• Tidak ada hasil yang ditemukan

14 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Semarang : Fajar Interpratama, 2011), hlm. 46.

15 Hasil Wawancara dengan Kepala Urusan Bidang Penegakan Hukum (Kaur Bingakkum) Dinas Hukum Lantamal I Belawan, pada tanggal 4 Juli 2019

17

3. Analisis Kasus

Ditinjau dari Putusan Nomor 15/Pid.Sus-PRK/2016/PN.Mdn dan Putusan Nomor 561/PID.SUS.PRK/2016/PT-MDN, dimana Putusan Pengadilan Negeri menyatakan bahwa Chit Soe telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana “Dengan sengaja melakukan usaha perikanan di bidang penangkapan ikan yang tidak memiliki Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia”.

Dalam menjatuhkan putusan terhadap Chit Soe, Hakim Pengadilan Negeri Medan dalam pertimbangan hukumnya berkesimpulan bahwa Chit Soe telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan oleh Penuntut Umum dalam dakwaan “Kesatu” yakni perbuatan terdakwa tersebut diatur dan diancam pidana dalam Pasal 92 jo. Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan.

Dikarenakan jenis dakwaan yang diberikan kepada Chit Soe merupakan dakwaan alternatif, sehingga jika dakwaan “Kesatu” sudah terpenuhi, maka dakwaan yang lain (dakwaan “Kedua” serta dakwaan “Ketiga”) tidak perlu untuk dibuktikan lagi.

Yang menjadi catatan penting, bahwa Chit Soe dapat diminta pertanggung jawaban pidana atas dasar ketentuan Pasal 102 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan yang menyebutkan bahwa Chit Soe dapat diminta pertanggung jawaban pidana atas dasar ketentuan Pasal 102 Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan yang menyebutkan bahwa :

“Ketentuan tentang pidana penjara dalam undang-undang ini tidak berlaku bagi tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b, kecuali telah ada perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dengan pemerintah negara yang bersangkutan.”

Lebih lanjut, Pasal 5 ayat (1) menyebutkan bahwa :

“Wilayah Pengelolaan Perikanan Repulik Indonesia untuk penangkapan ikan dan/atau untuk pembudidayaan ikan meliputi :

a. perairan Indonesia;

b. ZEEI; dan

c. sungai, danau, waduk, rawa, dan genangan air lainnya yang dapat diusahakan serta lahan pembudidayaan ikan yang potensial di wilayah Republik Indonesia.”

Maka dari itu, dikarenakan Chit Soe telah melakukan tindak pidana di laut teritorial (12 mil) maka Chit Soe dapat dikenakan sanksi pidana yang ada pada Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan.

Berkenaan dengan fakta hukum, Chit Soe dan 3 (tiga) orang ABK sudah memenuhi unsur-unsur yang disebutkan dalam Pasal 92 yang menyebutkan :

“Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan usaha perikanan di bidang penangkapan, pembudidayaan, pengangkutan, pengolahan, dan pemasaran ikan, yang tidak memiliki SIUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah)”

Akan tetapi, penuntut umum justru mengajukan tuntutan berupa:

1. “Menyatakan terdakwa Chit Soe bersalah melakukan tindak pidana “dengan sengaja memiliki, menguasai, membawa, dan/atau menggunakan alat penangkapan ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang berada di kapal penangkap ikan yang tidak sesuai dengan ukuran atau standar yang ditetapkan, alat penangkap ikan yang tidak sesuai persyaratan, atau standar yang ditetapkan untuk tipe alat tertentu dan atau alat penangkapan ikan yang dilarang” sebagaimana Pasal 85 jo. Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan.

2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Chit Soe dengan pidana penjara 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan penjara yang dikurangi dengan masa penahanan yang telah dijalani dan pidana denda sebesar Rp 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah) subsidair 6 (enam) bulan kurungan.”

19

Disini didapati keraguan oleh penuntut umum untuk menuntut Chit Soe dengan dasar dakwaan “Kesatu”, yakni melanggar Pasal 92 dengan ancaman hukuman paling lama 8 (delapan) tahun penjara dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah). Penuntut umum justru menuntut dengan dasar dakwaan “Kedua” yakni melanggar Pasal 85 dengan ancaman hukuman paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp.

2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

Hakim kemudian menyatakan Chit Soe terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Dengan sengaja melakukan usaha perikanan di bidang penangkapan ikan yang tidak memiliki Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia”;

(melanggar ketentuan Pasal 92) tetapi menghukum Chit Soe dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan dengan denda sebesar Rp 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 4 (empat) bulan, yang ternyata berat hukumannya sama dengan tuntutan penuntut umum meanganggap melanggar Pasal 85.

Berat ringannya pidana yang dijatuhkan tentu bagi seorang hakim disesuaikan dengan apa yang menjadi niat, motivasi, dan akibat perbuatan si pelaku. Tiap putusan yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim kepada terdakwa tentunya harus sesuai dengan pasal yang didakwakan dalam arti batas maksimal dan batas minimal sehingga hakim dianggap telah menjalankan dan menegakkan Undang-undang dengan benar dan tepat.

Putusan Majelis Hakim yang menjatuhkan pidana penjara dan pidana denda tidak tepat, karena karena dengan hukuman 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan denda sebesar Rp 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 4 (empat) bulan tidak adil. Sebab ancaman hukuman maksimal adalah 8 (delapan) tahun penjara dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah). Ini tentunya tidak menimbulkan efek jera serta tidak memberikan sifat preventif kepada masyarakat dan Warga Negara Asing di masa yang akan datang.

Hal ini didasarkan pada perbuatan Chit Soe yang melakukan penangkapan ikan secara ilegal, ketika pemerintah Republik Indonesia sedang giat-giatnya memberantas illegal, Unregulated and Unreported Fishing yang selama ini telah merugikan para nelayan tradisional (nelayan skala kecil) yang menggantungkan hidupnya dari kekayaan sumber daya perikanan dan hasil laut.

Jika tidak diberikan hukuman yang berat, maka program pemerintah tersebut tidak berjalan dengan maksimal.

21

III. PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian dari hasil pembahasan sebelumnya, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Dalam tindak pidana perikanan yang dimuat dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan jo. Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009, subjek hukum yang dapat dipidana adalah sebagai berikut :16

a. Setiap orang baik perorangan maupun korporasi.

b. Nahkoda atau pemimpin Kapal Perikanan, Ahli Penangkapan Ikan, dan Anak Buah Kapal;

c. Pemilik Kapal Perikanan, Pemilik Perusahaan Perikanan, Penanggung Jawab Perusahaan Perikanan, dan/atau Operator Kapal Perikanan; dan d. Pemilik Perusahaan Pembudidayaan Ikan, Kuasa Pemilik Perusahaan

Pembudidayaan Ikan, dan/atau Penanggung Jawab Perusahaan Pembudidayaan Ikan.

2. Bahwa faktor internal (dalam diri pelaku) dalam tindak pidana perikanan adalah usia yang dewasa serta seluruhnya berjenis kelamin laki-laki. Pada kelompok usia tersebut, seseorang sudah memiliki naluri dan keberanian untuk melakukan kejahatan lintas negara. Sedangkan faktor eksternal yang menyebabkan kejahatan terdiri atas beberapa alasan berikut :

a. Selat Malaka memiliki berbagai macam jenis ikan dengan jumlah yang sangat banyak.

b. Kondisi perairan Selat Malaka yang tenang (tempat ikan berkumpul).

c. Terbatasnya alusista (TNI AL) yang melakukan pengawasan.

3. Kebijakan kriminal dalam tindak pidana perikanan di Selat Malaka dilakukan melalui 2 (dua) upaya yakni upaya penal dan upaya non penal.

Upaya penalisasi memiliki dua tahapan :

16 Aziz Syamsudin, Tindak Pidana Khusus, (Jakarta : Sinar Grafika, 2011), hlm. 40.

22

a. Formulasi, dengan dibentuknya Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan, dan peraturan perundang-undangan terkait lainnya.

b. Aplikasi, yakni melalui proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pengadilan.

Sedangkan upaya non penal yang dilakukan Indonesia berupa pengawasan (dalam hal ini patrol) oleh Polair dan TNI Angkatan Laut. Berkaitan dengan wilayah Selat Malaka, Polair dan Angkatan Laut yang dimaksud adalah Polair Belawan dan Pangkalan Utama Angkatan Laut.

B. Saran

Adapun saran yang dapat disampaikan antara lain:

1. Bagi Penyidik (Pegawai Negeri Sipil Perikanan, Perwira TNI AL,d an/atau Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia) agar dapat melakukan pengawasan dan penegakan hukum mengenai tindak pidana perikanan dengan baik guna menjaga sumber daya alam Indonesia di bidang perikanan.

2. Bagi Hakim, perlu disarankan dalam menjatuhkan putusan yang seadil-adilnya dan melihat hukuman tersebut sudah tepat atau tidak dan bagaimana manfaatnya bagi masyarakat dan bagi negara.

3. Bagi Pemerintah, perlu ditingkatkan peringatan kepada negara lain mengenai tindak pidana di perikanan di Indonesia melalui hubungan internasional. Selain itu, perlu dibuat perjanjian sebagai tindak lanjut ketentuan penghambat yaitu Pasal 102 yang menyebutkan bahwa ketentuan tentang pidana penjara dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tidak berlaku bagi tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia sebagaimana yang dimaksud oleh Pasal 5 ayat (1) huruf b, kecuali telah ada perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dengan pemerintah negara yang bersangkutan.

23

24

Dokumen terkait