. Wilayah perairan, meliputi perairan pedalaman, perairan kepulauan, dan laut teritorial.

b. Wilayah yurisdiksi, meliputi Zona Tambahan, Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, dan Landas Kontinen.

c) Pengamanan Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia

Adapun Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) menurut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 18/PERMEN-KP/2014 Tentang Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia, pada Pasal 2 ayat (1) dibagi ke dalam 11 (sebelas) wilayah pengelolaan perikanan sebagaimana gambar berikut :

Sumber : Kementerian Kelautan dan Perikanan a. WPPNRI 571 meliputi perairan Selat Malaka dan Laut Andaman;

b. WPPNRI 572 meliputi perairan Samudera Hindia sebelah Barat Sumatera dan Selat Sunda;

c. WPPNRI 573 meliputi perairan Samudera Hindia sebelah Selatan Jawa hingga sebelah Selatan Nusa Tenggara, Laut Sawu, dan Laut Timor bagian Barat;

d. WPPNRI 711 meliputi perairan Selat Karimata, Laut Natuna, dan Laut China Selatan;

e. WPPNRI 712 meliputi perairan Laut Jawa;

f. WPPNRI 713 meliputi perairan Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores, dan Laut Bali;

g. WPPNRI 714 meliputi perairan Teluk Tolo dan Laut Banda;

(12)

7

h. WPPNRI 715 meliputi perairan Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram dan Teluk Berau;

i. WPPNRI 716 meliputi perairan Laut Sulawesi dan sebelah Utara Pulau Halmahera;

j. WPPNRI 717 meliputi perairan Teluk Cendrawasih dan Samudera Pasifik;

k. WPPNRI 718 meliputi perairan Laut Aru, Laut Arafuru, dan Laut Timor bagian Timur.

Berdasarkan pasal 63 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 jo. Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 Tentang Perikanan menyebutkan bahwa Bakamla memiliki kewenangan untuk memberhentikan, memeriksa, menangkap, membawa kapal dan menyerahkan kapal ke isntansi terkait yang berwenang untuk melaksanakan proses hukum lebih lanjut. Kewenangan yang demikian merupakan suatu kewenangan penyelidikan. Dalam sistem peradilan pidana, penyelidikan merupakan tindakan tahap pertama (permulaan) dari penyidikan. Menurut M Yahya Harahap, penyelidikan bukan tindakan yang beridiri sendiri terpisah dari penyidikan namun meripakan bagian yang tidak terpisahkan dari fungsi penyidikan.7

Menurut Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan, pada Pasal 73 ayat (1) menyebutkan bahwa penyidikan tindak pidana di bidang perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perikanan, Penyidik Perwira TNI AL, dan/atau Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia.

7 M.Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan, (Jakarta : Sinar Grafika, 2006), hlm. 101.

(13)

Dalam proses penyidikan, biasanya dibagi berdasarkan wilayah tempat terjadinya tindak pidana. Penyidikan terhadap tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di pelabuhan perikanan, diutamakan dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perikanan (Pasal 73 ayat 3). Penyidikan terhadap tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) menjadi kewenangan TNI Angkatan Laut dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (Pasal 73 ayat 2). Dengan demikian, penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia biasanya melakukan penyidikan terhadap tindak pidana perikanan yang terjadi di wilayah Laut Teritorial.

B. Faktor Penyebab Terjadinya Tindak Pidana Perikanan Oleh Warga Negara Asing dari Perspektif Kriminologi

1. Faktor Penyebab Terjadinya Tindak Pidana Perikanan di Selat Malaka Semua tindak pidana yang terjadi pada dasarnya memiliki tujuan tertentu.

Tujuan tersebut membentuk suatu kausalitas (sebab-akibat) yang memungkinkan terjadinya suatu tindak pidana.

Jika dilihat dari sisi pelaku kejahatan, faktor-faktor yang menimbulkan kejahatan dibagi dalam dua bagian, yaitu :8

a. Faktor Intern, yang terdiri atas :

- Umur, sejak kecil hingga dewasa manusia selalu mengalami perubahan- perubahan-perubahan dalam jasmani. Krisis ini dapat menyebabkan kejahatan apabila individu tidak dapat mengatasi krisis tersebut.

- Seks, hal ini berhubungan dengan keadaan fisik. Karena fisik laki-laki lebih kuat daripada wanita, maka ada kemungkinan untuk berbuat jahat lebih besar (kejahatan umum) disamping adanya kejahatan tertentu.

b. Faktor Ekstern

Faktor ekstern ini berpokok pangkal pada lingkungan dari rohani. Dengan adanya perubahan-perubahan tadi, maka tingkatan kejahatannya seperti :

8 Noach, dkk, Kriminologi, (Bandung : Tarsito, 1984), hlm. 75.

(14)

9

- Kedudukan individu dalam masyarakat;

- Rekreasi, kekurangan rekreasi dapat menimbulkan kejahatan-kejahatan;

- Pendidikan individu, yang mempengaruhi keadaan jiwa, tingkah laku terutama intelegensinya;

- Agama, merupakan unsur pokok dalam kehidupan manusia. Norma-norma yang ada dalam agama menunjukkan hal-hal yang dilarang dan diharuskan, sehingga bila manusia benar-benar mendalami dan mengerti isi agama, pastilah ia akan menjadi manusia yang baik dan tak akan berbuat hal-hal yang merugikan atau menyinggung perasaan orang lain.

Dalam perspektif kriminologi, ada beberapa mazhab yang dikenal, antara lain : a. Mazhab Antropologi

Mazhab ini berkembang di negara Italia, tokoh dalam aliran ini adalah C.

Lombrosso (1835-1909). Lombrosso mengatakan bahwa ciri khas seorang penjahat dapat dilihat dari keadaan fisiknya yang berbeda dengan manusia lainnya seperti kelainan-kelainan pada tengkorak kepala yaitu tidak simetris, roman muka yang lebar, mukanya miring, hidungnya pesek, tulang dahi melengkung ke belakang, berambut tebal dan apabila sudah tua lekas botak di bagian tengah kepalanya. Teori ini juga dikenal dengan teori “born criminal” dimana Lombrosso mengilhami teori Darwin tentang evolusi manusia.

b. Mazhab Sosiologi

Mazhab Sosiologi sebenarnya merupakan pengembangan dari ajaran Enrico Ferri, yang mengatakan bahwa setiap kejahatan adalah hasil dari unsur-unsur yang terdapat dalam individu masyarakat, dan keadaan fisik.

c. Mazhab Lingkungan

Mazhab ini semula berkembang di negara Perancis dengan tokoh Lamark, Tarde, Monourier serta A. Lacassagne. Menurut mazhab ini, seseorang melakukan kejahatan semata-mata karena dipengaruhi oleh faktor lingkungan sekitarnya seperti ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan serta kebudayaan termasuk perkembangan dengan dunia luar, serta penemuan-

(15)

penemuan teknologi baru. Mazhab ini menentang pendapat yang mengatakan bahwa kejahatan dibawa sejak seseorang lahir (avatisme).9

d. Mazhab Biososiologi

Mazhab biososiologi sebenarnya merupakan perpaduan antara mazhab antropologi dan mazhab sosiologi. Sebab itu ajarannya berdasarkan :

1. Faktor individu seperti keadaan psikis dan fisik penjahat serta faktor lingkungan.

2. Faktor keadaan lingkungan mendorong seseorang melakukan kejahatan.

e. Mazhab Spiritualisme

Tokoh dari aliran ini adalah F.A.K. Krauss dan M de Baets. Menurut tokoh ini, tidak beragamanya seseorang menjadi faktor penyebab terjadinya kejahatan, dalam arti seseorang menjadi jahat karena tidak beragama atau kurang beragama.

Berdasarkan kuesioner yang diberikan kepada responden yakni anggota- anggota TNI AL Lantamal I Belawan dan jaksa-jaksa pada Kejaksaan Negeri Belawan, diperoleh jawaban bahwa faktor internal (dalam diri pelaku) dalam tindak pidana perikanan adalah usia yang dewasa serta seluruhnya berjenis kelamin laki-laki. Yang biasanya melakukan tindak pidana perikanan berada pada usia 31- 40 tahun (86,67%). Ini dikarenakan pada kelompok usia tersebut, seseorang sudah mempunyai pengalaman dan naluri keberanian untuk melakukan kejahatan lintas negara. Para pelaku seluruhnya berjenis kelamin laki-laki dikarenakan kondisi (situasi) dalam pelaksanaan kejahatan tersebut memerlukan kondisi fisik yang kuat.

Sebab tindak pidana perikanan dilakukan dengan menghadapi rintangan di laut lepas, baik ombak, arus laut, juga kondisi cuaca.

Berkenaan dengan faktor eksternal (luar diri pelaku) yang menjadi alasan terjadinya tindak pidana perikanan, responden menjawab beberapa alasan sebagai berikut :

1. Selat Malaka memiliki berbagai macam jenis ikan dengan jumlah yang sangat banyak.

9 W.A. Bonger, Pengantar Tentang Kriminologi, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1982), hlm. 67.

(16)

11

2. Kondisi perairan di Selat Malaka yang cukup tenang (tempat berkumpulnya ikan) sehingga memudahkan dalam proses penangkapan ikan.

3. Terbatasnya alusista (TNI Angkatan Laut) yang beroperasi di wilayah Selat Malaka untuk melakukan pengawasan.

2. Pertanggungjawaban Pidana Warga Negara Asing

Pertanggungjawaban pidana merupakan suatu akibat atau reaksi terhadap pelanggaran atas suatu perbuatan tertentu. Pertanggung jawaban pidana mengarah kepada pemidanaan kepada pelaku tindak pidana, jika telah terbukti melakukan tindak pidana dan telah memenuhi unsur-unsurnya yang telah ditentukan undang- undang.10

Pertanggung jawaban pidana berlaku bagi orang yang melakukan tindak pidana di dalam yurisdiksi suatu negara. Asas teritorial dijadikan sebagai dasar, bahwa hukum pidana suatu negara berlaku di wilayah itu sendiri.

Bertanggung jawab atas suatu tindak pidana berarti bahwa orang yang melakukan tindak pidana tersebut secara sah dapat dikenakan pidana (hukuman).

Dikatakan secara sah apabila tindakan tersebut memang telah ada aturannya dalam suatu undang-undang, dan undang-undang itu berlaku atas tindakan yang dilakukannya.11

Pertanggung jawaban pidana Warga Negara Asing dalam tindak pidana perikanan berlaku bagi orang dan badan hukum (korporasi). Hal ini sesuai dengan rumusan Pasal 4 huruf (a) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 jo. Undang- Undang Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan yang menyebutkan :

“Undang-Undang ini berlaku untuk setiap orang, baik Warga Negara Indonesia maupun Warga Negara Asing dan badan hukum Indonesia asing, yang melakukan kegiatan perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia.”

10 Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta : Sinar Grafika, 2015), hlm. 136.

11 Sodikin, Penegakan Hukum Lingkungan, (Jakarta : Djambatan, 2007), hlm. 170.

(17)

Namun, ada suatu syarat khusus dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perubatan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan yang menjadi dasar Warga Negara Asing tidak dapat dimintai pertanggung jawaban pidana. Jika melihat Pasal 4 tersebut, bahwa pertanggung jawaban terjadi atas kegiatan perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia. Lalu Pasal 5 ayat (1) memberikan pembagian bahwa yang termasuk dalam Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia untuk penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan meliputi : a. perairan Indonesia; b. ZEEI; dan c. sungai, danau, waduk, rawa, dan genangan air lainnya yang dapat diusahakan serta lahan pembudidayaan ikan yang potensial di wilayah Republik Indonesia.

Kemudian, Pasal 102 menyebutkan bahwa ketentuan tentang pidana penjara dalam Undang-Undang ini (Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 jo.

Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan) tidak berlaku bagi tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b, kecuali telah ada perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia denga pemerintah negara yang bersangkutan.

Persoalan muncul ketika hakim memutus dengan pidana denda tanpa pidana kurungan sebagai pengganti, dan terdakwa tidak mampu membayar atau tidak mau membayar, sehingga tidak adanya upaya paksa yang dapat dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum terhadap terdakwa apabila terdakwa adalah Warga Negara Asing, sehingga memunculkan piutang bagi Kejaksaan sebagai eksekutor.

Masalah hukum berikutnya ketika terpidana asing yang tidak membayar denda, dilepaskan begitu saja tanpa menjalani sanksi apapun, saat hendak kembali ke negaranya, pihak imigrasi Indonesia tidak akan membiarkann terpidana asing untuk keluar dari wilayah Indonesia karena mereka masih mempunyai kewajiban hukum membayar pidana denda yang merupakan utang selamanya. Berhubung karena orang asing tersebut masih tersangkut masalah hukum maka imigrasi berwenang untuk mencekal.

(18)

13

Sebagai akibat adanya pencekalan, maka akan menimbulkan masalah baru yaitu pembiayaan terpidana asing yang masih dalam wilayah penampungan oleh aparat penegak hukum. Terdakwa asing yang jumlahnya puluhan bahkan ratusan orang membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

C. Kebijakan Kriminal Oleh Penegak Hukum Dalam Mengatasi Tindak Pidana Perikanan di Selat Malaka (Studi Putusan Nomor 15/PID.SUS-PRK/2016/PN.MDN dan Putusan Nomor 561/PID.SUS.PRK/2016/PT-MDN)

Kebijakan kriminal sebagai sebagai suatu upaya penanggulangan kejahatan pada hakikatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu dapat dikatakan, bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari politik kriminal adalah perlindungan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.12

Kebijakan kriminal memiliki tiga arti, yaitu :13

a. Keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana.

b. Keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi.

c. Keseluruhan kebijakan, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat.

Kebijakan kriminal untuk mengatasi tindak pidana perikanan dilakukan dengan 2 (dua) cara yaitu upaya penal dan upaya non penal.

1. Upaya Penal

Dalam penanggulangan kejahatan melalui upaya penal dapat diartikan sebagai suatu perilaku dari semua pemeran untuk menetapkan suatu perbuatan sebagai bentuk tindak pidana dengan tujuan-tujuan tertentu, yaitu untuk mencapai kesejahteraan dan melindungi masyarakat pada umumnya. Dengan demikian, hal

12 Sudirman Sitepu, Penanggulangan Kejahatan dan Kriminal, Syiar Hukum – Jurnal Ilmu Hukum, Vol. VIII Nomor 3 Tahun 2006, hlm. 328.

13 Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung : Alumni, 1981), hlm. 113.

(19)

ini berefek pada pembentukan atau pengkoreksian terhadap undang-undang, dimana perbuatan tersebut diancam dengan sanksi pidana.

Adapun tahap-tahap penalisasi antara lain :

a. Formulasi (kebijakan legislatif) yaitu tahap penegakan hukum in abstracto oleh badan pembuat undang-undang.

b. Aplikasi (kebijakan yudikatif) yaitu tahap penerapan hukum pidana oleh aparat-aparat hukum mulai dari Kepolisian sampai pengadilan. Tahap kedua ini dapat pula disebut dengan tahap kebijakan yudikatif.

c. Eksekusi (kebijakan eksekutif) yaitu tahap pelaksanaan hukum pidana secara konkrit oleh aparat-aparat pelaksanaan pidana.

Dengan demikian, penalisasi dalam tindak pidana perikanan di Selat Malaka memiliki tahapan :

a. Formulasi, yaitu dengan dibentuknya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan, dan peraturan perundang-undangan terkait lainnya.

b. Aplikasi, yakni : 1. Penyelidikan

2. Penyidikan (Pegawai Negeri Sipil Perikanan, Perwira TNI AL, dan/atau Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia)

3. Penuntutan (dalam hal ini Kejaksaan Negeri Belawan) 4. Pengadilan (dalam hal ini Pengadilan Negeri Medan) c. Eksekusi, yakni pelaksanaan putusan pengadilan.

Berdasarkan data yang diperoleh dari Lantamal I Belawan, bahwa tindak pidana perikanan yang berhasil ditindak oleh TNI Angkatan Laut (sebagai salah satu penyidik) di wilayah Selat Malaka dari 1 Januari 2017 hingga Juni 2019 berjumlah 9 (sembilan) kasus.

(20)

15

Dari data tersebut, 4 (empat) kasus dilakukan oleh Warga Negara Asing menggunakan kapal asing (44,4%). Namun, menurut Kapt. Zainal, S.H. (Kaur Bingakkum) Dinas Hukum Lantamal I Belawan, selama dirinya bertugas di Lantamal I Belawan didapati lebih banyak kasus tindak pidana perikanan yang dilakukan oleh Warga Negara Asing daripada Warga Negara Indonesia.

Penalisasi yang dilakukan dalam tindak pidana perikanan terhadap kapal berbendera asing yaitu dengan dirampas dan dimusnahkan. Berdasarkan data yang diperoleh dari Kejaksaan Negeri Belawan, terdapat 14 (empat belas) dari Januari 2017 hingga Juni 2019 Penuntut Umum (dari Kejaksaan Negeri Belawan) menuntut agar kapal dirampas dan dimusnahkan. Dari keseluruhan kasus tersebut, 13 (tiga belas) diantaranya sudah dilakukan eksekusi atau dimusnahkan, sementara 1 (satu) kasus statusnya dirampas untuk negara dan dalam proses upaya hukum banding.

0 2 4 6 8

Tahun 2017 Tahun 2018 Januari - Juni 2019

Tindak Pidana Perikanan di Selat Malaka

Jumlah Kasus

(21)

2. Upaya Non Penal

Menurut Barda Nawawi Arief14, bahwa upaya penanggulangan lewat jalur non penal bisa juga disebut sebagai upaya yang dilakukan melalui jalur di luar hukum pidana. Upaya ini merupakan upaya penanggulangan yang lebih menitikberatkan pada sifat preventif, yakni tindakan yang berupa pencegahan sebelum terjadinya kejahatan. Sasaran upaya non penal adalah menangani faktor- faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan, yakni meliputi masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuhsuburkan kejahatan.

Menurut Kapten Laut Zaenal15, bahwa upaya non penal yang dilakukan oleh Indonesia untuk menanggulangi tindak pidana perikanan yaitu berupa pengawasan (dalam hal ini patroli) oleh Kepolisian Perairan (Polair) dan TNI Angkatan Laut.

Berkaitan dengan wilayah Selat Malaka sendiri, Kepolisian Perairan yang dimaksud adalah Polair Belawan dan Pangklalan Utama Angkatan Laut (Lantamal) I Belawan.

14 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Semarang : Fajar Interpratama, 2011), hlm. 46.

15 Hasil Wawancara dengan Kepala Urusan Bidang Penegakan Hukum (Kaur Bingakkum) Dinas Hukum Lantamal I Belawan, pada tanggal 4 Juli 2019 pukul 12.00 WIB.

0 1 2 3 4 5 6 7 8

Malaysia Thailand Myanmar

Warga Negara Asing Yang Menjadi Pelaku Tindak Pidana Perikanan di

Selat Malaka

Jumlah (Orang)

(22)

17

3. Analisis Kasus

Ditinjau dari Putusan Nomor 15/Pid.Sus-PRK/2016/PN.Mdn dan Putusan Nomor 561/PID.SUS.PRK/2016/PT-MDN, dimana Putusan Pengadilan Negeri menyatakan bahwa Chit Soe telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana “Dengan sengaja melakukan usaha perikanan di bidang penangkapan ikan yang tidak memiliki Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia”.

Dalam menjatuhkan putusan terhadap Chit Soe, Hakim Pengadilan Negeri Medan dalam pertimbangan hukumnya berkesimpulan bahwa Chit Soe telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan oleh Penuntut Umum dalam dakwaan “Kesatu” yakni perbuatan terdakwa tersebut diatur dan diancam pidana dalam Pasal 92 jo. Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan.

Dikarenakan jenis dakwaan yang diberikan kepada Chit Soe merupakan dakwaan alternatif, sehingga jika dakwaan “Kesatu” sudah terpenuhi, maka dakwaan yang lain (dakwaan “Kedua” serta dakwaan “Ketiga”) tidak perlu untuk dibuktikan lagi.

Yang menjadi catatan penting, bahwa Chit Soe dapat diminta pertanggung jawaban pidana atas dasar ketentuan Pasal 102 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan yang menyebutkan bahwa Chit Soe dapat diminta pertanggung jawaban pidana atas dasar ketentuan Pasal 102 Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan yang menyebutkan bahwa :

“Ketentuan tentang pidana penjara dalam undang-undang ini tidak berlaku bagi tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b, kecuali telah ada perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dengan pemerintah negara yang bersangkutan.”

Lebih lanjut, Pasal 5 ayat (1) menyebutkan bahwa :

(23)

“Wilayah Pengelolaan Perikanan Repulik Indonesia untuk penangkapan ikan dan/atau untuk pembudidayaan ikan meliputi :

a. perairan Indonesia;

b. ZEEI; dan

c. sungai, danau, waduk, rawa, dan genangan air lainnya yang dapat diusahakan serta lahan pembudidayaan ikan yang potensial di wilayah Republik Indonesia.”

Maka dari itu, dikarenakan Chit Soe telah melakukan tindak pidana di laut teritorial (12 mil) maka Chit Soe dapat dikenakan sanksi pidana yang ada pada Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan.

Berkenaan dengan fakta hukum, Chit Soe dan 3 (tiga) orang ABK sudah memenuhi unsur-unsur yang disebutkan dalam Pasal 92 yang menyebutkan :

“Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan usaha perikanan di bidang penangkapan, pembudidayaan, pengangkutan, pengolahan, dan pemasaran ikan, yang tidak memiliki SIUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah)”

Akan tetapi, penuntut umum justru mengajukan tuntutan berupa:

1. “Menyatakan terdakwa Chit Soe bersalah melakukan tindak pidana “dengan sengaja memiliki, menguasai, membawa, dan/atau menggunakan alat penangkapan ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang berada di kapal penangkap ikan yang tidak sesuai dengan ukuran atau standar yang ditetapkan, alat penangkap ikan yang tidak sesuai persyaratan, atau standar yang ditetapkan untuk tipe alat tertentu dan atau alat penangkapan ikan yang dilarang” sebagaimana Pasal 85 jo. Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan.

2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Chit Soe dengan pidana penjara 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan penjara yang dikurangi dengan masa penahanan yang telah dijalani dan pidana denda sebesar Rp 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah) subsidair 6 (enam) bulan kurungan.”

(24)

19

Disini didapati keraguan oleh penuntut umum untuk menuntut Chit Soe dengan dasar dakwaan “Kesatu”, yakni melanggar Pasal 92 dengan ancaman hukuman paling lama 8 (delapan) tahun penjara dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah). Penuntut umum justru menuntut dengan dasar dakwaan “Kedua” yakni melanggar Pasal 85 dengan ancaman hukuman paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp.

2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

Hakim kemudian menyatakan Chit Soe terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Dengan sengaja melakukan usaha perikanan di bidang penangkapan ikan yang tidak memiliki Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia”;

(melanggar ketentuan Pasal 92) tetapi menghukum Chit Soe dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan dengan denda sebesar Rp 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 4 (empat) bulan, yang ternyata berat hukumannya sama dengan tuntutan penuntut umum meanganggap melanggar Pasal 85.

Berat ringannya pidana yang dijatuhkan tentu bagi seorang hakim disesuaikan dengan apa yang menjadi niat, motivasi, dan akibat perbuatan si pelaku. Tiap putusan yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim kepada terdakwa tentunya harus sesuai dengan pasal yang didakwakan dalam arti batas maksimal dan batas minimal sehingga hakim dianggap telah menjalankan dan menegakkan Undang-undang dengan benar dan tepat.

Putusan Majelis Hakim yang menjatuhkan pidana penjara dan pidana denda tidak tepat, karena karena dengan hukuman 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan denda sebesar Rp 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 4 (empat) bulan tidak adil. Sebab ancaman hukuman maksimal adalah 8 (delapan) tahun penjara dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah). Ini tentunya tidak menimbulkan efek jera serta tidak memberikan sifat preventif kepada masyarakat dan Warga Negara Asing di masa yang akan datang.

(25)

Hal ini didasarkan pada perbuatan Chit Soe yang melakukan penangkapan ikan secara ilegal, ketika pemerintah Republik Indonesia sedang giat-giatnya memberantas illegal, Unregulated and Unreported Fishing yang selama ini telah merugikan para nelayan tradisional (nelayan skala kecil) yang menggantungkan hidupnya dari kekayaan sumber daya perikanan dan hasil laut.

Jika tidak diberikan hukuman yang berat, maka program pemerintah tersebut tidak berjalan dengan maksimal.

(26)

21

III. PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian dari hasil pembahasan sebelumnya, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Dalam tindak pidana perikanan yang dimuat dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan jo. Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009, subjek hukum yang dapat dipidana adalah sebagai berikut :16

a. Setiap orang baik perorangan maupun korporasi.

b. Nahkoda atau pemimpin Kapal Perikanan, Ahli Penangkapan Ikan, dan Anak Buah Kapal;

c. Pemilik Kapal Perikanan, Pemilik Perusahaan Perikanan, Penanggung Jawab Perusahaan Perikanan, dan/atau Operator Kapal Perikanan; dan d. Pemilik Perusahaan Pembudidayaan Ikan, Kuasa Pemilik Perusahaan

Pembudidayaan Ikan, dan/atau Penanggung Jawab Perusahaan Pembudidayaan Ikan.

2. Bahwa faktor internal (dalam diri pelaku) dalam tindak pidana perikanan adalah usia yang dewasa serta seluruhnya berjenis kelamin laki-laki. Pada kelompok usia tersebut, seseorang sudah memiliki naluri dan keberanian untuk melakukan kejahatan lintas negara. Sedangkan faktor eksternal yang menyebabkan kejahatan terdiri atas beberapa alasan berikut :

a. Selat Malaka memiliki berbagai macam jenis ikan dengan jumlah yang sangat banyak.

b. Kondisi perairan Selat Malaka yang tenang (tempat ikan berkumpul).

c. Terbatasnya alusista (TNI AL) yang melakukan pengawasan.

3. Kebijakan kriminal dalam tindak pidana perikanan di Selat Malaka dilakukan melalui 2 (dua) upaya yakni upaya penal dan upaya non penal.

Upaya penalisasi memiliki dua tahapan :

16 Aziz Syamsudin, Tindak Pidana Khusus, (Jakarta : Sinar Grafika, 2011), hlm. 40.

(27)

22

a. Formulasi, dengan dibentuknya Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan, dan peraturan perundang-undangan terkait lainnya.

b. Aplikasi, yakni melalui proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pengadilan.

Sedangkan upaya non penal yang dilakukan Indonesia berupa pengawasan (dalam hal ini patrol) oleh Polair dan TNI Angkatan Laut. Berkaitan dengan wilayah Selat Malaka, Polair dan Angkatan Laut yang dimaksud adalah Polair Belawan dan Pangkalan Utama Angkatan Laut.

B. Saran

Adapun saran yang dapat disampaikan antara lain:

1. Bagi Penyidik (Pegawai Negeri Sipil Perikanan, Perwira TNI AL,d an/atau Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia) agar dapat melakukan pengawasan dan penegakan hukum mengenai tindak pidana perikanan dengan baik guna menjaga sumber daya alam Indonesia di bidang perikanan.

2. Bagi Hakim, perlu disarankan dalam menjatuhkan putusan yang seadil- adilnya dan melihat hukuman tersebut sudah tepat atau tidak dan bagaimana manfaatnya bagi masyarakat dan bagi negara.

3. Bagi Pemerintah, perlu ditingkatkan peringatan kepada negara lain mengenai tindak pidana di perikanan di Indonesia melalui hubungan internasional. Selain itu, perlu dibuat perjanjian sebagai tindak lanjut ketentuan penghambat yaitu Pasal 102 yang menyebutkan bahwa ketentuan tentang pidana penjara dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tidak berlaku bagi tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia sebagaimana yang dimaksud oleh Pasal 5 ayat (1) huruf b, kecuali telah ada perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dengan pemerintah negara yang bersangkutan.

(28)

23

(29)

24

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Adapun pemberlakuan MEA dalam hal ketenagakerjaan akan menjadi pedang bermata dua bagi negara-negara anggotanya, dengan artian negara yang memiliki tenaga kerja potensial

Dengan demikian, komitmen politik akan mengalami konkretisasi di dalam praktik demokratisasi politik, di mana sosok perempuan tidak lagi hanya sebagai “objek” pemenuhan suara

04 Desa Maspul (DAK Perbatasan & Pendamping), dimana perusahaan saudara termasuk telah dinyatakan lulus evaluasi administrasi, teknis dan harga, maka dengan

Dalam penelitian ini akan dianalisa kestabilan dari model matematika pada permasalahan pengendalian hama terpadu yang secara kimia dilakukan dengan penyemprotan

• Bagian tubuh terdiri dari tulang sejati, sendi, tulang rawan (kartilago) sebagai tempat menempelnya otot dan!. memungkinkan tubuh untuk mempertahankan sikap

memahami, mengaplikasikan menganalisa, mengsintesis, dan mengevaluasi terhadap suatu materi yang berkaitan dengan kejadian penyakit tersebut. Berdasarkan dengan penjelasan

Hasil penelitian ini me- nandakan bahwa keragaman bahan tanam setek berpengaruh lebih besar terhadap ke- tiga komponen pertumbuhan batang tersebut dan berpengaruh

Nautilus, seperti gambar diatas ini berenang di salah satu perairan di Palau, Mikronesia, nautiluses pertama kali muncul selama periode Permian dan