• Tidak ada hasil yang ditemukan

Erotisme dalam Lirik Lagu Dangdut Indonesia (Analisis Semiotika terhadap Lirik Lagu “Cinta Satu Malam”, “Mojok di Malam Jumat”, dan “Aw Aw” oleh Melinda)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Erotisme dalam Lirik Lagu Dangdut Indonesia (Analisis Semiotika terhadap Lirik Lagu “Cinta Satu Malam”, “Mojok di Malam Jumat”, dan “Aw Aw” oleh Melinda)"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

II. 1. Paradigma Kajian

Paradigma adalah cara melihat dunia, atau “cara berpikir secara umum yang dimiliki bersama dalam komunitas ilmuwan”. Paradigma mempengaruhi nilai, tujuan, dan gaya penelitian ilmuwan, dan tradisi tersebut mempengaruhi kerja para peneliti. Paradigma yang akan mendasari teori- teori yang kita baca dan gunakan. Paradigma menawarkan cara pandang umum mengenai komunikasi antarmanusia; sementara teori merupakan penjelasan yang lebih spesifik terhadap aspek tertentu dari perilaku komunikasi (West & Turner, 2008: 54).

Paradigma adalah cara pandang seseorang terhadap diri dan lingkungannya yang akan mempengaruhinya dalam berpikir (kognitif), bersikap

(afektif), dan bertingkah laku (konatif). Karenanya, paradigma sangat menentukan bagaimana seorang ahli memandang komunikasi yang menjadi objek ilmunya (Vardiansyah, 2008: 27). Sebuah paradigma sangat dibutuhkan dalam melakukan sebuah penelitian, dimana paradigma tersebut diibaratkan sebagai wadah dalam menganalisis berbagai fenomena komunikasi. Sebelum melakukan penelitian komunikasi, peneliti harus tahu dengan tepat perspektif mana yang digunakan dalam penelitian.

(2)

pemikiran- pemikiran yang berorientasi paradigmatik mengandung konsekuensi terhadap objektivitas, sistematika, dan juga metodologi dari suatu disiplin ilmu.

II. 1. 1. Paradigma Konstruktivisme

Paradigma ini berpendapat bahwa alam semesta, secara epistemologis adalah sebagai hasil konstruksi sosial. Di samping itu, paham ini hampir merupakan antitesis dari paham yang meletakkan pengamatan dan objektivitas dalam menemukan suatu realitas atau pengetahuan (Anwar & Adang, 2008: 59).

Konstruktivisme menegaskan bahwa pengetahuan tidak lepas dari subjek yang sedang belajar mengerti. Konstruktivisme merupakan salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi (bentukan) kita sendiri. Para konstruktivis percaya bahwa pengetahuan itu ada dalam diri seseorang yang sedang mengetahui. Pada proses komunikasi, pesan

tidak dapat dipindahkan begitu saja dari otak seseorang ke kepala orang lain. Penerima pesan sendirilah yang harus mengartikan apa yang telah diajarkan dengan menyesuaikan terhadap pengalaman mereka. Konsep penting perspektif ini adalah bahwa pengetahuan bukanlah tertentu dan deterministik, tetapi suatu proses menjadi tahu (Ardianto, 2020: 154). Proses konstruktivisme harus mempunyai kemampuan mengingat dan mengungkap kembali pengalaman; kemampuan membandingkan; mengambil keputusan mengenai persamaan dan perbedaan; dan kemampuan untuk lebih menyukai pengalaman yang satu daripada yang lain (Anwar & Adang, 2008: 60) .

Teori konstruktivisme menyatakan bahwa individu menginterpretasikan dan beraksi menurut kategori konseptual dari pikiran. Realitas tidak menggambarkan diri individu namun harus disaring melalui cara pandang orang terhadap realitas tersebut (Ardianto, 2010: 158).

Dalam penjelasan ontologi paradigma konstruktivis, realitas merupakan konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu. Namun demikian kebenaran suatu realitas sosial bersifat nisbi, yang berlaku sesuai konteks spesifik yang dinilai relevan oleh pelaku sosial (Bungin, 2008: 187).

(3)

sebagai suatu kriteria kebenaran. Bagi konstruktivisme radikal, pengetahuan tidak merefleksikan suatu kenyataan ontologis subjektif tetapi merupakan suatu pengaturan dan organisasi dari suatu dunia yang dibentuk oleh pengalaman seseorang.

2. Realisme hipotesis, yaitu suatu aliran yang menyatakan bahwa pengetahuan (ilmiah) kita pandang sebagai suatu hipotesis dari struktur kenyataan dan berkembang menuju suatu pengetahuan yang sejati, yang dekat dengan realitas. 3. Konstruktivisme yang biasa, yaitu filsafat yang menyatakan pengetahuan kita merupakan suatu gambaran dari relaitas itu, pengethuan kita dipandang sebagai suatu gambaran yang dibentuk dari kenyataan suatu objek dari dalam dirinya sendiri.

Terdapat kesamaan dari ketiga macam konstruktivisme di atas. Hal tersebut terjadi karena terdapat relasi sosial antara individu dengan lingkungan

atau orang sekitarnya. Kemudian individu membangun sendiri pengetahuannya atas realitas yang dilihatnya tersebut (Anwar & Adang, 2008: 60).

II. 2. Uraian Teoritis II. 2. 1. Komunikasi Massa

Komunikasi (communication) adalah proses sosial di mana individu- individu yang menggunakan simbol- simbol untuk menciptakan dan menginterpretasikan makna dalam lingkungan mereka, yang mencakup komunikasi tatap muka maupun komunikasi dengan menggunakan media (West & Turner, 2008: 5). Pada abad ini disebut dengan abad komunikasi massa. Komunikasi telah mencapai suatu tingkat di mana orang mampu berbicara dengan jutaan manusia secara bersamaan.

(4)

bahkan tidak pernah bertemu dan berhubungan secara personal. Karena sifat komunikasi massa yang melibatkan banyak orang, maka proses komunikasinya sangat kompleks dan rumit.

Komunikasi massa adalah komunikasi yang berlangsung pada tingkat masyarakat luas. Pada tingkat ini komunikasi dilakukan dengan menggunakan media massa (Bungin, 2008: 33). Media massa melakukan penyebaran informasi secara massal dan dapat juga diakses oleh masyarakat secara massal. Media komunikasi yang termasuk media massa adalah radio siaran dan televisi, dikenal sebagai media elektronik; surat kabar dan majalah, disebut sebagai media cetak; serta media film. Dengan demikian komunikan dapat dengan leluasa memilih bentuk pesan dan melalui media apa pesan tersebut akan disampaikan.

Dilihat dari defenisinya yaitu komunikasi massa adalah pesan yang dikomunikasikan melalui media massa pada sejumlah besar orang (Ardianto &

Komala, 2004: 3). Jadi, walaupun komunikasi massa itu disampaikan kepada khalayak yang banyak, seperti rapat akbar yang dihadiri oleh ribuan orang, jika tidak menggunakan media massa, maka tidak disebut komunikasi massa. Oleh karenanya, konteks komunikasi massa mencakup baik saluran maupun khalayak.

Sedangkan dari karakteristiknya, terdapat delapan karakter komunikasi massa, yaitu:

a. Komunikator terlembagakan, dimana komunikasi massa melibatkan lembaga dan komunikatornya bergerak dalam organisasi yang kompleks.

b. Pesan bersifat umum, yaitu komunikasi yang ditujukan untuk semua orang dan tidak ditunjukkan untuk sekelompok orang tertentu, sehingga menghasilkan pesan yang bersifat umum, berupa fakta, peristiwa, atau opini.

c. Komunikan anonim atau heterogen, dimana dalam komunikasi massa komunikator tidak mengenal komunikannya (anonim). Pesan disampaikan melalui media massa dan tidak tatap muka. Komunikasinya bersifat heterogen, yang terdiri dari berbagai lapisan masyarakat dan dapat dikelompokkan berdasarkan faktor: usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, latar belakang budaya, agama, dan tingkat ekonomi.

(5)

relatif banyak dan tidak terbatas. Keserempakan media massa yakni keserempakan kontak antara komunikator dengan sejumlah besar penduduk dalam jarak yang jauh, dan penduduk tersebut berada dalam keadaan terpisah antara satu dengan yang lainnya.

e. Komunikasi mengutamakan isi dibandingkan hubungan. Pesan yang disampaikan sedemikian rupa berdasarkan sistem tertentu dan disesuaikan berdasarkan karakteristik media massa yang akan digunakan.

f. Komunikasi massa bersifat satu arah, yaitu komunikasi massa dilakukan tanpa kontak langsung antara komunikator dengan komunikan. Komunikasi terjadi melalui media massa, di mana komunikator aktif menyampaikan pesan dan komunikan aktif menerima pesan. Namun keduanya tidak dapat melakukan

feed back dalam proses komunikasinya, sehingga dikatan bersifat satu arah. g. Stimulasi alat indra “terbatas”, yaitu penyampaian pesan dalam komunikasi

massa bersifat terbatas atau sesuai dengan media massa yang dugunakan komunikan, seperti media cetak, radio, televisi, atau film yang masing- masing memiliki stimulasi indra manusia yang sifatnya terbatas.

h. Umpan balik tertunda (delayed), yaitu penyampaian pesan dalam komunikasi massa yang dilakukan melalui media massa tidak mampu menjalankan fungsi umpan balik, karena sifatnya yang satu arah (Ardianto & Komala, 2004: 7).

Komunikasi massa berbeda dengan komunikasi lainnya, seperti komunikasi antarpersona dan komunikasi kelompok. Perbedaan itu meliputi komponen- komponen yang terlibat di dalamnya dan juga proses berlangsungnya komunikasi tersebut.

Sedangkan dari segi fungsi terlihat ada kesamaan baik secara umum maupun khusus. Fungsi komunikasi massa secara umum yaitu:

a. Fungsi Informasi

Media massa merupakan penyebar informasi bagi pembaca, pendengar atau pemirsa. Berbagai informasi disajikan bagi khalayak sesuai dengan kebutuhannya, di mana informasi tersebut mencakup segala sesuatu yang terjadi disekitarnya.

b. Fungsi Pendidikan

(6)

norma, etika serta aturan-aturan yang berlaku dalam kehidupan khalayak. c. Fungsi Mempengaruhi

Media massa mampu mempengaruhi khalayak sesuai dengan apa yang diinginkan media. Secara implisit terdapat dalam tajuk/ editorial, features, iklan, artikel, dan sebagainya.

d. Fungsi Proses Pengembangan Mental

Media massa mampu menambah wawasan serta mengembangkan intelektualitas khalayak. Berbagai pemberitaan mengenai peristiwa yang disampaikan media juga akan semakin menambah pengalaman dan ketergantungan khalayak dalam pengembangan mentalnya.

e. Fungsi Adaptasi Lingkungan

Proses penyampaian pesan dari komunikator kepada komunikan memerlukan penyesuaian agar tetap tercipta tujuan komunikasi berupa kesamaan makna

diantara pelakukomunikasi. f. Memanipulasi Lingkungan

Komunikasi massa merupakan alat kontrol utama dan pengaturan lingkungan (Ardianto & Komala, 2004: 19).

Komunikasi massa merupakan aktivitas sosial yang berfungsi di masyarakat. Penting untuk mengetahui fungsi- fungsi komunikasi massa, agar dapat melihat konsekuensi komunikasi melalui media massa. Media massa akan terus mengalami perubahan. Apakah nantinya fungsi komunikasi massa sebagai memberi informasi, memberi pendidikan, mempengaruhi, sebagai proses pengembangan mental, sebagai adapatasi lingkungan, dan memanipulasi lingkungan hanya sekedar teori.

Sedangkan fungsi komunikasi massa secara khusus yaitu: a. Meyakinkan

(7)

b. Menganugerahkan Status

Penganugerahan status terjadi apabila berita yang disebarluaskan melaporkan kegiatan individu- individu tertentu sehingga gengsi mereka meningkat. Dengan memfokuskan kekuatan media massa pada orang- orang tertentu, maka masyarakat akan menjadikan orang- orang tertentu mendapatkan suatu status publik yang tinggi dalam masyarakat.

c. Membius

Apabila media menyajikan informasi tentang sesuatu, penerima pesan percaya dengan sepenuhnya bahwa tindakan tertentu harus diambil. Sebagai akibatnya, pemirsa atau penerima pesan terbius ke dalam keadaan pasif.

d. Menciptakan Rasa Kebersatuan

Komunikasi mampu untuk membuat para penerima pesannya merasa menjadi anggota suatu kelompok.

e. Privatisasi

Kecenderungan bagi seseorang untuk menarik diri dari kelompok sosial dan mengucilkan diri ke dalam dunianya sendiri (Ardianto & Komala, 2004: 23).

Pada satu sisi, konsep komunikasi massa mengandung pengertian sebagai suatu proses di mana institusi media massa memproduksi dan menyebarkan pesan kepada publik secara luas, namun pada sisi lain, komunikasi massa merupakan proses di mana pesan tersebut dicari, digunakan, dan dikonsumsi oleh audience, yang menjadi fokus kajian dalam komunikasi massa adalah media massa. Media massa adalah institusi yang menebarkan informasi berupa pesan berita, peristiwa, atau produk budaya yang memengaruhi dan merefleksikan suatu masyarakat (Bungin, 2008: 258).

(8)

II. 2. 2. Musik sebagai Media Massa

Musik merupakan cabang kesenian yang menggunakan media suara merupakan bentuk ungkapan perasaan dan nilai kejiwaan manusia yang dianggap paling tua. Musik dapat berbicara melalui unsur- unsurnya, seperti ia bisa dianggap sebagai alat atau bahasa komunikasi yang menggunakan kosa kata, tata bahasa, struktur, idiom, dan simbol tertentu. Bahan, bentuk, atau konstruksi instrumen, penggunaan jumlah dan jenis instrumentasi, pembentukan ansambel musikal, penggunaan tanda nada, pengaturan organisasi musikal, penciptaan dan bentuk/ struktur komposisi musik, teknik, pola, dan gaya permainan instrumen dan vokal dan segala aspeknya, sangat berhubungan erat dengan cara berpikir, cara hidup, cara bermasyarakat serta pandangan hidup seniman pengkarya, pelaku serta masyarakat pemiliknya (Supanggah, Sumarno, Wijaya, & Anwar, 2009: 4). Saat ini musik merupakan perangkat hiburan yang dipadukan dengan berbagai

seni lainnya. Hampir tidak dapat ditemui sebuah hiburan tanpa mengabaikan peran musik.

Salah satu hal terpenting dalam sebuah musik adalah keberadaan lirik lagunya kecuali musik instrumen yang memang tidak membutuhkan lirik di dalamnya. Lirik lagu merupakan suatu bentuk ekspresi penulis lagu tentang sesuatu hal yang sudah dilihat, didengar, maupun dialaminya dan berusaha untuk menyampaikannya kepada khalayak. Sudah tentu banyak hal yang bisa diungkapkan atau dikomunikasikan lewat lirik lagu. Artinya, lirik lagu menjadi acuan untuk dapat memahami apa yang dikomunikasikan oleh penulis lagu kepada khalayak.

Penulis lagu dalam mengekspresikan pengalamannya melakukan permainan kata- kata dan bahasa untuk menciptakan daya tarik dan menunjukkan ciri khas terhadap liriknya. Permainan bahasa ini dapat berupa permainan vokal, gaya bahasa maupun penyimpangan makna kata dan diperkuat dengan lirik lagunya sehingga pendengar semakin terbawa dengan apa yang dipikirkan oleh penulis lagu.

(9)

serempak oleh komunikan yang banyak tersebut. Demikian juga halnya dengan penyanyi sebagai komunikator untuk menyampaikan pesan yang berbentuk lagu menggunakan media seperi kaset, Compact Disk (CD), maupun Video Compact Disk (VCD) kepada komunikan dalam jumlah yang banyak melalui media massa. Musik dikemas, dipasarkan, dan disebarkan lewat media massa. Musik merupakan salah satu bentuk komunikasi massa, memiliki beberapa unsur, karakteristik dan fungsi yang sama dengan komunikasi massa. Musik, dalam hal ini lirik lagu adalah pesan yang akan disampaikan pada khalayak melalui media massa tertentu seperti radio, televisi, dan internet. Pesannya yang bersifat linier, dan dari segi fungsi, musik dapat digunakan sebagai sarana hiburan, dan juga bisa digunakan sebagai media untuk menyalurkan aspirasi.

II. 2. 3. Semiotika

Secara etimologis, istilah semiotik berasal dari kata Yunani semeion yang berarti “tanda”. Tanda itu sendiri didefenisikan sebagai sesuatu yang atas dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya, dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain (Sobur, 2004: 95).

Secara terminologis, semiotika dapat diidentifikasikan sebagai ilmu yang mempelajari sederatan luas objek- objek, peristiwa- peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda. Pada dasarnya, analisis semiotika merupakan sebuah ikhtiar untuk merasakan sesuatu yang aneh, sesuatu yang dipertanyakan lebih lanjut ketika kita membaca teks atau narasi/ wacana tertentu. Analisisnya bersifat paradigmatic

dalam arti berupaya menemukan makna termasuk dari hal- hal yang tersembunyi di balik sebuah teks (Wibowo, 2011: 5).

(10)

Semiotika telah digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam menelaah sesuatu yang berhubungan dengan tanda, misalnya karya sastra, dan teks berita dalam media. Semiotika merupakan varian dari teori struktualisme. Struktualisme berasumsi bahwa teks adalah fungsi dari isi dan kode, sedangkan makna adalah produksi dari sistem hubungan (Sobur, 2006: 122).

Tanda- tanda (sign) adalah basis atau dasar dari seluruh komunikasi kata pakar Komunikasi Littlejohn yang terkenal dengan bukunya: “Theories on Human Behaviour” (1996). Menurutnya, manusia dengan perantaraan tanda- tanda dapat melakukan komunikasi dengan sesamanya dan banyak hal yang bisa dikomunikasikan di dunia ini. Sedangkan menurut Umberto Eco ahli semiotika yang lain, kajian semiotika sampai sekarang membedakan dua jenis semiotika yakni semiotika komunikasi dan semiotika signifikasi. Dimana semiotika komunikasi menekankan pada teori tentang produksi tanda yang salah satu

diantaranya mengasumsikan adanya enam faktor dalam komunikasi yaitu pengirim, penerima kode atau sistem tanda, pesan, saluran komunikasi dan acuan yang dibicarakan. Sedangkan semiotika signifikasi tidak mempersoalkan adanya tujuan berkomunikasi, yang lebih diutamakan adalah segi pemahaman suatu tanda sehingga proses kognisinya pada penerima tanda lebih diperhatikan daripada prosesnya (Vardiansyah, 2008: 6).

Lebih lanjut dijelaskan bahwa semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda- tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia ini, di tengah- tengah manusia dan bersama- sama manusia. Semiotika, atau dalam istilah Barthers, semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal- hal (things). Memaknai (to signify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek- objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek- objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda (Sobur, 2003: 15).

Sembilan macam semiotika yang kita kenal yaitu:

(11)

objek dan makna. Ide dapat dikatakan sebagai lambang, sedangkan makna adalah beban yang terdapat dalam lambang yang mengacu kepada objek tertentu.

2. Semiotika deskriptif, yakni semiotika yang memperhatikan sistem tanda yang dapat kita alami sekarang, meskipun ada tanda yang sejak dahulu tetap seperti yang disaksikan sekarang, misalnya langit yang mendung menandakan bahwa hujan tidak lama lagi akan turun.

3. Semiotika faunal, yakni semiotika yang khusus memperhatikan sistem tanda yang dihasilkan oleh hewan, misalnya ayam yang sedang berkotek- kotek menandakan telah bertelur.

4. Semiotika kultural, yakni semiotika yang khusus menelaah sistem tanda yang berlaku dalam kebudayaan masyarakat tertentu.

5. Semiotika naratif, yakni semiotika yang menelaah sistem tanda dalam narasi

yang berwujud mitos dan cerita lisan ada diantaranya mempunyai nilai kultural tinggi.

6. Semiotika natural, yakni semiotika yang khusus menelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh alam. Air sungai yang keruh menandakan di hulu telah turun hujan, banjir, atau tanah longsor memberi tanda bahwa manusia- manusia telah merusak alam.

7. Semiotika normatif, yakni semiotika yang khusus menelaah sistem tanda yang dibuat oleh manusia berwujud norma-norma misalnya rambu-rambu lalu lintas. 8. Semiotika sosial, yani semiotika yang khusus menelaah sistem tanda yang

dihasilkan oleh manusia yang berwujud lambang, baik lambang berwujud kata maupun lambang yang berwujud kata dalam satuan yang disebut kalimat. Semiotika sosial menelaah sistem tanda yang terdapat dalam bahasa.

9. Semiotika struktural, yakni semiotika yang khusus menelaah sistem tanda yang dimanifestikan melalui struktur bahasa (Zamroni, 2009: 93).

(12)

yang mempelajari apa pun yang bisa digunakan untuk menyatakan sesuatu kebohongan. Jika sesuatu tersebut tidak dapat digunakan untuk mengatakan sesuatu kebohongan, sebaliknya tidak bisa digunakan untuk mengatakan kebenaran (Sobur, 2004:18).

II. 2. 4. Semiotika Roland Barthes

Roland Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir struktualis yang tekun mempraktikkan model linguistik dan semiologi Saussurean. Ia juga intelektual dan kritikus sastra Perancis yang ternama; eksponen penerapan strukturalisme dan semiotika pada studi sastra, dan dikenal sebagai tokoh yang memainkan peranan sentral dalam strukturalisme tahun 1960- an dan 70- an (Sobur, 2004: 63).

Semiotika, atau dalam istilah Barthers, semiologi, pada dasarnya hendak

mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal- hal (things). Memaknai (to signify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek- objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek- objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda (Sobur, 2003: 15).

(13)

1. Signifier

(Penanda)

2. Signified

(Petanda)

3. Denotative Sign (Tanda Denotatif)

4. Connotative Signifier

(Penanda Konotatif)

5. Connotative Signified

(Petanda Konotatif)

6. Connotative Sign (Tanda Konotatif)

Gambar II.1. Peta Tanda Roland Barthes Sumber: Sobur, 2004: 69

Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda konotatif (4). Jadi, dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekadar memiliki makna tambahan, namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Hal tersebut merupakan unsur material: hanya jika kita mengenal tanda “singa”, barulah konotasi seperti harga diri, kegarangan dan keberanian menjadi mungkin.

Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebutnya dengan „mitos‟, dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai- nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu. Di dalam mitos juga terdapat pola tiga dimensi penanda, petanda, dan tanda, namun sebagai suatu sistem yang unik, mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya atau dengan kata lain, mitos adalah juga suatu sistem pemaknaan tataran kedua. Di dalam mitos pula sebuah petanda dapat memiliki beberapa penanda (Sobur, 2004: 71).

(14)

Barthes melontarkan konsep tentang denotatif dan konotatif sebagai kunci dari analisisnya. Makna denotatif suatu kata adalah makna yang biasa kita temukan dalam kamus, sedangkan makna konotatif adalah makna denotatif ditambah dengan segala gambaran, ingatan dan perasaan yang ditimbulkan oleh kata dari makna denotatif tersebut. Denotasi adalah hubungan yang digunakan di dalam tingkat pertama sebuah kata secara bebas memegang peranan penting di dalam ujaran. Makna denotasi bersifat langsung, yaitu makna khusus yang terdapat dalam sebuah tanda, dan pada intinya dapat disebut sebagai gambaran sebuah petanda. Makna konotasi adalah suatu jenis makna dimana stimulus dan respon mengandung nilai-nilai emosional. Makna konotatif sebagian terjadi karena pembicara ingin menimbulkan perasaan setuju- tidak setuju, senang- tidak senang dan sebagainya kepada pendengar; dipihak lain kata yang dipilih itu memperlihatkan bahwa pembicaranya juga memendam perasaan yang sama. Pada

dasarnya, konotasi timbul disebabkan masalah hubungan sosial atau hubungan interpersonal, yang mempertalikan kita dengan orang lain, karena itu bahasa manusia tidak sekadar menyangkut masalah makna denotatif atau ideasional dan sebagainya (Sobur, 2004: 263).

Roland Barthes memberi pelajaran berharga tentang bagaimana menganalisis tanda-tanda komunikasi yang ia sebut semiologi komunikasi, yaitu mementingkan hubungan antara tanda dengan pengirim dan penerimanya. Dengan begitu seorang Peneliti menganalisis setiap teks berdasarkan konteksnya, referensinya dan dapat menggunakan penjelasan sintaksis (ketatabahasaan), dan analisis semantik (makna tanda-tanda) dan teks tertulis (Zamroni, 2009: 92).

Semiotika membahas tentang keragaman bahasa dari tiga perspektif yakni: a. Semantik

(15)

b. Sintaktik

Sintaktik adalah studi tentang hubungan antara bentuk- bentuk kebahasaan, bagaimana menyusun bentuk- bentuk kebahasaan itu dalam suatu tatanan atau urutan dan tatanan mana yang tersusun dengan baik. Tipe studi ini biasanya terjadi tanpa mempertimbangkan dunia referensi atau pemakai bentuk- bentuk itu (Yule, 2006: 4).

Sintaktik berkaitan dengan studi mengenai tanda itu sendiri secara individual maupun kombinasinya, khususnya analisis yang bersifat deskriptif mengenai tanda dan kombinasinya (Piliang, 2012: 300). Sintaktik berurusan dengan kaidah dan struktur yang menghubungkan tanda- tanda satu sama lain misalnya tata bahasa.

c. Pragmatik

Pragmatik adalah studi tentang hubungan antara bentuk- bentuk linguistik

dan pemakai bentuk- bentuk itu. Manfaat belajar bahasa melalui pragmatik ialah bahwa seseorang dapat bertutur kata tentang makna yang dimaksudkan orang, asumsi mereka, dan jenis- jenis tindakan yang mereka perlihatkan ketika mereka sedang berbicara (Yule, 2006: 5).

Pragmatik adalah studi mengenai relasi antara tanda dan penggunanya, khususnya yang berkaitan dengan penggunaan tanda secara konkrit dalam peristiwa serta efek atau dampaknya terhadap pengguna. Ia berkaitan dengan nilai, maksud dan tujuan dari sebuah tanda, yang menjawab pertanyaan: untuk apa dan kenapa, serta pertanyaan mengenai pertukaran dan nilai utilitas tanda bagi pengguna. Pragmatik merupakan analisis penggunaan dan akibat permainan kata (Piliang, 2012: 300).

II. 2. 4. 1. Tanda

(16)

melekat pada kehidupan manusia yang penuh makna (meaningful action) seperti teraktualisasi pada bahasa, religi, seni sejarah, ilmu pengetahuan (Sobur, 2004: 124).

Ada beberapa cara untuk menggolongkan tanda- tanda, cara itu yakni: tanda yang ditimbulkan oleh alam, yang kemudian diketahui manusia melalui pengalamannya; misalnya kalau langit sudah mendung menandakan akan turun hujan, tanda yang ditimbulkan oleh binatang; misalnya kalau anjing menyalak kemungkinan ada tamu yang memasuki halaman rumah, atau tanda bahwa ada pencuri; dan tanda yang ditimbulkan oleh manusia, dapat dibedakan atas verbal dan nonverbal. Yang bersifat verbal adalah tanda- tanda yang digunakan sebagai alat komunikasi yang dihasilkan oleh alat bicara, sedangkan yang bersifat nonverbal dapat berupa: (1) tanda yang menggunakan anggota badan, lalu diikuti dengan lambang, misalnya “Mari”; (2) suara, misalnya bersiul, atau membunyikan ssst... yang bermakna memanggil seseorang; (3) tanda yang diciptakan oleh manusia untuk menghemat waktu, tenaga, dan menjaga kerahasiaan misalnya rambu- rambu lalu lintas, bendera, tiupan terompet; dan (4) benda- benda yang bermakna kultural dan ritual, misalnya buah pinang muda yang menandakan daging, gambir yang menandakan darah (Sobur, 2004: 122).

Tanda merupakan cerminan dari realitas, yang dikonstruksikan lewat kata- kata. Persepsi dan pandangan kita tentang realitas dikonstruksikan oleh kata- kata dan tanda- tanda lain yang digunakan dalam konteks sosial (Wibowo, 2011: 7).

Saussure meletakkan tanda dalam konteks komunikasi manusia dengan melakukan pemilahan antara apa yang disebut signifier (penanda) dan signified

(petanda). Signifier adalah bunyi yang bermakna atau coretan yang bermakna (aspek material), yakni apa yang dikatakan dan apa yang ditulis atau dibaca.

Signified adalah gambaran mental, yakni pikiran atau konsep aspek mental dari bahasa. Hubungan antara keberadaan fisik tanda dan konsep mental tersebut dinamakan signification. Dengan kata lain, signification adalah upaya dalam memberi makna terhadap dunia. Pada dasarnya apa yang disebut signifier dan

(17)

dari kultur pemakai bahasa tersebut. Hubungan antara signifier dan signified

dibagi tiga, yaitu:

1. Ikon adalah tanda yang memunculkan kembali benda atau realitas yang ditandainya, misalnya foto atau peta.

2. Indeks adalah tanda yang kehadirannya menunjukkan adanya hubungan dengan yang ditandai, misalnya asap adalah indeks dari api.

3. Simbol adalah sebuah tanda di mana hubungan antara signifier dan signified

semata- mata adalah masalah konvensi, kesepakatan atau peraturan, misalnya gambar timbangan di pengadilan sebagai lambang keadilan (Sobur, 2004: 125).

II. 2. 4. 2. Mitos

Setiap kebudayaan memiliki berbagai macam mitos yang selalu ada dan berkelanjutan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Mitos- mitos tersebut

hanya selalu ada dan diwariskan melalui bahasa dan tanda. Dengan perkataan lain, mitos selalu terlihat melalui tanda- tanda.

Mitos adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan atau memahami beberapa aspek tentang realitas atau gejala alam. Mitos merupakan produk kelas sosial yang sudah mempunyai suatu dminasi. Mitos primitif, misalnya mengenai hidup dan mati, manusia dan dewa. Sedangkan mitos masa kini misalnya mengenai feminitas, maskulinitas, ilmu pengetahuan dan kesuksesan. Mitos suatu wahana dimana suatu ideologi terwujud. Mitos dapat berangkai menjadi mitologi yang memainkan peranan penting dalam kesatuan- kesatuan budaya. Ditegaskan bahwa siapapun bisa menemukan ideologi dalam teks dengan jalan meneliti konotasi- konotasi yang terdapat di dalamnya (Wibowo, 2011: 17).

(18)

Mitos tidak dibentuk melalui penyelidikan, tetapi melalui anggapan berdasarkan observasi kasar yang digeneralisasikan. Oleh karenanya lebih banyak hidup dalam masyarakat. Sikap kita terhadap sesuatu ditentukan oleh mitos yang ada dalam diri kita. Mitos ini menyebabkan kita mempunyai prasangka tertentu terhadap sesuatu hal yang dinyatakan dalam mitos.

Di dalam mitos juga terdapat pola tiga dimensi penanda, petanda, dan tanda, namun sebagai suatu sistem yang unik, mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya atau dengan kata lain mitos adalah juga suatu sistem pemaknaan tataran kedua. Di dalam mitos pula sebuah petanda dapat memiliki beberapa penanda (Sobur, 2004: 71).

II. 2. 4. 3. Lima Kode yang Ditinjau Roland Barthes a. Kode Hermeneutika

Kode hermeneutika atau kode teka- teki berkisar pada harapan pembaca untuk mendapatkan “kebenaran” bagi pertanyaan yang muncul dalam teks. Kode teka- teki merupakan unsur struktur yang utama dalam narasi tradisional. Di dalam narasi ada suatu kesinambungan antara pemunculan suatu peristiwa teka- teki dan penyelesaiannya di dalam cerita (Sobur, 2004: 65).

Kode hermeneutika adalah kode yang mengandung unit- unit tanda yang secara bersama- sama berfungsi untuk mengartikulasikan dengan berbagai macam cara dialektik pertanyaan, respon, yang di dalam prosesnya jawaban atau kesimpulan (cerita) ditangguhkan, sehingga menimbulkan semacam enigma (Piliang, 2012: 162). Sebagai contoh di dalam novel, pembaca dibawa dari satu pertanyaan ke pertanyaan lain (misalnya “siapakah sang pembunuh?”) dan kesimpulan akan terlihat pada akhir cerita.

b. Kode Proaretik

(19)

karena kita dapat memahaminya. Pada kebanyakan fiksi, kita selalu mengharap lakuan di “isi” sampai lakuan utama menjadi perlengkapan utama suatu teks (Sobur, 2004: 65).

Kode proaretik adalah kode yang mengatur alur satu cerita atau narasi. Ia disebut juga kode aksi. Setiap aksi dalam satu cerita dapat dipilih lagi menjadi sub- bagiannya yang secara berurutan, dan urutan- urutan ini hanya dapat dilihat dalam proses membaca satu aksi dalam konteks totalitasnya. Aksi tertentu berdasarkan logika tertentu memampukan seorang pembaca memperkirakan aksi sebelum dan aksi berikutnya. Kemampuan untuk menentukan hasil atau akibat dari suatu tindakan secara rasional (Piliang, 2012: 162).

c. Kode Simbolik

Kode simbolik merupakan aspek pengkodean fiksi yang paling khas bersifat struktural, atau tepatnya menurut konsep Barthes, pascastruktural. Hal ini didasarkan pada gagasan bahwa makna berasal dari beberapa oposisi biner atau pembedaan, baik dalam taraf bunyi menjadi fonem dalam proses produksi wicara, maupun pada taraf oposisi psikoseksual yang melalui proses. Dalam suatu teks verbal, perlawanan yang bersifat simbolik seperti ini dapat dikodekan melalui istilah- istilah retoris seperti antitesis, yang merupakan hal yang istimewa dalam sistem simbol Barthes (Sobur, 2004: 65).

Kode simbolik adalah kode yang mengatur kawasan anti- tesis dari tanda- tanda, dimana satu ungkapan atau tanda meleburkan dirinya ke dalam berbagai substitusi, keanekaragaman penanda dan referensi, sehingga menggiring kita dari satu kemungkinan makna ke kemungkinan lainnya dalam interdeterminasi. Kode simbolik adalah kode yang juga mengatur aspek tak sadar dari tanda, dan dengan demikian merupakan kawasan dari psikoanalisis (Piliang, 2012: 162).

d. Kode Gnomik

(20)

dikodifikasi yang di atasnya para penulis bertumpu. Tujuan analisis Barthes ini bukan hanya untuk membangun suatu sistem klasifikasi unsur- unsur narasi yang sangat formal, namun lebih banyak untuk menunjukkan bahwa tindakan yang paling masuk akal, rincian yang paling meyakinkan, atau teka- teki yang paling menarik, merupakan produk buatan, dan bukan tiruan dari yang nyata (Sobur, 2004: 65).

Kode gnomik adalah kode yang mengatur dan membentuk suara- suara kolektif dan anonim dari pertandaan, yang berasal dari pengalaman manusia dan tradisi yang beraneka ragam. Unit- unit ini dibentuk oleh beraneka ragam pengetahuan dan kebijaksanaan yang bersifat kolektif (Piliang, 2012: 162).

e. Kode Semik

Kode semik atau kode konotatif banyak menawarkan banyak sisi. Dalam proses pembacaan, pembaca menyusun tema suatu teks. Ia melihat bahwa konotasi kata atau frase tertentu dalam teks dapat dikelompokkan dengan konotasi kata atau frase yang mirip. Jika kita melihat suatu kumpulan satuan konotasi, kita menemukan suatu tema di dalam cerita. Jika sejumlah konotasi melekat pada suatu nama tertentu (Sobur, 2004: 65).

(21)

II. 2. 5. Erotisme dan Pornografi

Erotisme didefenisikan sebagai: 1. Keadaan bangkitnya nafsu berahi; 2. Keinginan akan nafsu seks secara terus- menerus. Pada dasarnya erotisme didasari oleh libido yang dalam perkembangannya selanjutnya teraktualisasi dalam keinginan seksual (Hoed, 2011: 188).

Pornografi didefenisikan sebagai: 1. Penggambaran tingkah laku secara erotis dengan lukisan atau tulisan untuk membangkitkan nafsu berahi; 2. Bahan bacaan yang dengan sengaja dan semata- mata dirancang untuk membangkitkan nafsu berahi dalam seks (Hoed, 2011: 189).

Pornografi sebagai materi yang disajikan di media tertentu yang dapat atau ditujukan untuk membangkitkan hasrat seksual khalayak atau mengeksploitasi seks. Media tertentu tersebut yakni media cetak dan elektronik, secara audio atau visual. Lebih lanjut dijelaskan bahwa jika sesuatu yang membangkitkan hasrat

seksual tidak ditampilkan di media, maka hal tersebut tidak masuk dalam kategori pornografi. Keterkaitan antara erotisme dan pornografi, merujuk pada dasarnya yaitu libido, nafsu, berahi, dan nafsu seksual. Perbedaan antara keduanya adalah bahwa erotisme, libido merupakan dasar atau ilham untuk menggambarkan sesuatu yang lebih luas (misalnya, konsep cinta, perbedaan antarjenis, atau masalah yang timbul dalam tradisi interaksi sosial), sedangkan dalam pornografi yang menonjol adalah penggambaran secara sengaja tingkah laku seksual dengan tujuan membangkitkan nafsu seksual (Hoed, 2011: 189).

(22)

dapat membangkitkan gairah seksual, fantasi birahi yang indah mengenai objek seks yang alami, sehat, dan menyenangkan.

Perdebatan tentang pornografi dan erotisme sering muncul ke permukaan, perdebatan muncul hanya untuk menentukan makna sesungguhnya dari pornografi atau erotisme itu sendiri. Istilah „porno‟ selalu dikaitkan dengan objek- objek seks yang menjijikkan, tidak sehat dan merugikan individu. Sedangkan erotisme adalah mengenai objek seks yang alami, sehat, dan menyenangkan. Pada kebanyakan orang, pornografi terkadang dianggap tidak mampu merangsang nafsu birahi, karena lebih dianggap menjijikkan, sedangkan erotisme dianggap secara lembut dapat membangkitkan fantasi birahi yang indah dan membahagiakan.

Pornografi secara sengaja mengeksploitasi objek seks (tubuh dan alat kelamin) sehingga merangsang syahwat dan untuk mencari keuntungan, sedangkan erotisme menampilkan seni sebagai bagian kreativitas atas objek seks

sehingga dominasi seni menghilangkan syahwat. Defenisi ini pasti tidak memuaskan banyak pihak karena begitu banyak benang merah yang harus ditarik dari sudut ke sudut lain, terutama juga karena siapa yang bisa menentukan perbedaan antara pornografi dan erotisme. Masing- masing orang yang berada pada konteks budaya dan sosiologis ini memiliki kepentingan masing- masing untuk membuat defenisi tentang pornografi dan erotisme sebagai bentuk dari eksistensi mereka (Bungin, 2008: 344).

Pada saat karya patung Auguste Rodin Ketika Ciuman dipamerkan di Paris tahun 1898, seorang pengkritik mengatakan: “sebuahkarya besar!”. Namun karya tersebut pada dasawarsa yang sama tidak jadi dipamerkan di Amerika yang pada saat itu memiliki adat yang ketat mengenai masalah seks. Lalu karya Rodin itu disingkirkan ke dalam kamar tersendiri pada Pekan Pameran Dunia dan bagi siapa saja yang ingin melihatnya, harus memperoleh ijin khusus. Lain halnya pada masyarakat suku Shavante di Brasilia Tengah yang hidup tanpa busana. Masyarakatnya bahkan orang lain menganggap itu sebagai suatu kewajaran subkultural, karena nilai- nilai masyarakat itu tidak melihatnya sebagai suatu porno.

(23)

berhubungan dengan bagaimana kultur lokal mengakomodasikan masalah- masalah porno sebagai bagian dari kearifan lokal, termasuk bagaimana budaya lokal memberi konstribusi terhadap sikap dan perilaku porno itu sendiri. Dalam konteks sosiologis, disini muncul persoalan kreativitas, persoalan seni, ekonomi dan mata pencarian, perilaku dan sikap keagamaan, sampai dengan persoalan politik dan kekuasaan, serta hubungan antara warga negara dan negara termasuk juga hubungan dengan Tuhan (Bungin, 2008: 343).

Erotisme dan pornografi terdapat batasan- batasan yang samar. Hal ini terjadi karena dalam pornografi selalu ada erotisme, tetapi tidak semua yang erotis itu disebut pornografi.

II. 2. 6. Teks Erotisme

Erotisme dalam sebuah teks adalah penggambaran secara kebahasaan

tindakan, keadaan, atau suasana yang berkaitan dengan hasrat seksual. Jadi, tindakan seksual itu bukanlah tindakan yang digambarkan secara visual melainkan secara verbal. Namun, erotisme yang dilukiskan itu tidak ditujukan untuk mengakibatkan timbulnya hasrat berahi atau nafsu seksual pembacanya. Timbulnya nafsu seksual pada pembaca adalah karena pembaca menafsirkan teks yang bersangkutan sehingga menimbulkan dampak erotis padanya (Hoed, 2011: 194). Teks yang berdampak erotis pada pembaca adalah teks tentang berkaitan dengan tindakan, keadaan, atau suasana erotis atau teks lain yang memberikan kemungkinan itu.

Teks erotis adalah teks yang menggambarkan kegiatan erotis atau situasi atau suasana erotis. Disamping itu, ada pula teks yang disebut “berdampak erotis”, yaitu yang menimbulkan hasrat seksual pada pembacanya. Teks erotis dibedakan dengan teks pornografis dari segi tujuannya. Teks erotis tidak ditujukan untuk menimbulkan dampak erotis, sedangkan teks pornografis memang bertujuan memberikan dampak erotis (Hoed, 2011: 211).

(24)

seks ini menyebabkan pembaca sedang mengalaminya sendiri, sehingga fantasi seksual pembaca menjadi menggebu- gebu terhadap objek hubungan seks yang digambarkan itu. Teks erotis mempunyai tujuan- tujuan yang lebih luas.

II. 2. 7. Musik atau Lagu Dangdut

Dangdut adalah musik yang lahir dari perpaduan musik populer India, Arab, Barat, dan Melayu. Pada masa awal perkembangannya, musik dangdut disebut Orkes Melayu (disingkat OM). Dalam periode awal itu, yaitu tahun 1960- an, muncul beberapa penyanyi dan pencipta lagu terkenal. Diantaranya, Emma Gangga, Hasnah Tahar, Said Effendi, Munif Bahaswan, Elly Khadam dan sebagainya.

Penyebutan nama „dangdut‟ sendiri merupakan peniruan bunyi tabla (dalam dunia dangdut disebut gendang), yaitu dang dan ndut. Pada awalnya nama

ini dianggap merendahkan musik tersebut. Selanjutnya perkembangan musik dangdut sudah banyak dipengaruhi oleh aliran musik lainnya, antara lain musik Pop, House Music, dan Rock. Pada awal tahun 1970- an, mantan pemusik rock Rhoma Irama (sebelumnya bernama Oma Irama), bersama kelompok OM Soneta (kemudian Soneta Group) dan pasangan duet Elvie Sukaesih, masuk dalam blantika musik dangdut. Rhoma Irama mengurangi warna India dalam dangdut dan meningkatkan warna Timur Tengah serta warna rock. Dengan perubahan ini dangdut menjadi sangat populer, dan Rhoma Irama kemudian dinobatkan menjadi “Raja Dangdut” (Purba & Pasaribu, 2006: 78).

Dangdut adalah musik yang digemari oleh kaum marginal baik secara ekonomis maupun geografis. Secara ekonomis, dangdut merupakan musik yang digemari oleh masyarakat dengan tingkat ekonomi yang rendah, misalnya para buruh, sopir angkot, dan tukang beca. Sedangkan, dari segi geografis, dangdut merupakan musik yang digemari oleh masyarakat yang tinggal di kota tetapi bukan di bagian elit gedongan tetapi yang tinggal di kampung- kampung pinggiran kota besar, yang tidak terdidik dan sedikit terdidik.

(25)

Mansyur S, Muchsin Alatas, Rita Sugiarto, Meggi Z, Rama Aiphama, Itje Tresnawati, Inul Daratista, Evie Tamala, Camelia Malik dan lain- lain. Hingga akhirnya memasuki dasawarsa 90- an ke tahun 2000, dangdut dapat diterima sebagai salah satu milik budaya bangsa.

Bahkan di kalangan generasi muda yang sebelumnya menganggap dangdut adalah musik kurang bermutu dan norak. Namun, musik dangdut mulai mendapat sentuhan alat- alat musik modern seperti gitar elektrik, organ elektrik, perkusi, terompet dan lain- lain untuk meningkatkan kreativitas para musisi. Hingga akhirnya musik dangdut terus berkembang dari tahun ke tahun. Musik dangdut kini terdengar lebih modern. Kini akhirnya musik dangdut telah menjangkau semua kalangan masyarakat mulai dari kalangan kelas bawah, kalangan menengah hingga kelas ataspun sudah mulai menikmati seni musik dangdut.

Popularitas dangdut juga banyak ditolong oleh telah berkembangnya

industri kaset, peranan radio- radio swasta, surat kabar, dan majalah hiburan populer, iklan, dan akhirnya menjangkau dunia film. Kalau masalah popularitas mau diukur dengan jumlah pendukung, penggemar, dan peminat boleh jadi dangdut jaman kini dapat diartikan mass- music (musik yang digemari orang banyak), sehingga disebut sebagai musik rakyat. Untuk memperoleh sebutan “musik rakyat” tentu akan diperlukan rentang waktu yang panjang disamping aspek dukungan yang mapan yang terdapat dalam dangdut.

(26)

II. 3. Model Teoritis

Gambar: II. 2. Model Teoritis SEMIOTIKA ROLAND BARTHES

LIRIK LAGU “CINTA SATU MALAM”, “MOJOK DI MALAM

JUMAT”, DAN “AW AW”

Gambar

Gambar II.1. Peta Tanda Roland Barthes

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini diharapkan memberikan acuan mengenai hubungan locus of control dengan self efficacy pada pasien penderita diabetes militus tipe 2 rawat jalan

Swakelola adalah pekerjaan yang direncanakan, dikerjakan dan diawasi sendiri oleh institusi, dimana dalam pelaksanaannya dapat dilaksanakan oleh PPK, instansi pemerintah

Setelah proses baru (child) berhasil dibuat eksekusi dilanjutkan secara normal di masing–masing proses pada baris setelah pemanggilan system call fork().. Proses pemanggil

Hasil penelitian mendapatkan bahwa petani jagung di Kabupaten Grobogan memiliki tingkat kompetensi yang sedang, artinya kemampuan dalam teknis budidaya jagung

Ketua Wakil Ketua I Bidang Akademik. Jum'at 29

menunjukkan bahwa perlakuan pemberian pupuk organik cair biokultur urin sapi berpengaruh nyata terhadap bobot segar tanaman, bobot eskip umbi, bobot kering tanaman

Besarnya nilai KK di lokasi tertentu pada respon produkti- fitas rajangan dan indeks tanaman belum dapat disimpulkan bahwa ragam galat antar lokasi untuk masing-masing respon

asli dari budaya Jawa khususnya berkaitan dengan sistem pranata mangsa dalam rangka untuk dimanfaatkan bagi pembelajaran sains.. Beberapa penelitian yang mengkaji