• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perlindungan Hukum Pemegang Hak Terkait Terhadap Penggandaan Hak Cipta Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perlindungan Hukum Pemegang Hak Terkait Terhadap Penggandaan Hak Cipta Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014"

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PENGATURAN HAK CIPTA SEBAGAI HAK KEBENDAAN

DEWASA INI DI INDONESIA

A. Hak Cipta sebagai hak kebendaan

1. Hak Cipta Secara Umum

Hak cipta merupakan istilah yang populer di dalam masyarakat, walaupun demikian pemahaman tentang ruang lingkup pengertiannya tidaklah sama pada setiap orang karena berbedanya tingkat pemahaman tentang istilah tersebut. Sebagai contoh sering orang awam menginterprestasikan hak cipta sama dengan hak kekayaan intelektual. Lainnya adalah pemahaman masyarakat terhadap perlindungan hak cipta ini, sebagai contoh misalnya karena pemahaman yang kurang sehingga sering muncul pemikiran dan perkataan yang keluar yaitu hak cipta dipatenkan atau merek dipatenkan sehingga seolah-olah pengertian hak cipta itu cukup luas meliputi keseluruhan ciptaan manusia padahal, pengertian hak cipta itu cukup luas meliputi keseluruhan ciptaan manusia di bidang tertentu saja.

Hak cipta sendiri secara harfiah berasal dari dua kata yaitu hak dan cipta, kata “Hak” yang sering dikaitkan dengan kewajiban adalah suatu kewenangan yang diberikan kepada pihak tertentu yang sifatnya bebas untuk digunakan atau tidak.18

18Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar

Bahasa Indonesia, Jakarta, 2010, hlm. 323.

(2)

pengalaman.Sehingga dapat diartikan bahwa hak cipta berkaitan erat dengan intelektual manusia.19

Beberapa pendapat para sarjana mengenai pengertian hak cipta, antara lain:20

1) WIPO ( World Intelektual Property Organization)

“Copy Right is legal from describing right given to creator for their literary and artistic works” yang artinya hak cipta adalah terminology

hukum yang menggambarkan hak-hak yang diberikan kepada pencipta untuk karya-karya mereka dalam bidang seni dan sastra.

2) J. S. T Simorangkir

Berpendapat bahwa hak cipta adalah hak tunggal dari pencipta, atau hak dari pada yang mendapat hak tersebut atas hasil ciptaannya dalam lapangan kasusasteraan, pengetahuan, dan kesenian.Untuk mengumumkan dan memperbanyaknya, dengan mengingat pembatasan-pembatasan yang ditentukan oleh undang-undang.

3) Imam Trijono

Berpendapat bahwa hak cipta mempunyai arti tidak saja si pencipta dan hasil ciptaannya yang mendapat perlindungan hukum, akan tetapi juga perluasan ini memberikan perlindungan kepada yang diberi kepada yang diberi kuasapun kepada pihak yang menerbitkan terjemah daripada karya yang dilindungi oleh perjanjian ini.

19Ibid., hlm. 210.

(3)

Hak cipta pada dasarnya telah dikenal sejak dahulu kala, tetapi konsep hukum hak cipta baru dikenal di Indonesia pada awal tahun 80-an. Bila dilihat dari sejarahnya ada dua konsep besar tentang hak cipta yang pada akhirnya saling mempengaruhi yaitu: konsep Copyrights yang berkembang di Inggris dan negara-negara yang menganut sistem Hukum Common Law dan Konsep Droit d’Auteur yang berkembang di Perancis dan negara-negara yang menganut Sistem Hukum Civil Law.

Konsep Copyrights yang lebih menekankan perlindungan hak-hak penerbit dari tindakan penggandaan buku yang tidak sah dapat ditelusuri dari berlakunya dekrit Star Chamber pada Tahun 1556 yang isinya menentukan ijin pencetakan buku dan tidak setiap orang dapat mencetak buku. Aturan hukum yang lain yang secara tegas melindungi hak penerbit dari tindakan penggandaan yang tidak sah adalah Act of Anne 1709 yang dianggap sebagai peletak dasar konsep modern hak cipta.21

Konsep droit d’ auteur lebih ditekankan pada perlindungan atas hak-hak pengarang dari tindakan yang dapat merusak reputasinya.Konsep ini didasarkan pada aliran hukum alam yang menyatakan bahwa suatu karya cipta adalah perwujudan tertinggi (alter ego) dari pencipta dan pencipta mempunyai hak alamiah untuk memanfaatkan ciptaannya. Konsep ini berkembang pesat setelah revolusi Perancis pada Tahun 1789, konsep ini meletakkan dasar pengakuan tidak saja hak ekonomi dari pencipta akan tetapi juga hak moral.22

21

Yuliati, Efektivitas Penerapan Undang-Undang 19/2002 Tentang Hak Cipta terhadap Karya Musik Indilabel, Skripsi, Semarang: Fakultas Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, 2004, hlm. 16.

(4)

Pengertian konsep hak cipta yang berkembang pada masa sekarang adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi ketentuan dalam undang-undang yang berlaku.Hak cipta merupakan hak kebendaan atau sub sistem dari hukum benda. Mariam Darus berpendapat bahwa hal kebendaan terbagi atas dua bagian yaitu: Hak kebendaanyang sempurna dan hak kebendaan yang terbatas.23Hak kebendaan yang sempurna adalah hak kebendaan yang memberikan kenikmatan yang sempurna (penuh) bagi si pemilik.Selanjutnya untuk hak yang demikian disebut dengan hak kemilikan.Hak kebendaan terbatas adalah hak yang memberikan kenimatan yang tidak penuh atas suatu benda.Jika dibandingkan dengan hak milik artinya hak kebendaan terbatas itu tidak penuh atau kurang sempurna jika dibandingkan dengan hak milik.24

23 Mariam Darus Badrulzaman, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, Edisi Revisi (Bandung: Alumni, Bandung, 2010), hlm. 23.

24Ibid., hlm. 44.

Dengan demikian hak cipta menurut rumusan ini dapat dijadikan objek hak milik. Hal ini dapat disimpulkan dari rumusan Pasal 2 UUHC, yang berbunyi: hak cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(5)

1. Yang dimaksud dengan pencipta adalah

a. Seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama yang atas inspirasinya melahirkan suatu ciptaan berdasarkan kemampuan fikiran, imajinasi kecepatan, keterampilan atau keahlian yang di tuangkan ke dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi.

b. Orang yang merancang suatu ciptaan, tetapi diwujudkan oleh orang lain dibawah pimpinan atau pengawasan orang yang merancang ciptaan tersebut.

c. Orang yang membuat suatu karya cipta dalam hubungan kerja atau berdasarkan pesanan.

d. Badan hukum sebagaimana ditentukan dalam Pasal 9 UUHC. 2. Pengertian Hak Cipta

Ketentuan Pasal 1 ayat (1) UUHC diartikan sebagai hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam kepustakaan hukum di Indonesia yang pertama dikenal adalah Hak Pengarang atau Hak Pencipta (author right), yaitu setelah diberlakukannya Undang-Undang Hak Pengarang

(Auteurswet 1912 Stb. 1912 Nomor 600), kemudian menyusul istilah Hak Cipta.25

25 M. Djumhana dan R. Djubaedillah, Hak Milik Intelektual (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2003), hlm. 47.

(6)

dalam Kongres Kebudayaan ke-2 yang diselenggarakan oleh Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN) di Bandung.26

Istilah hak cipta ini merupakan pengganti Auters Recht atau copyrights yang kandungan artinya lebih tepat dan luas, dibandingkan jika menggunakan istilah hak pengarang. Secara yuridis, istilah hak cipta telah dipergunakan dalam Undang-Undang Hak Cipta (1982) sebagai pengganti istilah hak pengarang yang dipergunakan dalam Auteurswet 1912.27

Hak cipta itu sendiri terdiri dari dua kata, hak dan cipta.Kata “hak” yang sering dikaitkan dengan kewajiban adalah kewenangan yang diberikan kepada pihak tertentu yang sifatnya bebas untuk digunakan atau tidak.Kemudian kata “cipta” tertuju kepada hasil kreasi manusia dengan menggunakan sumber daya yang ada padanya berupa pikiran, perasaan, pengetahuan, dan pengalaman.Oleh karenanya, Hak Cipta berkaitan dengan intelektualitas manusia itu sendiri berupa hasil kerja otak.28

Hak cipta (copyright) adalah salah satu dari hak asasi manusia yang tercantum dalam Universal Declaration of Human Right (Deklarasi Umum Hak-hak Asasi Manusia) dan UN International Covenants (Perjanjian Internasional PBB) dan juga hak hukum yang sangat penting yang melindungi karya budaya. Karya budaya adalah apa saja yang dihasilkan seseorang yang memperkaya alam pikirandan perasaan manusia. Karya budaya tidak mencakup hal-hal yang secara langsung menyumbang pada gaya hidup sehingga kehidupan atau pekerjaan lebih

26 Elissa, Penarikan Royalti Literatur, http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/122798- PK%20IV%202104.8214-Penarikan%20royalti-Literatur.pdf, diakses tanggal 2 September 2014.

27 Rachmadi Usman, Hukum Atas Kekayaan Intelektual, Perlindungan dan Dimensi

Hukumnya di Indonesia (Bandung: Alumni, 2003), hlm. 85-86.

(7)

nyaman, seperti, misalnya, mesin atau teknologi. Mesin dan teknologi tidak termasuk karya budaya karena sebagian besar berkaitan dengan pengembangan peradaban di bidang teknologi dan karena itu hak-hak hukum yang melindunginya terpisah dari hak cipta.29

3. Jenis-jenis hak cipta

Ada dua jenis hak yang terkandung dalam UUHC, yakni hak moral (moral rights) dan hak ekonomi (economic rights).Hak moral diatur dalam Pasal 24

sampai Pasal 26 UUHC.Di dalam penjelasan Undang-undang tersebut, hak moral diartikan sebagai hak yang melekat pada diri pencipta atau pelaku yang tidak dapat dihilangkan atau dihapus dengan alasan apapun, walaupun hak cipta atau hak terkait telah dialihkan.Artinya, secara moral ciptaan tersebut tidak boleh ada yang merusak ataupun mengubahnya dengan apapun, tanpa sepengetahuan dan sepertujuan dari penciptanya.

Hak ekonomi diartikan sebagai hak untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaan serta produk dari hak terkait. Menurut Djumhana hak ekonomi umumnya di setiap negara meliputi jenis hak:

1) Hak reproduksi atau penggandaan UUHC menyebutkan penggandaan adalah proses, pembuatan, atau cara menggandakan suatu salinan ciptaan dan/ atau fonogram atau lebih dengan cara dan dalam bentukapapun, secara permanen atau sementara. Hak reproduksi ini juga mencakup perubahan bentuk ciptaan satu ke ciptaan lainnya, misalnya rekaman

(8)

musik, pertunjukan drama, juga pembuatan duplikasi dalam rekaman suara dan film.

2) Hak adaptasi

Adaptasi dalam UUHC adalah mengalihwujudkan suatu ciptaan menjadi bentuk lain. Hak ini dapat berupa penerjemahan dari bahasa satu ke bahasa lain, aransemen musik, dramatisasi dari nondramatik, mengubah menjadi cerita fiksi dari karangan non fiksi, atau sebaliknya. Hak ini diatur baik dalam Konvensi Berne maupun Konvensi Universal (Universal Copyright Convention).

3) Hak distribusi

Hak distribusi adalah hak yang dimiliki pencipta untuk menyebarkan kepada masyarakat setiap hasil ciptaannya. Penyebaran tersebut dapat berupa bentuk penjualan, penyewaan, atau bentuk lain yang maksudnya agar ciptaan tersebut dikenal oleh masyarakat.

4) Hak penampilan atau performance right

(9)

5) Hak penyiaran atau broadcasting right

Hak untuk menyiarkan bentuknya berupa mentransmisikan suatu ciptaan oleh peralatan kabel.Hak penyiaran ini meliputi penyiaran ulang dan mentransmisikan ulang. Ketentuan hak ini telah diatur dalam Konvensi Berne, maupun Konvensi Universal, juga konvensi tersendiri misalnya Konvensi Roma 1961; dan Konvensi Brussel 1974 yang dikenal dengan Relating on the Distribution Programme carrying Signals transmitted by

Satellite. Hanya saja di beberapa negara, hak penyiaran ini masih

merupakan cakupan dari hak pertunjukan. 6) Hak program kabel

Hak ini hampir sama dengan hak penyiaran hanya saja mentransmisikan melalui kabel. Badan penyiaran televisi mempunyai suatu studio tertentu, dari sana disiarkan program-program melalui kabel kepada pesawat para pelanggan. Jadi siaran sudah pasti bersifat komersial.

7) Hak pinjam masyarakat atau public lending right

Hak ini dimiliki oleh pencipta yang karyanya tersimpan di perpustakaan, yaitu dia berhak atas suatu pembayaran dari pihak tertentu karena karya yang diciptakannya sering dipinjam oleh masyarakat dari perpustakaan milik pemerintah tersebut.30

3. Hak-hak yang berkaitan dengan hak cipta

Undang-Undang Hak Cipta Nomor 28 Tahun 2014 tidak saja melindungi hak pencipta atau ciptaannya tetapi juga melindungi hak orang yang

30 Muhammd Djumhana dan R. Djubaedillah, Hak Milik Intelektual (Sejarah, Teori, dan

(10)

mempertunjukkan atau dengan cara lain menyebarkan suatu ciptaan kepada masyarakat luas. Hak ini dilekatkan kepada siapa saja yang memainkan peranan yang penting dalam penyebaran sebuah karya kepada masyarakat luas.31

a. Hak moral pelaku pertunjukkan;

Hak ini disebut juga dengan hak terkait.Pasal 20 UUHC menyebutkan bahwa hak terkait meliputi:

b. Hak ekonomi pelaku pertunjukkan; c. Hak ekonomi produser fonogram; dan d. Hak ekonomi lembaga penyiaran.

Pelaku pertunjukan merupakan seorang atau beberapa orang yang secara sendiri-sendiri atau bersama-sama menampilkan dan mempertunjukan suatu ciptaan.Pelaku pertunjukkan mempunyai hak eksklusif untuk memperbanyak atau menyiarkan pertunjukan. Pelaku pertunjukan ini di antaranya aktor, penyanyi, pemusik, penari, atau mereka yang menampilkan, memperagakan, mempertunjukkan, menyanyian, menyampaikan, mendeklamasikan, atau memainkan suatu karya musik, drama, tari, sastra, foklor, atau karya seni lainnya.

Produser fonogram adalah orang atau badan hukum yang pertama kali merekam dan memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan perekaman suara atau perekaman bunyi, baik perekaman pertunjukan maupun perekaman suara atau bunyi lain. Produser fonogram berhakuntuk memproduksi, memperbanyak atau menyewakan karya rekaman suara atau rekaman bunyinya.

(11)

Lembaga penyiaran adalah penyelenggaran penyiaran, baik lembaga penyiaran publik, lembaga penyiaran swasta, lembaga penyiaran komunitas maupun lembaga penyiaran berlangganan yang dalam melaksanakan tugas, fungsi, dan tanggung jawabnya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.Lembaga penyiaran berhak untuk membuat, memperbanyak, atau menyiarkan karya siarannya sehingga dapat diterima oleh semua orang di lokasi yang jauh dari tempat transmisi berasal.

Seperti hak cipta, hak terkait diakui secara otomatis tanpa prosedur tertentu. Hak terkait juga dilindungi oleh konvensi internasional, seperti Konvensi Internasional tentang Perlindungan Pelaku Pertunjukkan, Produser Rekaman, dan Lembaga Penyiaran (International Convention for the Protection of Performers, Producers of Phonograms, and Broadcasting Organization) dan Konvensi

tentang Perlindungan Produser Rekaman Suara terhadap Perbanyakan Rekaman Suara tanpa Izin (Convention for the Protection of Producers of Phonogram Againts Unauthorized Duplication of Their Phonograms). Hak Cipta dan hak

terhait dilindungi sendiri-sendiri dan karena itu perlu mendapat izin terpisah untuk penggunaan masing-masing hak.Misalnya, bila diperbanyak sebuah rekaman suara, harus meminta izin tidak saja dari pelaku pertunjukkan dan produser rekaman suara (hak terkait), tetapi juga dari pengarang dan penulis lirik (hak cipta).32

(12)

4. Ruang lingkup hak cipta

Ruang lingkup perlindungan hak cipta berdasarkan Pasal 40 ayat (1) UUHC meliputi ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra yang terdiri atas:

a. Buku, perwajahan karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lainnya;

b. Ceramah, kuliah, pidato dan ciptaan lain yang sejenis lainnya;

c. Alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan; d. Lagu dan/atau musik dengan atau tanpa teks;

e. Drama atau drama musikal, tari, koreografi, perwayangan dan pantomim; f. Karya seni rupa dalam segala bentuk seperti lukisan, gambar, ukiran, kaligrafi,

seni pahat, patung, atau kolase; g. Karya seni terapan;

m. Karya sinematografi;

n. Terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, basis data, adaptasi, aransemen, modifikasi dan karya lain dari transformasi;

o. Terjemahan, adaptasi, aransemen, transformasi, atau modifikasi ekspresi budaya tradisional;

p. Kompilasi Ciptaan atau data, baik dalam format yang dapat dibaca denganProgram Komputer maupun media lainnya;

q. Kompilasi ekspresi budaya tradisional selama kompilasi tersebut merupakan karya yang asli

(13)

B. Pengaturan Hak Cipta di Indonesia

1. Pengaturan Hak Cipta dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta

Pengaturan hak cipta sudah lama dikenal dan dimiliki di Indonesia sebagai hukum positif sejak zaman Hindia Belanda dengan berlakunya Auteurswet 1912. Pada tahun 1982 ini kemudian disahkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta sebagai pengganti Auteurswet 1912. Undang-undang ini kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 dan kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997 yang selanjutnya dicabut dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Undang-undang ini berlaku sampai tahun 2014, yang kemudian digantikan oleh undang-undang hak cipta terbaru yaitu UUHC yang berlaku hingga saat ini.

Pengaturan yang berlaku bagi perlindungan hak cipta di Indonesia saat ini adalah UUHC.Undang-undang ini disebutkan lebih memberi perlindungan bagi para pencipta di Indonesia.Hal ini dapat dilihat dari pasal-pasal di dalamnya yang lebih memberi kepastian hukum bagi pihak-pihak dalam hak cipta, terutama pencipta.

(14)

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta ini mengatur lebih banyak mengenai defenisi, seperti adanya defenisi atas “fiksasi”, “fonogram”, “penggandaan”, “royalti”, “Lembaga Manajemen Kolektif”, “pembajakan”, “penggunaan secara komersial”, “ganti rugi”, dan sebagainya. UUHC membahas lebih detail isu yang sebelumnya telah dicantumkan dalam undang-undang lama. Sebagai contoh, pembahasan hak ekonomi, hak cipta, dan hak terkait diberi porsi 17 Pasal. Termasuk di dalamnya adalah ketentuan mengenai kepemilikan hak ekonomi pencipta yang telah dijual putus sold flat kepada pihak lain akan beralih kembali kepada pencipta setelah 25 tahun Pasal 18 UUHC dan ketentuan yang sama untuk performer lagu dan/atau musik yang telah dijual hak ekonominya Pasal 30 UUHC 2014.33

Penjelasan Umum UUHC 2014 ini menunjukkan bahwa secara garis besar UUHC2014 memiliki perbedaan dengan undang-undang sebelumnya. Undang-undang ini mengatur antara lain tentang:34

a. Perlindungan hak cipta dilakukan dengan waktu lebih panjang;

b. Perlindungan yang lebih baik terhadap hak ekonomi para pencipta dan/atau pemilik hak terkait, termasuk membatasi pengalihan hak ekonomi dalam bentuk jual putus (sold flat);

c. Penyelesaian sengketa secara efektif melalui proses mediasi, arbitrase, atau pengadilan sera penerapan delik aduan untuk tuntutan pidana;

33Selvie Sinaga, “Catatan Terhadap UU Hak Cipta Baru”, Kompas,

http://print.kompas.com/2015/01/12/Catatan-terhadap-UU-Hak-Cipta-Baru (diakses tanggal 26 Maret 2016).

34

Letezia Tobing, S.H., “Ini Hlm Baru yang Diatur di UU Hak Cipta Pengganti UU No

19Tahun 2002”, hukumonline.com, http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt54192d63ee29a/hlm

(15)

d. Pengelola tempat perdagangan bertanggungjawab atas tempat penjualan dan/atau pelanggaran hak cipta dan/atau hak terkait di pusat tempat perbelanjaan nyang dikelolanya;

e. Hak cipta sebagai benda bergerak tidak berwujud dapat dijadikan objek jaminan fidusia;

f. Menteri diberi kewenangan untuk menghapus ciptaan yang sudah dicatatkan, apabila ciptaan tersebut melanggar norma agama, norma susila, ketertiban umum, pertahanan dan keamanan negara, serta ketentuan peraturan perundang-undangan;

g. Pencipta, pemegang hak cipta, pemilik hak terkait menjadi anggota lembaga manajemen kolektif agar dapat menarik imbalan atau royalti;

h. Pencipta dan/atau pemilik hak terkait mendapat imbalan royalti untuk ciptaan atau produk hak terkait yang dibuat dalam hubungan dinas dan digunakan secara komersial;

i. Lembaga manajemen kolektif yang berfungsi menghimpun dan mengelola hak ekonomi pencipta dan pemilik hak terkait wajib mengajukan permohonan izin operasional kepada menteri;

j. Penggunaan hak cipta dan hak terkait dalam sarana multimedia untuk merespon perkembangan teknologi informasi dan komunikasi.

(16)

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta disebutkan bahwa jangka waktu perlindungan hak cipta adalah selama hidup pencipta dan berlangsung hingga 50 tahun setelah pencipta meninggal dunia, dan dalam UUHC 2014, masa berlaku hak cipta diperpanjang menjadi seumur hidup pencipta ditambah 70 tahun setelah meninggal.

Hak cipta dalam UUHC terbagi atas dua jenis hak, yaitu hak ekonomi dan hak moral. Hak moral pencipta tanpa batas waktu seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 57 ayat (1) UUHC 2014 adalah hak untuk tetap mencantumkan atau tidak mencantumkan namanya pada salinan sehubungan dengan pemakaian ciptaannya untuk umum; menggunakan nama aslinya atau nama samarannya; mempertahankan haknya dalam hal terjadi distorsi ciptaan, mutilasi ciptaan, modifikasi ciptaan, atau hal yang bersifat merugikan kehormatan diri atau reputasinya, berlaku tanpa batas waktu. Sedangkan hak moral pencipta yang berjangka waktu sebagaimana yang dimaksudkan dalam ayat (2) adalah hak untuk mengubah ciptaannya sesuai dengan kepatutan dalam masyarakat; dan mengubah judul dan anak judul ciptaan, berlaku selama berlangsungnya jangka waktu hak cipta atas ciptaan yang bersangkutan.

(17)

Pasal 58 ayat (1) UUHC 2014 diatur juga bahwa perlindungan dalam Pasal tersebut hanya berlaku bagi ciptaan berupa:35

a. Buku, pamphlet, dan semua hasil karya tulis lainnnya; b. Ceramah, kuliah, pidato, dan ciptaan sejenis lain;

c. Alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan;

d. Lagu atau musik dengan atau tanpa teks;

e. Drama, drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomime; f. Karya seni rupa dalam segala bentuk seperti lukisan, gambar, ukiran,

kaligrafi, seni pahat, patung, atau kolase; g. Karya arsitektur;

h. Peta; dan

i. Karya seni batik atau seni motif lain.

Namun dalam Pasal 59 ayat (1) UUHC 2014 diatur bahwa ciptaan berupa:36

a. Karya fotografi; b. Potret;

c. Karya sinematografi; d. Permainan video; e. Program komputer; f. Perwajahan karya tulis;

(18)

g. Terjemahan, tafsiran, saduran, bunga rampai, basis data, adaptasi, aransemen, modifikasi, dan karya lain dari hasil transformasi;

h. Terjemahan, adaptasi, aransemen, transformasi, atau modifikasi ekspresi budaya tradisional;

i. Kompilasi ciptaan atau data, baik dalam format yang dapat dibaca dengan program komputer atau media lainnya; dan

j. Kompilasi ekspresi budaya tradisional selama kompilasi tersebut merupakan karya yang asli; berlaku selama 50 tahun sejak pertama kali diumumkan.

Ciptaan berupa karya seni terapan, perlindungan hak cipta berlaku selama 25 tahun sejak pertama kali diumumkan. Hal lain yang diatur dalam undangundang ini adalah adanya larangan bagi pengelola tempat perdagangan untuk membiarkan penjualan dan/atau penggandaan barang hasil pelanggaran hak cipta dan/atau hak terkait di tempat perdagangan yang dikelolanya. Menurut Pasal 114 UUHC 2014 pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 10 UUHC 2014 tersebut dijatuhi pidana denda paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

(19)

Perbaikan dan penyempurnaan dalam UUHC 2014 ini bertujuan untuk memberi perlindungan yang lebih baik terhadap pencipta dan kepada pihak-pihak lainnya, seperti adanya kepastian hukum sebagai jaminan terhadap hak-hak masing-masing pihak dalam hak cipta. Tujuan ini tentu akan tercapai jika dilaksanakan secara benar dan tepat oleh seluruh pihak dengan adanya kesadaran dari setiap pihak akan keberadaan undang-undang ini sebagai payung hukum bagi perlindungan hak cipta di Indonesia.

2. Implementasi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dalam Memberi Perlindungan Hukum bagi Pencipta

Hukum berfungsi sebagai alat perlindungan kepentingan manusia, agar kepentingan manusia itu terlindungi, sehingga hukum harus dilaksanakan.Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal, damai, tetapi dapat juga dapat terjadi karena pelanggaran hukum.Dalam hal ini, hukum yang telah dilanggar itu harus ditegakkan.Melalui penegakan hukum inilah hukum itu menjadi kenyataan.37

37Otto Hasibuan, Hak Cipta Di Indonesia, Tinjauan Khusus Hak Cipta Lagu,

Neighbouring Rights, dan Collecting Society (Bandung : Alumni, 2008), hlm. 250.

(20)

Pencipta dapat menikmati sendiri hasil jerih payahnya tanpa gangguan apapun yang dapat merugikan kepentingannya dengan monopoli.Kekuatan proteksi monopoli itu yang diharapkan menjadi insentif untuk memacu kreativitas dan berkembangnya daya inovasi masyarakat, sehingga dapat melahirkan ciptaanciptaan baru yang lebih banyak dan beragam.

Setidaknya ada beberapa alasan mengapa begitu pentingnya bagi seluruh pihak di Indonesia untuk memberi perhatian serius terhadap hak cipta, yaitu:38 a. Hak cipta mengandung budaya berpikir rasional, budaya berpikir kreatif,

budaya bekerja dan berkarya, dan budaya menghormati karya atau jerih payah orang lain. Macam-macam budaya itu sangat diperlukan jika ingin membangun masyarakat atau negara maju.

b. Perkembangan dunia telah memasuki babak baru bahwa barang-barang yang memiliki kekayaan intelektual umumnya dan ber-hak cipta khususnya sudah menjadi komoditi yang bernilai tinggi secara ekonomi. Semakin banyak negara menghasilkan barang ber-hak cipta semakin besar peluang meningkatkan devisa negara. Pada masa sekarang maupun yang akan datang, Indonesia tidak dapat lagi hanya mengandalkan komoditi ekspor yang bersumber dari (hasil) alam. Sumber daya alam itu terbatas dan suatu saat akan habis.

c. Lahirnya WTO yang diikuti dengan TRIPs merupakan genderang persaingan bebas, bahkan pertarungan satu lawan satu antarnegara, dan secara riil adalahpersaingan antarmanusia. Kecerdasan, kreativitas, dan kecepatan

(21)

bertindak manusia adalah kunci memenangkan persaingan. Apabila bangsa kita tetap tidak concern dengan budaya hak cipta, selamanya budaya mencipta (yang membutuhkan kecerdasan, kreativitas, dan kecepatan bertindak) tidak akan berkembang di Indonesia. Jika budaya mencipta tidak berkembang, seterusnya bangsa Indonesia hanya menjadi pembeli atau konsumen produk-produk asing (Eropa, Amerika, Jepang, Korea, dan lain-lain) seperti selama ini.

Munculnya UUHC 2014 merupakan suatu penyempurnaan yang dilakukan terhadap undang-undang sebelumnya.Tujuan dari penyempurnaan ini tentunya diarahkan pada perlindungan yang lebih baik yang diberikan terhadap pencipta dan ciptaannya.Perkembangan yang semakin pesat dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan sastra menimbulkan kebutuhan akan adanya peningkatan perlindungan dan jaminan kepastian hukum bagi pencipta, pemegang hak cipta, dan juga pemilik hak terkait. Turut sertanya Indonesia dalam berbagai perjanjian internasional di bidang hak cipta dan hak terkait juga mendorong Indonesia untuk mengaplikasikannya secara lebih lanjut dalam sistem hukum nasional, agar para pencipta dan kreator nasional mampu berkompetisi dalam jangkauan internasional

(22)

menunjukkan keseriusan perlindungan yang diberikan terhadap pencipta, pemegang hak cipta dan pemilik hak terkait.

Implementasi dari UUHC 2014 belum banyak yang dapat dilihat secara nyata dalam penegakan hukum di Indonesia.Hal ini disebabkan undang-undang ini masih baru diberlakukan sejak akhir tahun 2014.Namun secara teori dapat dilihat gambaran dari pemberlakuan undang-undang ini dalam melindungi hakhak para pihak dalam hak cipta di Indonesia.Terdapat beberapa perubahan dalam UUHC 2014 antara lain adanya perlindungan hak ekonomi dan hukum pencipta serta industri teknologi informasi dan komunikasi, dimana pada undang-undang terdahulu masalah hak ekonomi diletakan pada bagian umum penjelasan. Sedang dalam UUHC 2014 ini, hak ekonomi pencipta atau pemegang hak cipta diatur dalam Pasal khusus yakni Pasal 8-11 UUHC 2014, hak ekonomi atas potret dalam Pasal 12-15 UUHC 2014 yang pengalihannya diatur dalam Pasal 16-19 UUHC 2014.

Demikian dalam jangka perlindungan, juga mengalami perubahan yang signifikan dimana dalam UUHC 2014 diberikan seumur hidup dan 70 tahun sesudah meninggal, sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta hanya diberikan tambahan selama 50 tahun setelah meninggal.39

39

“UU Hak Cipta Baru”, Trendmark Konsultan Hak Kekayaan Intelektual, Implementasi dari pasal ini tentunya akan memberikan dampak positif bagi pencipta, dimana pencipta lebih dihargai dengan adanya perpanjangan http://www.trendmark.web.id/p/uu-hak-cipta-baru.html (diakses tanggal 2 Maret 2016).

(23)

perpanjanganwaktu perlindungan. Sehingga baik pencipta maupun keturunannya nanti masih dapat menikmati hak-hak atas ciptaannya.

Pendaftaran ciptaan yang dulunya diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta kini diatur dalam UUHC 2014 dengan istilah pencatatan. Dalam hal ini setiap ciptaan sudah dilindungi secara otomatis, namun penting bagi para pencipta atau pemegang hak cipta untuk mencatatkan ciptaannya, agar memiliki bukti yang sah jika dikemudian hari terjadi permasalahan atau sengketa menyangkut hak cipta tersebut. Tata cara pencatatan hak cipta diatur dalam Pasal 66 sampai Pasal 73 UUHC 2014.

Selain mengenai pencatatan diatur juga mengenai hapusnya kekuatan hukum pencatatan dalam UUHC 2014. Dalam Pasal 74 UUHC 2014 disebutkan sebab-sebab terjadinya penghapusan kekuatan hukum pencatatan ciptaan dan hak terkait, yaitu:40

1. permintaan orang atau badan hukum yang namanya tercatat sebagai pencipta, pemegang hak cipta, atau pemilik hak terkait;

2. lampaunya waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58, Pasal 59, Pasal 60 ayat (2) dan ayat (3), dan Pasal 61;

3. putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap mengenai pembatalan pencatatan ciptaan atau produk hak terkait; atau

4. melanggar norma agama, norma susila, ketertiban umum, pertahanan dan keamanan negara, atau peraturan per undang-undangan yang penghapusannya dilakukan oleh menteri.

(24)

Undang-undang hak cipta ini juga melindungi pencipta dalam hal terjadi jual putus (sold flat) yaitu dalam Pasal 18 UUHC. Ciptaan buku, dan/atau semua hasil karya tulis lainnya, lagu dan/atau musik dengan atau tanpa teks yang dialihkan dalam perjanjian jual putus dan/atau pengalihan tanpa batas waktu, hak ciptanya beralih kembali kepada pencipta pada saat perjanjian tersebut mencapai jangka waktu 25 tahun. Hal tersebut juga berlaku bagi karya pelaku pertunjukan berupa lagu dan/atau musik yang dialihkan dan/atau dijual hak ekonominya, hak ekonomi tersebut beralih kembali kepada pelaku pertunjukan setelah jangka waktu 25 tahun, yang diatur dalam Pasal 30. Pemberlakuan dari pasal ini memberi jaminan perlindungan bagi pencipta yang menjual ciptaannya untuk memperoleh kembali hak ciptanya secara otomatis setelah 25 tahun.

(25)

NegaraKesatuan Republik Indonesia harus menempuh terlebih dahulu penyelesaian sengketa melalui mediasi sebelum melakukan tuntutan pidana".

Selain itu, setiap pencipta, pemegang hak cipta dan pemilik hak terkait bisa juga mengajukan gugatan ganti rugi melalui Pengadilan Niaga atas pelanggaran hak cipta atau produk terkait.Ketentuan tentang ganti rugi ini disebutkan didalam Pasal 99 ayat (1) UUHC 2014. Menurut ketentuan Pasal 99 ayat (2) UUHC 2014 disebutkan bahwa: "Gugatan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa permintaan untuk menyerahkan seluruh atau sebagian penghasilan yang diperoleh dari penyelenggaraan ceramah, pertemuan ilmiah, pertunjukan atau pameran karya yang merupakan hasil pelanggaran hak cipta atau produk hak terkait". Selain itu juga pencipta, pemilik hak cipta dan pemegang hak terkait juga bisa bisa mengajukan putusan sela kepada pengadilan niaga.41

41

News Detail, “Ketentuan Pidana Dan Penyelesaian Sengketa Hak Cipta Menurut UU Hak Cipta No. 28 Tahun 2014”, Acemark Intellectual Property,http://acemarkip.com/id/news_detail.aspx?ID=116&URLView=default.aspx (diakses tanggal 29 Maret 2016).

(26)

Masyarakat Indonesia sendiri pun masih sangat rendah pemahamannya terhadap hak cipta khususnya dan kekayaan intelektual umumnya, terbukti bahwa kebanyakan orang tidak merasa bersalah menjual maupun membeli produk hasil bajakan.Penjual buku bajakan, kaset atau CD bajakan mungkin banyak yang sadar bahwa perbuatannya dilarang hukum.Akan tetapi, tidak demikian halnya dengan para pembeli karena memang undang-undang tidak spesifik melarang orang membeli barang bajakan.Hanya saja, langsung atau tidak langsung, banyaknya peminat barang bajakan itulah yang membuat maraknya produksi dan penjualan barang bajakan. Kalau saja masyarakat sadar nilai sebuah ciptaan sehingga merasa bersalah jika membeli barang bajakan, hal itu sangat efektif menekan bahkan mungkin menghentikan eksploitasi ciptaan orang lain oleh orang-orang yang hanya mementingkan diri sendiri.42

Masyarakat seringkali mengalaskan kurangnya kemampuan ekonomi yang mengharuskan mereka menjual dan membeli barang bajakan.Hal ini dikarenakan harga barang bajakan jauh berada dibawah harga barang asli,bahwa perbaikan ekonomi rakyat harus dilakukan oleh pemerintah dan perekonomian rakyat yang sulit mempengaruhi meningkatnya tingkat kejahatan, itu benar.Pemimpin-pemimpin pemerintahan memang perlu menyadari bahwa dengan himbauan saja supaya rakyat menaati hukum, sementara kepedulian mereka terhadap kehidupan ekonomi rakyat yang sangat rendah, tidak ada artinya.Penegakan hukum

(27)

yangkonsisten haruslah sejalan dengan pembangunan seluruh aspek kehidupan masyarakat.43

a. Pengetahuan hak cipta perlu masuk dalam kurikulum sekolah mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi;

Hal yang juga menjadi persoalan pokok menyangkut pelaksanaan hukum hak cipta adalah kultur dan paradigma masyarakat. Dalam pandangan kultur atau budaya, dalam pandangan tradisional yang sampai sekarang belum sepenuhnya pupus adalah bahwa suatu ciptaan oleh masyarakat dianggap sebagai milik bersama dan kalaupun ada pengakuan individu terhadap ciptaan, tetapi bentuknya lebih menonjolkan segi moral hak cipta daripada nilai ekonomisnya. Selain itu ada juga realitas yang menunjukkan dimana masyarakat umumnya tidak memandang kejahatan hak cipta sebagai kejahatan, atau dianggap tidak terlalu jahat.Sangat berbeda misalnya dalam pandangan masyarakat tentang kejahatan pencurian jika dibandingkan dengan kejahatan hak cipta.

Penegakan hukum dalam perlindungan hak cipta ini sangat diperlukan. Oleh sebab itu, agar hukum ditegakkan sebagaimana mestinya, sosialisasi yang mendasar dan sistematis harus dilakukan dalam dua tahap:

b. Sosialisasi hak cipta kepada segenap aparat penegak hukum, mulai dari polisi, jaksa, hakim, dan advokat perlu dilakukan secara intensif. Kalau pemerintah memiliki kemauan politik yang kuat untuk menegakkan hukum hak cipta, langkah-langkah pembaharuan tidak dapat sekadar mengutak-atik rumusan undang-undang atau melakukan razia secara insidentil. Yang lebih

(28)

pentingadalah, melakukan upaya sistematis untuk mengubah budaya dan paradigma berpikir masyarakat dan penegak hukum.44

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta ini sudah memberi perlindungan dan kepastian hukum yang lebih baik bagi pencipta.Namun, diperlukan kerjasama yang baik antara pemerintah, penegak hukum maupun masyarakat dalam menerapkannya di dalam praktek hukum di Indonesia.

Implementasi yang benar dari undang-undang tersebut yang dilakukan oleh seluruh pihak akan mempermudah tercapainya tujuan pembuatan undangundang ini. Sehingga pencipta, pemegang hak cipta, dan pemilik hak terkait semakin terjamin kepastian hukumnya. Hal ini juga diharapkan akan memberi pengaruh yang baik pula, dimana para pencipta akan semakin giat berkarya dan menghasilkan ciptaan-ciptaan yang lebih baik lagi tanpa takut akan kehilangan hak-haknya di kemudian hari.

C. Bentuk-bentuk Pelanggaran Hak Cipta

Pengajuan tuntutan hak cipta dapat dilakukan secara pidana.Undang-Undang Hak Cipta telah merumuskan perbuatan-perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana hak cipta.Semula tindak pidana hak cipta ini merupakan delik aduan, tetapi kemudian diubah menjadi delik biasa.Dengan dijadikan delik biasa, penindakan dapat segera dilakukan tanpa perlu menunggu adanya pengaduan dari pemegang hak cipta yang haknya dilanggar.Sebaliknya, dengan menjadi delik aduan, penindakannya semata-mata didasarkan pada adanya

(29)

pengaduan dari pencipta atau pemegang hak cipta yang merasa dirugikan, sehingga penegakan hukumnya menjadi kurang efektif.Selain itu, ancaman pidananya pun diperberat guna lebih melindungi pemegang hak cipta dan sekaligus memungkinkan dilakukan penahanan sebagaimana diatur dalam KUHAP.

Umumnya pelanggaran hak cipta dilakukan untuk mencari keuntungan finansial secara cepat dengan mengabaikan kepentingan para pencipta dan pemegang izin hak cipta. Perbuatan para pelaku jelas melanggar fatsun hukum yang menentukan agar setiap orang dapat mematuhi, menghormati, dan menghargai hak-hak orang lain dalam hubungan keperdataan termasuk penemuan baru sebagai ciptaan orang lain yang diakui sebagai hak milik oleh ketentuan hukum.45

Faktor-faktor yang mempengaruhi warga masyarakat untuk melanggar kekayaan intelektual menurut Lubis antara lain adalah :46

a. Pelanggaran kekayaan intelektualdilakukan untuk mengambil jalan pintas guna mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dari pelanggaran tersebut;

b. Para pelanggar menganggap bahwa sanksi hukum yang dijatuhkan oleh pengadilan selama ini terlalu ringan bahkan tidak ada tindakan preventif maupun represif yang dilakukan oleh para penegak hukum;

45http://buletinlitbang.dephan.go.id/index.asp?vnomor=14&mnorutisi=9 (diakses pada tanggal 19 Maret 2016).

(30)

c. Ada sebagian warga masyarakat sebagai pencipta yang bangga apabila hasil karyanya ditiru oleh orang lain, namun hal ini sudah mulai hilang berkat adanya peningkatan kesadaran hukum terhadap kekayaan intelektual.

d. Dengan melakukan pelanggaran, pajak atas produk hasil pelanggaran tersebut tidak perlu dibayar kepada pemerintah; dan

e. Masyarakat tidak memperhatikan apakah barang yang dibeli tersebut asli atau palsu, yang penting bagi mereka harganya murah dan terjangkau dengan kemampuan ekonomi.

Dampak dari kegiatan tindak pidana hak cipta tersebut telah sedemikian besarnya merugikan terhadap tatanan kehidupan bangsa di bidang ekonomi, hukum dan sosial budaya. Di bidang sosial budaya, misalnya dampak semakin maraknya pelanggaran hak cipta akan menimbulkan sikap dan pandangan bahwa pembajakan sudah merupakan hal yang biasa dalam kehidupan masyarakat dan tidak lagi merupakan tindakan melanggar undang-undang (wet/delicten). Pelanggaran hak cipta selama ini lebih banyak terjadi pada negara-negara berkembang (developing countries) karena ia dapat memberikan keuntungan ekonomi yang tidak kecil artinya bagi para pelanggar (pembajak) dengan memanfaatkan kelemahan system pengawasan dan pemantauan tindak pidana hak cipta.

(31)

pengutipan, perekaman, pertanyaan, dan pengumuman sebagian atau seluruh ciptaan orang lain dengan cara apapun tanpa izin pencipta/pemegang hak cipta, bertentangan dengan undang atau melanggar perjanjian. Dilarang undang-undang artinya undang-undang-undang-undang hak cipta tidak memperkenankan perbuatan itu dilakukan oleh orang yang tidak berhak, karena tiga hal yakni :47

a. Merugikan pencipta/pemegang hak cipta, misalnya memfotokopi sebagian atau seluruhnya ciptaan orang lain kemudian dijualbelikan kepada masyarakat luas ;

b. Merugikan kepentingan negara, misalnya mengumumkan ciptaan yang bertentangan dengan kebijakan pemerintah di bidang pertahanan dan keamanan atau ;

c. Bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan, misalnya memperbanyak dan menjual video compact disc (VCD) porno.

Melanggar perjanjian artinya memenuhi kewajiban tidak sesuai dengan isi kesepakatan yang telah disetujui oleh kedua belah pihak, misalnya dalam perjanjian penerbitan karya cipta disetujui untuk dicetak sebanyak 2000 eksemplar, tetapi yang dicetak/diedarkan di pasar adalah 4000 eksemplar. Pembayaran royalty kepada pencipta didasarkan pada perjanjian penerbitan, yaitu 2000 eksemplar bukan 4000 eksemplar.Ini sangat merugikan bagi pencipta.

Pelanggaran hak cipta menurut ketentuan Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) pada tanggal 15 Februari 1984 dapat dibedakan dua jenis, yakni :48

47Ibid.

(32)

a. Mengutip sebagian ciptaan orang lain dan dimasukkan ke dalam ciptaan sendiri seolah-olah ciptaan sendiri atau mengakui ciptaan orang lain seolaholah ciptaan sendiri. Perbuatan ini disebut palgiat atau penjiplakan yangdapat terjadi antara lain pada karya cipta berupa buku, lagu, dan notasi lagu, dan;

b. Mengambil ciptaan orang lain untuk diperbanyak dan diumumkan sebagaimana yang aslinya tanpa mengubah bentuk isi, pencipta, dan penerbit/perekam. Perbuatan ini disebut dengan piracy (pembajakan) yang banyak dilakukan pada ciptaan berupa buku, rekaman audio/video seperti kaset lagu dan gambar (VCD), karena menyangkut dengan masalah a commercial scale.

(33)

Pasal 72 UU No.19 Tahun 2002 menentukan pula bentuk perbuatan pelanggaran hak cipta sebagai delik undang-undang (wet delict) yang dibagi tiga kelompok, yakni :49

1. Dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan, memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu. Termasuk perbuatan pelanggaran ini antara lain melanggar larangan untuk mengumumkan, memperbanyak atau memberi izin untuk itu setiap ciptaan yang bertentangan dengan kebijaksanaan pemerintah di bidang pertahanan dan keamanan negara, kesusilaan, dan ketertiban umum; 2. Dengan sengaja memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada umum

suatu ciptaan atau barang-barang hasil pelanggaran hak cipta. Termasuk perbuatan pelanggaran ini antara lain penjualan buku dan VCD bajakan;

3. Dengan sengaja dan tanpa hak memperbanyak penggunaan untuk kepentingan komersial suatu program komputer.

Berdasarkan ketentuan Pasal 72 tersebut, ada dua golongan pelaku pelanggaran hak cipta yang dapat diancam dengan sanksi pidana.Pertama, pelaku utama adalah perseorangan maupun badan hukum yang dengan sengaja melanggar hak cipta atau melanggar larangan undang-undang.Termasuk pelaku utama ini dalah penerbit, pembajak, penjiplak, dan pencetak.Kedua, pelaku pembantu adalah pihak-pihak yang menyiarkan, memamerkan atau menjual kepada umum setiap ciptaan yang diketahuinya melanggar hak cipta atau melanggar larangan UUHC. Termasuk pelaku pembantu ini adalah penyiar, penyelenggara pameran,

(34)

penjual, dan pengedar yang menyewakan setiap ciptaan hasil kejahatan/pelanggaran hak cipta atau larangan yang diatur oleh undang-undang

Ketentuan Pasal72 tersebut, ada dua golongan pelaku pelanggaran hak cipta yang dapat diancam dengan sanksi pidana.Pertama, pelaku utama adalah perseorangan maupun badan hukum yang dengan sengaja melanggar hak cipta atau melanggar larangan undang-undang.Termasuk pelaku utama ini dalah penerbit, pembajak, penjiplak, dan pencetak.Kedua, pelaku pembantu adalah pihak-pihak yang menyiarkan, memamerkan atau menjual kepada umum setiap ciptaan yang diketahuinya melanggar hak cipta atau melanggar larangan UUHC.Termasuk pelaku pembantu ini adalah penyiar, penyelenggara pameran, penjual, dan pengedar yang menyewakan setiap ciptaan hasil kejahatan/pelanggaran hak cipta atau larangan yang diatur oleh undang-undang. 3. Unsur-Unsur Pelanggaran Hak Cipta

Pasal 72 UU No.19 Tahun 2002 menentukan pula bentuk perbuatan pelanggaran hak cipta sebagai delik undang-undang (wet delict) yang dibagi tiga kelompok, yakni :

(35)

b. Dengan sengaja memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang-barang hasil pelanggaran hak cipta. Termasuk perbuatan pelanggaran ini antara lain penjualan buku dan VCD bajakan;

c. Dengan sengaja dan tanpa hak memperbanyak penggunaan untuk kepentingan komersial suatu program komputer.

Berdasarkan rumusan Pasal 72 ayat (1), (2), (3) Undang-Undang Hak Cipta Nomor 19 Tahun 2002, maka unsur-unsur pelanggaran adalah sebagai berikut :

1. Barang siapa; 2. Dengan sengaja; 3. Tanpa hak;

4. Mengumumkan, memperbanyak, menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau menjual;

5. Hak cipta dan hak terkait.

Pertama, unsur barang siapa.Ini menandakan yang menjadi subjek delik adalah siapapun.Menurut KUHPidana yang berlaku sekarang, hanya manusia yang menjadi subyek delik, sedangkan badan hukum tidak menjadi subyek delik.Tetapi dalam undang-undang khusus seperti Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi, badan hukum atau korporasi termasuk juga menjadi subjek delik.Dalam hal ini, barang siapa termasuk pula badan hukum atau korporasi.50

(36)

atau mereka yang menampilkan, memperagakan, mempertunjukkan, menyanyikan, menyampaikan, mendeklamasikan, atau memainkan karya musik, drama, tari, sastra, folklor, atau karya seni lainnya. Produser rekaman suara adalah orang atau badan hukum yang pertama kali merekam dan memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan perekaman suara atau bunyi, baik perekaman dari suatu pertunjukkan maupun perekaman suara atau perekaman bunyi lainnya.

Kedua, unsur dengan sengaja.Kebanyakan tindak pidana mempunyai dasar kesengajaan atau opzet bukan unsur culpa (kelalaian).Hal ini adalah layak, oleh karena biasanya yang pantas mendapat hukuman pidana itu ialah orang yang melakukan sesuatu dengan sengaja.51

a. Kesengajaan yang bersifat tujuan (oogmerk)

Bahwa dengan kesengajaan yang bersifat tujuan (oogmerk), pelaku dapat dipertanggungjawabkan, mudah dimengerti oleh khalayak ramai.Maka apabila kesengajaan semacam ini ada pada suatu tindak pidana, tidak ada yang menyangkal, bahwa dengan adanya kesengajaan yang bersifat tujuan ini, dapat dikatakan pelaku benar-benar menghendaki mencapai akibat yang menjadi pokok alasan diadakannya ancaman hukuman pidana (constitutief gevlog).52

b. Kesengajaan secara keinsafan kepastian (opzet bij zekerheidsbewustzijn) Kesengajaan seperti ini ada apabila pelaku, dengan perbuatannya, tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar dari delik, tetapi ia tahu benar, bahwa sebagai konsekuensinya pasti akan mengikuti perbuatan itu. Kalau ini terjadi, maka teori kehendak (wilstheorie), menganggap akibat tersebut

51Ibid, hlm. 123.

(37)

sebagaiyang dikehendaki oleh pelaku, berarti juga ada kesamaan. Menurut teori bayangan (voorstelling-theorie), keadaan ini sama dengan kesengajaan berupa tujuan (oogmerk) oleh karena, keduanya adalah mengenai akibat yang tidak dapat dikatakan ada kehendak pelaku, melainkan hanya bayangan atau gambaran dalam gagasan pelaku, bahwa akibat itu pasti akan terjadi, itu berarti ada kesengajaan.53

c. Kesengajaan secara keinsafan kemungkinan (opzet bij mogelijkheidsbewustzjin)

Lain halnya dengan kesengajaan yang terang-terangan tidak disertai bayangan mengenai suatu kepastian akan terjadi akibat, melainkan hanya dibayangkan kemungkinan akan adanya akibat itu.54

Ketiga, unsur tanpa hak. Mengenai arti tanpa hak dari sifat melanggar hukum, dapat dikatakan, bahwa mungkin seseorang, tidak mempunyai hak untuk melakukan suatu perbuatan, yang sama sekali tidak dilarang oleh suatu peraturan hukum.55

53

Ibid, hlm. 63.

54Ibid, hlm. 64.

55 Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia(Jakarta: Eresco, 2000), hlm. 2.

Menurut Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang Hak Cipta Nomor 19 Tahun 2002, pemegang hak cipta adalah pencipta sebagai pemilik hak cipta atau pihak yang menerima hak tersebut dari pencipta.

(38)

Keempat, unsur perbuatan dapat diklasifikasikan dalam bentuk mengumumkan, menurut Pasal 1 ayat (5) Undang-Undang Hak Cipta Nomor 19Tahun 2002, pengumuman adalah pembacaan, penyiaran, pameran, penjualan, pengedaran, atau penyebaran suatu ciptaan dengan menggunakan alat apapun, termasuk media internet, atau melakukan dengan cara apapun, sehingga suatu ciptaan dapat dibaca, didengar, atau dilihat orang lain; dan unsur memperbanyak (perbanyakan), menurut Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang Hak Cipta Nomor 19 Tahun 2002, adalah penambahan jumlah suatu ciptaan, baik secara keseluruhan maupun sebagian yang sangat substantial dengan menggunakan bahan-bahan yang sama ataupun tidak sama, termasuk mengalihwujudkan secara permanen atau temporer.

Pengertian perbanyakan dirumuskan dalam definisi Ketentuan Umum Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang Hak Cipta Nomor 19 Tahun 2002 sebagai berikut :

“Perbanyakan adalah penambahan jumlah sesuatu ciptaan, baik secara keseluruhan maupun bagian yang sangat substantial dengan menggunakan bahanbahan yang sama ataupun tidak sama, termasuk mengalihwujudkan secara permanen atau temporer.”

(39)

UndangUndang Hak Cipta Nomor 19 Tahun 2002, adalah hak yang berkaitan dengan hak cipta, yaitu hak eksklusif bagi pelaku untuk memperbanyak atau menyiarkan pertunjukannya; bagi produser rekaman suara untuk memperbanyak atau menyewakan karya rekaman suara atau rekaman bunyinya; dan bagi lembaga penyiaran untuk membuat, memperbanyak, atau menyiarkan karya siarannya.

Tindakan pidana ini juga digolongkan dalam tindak pidana pelanggaran dan merupakan delik biasa.Hal ini berarti, bahwa tindakan negara terhadap para pelanggar hak cipta tidak lagi semata-mata didasarkan pada pengaduan dari pemegang hak cipta. Kedua ayat pada Pasal 1 diatas merupakan rumusan umumtentang apa yang dimaksud dengan tindak pidana pelanggaran hak cipta. Dengan demikian, yang melakukan pelanggaran dengan sengaja (opzet) berarti de bewuste richting van den wil op een bepaald misdiff (kehendak yang disadari yang

ditujukan untuk melakukan kejahatan tertentu). Menurut penjelasan tersebut, sengaja (opzet) sama dengan willens en wetens (dikehendaki dan diketahui).56 3. Ketentuan sanksi pidananya

Peraturan-peraturan hukum pidana umum di Indonesia terwujud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHPidana), sedangkan peraturan-peraturan hukum pidana khusus seperti UUHC mengatur secara khusus dan tersendiri tentang delik-delik tertentu lebih mendalam daripada pengaturan dalam KUHPidana yang bersifat umum.

Ketentuan pidana dalam UUHC harus dianggap lex specialis, karena secara khusus mengatur hak cipta (lex specialis derogat lex generalis).Namun

(40)

demikian, kecenderungannya ialah hanya memfokuskan perhatian terhadap UUHC, tanpa menyentuh substansi ketentuan pidana dalam KUHPidana.Hal ini dapat dimengerti, dengan membaca dan membandingkan sanksi pidana yang diancam oleh, baik KUHPidana maupun UUHC. Dalam Undang-Undang Hak Cipta, sekalipun diancamkan secara alternatif, jumlah pidana dendanya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan denda yang diancamkan dalam KUHPidana.

Berdasarkan Pasal 56 Undang-Undang Hak Cipta Nomor 19 Tahun 2002, bahwa hak untuk mengajukan gugatan ganti rugi sebagaimana diatur dalam Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Hak Cipta Nomor 19 Tahun 2002, tidak mengurangi hak negara untuk melakukan tuntutan pidana pada setiap pelanggaran hak cipta.57

Perlindungan melalui ketentuan-ketentuan pidana, seperti yang diatur dalam Pasal 382 bis KUHPidana yang lazim dikenal sebagai persaingan curang (oneerlijke concurrentie). Persaingan curang merupakan perbuatan untuk

menyesatkan khalayak umum atau seseorang tertentu dengan maksud untuk Negara berkewajiban mengusut setiap pelanggaran hak cipta yang terjadi.Hal ini didasarkan pada kerugian yang ditimbulkan oleh tindakan pelanggaran hak cipta, yang tidak saja diderita oleh pemilik atau pemegang hak cipta dan hak terkait, tetapi juga oleh negara, karena kurangnya pendapatan negara yang seharusnya bisa didapat dari pemegang hak cipta atau hak terkait.Selain itu negara harus melindungi kepentingan pemilik hak, agar haknya jangan sampai dilanggar oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.

(41)

mendapatkan, melangsungkan, atau memperluas debit perdagangan atau perusahaan kepunyaan sendiri atau orang lain.

Pengaturan mengenai ketentuan pidana telah berubah secara mendasar.Pada UUHC sebelumnya tidak ada ketentuan yang mengatur tentang hukuman penjara minimum. Jika terdakwa dinyatakan terbukti bersalah oleh pengadilan, maka terdakwa dapat dipidana penjara paling singkat satu bulan atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah). Disamping itu, juga terdapat kenaikan denda yang sangat tinggi dari Rp. 100.000.000,- menjadi Rp. 5.000.000.000,-. Kenaikan hukuman denda yang sangat besar itu dimaksudkan agar ada efek jera bagi mereka yang melakukan pelanggaran, karena denda Rp. 100.000.000,- dianggap masih ringan oleh para pelanggar, karena keuntungan (profit gain) yang diperoleh jauh lebih besar dibandingkan denda yang dijatuhkan.

Bentuk pelanggaran hak cipta yang pertama adalah dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan, memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu. Termasuk perbuatan pelanggaran ini antara lain melanggar larangan untuk mengumumkan, memperbanyak atau memberi izin untuk itu setiap ciptaan yang bertentangan dengan kebijaksanaan pemerintah di bidang pertahanan dankeamanan negara, kesusilaan, dan ketertiban umum. Pelanggaran hak cipta ini melanggar Pasal 72 ayat (1).

(42)

sedikit Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,- (lima milyar rupiah).

Bentuk pelanggaran hak cipta yang kedua adalah dengan sengaja memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang-barang hasil pelanggaran hak cipta. Termasuk perbuatan pelanggaran ini antara lain penjualan buku dan VCD bajakan. Pelanggaran hak cipta ini melanggar Pasal 72 ayat (2).

Pasal 72 ayat (2), kemudian menyatakan, bahwa bagi yang sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).

Referensi

Dokumen terkait

Untuk mengetahui kadar antioksidan pada buah kiwi, dilakukan serangkaian analisis... Analisis kuantitatif berupa penentuan aktivitas antioksidan, kadar flavonoid kadar fenolik

Variabel Credit Risk (CR) atau yang biasa disebut dengan rasio Non Performing Financing (NPF), variabel ini memiliki nilai koefisien 0.0843 dengan nilai t-Stat

Sehubungan dengan hal tersebut, maka peneliti menerapkan Model pembelajaran pemanfaatan lingkungan alam sekitar sekolah yang bertujuan untuk mengetahui peningkatan hasil

Koordinasi dengan seluruh Ketua Pengadilan Tindak Pidana Korupsi diseluruh Indonesia untuk menyamakan persepsi tentang upaya keberatan sebagaimana ketentuan Pasal 19

Syukur alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat, rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan proposal skripsi

Pengaturan hukum mengenai hak ekonomi menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta menunjukkan hak ekonomi merupakan hak eksklusif pencipta atau pemegang hak

Hasil kegiatan dari tahun 2010 menunjukkan bahwa: (1) Pemberian pupuk urea di Serang dan Cianjur secara umum menyebabkan peningkatan populasi bakteri pelarut P dan K , (2)

Tepung sorghum merupakan butiran halus yang berasal dari biji sorghum yang sudah dihaluskan. Tepung biji sorghum dipilih karena memiliki kandungan gizi yang tidak