• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Gagal Napas

2.1.1 Definisi

Gagal gagal adalah kondisi kegagalan sistem pernafasan dalam pertukaran gas dimana PaO2 < 60 mmHg dan PaCO2 > 50 mmHg (Sakti et al., 2021). Gagal napas adalah suatu kondisi ketidakmampuan sistem pernapasan untuk mengambil oksigen yang cukup dan mengeluarkan karbon dioksida, yang disebabkan oleh gangguan pada sistem pernapasan dan sistem lainnya, termasuk gangguan sistem saraf. Keadaan ini menyebabkan hipoksemia, hiperkapnia, atau bahkan kombinasi keduanya (Bakhtiar, 2013). Secara keseluruhan, distribusi frekuensi gagal napas tidak diketahui karena gagal napas merupakan kumpulan gejala suatu penyakit dari suatu proses penyakit tunggal.

Ada dua macam gagal napas, yaitu gagal napas akut dan gagal kronis yang masing-masing memiliki definisi yang berbeda. Gagal napas akut adalah gagal napas yang terjadi pada pasien yang memiliki struktur dan fungsi paru normal sebelum timbulnya penyakit. Sedangkan gagal kronis adalah gagal napas yang terjadi pada pasien dengan penyakit kronis seperti bronkitis kronis, emfisema. Pasien memiliki toleransi terhadap hipoksia dan hiperkapnia yang memburuk secara bertahap (Sakti et al., 2021).

2.1.2 Anatomi Fisiologi

Respirasi adalah pertukaran gas antara alam dan lingkungan sekitarnya. Pada manusia ada dua jenis respirasi, yaitu internal dan eksternal. Respirasi internal adalah pertukaran gas antara darah dan jaringan. Respirasi eksternal adalah pertukaran gas antara lingkungan dan kapiler paru. Unit fungsional paru-paru terdiri dari alveolus dan jaringan kapilernya. Banyak faktor yang mempengaruhi pertukaran udara dari lingkungan ke alveolus (ventilasi) dan suplai darah ke kapiler paru (perfusi).

Hukum Herry menyatakan bahwa ketika terbuka ke atmosfer gas, keseimbangan gas parsial terjadi antara gas terlarut dalam larutan dan gas atmosfer molekuler sehingga tekanan parsial O2 dan CO2 yang

(2)

meninggalkan kapiler paru sama dengan tekanan parsial O2 dan CO2 yang masuk ke atmosfer. alveolus setelah keseimbangan tercapai. Dalam keadaan seimbang, tekanan parsial O2 dan CO2 dihasilkan dari keseimbangan dinamis antara pengangkutan O2 ke alveolus dan ekstraksi O2 dari alveolus, dan pengangkutan CO2 ke alveolus dan CO2 yang dikeluarkan. (Putra &

Astara, 2016).

Gambar 1. Anatomi Fisiologis Pernapasan (Putra & Astara, 2016)

Transportasi CO2 ke alveolus secara langsung berhubungan dengan laju aliran udara (ventilasi) dan komposisi gas yang dihirup (tekanan parsial O2 di udara inspirasi; FIO2). Secara umum, tekanan O2 alveolus (PAO2) meningkat dengan meningkatnya tekanan O2 inspirasi dan peningkatan ventilasi. Ekstraksi O2 dari alveolus ditentukan oleh saturasi, kualitas dan kuantitas hemoglobin darah yang mengalir ke alveolus. Saturasi O2 hemoglobin di kapiler paru dipengaruhi oleh suplai O2 ke jaringan (cardiac output) dan ekstraksi O2 oleh jaringan (metabolisme).

Atmosfer bertekanan 1 atm (760mmHg) mengandung 20,93%

oksigen, sehingga fraksi oksigenasi udara inspirasi (FiO2) adalah 20,93% x 760mmHg=159mmHg. Udara inspirasi akan dilembabkan (dilembabkan) di dalam rongga hidung sehingga udara tersebut mengandung uap air dengan tekanan parsial uap air 47mmHg, sehingga tekanan parsial O2 di paru-paru menjadi (760-47)x20.93% = 149mmHg. Tekanan parsial O2 di alveolus jauh lebih rendah daripada udara inspirasi, karena dalam perjalanan udara inspirasi sebagian O2 diserap dan digantikan oleh CO2, sehingga ketika

(3)

mencapai alveolus, tekanan parsial O2 hilang. oleh sepertiga dan sisanya hanya 100mmHg.

Gambar 2. Sistem Pernapasan (Shapiro & Peruzzi, 1994)

Proses difusi paru merupakan proses pasif, sehingga tidak memerlukan energi atau oksigen. Tekanan parsial O2 alveolus (PaO2)=100mmHg, sedangkan PO2 di kapiler paru adalah 40mmHg.

Perbedaan tekanan sebesar 60mmHg menyebabkan kecepatan difusi cukup tinggi untuk mendifusikan O2 melalui membran ke dalam darah yang mengalir cukup cepat, sehingga PaO2 mencapai 97.

Kapasitas difusi O2 adalah jumlah O2 yang mampu menembus membran alveolus per menit per mm Hg yang merupakan selisih PO2 antara alveolus dengan darah kapiler paru. Kapasitas difusi normal saat istirahat adalah sekitar 20 ml/menit/mmHg. Pada saat melakukan aktivitas bisa mencapai 65 ml atau lebih.

Tekanan parsial CO2 (PCO2) darah vena adalah 46 mmHg, sedangkan PCO2 udara alveolus adalah 40 mmHg. Jadi perbedaan tekanan hanya 6mmHg, namun CO2 dapat berdifusi dengan mudah karena kapasitas difusi CO2 jauh lebih besar daripada O2. Peredaran darah pulmonal dimulai dari pembuluh trunkus pulmonalis yang menerima darah vena dari ventrikel kanan, kemudian bercabang-cabang secara dikotomis menurut percabangan jalan nafas sampai ke bronkiolus terminalis dan mulai bercabang banyak

(4)

seperti jaringan yang menutupi dinding alveolus dengan susunan yang sangat tepat. untuk pertukaran gas.

Darah teroksigenasi disalurkan oleh vena pulmonalis yang berjalan di antara lobulus dan bergabung membentuk vena pulmonalis ke atrium kiri jantung. Secara absolut jumlah darah yang beredar di paru-paru pada orang dewasa lebih dari 900 ml. Aliran darah nutrisi ke jaringan paru-paru berasal dari arteri bronkial, kemudian darah vena kembali ke jantung melalui dua jalur, yaitu mengikuti aliran darah pulmonal ke jantung kiri dan aliran vena azygos ke vena cava inferior kemudian ke jantung kanan.

2.1.3 Etiologi

Beberapa mekanisme timbulnya gagal napas pada beberapa penyakit adalah sebagai berikut (Arofah & Sudaryanto, 2020):

1. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) dan Asma

Kerusakan jaringan paru pada PPOK seperti akses jalan nafas yang menyempit, fibrosis, destruksi parenkim membuat luas permukaan alveolus yang kontak langsung dengan kapiler paru terus berkurang sehingga mengganggu difusi O2 dan eliminasi CO2.

2. Pneumonia

Mikroorganisme pada pneumonia mengeluarkan racun dan memicu reaksi inflamasi dan mengeluarkan lendir. Lendir membuat luas permukaan alveolus yang kontak langsung dengan kapiler paru terus berkurang, mengganggu difusi O2 dan eliminasi CO2.

3. Tuberculosis Pulmonal

Pelepasan besar mikobakteri ke dalam sirkulasi paru menyebabkan peradangan, endarteritis obliteratif dan kerusakan membran kapiler alveolar, sehingga mengganggu pertukaran gas.

4. Tumor paru

Tumor paru dapat menyebabkan obstruksi jalan napas sehingga ventilasi dan perfusi tidak berfungsi secara adekuat.

5. Pneumotoraks

Pneumotoraks adalah keadaan darurat medis dan terjadi ketika tekanan intrapleural melebihi tekanan atmosfer. Pada pernapasan normal,

(5)

rongga pleura memiliki tekanan negatif. Saat dinding dada mengembang ke luar, permukaan antara pleura parietal dan visceral muncul menyebabkan paru-paru mengembang ke luar. Penumpukan tekanan di ruang pleura akhirnya menyebabkan hipoksemia dan gagal napas karena kompresi paru-paru.

6. Efusi Pleura

Efusi pleura dapat menyebabkan dispnea karena penurunan komplians dinding dada, sehingga pertukaran udara tidak adekuat.

2.1.4 Klasifikasi

Gagal napas tipe I adalah kegagalan paru-paru untuk mengoksidasi darah, ditandai dengan penurunan PaO2 dan PaCO2 normal atau menurun.

Gagal napas tipe I terjadi pada kelainan paru dan bukan disebabkan kelainan ekstrapulmoner. Mekanisme hipoksemia terjadi karena: i. Gangguan ventilasi/perfusi (V/Q mismatch), terjadi ketika darah mengalir ke bagian paru-paru yang berventilasi buruk atau rendah. Situasi ini paling umum terjadi pasa pasien gagal napas. Contohnya adalah posisi (terlentang di tempat tidur), ARDS, atelektasis, pneumonia, emboli paru, displasia bronkupulmonalis. ii. Gangguan difusi yang disebabkan oleh penebalan membran alveolus atau pembentukan cairan interstisial pada sambungan alveolus-kapiler. Contohnya adalah edema paru, ARDS, pneumonia interstisial. iii. Shunt intrapulmoner terjadi ketika darah mengalir melalui area paru-paru yang tidak pernah diventilasi. Contohnya adalah malformasi arteri-vena paru, malformasi adenomatoid kongenital (Soeroso et al., 2017)

Gagal napas tipe II adalah kegagalan tubuh untuk mengeluarkan CO2, umumnya disebabkan oleh gangguan ventilasi yang ditandai dengan retensi CO2 (peningkatan PaCO2 atau hiperkapnia) disertai dengan penurunan pH yang tidak normal dan penurunan PaO2 atau hipoksemia (Soeroso et al., 2017). Kegagalan ventilasi biasanya disebabkan oleh hipoventilasi karena kelainan ekstrapulmonal. Hiperkapnia yang terjadi karena kelainan ekstrapulmonal dapat disebabkan karena: 1) penekanan dorongan pernapasan sentral atau 2) gangguan pada respon ventilasi (Soeroso et al., 2017).

(6)

2.1.4 Patofisiologi

Gagal Napas Tipe I

Gagal napas tipe I dapat terjadi akibat fraksi oksigen inspirasi yang rendah. Konsentrasi O2 alveolus (PaO2) akan menurun jika konsentrasi O2 inspirasi (FIO2) turun. Ini mungkin karena tidak adanya gas penyebab hipoksia, gangguan sirkuit pernapasan selama ventilasi mekanis, atau peningkatan ruang mati dan rebreathing dari gas yang dihembuskan. Selain itu, jika tekanan barometrik (Pb) menurun (misalnya pada ketinggian), tekanan parsial O2 (PiO2) yang diilhami menurun dan PaO2 akan menurun.

Pada 3000 m, PiO2 adalah 13,3 kPa (100 mmHg) dan PaO2 adalah 6,7 kPa (50 mmHg).

Hipoventilasi alveolar dapat menyebabkan hipoksia pada pasien dengan paru normal hanya pada hipoventilasi berat. Namun, untuk setiap kenaikan satu unit PaCO2, PaO2 akan berkurang dengan jumlah yang konstan. Selain hipoventilasi, gangguan difusi juga dapat menyebabkan gagal napas tipe I. Pertukaran gas yang efisien tergantung pada antarmuka antara alveoli dan aliran darah. Penyakit yang mempengaruhi antarmuka ini menyebabkan gangguan difusi. Semakin besar kelarutan gas, semakin kecil defisit difusi.

Hubungan ventilasi-perfusi paru yang baik menghasilkan pertukaran O2 yang optimal antara alveoli dan darah. Hipoksemia dapat terjadi ketika ada ketidakseimbangan antara ventilasi alveolar dan perfusi paru (V/Q mismatch). V/Q mismatch adalah penyebab paling umum dari hipoksia pada pasien sakit kritis, dan mungkin karena atelektasis, emboli paru, intubasi endobronkial, posisi pasien, bronkospasme, obstruksi jalan napas, pneumonia, ARDS. Jika ada atelektasis, tekanan akhir ekspirasi positif/

PEEP akan meningkatkan PaO2.

Shunt kanan-ke-kiri terjadi ketika darah vena pulmonalis melewati alveolus yang berventilasi dan mengalami deoksigenasi. Darah shunt ini mempertahankan saturasi O2 vena campuran (70-80% pada individu sehat).

Kemudian dicampur dan direduksi O2. Kandungan darah yang tidak dishunt menyebabkan penurunan PaO2.

(7)

Gagal Napas Tipe II

Gagal napas tipe II dapat disebabkan oleh kelainan pada pernapasan pusat. Berkurangnya gerakan nafas dari pusat akan mengurangi ventilasi per menit. Ini sering merupakan akibat dari sedasi dan dapat diperburuk oleh interaksi obat yang sinergis, perubahan metabolisme obat (gagal hati/ginjal), overdosis obat yang bersifat atau iatrogenik. Penyebab lain termasuk cedera kepala, peningkatan tekanan intrakranial dan infeksi sistem saraf pusat.

Hiperkalemia berat atau hipoksemia juga dapat menekan pusat pernapasan, yang menyebabkan perburukan klinis. Faktor-faktor yang menekan pernapasan juga menekan fungsi otak secara keseluruhan, yang menyebabkan penurunan kesadaran, ketidakmampuan untuk melindungi saluran pernapasan dan risiko pernapasan dan aspirasi paru.

Kelainan pada medula spinalis seperti cedera medula spinalis akan mempengaruhi persarafan diafragma dan otot interkostal thoraks serta menyebabkan hipoventilasi dan retensi sekret. Kegagalan parah akan terjadi pada lesi serabut saraf di atas saraf frenikus (C3, 4, 5), karena diafragma hilang dan otot-otot pernapasan aksesori gagal. Pasien-pasien ini memerlukan ventilasi jangka panjang, meskipun beberapa fungsi saraf dapat kembali dan aksesoris berkembang dari waktu ke waktu. Spastisitas dan atrofi otot yang disebabkan oleh penyakit motor neuron biasanya mengakibatkan kematian akibat gagal napas dan aspirasi dalam waktu 5 tahun.

Gangguan saraf motorik seperti polineuropati yang berasal dari sindrom Guillain-Barré dapat menyebabkan kelemahan otot pernapasan dengan penurunan kapasitas vital dan peningkatan frekuensi pernapasan.

Pasien mungkin mengalami disfungsi bulbar, dengan risiko aspirasi.

Hipoventilasi dan asidosis respiratorik terjadi secara tiba-tiba dan dapat mengalami gangguan pernapasan karena kondisinya belum terobati.

Kelemahan otot yang disebabkan oleh miopati kongenital (misalnya distrofi otot) pada akhirnya dapat menyebabkan kegagalan ventilasi. Miastenia gravis, gangguan sambungan neuromuskular, menyebabkan kelemahan umum, dan kegagalan dapat terjadi pada krisis miastenia. Eksaserbasi akut

(8)

sering disebabkan oleh infeksi, dan krisis kolinergik dapat terjadi akibat overdosis obat antikolinergik. Kondisi lain yang mengganggu transmisi pada sambungan neuromuskular juga dapat menyebabkan gagal napas.

Toksin botulinum mengikat secara ireversibel ke terminal prasinaps pada sambungan neuromuskular dan mencegah pembukaan asetilkolin..

Abnormalitas dinding dada (misalnya kifoskoliosis) mengganggu mekanisme ini, menempatkan pasien pada risiko gagal napas. Pasien dengan patah tulang rusuk atau patah tulang rusuk akan mengalami hipoventilasi jika analgesia yang memadai tidak diberikan. Hal ini, bersama dengan penurunan kemampuan batuk karena nyeri, akan menyebabkan retensi dahak atau sekret dan menjadi faktor predisposisi pneumonia. Hal ini diperparah jika dinding dada tidak stabil karena segmen flail atau kontusio paru yang menimpanya. Pneumotoraks, hemotoraks, dan efusi pleura dengan ukuran yang cukup dapat menyebabkan kegagalan ventilasi dan oksigenasi.

Penyakit paru parenkim dan penyakit saluran napas obstruktif kronik (PPOK) menyebabkan gagal napas tipe I. Ini dapat berkembang menjadi gagal napas tipe II karena memburuk, menyebabkan gagal napas campuran.

Meningkatkan ruang mati mengurangi ventilasi alveolus menit yang efektif.

Penyakit yang berhubungan dengan peningkatan ruang mati (misalnya, emfisema, emboli paru) dapat menyebabkan hiperkapnia, tetapi biasanya ada peningkatan kompensasi dalam ventilasi menit. Demam, peningkatan kerja pernapasan (misalnya, karena penyesuaian paru yang buruk atau resistensi jalan napas yang tinggi), atau asupan karbohidrat yang berlebihan akan meningkatkan PaCO2 selama ventilasi tertentu dan dapat mencegah gagal napas hiperkapnia.

2.1.5 Manifestasi Klinis Gagal napas hipoksemia

Nilai PaCO2 pada jenis gagal napas ini menunjukkan nilai normal atau rendah. Gejala yang timbul adalah campuran dari hipoksemia arteri dan hipoksia jaringan, antara lain: (Fernanda & Yuniarti, 2022):

a. Dispnea (takipnea, hiperventilasi)

(9)

b. Perubahan status kesadaran, gelisah dan bingung c. Sinosis (mukosa,bibir)

d. Peningkatan saraf simpatis, takikardi, diaforesis dan hipertensi

e. Hipotensi, bradikardi, iskemik miokard, infark, anemia, hingga gagal jantung dapat terjadi pada hipoksia berat.

Gagal napas hiperkapnia

Tingginya kadar PCO2 di alveolus menyebabkan PO2 alveolus arteri turun. Hal ini dapat disebabkan oleh gangguan pada dinding dada, otot pernapasan, atau batang otak. Contohnya termasuk PPOK berat, asma parah, fibrosis paru stadium akhir, ARDS parah, atau sindrom Guillain Barre. Gejala hiperkapnia termasuk penurunan kesadaran, kegelisahan, dispnea (takipnea, bradipnea), tremor, bicara tidak teratur, sakit kepala, dan edema papil (Fernanda & Yuniarti, 2022).

2.1.6 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan Suportif/Non spesifik

Penatalaksanaan non spesifik merupakan penatalaksanaan yang bertujuan untuk memperbaiki gangguan pada pertukaran gas.

1. Atasi hipoksemia Terapi Oksigen

Oksigen harus segera diberikan dengan adekuat karena jika tidak diberikan akan menimbulkan cacat tetap dan kematian. Pada kondisi ini oksigen harus diberikan dengan FiO2 60-100% dalam waktu pendek dan terapi yang spesifik diberikan. Selanjutnya oksigen diberikan dengan dosis yang dapat mengatasi hipoksemia dan meminimalisasi efek samping (Deli et al., 2017).

2. Atasi Hiperkania: Memperbaiki Ventilasi Jalan Napas (Airway)

Jalan napas sangat penting untuk ventilasi, oksigenasi, dan pemberian obat-obatan pernapasan. Semua distres pernapasan harus diperiksa dan adanya obstruksi jalan napas atas. Pertimbangan untuk memasukkan jalan napas buatan seperti tabung endotrakeal (ETT)

(10)

berdasarkan manfaat dan risiko dari jalan napas buatan di atas jalan napas alami (Rifai & Sugiyarto, 2019).

Ventilasi: Bantuan ventilasi dan Ventilasi mekanik

Indikasi utama pemasangan ventilator adalah adanya gagal napas atau kondisi klinis yang mengarah pada gagal napas (distress pernapasan yang tidak segera teratasi). Kondisi yang menyebabkan gagal napas termasuk hipoksemia refrakter, hiperkapnia akut atau kombinasi keduanya. Indikasi lain adalah pneumonia berat yang tetap hipoksemia meskipun pemberian oksigen tekanan tinggi atau eksaserbasi PPOK di mana PaCO2 meningkat dan menyebabkan asidosis.

Indikasi dilakukan intubasi dan ventilasi adalah sebagai berikut:

1. Secara fisiologis

a. Hipoksemia menetap setelah diberikan oksigen b. PCO2 > 55 mmHg dengan pH < 7,25

c. Kapasitas vital < 15 ml / kgBB dengan penyakit neuromuskular

2. Secara klinis

a. Perubahan status mental dengan gangguan jalan napas b. Gangguan pernapasan dengan ketidakstabilan hemodinamik c. Obstruksi jalan napas (mempertimbangkan dilakukan

trakeostomi). Catatan: Pertimbangan trakeostomi jika obstruksi di atas trakea

d. Sputim berlebih dan tidak dapat dikeluarkan oleh pasien.

3. Terapi suportif lainnya a. Suctioning

Melakukan tindakan suction yaitu dengan cara memasukkan selang suction melalui hidung dan mulut pada ETT. Tindakan suction dilakukan untuk membersihkan jalan napas dari sekret atau sputum dan juga untuk menghindari infeksi saluran napas (Paramitha & Suparmanto, 2020).

b. Fisioterapi dada

(11)

Dimaksudkan untuk membersihkan jalan napas dari sekret, sputum. Tindakan ini selain untuk mengatasi gagal napas juga sebagai tindakan preventif. Pasien diajarkan untuk bernapas dengan benar, jika perlu dengan bantuan tekanan pada perut menggunakan telapak tangan selama inspirasi. Pasien mengalami batuk efektif. Lakukan juga tepukan pada dada, punggung, perkusi, vibrasi, dan drainase postural. Terkadang obat-obatan seperti mukolitik dan bronkodilator juga diperlukan (Khumayroh, 2019).

c. Bronkodilator

Obat ini lebih efektif bila diberikan secara inhalasi dibandingkan bila diberikan secara parenteral atau oral, karena untuk efek bronkodilatasi yang sama, efek sampingnya lebih sedikit jika dihirup sehingga dosis besar dapat diberikan secara inhalasi (Gilda Simanjuntak & Serepina, 2020).

d. Kortikosteroid

Mekanisme bagaimana kortikosteroid menurunkan jalan napas tidak pasti, tetapi perubahan sifat dan jumlah sel inflamasi telah ditunjukkan setelah pemberian sistemik dan topikal (Gilda Simanjuntak & Serepina, 2020).

2.2 Konsep Ventilasi Mekanik 2.2.1 Definisi Ventilasi Mekanik

Ventilasi mekanik adalah tindakan memberikan bantuan nafas menggunakan alat mekanik (ventilator) dengan cara memberikan tekanan udara positif pada paru-paru melalui jalan nafas buatan dengan tujuan mengganti alat pernafasan dan memperbaiki pertukaran gas yang bersifat sementara sampai penyebab gangguan pernafasan teratasi (Gilda Simanjuntak & Serepina, 2020).

Ventilasi mekanik merupakan intervensi yang paling sering ditemukan di ICU, dan perawat memerlukan pengetahuan tentang tipe ventilator, setting ventilator, dan alarm yang sering digunakan. Ventilasi mekanik

(12)

sebagai intervensi suportif sering digunakan sampai masalah yang mendasarinya hilang.

Ventilator yang digunakan di ICU dewasa saat ini adalah ventilator tekanan positif. Ventilator tekanan positif bekerja dengan mengirimkan tekanan positif untuk mengembangkan paru dan dinding dada, dengan prinsip kerja volume, tekanan, dan atau waktu.

Ventilator terbagi atas 2 kategori, yaitu ventilator dengan sistem volume dan ventilator dengan sistem tekanan. Pada ventilator sistem volume, ditentukan volume tidal yang akan diberikan tanpa menghiraukan tahanan dan compliance. Volume tidal akan stabil pada setiap nafas, tetapi tekanan jalan nafas akan bervariasi.

Pada ventilasi mekanik sistem tekanan, ditentukan level tekanan yang diharapkan dan besaran volume tidal ditentukan oleh level tekanan yang dipilih, tahanan dan compliance paru.

2.2.2 Tujuan

Penggunaan ventilator pada pasien biasanya meliputi tujuan berikut:

a. Menurunkan usaha/kerja nafas pasien.

b. Mengatasi symptom distress pernafasan.

c. Mengistirahatkan otot-otot pernafasan.

d. Meningkatkan oksigenasi

e. Mengatasi ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi (asam basa)

f. Stabilisasi dinding dada (membuka atelectasis, memperbaiki compliance, mencegah cedera paru lebih lanjut)

2.2.3 Indikasi

Indikasi umum untuk pemakaian ventilator meliputi (Rahma & Ismail, 2019):

a. Kegagalan pernafasan akut dan kronis

b. Hipoksemia akut (PaO2 < 60 mmHg), tidak respon dengan terapi oksigen

c. Injury paru akut

d. PaCO2 > 50 mmHg dengan pH arteri < 7,25 e. Apnea

(13)

f. Bradipnea atau apnea dengan respiratory arrest g. Coma ( atau GCS < 8)

h. Hipotension (gagal jantung)

i. Penyakit neuromuskuler (GBS, Myastenia Gravis, tetanus, trauma cervikal)

j. Kelelahan otot nafas

k. Tachypnea, RR > 33 x/menit

l. Kapasitas vital paru kurang dari 15 ml/kg BB (Kapasitas vital adalah jumlah udara maksimal yang dapat dikeluarkan seseorang setelah mengisi paru-paru secara maksimal, normalnya 3100-4800)

2.2.4 Mode Ventilator

Beberapa mode ventilator dan aplikasi yang sering digunakan adalah (Gilda Simanjuntak & Serepina, 2020):

a. Controlled ventilation

Pasien tidak boleh atau tidak dapat melakukan usaha nafas. Ventilator di setting untuk memberikan frekuensi nafas dan volume tidal yang diharapkan. Untuk mengatasi usaha nafas pasien, diberikan obat-obatan seperti opioid, neurobloker/relaksan, dan benzodiazepin. Pada mode ini, mesin menyediakan seluruh pernafasan pasien. Perawat mengatur frekuensi, volume tidal, inspiratory time, PEEP, I-E ratio, dan FiO2.

Pada mode ini, pasien dapat menerima sistem volume (volume control) atau sistem tekanan (pressure control). Perawat mengeset level pressure control pada sistem tekanan.

b. Assist Control Ventilation

Pasien dapat menginisiasi usaha nafas. Triger sensitivity ventilator dibuka dan mesin akan merespon terhadap triger pasien dengan mengirimkan nafas sesuai volume tidal setting. Pada mode ini, juga dapat menerima sistem volume (volume control) atau sistem tekanan (pressure control). Perawat mengeset level pressure control pada sistem tekanan.

c. Intermittent Mandatory Ventilation

(14)

Pasien dapat bernafas spontan dengan frekuensi dan volume sesuai kemampuan pasien, diantara pernafasan dari mesin secara sinkron, tidak bertabrakan, sehingga mode ini disebut sebagai Synchronized Intermitten Mandatory Ventilation. Pada mode ini, juga dapat diberikan sistem volume maupun sistem tekanan/pressure.

d. Pressure Support Ventilation

Tekanan positif diberikan pada tiap inspirasi pasien untuk menguatkan volume tidal. Pada mode ini pasien bernafas spontan, dengan setiap inisiasi nafas, mesin memberikan aliran udara sesuai level tekanan yang diatur. Perawat mengatur level tekanan bantuan, PEEP dan sensitivity.

e. Continous Positif Airway Pressure

Pasien bernafas spontan dan tidak memerlukan bantuan untuk volume tidal, tetapi pada akhir ekspirasi ada sisa tekanan (PEEP) yang berguna untuk meningkatkan oksigenasi.

f. ASV (Adaptive Support Ventilation)

Dirancang untuk memberikan ventilasi dengan ventilasi menit yang terjamin. Pada setiap napas ASV akan secara otomatis menyesuaikan kebutuhan ventilasi yang diberikan berdasarkan pengaturan ventilasi menit minimum dan berat badan ideal pasien, sedangkan pernapasan mekanis ditentukan oleh ventilator. ASV adalah kombinasi dari PC dan PS. Jika pasien diberikan sedasi atau relaksan otot sehingga tidak ada pemicu untuk bernafas, maka ASV akan otomatis masuk ke mode Pure Pressure Control. Jika pasien kemudian mulai bangun (trigger +) atau mulai menyapih, ASV akan otomatis berubah menjadi Pressure Support.

g. NIV (Non Invasif Ventilation)

Adalah teknik ventilasi tanpa pipa trakea pada saluran nafas, hanya menggunakan keping mulut, sungkup hidung atau sungkup yang menutup mulut dan hidung pasien. Mode ini banyak digunakan untuk pasien dengan penyakit neuromuskuler dinding dada, kesulitan weaning ventilator atau pasien PPOK.

(15)

2.2.5 Perawatan Pasien dengan Ventilator a. Persiapan pasien

Menjelaskan tujuan pemakaian ventilator dan berikan update informasi pada pasien atau keluarganya. Informed consent biasanya dilakukan sebelum pasien masuk ICU.

b. Melakukan persiapan alat dengan setting circuit menggunakan prinsip steril, melakukan kalibrasi alat pada setiap awal pemakaian ventilator.

c. Monitoring patensi jalan nafas

1. Suction secara berkala dan adekuat dari ET dan mulut 2. Memberikan nebulizer sesuai jadwal terapi

3. Monitoring PIP (Peak Inpiratory Pressure) 4. Membersihkan tubing dari kondensasi atau air d. Humidifikasi (sesuai suhu tubuh)

e. Perawatan selang ET dan tekanan cuff ET

1. Mempertahankan posisi ET, mencatat batas ET 2. Mengganti plester ET bila diperlukan

3. Melakukan penggantian posisi ET bila memungkinkan setiap 24 jam

4. Melakukan pengecekan cuff ET secara periodik f. Monitoring suara paru

1. Auskultasi seluruh lapangan paru, termasuk untuk mengetahui kedalaman ET

2. Mengamati gerakan dada

g. Monitoring pertukaran gas secara berkala dengan pemeriksaan Analisa Gas Darah (AGD) dan SpO2

h. Monitoring setting ventilator, tidal volume, minute volume dan PIP.

i. Pencegahan komplikasi pemasangan ventilator (VAP bundle) (Yuniandita & Hudiyawati, 2020).

1. Head up pasien 30 – 45 derajat

2. Oral care dengan chlorhexidine 3x sehari 3. Pencegahan DVT (Deep Venous Thrombosis) 4. Pemberian obat – obatan pencegah stress ulcer

(16)

5. Melakukan peninjauan pemberian sedasi untuk mengetahui kemampuan nafas spontan pasien sebelum ekstubasi

6. Melakukan suctioning ET secara berkala 7. Melakukan evaluasi foto rontgen secara berkala h. Komunikasi

Memberi kesempatan menulis atau papan huruf/kata.

i. Psikologis pasien

Jelaskan prosedur, dukung pasien, motivasi dan harapan.

j. Nutrisi dan cairan

Enteral nutrisi, absorbsi, resiko aspirasi, parenteral nutrisi bila diperlukan.

k. Memperhatikan usaha nafas pasien (RR, nafas pendek, tersengal – senggal, cuping hidung)

l. Monitoring stabilisasi hemodinamik, perfusi organ.

2.2.6 Penyapihan Ventilasi Mekanik

Melepaskan ventilator ke pernafasan spontan (penyapihan) sering menimbulkan kesulitan pada ICU yang disebabkan oleh karena faktor fisiologis dan psikologis. Hal ini memerlukan kerja sama dari pasien, perawat, ahli respirasi, dan dokter. Penyapihan merupakan pengurangan secara bertahap penggunaan ventilasi mekanik dan mengembalikan ke nafas spontan. Penyapihan dimulai hanya setelah proses – proses dasar yang dibantu oleh ventilator sudah terkoreksi dan kestabilan kondisi pasien sudah tercapai (Smeltzer & Bare, 2015).

Penyapihan pasien dari ketergantungan pada ventilator terjadi dalam tiga tahap. Pasien secara bertahap disapih dari (1) ventilator, (2) tubing, dan (3) oksigen. Penyapihan dari ventilasi mekanis dilakukan sedini mungkin, konsisten dengan keselamatan pasien. Adalah penting bahwa keputusan dibuat atas dasar fisiologis dari sudut pandang mekanis. Pemahaman menyeluruh tentang status klinis diperlukan dalam membuat keputusan ini (Smeltzer & Bare, 2015).

(17)

2.3 Konsep Pendekatan di Unit Perawatan Intensif 2.3.1 Pengkajian

Pengajian adalah tahapan pertama dalam proses asuhan keperawatan.

Pengkajian merupakan tahap dimana menentukan tahapan selanjutnya untuk dilakukan tindakan keperawatan.

1. Identitas pasien

Mencakup nama lengkap pasien, tempat tinggal, jenis kelamin, tempat tanggal lahir, usia, dan asal suku bangsa.

2. Keluhan utama

Keluhan utama yang dirasakan klien saat pengkajian, nyeri biasanya merupakan keluhan utama.

3. Riwayat kesehatan sekarang

Pengembangan dari keluhan utama yang dirasakan klien melalui metode PQRST atau CPOT dalam bentuk narasi.

4. Riwayat kesehatan dahulu

Pengkajian yang perlu ditanyakan meliputi adanya riwayat penyakit sebelumnya seperti hipertensi, diabetes melitus, penyakit jantung, anemia, penggunaan obat-obat anti koagulan, aspirin, vasodilator, obat – obat adiktif dan konsumsi alkohol.

5. Riwayat penyakit keluarga

Pengkajian yang perlu ditanyakan meliputi penyakit keturunan dan menular.

2.3.2 Pemeriksaan Fisik

Selain mencari tanda-tanda fisik yang mendukung diagnosis dan kemungkinan adanya penyakit lain, juga berguna untuk mengetahui penyakit yang mungkin menyertai penyakit tersebut. Berikut adalah pola pemeriksaan fisik menurut Review System: (Wardani et al., 2018):

a. B1 (Breathing)

Bentuk dada dan gerakan pernapasan. Gerakan nafas simetris. Pada klien dengan gagal napas sering ditemukan peningkatan frekuensi napas cepat dan dangkal, serta retraksi sternum dan ruang interkostal (ICS). Pernapasan lubang hidung pada sesak napas yang parah. Klien

(18)

biasanya mengalami batuk produktif dengan batu dengan produksi sputum purulen. Gerakan dinding thorak anterior/eksresi respirasi, vibrasi (vokal fremitus) biasanya teraba normal, nyeri dada yang meningkat dengan batuk. Gagal napas yang disertai keluhan biasanya didapatkan dengan cara yang menyenangkan atau bergema di seluruh lapang paru. Perkusi suara redup pada klien pneumonia didapatkan bila bronkopneumonia menjadi sarang (confluent). Klien juga mendapatkan suara nafas yang lemah dan ronki basah tambahan pada sisi yang sakit.

b. B2 (Blood)

Ditemukan kelemahan fisik umum. Biasanya klien muncul untuk melindungi daerah yang terkena. nadi perifer melemah, tentukan batas jantung, ukur tekanan darah, dan auskultasi bunyi jantung tambahan.

c. B3 (Brain)

Pada klien yang terpasang ventilator berat sering terjadi penurunan kesadaran, didapatkan sianosis perifer bila gangguan perfusi jaringan sudah parah. Pada pemeriksaan obyektif, wajah tampak meringis, menangis, merintih, dan meregang.

d. B4 (Bladder)

Pengukuran volume haluaran urine perlu dilakukan karena berkaitan dengan asupan cairan. Pada pasien yang menggunakan ventilator, perlu dilakukan pemantauan adanya oliguria karena merupakan tanda awal syok.

e. B5 (Bowel)

Pada pasien gagal napas biasanya mengalami mual, muntah, anoreksia, dan penurunan berat badan.

f. B6 (Bone)

Kelemahan dan kelelahan fisik secara umum sering menimbulkan ketergantungan pada bantuan orang lain dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Pada pasien gagal napas pola ADL terganggu karena tirah baring.

(19)

2.3.3 Diagnosa Keperawatan

Ditinjau SDKI (2017), dari diagnosa keperawatan yang mungkin muncul adalah sebagai berikut:

a. Bersihan Jalan Napas Tidak Efektif b. Gangguan Pertukaran Gas

c. Gangguan Ventilasi Spontan d. Intoleransi Aktivitas

2.3.4 Rencana Asuhan Keperawatan

Berdasarkan diagnosa keperawatan rencana asuhan keperawatan yang akan dilakukan yaitu sebagai berikut:

a. Bersihan Jalan Napas Tidak Efektif

Luaran: Bersihan Jalan Napas Meningkat dengan kriteria hasil Batuk efektif meningkat, Produksi sputum menurun, Ronchi menurun, Frekuensi napas membaik, dan Pola napas membaik.

Intervensi: Intervensi yang dapat dilakukan sesuai dengan SIKI adalah Pemantauan Respirasi (1.01014).

b. Gangguan Pertukaran Gas

Luaran: Pertukaran Gas Meningkat dengan kriteria hasil: Tingkat kesadaran meningkat, Bunyi napas tambahan menurun, PCO2 membaik, PO2 membaik, pH arteri membaik.

Intervensi: Intervensi yang dapat dilakukan sesuai dengan SIKI adalah c. Gangguan Ventilasi Spontan

Luaran: Ventilasi Spontan Meningkat dengan kriteria hasil: Dispnea menurun, PCO2 membaik, PO2 membaik, SO2 membaik, dan Takikardia membaik.

Intervensi: Intervensi yang dapat dilakukan sesuai dengan SIKI adalah Manajemen Ventilasi Mekanik (1.01013).

d. Intoleransi Aktivitas

Luaran: Toleransi Aktivitas Meningkat, dengan kriteria hasil:

Frekuensi nadi meningkat, Saturasi oksigen meningkat, Tekanan darah membaik, dan Frekuensi napas membaik.

(20)

Intervensi: Intervensi yang dapat dilakukan sesuai dengan SIKI adalah Manajemen Energi (1.05178).

Referensi

Dokumen terkait

Data yang di ambil dalam penelitian ini adalah data yang langsung di ambil dan di peroleh dari sampel yang telah di tetapkan, yaitu angka-angka dari hasil tes

pelaku yang telah melakukan tindakan main hakim sendiri terhadap korban yang diduga kuat telah melakukan tindak pidana kejahatan, dipersamakan dengan pelaku

a) Jenis penelitian berdasarkan metode (kualitatif/kuantitatif), dan jenis penelitian berdasarkan tujuan (deskriptif, eksplanatif, prediktif). Pada penelitian yang

Gunakan tombol Scan to Share [Pindai untuk Berbagi] ( ) untuk memindai gambar atau dokumen dari kaca pemindai dan mengirim hasil pindaian ke HP Instant Share, jika tersedia, atau

Dari keterangan diatas menunjukkan bahwa sebagian besar konsumen Sultan Agung Tour dan Travel yang diambil sebagai responden dalam penelitian ini adalah laki-laki.. 4.2.2

Lebih lanjut Soerjono Soekanto (2006:136-140) mengungkapkan masyarakat pedesaan ditandai dengan pemilikan ikatan perasaan batin yang kuat sesama warga desa, yaitu

Pemilihan media yang telah dilaksanaan oleh Bajaj Pulsar 200 DTS-I ini mengefektifkan budget atau anggaran belanja iklan yang ada dapat dilihat dari penggunaan anggaran yang

Prasetya, M.Si., Psikolog; Lisa Imelia, M.Psi., Psikolog; Dra.Sianiwati S.Hidayat.,. Psikolog; Ira Adelina, M.Psi.,