• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

Anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya.1 Pengertian anak menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dalam Pasal 1 ayat (1) menyebutkan bahwa Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan. Setiap anak pada dasarnya sedang dalam proses tumbuh kembang dan belum matang baik secara fisik, psikis, dan sosial.

Perkembangan yang sedang dialami oleh anak sangat rentan terganggu oleh faktor-faktor internal maupun ekternal, sehingga diperlukan jaminan atas proses perkembangan anak dengan cara perlindungan-perlindungan terhadap anak. Hal ini dipertegas dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa, ‘’setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan kekerasan dan diskriminasi’’.2

Untuk melaksanakan pembinaan dan memberikan perlindungan terhadap anak, diperlukan dukungan, baik yang menyangkut kelembagaan maupun perangkat hukum yang lebih mantap dan memadai. Oleh karena itu ketentuan mengenai penyelengaraan pengadilan bagi anak perlu dilakukan secara khusus.3 Prinsip perlindungan hukum terhadap anak harus sesuai dengan Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) sebagaimana telah diratifikasi

1 Konsideran menimbang huruf a Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Sistem Peradilan Pidana Anak.

2 Pasal 28 B ayat (2) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.

3 Mohammad Taufik Makarao, dkk, Hukum Perlindungan Anak dan Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, Jakarta: Rineka Cipta, 2013, hlm. 1.

(2)

oleh pemerintah Republik Indonesia dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on the Rights of the Child (Konvensi Hak-Hak Anak) yang mengatur prinsip perlindungan hukum terhadap anak mempunyai kewajiban untuk memberikan perlindungan khusus terhadap anak yang berhadapan dengan hukum.4

Banyak anak-anak yang menjadi korban kekerasan di keluarganya atau mengalami penderitaan akibat peperangan ataupun ikut mengangkat senjata dalam peperangan demi membela bangsa dan negaranya. Masyarakat seolah-olah lupa bahwa anakanak sebenarnya merupakan karunia yang tidak ternilai yang dititipkan oleh Yang Maha Kuasa untuk disayang, dikasihi, diasuh, dibina, dirawat ataupun dididik oleh kedua orang tua, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.5 Dari sudut pandang psikologis, berbagai sikap dan tindakan sewenang-wenang terhadap anak, membuat mereka menjadi anak-anak yang bermasalah sehingga mengganggu proses pertumbuhan/

perkembangan secara sehat.

Menurut Apong Herlina, pengalaman menjalani rangkaian proses peradilan yang melelahkan, akan berbekas didalam ingatan anak. Efek negatif itu dapat berupa ketakutan, kegelisahan, gangguan tidur, gangguan nafsu makan maupun gangguan jiwa. Akibatnya, anak menjadi gelisah, tegang, kehilangan kontrol emosional, menangis, gemetaran dan malu. Efek negatifpun berlanjut setelah anak dijatuhi putusan pemidanaan, seperti stigma yang berkelanjutan.6 Pemberian hukuman terhadap anak harus memperhatikan aspek perkembangan anak dan kepentingan yang terbaik bagi anak. Anak pelaku tindak pidana harus tetap dilindungi dan diperhatikan hak-haknya

4 Ibid, hlm. 62.

5 M. Joni dan Zulchaina Z. Tanamas, Aspek Hukum Perlindungan Anak dalam Perspektif Konvensi Hak Anak, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1999, hal. 1, dikutip dari UNICEF, Situasi Anak di Dunia 1995, Jakarta, 1995, hal.1.

6 Apong Herlina dkk, Perlindungan terhadap Anak yang berhadapan dengan Hukum, Manual Pelatihan untuk Polisi, (Jakarta : Polri dan Unichef,2004), hlm 101-103.

(3)

sehingga tidak mengganggu atau bahkan merusak masa-masa pertumbuhan anak. Hal inilah yang mendasari dibentuknya sistem peradilan anak.

Peradilan anak di Indonesia awalnya diatur dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Namun, menurut Nasir Jamil Pengadilan Anak tidak memberikan solusi tepat bagi penanganan Anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) karena perkaranya diarahkan untuk diselesaikan ke pengadilan, yang berakibat pada tekanan mental dan sosiologis anak, serta berbagai dampak buruk lainnya yang mengganggu tumbuh kembang anak.7 Untuk menuntaskan masalah tersebut pemerintah Indonesia membentuk Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) yang berlaku sejak Tahun 2014. Dalam UU Perlindungan Anak juga mengatur perlindungan terhadap anak. Pertama, perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak anak. Kedua, penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini. Ketiga, penyediaan sarana dan prasarana khusus. Keempat, penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi anak. Kelima, pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan anak yang berhadapan dengan hukum.

Pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua atau keuarga. Keenam, perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi.8

Salah satu solusi yang dapat ditempuh dalam penanganan perkara tindak pidana anak adalah pendekatan keadilan restoratif, yang dilaksanakan dengan cara diversi. Langkah pengalihan ini dibuat untuk menghindarkan anak dari tindakan selanjutnya dan untuk dukungan komunitas, di samping itu pengalihan bertujuan untuk mencegah pengaruh negatif dari tindakan hukum

7 Gultom, Maidin, 2014, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Refika Aditama, Bandung.hal 54.

8 Marlina,2009, Peradilan Pidana Anak di Indonesia:Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice.Bandung:Refika Aditama, hal 11

(4)

berikutnya yang dapat menimbulkan stigmatisasi.9Keadilan restoratif merupakan proses penyelesaian yang dilakukan di luar sistem peradilan pidana dengan melibatkan korban, pelaku, keluarga korban dan keluarga pelaku, masyarakat serta pihak-pihak yang berkepentingan dengan suatu tindak pidana yang terjadi untuk mencapai kesepakatan dan penyelesaian.

Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.10 Diversi berasal dari bahasa Inggris diversion yang bermakna penghindaran atau pengalihan.11 Dalam Pasal 11 UU No 11 Tahun 2012 diatur tentang Bentuk- bentuk kesepakatan diversi, yaitu :

a. Perdamaian dengan atau tanpa ganti kerugian;

b. Penyerahan kembali kepada orang tua/wali;

c. Keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di Lembaga pendidikan, atau LPKS paling lama 3 (tiga) bulan; atau

d. Pelayanan masyarakat.

Proses diversi dilaksanakan ketika semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama mengatasi suatu masalah serta menciptakan suatu kewajiban untuk membuat segala sesuatunya menjadi leih baik dengan melibatkan korban, anak, dan masyarakat dalam mencari solusi untuk memperbaiki, rekonsiliasi, dan menentramkan hati yang tidak berdasarkan pembalasan.12 Diversi bertujuan untuk memberikan yang paling baik bagi anak, tanpa mengorbankan kepentingan masyarakat dan tegaknya keadilan. Selain itu, untuk mendidik

9 Wagiati Soetedjo,2011,Hukum Pidana Anak,Bandung:Refika Aditama, hal 135.

10 Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Sistem Peradilan Pidana Anak.

11 Nandang Sambas, Pembaruan Sistem Pemidanaan Anak di Indonesia, Graha Ilmu,Jogjakarta, 2010, hlm. 25

12 Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

(5)

kembali dan memperbaiki sikap dan prilaku anak sehingga ia dapat meninggalkan perilaku buruk yang selama ini ia telah lakukan.13

Polisi sebagai garda terdepan dalam penegakan hukum memiliki tanggung-jawab yang cukup besar untuk mensinergikan tugas dan wewenang Polri sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yaitu bahwa Kepolisian Republik Indonesia memiliki tugas :14

a. Memelihara Keamanan dan Ketertiban Masyarakat.

b. Menegakkan Hukum

c. Memberikan Perlindungan, Pengayoman dan Pelayanan Masyarakat.

Oleh karena itu Penyidik, khususnya Penyidik di Polres Salatiga, dituntut mampu melakukan tindakan diversi dalam menangani perkara tindak pidana anak. Pelaksanaan Diversi ada beberapa persyaratan terkait dengan pelaksanaannya yang diatur pada Pasal 7 ayat (2), dan Pada Pasal 9 Ayat (1) huruf (a) berbunyi15 : “ penyidik, penuntut umum, dan Hakim dalam melakukan Diversi harus mempertimbangkan “kategori tindak pidana” dan dilihat dalam penjelasannya ketentuan ini merupakan indikator bagi aparat penegak hukum bahwa semakin rendah ancaman pidana semakin tinggi prioritas Diversi, dan Diversi tidak dimaksudkan untuk dilaksanakan terhadap pelaku tindak pidana yang serius, misalnya pembunuhan, pemerkosaan, pengedar narkoba dan terorisme, yang diancam pidana diatas 7 tahun.

Menurut M. Yahya Harahap, pengertian penyidikan adalah suatu tindakan lanjut dari kegiatan penyelidikan dengan adanya suatu terjadinya peristiwa tindak pidana. Persyaratan dan pembatasan

13 Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Anak di Indonesia, Bandung: Refika Aditama, 2010, hlm. 77

14 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pasal 13

15 Paulus Hadisuprapto, Delinkuensi Anak Pemahamnan dan Penanggulangannya, (Malang: Bayumedia Publishing, 2008), hlm. 131

(6)

yang ketat dalam penggunaan upaya paksa setelah pengumpulan bukti permulaan yang cukup guna membuat terang suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana.16 Ketika perkara anak tersebut (dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu) hendak dilakukan upaya diversi, maka pihak kepolisian mengundang pihak-pihak terkait untuk melaksanakan upaya diversi tersebut. Jika upaya diversi berhasil,maka pihak kepolisian meminta penetapan ke pengadilan (secara langsung) tanpa melalui kejaksaan. Penetapan tersebut untuk mengesahkan upaya diversi yang sudah dijalankan agar perkara tersebut bisa berhenti atau tidak berlanjut ke tahap selanjutnya. Namun ketika upaya tersebut tidak berhasil (gagal), maka pihak kepolisian sebagaimana umumnya yaitu perkara tersebut berlanjut, atau berkasnya dilimpahkan kekejaksaan.17

Proses diversi wajib diupayakan disetiap tingkat tahapan dalam sistem peradilan, mulai dari tingkat penyidikan, penuntutan dan proses pemeriksaan di Pengadilan.18 Kendala yang menjadi kurang berhasilnya penerapan upaya diversi pada tahap penyidikan adalah ancaman pidana serta orangtua korban yang tidak mendukung upaya diversi yang dilakukan oleh penyidik menyebabkan kurang berhasilnya mengupayakan diversi terhadap anak pelaku. Pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan negeri wajib diupayakan diversi sebagaimana disebut dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Diversi itu hanya dilakukan dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan:

a. Diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan b. Bukan merupakan pengulangan tindak pidana.

16 M Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP: Penyidikan DanPenuntutan, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hlm. 210.

17 Taufik Rachman, Dasar Teori Kewenangan Penyidik Maupun PenuntutUmum Dalam Menghentikan Perkara Pidana, JurnalYuridika: Volume 25 No.3, September-Desember 2010.hlm.1.

18 Angganra dkk, studi implementasi,…..hlm 9.

(7)

Aturan diversi dalam UU SPPA sebenarnya merupakan alternatif bagi penegak hukum untuk sebisa mungkin menghindarkan perkara anak masuk ke persidangan karena diberlakukannya konsep diversi dengan pendekatan keadilan restoratif. Pelaksanaan diversi terhadap anak pelaku tindak pidana akan memberikan pemahaman baru terhadap penyidik tanpa harus melakukan perampasan kemerdekaan sehingga penyelesaian perkara anak yang pertama kali melakukan tindak pidana dengan menekankan pemulihan kembali terhadap korban menjadi sebuah alternatif dalam sistem peradilan pidana anak di Indonesia.

Kasus Pidana yang akan ditinjau oleh Penulis ialah kasus yang berhasil melakukan upaya Diversi pada tingkat Penyidik di Polres Salatiga. Penetapan Diversi Pengadilan Negeri Salatiga Nomor 04/Pen.Div/2019/PN Slt. Dalam perkara anak :

Nama : Ahmad Askim Jihad Bin Ubed Rois.

Tempat/Tgl lahir, umur: Demak, 15 Februari 2001 Jenis kelamin : laki-laki

Kebangsaan : Indonesia

Tempat tinggal : Dsn. Jungpasir Rt 03 Rw 04 Kec Wedung Kab. Demak.

Sebagai Korban/Pelapor selanjutnya di sebut Pihak 1 (satu).

Nama : Ahmad Miftahul Huda Bin Sukarno Tempat/Tgl lahir, umur: Grobogan, 21 Agustus 2001.

Jenis kelamin : laki-laki Kebangsaan : Indonesia

Tempat tinggal : Dsn. Karangrandu Rt 02 Rw 01 Ds. Jumo Kec Kedungjati Kab.

Grobogan

(8)

Selaku Terlapor/Pelaku, dengan didampingi orang tuanya yang bernama Sukarno, selanjutnya disebut Pihak II (dua).

Berawal pada hari Sabtu tanggal 25 Mei 2019, sekitar pukul 09.00 WIB, di Pondok Pesantren Itihadul Asna Kp. Klumpit Rt.002 Rw.001 Kel. Sidorejo kidul Kec. Tingkir kota Salatiga Telah terjadi tindak pidana pencurian Handphone Merk Azus Zenfone 2 Tipe zood Warna Merah Marun.

Pada saat itu hp dicas dikamar dan ditinggal tidur korban, pada saat korban bangun mau menggunakan hp ternyata hp sudah tidak ada, korban berusahan mencari dan tanya ke saksi namun saksi tidak mengetahui.

Atas kejadian tersebut korban mengalami kerugian 1 (satu) buah hp ditafsir sebesar Rp.800.000,-, (delapan ratus ribu rupiah). Selanjutnya, korban malaporkan kejadian ke Polsek Tingkir guna pengusutan lebih lanjut.

Bahwa tersangka disangka melakukan tindak pidana pencurian sebagaimana dalam ketentuan pidana Pasal 362 KUHP yang berbunyi ‘’Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain dengan maksud untuk memiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak Sembilan ratus juta rupiah’’.

Surat Kesepakatan Diversi tertanggal 19 Juni 2019 antara Pelapor/Korban sebagai Pihak I dengan Terlapor/Pelaku sebagai Pihak II yang didampingi para orang tuanya yang bernama Sukarno telah melaksanakan diversi, dan dalam proses diversi telah dicapai kesepakatan :

Kedua pihak (pihak pelapor dan terlapor) berhasil mencapai kesepakatan dan musyawarah sebagai berikut :

1) Terlapor Bersama orang tuanya meminta maaf kepada korban.

2) Pihak korban memaafkan perbuatan pihak terlapor.

(9)

3) Terlapor berjanji tidak akan mengulangi lagi perbuatannya baik kepada korban maupun orang lain dan apabila mengulangi lagi perbuatannya maka terlapor sanggup di proses sesuai hukum yang berlaku.

4) Terlapor Ahmad Miftahul Huda masih dalam pengawasan Bapas Pati selama 2 (dua) bulan.

Dalam kasus pidana yang sama mengenai diversi yang akan ditinjau oleh Penulis ialah kasus yang gagal melakukan upaya Diversi pada tingkat Penyidik di Polres Salatiga. Penetapan Diversi Pengadilan Negeri Salatiga Nomor 02/Pen.Div/2014/PN Slt. Dalam perkara anak :

Nama : Dwike Chandraderia Binti Abu Prayitno Tempat/Tgl lahir, umur: Salatiga, 21 Desember 1997

Jenis kelamin : Perempuan Kebangsaan : Indonesia

Tempat tinggal : Perumahan Telaga Mukti II Blok B1 Rt. 01 Rw. 09 Kel.Tingkir Tengah, Kec Tingkir, Kota Salatiga.

Bahwa tersangka disangka melakukan tindak pidana sebagaimana dalam ketentuan pidana kesatu Pasal 80 Ayat (3) UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan/atau Kedua Pasal 341 KUHP yang berbunyi ‘’Seorang ibu karena takut akan diketahui bahwa ia melahirkan anak dengan sengaja menghilangkan nyawa anaknya pada saat anak itu dilahirkan atau tidak lama kemudian, diancam karena membunuh anak sendiri, dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun’’.

Mengingat ketentuan Pasal 7 Ayat (2) huruf a UU No 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak, serta peraturan Perundang-undangan lain yang bersangkutan: Menetapkan menolak

(10)

permohonan Penyidik dan memerintahkan Penyidik untuk melanjutkan pemeriksaan perkara atas nama tersangka Dwike Chandraderia Binti Abu Prayitno.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, penulis tertarik untuk mengkaji lebih lanjut yang dituangkan ke dalam proposal skripsi dengan judul ‘’ DIVERSI PADA TINGKAT PENYIDIKAN ANAK PELAKU TINDAK PIDANA BERDASARKAN UU NO 11 TAHUN 2012’’.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka masalah yang di angkat oleh penulis dalam penelitian ini adalah Bagaimana pelaksanaan diversi pada tingkat penyidikan anak pelaku tindak pidana berdasarkan UU No 11 Tahun 2012?

C. TUJUAN PENELITIAN

Berdasarkan latar belakang masalah, rumusan masalah serta untuk mendapatkan data-data dan informasi-informasi atau keterangan-keterangan, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan ini adalah sebagai berikut :

Tujuan Objektif

Untuk mengetahui dan menganalisis pelaksanaan diversi pada tingkat penyidikan anak pelaku tindak pidana berdasarkan UU No 11 Tahun 2012.

D. MANFAAT PENELITIAN

Kegunaan dan manfaat yang dapat diambil dari penelitian yang dilakukan dapat menentukan nilai-nilai dari penelitian tersebut. Beberapa hal yang dapat menjadi manfaat dari penelitian ini, diantaranya sebagai berikut :

1. Meningkatkan kemampuan penulis dalam melakukan penelitian baik secara observasi lapangan maupun observasi literatur dengan didukung wawasan yang telah didapatkan

(11)

penulis, serta dapat menerapkan teori-teori yang telah didapat di bangku perkuliahan dengan mengorelasikannya pada kejadian-kejadian selama penelitian dilakukan.

2. Dengan adanya penelitian ini penulis berharap dapat memberikan sumbangan bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya bidang hukum pidana dalam acara pidana.

3. Memberi pengetahuan kepada mahasiswa dan masyarakat mengenai pelaksanaan diversi pada tingkat penyidikan anak pelaku tindak pidana berdasarkan UU No 11 Tahun 2012.

E. METODE PENELITIAN

Untuk memperoleh hasil yang maksimal sesuai dengan tujuan penulisan di atas, maka penelitian ini menggunakan metode-metode sebagai berikut :

1. Jenis penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif yaitu penelitian yang pemecahan masalahnya diselidiki dengan menggambarkan keadaan subjek atau objek dalam penelitian dapat berupa orang, lembaga, masyarakat dan yang lainnya yang pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau apa adanya.

2. Metode Pendekatan

Dalam penelitian ini digunakan pendekatan secara normative, yaitu pendekatan yang dilakukan berdasarkan bahan hukum utama atau dengan cara menelah teori-teori, konsep-konsep, asas-asas hukum serta peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan penelitian ini.

Pendekatan ini dikenal pula dengan pendekatan kepustakaan, yakni dengan mempelajari buku- buku, peraturan perundang-undangan dan dokumen lain yang berhubungan dengan penelitian ini.

3. Data Penelitian

Dalam penelitian ini penulis menggunakan dua jenis data penelitian, yaitu:

(12)

a. Bahan Hukum Primer

Yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, dan terdiri dari kaidah dasar. Bahan hukum primer yang penulis gunakan dalam penelitian ini di antaranya, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Sistem Peradilan Pidana Anak, Penetapan Diversi Pengadilan Negeri Salatiga Nomor 04/Pen.Div/2019/PN Slt, dan Penetapan Diversi Pengadilan Negeri Salatiga Nomor 02/Pen.Div/2014/PN Slt.

b. Data Sekunder

Data yang diperoleh secara tidak langsung, yaitu dari studi kepustakaan yang berupa sejumlah keterangan atau fakta yang diperoleh dengan cara mempelajari bahan-bahan buku-buku, artikel, dokumen-dokumen, peraturan perundangan, laporan-laporan dan sebagainya yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dijelaskan pada, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa Timbangan Bilangan efektif untuk meningkatkan kemampuan menjumlahkan

Berdasarkan uraian di atas peranan studi kelayakan pada perbankan dalam kegiatan usaha mengalami masalah cukup besar terhadap para pengusaha ekonomi lemah, pada umumnya

Hal ini jugalah yang menyebabkan rendahnya nilai modulus young pada formulasi pati:gelatin 10:0 (g/g) dan konsentrasi gliserol 25% yang diimbangi dengan

Penerapan pendekatan inkuiri pada pembelajaran IPA mendapat respon baik dari peserta didik, Hal ini dapat dilihat dari aktivitas belajar peserta didik dan pemahamannya

Hal tersebut menunjukan bahwa hipotesis yang diajukan peneliti, yaitu hubungan positif antara servant leadership dengan komitmen organisasi pada perawat RSUD RAA

Menurut Husain al-Dhahabi, yang dimaksud dengan tafsir ‘ilmi adalah: corak penafsiran yang menggunakan nomenklantur-nomenklantur ilmiah dalam menafsirkan al- Quran,

21 Yanti Karmila Nengsih, Studi komparasif Pengelolaan Pembelajaran pada Homeschooling Primagama dengan Homeschooling Anugerah Bangsa, hlm 113.. kurikulum nasional berfokus pada

Laba adalah pendapatan dan keuntungan setelah dikurangi beban dan kerugian. Laba merupakan pengukuran aktivitas operasi dan ditentukan menggunakan dasar akuntansi akrual. Dalam hal