• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Yuridis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 28 PUU-XI 2013 Tentang Uji Materi Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Yuridis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 28 PUU-XI 2013 Tentang Uji Materi Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

A. Latar Belakang

Masalah koperasi merupakan masalah yang sangat menarik untuk dikaji

secara ilmiah karena koperasi merupakan bagian dari tata perekonomian masyarakat

Indonesia. Koperasi dikenal di Indonesia pada tahun 1896 dari seorang Patih Pamong

Praja bernama R. Aria Wiria Atmadja di Purwekerto yang merintis mendirikan suatu

Bank Simpanan (Hulp Spaarbank) untuk menolong para pegawai negeri (kaum

Priyayi) yang terjerat tindakan dalam soal riba dari kaum lintah darat. Tahun 1908

sampai dengan tahun 1913, bersamaan dengan lahirnya Kebangkitan Nasional, Boedi

Oetomo mencoba memajukan koperasi-koperasi rumah tangga, koperasi toko, yang

kemudian menjadi koperasi konsumsi yang didalam perkembangannya menjadi

koperasi batik. Pada tahun 1908, Gerakan Boedi Oetomo tersebut dibantu oleh

Serikat Islam melahirkan koperasi pertama kali di Indonesia, bersamaan dengan

lahirnya Gerakan Kebangkitan Nasional.1

Kegiatan perekonomian yang didasarkan hubungan kerjasama semakin gencar

disuarakan oleh pemerintah di era kemerdekaan. Hal ini dapat dilihat dari bunyi Pasal

33 ayat 1 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang menyatakan “Perekonomian

disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan.” Berdasarkan Pasal

1R.T.Sutantya Rahardja Hadhikusuma,Hukum Koperasi Indonesia, (Jakarta: PT Raja

(2)

33 ayat 1 tersebut, maka peran koperasi sangatlah penting dalam

menumbuh-kembangkan potensi ekonomi rakyat dan mewujudkan kehidupan demokrasi ekonomi

yang memiliki ciri-ciri demokratis, kebersamaan, kekeluargaan dan keterbukaan.

Pada tanggal 18 Desember 1967, pemerintah pada masa Orde Baru dengan

persetujuan DPRGR berhasil mengundangkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun

1967 Tentang Pokok Pokok Koperasi.2 Pasal 3 Undang-Undang ini menyatakan bahwa koperasi Indonesia adalah organisasi ekonomi rakyat yang berwatak sosial,

beranggotakan orang-orang atau badan hukum koperasi yang merupakan tata susunan

ekonomi sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan. Undang-Undang ini

bertahan selama 25 (dua puluh lima) tahun sebagai payung hukum perkoperasian di

Indonesia. Pada Tahun 1992, diundangkanlah Undang-Undang Nomor 25 Tahun

1992 Tentang Perkoperasian. Undang-Undang ini menjadikan koperasi sebagai

sarana untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur, serta koperasi tidak boleh

lepas dari landasan-landasan hukum sebagai landasan berpijaknya koperasi di

Indonesia. Landasan Koperasi Indonesia adalah Pancasila, seperti tertuang di dalam

ketentuan Bab II, bagian pertama, Pasal 2 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992

tentang Perkoperasian. Pasal 1 Undang-Undang ini menyatakan koperasi adalah

badan usaha yang beranggotakan orang seorang atau badan hukum koperasi dengan

melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan

ekonomi rakyat yang berdasarkan asas kekeluargaan.3

2 R.T.Sutantya Rahardja Hadhikusuma, Hukum Koperasi Indonesia, (Jakarta: PT Raja

Grafindo Persada, 2005), hal.26

3 Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian,

(3)

Pada tanggal 30 Oktober 2012 diundangkanlah Undang-Undang Nomor 17

Tahun 2012 Tentang Perkoperasian sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 25

Tahun 1992 Tentang Perkoperasian. Undang-Undang ini memberikan perubahan

koperasi kearah yang lebih modern, yakni koperasi tidak berfokus kepada anggota,

tetapi berfokus kepada modal yang tidak lain dan tidak bukan merupakan konsep

perseroan terbatas.4 Struktur yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tidak jauh berbeda dengan struktur pengaturan perseroan terbatas sebagaimana

diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas

(“UU PT”).

Perubahan koperasi kearah modern yang diharapkan oleh pemerintah melalui

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian mendapat banyak

kritik dari khalayak umum. Kritik-kritik tersebut berlanjut dengan diajukannya

judicial review (uji materi) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 terhadap

Undang-Undang Dasar Tahun 1945 ke Mahkamah Konstitusi.

Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga tinggi negara memiliki kewenangan

untuk melakukan pengujian undang-undang terhadap konstitusi sebagaimana diatur

dalam Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang berbunyi:

“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan

terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap

Undang-Undang Dasar Tahun 1945”. Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang

4 Apriliazala.blogspot.com/2014/06/kenapa-undang-undang-koperasi.html?m=1, Aprilia Eka

(4)

Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, menyatakan “Mahkamah

Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya

bersifat final untuk:

a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945.”5

Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman, menyatakan Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat

pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang

terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”6

Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga Tinggi Negara diberi kewenangan

oleh Undang-Undang Dasar Tahun 1945 menjadi pengawal konstitusi yang berfungsi

menegakkan keadilan konstitusional di tengah kehidupan masyarakat. Mahkamah

Konstitusi berkewajiban mendorong dan menjamin agar konstitusi dihormati dan

dilaksanakan oleh semua komponen negara secara konsisten dan bertanggung jawab.

Di tengah kelemahan sistem konstitusi yang ada, Mahkamah Konstitusi berperan

sebagai penafsir agar spirit konstitusi selalu hidup dan mewarnai keberlangsungan

bernegara dan bermasyarakat.7

5Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-undang 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi,

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316.

6Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076.

7Cetak Biru,Membangun Konstitusi, sebagai institusi peradilan konstitusi yang modern dan

(5)

Perselisihan yang dibawah ke Mahkmah Konstitusi sesungguhnya memiliki

karakter tersendiri dan berbeda dengan perselisihan yang dihadapi sehari-hari oleh

peradilan biasa. Hal ini disebabkan oleh adanya sifat kepentingan umum yang

tersangkut di dalamnya, meskipun permohonan diajukan oleh beberapa orang atau

individu tertentu. Keputusan yang dijatuhkan oleh hakim Mahkamah Konstitusi akan

berakibat hukum, tidak hanya bagi beberapa orang atau individu yang mengajukan

permohonan, tetapi juga orang lain, lembaga negara, dan aparatur pemerintah atau

masyarakat pada umumnya, terutama sekali dalam hal pengujian undang-undang

terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945.8

Adapun pemohon yang mengajukan uji materi Undang-Undang Nomor 17

Tahun 2012 Tentang Perkoperasian terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945

adalah Gabungan Koperasi Pegawai Republik Indonesia (GPRI) Provinsi Jawa

Timur, Pusat Koperasi Unit Desa (Puskud) Jawa Timur, Pusat Koperasi Wanita Jawa

Timur (Puskowanjati), Pusat Koperasi An-Nisa Jawa Timur, Pusat Koperasi Bueka

Assakinah Jawa Timur, Gabungan Koperasi Susu Indonesia, Agung Haryono, dan

Mulyono, kesemuanya diwakili oleh Aan Eko Widiarto, Iwan Permadi, Haru

Permadi, Konsultan Hukum Universitas Brawijaya berdasarkan Surat Kuasa Khusus

tanggal 8 Februari 2013.9

8Maruarar Siahaan,Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, (Jakarta: Sinar

Grafika, Edisi Kedua, 2012), hal.42

9Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, diunduh dari laman:

(6)

Alasan-alasan pemohon mengajukan pengujian Undang-Undang Nomor 17

Tahun 2012 Tentang Perkoperasian adalah:10

a. Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Perkoperasian menghalangi hak konstitusional Pemohon I sampai dengan Pemohon VI untuk melakukan usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan sebagaimana dijamin dalam Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dalam wadah koperasi. Dengan adanya ketentuan Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Perkoperasian yang menentukan bahwa koperasi didirikan oleh perseorang berakibat pada pengutamaan kemakmuran orang-seorang, bukan kemamkmuran anggota. Selain itu, dengan definisi koperasi yang didirikan oleh perseorangan, maka prinsip usaha bersama dan asas kekeluargaan tidak dapat terwujud. Seharusnya maksud asas kekeluargaan dalam menyelenggarakan kegiatan perekonomian adalah adanya ide tanggung jawab bersama untuk menjamin kemajuan bagi semua orang. Tujuan memajukan usaha bersama bukannya keuntungan pribadi, tetapi kemajuan bagi seluruh anggota koperasi. Istilah berdasarkan atas asas kekeluargaan menunjukkan adanya landasan bagi tanggung jawab bersama yang ditujukan untuk mencapai usah bersama yang akan menjamin bagi setiap anggota. Sifat kolektifitas inilah perbedaan antara sistem ekonomi yang dicita-citakan yaitu asas kekeluargaan dengan sistem ekonomi yang mendasar pada asas individualisme. Kegiatan ekonomi berdasarkan asas kekeluargaan seharusnya tidak lagi mengandalkan motif keuntungan pribadi, tetapi motif untuk mensejahterakan kehidupan semua anggota koperasi demi kebaikan bersama.

b. Pasal 37 ayat (1) huruf f dan Pasal 57 ayat (2) Undang-Undang Perkoperasian menghalangi hak konstitusional Pemohon I sampai dengan Pemohon VI untuk melakukan usaha bersama berdasar asas kekeluargaan sebagaimana dijamin dalam Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dalam wadah koperasi.

Pasal 37 ayat (1) huruf f dan Pasal 57 ayat (2) pada intinya menetapkan bahwa pengurus dan pengawas koperasi digaji dan mendapat tunjangan. Menurut M. Fathorrazi bahwa ada dua tipe koperasi, yakni ala Herman SD yang pengurusnya digaji dan koperasi ala Raiffeisen yang pengurusnya tidak digaji. Dengan adanya ketentuan tersebut, maka membelenggu hak para pemohon untuk menjalankan koperasi ala kedua (koperasi Raiffeisen) yakni koperasi yang pengurusnya tidak digaji. Pembentuk Undang-Undang memaksakan satu bentuk koperasi saja yaitu koperasi yang pengurus koperasi digaji. Apabila dikaji lebih lanjut koperasi tipe kedua merupakan ide tipe yang sangat ideal karena pengurus yang tidak digaji pantas terjadi sebab pengurus tidak harus

10Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia diunduh dari laman:

(7)

full time/mengurus koperasi karena pengurus dapat mengangkat pengelola koperasi. Hal ini dengan pendapat Bung Hatta menyatakan bahwa pada umumnya pengurus koperasi tidak digaji. Hanya pejabat dan pekerja penuh sehari-hari yang digaji.

c. Pasal 50 ayat (1) huruf a, Pasal 50 ayat (2) huruf a dan huruf e dan Pasal 57 ayat (2) Undang-Undang Perkoperasian menghalangi hak konstitusional Pemohon I sampai dengan Pemohon VI untuk melakukan usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan sebagaimana dijamin dalam Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

Kedua pasal tersebut intinya memberikan wewenang pengawas sangat besar yang melebihi wewenang rapat anggota sebagai perangkat organisasi koperasi yang memegang kekuasaan tertinggi dalam koperasi. Wewenang pengawas yang lebih tersebut meliputi:

1) Mengusulkan calon pengurus (Pasal 50 ayat (1) huruf a);

2) Menetapkan penerimaan dan penolakan anggota baru serta pemberhentian anggota sesuai dengan ketentuan dalam anggaran dasar (Pasal 50 ayat (2) huruf a)

3) Dapat memberhentikan pengurus untuk sementara waktu dengan menyebutkan alasannya (Pasal 50 ayat (2) huruf a); dan

4) Mengusulkan gaji dan tunjangan setiap pengurus (Pasal 57 ayat (2)). Ketentuan yang demikian tersebut akan mengakibatkan kerugian para pemohon untuk menjalankan organisasi koperasi tanpa ada check and balances system. Demokrasi dalam koperasi menjadi hilang, padahal demokrasi merupakan salah satu prinsip koperasi. Hal ini disebabkan wewenang pengawas sangat dominan bahkan melebihi rapat anggota sebagai wujud kedaulatan anggota. Selama ini pencalonan pengurus, pemberhentian anggota dan pemberhentian pengurus menjadi wewenang rapat anggota. Adapun pengusulan gaji dan tunjangan tidak pernah dilakukan karena pengurus tidak digaji. Akibatya, hubungan antara pengawas dengan perangkat koperasi yang lain (pengurus) menjadi tidak setara, bahkan melebihi wewenang rapat anggota. Dengan demikian koperasi lama kelamaan akan mati karena konflik internal akibatnya besarnya wewenag pengawas dan ini mengakibatkan hak konstitusional Pemohon I sampai dengan Pemohon VI untuk melakukan usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan sebagaimana dijamin dalam Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

d. Bab VII Undang-Undang Perkoperasian meniadakan hak konstitusional Pemohon I sampai dengan Pemohon VI untuk melakukan usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan sebagaimana dijamin dalam Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

(8)

yang dikeluarkan. Unsur-unsur persaudaraan dalam asas kekeluargaan tidak mungkin terwujud. Perlakuan yang tidak adil pun nantinya akan terjadi dengan munculnya anggota pemegang “mayoritas” Sertifikat Modal Koperasi” dengan “minoritas” layaknya Perseroan Terbatas. Ketentuan yang dimohonkan untuk diuji tersebut juga telah menimbulkan kekhawatiran, kecemasan terhadap para Pemohon dalam rangka memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak yang pada gilirannya dapat menimbulkan kesenjagan sosial, yang berdampak pada pertumbuhan perekonomian yang berdasarkan atas asas kekeluargaan.

Pengaturan modal koperasi juga merugikan karena membuka peluang intervensi pihak luar/non-anggota, termasuk Pemerintah dan pihak asing, melalui permodalan. Modal koperasi ditetapkan berasal dari setoran pokok dan setoran modal koperasi, hibah, termasuk dari pihak asing, modal penyertaan, modal pinjaman, dan sumber lain. Tidak ada pembatasan proposisi dana dari pihak luar dan ketentuan yang menjamin otonomi koperasi. Skema seperti ini jelas akan mematikan koperasi.

e. Pasal 78 ayat (2) Undang-Undang Perkoperasian mengurangi hak konstitusional Pemohon I sampai dengan Pemohon VI untuk melakukan usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan sebagaimana dijamin dalam Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

Ketentuan Pasal 78 ayat (2) memberikan larangan bagi koperasi untuk membagikan surplus hasil usaha yang berasal dari transaksi dari non anggota koperasi kepada anggota. Ketentuan tersebut jelas merugikan anggota. Pembagian surplus sisa hasil usaha sesungguhnya merupakan hak anggota dan juga merupakan salah satu konsekuensi dianutnya prinsip usaha bersama dengan asas kekeluargaan agar koperasi tetap hidup dan berkembang. Koperasi pada dasarnya memang diselenggarakan untuk mewujudkan kesejahteraan sebesar-besarnya untuk anggota pada khusunya dan masyarakat pada umumnya. Terwujudnya kesejahteraan bagi anggota koperasi salah satunya adalah dengan pembagian hasil keuntungan dari usaha yang dilakukan oleh koperasi. Usaha yang dilakukan oleh koperasi salah satunya adalah penyediaan barang atau jasa kepada masyarakat secara luas (bukan hanya anggota koperasi). Oleh karena pada dasarnya usaha dilakukan oleh koperasi yang diselenggarakan pula oleh anggota, maka pada dasarnya anggota koperasi berhak untuk menerima hasil usaha tersebut.

f. Pasal 82, Pasal 83 dan Pasal 84 Undang-Undang Perkoperasian menghalangi hak konstitusional Pemohon I sampai dengan Pemohon VI untuk melakukan usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan sebagaimana dijamin dalam Pasal 33 ayat (1) dan ayat (4) Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

(9)

ini akan mengakibatkan kepengurusan harus dipecah, AD/ART diubah, aset dipecah, usaha dipecah, dan seterusnya. Koperasi akan sibuk dengan masalah “pemecahan” tersebut bukan usahanya. Hal ini akan mengakibatkan biaya tinggi, risiko konflik internal, dan yang paling mendasar adalah bahwa selama ini koperasi hidupnya saling menopang antara jenis-jenis usaha yang dilakukan, misalnya ada koperasi yang punya usaha jasa perdagangan, pendapatannya ditopang oleh usaha simpan pinjam sehingga kalau nantinya harus dipecah maka tidak bisa terjadi mutualisme namun yang terjadi adalah matinya usaha koperasi tersebut. Anggota jelas akan dirugikan karena kebutuhan anggota tidak dapat terpenuhi akibat koperasi hanya mengoperasikan satu jenis usaha saja. Selain itu, mengingat untuk menyusun usaha dengan segala investasi yang telah dikeluarkan dan tata kelola yang telah disistemkan bukanlah pekerjaan main-main dan memiliki dampak yang sangat besar bagi anggota dengan semua kebutuhannya yang coba difasilitasi oleh koperai. Dampaknya, koperasi yang memiliki berbagai jenis usaha (KUD, KPRI, KOPWAN, KOPKAR) dengan seluruh unit yang dimiliki untuk memenuhi semua kepentingan ekonomi anggota harus dibekukan dan diganti dengan jenis koperasi yang dipaksakan ketentuan ini. Heterogenitas kepentingan ekonomi anggota yang coba difasilitasi koperasi tersebut (termasuk unit simpan pinjam) akan hilang.

Pertimbagan Hukum Mahkamah Konstitusi dalam Memutus perkara uji

materi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian terhadap

Undang-Undang Dasar Tahun 1945 adalah sebagai berikut:11

1. Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 khusunya frase “orang-perseorangan” bertentangan dengan Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 karena definisi koperasi yang menekankan bahwa koperasi didirikan oleh orang perseorangan bertentangan dengan asas kekeluargaan dan koperasi akan bersifat individualisme (mendahulukan kepentingan sendiri) bukan “individualitas” yang bermakna insaf akan harga dirinya serta mengingkari prinsip koperasi yang sejati yaitu usaha bersama (on cooperative basis);

2. Pasal 37 ayat (1) huruf f dan pasal 57 ayat (2) Undang-Undang 17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian bertentangan dengan Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 karena dengan menetapkan bahwa pengurus dan pengawas koperasi digaji dan mendapat tunjangan maka ketentuan tersebut bertentangan dengan prinsip usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan yang bentuk perusahaannya adalah koperasi;

(10)

3. Pasal 50 ayat (1) huruf a dan Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian bertentangan dengan Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 karena tidak memberi kesempatan pada setiap anggota untuk bisa memilih dan dipilih sebagai pengurus secara langsung dalam rapat anggota, namun harus melalui satu pintu pengusulan yaitu oleh pengawas;

4. Bahwa Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian bertentangan dengan Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 karena asas kekeluargaan sebagai landasan usaha bersama yang diatur dalam Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 adalah menghendaki hubungan antara anggota koperasi satu sama lain harus mencerminkan sebagai orang-orang yang bersaudara, satu keluarga. Dengan dipilihnya non anggota sebagai pengurus koperasi maka dasar kolektivitas dalam koperasi menjadi hilang. Hal itu jelas bertentangan dengan jiwa koperasi yang mengedepankan asas kekeluargaan, saling tolong menolong, gotong royong, senasib sepenanggungan, bersama-sama menolong dirinya dan berdiri di kaki sediri.

5. Bahwa Pasal 50 ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf a dan huruf e serta Pasal 57 ayat (2) Udnag-Undang Nomor 17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian bertentangan dengan Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 karena kedua pasal tersebut intinya memberikan wewenang Pengawas sangat besar yang melebihi wewenang rapat anggota sebagai perangkat organisasi koperasi yang memegang kekuasaan tertinggi dalam koperasi. Wewenang pengurus untuk memberhentikan pengurus sementara adalah sama dengan wewenang Dewan Komisaris untuk memberhentikan sementara anggota direksi sebagaimana ditentukan Pasal 106 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.

(11)

semacam ini tidak sesuai dengan prinsip koperasi sebagai perkumpulan orang-orang yang menolong diri sendiri dengan usaha bersama yang dikendalikan angotanya. Terlebih lagi ketentuan tentang modal penyertaan tersebut juga membuka peluang itikat tidak baik berbagai pihak berupa “money laundring” bisa dilakukan dengan leluasa dilembaga koperasi karena tidak adanya pembatasan yang jelas.

7. Bahwa Pasal 78 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 tahun 2012 Tentang Perkoperasian bertentangan dengan Pasal 28D ayat (2) dan Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 karena pelarangan koperasi membagikan kepada anggota surplus hasil usaha yang berasal dari transaksi dengan non anggota sungguh tidak sesuai dengan asas kekeluargaan yang menjadi landasan usaha bersama dalam Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang bangunan perusahaannya adalah koperasi.

8. Bahwa Pasal 80 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian bertentangan dengan Pasal 28D ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 karena ketentuan tersebut telah menyimpang dari hakikat/ciri badan hukum sebab apabila ada kerugian maka ganti ruginya tidak sebatas pada kekayaan perusahaan. Padahal, menurut prinsip Schulze, tanggung jawab anggota koperasi adalah terbatas.

9. Bahwa Pasal 82, Pasal 83 dan Pasal 84 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian bertentangan dengan Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 karena penentuan jenis koperasi sebatas pada koperasi konsumen, koperasi produsen, koperasi jasa, koperasi simpan pinjam merupakan bentuk pembatasan usaha koperasi. Undang-Undang yang mengatur Perseroan Terbatas saja tidak membatasi jenis usaha Perseroan Terbatas dan setiap satu Perseroan Terbatas harus satu jenis usaha. Ketentuan juga a quo mengikis dan mengubah haikat usaha koperasi tidak lagi bertumpu atau berdasarkan kebutuhan anggota koperasi. Selain itu, ketentuan Pasal 82, Pasal 83 dan Pasal 84 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian juga bertentangan dengan Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 karena menghilangkan hak koperasi sebagai wadah usaha bersama berdasarkan kekeluargaan otonom dan mandiri untuk mengembangkan usahanya.

Dalam Amar Putusannya, Mahkamah Konstitusi memutuskan:12

1. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negera Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

(12)

3. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian berlaku untuk sementara waktu sampai dengan terbentuknya Undang-Undang yang baru.13

Putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan Undang-Undang Nomor 17

Tahun 2012 tentang Perkoperasian tersebut secara keseluruhan telah mengembalikan

koperasi sesuai entitas awalnya yakni kumpulan orang-orang yang mempunyai

kesadaran dan kehendak bebas, tanpa ada paksaan dari siapapun, yang duduk sama

rendah dan berdiri sama tinggi dengan suatu asas persamaan derajat diantara sesama

anggota, serta jalinan hubungan yang harmonis tanpa memandang suku, ras, budaya

dan berlandaskan asas kekeluargaan yang saling topang-menopang antara anggota

satu dengan anggota lain14 dengan tujuan mempertahankan diri terhadap tindakan pihak luar, dengan menarik manfaat yang sebesar-besarnya dari suatu suasana hidup

berkumpul.

Meskipun koperasi merupakan badan hukum tetapi dalam menggerakkan roda

tersebut yang paling utama bukanlah sokongan dari pihak luar tetapi tenaga dan

kesanggupan para anggotalah yang menjadi kunci dalam perbaikan taraf hidup

masing-masing anggota.15

Timbul dan berkembangnya kegiatan perkoperasian, disebabkan perbedaan

penghasilan yang tidak memungkinkan seseorang dapat memenuhi kehidupannya

secara berkelanjutan. Faktor tersebutlah yang menjadikan orang-orang yang keadaan

13Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 1992 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3502.

14Wasis,Pengantar Ekonomi Perusahaan, (Bandung: Alumni, 1981), hal.31-34

15Sagimun MD,Koperasi, Soko guru Ekonomi Nasional Indonesia, (Jakarta: Inti Idayu Press,

(13)

ekonominya lemah untuk bersatu dan membentuk suatu usaha demi kesejahteraan

bersama.16 Suatu usaha bersama agar dapat disebut sebagai koperasi haruslah mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

1. Bukan merupakan kumpulan modal. Konsekuensi dari hal ini, koperasi harus

benar-benar mengabdi kepada kemanusiaan, bukan kepada sesuatu kebendaan.

2. Merupakan kerja sama, yaitu suatu bentuk gotong royong berdasarkan asas

kesamaan derajad, hak dan kewajiban antar anggota.

3. Semua kegiatan harus didasarkan atas kesadaran para anggotanya, tidak boleh

ada paksaan, tidak boleh ada intimidasi, maupun campur tangan dari luar yang

tidak mempunyai sangkut paut dengan koperasi.

4. Tujuan koperasi harus merupakan kepentingan bersama para anggotanya, dan

tujuan tersebut hanya dapat dicapai dengan karya dan jasa yang disumbangkan

para anggotanya, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi harus dapat

mencerminkan perimbangan secara adil dari besar kecilnya karya dan jasa

para anggotanya.17 B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan beberapa

permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini yaitu:

16 Andjar Pachta W, Myra Rosana Bachtiar, Nadia Maulisa Benemay, Hukum Koperasi

Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005), hal.26

17 Nindyo Pramono, Beberapa aspek koperasi pada umumnya dan koperasi Indonesia di

(14)

1. Bagaimanakah akibat dari putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

28/PUU-XI/2013 Tentang Uji Materi Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012

Tentang Perkoperasian?

2. Bagaimanakah status pengurus koperasi yang bukan berasal dari anggota

koperasi pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 28/PUU-XI/2013

Tentang Uji Materi Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 Tentang

Perkoperasian?

3. Bagaimanakah pengaturan perkoperasian di Indonesia?

C. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dalam rangka melakukan penelitian terhadap

kedua permasalahan di atas, adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui akibat dari putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

28/PUU-XI/2013 Tentang Uji Materi Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012

Tentang Perkoperasian.

2. Untuk mengetahui status pengurus koperasi yang bukan berasal dari anggota

koperasi pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 28/PUU-XI/2013 Tentang

Uji Materi Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian.

3. Untuk mengetahui pengaturan perkoperasian di Indonesia

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan dampak yang positif dalam

menambah ilmu pengetahuan dan wawasan hukum di Indonesia baik secara ilmiah

(15)

1. Secara Teoritis

Hasil penelitan diharapkan dapat memberikan sumbangsih pemikiran dalam

perkembangan ilmu hukum dalam bidang perkoperasian.

2. Secara Praktis

Secara praktis, pembahasan dalam tesis ini diharapkan dapat menjadi masukan

bagi praktisi, mahasiswa yang ingin mendalami perkoperasian di Indonesia

dan bagi legislator dalam menciptakan suatu produk peraturan

perundang-undangan yang melihat benang merah suatu kegiatan di Indonesia.

E. Keaslian Penelitian

Sepanjang yang diketahui berdasarkan informasi yang ada dan penelusuran

kepustakaan dilingkungan Universitas Sumatera Utara, khususnya dilingkungan

Magister Kenotariatan, maupun Pasca Sarjana Magister Ilmu Hukum, dan pada

umumnya diseluruh Universitas yang ada di Indonesia, bahwa belum ada judul

penelitian sebelumnya yang berjudul “ANALISIS YURUDIS PUTUSAN

MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 28/PUU-XI/2013” TENTANG

PEMBATALAN UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2012 TENTANG

PERKOPERASIAN”. Ada beberapa judul tesis terdahulu yang berkaitan dengan

judul penelitian ini, diantaranya:

1. Karmila (Nim : 047011037) dengan judul penelitian: Peran Notaris Dalam

Pembuatan Akta Koperasi Menurut Kepmen No. 98/Kep/M.KUKM/IX/2004

(Studi Di Dinas Koperasi Kota Medan).

(16)

1. Bagaimanakah eksistensi Keputusan Menteri Negera Koperasi dan Usaha

Kecil dan Menengah Republik Indonesia, No. 98/KEP/M.KUKM/IX/2004

dalam membuat akta pendirian koperasi pada masa yang akan datang?

2. Bagaimanakah sistem pertanggungjawaban pengurus koperasi dalam sistem

hukum badan usaha di Indonesia?

3. Apakah Keputusan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah

Republik Indonesia No. 98/KEP/M.KUKM/IX/2004 tidak bertentangan

dengan tugas-tugas notaris dalam membuat akta berdasarkan Undang-Undang

Jabatan Notaris?

2. Treesna Sari Berliana Tobing (Nim: 067011102) dengan judul penelitian: Peran

Notaris Dalam Membuat Akta Pendirian Dan Akta Perubahan Anggaran Dasar

Badan Usaha Koperasi (penelaahan terhadap peraturan perundang-undangan

tentang koperasi yang berlaku di indonesia sebelum dan sesudah zaman

kemerdekaan).

Permasalahan:

1. Bagaimanakah peran notaris dalam membuat akta pendirian dan akta

perubahan Anggaran Dasar badan usaha koperasi menurut peraturan

perundang-undangan tentang koperasi sebelum dan sesudah zaman

kemerdekaan?

2. Apa kendala-kendala yang dihadapi oleh notaris dalam pembuatan akta

(17)

3. Apa upaya yang harus dilakukan untuk mengatasi kendala-kendala yang

dihadapi oleh notaris dalam pembuatan akta pendirian dan akta perubahan

Anggaran Dasar badan usaha koperasi?

3. Nike (Nim: 087011087) dengan judul penelitian: Peranan Notaris Pada Pendirian

Dan Aktivitas Koperasi Terhadap Usaha Mikro Kecil Dan Menengah, Studi Di

Kota Medan.

Permasalahan:

1. Bagaimanakah peranan Notaris pada pendirian koperasi?

2. Bagaimanakah peranan Notaris dalam aktivitas koperasi terhadap usaha

Mikro Kecil dan Menengah?

3. Apa yang menjadi tantangan, kendala dan upaya bagi Notaris sehubungan

dengan peranannya pada koperasi?

4. Desi (Nim: 097011042) dengan judul penelitian: Analisis Yuridis terhadap

pemberian kredit tanpa jaminan pada koperasi karyawan Perum Gas Negara

Cabang Medan.

Permasalahan:

1. Bagaimana pelaksanaan pemberian pinjaman tanpa jaminan pada koperasi

karyawan PT. Gas Negara Cabang Medan?

2. Bagaimana penyelesaian masalah dalam pemberian kredit tanpa jaminan pada

koperasi karyawan PT. Gas Negara Cabang Medan apabila terjadi

(18)

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Teori merupakan serangkaian asumsi, konsep, defenisi dan proposisi untuk

menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan

hubungan antar konsep.18 Fungsi teori dalam penelitian inadalah untuk memberikan petunjuk, mengharapkan dan menganalisa putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

28/PUU-XI/2013 Tentang Pembatalan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012

Tentang Perkoperasian. Dalam menjawab rumusan permasalahan yang ada, kerangka

teori yang digunakan sebagai pisau analisis dalam penulisan ini adalah teori kepastian

hukum dan teori hukum murni.

Kepastian hukum berasal dari ajaran yuridis dogmatik yang didasarkan pada

aliran pemikiran positivistis di dunia hukum, yang cenderung melihat hukum sebagai

sesuatu yang otonom, yang mandiri, karena bagi penganut pemikiran ini, hukum tak

lain hanya kumpulan aturan. Bagi penganut aliran ini, tujuan hukum tidak lain dari

sekedar menjamin terwujudnya kepastian hukum. Kepastian hukum itu diwujudkan

oleh hukum dengan sifatnya yang hanya membuat suatu aturan hukum yang bersifat

umum. Sifat umum dari aturan-aturan hukum membuktikan bahwa hukum tidak

bertujuan untuk mewujudkan keadilan atau kemanfaatan, melainkan semata-mata

untuk kepastian.19

18Soerjono Soekanto,Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), hal.6 19Achmad Ali,Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), (Jakarta:

(19)

Teori Kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian yaitu pertama adanya

aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh

atau tidak boleh dilakukan, dan kedua berupa keamanan hukum bagi individu dari

kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan hukum yang bersifat umum

itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh

negara terhadap individu. Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam

undang-undang melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim antara

putusan hakim yang satu dengan putusan hakim lainnya untuk kasus yang serupa

yang telah di putuskan.20

Hukum pada hakikatnya adalah sesuatu yang bersifat abstrak, meskipun

dalam manifestasinya bisa berwujud kongkrit. Pertanyaan mengenai apakah hukum

itu senantiasa merupakan pertanyaaan yang jawabannya tidak mungkin satu tetapi

beraneka ragam, tergantung dari sudut mana mereka memandangnya. Kalangan

hakim akan memandang hukum itu dari sudut pandang mereka sebagai hakim,

kalangan ilmuwan hukum akan memandang hukum dari sudut profesi keilmuan

mereka, rakyat kecil akan memandang hukum dari sudut pandang mereka dan

sebagainya.

Mengenai rumusan masalah pertama (1) dan kedua (2) teori hukum yang

digunakan untuk menjawabnya adalah dengan menggunakan teori kepastian hukum.

20Peter Mahmud Marzuki,Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Kencana Pranada Media Group,

(20)

Menjawab rumusan masalah ketiga (3), teori yang digunakan adalah teori hukum

murni yang disampaikan oleh Hans Kelsen. Teori hukum murni adalah teori yang

berasal dari aliran hukum positif, dimana dalam teori ini berusaha memberikan

pengertian hukum dilihat sebagai sesuatu yang murni terlepas dari segala unsur lain

yang berasal dari luar ilmu hukum itu sendiri.

Teori hukum murni berusaha untuk memisahkan pengertian antara ilmu

hukum dari pengaruh norma-norma moral dan menjadikan hukum sebagai suatu

sistem yang berjalan secaraindependent atau mandiri terlepas dari pengaruh hukum

moral. Suatu norma dapat menjadi suatu produk hukum yang valid hanya

dikarenakan norma tersebut sudah dituangkan di dalam suatu bentuk undang-undang

yang dilahirkan melalui suatu prosedur hukum.

Teori hukum murni yang disampaikan oleh Hans Kelsen dapat dirumuskan

sebagai suatu analisis tentang struktur hukum positif, yang dilakukan seeksak

mungkin, suatu analisis yang bebas dari semua pendapat etis atau politis mengenai

suatu nilai. Kelsen pada dasarnya ingin menciptakan suatu ilmu pengetahuan hukum

murni, menghilangkan dari semua unsur-unsur yang tidak penting dan memisahkan

jurisprudence dari ilmu-ilmu sosial, sebagaimana yang dilakukan oleh kaum analis

denga tegas.

Kelsen menolak memberikan definisi hukum sebagai suatu perintah,

dikarenakan definisi yang demikian mempergunakan pertimbangan-pertimbangan

subyektif dan politis, sedangkan yang dikehendaki ilmu pengetahuan adalah

(21)

apa yang terjadi, tetapi lebih menitik beratkan untuk menentukan

peraturan-peraturann tertentu, meletakkan norma-norma bagi tindakan yang harus diikuti orang.

Teori hukum murni merupakan suatu pengembangan yang amat saksama dari

aliran positivisme, dimana teori hukum murni menolak ajaran yang bersifat ideologis

dan hanya menerima hukum sebagaimana adanya, yaitu dalam bentuk

peraturan-peraturan yang ada. Teori hukum murni tidak boleh dicemari oleh ilmu-ilmu politik,

sosiologi, sejarah dan pembicaraan tentang etika.

Salah satu ciri yang menonjol pada teori hukum murni adalah adanya suatu

paksaan. Setiap hukum harus mempunyai alat atau perlengkapan untuk memaksa.

Negara dan hukum dinyatakan identik, sebab negara hanya suatu sistem perilaku

manusia dan pengaturan terhadap tatanan sosial. Kekuasaan memaksa ini tidak

berbeda dengan tata hukum, dengan alasan bahwa di dalam suatu masyarakat hanya

satu dan bukan dua kekuasaan yang memaksa pada saat yang sama.

Bagian lain dari teori Hans Kelsen yang bersifat dasar adalah konsep

mengenai Grundnorm, yaitu suatu dalil yang akbar yang tidak dapt ditiadakan yang

menjadi tujuan dari semua jalan hukum bagaimanapun berputar-putarnya jalan itu.

Grundnorm merupakan induk untuk melahirkan peraturan-peraturan hukum dalam

suatu sistem hukum. Grundnorm tidak perlu sama untuk setiap tata hukum, tetapi

selalu akan ada, baik dalam bentuk tertulis atau sebagai suatu pernyataan yang tidak

tertulis.

Grundnorm diibaratakan semacam solar yang menggerakan suatu mesin.

(22)

yang memberikan pertanggungjawaban, mengapa suatu produk hukum dilaksanakan,

karenanyaGrundnormlebih merupakan dalil daripada peraturan biasa. Dalil itu akan

tetap menjadi dasar dari tata hukum manakala orang mempercayai, mengakui dan

mematuhinya. Ketika dalil tersebut sudah tidak dipercayai orang dengan cara

menggugat kebenarannya, maka keseluruhan bangunan hukumnya pun akan runtuh.

Dasar-dasar pokok teori Hans Kelsen adalah sebagai berikut:21

1. Tujuan teori tentang hukum, seperti juga setiap ilmu, adalah untuk mengurangi

kekalutan dan meningkatkan kesatuan (unity);

2. Teori hukum adalah ilmu, bukan kehendak, keinginan. Teori hukum adalah

pengetahuan tentang hukum yang ada, bukan tentang hukum yang seharusnya

ada;

3. Ilmu hukum adalah normatif, bukan ilmu alam;

4. Sebagai suatu teori tentang norma-norma, teori hukum tidak berurusan dengan

persoalan efektifitas norma-norma hukum;

5. Suatu teori tentang hukum adalah formal, suatu teori tentang cara pengaturan dari

isi yang berubah-ubah menurut jalan atau pola yang spesifik;

6. Hubungan antara teori hukum dengan suatu sistem hukum tertentu adalah seperti

hukum yang mungkin dan hukum yang ada.

Pada dasarnya inti ajaran Hans Kelsen terkait hukum murni ada tiga (3)

konsep, yaitu:

21

(23)

1. Ajaran hukum murni Hans Kelsen ingin membersihkan ilmu hukum dari

anasir-anasir non hukum seperti sejarah, moral, sosiologis, politik, dan sebagainya;’

2. Ajaran tentang Grundnorm merupakan induk yang melahirkan

peraturan-peraturan hukum dalam suatu tatanan sistem hukum tertentu, sehingga

grundnorm yang ada pada tata hukum A tidak mesti sama dengan grundnorm

pada tata hukum B.

3. Ajaran tentang Stufenbautheorie, peraturan hukum keseluruhannya diturunkan

dari norma dasar yang berada di puncak piramida, dan semakin ke bawah

semakin beragam dan menyebar. Norma dasar teratas adalah abstrak dan makin

ke bawah makin konkrit. Dalam proses itu, apa yang semula berupa suatu

“seharusnya” berubah menjadi sesuatu yang “dapat” dilakukan.

2. Landasan Konsepsi

Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Perananan konsep

dalam penelitian adalah untuk menghubungkan antara teori dan observasi, antara

abstraksi dengan realitis.22

Pemakaian konsep terhadap istilah yang digunakan terutama dalam judul

penelitian, bukanlah untuk keperluan mengkomunikasikannya yang mengakbatkan

salah tafsir, tetapi untuk menuntun dalam menangani penelitian.23 Agar tidak terjadi perbedaan pengertian tentang konsep-konsep yang dipergunakan dalam penelitian ini,

maka perlu diuraikan pengertian-pengertian konsep yang dipakai, yaitu:

22Masri Singarimbun dkk,Metode Penelitian Survei, (Jakarta: LP3ES, 1989), hal.34

23Sanapiah Faisal,Format-Format Penelitian Sosial, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999),

(24)

a. Analis Yuridis adalah penilitian suatu peristiwa atau kejadian dengan

menggunakan hukum untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya.

b. Putusan Mahkamah Konstitusi adalah putusan yang dijatuhkan oleh lembaga

tinggi Negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.

c. Uji Materi adalah Pengujian terhadap norma-norma hukum yang berlaku yang

dianggap melanggar hak-hak konstitusional warga Negara.

d. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian adalah

Payung hukum kegiatan perkoperasian di Indonesia.

G. Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan suatu sistem dan suatu proses yang mutlak

harus dilakukan dalam suatu kegiatan penelitan dan pengembangan ilmu

pengetahuan. Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan

pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari

satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisa, melaksanakan

pemeriksaan mendalam terhadap fakta hukum tersebut, kemudian selanjutnya

mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan yang timbul didalam gejala yang

bersangkutan.24

1. Sifat dan Jenis Penelitian

Meneliti pada hakekatnya adalah mencari kebenaran yang berkaitan dengan

kaedah, norma, Das Sollen/ seharusnya, bukan peristiwa, perilaku dalam arti fakta

24 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan

(25)

atau Das Sein/ senyatanya. Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yaitu penelitian

yang menggambarkan, menguraikan, memaparkan sekaligus menganalisis putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 28/PUU-XI/2013 Tentang pembatalan Undang-Undang

Nomor 17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian. Penilitian ini merupakan suatu

kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu

yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan

cara menganalisanya.25

Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif yang disebut juga

sebagai penelitian doktrinal. Penelitian yuridis normatif atau penelitian doktrinal ini

adalah penelitian hukum yang mengkaji peraturan perundang-undangan yang

berkaitan dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 28/PUU-XI/2013 tentang

pembatalan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian, serta

membahas doktrin-doktrin atau asas-asas yang berkembang dalam ilmu hukum yang

berlaku sebagai pijakan normatif, yang diawali dari premis umum dan berakhir pada

kesimpulan khusus.26

2. Bahan Hukum

Berhubung metode penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, maka

bahan hukum dalam penelitian terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum

sekunder, bahan hukum tertier, yaitu:

25Soerjono Soekanto,Pengantar Penelitian Hukum,Lo.Cit, hal.43

26 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: UI-Press,

(26)

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mengikat, berupa

perundang-undangan yang berhubungan dengan perkoperasian

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberi penjelasan

tentang bahan hukum primer, seperti buku-buku, makalah-makalah,

jurnal-jurnal, pendapat para ahli, hasil penelitian yang relevan dengan penelitian ini.

c. Bahan Hukum Tertier

Bahan hukum tertier yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk dan juga

penjelasan terhadap bahan primer dan bahan sekunder yang berupa kamus

hukum, ensiklopedia, majalah, surat kabar dan internet yang relevan dengan

penelitian yang dilakukan.27

3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik yang digunakan untuk menghimpun data dalam penelitian ini adalah

dengan metode penelitian kepustakaan (library research) yaitu dengan cara

menghimpun data yang berasal dari kepustakaan, berupa buku-buku atau literatur,

jurnal ilmiah, majalah-majalah, peraturan perundang-undangan yang berhubungan

dengan masalah yang diteliti.

4. Alat Pengumpulan Bahan Hukum

Alat pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah

studi dokumen disertai dengan wawancara kepada Koperasi Simpan Pinjam Tama

(27)

Mandiri yang didirikan berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2012 Tentang

Perkoperasian yang sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.

5. Analisis Bahan Hukum

Analisis merupakan suatu proses mengorganisasikan dan menggunakan data

dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat dirumuskan suatu

hipotesa seperti yang disarankan oleh data.28

Kegiatan analisa dilakukan secara kualitatif, dimulai dengan melakukan

pemeriksaan terhadap data yang terkumpul, baik dari peraturan perundang-undangan,

karya ilmiah, makalah, judul penelitian, internet, selanjutnya dengan menggunakan

metode deduktif akan ditarik kesimpulan untuk mencari jawaban dari masalah

penelitian.

28Bambang Sunggono,Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002),

Referensi

Dokumen terkait

Salah satu sumber energi biomassa adalah biogas, hal ini dikarenakan biogas tergolong ke dalam energi yang berasal dari bahan- bahan organik (bahan non fosil) yang

(Geothermal).Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di Desa Sapoo, Kabupaten Sigi dengan menggunakan metode geomagnet dapat disimpulkan bahwa gradien

Characteristics of starch avocado seed aims to determine the percentage of components contained in starch produced, Characterization include starch content (amylum), water

Saat ini praktikum Administrasi Jaringan Komputer pada Politeknik Caltex Riau masih menggunakan Software Virtualisasi seperti VMWare atau VritualBox yang merupakan

Konsep governance ini kemudian berkembang menjadi good governance yang kita kenal sekarang dalam rangka membedakan antara yang baik dan yang buruk. Konsep good governance

Selain itu Mikrotik juga mempunyai fasilitas router, manajemen Bandwidth dan firewall yang kesemua itu dapat kita atur sesuai dengan kebutuhan pada jaringan

Dinas Koperasi, UKM, Perindustrian, Perdagangan, dan Energi Sumber Daya Mineral adalah Instansi pemerintah yang menangani seluruh aspek terkait perkembangan industri

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan bukti empiris mengenai kecerdasan emosional dan perilaku belajar terhadap tingkat pemahaman akuntansi, untuk mendapatkan