• Tidak ada hasil yang ditemukan

BALAI PENELITIAN TANAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BALAI PENELITIAN TANAH"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

 

No.: 07/RISTEK/BBSDLP/2011

LAPORAN AKHIR

Analisis Komparatif Sitem Pertanian Konvensional,

PTT dan SRI di Lahan Sawah Irigasi Jawa Barat

terhadap Keseimbangan Hara, Dinamika Biologi,

Efisiensi Pupuk (> 30%) dan Nilai Ekonomi Usahatani

PROGRAM INSENTIF RISET TERAPAN

Fokus Bidang Prioritas : Ketahanan Pangan

Kode Produk Target : 1.01

Kode Kegiatan : 1.01.01

Peneliti Utama : Dr. Sri Rochayati

BALAI PENELITIAN TANAH

BALAI BESAR LITBANG SUMBERDAYA LAHAN PERTANIAN 

   

(2)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Kegiatan : Analisis Komparatif Sistem Pertanian Konvensional, PTT dan SRI di Lahan Sawah Irigasi Jawa Barat terhadap Keseimbangan Hara, Dinamika Biologi, Efisiensi Pupuk (> 30%) dan Nilai Ekonomi Usahatani Fokus Bidang Prioritas : Ketahanan Pangan

Kode Produk Target : 1.01 Kode Kegiatan : 1.01.01 Lokasi Penelitian : Jawa Barat

A. Keterangan Lembaga Pelaksana/Pengelola Penelitian Nama Koordinator : Dr. Sri Rochayati

Nama Institusi : Balai Penelitian Tanah

Unit Organisasi : Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumber daya Lahan Pertanian

Alamat : Jl. Ir. H. Juanda 98, Bogor 16123 Telepon/Fax/Email : (0251) 8323012, (0251) 8321608

srochayati@gmail.com

B. Lembaga Lain Yang Terlibat

Nama Lembaga :

Jangka Waktu Kegiatan : 3 (tiga) tahun Biaya Tahun 1 : Rp 218.272.727,- Biaya Tahun 2 : Rp 133.636.368,- Total biaya : Rp 351,909,095,- Aktivitas Riset (baru/lanjutan) : Lanjutan

Rekapitulasi Biaya Tahun yang diusulkan:

No. Uraian Jumlah (Rp)

1. Belanja Uang Honor Rp. 39,330,000,- 2. Belanja Bahan Habis Pakai Rp. 29,000,000,- 3. Belanja Perjalanan Rp. 46,500,000,- 4. Belanja Lainnya Rp. 18,806,368,-

Total Biaya Rp. 133,636,368,-

Setuju Diusulkan:

Kepala Balai Besar Penelitian Penanggung Jawab Kegiatan

dan Pengembangan Sumberdaya

Lahan Pertanian

Dr. Muhrizal Sarwani Dr. Sri Rochayati NIP. 19600329 198403 1 001 NIP. 19570616 198603 2 001

(3)

RINGKASAN

Untuk memacu kenaikan produksi beras sebesar 5% per tahun melalui P2BN (Peningkatan Produksi Beras Nasional), Departemen Pertanian menggunakan pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT). Akan tetapi bersamaan dengan itu, Departemen Kimpraswil mengembangkan SRI (System of Rice Intensification) dalam rangka peningkatan efisiensi penggunaan air irigasi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis secara komprehensif tentang keseimbangan hara dan dinamika biologi pada sistem pertanian di lahan sawah irigasi dalam rangka peningkatan produksi padi dan efisiensi pupuk sebesar 30%. Penelitian di laksanakan di Cianjur Jawa Barat sebanyak satu unit percobaan, merupakan percobaan baru lanjutan tahun ke tiga. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok dengan 5 perlakuan diulang 5 kali. Perlakuan terdiri atas: kontrol, sistem pertanian konvensional (Petani), PTT, SRI, dan Semi organik. Parameter yang diamati yaitu: dinamika hara N, P dan K dan neraca hara, dinamika biologi, pertumbuhan tinggi dan jumlah anakan, bobot gabah dan jerami, nilai RAE, dan analisis usaha tani. Hasil penelitian yang disajikan adalah pertumbuhan tanaman sampai dengan umur 75 HST dan pengamatan sifat kimia pada umur 45 HST. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan pupuk organik dalam sistem pertanian SRI dan kombinasi pemberian pupuk organik dan anorganik dalam sistem pertanian Semi organik dapat meningkatkan C-organik, P dan K-potensial, P-tersedia dan K dapat ditukar serta unsur hara mikro Fe, Mn, Cu dan Zn tanah sawah pada pengamatan 45 hari setelah tanam. Pemberian bahan organik yang dikombinasikan dengan pupuk anorganik dalam sistem pertanian PTT dapat meningkatkan populasi Aktinomisetes, Fungi dan Nitrobacter lebih tinggi dibandingkan sistem pertanian lainya. Sedangkan populasi nitrosomonas tertinggi diperoleh pada sistem pertanian PTT dan Semi organik. Pengelolaan hara dengan cara pemberian pupuk organik tinggi pada sistem pertanian SRI dan PTT yang mengkombinasikan pupuk anorganik dan jerami yang dikomposkan 5 t/ha tidak berbeda nyata dalam meningkatkan jumlah anakan pada umur 75 hari setelah tanam.

(4)

ABSTRACT

Ministry of Agriculture attempted the program of Integrated Plant Nutrient Management (IPNM) named P2BN (National Program for Improving Rice Production) in order to achieved the target of increasing rice yield up to 5% per year. At the same time, Department of Public Work (Kimpraswil) developed a System of Rice Intensification (SRI) to improve the efficiency of irrigation water used. The main objective of this research was to increased yield and nutrient use efficiency as much as 30% by conducted comprehensive study of nutrient balance and soil biology properties at irrigated rice fields. The study consists of two units of experiments. These experiment were the third year project since 2009. We selected farmer fields in Cianjur, West Java Province as new trial sites for this year. The experiments were randomized block design with 5 treatments and 5 replications. The treatments consisted of 1) control, 2) conventional farming systems (farmer practice), 3) PTT (IPNM), 4) SRI (system of rice intensification), and 4) integrated organic and inorganic fertilization. Several parameters were measure including N, P, K dynamics, nutrient balance, soil biology dynamics, plant height, the number of tillers, total grain and straw, RAE and economic analyses of each farming systems. The results showed that application of organic fertilizer under treatment of SRI and Semi organic (integrated organic and inorganic fertilizer used) were obviously increased C-organic, P and K-potential, available-P, exchangeable K and micro nutrients including Fe, Mn, Cu and Zn content in soil. Application of organic materials combined with inorganic fertilizers under treatment agricultural systems and PTT had increased population of Aktinomisetes and population of fungi and Nitrobacter, respectively. The highest Nitrosomonas populations were found under organic farming and Semi PTT. However, the number of tillage was not significantly different between SRI and PTT although high dosage of organic fertilizer were applied at SRI and 5 ton/ha of composted straw combined with inorganic fertilizers applied at PTT.

(5)

PRAKATA

Padi merupakan komoditas strategis yang merupakan kebutuhan makan pokok yang masih perlu terus dipertahanakna dan ditingkatkan produktivitasnya secara nasional. Namun pada kenyataannnay masih terdapat kesenjangan produksi yang nyata antara tingkat produktivitas padi aktual dengan potensi produksi padi yang ada. Untuk memacu kenaikan produksi beras sebesar 5% per tahun melalui Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN) Departemen Pertanian menggunakan pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) yaitu dengan melalui pengelolaan hara anorganik dan organik secara terpadu denga. Melalui program tersebut diharapkan peningkatan produksi padi secara nasional dapat dicapai secara maksimal.

Saat ini di lapangan sudah mulai banyak diadopsi oleh petani sistem peratnian SRI (System Rice Internatioanl), dimana pada sistem ini sebagai sumber hara tanaman yang diberikan dalam bentuk pupuk organik dengan dosis tinggi. Namun disisi lain Kementerian Pertanian melalui Badan Litbang Pertaniann mensosialisaikan sistem pertanian menggunakan pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT). Kedua pendekatan pengelolaan hara tersebut memiliki kelebihan dan kekurangnnya masing-masing dan perlu mendapatkan penjelasan yang medasar dan secara ekonomis memberikan keutungan yang lebih kepada petani.

Untuk mendapat penjelasan yang memuaskan dan secara ilmiah didukung oleh data, maka perlu dilakuan penelitian sehingga dapat memberikan jawaban secara menyeluruh dan memuaskan. Penelitian ini merupakakan penelitian tahun ke 3 dilakukan pada tanah Inceptisol di Cianjur Jawa Barat. Laporan ini merupakan draf laporan akhir sehingga belum menyajikan data hasil penelitian secara menyeluruh.

Ucapan terima kasih disampaikan kepada semua pihak yang telah membantu sehingga penelitian ini dapat dilakukan dengan baik.

Saran dan kritik yang membangun dari berbagai pihak diperlukan untuk perbaikan laporan ini.

Bogor, Oktober 2011 Kepala Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan

Dr. Muhrizal Sarwani, MSc. NIP. 19600329 198403 1 001

(6)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR IDENTITAS DAN PENGESAHAN ... i

RINGKASAN ... ii

ABSTRACT ... iii

PRAKATA ... iv

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... vii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Keluaran ... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA .... ... 5

III. TUJUAN DAN MANFAAT ... 8

IV. METODOLOGI ... 9

4.1. Lingkup Kegiatan ………... 9

4.2. Rancangan Riset ……….. 10

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 15

5.1. Karakteristik Tanah Lokasi Penelitian ... 15

5.2. Karakteristik Air Irigasi ... 16

5.3. Dinamika Hara Tanah Sawah ... 16

5.4. Populasi Aktinomisetes, Fungi, Nitrobacter dan Nitrosomonas ... 22

5.5. Pertumbuhan Tanaman ... 25

VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 28

6.1. Kesimpulan ... 28

6.2. Saran ... 28

(7)

DAFTAR TABEL

No Teks Hal

1. Susunan perlakuan dan dosis pupuk lokasi percobaan di Cianjur, Jawa Barat 12 2. Hasil analisis tanah Inceptisol Cianjur, Jawa barat sebelum penelitian

dilaksanakan ……… 15

3. Rata-rata populasi mikroorganisme Aktinomiset, Fungi, Nitrobacter dan Nitrosomonas sebelum dan setelah pemupukan N ke satu ……… 23 4. Pertumbuhan tinggi tanaman dan jumlah anakan padi umur 21- 75 HST pada

berbagai sistem pertanian di Cianjur, Jawa Barat ………. 25 5. Jumlah anakan padi umur 21- 75 HST pada berbagai sistem pertanian di

(8)

DAFTAR GAMBAR

No Teks Hal 1. Kadar NH4 dan NO3 tanah sebelum tanam pada pengamatan sebelum

dan setelah pemupukan umur 7, 25 dan 45 hari setelah tanaman (HST)... 16 2. Kadar N-total dan C-organik tanah sebelum tanam pada pengamatan

sebelum dan setelah pemupukan umur 7, 25 dan 45 hari setelah

tanaman (HST) ………. 17

3. Kadar P teresktrak HCl 25% dan Bray 1 tanah pada pengamatan sebelum dan setelah pemupukan umur 7, 25 dan 45 HST ……….. 19 4. Kadar K teresktrak HCl 25% dan K-dd terekstrak NH4OAc, 1 N pH 7

tanah sebelum dan setelah pemupukan berumur 7, 25 dan 45 HST ……. 19 5. Kadar Ca-dd dan Mg-dd teresktrak NH4OAc, 1 N pH 7 tanah sebelum

dan setelah pemupukan umur 7, 25 dan 45 HST ………... 20 6. Kandungan Fe dan Mn tersktrak DTPA pada pengamatan sebelum dan

setelah pemupukan umur 7, 25 dan 45 HST ………... 21 7. Kandungan Cu dan Zn tersktrak DTPA pada pengamatan sebelum dan

setelah pemupukan umur 7, 25 dan 45 HST ………... 22 8. Rata-rata populasi Aktinomisetes dan Fungi dalam tanah pada berbagai

sistem pertanian pada pengamatan 0 dan 7 HST ……….. 23 9. Rata-rata populasi Nitrobacter dan Nitrosomonas dalam tanah pada

(9)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Seiring dengan meningkatnya penduduk di Indonesia dengan laju pertumbuhan 1,49% memerlukan konsumsi beras yang meningkat 1,1% yang diperkirakan sebanyak 35,17 juta ton beras atau 55,83 juta ton gabah kering giling pada tahun 2010 (Makarim dan Suhartatik, 2006). Pemerintah mempunyai target produksi beras tidak hanya untuk pemenuhan kebutuhan domestik tetapi juga untuk ekspor. Menteri Pertanian menyatakan bahwa Indonesia akan mengekspor sekitar satu juta ton, apabila target produksi beras nasional pada tahun 2009 tercapai. Target produksi beras nasional tahun 2009 sebesar 47 juta ton atau setara 63 juta ton gabah kering giling (GKG) (Antara, 7 Januari 2009). Namun demikian, produktivitas padi di lahan sawah masih beragam dan belum optimal. Dibandingkan dengan negara lain sesama daerah tropik, sebenarnya tingkat produktivitas padi Indonesia rata-rata 4,88 ton ha-1, nomor dua tertinggi dan sedikit di bawah Vietnam,

sedangkan potensinya dapat mencapai 6-7 ton ha-1. Menurut Makarim et al. (2000) bahwa

belum optimalnya produktivitas padi di lahan sawah, antara lain disebabkan oleh rendahnya efisiensi pemupukan, kahat unsur mikro, sifat fisik tanah tidak optimal, penggunaan benih kurang bermutu, varietas yang dipilih kurang adaptif, belum efektifnya pengendalian hama penyakit, dan pengendalian gulma kurang optimal.

Mengingat berkembangnya isu pencemaran dan penurunan kualitas lahan sawah, serta semakin mahalnya harga pupuk dan terbatasnya ketersediaan air, maka suatu keharusan melakukan efisiensi penggunaan input. Pengelolaan hara melalui pemupukan berimbang terpadu spesifik lokasi merupakan kunci untuk meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk, produktivitas dan pendapatan petani serta mengubah pertanian berbasis eksploitasi tanah menjadi pertanian berbasis pembangunan kesuburan tanah. Pemberian pupuk yang berlebihan selain menurunkan efisiensi pupuk, dapat memberikan dampak negative terhadap lingkungan. Dampak negative penggunaan pupuk yang berlebihan dan tidak berimbang dapat menyebabkan ketidakseimbangan hara dalam tanah, kerusakan sturktur tanah, penurunan keragaman dan populasi biota tanah serta pencemaran lingkungan. Di areal sawah intensifikasi terutama di Pulau Jawa, petani menggunakan pupuk secara berlebihan terutama urea sekitar 350-400 kg ha-1 bahkan ada yang menggunakan hingga

650 kg ha-1, melampaui takaran yang direkomendasikan sekitar 200-250 kg ha-1.

Pemberian pupuk urea yang berlebihan ke lahan sawah berpotensi mencemari kawasan pertanian sekitarnya melalui cemaran nitrat dan pengkayaan unsur hara (eutrofication), menurunnya kualitas air, matinya ikan sebagai sumber protein murah di kawasan

(10)

perairan. Selain itu akan mengganggu kesehatan juga mencemari udara. Emisi N2O akan

meningkat dengan meningkatnya dosis pupuk N. Nitrat jika tereduksi menjadi nitrit bersifat toksik jika termakan oleh bayi yang dapat menyebabkan baby blue syndrome.

Pemanfaatan bahan organik dalam sistem pertanian padi sawah merupakan faktor yang sangat penting. Bahan organik sangat diperlukan untuk memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Bahan organik dapat berfungsi (1) menyimpan air tersedia lebih banyak, mengurangi penguapan, membuat kondisi tanah mudah untuk pergerakan akar tanaman baik untuk tanah liat berat maupun tanah berpasir, (2) menyediakan hara makro dan mikro bagi tanaman dalam batas tertentu, (3) meningkatkan daya menahan kation (KTK) dan anion (KTA) sehingga hara tidak mudah hilang dari tanah, (4) menetralkan keracunan Al dan Fe, (5) media tumbuh mikroorganisme tanah, seperti organisme penambat N udara, pelarut P, dsb (Makarim dan Suhartatik, 2006). Bahan organik sebaiknya tersedia in situ berupa hijauan, residu tanaman/sisa panen, kotoran ternak, dan kompos. Namun demikian bahan organik juga mempunyai beberapa kekurangan, antara lain bulky yaitu diperlukan dalam jumlah banyak, tidak dapat digunakan sebagai pupuk susulan seperti urea, pada tanah berdrainase buruk dapat menambah kondusi reduktif sehingga berpotensi keracunan Fe, Mn, pembentukan gas H2S, asam-asam organik yang bersifat

toksik bagi tanaman, bahan organik segar memerlukan N tersedia tanah sehingga tanaman menjadi kahat N, meningkatkan emisi gas metan yang dapat menyebabkan pemanasan bumi (Makarim dkk., 1996; Wihardjaka dkk., 1999). Oleh karena itu, selain dapat diproduksi secara in situ, bahan organik yang akan dijadikan sebagai masukan dalam sistem pertanian padi sawah juga harus berkualitas.

Pada prinsipnya sistem pertanian padi sawah harus memaksimalkan pemanfaatan bahan organik secara in situ dan mengurangi penggunaan pupuk kimia anorganik. Penelitian menunjukkan bahwa pada sistem pertanian padi sawah intensif di China dan Vietnam, bahan organik dan pupuk kimia anorganik masih sama-sama digunakan dan saling melengkapi untuk memenuhi kebutuhan hara tanaman. Penggunaan bahan organik di China dan Vietnam sekitar 25% dari total kebutuhan hara untuk tanaman (Nguyen Van Bo dkk., 2002; Portch dan Ji-yun, 2002).

Pengelolaan air juga merupakan salah satu faktor penting di dalam sistem pertanian di lahan sawah. Total penggunaan air di lahan sawah sangat bervariasi antara 500 dan 3000 mm tergantung kondisi lingkungan dan lamanya periode pertumbuhan padi (Rajesh dan Thanunathan, 2003). Namun, pada umumnya petani menggenangi lahan sawahnya terus menerus selama periode pertumbuhan tanaman sehingga hal ini merupakan pemborosan. Pada kondisi tidak tergenang efisiensi mencapai 19,58% dan 10,91% untuk yang

(11)

digenangi secara terus menerus (Sumardi, dkk. 2007). Dengan terbatasnya ketersediaan air dan untuk pemenuhan kebutuhan pangan, nampaknya terjadi persaingan penggunaan air untuk non-pertanian dan pertanaman padi. Oleh karena itu diperlukan sistem pertanian padi di lahan sawah yang hemat air dengan produktivitas tanaman tetap tinggi. Vijayakumar dkk., (2006) menyatakan bahwa tanaman padi mampu tumbuh dengan sangat baik pada kondisi semi aquatic tanpa mengurangi produktivitas.

Air tidak hanya dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman tetapi juga sebagai media pembawa hara sehingga hara dapat ditransport dan diserap akar. Pengelolaan hara dan air yang tepat dapat meningkatkan produktivitas tanaman dan efisiensi penggunaannya sehingga pengelolaan air tidak terpisahkan dari pengelolaan hara yang baik. Pengelolaan air pada lahan sawah sangat penting dalam kaitannya dengan ketersediaan dan dinamika hara (Roy dkk, 2006). Sumber hara tanaman padi sawah berasal dari eksternal dan internal input. Sumber yang berasal dari eksternal, antara lain pupuk anorganik, bahan organik/pupuk organik, air irigasi, dan air hujan. Sedangkan yang berasal dari tanah merupakan sumber internal, antara lain cadangan mineral tanah dan organisme tanah. Hasil dari kegiatan tahun 2009 menunjukkan bahwa (1) Di Ciruas Banten perlakuan SPH-2 (sistem penglolaan hara) menghasilkan emisi gas N2O rendah sedangkan di Sukamandi

pada perlakuan SRI, (2) Pemberian pupuk urea di Ciruas dan Sukamandi, secara umum

menyebabkan penurunan populasi mikrorganisme dan mikrofauna, (3) Sistem

pengelolaan hara dengan mengkombinasikan pupuk organik dan anorganik menghasilkan pertumbuhan tinggi dan jumlah anakan serta hasil gabah yang meningkat (15-20%) di Banten, sedangkan di Sukamandi sistem pengelolaan Petani dan PTT menghasilkan gabah yang lebih tinggi masing-masing sekitar 86% dan 71% dibandingkan SRI, 31% dan 20% dibandingkan Semi Organik, (4) Populasi mikroorganisme tanah seperti: pelarut Fosfat, Sianobakter, Nitrosomonas, Nematoda dan Respirasi tanah memberikan pola yang sama pada lokasi percobaan di Ciruas Banten dan Sukamandi yaitu cenderung menurun (30-75%) dengan pemberian pupuk N, (5) Total emisi gas N2O dari lahan sawah

di Ciruas dan Sukamandi tertinggi pada sistem pertanian semi organik sekitar 31 – 37 g/ha/hari, dan terendah sistem pertanian SRI sekitar 12 g/ha/hari, (6) Dinamika hara N, P dan K dalam tanah sawah selama satu musim tanah belum stabil. Total N tanah sawah di Sukamandi hampir tidak berubah, total P tanah menurun sekitar 45%, dan total K meningkat hampir 5 kali lipat. Di Ciruas, total N , P dan K tanah sawah menurun masing-masing 10, 25 dan 45%. Dinamika N dalam bentuk tersedia (NH4+) cenderung menurun

setelah minggu ke 6 dan mencapai sekitar 50% setelah panen di Sukamandi dan Ciruas, sedangkan NO3- meningkat sekitar 35% di Sukamandi dan hampir tidak berubah di

(12)

Ciruas. Ketersediaan P (Bray-1) dalam tanah di Sukamandi meningkat hampir 3 kali lipat dan K yang dapat dipertukarkan meningkat sekitar 30%. Sebaliknya di Ciruas, ketersediaan P hampir tidak berubah dan K dapat dipertukarkan menurun sekitar 70%. Kadar C-organik tanah sawah di Sukamandi meningkat sekitar 50% setelah panen, di Ciruas hampir tidak berubah, (7) Secara umum neraca hara N,P, dan K positif kecuali pada perlakuan konvensional (Petani) dan PTT menghasilkan neraca hara K negatif, dan (8) Hasil analisis usaha tani sistem pertanian PTT lebih menguntungkan untuk lokasi pertanian di Ciruas sedangkan di BB. Padi Sukamandi lebih menguntungkan pada sistem pertanian konvensional.

Hasil kegiatan dari tahun 2010 menunjukkan bahwa: (1) Pemberian pupuk urea di Serang dan Cianjur secara umum menyebabkan peningkatan populasi bakteri pelarut P dan K , (2) Sistem pengelolaan hara dengan mengkombinasikan pupuk organik dan anorganik menghasilkan pertumbuhan tinggi dan jumlah anakan serta hasil gabah yang meningkat (14-44%) di Banten, sedangkan di Cianjur sistem pengelolaan PTT dan SPH-1 (sistem pengelolaan hara) menghasilkan gabah yang lebih tinggi masing-masing sekitar 36% dan 26% dibandingkan SRI, 23% dan 14% dibandingkan Petani, (3) Populasi mikroorganisme tanah seperti: pelarut Fosfat dan Pelarut K dibandingkan Petani pada lokasi percobaan di Serang Banten dan Cianjur cenderung meningkat dengan pemberian pupuk N, (4) Dinamika hara N, P dan K dalam tanah sawah selama dua musim tanah belum stabil. Total N tanah sawah pada minggu ke 6 meningkat 7-37%, di Serang dan 4-65% diCianjur, P-total tanah di serang meningkat 23-233% dan P tersedia meningkat 1-3 kali lipat. Di Cianjur P total tanah meningkat sekitar 40%, dan P tersedia cenderung menurun. K-total meningkat 75-144% dan K-teredia cenderung menurun di Serang. Di Cianjur Cenderung K-tersedia menurun 68-88%. Kadar C-organik tanah sawah di Serang meningkat 8-74%, dan di Cianjur meningkat 33-136% pada tanah yang diolah sempurna maupun tidak diolah sempurna (5) Hasil analisis usaha tani sistem pertanian PTT lebih menguntungkan untuk lokasi pertanian di Serang dan Cianjur dibandingkan konvensiona dan SRI.

1.2. Keluaran.

Jangka Pendek

a. Dinamika dan keseimbangan hara, terutama hara N, P, dan K pada sistem pertanian konvensional, PTT, dan SRI

b. Neraca hara, terutama N, P, dan K pada sistem pertanian konvensional, PTT, dan SRI

(13)

Jangka Panjang

Sistem pengelolaan hara untuk perbaikan mutu intensiifikasi di lahan sawah irigasi yang berkelanjutan dan lebih ramah lingkungan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Untuk memacu laju kenaikan produksi beras sebesar 5% per tahun melalui P2BN (Peningkatan Produksi Beras Nasional), Departemen Pertanian menggunakan pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT). Pada awal pencanangan P2BN, teknologi PTT diterapkan pada padi sawah seluas 2,0 juta ha. Akan tetapi bersamaan dengan itu, Departemen Kimpraswil menggunakan SRI (System Rice Intensification) dalam rangka peningkatan efisiensi penggunaan air irigasi. Sejak saat itu timbul dua macam pendekatan, bahkan di Departemen Pertanian sendiri, yaitu Ditjen Tanaman Pangan menggunakan PTT (telah diselenggarakan Sekolah Latihan PTT), sedangkan Ditjen Pengelolaan Lahan dan Air menggunakan SRI. Di daerah, dualisme ini membingungkan pelaksana di lapang/penyuluh . Kalau hal ini dibiarkan terus berlangsung maka dikhawatirkan dapat terjadi kontra-produktif. Untuk itu diperlukan persamaan persepsi mengenai pendekatan ini sehingga diharapkan diperoleh satu model pengembangan dari kedua teknologi sistem pertanian di lahan sawah tersebut.

Dalam kaitannya dengan pengelolaan hara, terdapat perbedaan yang mendasar dari beberapa sistem pertanian di lahan sawah yang telah berkembang saat ini. Perbedaan tersebut adalah sebagai berikut:

Parameter Sistem Pertanian di Lahan Sawah

Konvensional PTT SRI

Pupuk anorganik Pemupukan berdasarkan rekomendasi umum atau setempat atau berdasarkan kemampuan petani Pemupukan N berpedoman pada BWD, pemupukan P dan K berdasarkan tanah dan kebutuhan tanaman (uji tanah) hasil pengukuran dengan PUTS

Tanpa

Pupuk organik Tanpa 2 ton/ha kompos bahan organik atau 5 ton/ha jerami sisa panen yang dikembalikan ke lahan sawah atau dikomposkan. Penggunaan kompos bisa mencapai 15 ton/ha

(bisa berupa kohe (kotoran hewan atau pukan/pupuk

kandang dengan tambahan jerami padi sisa panen).

(14)

menerus (pengairan berselang) secara benar sesuai

dengan kondisi setempat

berselang: kondisi tanah tidak digenangi tapi tetap

lembab yang dipertahankan selama pertumbuhan vegetatif; setelah pembungaan sawah digenangi air 1-3 cm Jarak tanam 20 cm x 20 cm Sistem tegel (25 cm x

25 cm) atau sistem legowo

Sistem tegel dengan jarak tanam lebar ≥ 30 cm x 30 cm Oleh karena itu informasi tentang keseimbangan hara dan dinamika biologi pada ketiga sistem pertanian di lahan sawah irigasi tersebut sangat diperlukan sebagai dasar untuk memperbaiki sistem pengelolaan hara tepat guna.

Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) pada padi sawah merupakan salah satu model yang mengedepankan pendekatan spesifik lokasi dengan mengimplementasikan berbagai komponen teknologi budidaya yang sinergis untuk mendapatkan hasil optimal dan kelestarian lingkungan (Sumarno, dkk. 2000). Model tersebut menganjurkan petani menerapkan teknologi yang cocok untuk lokasi setempat sesuai pilihan dan kemampuan mereka. Komponen teknologi yang dianjurkan, antara lain penggunaan benih bermutu, pemupukan berimbang terpadu spesifik lokasi yaitu dengan mengkombinasikan pupuk anorganik berdasarkan uji tanah dan penggunaan bahan organik, pengendalian hama/penyakit secara terpadu, sistem pengairan berselang (intermitten), dan penanganan panen dan pasca panen (Las, dkk. 2002). Implementasi model ini dilaporkan dapat meningkatkan produktivitas padi dari sekitar 5,6 ton ha-1 menjadi 7,3 – 9,6 ton ha-1 dan

pendapatan petani meningkat dari Rp. 1,6 juta ha-1 menjadi Rp. 4,1 juta ha-1

(Puslitbangtan, 2000). Selain meningkatkan produktivitas padi dan pendapatan petani, sistem pertanian PTT dapat menghemat dan mengurangi penggunaan pupuk kimia anorganik (Makarim dkk., 2000), serta relevan untuk dikembangkan karena mempertimbangkan faktor spesifik lokasi dan kemauan serta kemampuan petani (Syam, 2006).

Pelaksanaan System of Rice Intensification melalui penerapan komponen teknologi secara terpadu berupa paket rekomendasi yang berlaku umum, antara lain meliputi penanaman bibit muda umur 8 – 15 hari saat tanaman berdaun dua helai dan satu tanaman per lubang yang dilakukan segera setelah dipindah dari persemaian, pengairan berselang (intermitten), pengaturan jarak tanam, penyiangan gulma dengan landak 2 – 4 kali sebelum fase primordia, penggunaan kompos sebanyak mungkin sebelum tanam,

(15)

pemupukan anorganik dapat juga ditambahkan dengan rekomendasi pemupukan setempat. Model ini mampu memberikan hasil padi antara 7 – 12 ton ha-1 (Fisher, 1998).

Namun demikian sistem pertanian padi sawah dengan SRI tersebut masih terdapat kontroversi. Syam (2006) menyatakan bahwa SRI memerlukan bahan organik yang banyak dalam bentuk pupuk kandang dan sisa tanaman yang ketersediaannya relatif terbatas. Selain itu sistem ini mungkin layak dikembangkan bila Indonesia sudah bebas dari impor beras, kondisi perekonomian nasional sudah lebih baik dan konsumen sudah lebih sadar pangan bebas input kimia dan bersedia membayar harga yang lebih mahal. Namun demikian upaya memasyarakatkan penggunaan bahan organik pada lahan sawah patut dihargai, apabila kaitannya dengan sistem produksi berkelanjutan, kesehatan lingkungan, semakin mahalnya harga pupuk anorganik, dan pemakaian air secara hemat serta mengurangi penggunaan benih.

Meskipun sistem pertanian model PTT dan SRI telah dikembangkan secara luas, namun pada kenyataannya sebagian besar petani di Indonesia masih mempraktekkan budidaya tanaman padi dengan sistem pertanian konvensional. Sistem ini menggunakan benih bermutu tersertivikasi, penanaman bibit umur 21–30 hari dengan 3–4 tanaman per lubang, pemupukan rekomendasi setempat atau yang biasa digunakan petani (bisa lebih atau kurang), sistem pengairan terus menerus dengan kedalaman penggenangan 5–10 cm, pengendalian hama/penyakit menggunakan pestisida. Produktivitas padi yang dihasilkan dari sistem ini rata-rata sekitar 4,77 ton ha-1 (Wulandari dan Syam, 2007).

Syam (2006) menyatakan bahwa hasil kajian Balai Penelitian Tanaman Padi menunjukkan bahwa hasil ubinan padi yang ditanam secara konvensional di Garut memberikan hasil lebih tinggi sekitar 0,92 ton ha-1 daripada hasil SRI. Secara ekonomi

teknologi intensif konvensional memberikan efisiensi produksi usahatani padi yang lebih tinggi dibanding teknologi SRI.

Penelitian teknologi sistem pertanian di lahan sawah yang telah dilakukan umumnya menekankan pada aspek agronomis dan ekonomis. Penelitian dan analisis komprehensif tentang keseimbangan hara dan dinamika biologi pada sistem pertanian di lahan sawah masih sangat terbatas. Penelitian ini sangat diperlukan untuk mendapatkan informasi tentang keseimbangan hara dan dinamika biologi sebagai dasar penyusunan neraca hara dan sistem pengelolaan hara tepat guna yang pada akhirnya untuk meningkatkan produktivitas padi di lahan sawah yang efisien dalam penggunaan pupuk dan air.

(16)

III. TUJUAN DAN MANFAAT

3.1. Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis secara komprehensif tentang dinamika dan keseimbangan hara pada sistem pertanian di lahan sawah irigasi sebagai dasar untuk menyusun neraca hara yang akan dijadikan dasar untuk mengembangkan sistem atau model pengelolaan hara dalam rangka memperbaiki mutu intensifikasi sistem pertanian yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan.

Tujuan jangka pendek

a. Mendapatkan informasi tentang dinamika hara dan keseimbangan hara, terutama hara N, P, dan K pada sisitem pertanian konvensional, PTT dan SRI di lahan sawah irigasi.

b. Menelisik mekanisme peranan bahan/pupuk organik terhadap dinamika sifat fisik, biologi dan kimia; biota ;dan mikroba tanah

c. Memperbaiki sistem pengelolaan hara dalam rangka perbaikan mutu intensifikasi sistem pertanian di lahan sawah irigasi, sehingga produktivitasi dapat meningkat sekitar 30%

d. Menyusun neraca hara, terutama hara N, P dan K pada sistem pertanian konvensional, PTT dan SRI di lahan sawah irigasi, sehingga efisiensi pupuk dapat meningkat sekitar 30%

Tujuan jangka panjang

Mengembangkan sistem pengelolaan hara tepat guna yang mampu memperbaiki mutu intensifikasi sistem pertanian di lahan sawah irigasi yang berkelanjutan dan lebih ramah lingkungan, dengan peningkatan produktivisi dan efisiensi pupuk sekitar 30%

3.2. Manfaat

Dampak hasil penelitian dalam jangka panjang adalah meningkatnya mutu intensifikasi melalui pengembangan sistem pengelolaan hara tepat guna yang diindikasikan dengan meningkatnya produktivitas yang berkelanjutan dan lebih ramah lingkungan serta meningkatnya pendapatan petani. Pada tingkat nasional diharapkan bahwa selain dapat memenuhi kebutuhan beras domestik juga dapat melakukan ekspor.

(17)

IV. METODOLOGI

4.1. Lingkup Kegiatan

Tahap persiapan

Kegiatan penelitian ini merupakan lanjutan kegiatan tahun 2010. Penelitian terdiri dari 1 unit kegiatan yang akan dilaksanakan di daerah volkan di Cianjur.

Penelitian dimulai dengan studi literatur dan menyiapkan bahan penunjang seperti peta tanah, peta status hara P dan K serta bahan penunjang lainnya untuk menentukan lokasi penelitian. Lokasi baru untuk kegiatan penelitian akan dipilih pada lahan sawah irigasi daerah volkan dengan tingkat kesuburan sedang/tinggi, terutama hara N, P, K dan C-organik. Untuk menentukan status hara P dan K akan dilakukan dengan menggunakan Perangkat Uji Tanah Sawah (PUTS). Tahap selanjutnya, penentuan tingkat kesuburan tanah dilakukan dengan mengambil contoh tanah dan air irigasi yang kemudian dianalisa di laboratorium.

Tahap pelaksanaan

Penelitian akan dilaksanakan di lahan sawah irigasi yang mempunyai tingkat kesuburan sedang-tinggi di sekitar Cianjur, Jawa Barat. Sistem pertanian yang akan diteliti dan dianalisis adalah sistem konvensional, PTT dan SRI serta modifikasinya.

Pada masing-masing sistem pertanian di lahan sawah yang diteliti akan dipelajari dinamika dan keseimbangan hara, terutama N, P, dan K secara komprehensif dengan menganalisis komponen atau sumber input, proses yang terjadi di dalam tanah serta proses kehilangan hara dari dalam tanah. Setelah itu akan disusun neraca hara N, P, dan K untuk masing-masing sistem pertanian yang diuji. Sistem pengelolaan hara tepat guna untuk masa mendatang akan disusun berdasarkan informasi tentang dinamika dan keseimbangan hara serta neraca hara yang diperoleh pada penelitian ini.

Bahan dan Alat

Bahan penelitian meliputi bahan-bahan yang diperlukan untuk pelaksanaan penelitian antara lain:

Alat tulis kantor (ATK) dan alat penunjang komputer seperti ballpoint, spidol, kertas, tinta komputer, disket, CD, flashdisc, dan lain-lain.

Bahan kimia untuk analisis tanah, tanaman dan mikroorganisme di laboratorium

Bahan untuk pelaksanaan percobaan lapang, seperti benih padi berpotensi hasil tinggi, pupuk urea, SP-36, KCl, pupuk majemuk NPK, jerami, pupuk kandang, M-Dec

(18)

(Dekomposer) karung, tali rafia, tambang, kantong plastik, bambu/kayu, seng, cat, dan lain-lain.

Peralatan yang digunakan untuk pelaksanaan percobaan lapang antara lain: Sungkup untuk gas N2O dan perlengkapannya, perlengkapan GC, botol contoh air, GPS,

timbangan, meteran, bor tanah dan peralatan untuk diskripsi profil, dan alat penunjang penelitian lapang lainnya, serta peralatan untuk analisis kimia dan mikrobiologi tanah.

Lokasi dan Waktu

Kegiatan penelitian akan dilaksanakan di Cianjur, Jawa Barat. Kegiatan penelitian ini merupakan kegiatan lanjutan tahun ke tiga. Penelitian telah dimulai sejak musim kemarau II tahun 2009.

Penentuan lokasi untuk kegiatan penelitian tahun 2011 diarahkan pada lahan sawah irigasi teknis di daerah volkan dengan status hara P dan K sedang/tinggi. Sebagai acuan dalam mencari lokasi percobaan selain peta status hara P dan K, juga dengan menggunakan PUTS.

Untuk penentuan lokasi penelitian diambil masing-masing sebanyak 1 contoh tanah komposit untuk setiap lokasi percobaan. Lokasi pengambilan mengacu pada data peta status hara P dan K skala 1:250.000 atau skala 1:50.000 apabila telah dipetakan.

Lokasi percobaan lapang ditentukan dengan kriteria, yaitu (1) berstatus hara sedang – tinggi, (2) mewakili hamparan yang luas, (3) terdapat pada daerah yang beririgasi teknis, (4) bukan daerah yang sering terkena banjir dan kekeringan, serta endemi hama penyakit, dan (5) respon/kesanggupan petani

4.2. Rancangan Riset

Penelitian terdiri dari satu unit percobaan merupakan kegiatan penelitian baru yang akan dilaksanakan di daerah volkan (sekitar Cianjur, Jawa Barat) dengan tingkat kesuburan sedang/tinggi. Status hara P dan K untuk rekomendasi pemupukan ditentukan dengan PUTS, sedangkan untuk status kesuburan tanah dan kandungan hara dalam air irigasi secara lengkap akan dianalisa di laboratorium penelitian Balai Penelitian Tanah.

Penelitian ini dilaksanakan di lahan sawah irigasi di lingkungan petani menggunakan Varietas padi unggul baru yang umum digunakan di sekitar lokasi. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap terdiri dari 5 perlakuan diulang 5 kali dengan susuna perlakuan sebagai berikut:

(19)

1. Kontrol lengkap: tanpa pemberian pupuk, cara pengelolaan disesuaikan dengan kebiasan petani setempat, namun tidak dilakukan pemberian pupuk.

2. Konvensional: menurut kebiasaan petani, baik menyangkut cara tanam, pengelolaan pupuk, pengelolaan air, maupun pengendalian hama penyakit yang ada di pertanaman padi.

3. PTT:

o bibit muda (15 hss), 2 bibit per lubang,

o pemupukan N berdasarkan BWD, pemupukan P dan K berdasar uji tanah, o kompos dari bahan 5 ton jerami segar/ha

o irigasi berselang (intermittent), o cara tanam sistem legowo 2:1, 4. SRI:

o Pupuk organik 15 ton/ha (campuran pukan sekitar 12 ton/ha dan kompos dari bahan 3 ton kompos jerami/ha),

o bibit 7 hss, o irigasi berselang,

o jarak tanam sistem tegel 25 cm x 25 cm, o 1 bibit/lubang,

o PHT berdasarkan monitoring dan menggunakan pestisida nabati. 5. Semi Organik:

o Pupuk organik insitu dengan dosis 5 ton/ha

o pemupukan N berdasarkan BWD, pemupukan P dan K berdasar uji tanah dengan dosis 75%

o bibit 15 hss o irigasi berselang

o jarak tanam 25 cm x 25 cm o 2 bibit/lubang

(20)

12 Tabel 1. Susunan perlakuan dan dosis pupuk lokasi percobaan di Cianjur, Jawa Barat

No. Perlakuan Urea Phonska SP-36 KCl Jerami Pukan Ppk. anorganik (kg/ha) Ppk. Organik (t/ha) Irigasi Jumlah/Umur Bibit (HSS) Jarak tan. (cm2)

1. Kontrol lengkap 0 0 0 0 0 0 Konven. (>2) 21 25 x 25

2. Petani - - - - - - Konven. (>2) 21 25 x 25

3. PTT BWD - 75 50 2 (kompos) - Intermiten (1-2) 15 Legowo 2:1

4. SRI - - - - 3 (kompos) 12 Intermiten ( 1 ) 7 30 x 30

5. Semi organik BWD - 37,5 25 5 ton jerami - Intermiten (1-2) 15 25 x 25

Keterangan: BWD = pemupukan urea pertama 7 HST dengan dosis 100 kg/ha *= 5 ton pupuk organik in situ

No. 2 dan No.4 = PHT berdsarkan monitoring

(21)

Parameter yang diamati, antara lain (1) sifat fisik, kimia dan biologi tanah sebelum perlakuan, setelah pemupukan dan setelah panen, (2) kandungan hara air irigasi pada saat pengolahan tanah, (3) kandungan hara air irigasi yang ditambahkan (inlet) dan yang keluar (outlet) yang dilakukan pada saat pengairan/penggenangan dan pengeringan/drainase, (4) kadar ammonium dalam air genangan dan gas N2O pada

periode setelah pemupukan urea, (7) kandungan hara dalam biomass (jerami dan gabah). Parameter tersebut akan diukur dan ditetapkan di laboratorium.

Sifat fisika tanah yang akan ditepakan: Sebelum tanam: tekstur, BD dan pF Setelah panen: Bd dan pF.

Sifat kimia tanah:

Sebelum tanam dan setelah panen: meliputi pH (KCl dan H2O), C-organik (Kalium

Dichromat/Kjeldhal), N-total (Kjeldal), NH4+ dan NO3-, P2O5 dan K2O (HCl 25%), P-Bray 1,

P-Olsen, KTK tergantung pH tanah (unbuffer), KTK dan Ca, Mg, K, dan Na (NH4OAc 1M

pH 7), Al dan H (KCl 1M), S, Fe, Mn, Zn, Cu, Cd, Pb, erapan P, fraksionasi P (Balai Penelitian Tanah, 2005). Adapun sifat biologi tanah yang diamati antara lain, populasi mikroba seperti BNF (non-simbiotik), nitrosomonas, nitrobacter, bakteri pelarut P sebelum tanam dan setelah panen. Adapun kadar hara tanaman setelah panen (gabah dan jerami) dianalisis di laboratorium, antara lain N, P, K,Ca, Mg, Na, S, Fe, Zn, Cu, Cd, Pb.

Pengamatan setelah pemupukan N:

Sifat kimia:

N-total, P-tersedia, P dan K-total ekstrak HCl 25%, Zn, S dan Cu.

Pengamatan NH4+ dalam air genangan dan gas N2O dilakukan satu hari setelah

pemupukan urea atau setelah penggenangan kembali.

Biologi Tanah: Total bakteri pelarut P, total bakteri N, total mikroba, dan total nematoda

Aspek agronomis yang diamati: adalah (1) tinggi tanaman dan jumlah anakan pada umur 15, 30, 60, dan menjelang panen, (2) komponen hasil padi yaitu gabah kering panen (GKP) gabah kering giling (KGG) KA 14%, persentase gabah hampa, dan berat 1000 butir gabah, (4) biomass kering (jerami dan gabah) ubinan yang dikonversikan ke hektar, (5) Relative Agronomis Effectiveness (RAE).

Neraca hara dihitung berdasarkan input dikurangi output dengan menggunakan data pengamatan berasal dari penelitian. Komponen input meliputi hara yang berasal dari pupuk baik anorganik maupun organik, air irigasi (inlet), sumbangan dari mikroba, air

(22)

hujan, indegenous tanah. Adapun komponen output terdiri dari hara yang terkandung dalam gabah maupun jerami, air drainase (outlet), kehilangan N dalam bentuk gas (NH3

dan N2O). Persamaan neraca hara untuk masing-masing unsur (N, P, dan K) sebagai

berikut:

Neraca Hara (Cara) = Input (A+B+C+D+E+F) – Output (G+H+I+J+K) Catatan:

Neraca hara dihitung dalam satuan kg ha-1

Input (kg ha-1) terdiri dari :

A : Hara dari tanah/indigenous B : Hara dari pupuk anorganik C : Hara dari pupuk organik D : Hara dari mikroba E : Hara dari air irigasi/inlet F : Hara dari air hujan

Output (kg ha-1) terdiri dari :

G : Hara dalam gabah H : Hara dalam jerami

I : Hara yang hilang sebagai gas NH3

J : Hara yang hilang sebagai gas N2O

K : Hara dalam air drainase/outlet

Neraca hara juga akan dihitung menurut Dierolf et al. (2000) sebagai pembanding yaitu input dikurangi output tetapi menggunakan asumsi-asumsi untuk memperkirakan kehilangan hara dari tanah. Persamaannya adalah sebagai berikut:

Neraca hara = Input – Out put

Input = Hara yang berasal dari pupuk, jerami, pupuk kandang dan air Out put = hara dalam jerami, gabah, air drainase, dan gas (NH3 dan N2O).

Perkiraan kehilangan: N = 25% dari total input N, P= 0% dari total input P K = 10% dari total input K

Pengamatan dan perhitungan hasil usahatani dari masing-masing sistem yang diuji dilakukan terhadap komponen usahatani, antara lain data input produksi yaitu kebutuhan tenaga kerja, upah tenaga kerja, sarana produksi. Selain itu juga akan ditetapkan indikator ekonomi dari usahatani menggunakan nilai nisbah B/C.

(23)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Karakteristik Tanah Lokasi Penelitian

Data hasil analisis tekstur dan sifat kimia tanah Inceptisol Cianjur sebelum penelitian disajikan pada Tabel 3. Tanah bertekstur liat; pH tanah terekstrak H2O masam, agak

masam , kadar C-organik tergolong rendah dan, N-total sedang dengan C/N rasio tanah tergolong rendah. Kadar P dan K terekstrak HCl 25% masing-masing tergolong tinggi dan sedang dengan kandungan P tersedia terekstrak Bray 1 tergolong sangat rendah. Nilai tukar kation Ca sedang dan Mg tergolong tinggi, K tergolong rendah, dan Na dapat ditukar tergolong sedang.

Tabel 2. Hasil analisis tanah Inceptisol Serang, Banten dan Cianjur, Jawa barat sebelum penelitian dilaksanakan

Jenis Penetapan Cianjur, Jawa Barat

Nilai Kriteria Telstur : Liat (%) Debu (%) Pasir (%) pH : H2O KCl Bahan Organik : C-organik (%) N-total (%)38 C/N P2O5 (HCl 25%) mg 100g-1 K2O (HCl 25%) mg 100g-1 P-Bray-1 (mg kg-1 P) Kation : (cmol (+)kg-1 Ca Mg K Na KTK (cmol (+)kg-1 KB (%)

Unsur mikro ekstrak DTPA (ppm) Fe Mn Cu Zn 62 32 6 5,3 4,2 1,97 0,21 9 52 16 6,23 10,43 3,82 0,29 0,43 19,72 76 198 137 4,12 2,22 Liat masam rendah sedang rendah tinggi sedang rendah sedang tinggi rendah sedang sedang tinggi - - - Tinggi

Kapasitas tukar kation (KTK) dan kejenuhan basa (KB) masing-masing tergolong sedang dan tinggi. Berdasarkan hasil analisis laboratorium, tanah Inceptiosl Cianjur memiliki ktingkat kesuburan sedangkan. Secara umum permasalah kesuburan tanah sawah lokasi penelitian adalah kandungan bahan organik dan tingkat ketersediaan P yang rendah walaupun memiliki kandungan P-potensial tergolong tinggi.

(24)

0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 0 7 25 45 Waktu pengamatan (HST) K a da r N H 4 t a na h ( ppm )

Kontrol Petani PTT SRI Semi Org

0 5 10 15 20 25 30 0 7 25 45 Waktu pengamatan (HST) Kad a r N O 3 t a na h ( p pm )

Kontrol Petani PTT SRI Semi Org

5.2. Karakteristik Air Irigasi

Karakteristik sifat kimia air irigasi pada lokasi penelitian di Cianjur, MK 2011 mempunyai pH 6,90 dengan daya hantar listrik (DHL) 122 uS/cm. Kandungan kation K, Ca, Mg dan Na masing-masing mengandung 2,69; 4,30; 2,82; dan 6,00 mg/l. sedangkan kandungan anion NH4+, PO43-, dan SO42- masing-masing 2,25 mg/l; 0,17 mg/l dan 27,27 mg/l.

Kandungan unsur hara mikro Fe 1,88 mg/l; Mn 0,02 mg/l dan Zn 0,01 mg/l sedangkan kandungan unsur mikro Cu dalam air irigasi tidak terdeteksi.

5.3. Dinamika Hara anah Sawah 5.3.1. Dinamika hara N

Kadar NH4 dalam tanah disajikan pada Gambar 1, hasil analisis menunjukkan bahwa

kadar NH4 pada semua sistem pertanian membentuk pola yang sama dan konsisten,

dimana kandungan NH4 terjadi peningkatan tertinggi pada umur 7 hari setelah tanam

(HST) dengan peningkatan tertinggi pada sistem pertanian Semi organik dari 10 ppm menjadi 161 ppm dan terendah pada PTT dar 8 ppm menjadi 100 ppm. Selanjutnya pada pengamatan 25 HST, kandungan NH4 menurun secara tajam dengan kandungan NH4

terendah yaitu 21 ppm. Selanjutnya pada pengamatan 45 HST terjadi peningkatan kembali pada semua sistem pertanain.

Gambar 1. Kadar NH4 dan NO3 tanah sebelum tanam pada pengamatan sebelum dan

setelah pemupukan umur 7, 25 dan 45 hari setelah tanaman (HST)

Keadaan tersebut sejalan dengan pertumbuhan tanaman, dimana pada umur 7 HST kebutuhan hara N tanaman relatif masih kecil sehinggan ketersediaan yang tinggi setelah pemupukan pertama. Selanjutnya pada pengamatan 25 HST, tanaman dala fase pertumbuhan dan pembentukan anakan maksimum sehingga kebutuhan hara N meningkat, sehingga kadar NH4 dalam tanah menurun cukup tajam. Pada pengamatan

(25)

0 0.05 0.1 0.15 0.2 0.25 0.3 0.35 0 7 25 45 Waktu pengamatan (HST) N -to ta l ta n a h (%)

Kontrol Petani PTT SRI Semi Org

0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 0 7 25 45 Waktu pengamatan (HST) C-or ga n ik t a na h ( % )

Kontrol Petani PTT SRI Semi Org

organik kemudian diikuti oleh Sistem pertania PTT dan Petani, sedangkan pada sistem pertanian SRI kandungan NH4 dalam tanah paling rendah. Sedangkan pada SRI

rendahnya kadar NH4 dalam tanah karena NH4 yang bersumber dari bahan organik yang

pelepasannya secara bertahap sehingga tingkat ketersediannya dalam tanah relatif lebih rendah.

Dinamika kandungan NO3 dalam tanah disajikan pada Gambar 1. Hasil analsis

menunjukkan, kandungan NO3 dalam tanah mengalami perubanah yang fluktuatif dimana

pada pengamatan 7 HST kandungan NO3 secara umum terjadi penurunan yang cukup

tajam terutama pada sistem pertanian Semi organik, dari 27,47 ppm menjadi 8,81 ppm; pada SRI dari 21,37 ppm mennjadi 7,83 ppm dan pada PTT dari 11,81 ppm menjadi 5,37 ppm. Kecuali pada perlakuan kontrol dan Petni relatif meningkat. Selanjutnya pada pengamtan 25 HST terjadi peningkatan kembali terutama pada sistem pertanian Semi organik SRI dan PTT kemudian menurun kembali pada pengamatan 45 HST. Kecuali pada kontrol polanya berbeda dengan sistem pertanian SRI, Semi organik dan PTT. Sedangkan pada sistem pertanian konvesional (Petani) kandungan NO3 perubahannya realtif kecil.

5.3.2. N-total dan C-organik

Kandungan N-total dan C-organik tanah pada berbagai sistem pertanian yang diamati sebelum tanam, dan pada umur 7, 25 dan 45 HST disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2. Kadar N-total dan C-organik tanah sebelum tanam pada pengamatan sebelum dan setelah pemupukan umur 7, 25 dan 45 hari setelah tanaman (HST) Kandungan N-total tanah terjadi peningkatan pada umur 7 HST selanjutnya terjadi perubahan yang bervariasi pada berbagai sistem pertanian. Secara umum N-total tanah cenderung meningkat pada pengamatan 7 HST, selanjutnya menurun pada 25 HST kecuali pada sistem pertanian Semi organik relatif terjadi peningkatan dari 0,24% menjadi 0,28%. Kemudian pada pengamatan 45 HST kandungan N-total tanah secara umum

(26)

menurun, teringgi pada sistem pertanian SRI dari 0,28% menjadi 0,18% kemudian pada sistem pertanian organik dari 0,26% menjadi 0,16%.

Kandungan C-organik tanah pad berbagai sistem pertanian sebagai pengaruh pemberian pupuk organik dan kombinasi pupuk organik dan anorganik disjaikan pada Gambar 2. Secara umum kandungan C-organik tanah cenderung ada peningkatan pada pengamatan 7 HST, selanjutnya relatif konstan sampai pengamatan 25 HST. Anmun demikian pada pengamatan 45 HST kandungan organik tanah cenderung menurun. Penurunan C-organik relatif tertinggi terjadi pada sistem pertanian Semi C-organik dari 2,33% menjadi 1.36%, sedangkan penurunan C-organik terendah pada sistem pertanian SRI menurun dari 2,20% menjadi 1,74%. Dengan demikian dari hasil analisis tanah menunjukkan bahwa pemberian pupuk organik dalam bentuk kompos pupuk kandang dan kompos jerami masing-masing 3 dan 12 ton/ha, demikian pula pada sistem pertanian Semi organik pemebrian pupuk organik dalam bentuk kompos pupuk kandang 5 ton jerami yang dikomposkan/ha yang dikombinasikan dengan pupuk anorganik ½ dosis PTT dalam 1 musim belum dapat meningkatkan C-organik tanah.

5.3.3. Dinamika hara P

Kadar total (terekstrak HCl 25%) dan Bray 1 disajikan pada Gambar 3. Kadar P-terekstrak HCl 25% secara umum cenderung menurun sampai dengan waktu pengamatan umur 7 HST, selanjutnya cenderung meningkat sampai dengan umur 45 HST pada sistem pertanian SRI dan PTT dari 48 mg/100g menjadi 56 mg/100g dan SRI dari 49 mg/100g menjadi 56 mg/100g. Sedangkan pada sistem pertanian konvensional (Petani) dan Semi organik kandungan P meningkat kembali pada pengamatan 25 HST masing-masing menjadi 55 mg/100g dan selanjutnya menurun kemblai pada pengaatan 45 HST masing-masing menjadi 51 dann 54 mg/100g. Tidak demiakan halnya dengan perlakuan Kontrol, kandungan P terekstrak HCl 25% terus menurun sampai dengan pengamatan 45 HST dari 61 mg/100g sebelum tanaman menjadi 55 mg/100g pada pengamatan 45 HST. Penurunan tersebut sangat logis karena tidak ada pemberian P sehingga P yang tersedia dalam tanah akan akan terambil oleh tanaman.

Data kadar P tersedia terekstrak Bray 1 disajikan pada Gambar 3. Hasil analisis menunjukkan bahwa kadar P tersedia polanya brervariasi, secara umum kandungan tersedia menurun pada 7 HST dibandingkan sebelum tanam, selanjutnya meningkat kembali pada 25 HST, peningkatan tertinggi terjadi pada sistem pertanian SRI dari 3,77 ppm menjadi 7,74 ppm, sedangkan pada PTT peningkatannya relatif lebih rendah yaitu dari 4,95 ppm menjadi 5,75 ppm. Pada pengamatan 45 HST, kandungan P tersedia

(27)

0 10 20 30 40 50 60 70 0 7 25 45 Waktu pengamatan (HST) t e rekst rak HC l 25% ( m e/ 100g)

Kontrol Petani PTT SRI Semi Org

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 0 7 25 45 Waktu pengamatan (HST) P - te re ks trak B ra y 1 (p p m )

Kontrol Petani PTT SRI Semi Org

0 5 10 15 20 25 30 0 7 25 45 Waktu pengamatan (HST) t e re kst ra k HCl 2 5 % ( m e/ 1 0 0 g )

Kontrol Petani PTT SRI Semi Org

0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 0 7 25 45 Waktu pengamatan (HST) K -dd ( m e/ 1 00g)

Kontrol Petani PTT SRI Semi Org

cenderung meningkat kembali, kecuali pada sistem pertanian SRI terjadi penurunan yang cukup signifikan dari 7,74 ppm menjadi 4,20 ppm, sedangak pada PTT penurunanya relatif lebih kecil dibandingkan dengan SRI yaitu dari 5,75 mg/100g menjadi 4,40 ppm pada pengamatan 45 HST.

Gambar 3. Kadar P teresktrak HCl 25% dan Bray 1 tanah pada pengamatan sebelum dan setelah pemupukan umur 7, 25 dan 45 HST

5.3.4. Dinamika hara K

Kadar P-tereksatrak HCl 25% dan K-dd tanah tereksatrak NH4OAc. 1 N pH 7 sebelum

tanam mmasing-masing disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4. Kadar K teresktrak HCl 25% dan K-dd terekstrak NH4OAc, 1 N pH 7 tanah

sebelum dan setelah pemupukan berumur 7, 25 dan 45 HST

Pada hari ke 7 kandungan K terekstrak HCl 25% terjadi peningkatan pada semua sistem pertanian tanpa terkecuali Kontrol. Kemudian pada 25 HST terjadi peningkatan pada sistem pertanian PTT mencapai 23 mg/100g, dan SRI serta Semi organik masing-masing 24 mg/100g. Sistem konvensional (Petani) relatif melandai, sedangkan Kotrol terjadi penurunan yang cukup signifikan menjadi 17 mg/100g. Selanjutnya pada pengamatan hari ke 45 HST kandungan K terekstrak HCl 25% mengalami penurun pada semua sistem

(28)

0.00 2.00 4.00 6.00 8.00 10.00 12.00 0 7 25 45 Waktu pengamatan (HST) C a -d d (m e/10 0g )

Kontrol Petani PTT SRI Semi Org

0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 0 7 25 45 Waktu pengamatan (HST) M g -dd (m e/100g)

Kontrol Petani PTT SRI Semi Org

pertanian terutama cukup besar pada sistem konvensional dari 21 menjadi 16 mg/100g hampir mendekati Kontrol 15 mg/100g, kecuali pada sistem pertanian SRI penurunannaya relatif sangat kecil sekali dari 24 mg/100g menjadi 23 mg/100g dan semi organik dari 24 mg/100g menjadi 21 mg/100g.

Demikian pula dengan K-dd, pada pengamatan 7 HST terjadi peningkatan pada hampir semua sistem pertanian tertinggi pada sistem pertnian Semi organik mencapai 0,79 me/100g dan terendah pada perlakuan Kontrol hanya 0,46 me/100g. Kemudian pada pengamatan 25 HST kandungan K-dd menurun sampai dengan pengamatan 45 HST, penurunan terendah terjadi pada sistem konvesional menjadi 0,36 me/100g, kecuali pada sistem pertanain SRI terjadi peningkatan kembali kadar K-dd dari 0,56 pada 25 HST menjadi 0,71 ppm pada 45 HST. Sedangkan pada Kontrol penurunan K-dd relatif sangat kecil sekali yaitu bebesar 1 me/100g dari 44 me/100g menjadi 43 me/100g.

5.3.5. Dinamikan hara Ca dan Mg

Dianmika hara Ca dan Md dalam tanah pada pengamatan 7, 25 dan 45 HST disajikan pada Gambar 5. Hasil analsisi menunjukan bahwa kandungan Ca-dd terjadi penurunan pada pengamatan 7 HST terendah terutama pada sistem pertanian Semi organi dari 10,27 me/100 g menjadi8,34 me/100g dan penurunan terendah terjadi pada perlakuan Kontrol dari 10,19 m e/100g menjadi 9,08 me/100g. Sedangkan pada 25 HST kadar Ca-dd tanah sistem konvesional, PPT dan semi organik relatif konstan, keculai padaperlakuan Kotrol relatif sedikit menurun. Selanjutnya pada pengamatan 45 HST kandungan Ca-dd tanah pada semua sistem pertanian menurun, penurunan tertinggi terjadi pada sistem pertanian Konvensional yaitu dari 9,14 me/100g menjadi 7,09 me/100g dan PTT dari 9,26 m3/100g menjadi 7,22 me/100g, sedangkan penurunan terndah terjadi pada sistem pertanian SRI yaitu dari 8,59 me/100g menjadi 7,30 me/100g.

Gambar 5. Kadar Ca-dd dan Mg-dd teresktrak NH4OAc, 1 N pH 7 tanah sebelum dan

(29)

0 50 100 150 200 250 0 7 25 45 Waktu pengamatan (HST) F e tere ks tr a k D T P A (p p m )

Kontrol Petani PTT SRI Semi Org

0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 0 7 25 45 Waktu pengamatan (HST) M n te rekstr ak DTPA (p pm )

Kontrol Petani PTT SRI Semi Org

Kandungan Mg-dd dalam tanah berfluktuasi, hasil analisis menunjukkan bahwa pada 7 HST kandungan Mg-dd dalam tanah mengalami penurunan pada semua sistem pertanian terendah pada sistem pertanain Semi organik dan tertinggi pada PTT, selanjutnya pada 25 HST kandungan Mg-dd meningkat kebali. Peningkatkan tertinggi terjadi pada Semi organik dan terendah pada perlakuan Kontrol. Kemudian pada pengamatan 45 HST kandungan Mg-dd tanah menurun dimana penurunan tertinggi terjadi pada PTT yaitu dari 3,76 me/100g menjadi 2,74 me/100g dan Semi organik dari 3,95 me/100g menjadi 2,82 me/100g; selanjutnya penurunan terendah diikuti oleh perlkauan Kontrol dari 3,50 me/100g menjadi 2,90 me/100g.

5.3.6. Dinamikan Hara mikro Fe, Mn, Cu dan Zn

Kandungan hara Fe dan Mn dalam tanah pada pengamatan sebelum tanam, 7, 25 dan 45 HST disajikan pada Gambar 6. Hasil analisis menunjukan kandungan Fe dan Mn dalam tanah memiliki pola yang relatif sama pada semua sistem pertanian dan Kontrol. Kandungan Fe tanah terjadi penurunan pada 7 HST kemudian cenderung meningkat pada pengamatan 25 HST. Kemudian pada pengamatan 45 HST kadar Fe dalam tanah mengalami penigkatan kembali realtif mendekati semula. Penurunan Fe relatif lebih tinggi terjadi pada sistem Konvensional dan Semi organik masing-masing menjadi 180 ppm, sedangkan pada sistem SRI kandungan Fe cenderung meningkat dari 189 ppm sebelum tanaman menjadi 201 ppm.

Gambar 6. Kandungan Fe dan Mn tersktrak DTPA pada pengamatan sebelum dan setelah pemupukan umur 7, 25 dan 45 HST

Kandungan hara Mn dalam tanah menujukan pola yang relatif sama pada semua sistem pertanian, penurunan secara tajam terjadi pada pengamatan 7 HST dan terus menurun sampai pada pengamatan 25 HST, kecuali pada sistem pertanian PTT kandungan Mn

(30)

0 1 2 3 4 5 6 7 0 7 25 45 Waktu pengamatan (HST) Cu t e rekst rak D T PA (p pm )

Kontrol Petani PTT SRI Semi Org

0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 0 7 25 45 Waktu pengamatan (HST) Z n te re k s tra k D T P A (p p m )

Kontrol Petani PTT SRI Semi Org

dalam tanah realtif konstan. Selanjutnya pada pengamatann 45 HST kandungan Mn meningkat pada semua sistem pertanian Peningkatan teringgi terjadi pada sistem pertanian Semi organik dari 37 ppm pada 25 HST menjadi 130 ppm pada 45 HST kemudian diikuti perlakuan Kontrol dari 34 ppm menjadi 128 ppm.

Gambar 7. Kandungan Cu dan Zn tersktrak DTPA pada pengamatan sebelum dan setelah pemupukan umur 7, 25 dan 45 HST

Dinamika hara Cu dalam tanah secara umum menujukkan pola yang sama dengan Zn, Secara umum kandungan Cu dan Zn dalam tanah cenderung meningkat pada pengamatan 7 HST selanjutnya menurun pada pengamatan 25 HST dan selanjutnya meningkat kembali pada pengamatan 45 HST. Kecuali pada sistem pertnian PTT dan SRI kandungan hara Cu cenderung terus menurun masing-masing mencapai 3,28 ppm pada pengamatan 45 HST. Kandungan Cu dlam tanah pada pengamatan 45 HST tertinggi pada perlakuan kontrol dan Semi organik masing-masing mencapai 4,15 ppm dan 4,09 ppm. Sedangkan kandungan Zn tertinggi pada pengamatan 45 HST diperoleh pada sperlakuan Kontrol diikuti SRI dan PTT masing-masing 2,83 ppm, 2,52 ppm dan 2,50 ppm.

5.4. Populasi Aktinomisetes, Fungi, Nitrobacter dan Nitrosomonas

Hasil penghitungan populasi kelompok aktinomisetes pada tanah dengan 5 perlakuan budidaya padi sawah menunjukan bahwa perlakuan PTT memiliki rata-rata populasi aktinomisetes yang tertinggi dibanding perlakuan yang lain yaitu 1,36.105 cfu/g tanah pada

pengamatan sebelum tanam, kemudian meningkat menjadi 2,0.105 cfu/g tanah pada

pengamatan 7 HST. Perlakuan konvensional dan SRI menunjukan populasi aktinomisetes yang meningkat berturut-turut yaitu N0 3.104 dan 4,3.104 cfu/g tanah pada pengamatan

sebelum tanam menjadi 1,3.105 dan 1,6.105 cfu/g tanah pada pengamatan 7 HST.

(31)

Fungi 0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 0 7 Waktu pengamatan (HST) Po pul as i ( *10 4 cf u/ g t a na h

) Kontrol Petani PTT SRI Semi org Aktinomiset 0 5 10 15 20 25 0 7 Waktu pengamatan (HST) P opu lasi ( *10 4 cf u /g ta n a h )

Kontrol Petani PTT SRI Semi org

peningkatan pada pengamatan 7 HST. Sedangkan pada control populasi aktinomisetes pada pengamatan 7 HST mengalami penuruan dari 6.104 cfu/g tanah menjadi 3.104 cfu/g

tanah. Sebagian besar aktinomisetes yang ditemukan adalah dari genus Streptomyces sp. Sebagian besar genus ini mampu menghasilkan fitohormon dan senyawa antipatogen sehingga mampu menekan pathogen tular tanah seperti Rhizoctonia sp, Schlerotium sp dan Fusarium sp. Streptomyces sp berpotensi untuk dimnafaatkan sebagai agen hayati pengendali penyakit (Sahara and Nehran, 2011). Aktinomiset dari genus Micromonospora sp, Streptomyces sp and Nocardiodes sp (Abdulla &El-Shatoury, 2006) berpotensi sebagai perombak bahan organik seperti jerami padi.

Tabel 3. Rata-rata populasi mikroorganisme Aktinomiset, Fungi, Nitrobacter dan Nitrosomonas sebelum dan setelah pemupukan N ke satu

Perlakuan

Rata-rata populasi (*104 cfu/gram tanah)

Aktinomiset Fungi Nitrobacter Nitrosomonas

N0 N1 N0 N1 N0 N1 N0 N1 Kontrol 6 3 26 13 70,6 370 56,3 446 Konvensional 3 13 28,6 43 123,3 643 145,3 570 PTT 13,6 20 153,3 133 275 1743 403,6 1.906 SRI 4,3 16 9 26 340 483 186,6 640 Semi organik 10 10 9,3 30 344,3 1456 82,3 513

Gambar 8. Rata-rata populasi Aktinomisetes dan Fungi dalam tanah pada berbagai sistem pertanian pada pengamatan 0 dan 7 HST

Populasi fungi tertinggi terdapat pada perlakuan PTT baik pengamatan 7 HST maupun 7 HST yaitu 1,53,3.106 dan 1,33. 106 cfu/g tanah, sedangkan terendah pada SRI yaitu

9,0.104 dan 2,6.105 cfu/g tanah. Secara jumlah, perlakuan PTT dan Kontrol mengalami

penurunan populasi pada pengamatan 7 HST, untuk PTT meskipun mengalami penurunan tetapi jumlahnya tetap tertinggi dibanding perlakuan yang lainnya. Fungi tanah

(32)

Nitrobacter 0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800 2000 0 7 Waktu pengamatan (HST) P o p u la s i (* 1 0 4 c fu/ g t a na h )

Kontrol Petani PTT SRI Semi org

Nitrosomonas 0 500 1000 1500 2000 2500 0 7 Waktu pengamatan (HST) P o p u la si ( *10 4 c fu/ g t a nah)

Kontrol Petani PTT SRI Semi org

berfungsi antara lain sebagai perombak bahan organic, penghasil fitohormon dan agen hayati pengendali penyakit. Fungi yang dijumpai antara lain Trichoderma sp dan Penicilium sp. Fungi tanah juga mempunyai peran untuk meningkatkan ketahanan tanaman terhadap serangan hama dan penyakit serta kekeringan dan penguat agregat tanah (Jenskin, 2005). Fungi juga menghasilkan senyawa hidrofobik yang mempengaruhi sifat-sifat infiltrasi air tanah (Ritz and Young, 2004).

Hasil penghitungan populasi Nitrosomas dan Nitrobacter pada semua perlakuan menunjukan peningkatan populasi pada saat pengamatan 7 HST dengan populasi tertinggi pada perlakuan PTT. Kedua bakteri tersebut berperan dalam proses nitrifikasi di dalam tanah.

Gambar 9. Rata-rata populasi Nitrobacter dan Nitrosomonas dalam tanah pada berbagai sistem pertanian pada pengamatan 0 dan 7 HST

Pada pengamatan 7 HST, jumlah populasi Nitrobacter tertinggi sampai terendah berturut-turut adalah perlakuan Semi organik 3,443.106 cfu/g tanah, SRI 3,40.106 cfu/g tanah, PTT

2,75.106 cfu/g tanah, Konvensional 1,233.106 cfu/g tanah dan Kontrol 7,06.105 cfu/g

tanah. Sedangkan pada N1 jumlah populasi Nitrobacter dari yang tertinggi sampai terendah adalah PTT 1,743.107 cfu/g tanah, Semi organik 1,456.107 cfu/g tanah,

Konvensional 6,43.106 cfu/g tanah, SRI 4,83.106 cfu/g tanah dan Kontrol 3,70.106 cfu/g

tanah. Populasi Nitrosomonas tertinggi pada N1 adalah perlakuan PTT yaitu 1,906.107

cfu/g tanah. Meskipun peningkatan pemenuhan kebutuhan nitrogen tanaman melalui aplikasi pupuk anorganik seperti urea, penambatan nitrogen secara biologi, proses reduksi nitrogen atmosfer menjadi ammonia oleh mikroba hampir merupakan hal yang sangat penting dalam pemeliharaan status kesuburan tanah (Postgate, 1982). Nitrosomonas mengoksidasi ammonia menjadi nitrit dan Nitrobacter mengoksidasi nitrit menjadi nitrat.

(33)

5.5. Pertumbuhan Tanaman

Tinggi tanaman

Data pertumbuhan tinggi tanaman padi umur 21- 75 HST sebagai respon terhadap pemberian pupuk organik dan anorganik pada berbagai sistem pertanian Konvensional, PTT, SRI dan Semi organik disajikan pada Tabel 4. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa sampaiumur 60 hari setelah tanam (HST) perlakuan berbagai sistem pertanian tidak berbeda nyata terhadap tinggi tanaman padi,akan tetapi berbeda nyata dibandingkan dengan kontrol. Kecuali pada umur 60 HST sistem pertanian SRI secara nyata menghasilkan pertumbuhan yang lebih rendah dibandingkan sistem konvensional (Petani), PTT dan Semi organik tetapi tidak berbeda nyata dibandingkan dengan kontrol. Sedangkan pada umur 75 HST, Sistem pertanian PTT secaranyata menghasilkan pertumbuhan lebih tinggi dibandingkan dengan Petani, sistem pertanian SRI dan kontrol akan tetapi tidak berbeda nyata dibandingkan dengan sistem pertanian Semi organik. Secara kuantitatif sistem pertanian PTT menghasilkan pertumbuhan lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainya yaitu mencapai 94,22 cm selanjutnya diikuti oleh sistem pertanian Semi organik (94,16 cm) dan sistem konvensional (Petani) yaitu 88,88 cm.

Tabel. 4. Pertumbuhan tinggi tanaman dan jumlah anakan padi umur 21- 75 HST pada berbagai sistem pertanian di Cianjur

No Perlakuan Tinggi tanaman (cm)

21 HST 30 HST 45 HST 60 HST 75 HST 1 Kontrol 27,00 a 33,40 b 45,44 b 68,04 b 82,16 c 2 Petani 29,92 a 36,28 a 53,16 a 75,34 a 88,88 b 3 PTT 28,96 a 34,96 ab 56,20 a 77,12 a 94,22 a 4 SRI 28,92 a 34,32 ab 54,14 a 67,28 b 86,92 bc 5 Semi Organik 28,36 a 34,44 ab 54,08 a 74,36 a 94,16 a Dengan demikian dapat dinyatkanan bahwa sistem pertanian PTT yang mengkombinasikan pupuk anorganik dengan jerami yang dikomposkan 5 t/ha memberikan respon yang sama terhadap tinggi tanaman dibandingkan dengan sistem pertanian Semi organik umur 75 HST. Tetapi secara nayat menghasilkan pertumbuhan tanaman nyata lebih tinggi dibandingkan dengan SRI.

(34)

Gambar 10. Keragaan pertumbuhan tanamam padi varitas Impari 13 umur 65 HST pada berbagai sistem pertanian pada lokasi penelitian di Cianjur, Jawa Barat

Jumlah anakan

Data jumlah anakan tanaman padi umur 21 – 75 HST sebagai respon pemebrian pupuk organik dan organik padaberbagai sistem pertanian konvensional, PTT, SRI dan Semi organik disajikan pada Tabel 5. Hasil uji statistik menunjukkan sampai umur 45 HST pengaruh pengelolaan hara pada berbagai sistem pertanian tidak berbeda nyata terhadap jumlah anakan, kecuali pada umur 30 HST sistem pertanian organik secara nyata menghasilkan jumlah anakan yang lebih rendah dibandingkan dengan Petani. Sedangkan pada umur 60 HST sistem pertanian SRI secara nyata menghasilkan jumlah anakan yang lebih tinggi dibandingkan dengan sistem pertanian konvensional (Petani) tetapi tidakberbeda nyata dibandingan dengan sistem pertanian Semi organik. Secara kunatitatif sistem pertanian SRI menghasilkan jumlah anakan yang lebih banyak (19,4 rumpun) dibandingkan dengan sistem pertanian lainnya. Kemudian pada umur 75 HST, sistem pertanian PTT tidak berbeda nyata dibandingkan dengan sistem konvensional, dan SRI tetapi berbeda nyata menghasilkan jumlah anakan yang lebih sedikit dibandingkan dengan sistem pertanian semi organik dan secara kuantitatif sistem pertanian Semi

(35)

organik menghasilkan jumlah anakan terbanyak mencapai 19,6 rumpun selanjutnya diidkuti oleh SRI dan PTT. Dengan demikian pada lokasi di Cianjur, pemberian bahan organik (pupuk kompos jerami dan pupuk kandang) yang dikombinasikan dengan pupuk organik menghasilkan jumlah anakan relatif lebih banyak.

Tabel. 5. Jumlah anakan padi umur 21- 75 HST pada berbagai sistem pertanian di Cianjur

No Perlakuan Jumlah anakan (rumpun)

21 HST 30 HST 45 HST 60 HST 75 HST 1 Kontrol 4,8 a 7,0 c 10,0 b 14,0 c 12,2 d 2 Petani 5,4 a 9,2 a 16,6 a 18,0 b 17,0 c 3 PTT 5,4 a 8,8 ab 16,6a 18,2 b 18,0 bc 4 SRI 4,4 a 9,0 ab 18,2 a 19,4 a 18,6 ab 5 Semi Organik 5,0 a 7,8 bc 16,8 a 18,6 ab 19,6 a

(36)

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

1. Penggunaan pupuk organik dalam sistem pertanian SRI dan Semi organik dapat meningkatkan C-organik, P dan K-potenisal, P-tersedia dan K dapat ditukar serta unsur hara mikro Fe, Mn, Cu dan Zn tanah sawah pada pengamatan 45 hari setelah tanam.

2. Pemberian bahan organik yang dikombinasikan dengan pupuk anorganik dalam sistem pertanian PTT dapat meningkatkan populasi Aktinomisetes, Fungi dan Nitrobacter, yang lebih tinggi dibandingkan sistem pertanian lainya. Sedangkan populasi nitrosomonas tertinggi diperoleh pada sistem pertanian PTT dan Semi organik.

3. Pengelolaan hara dengan cara pemberian pupuk organik tinggi pada sistem pertanian SRI setara dengan sistem pertanian PTT pada Inceptisol Cianjur yang ditunjukkan oleh jumlah anakan yang tidak berbeda nyata pada umur 75 hari setelah tanam. .

6.2. Saran

Pengembangan sistem pertanian SRI dengan menggunakan bahan organik dosis tinggi sebaiknya diarahkan pada areal lahan sawah dengan tingkat kesuburan tinggi dengan bahan induk volkan. Atau mengembangkan sistem pertanian yang mengkombinasikan pupuk anorganik dan organik secara berimbang sesuai dengan status hara tanah.

(37)

DAFTAR PUSTAKA

__________ . 2009. Indonesia siap ekspor satu juta ton beras. Antara, 7 Januari 2009. BPTP Jawa Barat. 2004. Petunjuk teknis pengelolaan tanaman dan sumberdaya terpadu

(PTT) padi. Badan Litbang Pertanian. Deptan.

Fisher, K. 1998. IRRI’s assessment of the System of Rice Intensification (SRI) in Madagaskar. Paper. International Rice Research Institute. Los Banos. Philippine. Las, I., A.K. Makarim, H.M. Toha, dan A. Gani. 2002. Panduan teknis pengelolaan

tanaman dan sumber daya terpadu padi sawah irigasi. Badan Litbang Pertanian. Makarim, A.K., P. Setyanto, and A.M. Fagi. 1996. Suppressing methane emission from

rainfed lowland rice field at Jakenan, Central Java. Proceedings of the International Symposium on Maximizing Sustainable Rice Yields through Improved Soil and Environmental Management.

Makarim, A.K, S. Abdurachman, dan S. Purba. 2000. Efisiensi input tanaman pangan melalui prescription farming. Dalam: A.K. Makarim dkk. (Eds). Tonggak Kemajuan Penelitian Tanaman Pangan. Konsep dan strategi Peningkatan Produksi Pangan. Puslitbang Tanaman Pangan, Bogor.

Makarim, A.K., dan Suhartatik, E. 2006. Budi daya padi dengan masukan in situ menuju perpadian masa depan. Iptek Tanaman Pangan, No. 1.

Nguyen Van Bo, E. Muter, Bui huy Hien. 2002. Balanced fertilization for better crops in Vietnam. Prosiding Lokakarya Pemupukan Berimbang. Lembaga Pupuk Indonesia. Jakarta, 25 Juni 2002.

Portch, S., and Ji-yun Jin. 2002. Balanced Fertilizer use in China. Prosiding Lokakarya Pemupukan Berimbang. Lembaga Pupuk Indonesia. Jakarta, 25 Juni 2002.

Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. 2006. Tanya jawab PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu). Pers. Comm.

Rajesh, V., and K. Thananuthan. 2003. Effect of seeding age, number and spacing on yield and nutrient uptake of tradisional kambanchamba rice. Madras Agric. J. 90:47-49.

Roy, R.N., A. Finck, G.J. Blair, H.L.S. Tandon. 2006. Plant Nutrition for Food Security: A guide for integrated nutrient management. FAO-Fertilizer and Plant Nutriton Bulletin. Rome.

Sumarno, I.G. Ismail, dan S. Partohardjono. 2000. CONSEP usahatani ramah lingkungan. Dalam: Makarim dkk. (Eds). Prosiding Simposium Penelitian Tanaman Pangan IV. Tonggak Kemajuan Teknologi Produksi Tanaman Pangan. Konsep dan Strategis Peningkatan Produksi Pangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor.

Sumardi, Kasli, M. Kasim, A. Syarif, dan N. Akhir. 2007. Jurnal Akta Agrosia. 10 (1): 65-71.

Syam, M. 2006. Kontroversi System of Rice Intensification (SRI) di Indonesia. Iptek Tanaman Pangan. No. 1.

Uphoff, N. 2008. The System of Rice Intensification (SRI): Making land, labour, water and capital more productive for meeting food needs. One day seminar on SRI. Fak. Pertanian, IPB. Bogor.

Gambar

Tabel 2.  Hasil  analisis  tanah Inceptisol Serang, Banten dan Cianjur, Jawa barat sebelum   penelitian  dilaksanakan
Gambar 1.  Kadar  NH 4  dan NO 3  tanah sebelum tanam pada pengamatan sebelum dan  setelah pemupukan umur 7, 25 dan 45 hari setelah tanaman (HST)
Gambar 2.  Kadar N-total dan C-organik tanah sebelum tanam pada pengamatan sebelum  dan setelah pemupukan umur 7, 25 dan 45 hari setelah tanaman (HST)   Kandungan N-total tanah terjadi peningkatan pada umur 7 HST selanjutnya terjadi  perubahan yang bervari
Gambar 3. Kadar P teresktrak HCl 25% dan Bray 1 tanah pada pengamatan sebelum dan  setelah pemupukan umur 7, 25 dan 45 HST
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan perumusan masalah yang telah dijelaskan sebelumnya, maka tujuan penelitian ini adalah menghasilkan suatu usulan metode order management untuk mengalokasikan

NaOH dalam air akan terionisasi menjadi ion Na + dan OH - dimana Na + berperan sebagai sumber mineral dan ion OH- ini berperan proses dealuminasi dan pemutus rantai

Integrasi yang mendukung pemahaman teori evolusi pada mahasiswa Pendidikan Biologi melalui mata kuliah Biologi Umum, Filsafat Ilmu, hingga Evolusi dapat menyebabkan tingkat

Program kegiatan yang telah diselenggarakan oleh mahasiswa KKN Alternatif Divisi II.A.3 di Dusun Karanglo Sokowaten telah berhasil menarik masyarakat untuk aktif

Hubungan yang erat antara HMW adiponektin dengan timbulnya morbiditas obesitas, seperti sindrom metabolik, diabetes melitus tipe 2, dan penyakit jantung koroner di kemudian

Selama 4 tahun mengabdi pada sebuah bank yang beroperasional secara syariah, penulis banyak menemukan kesalahan pemahaman di kalangan banyak orang yang menganggap bahwa bagi

Suatu kantor hukum merupakan suatu bentuk permitraan yang digunakan dalam bidang komersial, dimana dalam hal ini adalah suatu usaha pelayanan/jasa yang didirikan

Berdasarkan hasil penelitian di RS Mayapada Tangerang, didapat 80 (60,2%) orangtua yang memiliki peran positif dalam menurunkan stressor hospitalisasi anak. Menurut