• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN"

Copied!
61
0
0

Teks penuh

(1)

25 BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Pertimbangan hakim dalam memutus perkara mengenai pergantian kelamin berdasarkan Penetapan Pengadilan Negeri Nomor 1188/Pdt.P/2018/Pn. Sby

Manusia sebagai makhluk Tuhan yang diberikan kesempurnaan dalam hal berpikir dan bertindak membuat dirinya secara tidak langsung memiliki seperangkat hak yang melekat dan tidak dapat dipisahkan berupa hak asasi.

Menurut John Lock (1960:63-74) mengatakan bahwa kebebasan alami seorang manusia adalah kebebasan dari segala kekuatan superior yang ada di bumi dan tidak dibawah kewenangan atau otoritas legislatif seorang manusia, tetapi hanya hukum alam yang mengaturnya.

Pada dasarnya hak asasi manusia yang bersifat universal berjalan tanpa adanya unsur paksaan ataupun pengaruh dari ras, suku dan agama. Bentuk pemenuhan hak asasi dipengaruhi oleh beberapa unsur yang bekerja dalam sosial diantaranya seperti gender, kelas, sosial dan berbagai stereotype yang terkonstruksi di masyarakat. Salah satu bentuk konstruksi sosial yang dibentuk dalam masyarakat adalah gender, yang memiliki dampak untuk mempengaruhi pandangan suatu budaya yang dapat memberikan pemikiran mengenai perwujudan dari identitas seks dan gender minoritas menjadi bentuk marjinalitas akan status seseorang. Dalam mendefiniskan suatu kelompok gender tertentu, kerap kali ditafsirkan dalam bentuk konstruksi sosial yang membagi antara laki-laki dan perempuan dan mengasumsikannya berdasarkan bentuk tubuhnya (Sanger, 2010:52).

Berdasarkan pembagian atas identitas gender tersebut membuat munculnya kelompok-kelompok yang termajinalisasi dikarenakan tidak sesuai dengan bentuk pendefinisan yang terkonstruksi di masyarakat. Hal tersebut membuat munculnya pandangan bahwa kelompok tersebut merupakan kategori gender yang menyimpang. Menurut Buttler yang mengatakan bahwa dua model pembagian berdasarkan seks dan gender membuat gender merupakan bentuk

commit to user

(2)

dari akibat dari seks yang menjelaskan bahwa seorang laki-laki haruslah memiliki sifat maskulin dan perempuan bersifat feminim (Sanger, 2010:89).

Seorang trans dapat dikategorikan sebagai transeksual dan transgender.

Perbedaan dalam bentuk pendefinisiannya berupa transgender adalah seseorang yang berpenampilan berlawanan atau bertentangan dengan peranan gender asalnya. Sedangkan transeksual adalah seorang pribadi yang dikarenakan memiliki kondisi gangguan mental berupa gender dysphoria maka pribadi tersebut merasa ingin untuk mengganti kelaminnya dan menggunakan terapi hormone sebagai prosedur penyempurnannya (Garland, 2009:74).

Seorang pelaku transeksual yang telah mengubah jenis kelamin dan juga penampakan rupa ataupun fisiknya menjadi sosok yang berlawanan dari gender awalnya, biasanya akan melakukan perubahan identitas diri yang dimilikinya juga, hal ini merupakan bentuk dari penyempurnaan identitas bagi pelaku transeksual yang meliputi nama dan jenis kelaminnya. Proses untuk mengubah identitas tersebut haruslah melalui prosedur hukum yang ketetapannya melalui pengadilan guna mendapatkan pengesahan ataupun validasi atas perubahan jenis kelaminya. Kendati demikian, perlu diketahui bahwa sejatinya pengaturan atau bahkan hukum di Indonesia belum mengatur secara terkhusus mengenai hal tersebut.

Polemik atas belum adanya hukum yang mengatur membuat hakim harus melakukan kewenangannya sendiri dalam memutus perkara penggantian jenis kelamin. Hal ini dikarenakan seorang hakim dilarang menolak suatu perkara yang dikarenakan amanat Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menjelaskan bahwa, Pengadilan dilarang menolak dalam memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum yang mengatu belum ada atau kurang jelas, tetapi wajib untuk tetap di periksa dan diadili. Perihal tersebut sesuai dengan hakim sebagai seorang penegak hukum yang wajib menjadi keadilan dengan menggali, memahami, dan mengikuti nilai beserta norma hukum yang hidup di dalam masyarakat.

commit to user

(3)

Terdapatnya aturan yang secara tidak langsung mengatur mengenai prosedur hukum bagi pelaku transeksual di Indonesia dan juga banyaknya penetapan pengadilan negeri yang sudah melegalkan proses penggantian identitas diri dari nama dan jenis kelamin sudah sepantasnya terdapat hak dan wadah perlindungan berupa payung hukum bagi transeksual di Indonesia.

Namun pada kenyataannya saat ini para pelaku transeksual dihadapkan dengan masalah keperdataan karena belum adanya undang-undang ataupun peraturan yang secara khusus memberikan kejelasan status keperdataan pelaku transeksual dalam kehidupannya sebagai warga negara. Berikut merupakan salah satu permohonan penggantian jenis kelamin oleh seorang transeksual dan juga pertimbangan hakim dalam mengesahkan permohonan tersebut :

1. Perkara Kasus Permohonan Penggantian Jenis Kelamin

Penetapan pengadilan yang memutus mengenai penggantian jenis kelamin seseorang bermula semenjak tahun 1973 oleh Iwan Rubianto Iskandar. Perubahan jenis kelamin yang dilakukan oleh Rubian Iskandar dilakukan di Singapura dan memutuskan untuk mengganti identitas yang semula laki-laki menjadi perempuan. Pengadilan mengeluarkan penetapan tersebut dengan register Pengadilan Nomor 546/Pdt.P/1973/PN JKT Sel dan Brt. (Agustini Andriani dan Rr Rinta Antasari, 2019: 21). Ketetapan tersebut akhirnya menjadi sebuah yurisprudensi untuk hakim lain dalam menetapkan kasus yang sama.

Pada kasus yang dikaji dalam penulisan hukum ini adalah Penetapan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 1188/Pdt.P/2018/Pn. Sby dengan Pemohon bernama Warisman dengan jenis kelamin laki-laki yang mengubah identitasnya menjadi Avika Warisman dengan jenis kelamin perempuan.

a. Duduknya Perkara

Penetapan Pengadilan Negeri Surabaya dengan perkara Nomor 1188/Pdt.p/2018/PN Sby menetapkan perkara dengan identitas Pemohon sebagai berikut:

Nama commit to user : Avika Warisman

(4)

Jenis Kelamin : Perempuan

Tempat /tanggal lahir : Nganjuk/ 14 April 1993

Agama : Islam

Pekerjaan : Mahasiswa Status Perkawinan : Belum Kawin

Pendidikan : S-1

Alamat :Alamat sesuai KTP di Dusun Kandeg, Rt.004/Rw.004, Desa Waung, Kec. Baron, Kab. Nganjuk. Sekarang berdomosili di Jalan Tenggilis Utara No. 14, Surabaya

Panitera telah menerima surat permohonan perkara dengan tertanggal 18 Oktober 2018 melalui Pengadilan Negeri Surabaya dalam Register Nomor 1188/Pdt.P/2018/Pn Sby dengan dengan duduk perkara sebagai berikut :

Avika Wrisman selaku Pemohon yang terlahir pada 14 April 1993 adalah anak dari pasangan suami istri sah yang bernama Suparman dan Sunarti dibuktikan dengan Kutipan Akta Kelahiran Nomor 1013.1993/D/1031, dikeluarkan dan dicatatakan oleh Kantor Catatan Sipil kabupaten Nganjuk pada 9 Juli 1993.

Berdasarkan keterangan yang ada bahwa Pemohon dahulu mengalami pertumbuhan yang menunjukkan secara fisik dan klinis cenderung seperti seorang perempuan walaupun awalnya secara bentuk tubuh memiliki keadaan seperti anak laki-laki pada umumnya. Oleh karena itu maka dokumen terdahulu mencatat bahwa Pemohon adalah seorang laki-laki.

Dalam mempertegas hal tersebut maka Pemohon memutuskan untuk melakukan rujukan ke psikolog, psikiater dan dokter ahli penyakit dalam yang selanjutnya melakukan prosedur pembedahan berupa operasi penggantian kelamin. Selanjutnya, melalui Tim Operasi Penggantian Kelamin di Rumah Sakit Umum Dr. Soetomo Surabaya Pemohon melakukan tindakan pembedahan untuk mengubah jenis

commit to user

(5)

kelamin atau sex reassignment surgery dari seorang laki-laki menjadi perempuan, tertanggal 26 Mei 2015.

Menindaklanjuti hal tersebut, Pemohon bermaksud untuk mengganti identitas berupa jenis kelamin yang tercantum pada Akta Kelahiran, Kartu Keluarga, KTP, beserta surat-surat lainnya yang menunjukkan identitas awal berupa laki-laki dan selanjutnya diubah menjadi berjenis kelamin perempuan. Bahwa dalam penggantian identitas tersebut harus memiliki izin dan penetapan dari pengadilan sehingga Pemohon yang saat itu berdomisili di Surabaya mengajukan permohonan terkait keperluan tersebut di Pengadilan Negeri Surabaya.

b. Petitum

Melalui alasan-alasan yang sudah dijabarkan sebagaimana dalam duduk perkara tersebut, maka Pemohon memohon kepada Ketua Pengadilan Negeri Surabaya untuk memeriksa dan mengabulkan permohonan Pemohon melalui penetapan sebagai berikut :

1) Mengabulkan seluruh permohonan Pemohon;

2) Menetapkan dan selanjutnya memberikan izin kepada Pemohon untuk mengubah identitas pada Akta Kelahiran, Kartu, Keluarga, KTP, beserta surat-surat lainnya yang mulanya berjenis kelamin laki-laki menjadi perempuan, adalah sah;

3) Memerintahkan kepada Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Nganjuk mencatatkan pergantian jenis kelamin Pemohon menurut register yang tersedia berdasarkan salinan resmi dari penetapan pengadilan yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap;

4) Membebankan Pemohon atas biaya perkara yang timbul.

c. Alat Bukti

1) Alat Bukti Tertulis

a) Fotokopi Kartu Tanda Penduduk Nomor 3518101404930004 atas nama Avika Warisman (P-1);

commit to user

(6)

b) Fotokopi Kutipan Akta Kelahiran tertanggal 8 Juli 1993 dengan Nomor 1013/1993/D/1031 (P-2);

c) Fotokopi Ijazah Sekolah Tinggi Pariwisata Ambarrukmo tertanggal 20 Maret 2014 dengan Nomor 1143/D- 3/211131766/XIV.3/2014 (P-3);

d) Fotokopi Surat Keterangan dengan Nomor 02/TOUK.VI/2015 tertanggal 1 Juni 2015 (P-4);

e) Fotokopi Kutipan Akta Nikah tertanggal 19 September 1992 dengan Nomor 209/29/IX/92 (P-5);

f) Fotokopi Kartu Keluarga, Suparman selaku kepala keluarga dengan Nomor 3518100405030108 (P-6).

2) Alat Bukti Saksi

Melalui saksi-saksi yang dimiliki, Pemohon bermaksud untuk menguatkan dalil-dalilnya dengan mengajukan berupa 2 (dua) orang saksi yaitu Sunarti selaku orang tua kandung Avika Warisman dan M. Fatoni selaku tetangga Pemohon. Berdasarkan hal-hal tersebut seluruh saksi telah memberikan keterngan sebenar- benarnya mengenai fakta-fakta yang diajukan oleh dan selanjutnya kedua orang saksi tersebut telah disumpah. Berikut merupakan keterangan para saksi-saksi dalam memperkuat dalil-dalil yang dibuat oleh pemohon :

a) Saksi Sunarti, di bawah sumpah menerangkan keterangan sebagai berikut :

(1) Bahwa saksi merupakan Ibu Kandung Pemohon sesuai dengan Akta Kelahiran yang dilampirkan;

(2) Bahwa saksi menerangkan mengenai kebenaran biodata Pemohon atas nama Avika Warisman yang berjenis kelamin laki-laki merupakan anak kandung dari saksi;

(3) Bahwa benar, Pemohon dahulu saat mengalami pertumbuhan lebih memiliki kecenderungan fisik dan klinis seperti anak yang berjenis kelamin perempuan; commit to user

(7)

b) Saksi M.Fatoni, di bawah sumpah menerangkan keterangan sebagai berikut :

(1) Bahwa benar bahwa Pemohon telah melakukan prosedur penggantian kelamin atau sex reassignment surgery dengan menjalani beberapa pemeriksaan dan tes di bidang psikolog, psikiater dan dokter spesialis penyakit dalam;

(2) Bahwa benar Pemohon telah melalukan operasi perubahan jenis kelamin atau sex reassignment surgery di Rumah Sakit Umum Dr. Soetome tertanggal 26 Mei 2015;

(3) Bahwa benar berdasarkan hal-hal yang dijabarkan diatas kemudian bermaksud untuk mengajukan permohonan mengganti atau mengubah identitas berupa jenis kelamin yang tercantum pada Akta Kelahiran, Kartu Keluarga, KTP, beserta surat-surat lainnya yang menyatakan bahwa Pemohon adalah laki-laki menjadi perempuan.

c) Pemohon memberikan keterangan dalam persidangan bahwa : (1) Pemohon merasa bahwa dalam perjalanan tumbuh kembang

yang dialami memiliki perbedaan dari anak laki-laki pada umumnya. Pemohon lebih merasakan memiliki kecenderungan sebagai seorang perempuan yang meliputi sikap, perilaku, cara berpakaian, dan merias diri;

(2) Pemohon lebih senang dan nyaman untuk bergaul dengan sahabat perempuan dari pada sahabat laki-laki, namun dalam hal sekualitas Pemohon merasakan lebih tertarik dengan sahabat laki-laki;

(3) Pemohon belum pernah mengalami mimpi basah sebagaimana anak laki-laki pada umumnya yang memasuki fase remaja.

d. Pertimbangan Hakim

1) Menimbang, bahwa tujuan Pemohon adalah memohon penggantian jenis kelamin yang semulanya laki-laki menjadi perempuan. commit to user

(8)

Pemohon sudah melakukan operasi penggantian jenis kelamin dalam hal untuk menyesuaikan bentuk tubuh sebagai seorang perempuan;

2) Menimbang, bahwa dalam menguatkan dalilnya tersebut, Pemohon mengajukan bukti-bukti yang terdiri dari bukti surat yang ditandai dengan bukti P-1, P-2, P-3, P-4, P-5, dan P-6 beserta 2 (dua) orang saksi;

3) Menimbang, bahwa permohonan ini merupakan permohonan yang memiliki kaitan dengan penentuan hukum status sipil seseorang;

4) Menimbang, bahwa perundang-undangan yang memiliki kaitan hukum mengenai pergantian kelamin hanya Pasal 56 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan Jo. Peraturan Presiden Nomor 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil;

5) Menimbang, bahwa perkara permohonan tersebut secara tegas harus dalam peraturan perundangan-undangan sebagai kompetensi peradilan, namun peraturan perundangan yang dimaksud belum ada, dan tidak ada lembaga lain yang memiliki kewenangan tersebut;

6) Menimbang, bahwa Sunarti sebagai saksi dalam persidangan merupakan Ibu Kandung Pemohon dan telah melahirkan Pemohon di Nganjuk tertanggal 14 April 1993 sebagai seorang laki-laki, dengan pertumbuhan fisik yang normal, namun dalam pertumbuhan psikis/jiwanya sebagai laki-laki tidak berkembang dengan normal.

Pemohon lebih mudah untuk bergaul dengan teman-teman perempuan dan sifat/perilakunya juga cenderung menyerupai seorang perempuan. Oleh karena itu, pada saat waktu yang tepat Saksi selaku Ibu Kandung Pemohon memberikan restu dan turut membiayai Pemohon untuk menjalani prosedur operasi penggantian kelamin atau sex reassignment surgery di Rumah Sakit Umum Dr.

Soetomo Surabaya; commit to user

(9)

7) Menimbang, bahwa saksi M. Fatoni selaku tetangga Pemohon telah memberikan keterangan jika saksi tahu dan secara tidak langsung mengamati perubahan dalam pertumbuhan dan perkembangan Pemohon sedari anak-anak hingga dewasa. Saksi mengamati bahwa dalil Pemohon merupakan betul, yang mengatakan bahwa Pemohon lebih dominan menyerupai seorang perempuan mulai dari perilaku, sifat, cara berpakaian dan berdandan. Selanjutnya saksi juga mengetahui bahwasanya Pemohon telah melakukan tindakan operasi penggantian jenis kelamin;

8) Menimbang, bahwa pada inti persidangan Pemohon menerangkan jika sedari kecil Pemohon lebih merasakan kenyamanan dalam menjalankan peran sosial di masyarakat sebagai seseorang berjenis kelamin perempuan. Selanjutnya, Pemohon memberi pernyataan bahwa sedari dulu tidak pernah merasakan adanya perubahan fisik sebagai seorang pria yang ditandai dengan peristiwa mimpi basah, lalu berdasarkan seksualitasnya lebih tertarik dengan laki-laki;

9) Menimbang, bahwa berdasarkan bukti surat yang dilampirkan bertanda P4 yang berisi Surat Keterangan Nomor 02/TOUK/VI2015 merupakan keterangan dari Prof. Dr. Djohansjah Marzoeki, dr., Sp.Bp-RE (K) selaku ketua tim dalam operasi penggantian jenis kelamin di Rumah Sakit Umum Dr. Soetomo tertanggal 1 juni 2015 yang menerangkan bahwasanya Avika Warisman selaku Pemohon telah melakukan prosedur operasi penggantian jenis kelamin pada hari Selasa tertanggal 26 Mei 2015 di Rumah Sakit Umum Dr.

Soetomo Surabaya. Selanjutnya juga diterangkan bahwa Pemohon sebelum melakukan tindakan operasi tersebut telah menjalani beberapa pemeriksaan dan tes oleh Psikolog, Psikiater dan juga Dokter Spesialis Penyakit Dalam;

10) Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan para saksi dan keterangan bukti surat bertanda P4 memberikan kesimpulan bahwasanya meskipun Pemohon secara alamiah merupakan seorang commit to user

(10)

laki-laki namun melalui beberapa prosedur pemeriksaan dan evaluasi dari beberapa ahli yang meliputi Psikolog, Psikiater dan Dokter Spesialis Penyakit Dalam di Rumah Sakit Umum Dr.

Soeteomo Surabaya maka Pemohon dapat melakukan operasi pembedahan berupa sex reassignment surgery melalui tim operasi yang diketui oleh Prof. Dr. Djohansjah Marzoeki, dr., Sp.Bp-RE (K) tertanggal 1 Juni 2015. Melalui kesimpulan tersebut Hakim Pengadilan Negeri Surabaya mengabulkan permohonan Pemohon berupa penggantian identitas jenis kelamin di seluruh dokumen yang dimiliki oleh Pemohon;

11) Menimbang, bahwa dikarenakannya permohonan perkara ini adalah perkara sepihak, maka biaya perkara yang timbul harus dibayarkan oleh Pemohon.

e. Ketetapan

1) Mengabulkan seluruh permohonan Pemohon;

2) Menetapkan dan memberi izin kepada Pemohon untuk mengubah atau mengganti jenis kelamin yang ada pada Akta Kelahiran, Kartu Keluarga, KTP dan beserta surat-surat lainnya yang mulanya berjenis kelamin laki-laki menjadi perempuan, adalah sah;

3) Memerintahkan kepada Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Nganjuk mencatatkan pergantian jenis kelamin Pemohon menurut register yang tersedia berdasarkan salinan resmi dari penetapan pengadilan yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap;

4) Membebankan biaya perkara kepada Pemohon sebesar Rp.256.000,- (dua ratus lima puluh enam ribu rupiah).

2. Pertimbangan Hakim Dalam Memutus Perkara Kasus Penggantian Jenis Kelamin Pada Penetapan Nomor 1188/Pdt.P/2018/PN Sby

Majelis hakim dalam penetapan dengan register perkara Nomor 1188/Pdt.P/2018/PN Sby menetapkan bahwasanya permohonan Pemohon commit to user

(11)

yang diajukan oleh Avika Warisman telah dikabulkan tertanggal 5 November 2018 di Pengadilan Negeri Surabaya. Berdasarkan permohonan yang diajukan, Pemohon menerangkan bahwa telah melakukan tindakan operasi penggantian jenis kelamin atau sex reassignment surgery dan dalam maksudnya Pemohon bertujuan untuk mengganti identitas jenis kelamin yang ada pada dokumen pribadi Pemohon berupa Akta Kelahiran, Kartu Keluarga, KTP, beserta dokumen lainnya yang menunjukkan bahwasanya Pemohon berkelamin laki-laki yang selanjutnya diubah menjadi perempuan.

Menindaklanjuti perihal tersebut Pemohon mengajukan kepada Pengadilan Negeri Surabaya untuk menetapkan dan memberikan izin kepada Pemohon untuk dapat mengganti/mengubah jenis kelamin Pemohon.

Hakim yang memeriksa dan memutus perkara ini memberikan pertimbangan dan pendapat bahwa hingga saat ini belum ada peraturan perundang-undangan yang secara tegas dan eksplisit mengatur perkara tersebut. Berkaitan dengan belum adanya hukum yang mengatur mengenai perkara penggantian jenis kelamin pada seorang transeksual, maka hakim mencari beberapa aturan hukum yang masih memiliki keterkaitan dengan kasus terkait. Adapun dasar hukum yang secara implisit mengatur diantaranya :

a. Penetapan Nomor 1188/Pdt.P.2018/PN Sby masih menggunakan undang-undang lama yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006.

Namun saat ini sudah ada undang-undang baru yaitu Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Berdasarkan dasar hukum yang dapat menjadi dalil dari diperbolehkannya perubahan identitas jenis kelamin seseorang transeksual adalah Pasal 56 Undang- Undang Administrasi Kependudukan yang menjelaskan mengenai pencatatan peristiwa penting lainnya;

b. Pasal 97 Ayat (2) Peraturan Presiden Nomor 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil sejatinya merupakan penjelasan lebih lanjut mengenai frasa “pencatatan commit to user

(12)

peristiwa penting lainnya”. Pada pasal tersebut menegaskan bahwasanya yang dimaksud dengan peristiwa penting lainnya merupakan perubahan jenis kelamin. Pasal 97 Ayat (1) juga menjelaskan bahwa pencatatan pelaporan atas peristiwa penting lainnya dapat dilakukan oleh Pejabat Pencatatan Sipil atas permintaan pemohon yang bersangkutan dengan syarat harus ada penetapan dan izin dari Pengadilan Negeri yang telah berkekuatan hukum tetap;

c. Pasal 5 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mengamanatkan bahwa hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang ada dan hidup di masyarakat. Dalam pasal ini menyatakan bahwasanya hakim dalam memutus perkara penggantian jenis kelamin harus dapat memutus perkara dengan adil dengan mengikuti perkembangan norma hukum yang berkembang di masyarakat.

d. Pasal 10 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menjelaskan bahwa Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalil bahwa hukum yang ada tidak jelas atau tidak ada, melainkan pengadilan tetap wajib untuk memeriksa dan kemudian mengadili kasus yang diajukan;

e. Selain mengambil landasan yang terdapat pada peraturan perundangan- undangan, hakim juga melihat pada yurisprudensi berupa penetapan mengenai penggantian jenis kelamin yang sebelumnya sudah pernah ada kejadian perkara serupa. Sebagai contoh beberapa perkara persidangan serupa yang sudah pernah terjadi yaitu permohonan atas nama Agus Widiyanto yang kemudian mengubah namanya menjadi Nadia melalui Penetapan Pengadilan Negeri Ungaran Nomor 20/Pdt.P/2009/PN.Ung lalu juga terdapat Penetapan Pengadilan Negeri Yogyakarta Nomor 517/Pdt.P/2012PN.Yk, Penetapan Pengadilan Negeri Boyolali Nomor 07/Pdt.P/2011/PN.Bl dan juga beberapa kasus pertama mengenai pergantian jenis kalamin di Indonesia atas nama Iwan Rubianto yang commit to user

(13)

mengganti identitas menjadi Vivian Rubianti Iskandar pada tahun 1973.

Melihat pada penetapan hakim terdahulu maka hakim menganggap bahwa permohoan penggantian jenis kelamin bukan lagi sebagai suatu gejala sosial yang terjadi di masyarakat, melainkan sudah menjadi kebutuhan praktek yang dalam hal ini Lembaga Peradilan wajib memfasilitasi untuk menyelesaikan kasus serupa.

3. Pertimbangan Hukum Oleh Hakim Dalam Penggantian Jenis Kelamin Oleh Pelaku Transeksual

a. Pertimbangan Hakim Berdasarkan Aspek Hukum

Penetapan Pengadilan yang diputuskan oleh hakim pengadilan negeri memiliki aturan yang dalam pengaturannya diatur dalam Pasal 50 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 yang mengamanatkan bahwasanya penetapan pengadilan yang dibuat oleh hakim tidak hanya berisikan alasan dan dasar penetapan terkait, melainkan juga harus mengandung pasal-pasal dari perundang-undangan yang bersangkutan atau bisa juga berasal dari sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili suatu perkara tertentu. Hakim juga dituntut memberikan keadilan dalam memutus suatu perkara yang didasarkan dalam norma-norma hukum yang ada di masyarakat, hal tersebut secara jelas diatur di dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang mengamanatkan bahwa seorang hakim diwajibkan untuk dapat menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang tumbuh berkembang dan hidup di dalam masyarakat.

Mengacu pada Penetapan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 1188/Pdt.P/2018/Pn Sby, dalam pertimbangannya menerangkan bahwa dalam memutus perkara penggantian jenis kelamin di Indonesia belum ada hukum yang secara eksplisit dan konkret mengatur mengenai hal tersebut serta tidak adanya aturan yang secara jelas mengatakan bahwa pengaturan jenis kelamin merupakan kompetensi peradilan. Sedangkan commit to user

(14)

perkara permohonan dapat disidangkan dan dikabulkan pengadilan jika telah ditentukan oleh ketentuan yang ada dalam peraturan perundang- undangan.

Namun, berdasarkan peraturan hukum positif di Indonesia, terdapat beberapa acuan yang dapat digunakan dalam memutus perkara permohonan penggantian jenis kelamin. Diantaranya terdapatnya undang-undang yang memuat ketentuan implisit bahwa penggantian jenis kelamin di Indonesia memiliki landasan hukum, yaitu pada Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dan Pasal 97 ayat (2) Peraturan Presiden yang menyatakan bahwa penggantian jenis kelamin merupakan peristiwa penting lainnya dan dalam penggantiannya harus ada ketetapan dari Pengadilan Negeri yang nantinya akan dicatatkan pada instansi pelaksana. Berdasarkan pertimbangan tersebut sudah sesuai dengan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Mencermati kembali Penetapan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 1188/Pdt.P/2018/Pn Sby sejatinya diketahui bahwa hakim dalam pertimbangannya sudah sesuai dengan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang dalam ketetapannya, hakim melihat rasa keadilan bagi pemohon. Hal tersebut juga didasarkan pada ketentuan dari penetapan terdahulu atau yurisprudensi, yang beranggapan bahwa penggantian jenis kelamin melalui operasi atau sex reassignment surgery bukan hanya menjadi gejala sosial namun sudah menjadi sebuah kebutuhan praktek yang wajib diberikan fasilitas oleh negara melalui lembaga peradilan.

b. Pertimbangan Hakim Berdasarkan Aspek Non-Hukum

Pertimbangan hakim dalam memutus perkara penggantian jenis kelamin bagi transeksual salah satunya adalah berdasarkan aspek non-commit to user

(15)

hukum yang diperoleh dari bukti-bukti Pemohon. Dalam memberikan bukti-bukti tersebut Pemohon biasanya melampirkan berupa surat rekam medis dari seorang dokter dan juga seorang saksi ahli yang menangani proses penggantian jenis kelamin Pemohon.

Melihat pada pertimbangan hakim yang mencakup aspek non- hukum pada Penetapan Hakim Nomor 1188/Pdt.P/2018/Pn Sby diantaranya didapat dari pengakuan pemohon, saksi dan juga bukti dokumen yang menunjukkan bahwa pemohon telah melakukan operasi kelamin atau sex reassignment surgery.

Hakim mempertimbangkan dalil korban berupa pengakuan bahwa berdasarkan faktor psikologis Pemohon yang dahulu pada masa tumbuhkembangnya memiliki perbedaan dalam bergaul dengan teman- teman sebayanya. Pemohon mengaku lebih suka bergaul dengan teman perempuan dari pada laki-laki. Selain itu cara berpakaian, sifat, perilaku lebih dominan menunjukkan sosok perempuan, dari segi orientasi seksual juga lebih tertarik pada laki-laki. Pemohon juga mengaku bahwa tidak pernah mengalami mimpi basah seperti halnya anak laki-laki normal yang memasuki fase remaja pada umumnya. Hal-hal tersebut juga dikuatkan dengan pengakuan dari dua orang saksi yang dihadirkan oleh Pemohon.

Hakim juga mempertimbangkan dari aspek medis melalui bukti surat P-4 berupa Surat Keterangan Nomor 02/TOUK/VI/2015 yang menerangkan bahwa Avika Warisman selaku Pemohon telah melakukan pembedahan penggantian jenis kelamin atau sex reassignment surgery di Rumah Sakit umum Dr. Soetomo. Selanjutnya, terdapat keterangan juga yang menyatakan bahwa sebelum menjalani operasi tersebut, Pemohon telah menjalani beberapa pemeriksaan meliputi evaluasi dan tes oleh Psikolog, Psikiater dan Dokter Spesialis Penyakit Dalam.

Selain pertimbangan-pertimbangan yang telah disebutkan di atas, terdapat pula pertimbangan non-hukum lainnya yang pernah

commit to user

(16)

diberikan oleh hakim pengadilan negeri di Indonesia dalam memutus perkara persoalan penggantian jenis kelamin diantaranya :

1) Penetapan Nomor 583/Pdt.P/2016/PN Sby

Berdasarkan penetapan tersebut hakim memiliki pertimbangan dalam hal aspek non-hukum yaitu dari aspek fisik, psikis dan neurologis yang dibuktikan dengan adanya diagnosis HBS (Harry Benjamin’s Sindroma) diliputi juga dengan permasalahan klinis melalui surat permintaan konsultasi dari Dr.

Danardi Sososumiharjo, Sp. KJ dari RS Premier Jatinegara yang ditujukan kepada Prof. Dr. Chaula Sukasah, Sp. BP. Pemohon juga sudah melakukan konsultasi dengan psikiater dan juga mendapatkan perawatan HRT (Hormon Replacement Theraphy) atau terapi sulih hormonal sejak tahun 2013.

Pertimbangan hakim dalam penetapan tersebut melihat bahwa proses penggantian jenis kelamin yang dilakukan oleh Pemohon sangat penting dilihat dari aspek prospek ke masa depan bagi Pemohon. Pengadilan menilai bahwa hal tersebut memiliki nilai manfaat sosial yang baik bagi Pemohon.

2) Penetapan Nomor 57/Pdt.P/2020/PN.JKT.Pst

Hakim pengadilan negeri memutus kasus pada penetapan dengan Nomor 57/Pdt.P/2020/PN.JKT.Pst juga melihat dari aspek non-hukum yaitu dari aspek medis yang menyatakan bahwa ketika dilahirkan anak pemohon berjenis kelamin laki-laki, namun seiring berjalannya waktu terdapat perubahan pada fisik pada anak pemohon yang dibuktikan dengan hasil dari Laboratorium Biologi Kedokteran Fakultas Kedokteran UI yang menerangkan bahwa berdasarkan hasil 20 Metafase yang ada memperlihatkan 46 buah kromosom, 44 buah autosom dan kromosom seks XX tertanggal 18 Agustus 2015. Lalu berdasarkan keterangan medis oleh DR.dr.

Aman Bhakti Pulungan, Sp.A(K). FAAP dari divisi Endoktrinologi Anak Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM menjelaskan commit to user

(17)

bahwa pasien Mendy Joseph Fith selaku anak pemohon adalah berjenis kelamin perempuan.

Berdasarkan bukti medis yang ada maka hakim berpendapat bahwa permohonan pergantian jenis kelamin tersebut jika dilihat dari aspek hukum, aspek agama, dan aspek sosial tidak bertentangan dengan hukum dan agama yang dianut oleh pemohon sehingga pengadilan negeri mengabulkan permintaan Pemohon.

3) Penetapan Nomor 184/Pdt.P/2020/PN. Sby

Aspek non-hukum berupa alasan penetapan medis bergantinya kelamin seseorang juga terdapat di dalam Penetapan Nomor 184/Pdt.P/2020/PN.Sby yang menjelaskan bahwa terdapat seorang anak perempuan bernama Putri Natasiya yang mengalami kelainan genital, lalu melalui diagnosis dr. Lobredia Zarasade, Sp.

BP-RE (KKF) menjelaskan bahwa Putri Natasiya mengalami kelainan genital yang bernama Hipospadia Scrotal yang berarti bahwa sebenarnya keadaan tersebut merupakan kondisi seorang laki-laki dengan kelainan alat genital berupa lubang kencing yang tidak berada pada ujung penis melainkan berada pada scrotum atau buah zakar. Hal tersebut dikuatkan dengan tes pengujian genetik pada kromosomnya yang menunjukkan hasil XY (kromosom laki- laki).

Senada dengan kasus tersebut, baru-baru ini ditemui kasus seorang Tentara Nasional Indonesia (TNI) sekaligus atlet volli putri nasional yang bernama Apriliya Manganang. Awalnya Apriliya Manganang terdaftar di dinas pencatatan sipil sebagai sebagai seorang perempuan, namun dikarenakan kondisisnya sebagai seorang yang mengidap kelainan Hipospadia Scrotal yang diungkap melalui pemeriksaan medis sejak 3 Februari 2021, maka dirinya harus menjalani tindakan medis berupa rekonstruksi ulang kelaminnya.

commit to user

(18)

Perubahan statusnya yang semula sebagai seorang perempuan lalu berubah menjadi laki-laki tidak mempengaruhi karirnya sebagai seorang TNI, namun kedudukannya bukan lagi sebagai seorang Kowad atau Prajurit Wanita TNI melainkan akan dipindahakan dengan posisi dan tugas yang baru sebagai seorang prajurit laki-laki. Perubahan posisi tersebut akan dilakukan setelah melalui perubahan statusnya yang mencakup nama dan jenis kelaminnya melalui Pengadilan Negeri Tondano (https://banjarmasin.tribunnews.com/2021/03/11/status-aprilia- manganang-di-tni-kini-ksad-jenderal-tni-andika-perkasa-siapkan-2- opsi diakses pada 15 Maret 2021, pukul 1.54 WIB).

4. Penemuan Hukum oleh Hakim Dalam Memutus Suatu Perkara

Perwujudan dari negara hukum yang bersifat demokratis terlihat dari adanya kemerdekaan bagi hakim dalam memutus dan menangani suatu perkara. Negara yang demokratis tidak lepas dari unsur campur tangan seorang hakim yang dapat menegakkan keadilan. Menurut Mukti Arto (2001:20) dalam bukunya yang berjudul “Konsepsi Ideal Mahkamah Agung” menjelaskan bahwa independensi suatu lembaga pengadilan merupakan suatu hal yang sangat penting dikarenakan ada beberapa poin penting diantaranya:

a. Pengadilan merupakan bagian dari pengawal konstitusi;

b. Negara yang demokratis merupakan wujud dari pengadilan bebas;

c. Pengadilan adalah dasar atau akar dari negara hukum.

Pada Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan jelas mengamanatkan bahwa sejatinya hakim memiliki kekuasaan kehakiman yang merdeka atau independent guna menjadi peyelenggara peradilan dalam menegakan hukum dan keadilan di Negara.

Selanjutnya teradapat justifikasi pada Pasal 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menjelaskan bahwa kekuasaan kehakiman yang merdeka berfungsi sebagai penyelenggara peradilan negara berdasarkan Pancasila demi teggaknya hukum yang adil. commit to user

(19)

Berdasarkan kekuasaan kehakiman yang dilandaskan dengan peraturan perundang-undangan di atas, maka hakim dalam kewenangannya berhak memutus perkara sesuai kekuasaan yang dimilikinya. Namun, dalam memutus suatu perkara hakim memerlukan pemahaman yang baik dari segi:

a. Teori hukum;

b. Filsafat hukum;

c. Ilmu hukum.

Hakim merupakan seorang pejabat negara yang berfungsi sebagai penegak keadilan dalam mewujudkan cita-cita negara dalam menjalankan hukum. Penetapan yang dibuat hakim memiliki artian secara khusus sebagai suatu proses dan karya yang dalam menjatuhkan ketentuan berdasarkan situasi konkret. Selain itu hakim juga dituntut untuk dapat menguasai sumber-sumber hukum yang ada dan juga dapat melakukan tindakan dalam penemuan hukum (rechtsvinding) dan menciptakan hukum (rechtsshepping) berdasarkan hal itulah hakim atas inisiasinya sendiri harus dapat menemukan hukum (Sudikno Mertokusumo dan A.Pitlot, 1993: 7).

Terdapat dua pandangan yang berbeda mengenai metode penemuan hukum oleh hakim, diantaranya :

a. Doktrin “Sens-clair”atau “La doctrine du senclair” yang menyatakan bahwa hakim dalam melakukan penemuan hukum hanya dapat dilakukan jika ditemukan suatu peraturan yang belum mengatur suatu perkara in konkreto atau jika suatu peraturan sudah mengaturnya namun terjadi ketidakjelasan. Penemuan hukum di luar dua hal tersebut dianggap tidak benar dan tidak ada. Namun untuk saat ini doktrin sens-clair sudah ditinggalkan dikarenakan munculnya doktrin baru yang berpandangan bahwa hakim dalam membuat suatu penetapan boleh melakukan penemuan hukum, hal ini dikarenakan pikiran manusia yang terus berkembang sedangkan bahasa hukum dirasa terlalu sempit dalam mengartikan suatu tujuan tertentu. (Henry Arianto, 2012: 155).

commit to user

(20)

b. Pandangan yang beranggapan bahwa penemuan hukum oleh hakim sangat diperlukan. Pada doktrin yang menganggap demikian, sangat menolak doktrin sens-clair. Hal tersebut dikarenakan semua undang- undang pasti memerlukan suatu penafsiran atau konstruksi hukum.

Suatu naskah peraturan perundang-undangan tidak mungkin dengan mudah dipahami dengan sendirinya, melainkan memerlukan pemahaman dalam kaedah perilaku atau undang-undang dan juga pada bidang penerapannya (Bambang Teguh Handoyo, 2017: 145).

Menurut Van Eikman Hommes yang dikutip oleh Sudikno Mertokusumo berpendapat bahwa penemuan hukum merupakan suatu proses pembentukan hukum oleh hakim ataupun praktisi hukum lainnya yang memiliki kewenangan dalam penerapan peraturan hukum umum pada peristiwa hukum secara konkret. Penemuan hukum juga dapat dikatakan sebagai proses pembentukan hukum melalui individualisasi atau konkretisasi (das sollen) yang memiliki sifat umum dengan berdasarkan peristiwa konkret (das sein). Peristiwa ataupun perkara yang konkret dan kompleks menjadi sesuatu hal yang harus dihadapi oleh seorang hakim, oleh karena itu penemuan hukum sangatlah diperlukan dalam mencari ataupun menemukan hukum yang tepat dalam memutus suatu perkara (Sudikno Mertokusumo, 2007: 37-38).

Mengenai metode yang akan digunakan oleh hakim dalam menghadapi suatu kasus konkret tertentu, memiliki kebebasan dalam menggunakan metode penemuan hukum yang ada, hal tersebut disesuaikan dengan kasus yang dihadapi. Penemuan hukum dalam menghadapi suatu perkara merupakan sepenuhnya wewenang seorang hakim. Metode penemuan hukum sendiri bukanlah metode ilmu hukum hal ini dikarenakan penemuan hukum hanya bisa digunakan dalam praktek hukum terutama dalam memeriksa dan memutus suatu perkara. Terdapat dua metode penemuan hukum yang terdiri dari :

a. Metode Penafsiran Hukum atau Interpretasi Hukum commit to user

(21)

Penafsiran atau Interpretasi Hukum adalah metode yang menjabarkan penjelasan yang jelas berdasarkan naskah undang-undang supaya isi dari kaidah yang termaktub dalam undang-undang tersebut dapat diimplementasikan dalam peristiwa hukum yang sesuai. Tujuan interpretasi hukum sendiri dimaksudkan memberikan penjelasan artian sebenaranya suatu naskah undang-undang sehingga ketentuan yang diatur didalamnya dapat digunakan oleh hakim dalam menyelesaikan sebuah perkara yang konkret (Sudikno Mertokusumo, 1993: 13).

Metode penafsiran atau interpretasi hukum meliputi : 1) Intepretasi Gramatikal

Interpretasi gramatikal merupakan metode penafsiran kata atau istilah dalam suatu undang-undang berdasarkan kaedah bahasa hukum untuk memahami sebuah teks peraturan perundang- undangan sesuai dengan perkataan yang disusun didalamnya.

Seringkali hakim menggunakan interpretasi gramatikal berbarengan dengan interpretasi logis (logical interpretation). Metode ini salah satu yang paling sederhana (Jhony Ibrahim, 2006:220-221).

2) Interpretasi sistematis (logis)

Interpretasi sistematis merupakan metode penafsiran peraturan perundang-undangan dengan cara mengaitkan antara satu undang-undang dengan peraturan hukum lainnya sebagai sistem keseluruhan perundang-undangan yang utuh. Hal ini dimaksudkan agar penafsirannya tidak menyimpang dari sistem hukum negara (Ahmad Rifaii, 2010: 67).

3) Interpretasi Historis (Subjektif)

Interpretasi historis merupakan metode yang menggunakan latar belakang dari terbentuknya undang-undang yang terbagi dari dua macam interpretasi yaitu interpretasi menurut sejarah lahirnya undang-undang (wet historisch) yang dapat disebut juga sebagai interpretasi subjektif karena dasar penafsirannya berdasarkan pandangan subjekif pembuat undang-undang. Selanjutnya, ada commit to user

(22)

interpretasi yang memahami undang-undang dari konteks sejarah hukumnya oleh karena itu cara ini disebut dengan interpretasi sejarah hukum (recht historicht) (Johny Ibrahim, 2006: 224)

4) Intepretasi Teleologis (Sosiologis)

Interpretasi teleologis merupakan suatu metode yang menafsirkan asal-usul dan tujuan dibuatnya suatu undang-undang secara sosiologis. Melalui penafsiran teleologis hakim melihat hukum dari segi hukum positif (rechtspositiveit) dan kenyataan hukum yang ada di masyarakat (rechtswerkelijkheid) (Johny Ibrahim, 2006 :222).

5) Interpretasi Komparatif

Interpretasi komparatif merupakan metode yang mencoba untuk melihat perbandingan antara sistem hukum satu dengan sistem hukum lainnya yang dimaksudkan untuk mencari kejelasan suatu ketentuan perundang-undangan. Biasanya hakim menggunakan metode ini terhadap suau kasus yang lahir dari perjanjian internasional, hal ini dikarenakan adanya keseragaman hukum (Johny Ibrahim, 20006: 225).

6) Interpretasi Futuristik

Interpretasi ini merupakan teknik penemuan hukum yang memiliki sifat antisipatif dalam menjelaskan ketentuan peraturan perundang-undangan yang masih belum memiliki kekuatan hukum mengikat (Sudikno Mertokusumo, 1993:11-28). Hal tersebut dimaknai ketika suatu rancangan undang-undang baru mencapai tahap legislasi dan belum menjadi suatu bagian dari hukum yang berlaku menjadi landasan bagi hakim untuk melakukan penafsiran hukum, namun perlu diketahui bahwasanya rancangan undang- undang yang ada sudah harus pasti akan segera diundangkan dikemudian hari.

commit to user

(23)

7) Interpretasi Interdisipliner

Metode ini merupakan metode yang menggunakan ilmu hukum dari berbagai cabang konsentrasi keilmuan yang ada di ilmu hukum itu sendiri. Pada dasarnya hakim akan melakukan analisis hukum pada suatu kasus yang memiliki keterkaitan substansi dalam lingkup ilmu hukum dan mengaitkannya dngan harmonisasi logika pada asas-asas hukum dari berbagai cabang keilmuan ilmu hukum (Johny Ibrahim, 2006:226).

8) Interpretasi Multidisipliner

Metode ini berbeda dengan metode interdisipiliner.

Sejatinya pada metode ini juga mengaitkan dengan cabang ilmu yang ada, namun terfokus pada cabang keilmuan diluar ilmu hukum.

Hakim dalam menggunakan analisis intepretasi multidisipliner membuat pertimbangan pemikiran dari disiplin ilmu yang memiliki keterkatitan dengan perkara yang dihadapi (Johny Ibrahim, 2006:

226-227).

b. Konstruksi Hukum

Konstruksi hukum merupakan metode yang digunakan oleh seorang hakim dalam menghadapi suatu perkara dengan situasi terjadinya kekosongan hukum (recht vacuum) atau adanya kekosongan undang-undang (wet vacuum). Hakim dalam menangani kasus yang belum ada aturan jelas dan terperinci mengatur persoalan terhadap kasus hukum terkait, maka akan menggunakan penalaran logisnya dalam menafsirkan suatu aturan undang-undang (Ahmad Rifai, 2010: 60). Hal tersebut memiliki keterkaitan selaras dengan amanat Pasal 16 Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman .

Metode konstruksi hukum dilakukan dalam proses penyelesaian kasus yang belum memiliki aturan hukum yang mengatur, hal tersebut dimaksudkan untuk mewujudkan rasa keadilan dan kemanfaatan bagi orang yang berperkara. Dalam memenuhi kekosongan hukum tersebut maka hakim akan membuat sebuah ketentuan hukum yang mengandung commit to user

(24)

persamaan pada hukum positif melalui dibuatnya suatu pengertian hukum (rechtsbegrip) baru sebagai dasar penetapan (Johny Ibrahim 2006: 228). Metode Konstruksi dalam penemuan hukum diantaranya : 1) Metode Argumentatum per analogium atau Metode Analogi

Metode analogi adalah cara penemuan hukum oleh hakim dengan mencari inti umum berdasarkan peristiwa hukum atau perbuatan hukum yang memiliki perturan yang mengatur ataupun belum. Metode ini menganggap dan memberlakukan sama pada sebuah peristiwa yang memiliki kesamaan dalam pengaturannya di dalam undang-undang. Melalui metode penemuan hukum analogi, hakim akan melihat peraturan umum dari peraturan khusus yang bertujuan untuk menerapkan aturan tersebut terhadap sebuah kasus yang belum memiliki sebuah aturan khusus yang mengaturnya (Sudikno Mertokusumo 1993: 22).

Metode ini sering dijumpai di permasalahan perkara perdata, namun tidak berlaku pada perkara pidana, hal ini dikarenakan melanggar principle of legalty atau yang dapat disebut dengan asas legalitas. Pada dasarnya metode ini dianggap menciptakan hukum baru yang dikarenakan belum adanya hukum yang mengatur, oleh karena itu metode ini bertentangan dengan asas legalitas yang ada pada hukum pidana.

2) Metode Arguemntum a Contratio

Meotode ini secara khusus melihat bahwa suatu undang- undang yang mengatur mengenai hal yang ada untuk peristiwa tertentu, maka peraturannya terbatas pada peristiwa tersebut, sedangkan untuk peristiwa diluar dari ketentuan tersebut berlaku sebaliknya. Maksud dari metode ini adalah menafsirkan suatu peraturan secara berlawanan (Ahmad Rifaii, 2010: 81).

3) Metode Penyempitan Hukum atau Pengkonkretan (rechtsvervijning) Norma yang terkandung di dalam sebuah peraturan perundang-undangan banyak yang memiliki pengertian luas dan

commit to user

(25)

bersifat umum, oleh karena itu hakim dalam menyikapinya perlu melakukan penyempitan makna yang terdapat dalam peraturan tersebut agar pengertian yang umum tersebut dapat diimplementasikan pada suatu perkara tertentu secara konkret (Ahmad Rifaii, 2010; 84).

4) Fiksi Hukum

Fiksi hukum dapat dimaknai sebagai sebuah asas yang menanggap bahwa semua orang dianggap mengerti dan mengetahi hukum atau undang-undang. Ahmad ali (2002: 88) didalam bukunya berpendapat bahwa penemuan hukum fiksi merupakan penemuan hukum dengan menciptakan stabilitas hukum dan mengisi kekosongan hukum dikarenakan tidak adanya suatu undang-undang yang mengatur melalui fakta-fakta baru dalam bentuk personifikasi baru.

5. Metode Penemuan Hukum yang Digunakan Dalam Perkara Permohonan Penggantian Jenis Kelamin

Metode penemuan hukum yang diterapkan oleh hakim Pengadilan Negeri Surabaya dengan penetapan Nomor 1188/Pdt.P/2018/PN Sby menggunakan metode penemuan konstruksi hukum. Hal ini dikarenakan berdasarkan pertimbangan hakim yang terdapat pada penetapan terkait menyatakan bahwasanya perkara penggantian jenis kelamin di Indonesia belum ada hukum yang secara tegas mengatur, berdasarkan pernyataan itu maka dapat dikatakan terdapat kekosongan hukum (recht vacuum). Oleh sebab itu, hakim dalam menentukan pertimbangan hukumnya membuat sebuah pemikiran hukum yang baru meskipun belum adanya aturannya sekalipun.

Dalam mengisi kekosongan hukum tersebut, hakim mengisinya dengan mencari dan menemukan hukumnya (rechtsvinding) sesuai dengan keadaan individu dan keadaan sosial yang ada di masyarakat, karena hakim berpendapat bahwa hukum yang ada belum cukup jelas dan tidak secara commit to user

(26)

khusus mengatur perkara tersebut. Jika melihat pada penetapan dengan Nomor 1188/Pdt.P/2018/PN Sby, menyebutkan bahwa Avika Warisman selaku pelaku transeksual yang memberikan permohonan kepada Pengadilan Negeri Surabaya, mengajukan penggantian identitas jenis kelamin pada 18 Oktober 2018 dan diizinkan oleh hakim pengadilan negeri dengan dalil pada dari beberapa pasal diantarnya pada Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Administrasi Kependudukan Nomor 23 Tahun 2006 yang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang menyatakan bahwa :

“Pencatatan Peristiwa Penting lainnya dilakukan oleh Pejabat Pencatatan Sipil atas permintaan Penduduk yang bersangkutan setelah adanya penetapan pengadilan negeri yang memperoleh kekukatan hukum tetap.”

Peristiwa penting lainnya yang dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) Undang- Undang Administrasi Kependudukan diartikan sebagai perubahan jenis kelamin, yang perihal ini juga ditegaskan dalam Pasal 97 ayat (2) Peraturan Presiden Nomor 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil.

Mengenai penggantian jenis kelamin yang ada di Pasal 97 ayat (2) Peraturan Presiden Nomor 25 Tahun 2008, Hakim pengadilan negeri menganalogikannya bahwa penggantian jenis kelamin oleh pelaku transeksual termasuk dari hal yang dicantumkan pada pasal tersebut.

Analogi tersebut dilakukan karena semata-mata Hakim melihat dari segi kemanfaatan, keadilan, dan kepastian hukum untuk pemohon. Selanjutnya, dalam kasus permohonan ini hakim menggunakan metode penafsiran interpretasi multidisipliner, hakim melihat kasus ini dengan menggunakan sudut pandang bidang ilmu kedokteran.

Perbedaan sudut pandang muncul ketika penemuan hukum pada pertimbangan yang menyebutkan bahwa hakim mengabulkan permohonan pemohon dikaitkan dengan sudut pandang agama. Sejatinya berdasarkan beberapa agama di Indonesia ada yang menanggap bahwa mengganti commit to user

(27)

kelamin seseorang yang bertujuan untuk menjadi seorang transeksual tidak dibenarkan, sebagai contoh pada agama Islam, Katolik dan Kristen yang berprinsip bahwa penggantian jenis kelamin yang bertujuan untuk menjadi seorang transeksual merupakan perbuatan berdosa karena melanggar aturan Tuhan yang ada pada kitab suci, namun ada beberapa agama yang tidak mempersalahkan mengenai penggantian jenis kelamin seseorang yang bertujuan menjadi seorang transeksual, sebagai salah satu contoh yaitu pada agama Hindu. Dalam agama hindu sendiri mengenal tiga jenis kelamin yang berbeda, salah satunya ajarannya mengenal jenis kelamin ketiga (Tritiya- prakriti) yang memiliki arti golongan orang dengan kelamin dari laki-laki ke perempuan (shanda) dan perempuan ke laki-laki (shandi).

Penemuan hukum dalam pertimbangan hakim dalam penetapan permohonan nomor 1188/Pdt.P/2018/PN Sby hanya menekankan pada aspek hukum dan aspek non-hukum (medis) yang didasarkan pada sisi kemanusiaan dan dari segi hukum positif di Indonesia. Jika melihat berdasarkan norma agama, maka penetapan hakim telah bertentangan dengan ketentuan agama yang dianut oleh pemohon, hal ini sebagaimana yang tertera di dalam penetapan bahwa agama pemohon adalah islam.

Keterkaitan tersebut sehubungan dengan munculnya Fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang Operasi Perubahan/Penyempurnaan Kelamin (Musyawarah Nasional II Nomor 05/Kep/Munas II/MUI/1980 tanggal 1 Juni tahun 1980 dan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 0/MUNASVIII/MUI/2010 tentang Perubahan dan Penyempuraan alat kelamin yang pada intinya menjelaskan bahwa Penggantian jenis kelamin yang dilakukan oleh perempuan menjadi laki-laki ataupun sebaliknya merupakan perbuatan yang haram jika dilakukan dengan sengaja dan tidak mengubah ataupun berakibat pada status hukum syar’i terkait penggantian tersebut.

Jika melihat pada alasan yang disebutkan diatas maka pertimbangan hakim seharusnya dilarang, mengingat agama pemohon adalah islam. Hal tersebut dikarenakan pertimbangan yang ada tidak sesuai dengan ketentuan commit to user

(28)

dan ajaran yang ada pada agama pemohon. Namun perlu dicermati kembali bahwa kedudukan Fatwa yang dikelurakan oleh Majelis Ulama Indonesia tidak memiliki kekuatan mengikat secara hukum (rechtgedig), melainkan hanya memiliki kekuakatan mengikat secara moral (moral binding).

Prosedur dalam pembentukan Fatwa Majelis Ulama Indonesia tidak diatur di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan-Perundangan dan kedudukan Fatwa Majelis Ulama Indonesia sendiri juga tidak masuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan.

Fatwa sendiri dibuat berdasarkan prosedur yang ada dan berlaku pada lingkup Majelis Ulama Indonesia. Sebagai penjelasan tambahan, Fatwa Majelis Ulama Indonesia dalam hal ini hanya berkedudukan tidak lebih dari halnya sebuah doktrin atau pendapat ahli, hal tersebut bermakna bahwa Fatwa Majelis Ulama Indonesia hanya sebatas sumber hukum tidak mengikat (non-binding source of law) (Slamet Suhartono, 2017: 456-458).

Mengenai sumber hukum yang menyangkut pelarangan transeksual dan hubungannya dengan ekistensinya dalam hukum positif di Indonesia, dapat dimaknai bahwasanya pelarangan mengenai penggantian jenis kelamin secara yuridis terhadap undang-undang tidak diatur dan belum jelas hukumnya. Pelarangannya sendiri hanya sebatas Fatwa yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia dan juga berdasarkan pandangan dari agama- agama yang diakui di Indonesia, pandangan tersebut sifatnya hanya sebatas norma dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat (non-binding source of law). Namun perlu digaris bawahi lagi, bahwasannya sebuah Fatwa, aturan hukum agama, doktrin agama, dapat menjadi sebuah hukum yang mengikat (rechtgedig) ketika ketentuannya sudah diimplementasikan kedalam sebuah aturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, sebagai contoh Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah menggunakan prinsip syariah yang berbasis pada ketentuan Fatwa Majelis Ulama Indonesia. Penjelasan tersebut berarti bahwa Fatwa Majelis Ulama Indonesia baru bisa menjadi sebuah aturan yang mengikat ketika

commit to user

(29)

eksistensinya di terapkan dalam sebuah aturan perundang-undangan sebagai bentuk dari hukum positif.

Merujuk pada Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesahatan (UU Kesehatan) terdapat pasal yang menyinggung mengenai bedah plastik yaitu pada Pasal 69 ayat (2) dan ayat (3) UU Kesehatan, yang berbunyi:

(1) Bedah plastik dan rekontruksi tidak boleh bertentangan dengan norma yang berlaku dalam masyarakat dan tidak ditujukan untuk mengubah identitas.

(2) Ketentutan mengenai syarat dan tata cara bedah plastik rekonstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan denga Peraturan Pemerintah.

Maksud dari kata identitas di atas dimaknai dengan identitas yang mudah dikenali, yaitu bentuk wajah bukan identitas yang sifatnya kodrati seperti pada perubahan jenis kelamin. Selanjutnya mengenai peraturan yang mengatur tentang persyaratan dan tata cara bedah plastik dan konstruksi yang ada di dalam Pasal 69 ayat (3) UU Kesehatan hingga saat ini belum terbentuk (Nur Hafni Kurniawati, et al, 2019: 61). Oleh karena itu, kejelasan dari tindak lanjut mengenai ketentuan operasi beda plastik, khususnya operasi penggantian jenis kelamin belum jelas hukumnya.

Melihat dari penetapan lain yang membahas mengenai hal serupa, ada pada penetapan dengan Nomor 87/Pdt.P/2016/PN Skt. Pada penetapan tersebut, Hakim membuat pertimbangan berdasarkan dari aspek hak asasi manusia dengan dasar hukum yang ada pada Pasal 28 I angka 1 Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang menjelaskan bahwa hak asasi manusia tidak dapat dikurangi sedikitpun dan ditegaskan lagi pada Pasal 21 dan 29 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang dengan jelas mengamantkan bahwa setiap orang memiliki hak atas keutuhan pribadinya secara jasmani dan rohani, dan hak atas pengakuan hukum.

Berikut merupakan tabel mengenai pertimbangan hakim dalam memutus perkasa permohonan penggantian jenis kelamin seorang transeksual menurut Penetapan Nomor 1188/Pdt.P/2018/PN Sby :

commit to user

(30)

Tabel 1. Petimbangan Hakim Dalam Memutus Perkara Permohonan Penggantian Jenis Kelamin

No

Pertimbangan Hakim dalam Penetapan 1188/Pdt.P/2018/PN Sby

Hukum Non-Hukum

1. Pasal 56 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 yang sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2006

tentang Administrasi

Kependudukan yang mengatur mengenai Peristiwa Penting Lainnya.

Faktor Psikologis yang ditangani oleh Psikolog dan juga pengakuan Pemohon yang menjelaskan bahwa sedari kecil Pemohon lebih suka bergaul bersama teman perempuan dibanding dengan teman laki-laki.

Pemohon juga mengaku memiliki sifat, penampilan, perilaku lebih seperti seorang wanita.

2. Pasal 97 Ayat (2) Peraturan Presiden Nomor 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil sejatinya merupakan penjelasan lebih lanjut mengenai frasa “pencatatan peristiwa penting lainnya”. Pada pasal tersebut menegaskan bahwasanya yang dimaksud dengan peristiwa penting lainnya merupakan perubahan jenis kelamin

Faktor seksualitas, Pemohon mengaku lebih tertarik dengan laki- laki dibandingkan dengan lawan jenisnya. Pengakuan pemohon yang dikuatkan oleh saksi-saksi yang dihadirkan mengakui bahwa Pemohon tidak pernah mengalami mimpi basah seperti halnya anak laki- laki pada umumnya yang memasuki fase remaja

3. Pasal 5 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang mengamanatkan

Surat Keterangan Nomor 02/TOUK/VI/2015 yang menyatakan bahwa Pemohon telah melakukan commit to user

(31)

bahwa hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai- nilai hukum dan rasa keadilan berdasarkan norma hukum yang berkembang di masyarakat.

Operasi Penggantian jenis kelamin sudah bukan hanya menjadi bagian dari gejala sosial di masyarakat melainkan menjadi sebuah kebutuhan praktek

operasi pembedahan jenis kelamin atau sex reassignment surgery yang diketuai oleh Prof. Dr. Djohansjah Marzoeki, dr., Sp.Bp-RE (K) tertanggal 1 Juni 2015 si Rumah Sakit Umum Dr. Soetomo Surabaya.

4. Pasal 10 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009tentang

Kekuasaan Kehakiman

menjelaskan bahwa Pengadilan tidak boleh menolak mengadili perkara yang hukumnya tidak jealas atau tidak ada.

Keterangan yang menyatakan bahwa Pemohon selama menjalani operasi penggantian jenis kelamin ditangani oleh Psikolog, Psikiater dan Dokter Spesialis Penyakit Dalam

5. yurisprudensi berupa penetapan mengenai penggantian jenis kelamin yang sebelumnya sudah pernah ada kejadian perkara serupa

Sumber : Penelitian penulis yang didaparkan berdasarkan Penetapan Nomor 1188/Pdt.P/2018/PN Sby

Berdasarkan penjabaran tersebut maka dapat dikatakan hakim telah menggunakan metode konstruksi hukum dan interpretasi dengan baik sebagai bentuk dari menemukan dan menciptakan hukum baru demi tercapainya keadilan dan kemanfaan hukum bagi pemohon. Selain itu penemuan hukum yang hakim ciptakan dapat digunakan sebagai sumber hukum baru berupa yurisprudensi bagi pertimbangan hukum untuk kasus serupa di masa yang akan datang.

commit to user

(32)

B. Implikasi Yuridis Keperdataan Terhadap Pelaku Transeksual yang Telah Mengganti Identitas Berdasarkan Penetapan Pengadilan Negeri

1. Implikasi Penggantian Identitas Pelaku Transeksual Terhadap Keabsahan Perkawinan di Indonesia

Perkawinan merupakan salah satu bagian atau fase dalam hidup yang tidak dapat dilepaskan dalam kehidupan manusia. Perkawinan sendiri bagi sebagian orang mengangapnya sebagai hal yang sangat sakral dan merupakan bagian dari pelengkap hidup yang bertujuan untuk melanjutkan kehidupan dengan cara memperoleh keturunan yang sah (Soemiyati, 1997 : 12). Pengaturan mengenai perkawinan sendiri diatur di dalam Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Pengertian perkawinan yang terdapat di dalam Pasal 1 Undang- Undang Perkawinan yang memaknaninya bahwa perkawinan merupakan sebuah ikatan antara seorang pria dan wanita dalam membentuk hubungan rumah tangga berdasarkan Ketuhana Yang Maha Esa. Berdasarakan ketentuan tersebut dapat dikatakan bahwa dalam suatu perkawinan maka terdapat beberapa unsur yang diantaranya :

a. Ikatan lahir batin diantara kedua memepelai;

b. Hubungan antara seorang pria dan wanita;

c. Bertujuan untuk membentuk keluarga;

d. Berlandaskan terhadap Ketuhanan Yang Maha Esa.

Pernyataan tersebut ditegaskan lagi pada Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan yang menyaratkan bahwasanya perkawinan dianggap sah jika sesuai dengan hukum agama dan kepercayaan yang dianut oleh kedua mempelai, lalu dicatatkan di lembaga yang berwenang menurut undang- undang. Istilah perkawinan agama atau perkawinan sah menurut agama sendiri dapat ditemukan dalam Pasal 49 dan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Lydya Arfina dan Anjar commit to user

(33)

Sri Ciptorukmi Nugraheni, 2019:7). Berdasarkan hal tersebut maka dapat dimaknai jika Undang-Undang Perkawinan di Indonesia memiliki hubungan dengan hukum agama dan kepercayaan yang ada.

Mengacu pada Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan dengan sangat jelas menjelaskan bahwa perkawinan di Indonesia hanya dapat dilakukan oleh seorang pria dan wanita. Namun, dengan berkembangnya zaman dan teknologi yang mulai canggih di segala bidang, salah satunya terdapat praktek operasi penggantian jenis kelamin (sex reassignment surgery).

Bergantinya jenis kelamin seseorang maka akan sangat mempengaruhi status keperdataannya pula.

Seseorang yang telah mengganti jenis kelaminnya disebut dengan transeksual. Tidak hanya mengganti bentuk fisiknya saja, seorang transeksual dapat mengganti identitasnya mulai dari nama dan jenis kelamin pada seluruh data kependudukan yang dimilikinya. Secara praktek dan legalitas seseorang yang sudah mengganti jenis kelaminnya dapat menikah secara normal, dikarenakan statusnya sudah berubah menurut hukum positif. Namun, dalam realitasnya perkawinan di Indonesia memiliki hubungan dan keterkaitan dengan hukum agama dan kepercayaan yang ada, hal tersebut menjadi sebuah problematika yang mendasar bagi seorang transeksual.

Indonesia sendiri mengenal enam agama yang terdiri dari Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Setiap agama tersebut memiliki pandangan dan hukumnya masing-masing terhadapat perkawinan, yang diantaranya :

a. Agama Islam

Islam dalam memandang dua jenis kelamin seseorang, diantaranya adalah wanita dan perempuan. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT yang terdapat di dalam Surat Al-Hujurat (49) :13 yang berbunyi :

commit to user

(34)

“Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan dan menjadi kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal…”

Berdasarkan ayat di atas dapat dimaknai bahwa Allah SWT telah menciptakan manusia dengan dua jenis kelamin yang berbeda. Selain itu, Allah SWT juga memberikan wahyu yang menjelaskan bahwa manusia diciptakan untuk berpasangan untuk hidup bersama, hal ini sepertinya yang difirmankan pada surat Ar-Rum (30) ayat 21 :

“…Dia menciptakan untukmu pasangan dari jenismu sendiri agar dapat hidup damai bersamanya, dan dijadikan bibt rasa kasih sayang di antaramu…”

Namun dalam seiring berjalannya waktu, praktik penggantian jenis kelamin merupakan hal yang tidak mungkin, hal tersebut dapat diwujudkan melalui proses operasi penggantian jenis kelamin atau yang biasa disebut dengan sex reassignment surgery. Kendati demikian, Majelis Ulama Indonesia (MUI) memiliki pandangan yang tegas terhadap fenomena tersebut. Berikut merupakan rincian dari hasil Fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang Operasi Perubahan Jenis Kelamin, diantaranya:

1) Fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang Operasi Perubahan/Penyempurnaan Kelamin (Musyawarah Nasional II Nomo 05/Kep/MUNAS II/MUI/1980 dengan rincian sebagai berikut :

a) Mengubah jenis kelamin laki-laki menjadi kelamin perempuan, atau sebaliknya hukumnnya haram. Karena bertentangan dengan Al-Qur’an surat An-Nisa 199, bertentangan pula dengan jiwa syara;

b) Orang yang kelaminnya diganti, kedudukan hukum jenis kelaminnya sama dengan jenis kelamin semula sebelum dirubah;

commit to user

(35)

c) Seorang khunsta yang kelaki-lakiannya lebih jelas boleh disempurnakan kelaki-lakiannya. Demikian pula sebaliknya dan hukumnya menjadi posifit.

2) Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 04/MUNASVIII/MUI/2010 tentang Perubahan dan Penyempurnaan Alat Kelamin, yang berdasarkan isinya dapat dijabarkan sebagai berikut :

a) Mengubah alat kelamin dari laki-laki menajdi perempuan atau sebaliknya yang dilkukan dengan sengaja, misalnya denga operasi ganti kelamin, hukumnya haram;

b) Membantu melakukan ganti kelamin sebagimana poin 1 hukumnya haram;

c) Penetapan keabsahan status jenis kelamin akibat operasi penggantian alat kelamin sebagaimana poin 1 tidak dibolehkan dan tidak memiliki implikasi hukum sya’ria terkait penggantian tersebut;

d) Kedudukan hukum jenis kelamin orang yang telah melakukan operasi ganti kelamin sebagaimana poin 1 adalah sama dengan jenis kelamin semula seperti sebelum dilakukan operasi ganti kelamin, meski telah memperoeh penetapan pengadilan.

Hal tersebut juga terdapat penegasannya dijelaskan berdasarkan hadits nabi yang berbunyi “Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam melaknat lelaki yang menyerupai wanita dan (melaknat) wanita yang menyerupai lelaki.” (HR. al-Bukhari no. 5885).

Berdasarkan penjabaran diatas dapat ditarik sebuah kesimpulan, bahwa perkawinan seorang yang telah melakukan operasi penggantian jenis kelamin dan menjadi seorang transeksual yang dikarenakan kemauan sendiri dan bukan merupakan penyempurnaan alat kelamin maka perkawinannya tidak sah dan haram menurut pandangan hukum islam. Karena secara prinsip hukum islam, perkawinan seorang pria yang menjadi wanita dan dinikahi oleh seorang pria ataupun seorang wanita yang menjadi pria dan menikahi seorang wanita hukumnya commit to user

(36)

haram dan dianggap sebagai perkawinan sesama jenis. Hal tersebut sesuai seperti yang didasarkan di dalam Fatwa MUI yang menegaskan bahwa penggantian jenis kelamin seseorang karena keinginannya sendiri, tidak akan memiliki perubahan terhadap hukum syar’i.

Pada kasus Avika Warisman sendiri tergolong transeksual yang mengubah jenis kelaminnya dengan kehendaknya sendiri, dalam Penetapan Nomor 1188/Pdt.P/2018/PN Sby tidak menyebutkan bahwa Avika Warisman mengalami ambiguitas pada alat kelaminnya.

Pengakuan dan bukti yang diajukan Avika Warisman hanya sebatas gangguan yang berhubungan dengan faktor psikologis.

b. Agama Kristen Protestan dan Kristen Katolik

Menurut ajaran ajaran Kristen Protestan dan Kristen Katolik hanya mengenal dua jenis kelamin, hal tersebut seperti yang tertuang di dalam Kejadian 1: 27 yang menjelaskan bahwa Allah menciptakan manusia berupa laki-laki dan perempuan. Allah pun berfirman di dalam Kejadian 1: 26-28 yang memerintakan manusia untuk menikah dan berkembang biak untuk memperoleh keturunan. Namun melihat pada kasus perkawinan yang dilakukan oleh pelaku transeksual, hal tersebut bertentangan dengan firman Tuhan yang dikarenakan efek dari perkawinan seorang pria yang menjadi wanita lalu menikahi seorang pria dan juga sebaliknya, akan berimbas pada ketidakmampuan untuk menghasilkan sebuah keturunan.

Pandangan Al-Kitab terhadap kasus perkawinan tersebut termasuk kedalam golongan perkawinan sesama jenis, dan sangat dilarang agama. Hal ini secara jelas terpapar dalam Kitab Perjanjian Lama, yang tercantum di dalam Imamat 18:22 bahwa “Janganlah engkau tidur dengan laki-laki secara orang bersetubuh dengan perempuan, karena itu sesuatu kekejian”

Pandangan tersebut diperkuat dengan Firman Tuhan yang ada pada Kitab Perjanjian Baru, yang tercantum dalam 1 Korintus 6:9-11, 1 Timotius 1:10, Roma 1 : 26-27, dan Yudas 1:7. Homoseksual commit to user

(37)

merupakan tindakan yang sangat keji dan berdosa karena tidak sesuai dengan ketetapan Allah (Sjanette Eveline, 2019 : 59).

Pada Gereja Katolik secara khusus memandang perilaku Transeksual merupakan tindakan yang tidak dibenarakan agama, hal tersebutm seperti yang tercantum di dalam Katekismus Gereja Katolik Nomor 369. Agama Katolik berpandangan bahwa bagi seseorang yang memiliki penyimpangan orientasi seksual sebaiknya tetap mempertahan kelaminnya dan kembali kepada ajaran Gereja. Namun, hal tersebut menjadi sebuah pengecualian bagi seseorang yang memiliki permasalahan kesehatan berupa kelamin ganda dan berkeinginan untuk mengubah atau menyempurnakan jenis kelaminnya. Gereja Katolik memandang bahwa hal tersebut tidak menyalahi aturan Gereja (Zenny Natasia Lianto, 2018: 258).

Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwasanya pandangan pada Agama Kristen Protestan dan Kristen Katolik terhadap perkawinan transeksual merupakan tindakan yang dilarang dan berdosa karena bertentangan dengan Firman Tuhan yang terdapat di dalam Al-Kitab. Gereja katolik menegaskan lebih dalam bahwa penggantian jenis kelamin pada seorang transeksual tidak akan mengubah status hukumnya di mata Gereja, oleh karena itu perkawinan yang dilangsungkan dianggap tidak sah dan tidak dapat mendapatkan sakramen perkawinan.

c. Agama Hindu

Perkawinan yang diajarkan dalam agama Hindu merupakan perkawinan antara pria dan wanita yang bertujuan untuk menghasilkan keturunan. Perkawinan yang dilakukan oleh pelaku transeksual tidak sesuai dengan tujuan perkawinan menurut agama Hindu, oleh karena itu agama Hindu tidak menghendaki perkawinan seorang transeksual terlebih lagi perkawinan seorang transeksual berupa seseorang pria yang mengganti jenis kelamin menjadi wanita lalu menikahi seorang pria dan

commit to user

Referensi

Dokumen terkait

Kemudian larutan A ditambahkan KI dan amilum larutan yang dihasilkan adalah tetap berwarna bening, lalu Ditambahlan dengan CCl4 larutan terpisah menjadi 3 lapisan dengan lapisan

Buatlah kertas kerja, Laporan keuangan, Jurnal Penutup dan Jurnal

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi struktur modal, yaitu profitabilitas, likuiditas, struktur aktiva, pertumbuhan penjualan dan ukuran perusahaan.Tujuan dari

Setelah itu Peter menyusut naik ke atas tembok Dari atas ia memandang ke arah kawan-kawan samb i nyengir. Dilihatnya pesawat terbang yang tadi hilang itu sudah berada di tangan

Dalam penguasaan suatu bahasa, baik melelui proses pemerolehan maupun pembelajaran, lingkungan bahasa tidak dapat diabaikan, Keterlibatan lingkungan bahasa sangat

Ujian Nasional merupakan alat untuk mengukur seberapa jauh penguasaan siswa atas materi pelajaran yang telah dipelajari selama kurun waktu tertentu, selain itu

Karena dengan kesadaran itu masayarakat akan menjaga dan melestarikan sungai tanpa paksaan dari pihak manapun akan menjaga dan melestarikan sungai tanpa paksaan dari pihak

Apa interpretasi dari pemeriksaan orofaringeal : tonsil : T4/T4, mukosa hiperemis, kripte melebar +/+, detritus +/+ dan pada faring ditemukan mukosa hiperemis dan terdapat granul