Metode penemuan hukum yang diterapkan oleh hakim Pengadilan Negeri Surabaya dengan penetapan Nomor 1188/Pdt.P/2018/PN Sby menggunakan metode penemuan konstruksi hukum. Hal ini dikarenakan berdasarkan pertimbangan hakim yang terdapat pada penetapan terkait menyatakan bahwasanya perkara penggantian jenis kelamin di Indonesia belum ada hukum yang secara tegas mengatur, berdasarkan pernyataan itu maka dapat dikatakan terdapat kekosongan hukum (recht vacuum). Oleh sebab itu, hakim dalam menentukan pertimbangan hukumnya membuat sebuah pemikiran hukum yang baru meskipun belum adanya aturannya sekalipun.
Dalam mengisi kekosongan hukum tersebut, hakim mengisinya dengan mencari dan menemukan hukumnya (rechtsvinding) sesuai dengan keadaan individu dan keadaan sosial yang ada di masyarakat, karena hakim berpendapat bahwa hukum yang ada belum cukup jelas dan tidak secara commit to user
khusus mengatur perkara tersebut. Jika melihat pada penetapan dengan Nomor 1188/Pdt.P/2018/PN Sby, menyebutkan bahwa Avika Warisman selaku pelaku transeksual yang memberikan permohonan kepada Pengadilan Negeri Surabaya, mengajukan penggantian identitas jenis kelamin pada 18 Oktober 2018 dan diizinkan oleh hakim pengadilan negeri dengan dalil pada dari beberapa pasal diantarnya pada Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Administrasi Kependudukan Nomor 23 Tahun 2006 yang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang menyatakan bahwa :
“Pencatatan Peristiwa Penting lainnya dilakukan oleh Pejabat Pencatatan Sipil atas permintaan Penduduk yang bersangkutan setelah adanya penetapan pengadilan negeri yang memperoleh kekukatan hukum tetap.”
Peristiwa penting lainnya yang dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Administrasi Kependudukan diartikan sebagai perubahan jenis kelamin, yang perihal ini juga ditegaskan dalam Pasal 97 ayat (2) Peraturan Presiden Nomor 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil.
Mengenai penggantian jenis kelamin yang ada di Pasal 97 ayat (2) Peraturan Presiden Nomor 25 Tahun 2008, Hakim pengadilan negeri menganalogikannya bahwa penggantian jenis kelamin oleh pelaku transeksual termasuk dari hal yang dicantumkan pada pasal tersebut.
Analogi tersebut dilakukan karena semata-mata Hakim melihat dari segi kemanfaatan, keadilan, dan kepastian hukum untuk pemohon. Selanjutnya, dalam kasus permohonan ini hakim menggunakan metode penafsiran interpretasi multidisipliner, hakim melihat kasus ini dengan menggunakan sudut pandang bidang ilmu kedokteran.
Perbedaan sudut pandang muncul ketika penemuan hukum pada pertimbangan yang menyebutkan bahwa hakim mengabulkan permohonan pemohon dikaitkan dengan sudut pandang agama. Sejatinya berdasarkan beberapa agama di Indonesia ada yang menanggap bahwa mengganti commit to user
kelamin seseorang yang bertujuan untuk menjadi seorang transeksual tidak dibenarkan, sebagai contoh pada agama Islam, Katolik dan Kristen yang berprinsip bahwa penggantian jenis kelamin yang bertujuan untuk menjadi seorang transeksual merupakan perbuatan berdosa karena melanggar aturan Tuhan yang ada pada kitab suci, namun ada beberapa agama yang tidak mempersalahkan mengenai penggantian jenis kelamin seseorang yang bertujuan menjadi seorang transeksual, sebagai salah satu contoh yaitu pada agama Hindu. Dalam agama hindu sendiri mengenal tiga jenis kelamin yang berbeda, salah satunya ajarannya mengenal jenis kelamin ketiga (Tritiya-prakriti) yang memiliki arti golongan orang dengan kelamin dari laki-laki ke perempuan (shanda) dan perempuan ke laki-laki (shandi).
Penemuan hukum dalam pertimbangan hakim dalam penetapan permohonan nomor 1188/Pdt.P/2018/PN Sby hanya menekankan pada aspek hukum dan aspek non-hukum (medis) yang didasarkan pada sisi kemanusiaan dan dari segi hukum positif di Indonesia. Jika melihat berdasarkan norma agama, maka penetapan hakim telah bertentangan dengan ketentuan agama yang dianut oleh pemohon, hal ini sebagaimana yang tertera di dalam penetapan bahwa agama pemohon adalah islam.
Keterkaitan tersebut sehubungan dengan munculnya Fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang Operasi Perubahan/Penyempurnaan Kelamin (Musyawarah Nasional II Nomor 05/Kep/Munas II/MUI/1980 tanggal 1 Juni tahun 1980 dan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 0/MUNASVIII/MUI/2010 tentang Perubahan dan Penyempuraan alat kelamin yang pada intinya menjelaskan bahwa Penggantian jenis kelamin yang dilakukan oleh perempuan menjadi laki-laki ataupun sebaliknya merupakan perbuatan yang haram jika dilakukan dengan sengaja dan tidak mengubah ataupun berakibat pada status hukum syar’i terkait penggantian tersebut.
Jika melihat pada alasan yang disebutkan diatas maka pertimbangan hakim seharusnya dilarang, mengingat agama pemohon adalah islam. Hal tersebut dikarenakan pertimbangan yang ada tidak sesuai dengan ketentuan commit to user
dan ajaran yang ada pada agama pemohon. Namun perlu dicermati kembali bahwa kedudukan Fatwa yang dikelurakan oleh Majelis Ulama Indonesia tidak memiliki kekuatan mengikat secara hukum (rechtgedig), melainkan hanya memiliki kekuakatan mengikat secara moral (moral binding).
Prosedur dalam pembentukan Fatwa Majelis Ulama Indonesia tidak diatur di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan-Perundangan dan kedudukan Fatwa Majelis Ulama Indonesia sendiri juga tidak masuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan.
Fatwa sendiri dibuat berdasarkan prosedur yang ada dan berlaku pada lingkup Majelis Ulama Indonesia. Sebagai penjelasan tambahan, Fatwa Majelis Ulama Indonesia dalam hal ini hanya berkedudukan tidak lebih dari halnya sebuah doktrin atau pendapat ahli, hal tersebut bermakna bahwa Fatwa Majelis Ulama Indonesia hanya sebatas sumber hukum tidak mengikat (non-binding source of law) (Slamet Suhartono, 2017: 456-458).
Mengenai sumber hukum yang menyangkut pelarangan transeksual dan hubungannya dengan ekistensinya dalam hukum positif di Indonesia, dapat dimaknai bahwasanya pelarangan mengenai penggantian jenis kelamin secara yuridis terhadap undang-undang tidak diatur dan belum jelas hukumnya. Pelarangannya sendiri hanya sebatas Fatwa yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia dan juga berdasarkan pandangan dari agama-agama yang diakui di Indonesia, pandangan tersebut sifatnya hanya sebatas norma dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat (non-binding source of law). Namun perlu digaris bawahi lagi, bahwasannya sebuah Fatwa, aturan hukum agama, doktrin agama, dapat menjadi sebuah hukum yang mengikat (rechtgedig) ketika ketentuannya sudah diimplementasikan kedalam sebuah aturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, sebagai contoh Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah menggunakan prinsip syariah yang berbasis pada ketentuan Fatwa Majelis Ulama Indonesia. Penjelasan tersebut berarti bahwa Fatwa Majelis Ulama Indonesia baru bisa menjadi sebuah aturan yang mengikat ketika
commit to user
eksistensinya di terapkan dalam sebuah aturan perundang-undangan sebagai bentuk dari hukum positif.
Merujuk pada Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesahatan (UU Kesehatan) terdapat pasal yang menyinggung mengenai bedah plastik yaitu pada Pasal 69 ayat (2) dan ayat (3) UU Kesehatan, yang berbunyi:
(1) Bedah plastik dan rekontruksi tidak boleh bertentangan dengan norma yang berlaku dalam masyarakat dan tidak ditujukan untuk mengubah identitas.
(2) Ketentutan mengenai syarat dan tata cara bedah plastik rekonstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan denga Peraturan Pemerintah.
Maksud dari kata identitas di atas dimaknai dengan identitas yang mudah dikenali, yaitu bentuk wajah bukan identitas yang sifatnya kodrati seperti pada perubahan jenis kelamin. Selanjutnya mengenai peraturan yang mengatur tentang persyaratan dan tata cara bedah plastik dan konstruksi yang ada di dalam Pasal 69 ayat (3) UU Kesehatan hingga saat ini belum terbentuk (Nur Hafni Kurniawati, et al, 2019: 61). Oleh karena itu, kejelasan dari tindak lanjut mengenai ketentuan operasi beda plastik, khususnya operasi penggantian jenis kelamin belum jelas hukumnya.
Melihat dari penetapan lain yang membahas mengenai hal serupa, ada pada penetapan dengan Nomor 87/Pdt.P/2016/PN Skt. Pada penetapan tersebut, Hakim membuat pertimbangan berdasarkan dari aspek hak asasi manusia dengan dasar hukum yang ada pada Pasal 28 I angka 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang menjelaskan bahwa hak asasi manusia tidak dapat dikurangi sedikitpun dan ditegaskan lagi pada Pasal 21 dan 29 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang dengan jelas mengamantkan bahwa setiap orang memiliki hak atas keutuhan pribadinya secara jasmani dan rohani, dan hak atas pengakuan hukum.
Berikut merupakan tabel mengenai pertimbangan hakim dalam memutus perkasa permohonan penggantian jenis kelamin seorang transeksual menurut Penetapan Nomor 1188/Pdt.P/2018/PN Sby :
commit to user
Tabel 1. Petimbangan Hakim Dalam Memutus Perkara Permohonan Penggantian Jenis Kelamin
No
Pertimbangan Hakim dalam Penetapan 1188/Pdt.P/2018/PN Sby
Hukum Non-Hukum
1. Pasal 56 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 yang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006
tentang Administrasi
Kependudukan yang mengatur mengenai Peristiwa Penting Lainnya.
Faktor Psikologis yang ditangani oleh Psikolog dan juga pengakuan Pemohon yang menjelaskan bahwa sedari kecil Pemohon lebih suka bergaul bersama teman perempuan dibanding dengan teman laki-laki.
Pemohon juga mengaku memiliki sifat, penampilan, perilaku lebih seperti seorang wanita.
2. Pasal 97 Ayat (2) Peraturan Presiden Nomor 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil sejatinya merupakan penjelasan lebih lanjut mengenai frasa “pencatatan peristiwa penting lainnya”. Pada pasal tersebut menegaskan bahwasanya yang dimaksud dengan peristiwa penting lainnya merupakan perubahan jenis kelamin
Faktor seksualitas, Pemohon mengaku lebih tertarik dengan laki-laki dibandingkan dengan lawan jenisnya. Pengakuan pemohon yang dikuatkan oleh saksi-saksi yang dihadirkan mengakui bahwa Pemohon tidak pernah mengalami mimpi basah seperti halnya anak laki-laki pada umumnya yang memasuki fase remaja
3. Pasal 5 Undang-Undang Nomor 48