Gangguan Tidur pada Peserta Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesiologi dan Terapi Intensif
Eddy Harijanto, Jefferson Hidayat, Astrid Pratiwi
Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, Jakarta, Indonesia
Abstrak
Dokter anestesiologi adalah profesi kedokteran yang rentan mengalami kelelahan akibat jam kerja yang panjang, beban kerja dengan tingkat stress pekerjaan yang tinggi. Sebanyak 80% kesalahan medis berhubungan dengan sindrom burnout dengan gangguan tidur sebagai keluhan yang sering dialami dokter anestesiologi. Penelitian ini menggunakan 2 kuesioner yang telah divalidasi di Indonesia; Kuesioner pittsburgh sleep quality index (PSQI) untuk menilai kualitas tidur dan kuesioner epworth sleepiness scale (ESS) untuk menilai skala kantuk berlebih.
Setelah mendapatkan izin komite etik dan informed consent, penelitian observasional potong lintang dengan subjek 98 orang peserta PPDS Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI dilakukan di RSCM selama April–Mei 2016.
Sampel mengisi kedua kuesioner. Analisis deskriptif dilakukan terhadap gangguan kualitas tidur dan skala kantuk, distribusi karakteristik dan data jam kerja. Analisis bivariat dan multivariat dilakukan terhadap hasil kuesioner PSQI dan ESS. Faktor durasi tidur, keluhan tidur dan skala kantuk berlebih adalah faktor signifikan penyebab kualitas tidur kurang. Skala kantuk memiliki kecenderungan sebesar 132,8 kali sebagai faktor gangguan kualitas tidur. Faktor jumlah hari bebas tugas per bulan, tahap jaga, dan kualitas tidur subjek menjadi faktor signifikan penyebab skala kantuk berlebih. Gangguan kualitas tidur memiliki kecenderungan sebesar 38,73 kali sebagai faktor skala kantuk berlebih.70% subjek memiliki kualitas tidur kurang dan 65% subjek memiliki skala kantuk berlebih. Terdapat hubungan signifikan antara kualitas tidur dengan skala kantuk berlebih.
Kata Kunci: dokter anestesiologi, gangguan kualitas tidur, skala kantuk
Factors Affecting Sleep Disorder in Trainees of Anesthesiology and Intensive Care
Abstract
Anesthesiologists are very susceptible to fatigue due to long working hours and work load with high levels of job stress. 80% of medical errors are associated with burnout syndrome; with sleep disorders as the most common complaint from anesthesiologists. This study investigated sleep quality and sleepiness scale using 2 validated questionnaires in Indonesia; Pittsburgh Sleep Quality Indexto (PSQI) assess sleep quality and Epworth Sleepiness Scale (ESS) to assess excessive daytime sleepiness. This was an observational cross sectional study of Anesthesiology and Intensive Therapy residents in Faculty of Medicine Universitas Indonesia.
After obtaining permission from ethics committee and informed consent, this study was done in Cipto Mangunkusumo Hospital during April–May 2016 on 98 residents as the sample. Subjects filled PSQI and ESS questionnaires. Descriptive analysis included sleep quality and sleepiness scale, distribution characteristics and working hour. The bivariate and multivariate analysis assessed the questionnaires score results. Results, sleep duration, sleep complaints of participants and excessive daytime sleepiness caused sleep quality disorder significantly. Excessive daytime sleepiness hds 132.8 times tendency to impair the quality of sleep. Off- duty days number per month, the academic level, and sleep quality caused excessive daytime sleepiness significantly. Impaired quality of sleep had 38.73 times tendency as a factor of excessive daytime sleepiness.
70% subjects had sleep quality disorder and 65% subjects had excessive daytime sleepiness. There was a significant relationship between sleep quality disorder and excessive daytime sleepiness.
Key words: Anesthesiologist, excessive daytime, impaired quality of sleep, sleepiness scale
Korespondensi: Eddy Harijanto, dr., SpAn, Departemen Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo Jakarta, Taman Rempoa Indah F-27 Rempoa Jakarta Selatan, Mobile 0816953383, Email harijantoeddy@gmail.com
Pendahuluan
Anestesiologis adalah profesi kedokteran yang sangat rentan mengalami kelelahan akibat jam kerja yang panjang, beban kerja dengan tingkat stress pekerjaan yang tinggi. 45% anestesiologis mengalami gangguan tidur dan sebanyak 44%
memiliki skala kantuk berlebih dengan dua faktor penyebab utama adalah durasi tidur kurang dari 7 jam per hari dan dampak stress dari pekerjaan.1,2
Tekanan fisik dan mental yang berlanjut terus menerus selama 2 tahun akan menimbulkan sindroma kelelahan patologis, disebut sindrom burnout.3 80% kesalahan medis berhubungan dengan sindrom burnout. Diantara kelainan sindrom burnout, gangguan tidur adalah keluhan yang sering dialami oleh anestesiologis.1
Gangguan tidur pada anestesiologis menyebabkan gangguan kewaspadaan berupa rasa kantuk berlebihan saat jam kerja. Anestesiologis yang menderita insomnia melakukan kesalahan medis sebanyak 6% dengan frekuensi lebih dari satu kali dalam sebulan dan sebanyak 8% mengeluh terjadi penurunan produktivitas bekerja. systematic review di USA menyatakan bahwa pengurangan jumlah jam jaga residen dari 24 jam menjadi 16 jam dapat meningkatkan kualitas hidup, perbaikan pelayanan pasien dan mengurangi terjadinya kesalahan medis.4–7
Menurut Australian and New Zealand College of Anesthetist, anestesiologis rata-rata membutuhkan 8 jam tidur setiap malam (rata- rata 6–10 jam). Durasi tidur malam yang pendek (4–6 jam) dan jam kerja yang panjang (>17 jam) berhubungan dengan penurunan fungsi psikomotor.8,9 Dari studi-studi sebelumnya, faktor- faktor signifikan yang menyebabkan gangguan tidur diantaranya karakteristik demografis (usia, jenis kelamin, status pernikahan, status anak), tahap pendidikan peserta PPDS, durasi tidur, jumlah jam kerja, tugas jaga 24 jam dan hari bebas tugas dalam 1 bulan. Penelitian gangguan tidur pada PPDS anestesiologis dan terapi intensif FKUI menganalisis faktor-faktor ini 1,5,10–12
PPDS Anestesiologi dan Terapi Intensif di FKUI merupakan peserta didik dan pelaksana pelayanan anestesia di RSUPN Cipto Mangunkusumo. Pelayanan anestesia rata-rata 50–60 jam/minggu dengan jam kerja lembur
75–90 jam/minggu, yang disebabkan oleh jumlah pasien yang sangat banyak 2,9
Penelitian dilakukan dengan 2 kuesioner;
kuesioner Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI) untuk menilai kualitas tidur dan kuesioner epworth sleepines scale (ESS) untuk menilai skala kantuk berlebih atau klinis excessive daytime sleepiness.
Teknik kuesioner dipilih karena kemudahannya untuk menjangkau populasi (peserta PPDS anestesiologis) dengan pola kerja yang atipikal.
Subjek dan Metode
Penelitian ini bersifat observasional dengan rancangan potong lintang untuk mengetahui kekerapan gangguan kualitas tidur dan skala kantuk berlebih pada peserta PPDS Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI di RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Periode April–Mei 2016 setelah mendapatkan persetujuan dari panitia tetap penilai etik penelitian FKUI.
Populasi penelitian adalah semua peserta PPDS Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI yang masih aktif menjalani pendidikan di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional (RSUPNCM).
Sampel didapatkan dengan teknik total sampling sebanyak 98 orang. Kriteria penerimaan adalah semua peserta PPDS Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI tahap magang, pembekalan dan mandiri yang Bersedia mengikuti penelitian dan menandatangani surat persetujuan. Kriteria penolakan adalah peserta PPDS Anestesiologi dengan giliran jaga malam pada hari sebelumnya, memiliki riwayat penyakit pada sistem saraf pusat (cedera kepala, infeksi intra kranial, stroke, epilepsi, tumor otak), memiliki riwayat penyakit diabetes mellitus, darah tinggi, depresi berat, obstructive sleep apnea, riwayat menggunakan obat psikotropika, dan sedang menggunakan obatberefek mengantuk selain psikotropika (akan ditunda hinggapenggunaan obat selesai). Kriteria pengeluaran adalah peserta PPDS Anestesiologis yang tidak hadir dalam kegiatan akademik di RSUPNCM selama periode penelitian.
Peserta mengisi sendiri lembar identitas dan riwayat responden, dilanjutkan pengisian kuesioner. Kuesioner yang digunakan adalah pittsburgh sleep quality index (PSQI) untuk menilai kualitas tidur dan epworth sleepiness
s cale (ESS) digunakan untuk menilai tingkat kantuk. Peneliti menggunakan kuesioner yang sudah divalidasi dalam bahasa Indonesia.29,30
Teknik kuesioner dipilih karena kemudahan untuk menjangkau populasi penelitian dengan pola kerja atipikal yaitu PPDS Anestesiologi yang merupakan populasi beresiko tinggi terjadinya gangguan tidur. Analisis data dilakukan dengan program statistical program and service solution (SPSS) 21.
Tabel 1 Data Demografis Peserta PPDS Anestesiologi
Karakteristik N (%)
Total Peserta 98 100%
Usia (tahun)
25–29 39 44%
30–34 50 47%
35–39 8 8%
40–45 1 1%
Jenis Kelamin
Laki-laki 50 51%
Perempuan 48 49%
Tempat tinggal saat ini
Jakarta 80 86%
Luar Jakarta 18 14%
Status Pernikahan
Menikah 53 57%
Belum Menikah 45 43%
Status Anak
Ada 32 32%
Tidak ada 66 68%
Tahap Jaga PPDS
Jaga 1 40 44%
Jaga 2 12 12%
Jaga 3 27 28%
Jaga 4 11 11%
Jaga 5 8 8%
Tahap Pendidikan
Pembekalan 19 19%
Magang 27 28%
Mandiri 17 17%
Paripurna 35 36%
Jumlah jam kerja per hari
< 12 jam 29 41%
≥ 12 jam 69 59%
Konsumsi:
Merokok 4 4%
Obat ansiolitik 0 0%
Konsumsi Teh 68 69%
Konsumsi Kopi 62 63%
Olahraga
Tidak ada dalam satu
bulan terakhir 49 50%
Kurang dari sekali dalam
seminggu 28 29%
Sekali atau dua kali
dalam seminggu 16 16%
Tiga kali atau lebih
dalam seminggu 5 5%
Durasi tidur
>7 jam 7 7,1
6–7 jam 19 19,4
5–6 jam 26 26,5
<5 jam 46 46,9
Keluhan tidur Tidak ada Insomnia Hipersomnia Lainnya
5926 85
60,226,5 8,25,1
Hasil
Skema seleksi subjek penelitian ditampilkan pada Gambar 1. Hasil penelitian disajikan dengan menampilkan karakteristik responden, analisis deskriptif dan analisis bivariat dalam bentuk tabel dan penjelasannya kemudian dilakukan analisis multivariat untuk melihat variabel paling dominan yang berhubungan dengan variabel dependen. Karakteristik demografi subjek penelitian ditampikan di Tabel 1.
Hasil pemeriksaan kualitas tidur dengan kuesioner PSQI didapatkan rata-rata skor total PSQI yaitu 7,7±3,1 dengan nilai minimum 0 dan nilai maksimum 15 dari total skor 21 (Tabel 2).
Kualitas tidur kurang paling banyak didapatkan pada peserta PPDS Anestesiologis tahap Jaga 1 paripurna dan Jaga 3.
Dari tabel 3 terlihat bahwa faktor durasi tidur, keluhan tidur peserta dan skala kantuk berlebih signifikan menyebabkan kualitas tidur kurang pada subjek. Skala kantuk memiliki kecenderungan sebesar 132,8 kali sebagai faktor gangguan kualitas tidur dibandingkan dengan durasi tidur dan keluhan tidur.
Rata-rata skor total ESS yaitu 11,9±4,4 dengan nilai minimum 2 dan nilai maksimum 24 dari total skor 24 (Tabel 4) dengan kor ESS≤10 menunjukkan skala kantuk normal, skor ESS>10 menunjukan skala kantuk berlebih atau adanya klinis excessive daytime sleepness (EDS), dan skor ESS >16 menunjukkan skala kantuk berat.
Pada Tabel 5, Faktor jumlah hari bebas tugas per bulan, tahap jaga, dan kualitas tidur signifikan
menyebabkan skala kantuk berlebih. Kualitas tidur memiliki kecenderungan sebesar 38,73 kali sebagai faktor skala kantuk berlebih dibanding dengan jumlah hari bebas tugas dan tahap jaga subjek.
Pembahasan
Hasil pemeriksaan kualitas tidur dengan kuesioner PSQI didapatkan 29 peserta (30%) dengan skor PSQI ≤5 yang menunjukkan kualitas tidur baik dan sebanyak 69 peserta (70%) dengan skor PSQI >5 yang menunjukkan kualitas tidur kurang,sesuai dengan hasil kuesioner pada komponen kualitas tidur subjektif yaitu 58%
peserta memiliki kualitas tidur buruk dalam 1
Tabel 2 Hasil Kuesioner PSQI
Tahap Jaga PSQI > 5 PSQI≤ 5 max min median mean
Jaga 1 paripurna 23 12 15 0 8 7,4
Jaga 1 mandiri 3 2 10 5 7 7
Jaga 2 8 4 14 3 9 8
Jaga 3 23 4 15 4 8 8,3
Jaga 4 6 5 12 4 6 7,4
Jaga 5 6 2 15 3 7 7,2
Hasil 69
(kualitas tidur kurang) 29
(kualitas tidur baik)
Tabel 3 Analisis Multivariat pada Faktor Kualitas Tidur
Faktor Koefisien Nilai P Odd Rasio Interval kepercayaan 95%
Durasi tidur - 2,675 0,002 0,069 0,013 – 0.376
Keluhan tidur - 7,530 0,001 0,001 0,0001–0,049
Skala kantuk 4,889 0,002 132,8 5,681–3106,25
Gambar 1 Skema Seleksi Subjek Penelitian
Populasi terjangkau (n-114)
Kriteria penolakan (n=7) Kriteria pengeluaran (n=9) Sampel yang dianalisis (n=98)
bulan terakhir.
Kualitas tidur berhubungan dengan durasi tidur. 62,3% peserta memiliki durasi tidur <5 jam per hari. Menurut Richter dkk, durasi tidur < 7 jam merupakan faktor independen terhadap gangguan tidur. PPDS anestesiologi selain bertugas dalam pelayanan anestesia di RSUPNCM juga diberikan beban tugas akademik. Menurut Richter, selama 50 tahun telah terjadi kecenderungan penurunan durasi tidur pada anestesiologis, akibat tugas on call dan jadwal kerja atipikal sedangkan pada hari libur atau bebas tugas terjadi peningkatan durasi tidur yang signifikan sebesar 80% dari durasi tidur selama hari kerja. Siklus tidur normal diantara 2 fase REM dan NREM terjadi setiap 90–120 menit dan umumnya berulang 3–6 kali.
Durasi tidur yang kurang menyebabkan siklus tidur lebih singkat atau terjadi fragmentasi tidur.11 Didapatkan sebanyak 31 peserta tanpa keluhan tidur, namun memiliki kualitas tidur kurang.
Insomnia ditemukan sebanyak 25 peserta dan 8 orang dengan keluhan hipersomnia. dari seluruh populasi dokter di Jepang, ditemukan kekerapan insomnia sebesar 20%. terjadinya insiden medis berhubungan dengan subjek dengan jam kerja yang panjang, frekuensi tugas jaga yang tinggi, waktu istirahat yang kurang dan insomnia.11
Skala kantuk memiliki hubungan yang
bermakna dengan kualitas tidur. 79,7% subjek memiliki skala kantuk berlebih, sesuai dengan penelitian Richter,dkk1 yang menyatakan bahwa kondisi excessive daytime sleepiness (skor ESS
>10) menjadi faktor signifkan menyebabkan kualitas tidur kurang.
Dari hasil analisis multivariat didapatkan faktor-faktor yang paling dominan menyebabkan gangguan kualitas tidur ialah durasi tidur, keluhan tidur peserta dan skala kantuk berlebih.
Durasi tidur cenderung menjadi lebih pendek seiring memanjangnya durasi jam kerja.11 Hasil analisis regresi linier menunjukkan bahwa durasi tidur menjadi lebih pendek 6,2 menit pada penambahan jam kerja hingga 1 jam per hari. 69 (59%) subjek memiliki jam kerja panjang (>12 jam per hari) dengan 49 subjek memiliki kualitas tidur kurang dan skala kantuk berlebih. Selain itu, dokter dengan hari bebas tugas yang sedikit dalam 1 bulan (<5 hari per bulan) cenderung memiliki durasi tidur yang lebih pendek.11
Pengurangan durasi kerja menjadi kurang dari 16 jam per hari dapat memperbaiki dalam kualitas hidup peserta didik, peningkatan angka keselamatan pasien dan kualitas perawatan serta tidak mengubah aktivitas akademik kedokteran.5
Faktor durasi tidur dan keluhan tidur peserta juga sesuai dengan hasil penelitian Richter, Tabel 5 Faktor Signifikan yang Menyebabkan Skala Kantuk Berlebih
Faktor Koefisien Nilai P Odds
rasio Interval kepercayaan 95%
Hari bebas tugas 1,118 0,02 3,05 1,129–8,286
Tahap Jaga - 2,17 0,04 0,11 0,013–0,990
Kualitas tidur 3,657 0,0001 38,73 6,393–234,7
Tabel 4 Hasil Kuesioner ESS
Tahap Jaga ESS >10 ESS <10 maks min median mean
Jaga 1 Paripurna 17 18 15 3 10 9,9
Jaga 1 Mandiri 2 3 20 8 13 13
Jaga 2 8 4 18 6 13.5 12,9
Jaga 3 23 4 24 2 14 13,9
Jaga 4 7 4 18 6 11 11,6
Jaga 5 6 2 20 5 12 11,9
Hasil 63 peserta
Skala kantuk berlebih 35 peserta Skala kantuk normal
dkk.1 Gangguan tidur berhubungan dengan aktivasi abnormal dari sistem saraf simpatik.
Persepsi diri dari stres mengaktifkan sistem saraf simpatik dan aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal yang melepaskan hormon yang mencetuskan kondisi sadar dan waspada. Kadar kortisol dan norepinephrine yang tinggi ditemukan pada subjek dengan durasi tidur pendek. Penelitian Lindfors, dkk 12 juga menyatakan bahwa faktor yang paling penting dari gangguan tidur adalah kurangnya durasi tidur, gangguan saat tidur, dan insomnia. Mempertahankan dan meningkatkan kualitas tidur sangat penting untuk memperbaiki dan memulihkan fungsi kognitif dan motorik sehingga kinerja profesi anestesiologis tetap baik.
Skala kantuk juga menjadi faktor signifikan terhadap gangguan kualitas tidur, sesuai dengan studi Richter dkk.1 Kondisi mengantuk diakibatkan kualitas tidur yang kurang dan bila kondisi berlangsung lamamengakibatkan sindrom burn out, yaitu sindroma akibat stres yang mencetuskan sekresi kortisol kronis di aksis hipotalamus-pituitari dengan karakteristik kelelahan emosional, depersonalisasi, dan penurunan harga diri hingga penurunan fungsi kognitif, perubahan perilaku, serta perburukan kondisi kesehatan.3
Skala kantuk didapatkan memiliki hubungan bermakna dengan tahap jaga dan tahap pendidikan peserta PPDS Anestesiologis, dimana 36,5%
peserta PPDS Jaga 3 dan 36,5% peserta PPDS tahap magang memiliki skala kantuk berlebih.
Skala kantuk juga berhubungan signifikan pada jumlah jam kerja per hari yaitu 77,8% peserta dengan jumlah jam kerja ≥12 jam per hari memiliki skala kantuk berlebih.
Skala kantuk juga didapatkan memiliki hubungan bermakna dengan jumlah jaga dalam 1 bulan dengan 42 peserta (42,8%) memiliki jumlah jaga 24 jam 6–10x per bulan dan bebas tugas per bulan yang didapatkan 69,8% peserta memiliki hari bebas tugas <4 hari. Kantuk berlebihan di siang hari merupakan gejala yang disebabkan dari gangguan tidur malam hari.
anestesiologis dengan jam kerja atipikal sering mengalami kantuk berlebihan di siang hari dan dapat mengakibatkan kesalahan medis yang fatal.
Rasio skala kantuk berlebih pada anestesiologis ditemukan meningkat secara signifikan pada saat
tugas on-call dan jaga malam.1 untuk mencegah kantuk berlebihan, anestesiologis memerlukan istirahat adekuat melalui durasi tidur yang cukup dengan memperhatikan jumlah tugas jaga malam.
Kendala penjadwalan dan tuntutan pelayanan menyebabkan sulitnya menemukan solusi untuk mengatasi kurangnya waktu tidur dan kondisi kelelahan di rumah sakit.13 Departemen Anestesiologis dan Terapi Intensif FKUI memberlakukan peraturan bahwa jumlah tugas jaga malam maksimal 10 kali per bulan dengan tidak ada tugas jaga 2 hari berturut-turut,dengan tujuan memberikan jeda istirahat diantara tugas jaga dan jam kerja.
Skala kantuk berlebih juga berhubungan signifikan dengan durasi tidur. 5,7% peserta memiliki durasi tidur <5 jam per hari. Hasil PSQI mendapatkan sebanyak 87,3% subjek memiliki kualitas tidur kurang dan 25,4% subjek dengan keluhan insomnia memiliki skala kantuk berlebih. Terjadinya insiden medis terkait erat dengan insomnia (meskipun itu tidak terkait dengan durasi tidur) dan jam kerja yang panjang.13 Insomnia memiliki gejala utama berupa kesulitan memulai tidur, kesulitan mempertahankan tidur, dan bangun di pagi hari. Insiden medis lebih dipengaruhi oleh kualitas tidur dan gangguan pada ritme sirkadian daripada durasi tidur.
Berdasarkan analisis multivariat, faktor hari bebas tugas, tahap jaga, dan kualitas tidur PPDS Anestesiologis menjadi faktor signifikan menyebabkan skala kantuk berlebih, yang serupa dengan studi Kaneita bahwa kurang istirahat akibat kurang tidur memiliki hubungan proporsional dengan durasi jam kerja dan jumlah hari tugas jaga malam. Jumlah hari bebas tugas yang sedikit berhubungan dengan skala kantuk berlebih.13 skala kantuk anestesiologis sebagian besar adalah derajat berat dengan proporsi dua kali lipat dibanding dengan populasi umum. Rasa kantuk berlebihan pada jam kerja menyebabkan anestesiologis kesulitan untuk mempertahankan sikap siaga selama bekerja dan berdampak pada keselamatan pasien.1 Anestesiologis menunjukkan rasa kantuk yang berlebihan serupa dengan kondisi narkolepsi pada perpanjangan jam kerja hingga 48 jam.3,5
Subjek penelitian ini ialah peserta PPDS Anestesiologi. Berbeda dengan studi Richter1
dan Lindfors12 pada dokter anestesiologi. peserta PPDS Anestesiologi memiliki beban akademik dan tugas pelayanan anestesia sehingga menyebabkan hasil yang berbeda dengan profesi spesialis Anestesiologis dengan beban pelayanan yang lebih kompleks dibanding dengan peserta didik Anestesiologi.
Hasil kuesioner pittsburgh seep quality index (PSQI) didapatkan gangguan kualitas tidur terbanyak adalah jaga 1 paripurna (23%) dan jaga 3 (23%). Hasil kuesioner Epworth Sleepiness Scale (ESS) didapatkan skala kantuk berlebih terbanyak adalah peserta PPDS tahap jaga 3 (23,4%). PPDS Anestesiologi tahap jaga 1 paripurna terdiri atas jaga 1 chief dan pasca chief dan telah menyelesaikan seluruh stase.
Dengan tanggung jawab penuh terhadap seluruh pelayanan anestesia di RSUPNCM. Jaga 1 bertanggung jawab terhadap keseluruhan tim jaga di IGD, mengoordinasikan tugas‐tugas pelayanan dan pendidikan seluruh peserta didik, mendampingi semua prosedur induksi anestesia, melakukan tugas stase dan jaga di luar RSCM sesuai kebijakan. PPDS Anestesiologi tahap jaga 3 adalah peserta didik tahap magang yang memiliki kompetensi penatalaksanaan anestesia pada pasien dengan ASA III–IV, melakukan kunjungan pra anestesia, melakukan resusitasi melakukan pelayanan di unit bedah elektif, IGD, ICU, unit resusitasi, tim medis reaksi cepat, dan pelayanan tatalaksana nyeri, melakukan tindakan anestesia seperti pemasangan akses intravena serta pendampingan sedasi. 2,9
Terdapat hubungan signifikan antara kualitas tidur kurang dengan skala kantuk berlebih.
Kantuk berlebih adalah salah satu gejala dari gangguan tidur yang berlangsung selama 30–
120 menit setelah bangun di pagi hari ketika individu bangun dari fase no-rapid eye movement (NREM), terutama stadium NREM 3 dan 4.
Kondisi tidur atau terjaga bergantung pada keseimbangan homeostatik sistem saraf pusat dan irama sirkadian. Adanya gangguan kumulatif terhadap fungsi homeostatik baik berupa kelainan anatomis atau modifikasi siklus tidur akan mengganggu kontrol sirkadian di pusat tidur.14,15
Kantuk berlebihan menyulitkan produktivitas kerja, rasa malas, dan penurunan motivasi.
Gangguan psikologis dan fungsi motorik akibat
tingkat kantuk berlebih yang kronis merusak daya kinerja terutama pada pekerja dengan sistem kerja shift seperti anestesiologis. penurunan produktivitas dapat menyebabkan pengambilan keputusan yang lebih lambat dan meningkatkan jumlah kesalahan tindak medis.11,13
Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan.
Penelitian tidak bisa menjelaskan secara langsung hubungan antara kualitas tidur dan skala kantuk dengan faktor-faktor penyebab gangguan tidur subjek karena subjek memiliki jadwal kerja yang berbeda setiap bulannya. Pengisian kuesioner oleh peserta menyebabkan hasil bersifat subjektif akibat faktor bias daya ingat. Selain itu, penelitian ini tidak menilai faktor-faktor penyebab gangguan tidur lainnya seperti kebiasaan merokok, minum kopi dan teh, tingkat stress terhadap pekerjaan.
Simpulan
Terdapat hubungan signifikan antara gangguan tidur dengan durasi tidur, jumlah jam kerja per hari, jumlah jaga 24 jam, dan hari bebas tugas dalam 1 bulan. Faktor signifikan yang memengaruhi kualitas tidur kurang adalah durasi tidur, keluhan tidur peserta dan skala kantuk sedangkan faktor signifikan yang memengaruhi kantuk berlebih adalah jumlah hari bebas tugas, tahap jaga, dan kualitas tidur PPDS Anestesiologis dan Terapi Intensif FKUI.
Daftar Pustaka
1. Richter E, Blasco V, Antonini F, Rey M, Reydellet L, Harti K, dkk. Sleep disorders among french anesthesiologists and intensivists working in public hospitals. Eur J Anaesthesiol. 2015; 32:132–7.
2. Dachlan MR, Marsaban AH, Lastri DN, Syahrul MZ. Perubahan fungsi kognitif dan psikomotor peserta PPDS anestesiologi dan terapi intensif FKUI setelah 32 jam kerja [Tesis]. Jakarta: Universitas Indonesia; 2014.
3. Nyssen AS, Hansez I. Stress and burnout in anaesthesia. Curr Op Anaesthesiol. 2008;
21:406–11.
4. Leger D, Biol D, Guilleminault C, Bader G, Levy E, Paillard M. Medical and socio- professional impact of insomnia. Sleep.
2002;25(6):21–5.
5. Levine AC, Adusumilli J, Landrigan CP.
Effects of reducing or eliminating resident work shifts over 16 hours: a systematic review. Sleep. 2010;33(8):1043–53.
6. Olson EJ, Drage LA, Auger R. Sleep deprivation, physician performance, and patient safety. CHEST. 2009;136(5):1389–
7. Papp KK, Stoller EP, Sage P, Aikens JE, 96.
Owens J, Avidan A, dkk. The effects of sleep loss and fatigue on resident–physicians: a multi-institutional, mixed-method study.
Acad Med. 2004;79:394–406.
8. Australian and New Zealand College of Anesthetists [Internet]. Statement on fatigue and the anesthetist. 2007 [Disitasi 9 Februari 2016]. Tersedia dari: http://www.anzca.edu.
9. Perdana A, Nugroho AM, Lastri DN, Ariadi au.
A. Perubahan fungsi kognitif dan psikomotor peserta PPDS anestesiologi dan terapi intensif FKUI pada pelayanan anestesia elektif setelah 12 jam kerja [Tesis]. Jakarta:
Universitas Indonesia; 2015.
10. Raghu R, Kalpalatha G, Philip A, Salim S, Lata C, Shyam S. Sleepiness in Medical ICU Residents. CHEST. 2009;135:81–5.
11. Kaneita Y, Ohida T. Association of current work and sleep situations with excessive daytime sleepiness and medical incidents among japanese physicians. J Clin Sleep Med. 2011;7(5):512–22.
12. Lindfors PM, Nurmi KE, Meretoja OA, Luukkonen RA, Viljanen AM, Leino TJ, dkk.
On-call stress among Finnish anesthetists.
Anesth. 2006;61:856–66.
13. Shneerson JM. Physiological basis of sleep and wakefulness. Dalam: Shneerson JM, penyunting. Sleep medicine; a guide to sleep and its disorder. Edisi ke-2. Cambridge:
Blackwell Publishing; 2005. hlm.22–5.
14. Stoller EP, Papp KK, Aikens JE, Erokwu B, Strohl KP. Strategies resident-physicians use to manage sleep loss and fatigue. Med Educ Online. 2005;10(9):1–13.
15. Drouot X, Quentin S. Sleep neurobiology and critical care illness. Crit Care Clin. 2015;
31:379–91.