• Tidak ada hasil yang ditemukan

Implementasi Program Raskin (Beras Miskin) pada Desa Lingga Raja I, Kecamatan Pegagan Hilir, Kabupaten Dairi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Implementasi Program Raskin (Beras Miskin) pada Desa Lingga Raja I, Kecamatan Pegagan Hilir, Kabupaten Dairi"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Problematika pembangunan yang sedang dihadapi Negara Indonesia

semakin kompleks dan mencakup berbagai bidang, baik politik, sosial, ekonomi,

budaya, stabilitas nasional, maupun pertahanan, dan keamanan. Dalam kegiatan

pemerintahan, banyak permasalahan dan urusan yang harus diselesaikan berkaitan

dengan semakin berkembangnya pembangunan yang dilaksanakan. Agar dapat

melancarkan jalannya roda sistem pemerintahan, wilayah Indonesia dibagi dalam

wilayah yang lebih kecil sebagaimana ditegaskan dalam pasal 18 Undang-undang

Dasar 1945 yang berbunyi “Pembagian Daerah Indonesia atas daerah besar dan

kecil dengan bentuk pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-undang dengan

memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan

Negara, dan hak-hak asal usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa”.

Dengan adanya pemberian otonomi kepada daerah Kabupaten/Kota, maka

memungkinkan daerah yang diberi kewenangan untuk mengatur dan mengurus

rumah tangganya sendiri untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna

penyelenggaraan pemerintah dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan

pelaksanaan pembangunan. Salah satunya adalah upaya penanggulangan

kemiskinan. Masalah kemiskinan menjadi perhatian nasional dan penanganannya

perlu dilakukan secara tepat dan terpadu yang melibatkan berbagai sektor, baik

pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Upaya-upaya tersebut telah

dicantumkan menjadi salah satu program prioritas dalam Rencana Kerja

Pemerintah (RKP) tahun 2008.

Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2008 tentang Kebijakan Perberasan

menginstruksikan Menteri dan Kepala Lembaga Pemerintah Non Departemen

tertentu, serta Gubernur dan Bupati/Walikota seluruh Indonesia untuk melakukan

upaya peningkatan pendapatan petani, ketahanan pangan, pengembangan ekonomi

(2)

diinstruksikan untuk menyediakan dan menyalurkan beras bersubsidi bagi

kelompok masyarakat miskin dan rawan pangan, yang penyediaannya

mengutamakan pengadaan beras dari gabah petani dalam negeri.

Dasar hukum dari pelaksanaan program Raskin adalah sebagai berikut:

1. Undang-undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara.

2. Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

3. Undang-undang No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan.

4. Undang-undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun

anggaran 2015.

5. Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan.

6. Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 2003 tentang Pendirian Perusahaan Umum

BULOG.

7. Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.

8. Peraturan pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan

Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan

Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.

9. Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern

Pemerintah (SPIP).

10. Peraturan Presiden RI No. 15 tahun 2010 tentang Percepatan Penanggulangan

Kemiskinan.

11. Peraturan Presiden RI tentang Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2015.

12. Instruksi Presiden No. 3 Tahun 2012 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras

dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah.

13. Permendagri No. 21 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri

Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan

Daerah..

14. Permendagri No. 42 Tahun 2010 tentang Tim Koordinasi Penanggulangan

Kemiskinan Provinsi, Kabupaten/Kota.

15. Permenkeu tentang Penunjukan Kementerian Sosial sebagai Kuasa Pengguna

Anggaran (KPA) program Raskin.

16. Permensos No. 24 Tahun 2013 tentang Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan.

17. Kepmenko Kesra No. 29 Tahun 2014 tentang Tim Koordinasi Raskin Pusat.

18. Instruksi Mendagri No: 541/3150/SJ Tahun 2013 tentang Pelaksanaan Pembagian

(3)

19. Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No: 900/2634/SJ Tahun 2013 tentang

pengalokasian biaya penyaluran raskin dari Titik Distribusi ke Titik Bagi.

Pemerintah berupaya mengajak partisipasi aktif masyarakat dengan

mengacu pada teori Bottom-Up. Dalam hal ini, pemerintah berharap masyarakat

dapat terpacu untuk bisa menembus perangkap kemiskinan sehingga dapat

mengurangi jumlah masyarakat miskin. Salah satu programnya adalah Program

Beras Miskin (Raskin). Program Raskin (Program Penyaluran Beras Untuk

Keluarga Miskin) adalah sebuah program dari pemerintah. Program ini

dilaksanakan di bawah tanggungjawab Departemen Dalam Negeri dan Perum

Bulog sesuai dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Dalam Negeri

dengan Direktur Utama Perum Bulog Nomor : 25 Tahun 2003 dan Nomor :

PKK-12/07/2003, yang melibatkan instansi terkait, pemerintah daerah, dan masyarakat.

Program Raskin merupakan subsidi pangan sebagai upaya dari pemerintah untuk

meningkatkan ketahanan pangan dan memberikan perlindungan terhadap keluarga

miskin melalui pendistribusian beras yang diharapkan mampu menjangkau

keluarga miskin berdasarkan PAGU (Plafon Gubernur).

Program Raskin pada dasarnya merupakan kelanjutan dari Program

Operasi Pasar Khusus (OPK) yang dilaksanakan pada Juli 1998 dibawah Program

Jaring Pengaman Sosial (JPS). Beberapa penyesuaian yang telah dilakukan antara

lain meliputi perubahan nama, jumlah beras per rumah tangga, frekuensi

distribusi, sumber dan jenis data sasaran penerima manfaat, dan penyediaan

lembaga pendamping. Pada tahun 2002, pemerintah mengganti nama Operasi

Pasar Khusus (OPK) menjadi Program Raskin agar lebih mencerminkan sifat

program, yakni sebagai bagian dari program perlindungan sosial bagi Rumah

Tangga Miskin (RTM), tidak lagi sebagai program darurat penanggulangan krisis

ekonomi. Penetapan jumlah beras per bulan per RTM yang awalnya 10 kg, dan

beberapa tahun berikutnya bervariasi dari 10 kg hingga 20 kg, dan pada tahun

2009 menjadi 15 kg. Frekuensi distribusi awalnya sebanyak 12 kali, pada tahun

2006 berkurang menjadi 10 kali, dan pada tahun 2007 sampai saat ini kembali

menjadi 12 kali per tahun. Sasaran penerima manfaat yang sebelumnya

(4)

alasan ekonomi hasil pendataan BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana

Nasional), Sejak 2006 berubah menggunakan data RTM hasil pendataan BPS

(Badan Pusat Statistik). Program ini dilaksanakan sebagai konsekuensi dari

kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang subsidinya ditarik oleh

pemerintah pusat. Kenaikan harga BBM tersebut jelas berdampak pada naiknya

harga sembilang bahan pangan pokok, salah satunya beras.

Program Raskin bertujuan untuk mengurangi beban pengeluaran dari

rumah tangga miskin sebagai bentuk dukungan dalam meningkatkan ketahanan

pangan dengan memberikan perlindungan sosial beras murah bagi masyarakat

dengan harga Rp. 1.600,00/kg(Netto) di Titik Distribusi. Sasaran Program Raskin

ini adalah meningkatkan akses pangan kepada keluarga miskin untuk memenuhi

kebutuhan pokok dalam rangka menguatkan ketahanan pangan rumah tangga dan

mencegah penurunan konsumsi energi dan protein. Program Raskin perlu

dilaksanakan agar masyarakat miskin benar-benar bisa merasakan manfaatnya,

yakni dapat membeli beras berkualitas dengan harga yang terjangkau. Program ini

mencakup di seluruh provinsi, sementara tanggungjawab dari distribusi beras dari

gudang sampai ke Titik Distribusi dipegang oleh Perum Bulog

Pemberian bantuan kepada keluarga miskin sudah sangat baik dilakukan

pemerintah, tetapi dalam pelaksanaannya terjadi banyak penyimpangan. Dalam

pelaksanaannya, ada beberapa masalah yang dihadapi dalam penyaluran Beras

Raskin. Jika diamati berdasarkan Indikator Ketepatan program ini, maka ada 6

indikator yang harus dipenuhi yaitu tepat sasaran, tepat jumlah, tepat harga, tepat

waktu, tepat administrasi dan tepat kualitas. Implementasi Raskin tidak jarang

rentan terhadap penyimpangan. Menurut Lembaga Penelitian SMERU

mengatakan bahwa Raskin menjangkau 52,6% rumah tangga miskin, namun

rumah tangga tidak miskin yang terjangkau juga relatif tinggi, yakni 36,9%.

Berdasarkan 6 indikator Raskin, ada beberapa indikator yang bermasalah

dalam pengimplementasiannya di Desa Lingga Raja I, permasalahan ini diketahui

dari pernyataan langsung masyarakat Desa Lingga Raja I, diantaranya yaitu

(5)

pengimplementasiannya akibat kelemahan koordinasi dalam pelaksanaan raskin

antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi dengan pemerintah kota, kecamatan,

kelurahan dan desa yang menyebbakan keusangan data mengenai jumlah warga

miskin. Akibatnya, jumlah warga miskin yang didata bisa lebih besar ataupun

lebih kecil dari jumlah yang sebenarnya, sehingga raskin yang dibagikan akan

berdampak pada kekurangan ataupun kelebihan jatah, di daerah penelitian juga

diketahui adanya masalah tidak tepat sasaran dalam pengimplementasian program

ini.

Kedua, tepat harga, naiknya harga raskin yang harus ditebus warga

disebabkan oleh alasan yang seringkali dimunculkan para petugas untuk

menjawab ketidaktersediaan dana untuk pengangkutan (distribusi beras atau biaya

transportasi), dan lain-lain. Akibatnya, biaya ini dibebankan kepada warga,

sehingga tidak heran kalau harga awal berbeda dengan harga di lapangan. Di Desa

Lingga Raja I juga terjadi perbedaan harga dengan harga yang ditetapkan oleh

pemerintah., harga Raskin yang harus dibayarkan oleh masyarakat adalah Rp.

32.000 per karung, hal ini menunjukkan perbedaan harga yang signifikan, karena

harga Raskin yang dianjurkan oleh pemerintah adalah Rp. 1.600 per kg atau Rp.

24.000 per karung.

Ketiga, tepat waktu, perbedaan tanggal realisasi raskin tiap bulannya

menjadi masalah tersendiri dalam implementasi program ini, tidak adanya

ketentuan tanggal per bulannya menyebabkan banyak warga yang tidak mendapat

kepastian mengenai program ini. Di Desa Lingga Raja I, masalah ini juga sering

terjadi, tidak ada tanggal kepastian kapan Raskin dapat diambil setiap bulannya,

bahkan terkadang realisasi Raskin bisa dirangkap menjadi 2 bulan sekali dan jatah

diberikan sebanyak 30 kg/RTS.

Keempat, tepat administrasi, masalah tepat administrasi menjadi masalah

tersendiri dalam pengimplementasian program ini, banyaknya warga yang enggan

berurusan dengan administrasi dan tidak tahu dengan mekanisme administrasi

seringkali menimbulkan celah-celah untuk memanipulasi data yang ada. Masalah

yang terjadi dalam pengimplementasian program Raskin di Desa Lingga Raja I,

yaitu setiap warga yang menerima Raskin rata-rata tidak memiliki kartu Raskin,

(6)

Kelima, tepat kualitas, masalah tepat kualitas menjadi masalah tersendiri

yang dampaknya langsung dirasakan oleh RTS-PM. Di Desa Lingga Raja I,

masalah tepat kualitas ini juga sering sekali terjadi. Secara kasat mata, setiap

warga tidak mengetahui bagaimana kualitas beras yang diberikan kepada mereka,

karena jatah 15 kg beras diambil dengan menggunakan karung yang tertutup

sehingga warga tidak bisa memilih, tidak jarang warga desa Lau Gumba

mendapatkan beras yang berbau, beras yang pecah, berwarna kekuningan dan

bahkan ada yang berkutu, tetapi tidak jarang pula warga mendapat kualitas beras

yang cukup baik. Hal inilah yang terkadang dikeluhkan oleh masyarakat setempat.

Dari pemaparan latar belakang diatas, maka penulis merasa tertarik untuk

melakukan penelitian dengan judul “Implementasi Program RASKIN (Beras Miskin) (Pada Desa Lingga Raja I, Kecamatan Pegagan Hilir, Kabupaten Dairi).”

1.2 RumusanMasalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka yang menjadi rumusan

masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana Implementasi Program RASKIN (Beras Miskin) (Pada Desa Lingga Raja I, Kecamatan Pegagan Hilir, Kabupaten Dairi)?”

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui bagaimana implementasi program Raskin (Beras Raskin) di

Desa Lingga Raja I, Kecamatan Pegagan Hilir, Kabupaten Dairi.

2. Untuk mengetahui masalah atau kendala dalam implementasi program Raskin

(Beras Raskin) di Desa Lingga Raja I, Kecamatan Pegagan Hilir, Kabupaten

Dairi.

1.4 Manfaat Penelitian

(7)

1. Secara Subjektif, penelitian ini bermanfaat untuk melatih, meningkatkan, dan

mengembangkan kemampuan berfikir ilmiah, sistematis, dan metodologi

penulis dalam menyusun suatu wacana baru dalam memperkaya ilmu

pengetahuan.

2. Secara Praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi

instansi terkait dan masyarakat, khususnya di tempat penelitian ini

dilaksanakan, agar dapat terus melaksanakan kewajibannya.

3. Secara Akademis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi baik

secara langsung maupun tidak langsung bagi kepustakaan departemen Ilmu

Administrasi Negara dan bagi kalangan penulis lain yang ingin meneliti hal

yang sama.

1.5 Kerangka Teori

Dalam suatu penelitian diperlukan adanya kumpulan teori-teori yang akan

menjadi landasan teoritis dan menjadi pedoman dalam melaksanakan penelitian.

Setelah masalah penelitian dirumuskan, maka langkah selanjutnya adalah mencari

teori-teori, konsep-konsep, dan generalisasi-generalisasi hasil penelitian yang

dapat dijadikan sebagai landasan teoritis untuk melaksanakan penelitian. Secara

umum, teori adalah sebuah sistem konsep abstrak yang mengindikasikan adanya

hubungan diantara konsep-konsep tersebut yang membantu kita memahami

sebuah fenomena. Sehingga bisa dikatakan bahwa sebuah teori adalah sebuah

kerangka kerja konseptual untuk mengatur pengetahuan dan menyediakan suatu

cetak biru untuk melakukan beberapa tindakan selanjutnya. Adapun kerangka

teori dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1.5.1 Kebijakan Publik

1.5.1.1 Pengertian Kebijakan Publik

Kebijakan berasal dari kata policy dari bahasa inggris yang artinya.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kebijakan dapat diartikan

(8)

rencana pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak. Sedangkan publik biasa

diartikan sebagai umum, masyarakat, ataupun Negara.

Menurut Woll (1966), kebijakan publik adalah sejumlah aktivitas

pemerintah untuk memecahkan masalah di masyarakat, baik secara langsung

maupun melalui berbagai lembaga yang mempengaruhi kehidupan masyarakat.

Dalam pelaksanaan kebijakan publik terdapat tiga tingkat pengaruh sebagai

implikasi dari tindakan pemerintah tersebut yaitu: (a) adanya pilihan kebijakan

atau keputusan yang dibuat oleh politisi, pegawai pemerintah atau yang lainnya

yang bertujuan menggunakan kekuatan publik untuk mempengaruhi kehidupan

masyarakat, (b) adanya output kebijakan, dimana kebijakan yang diterapkan pada

level ini menuntut pemerintah untuk melakukan pengaturan, penganggaran,

pembentukan personil, dan membuat regulasi dalam bentuk program yang akan

mempengaruhi kehidupan masyarakat, (c) adanya dampak kebijakan yang

merupakan efek pilihan kebijakan yang mempengaruhi kehidupan masyarakat.

Menurut Carl I. Friederick (1963:79) kebijakan publik adalah serangkaian

tindakan yang diusulkan seseorang, kelompok, atau pemerintah dalam suatu

lingkungan tertentu dengan ancaman dan peluang yang ada. Sedangkan W.

Wilson dalam bukunya Parsons (2008:15) memaknai kebijakan publik sebagai

seperangkat aksi atau rencana yang mengandung tujuan politik yang berbeda

dengan makna “administration”. Kata policy mengandung makna kebijakan

sebagai rationale, sebuah manifestasi dari penilaian yang penuh pertimbangan.

Dari defenisi-defenisi yang tertera diatas, maka dapat disimpulkan,

kebijakan publik adalah serangkaian pedoman dan dasar rencana yang akan

dilakukan oleh pemerintah dalam mengatasi persoalan-persoalan yang ada

didalam kehidupan masyarakat dengan hubungan yang mengikat. Jadi, kebijakan

publik berpusat pada penyelesaian masalah yang sudah nyata.

1.5.1.2 Tahapan Kebijakan Publik

Proses analisis kebijakan adalah serangkaian aktivitas intelektual yang

dilakukan didalam proses kegiatan yang pada dasarnya bersifat politis. Aktivitas

(9)

divisualisasikan sebagai serangkaian tahap yang saling bergantung yang diatur

menurut urutan waktu: penyusunan agenda kebijakan, formulasi kebijakan, adopsi

kebijakan, implementasi kebijakan, dan penilaian kebijakan (Willian N. Dunn,

2003). Sedangkan aktivitas perumusan masalah, peramalan, rekomendasi

kebijakan, pemantauan, dan evaluasi kebijakan adalah aktivitas yang lebih bersifat

intelektual.

Kebijakan publik memiliki tahapan yang cukup kompleks karena memiliki

banyak proses dan variable. Menurut Willian Dunn (1998), tahap-tahap kebijakan

publik adalah sebagai berikut:

1. Penyusunan Agenda (Agenda Setting)

Agenda Setting adalah sebuah fase dan proses yang sangat strategis dalam

relaitas kebijakan publik. Dalam proses inilah kebijakan publik memiliki ruang

untuk memaknai apa yang disebut sebagai masalah publik dan prioritas dalam

agenda publik dipertaruhkan. Pada hakekatnya permasalahan ditemukan melalui

proses problem structuring. Menurut Willian N. Dunn problem structuring

memiliki empat fase yaitu pencarian masalah, pendefenisian masalah, spesifikasi

masalah, dan pengenalan masalah. Sedangkan teknik yang dapat dilakukan untuk

merumuskan masalah adalah analisis batasan masalah, analisis klarifikasi, analisis

hierarki dan brainstorming, analisis multi perspektif, analisis asumsional serta

pemerataan argumentasi.

2. Formulasi Kebijakan (Policy Formulation)

Masalah yang sudah masuk dalam agenda kebijakan kemudian dibahas oleh

para pembuat kebijakan. Masalah-masalah tersebut didefenisikan untuk kemudian

dicari pemecahan masalah yang terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari

berbagai alternatif atau pilihan kebijakan yang sudah ada. Sama halnya dengan

kesulitan suatu masalah untuk masuk kedalam agenda kebijakan. Dalam tahap

perumusan kebijakan, masing-masing alternatif bersaing untuk dapat dipilih

sebagai kebijakan yang diambil untuk memecahkan masalah.

(10)

Alternatif kebijakan yang diadopsi dari mayoritas legislative, konsenus

diantara direktur lembaga, atau keputusan peradilan. Tahap adopsi kebijakan

merupakan tahap untuk menentukan pilihan kebijakan melalui dukungan dari para

stakeholders atau pelaku yang terlibat. Tahap ini dilakukan setelah melalui proses

rekomendasi dengan langkah-langkah sebagai berikut:

a) Mengidentifikasi alternatif kebijakan (policy alternatif) yang dilakukan

pemerintah untuk merealisasikan masa depan yang diinginkan dan merupakan

langkah terbaik dalam upaya mencapai tujuan tertentu bagi kemajuan

masyarakat luas.

b) Pengidentifikasian kriteria-kriteria tertentu dan terpilih untuk menilai alternatif

yang akan direkomendasikan.

c) Mengevaluasi alternatif-alternatif tersebut dengan menggunakan

kriteria-kriteria yang relevan (tertentu) agar efek positif alternatif kebijakan tersebut

lebih besar daripada efek negatif yang akan terjadi.

4. Implementasi Kebijakan (Policy Implementation)

Pada tahap ini suatu kebijakan telah dilaksanakan oleh birokrasi pemerintah

tertentu dengan memobilisasikan sumber dana dan sumber daya lainnya

(teknologi dan manajemen), dan pada tahap ini monitoring dapat dilakukan.

Menurut Patton dan Sawicki bahwa implementasi berkaitan dengan berbagai

kegiatan yang diarahkan untuk merealisasikan program, dimana pada posisi ini

eksekutif mengatur cara untuk mengorganisir, menginterpretasikan, dan

menerapkan kebijakan yang telah diseleksi.

Tahapan implementasi merupakan peristiwa yang berhubungan dengan apa

yang terjadi setelah suatu perundang-undangan ditetapkan dengan memberikan

otoritas pada suatu kebijakan dengan membentuk output yang jelas dan dapat

diukur. Dengan demikian tugas implementasi kebijakan sebagai suatu

penghubung yang memungkinkan tujuan-tujuan kebijakan mencapai hasil melalui

aktivitas atau kegiatan dari program pemerintah.

(11)

Secara umum, evaluasi kebijakan dapat dikatakan sebagai kegiatan yang

menyangkut penilaian kebijakan yang mencakup substansi, implementasi, dan

dampak. Dalam hal ini, evaluasi dipandang sebagai suatu kegiatan fungsional.

Artinya, evaluasi kebijakan tidak hanya dilakukan pada tahap akhir saja,

melainkan dilakukan dalam seluruh proses kebijakan. Dengan demikian, evaluasi

kebijakan meliputi tahap perumusan masalah-masalah kebijakan,

program-program yang diusulkan untuk menyelesaikan masalah kebijakan, implementasi,

maupun tahap dampak kebijakan. Menurut Dunn, evaluasi kebijakan mengandung

arti yang berhubungan dengan penerapan skala penilaian terhadap hasil kebijakan

dan program yang dilakukan.

1.5.2 Implementasi Kebijakan

1.5.2.1 Pengertian Implementasi Kebijakan

Penggunaan istilah Implementasi pertama sekali digunakan oleh Arold

Lawsell (Purwanto, 2012:17). Sebagai ilmuwan yang pertama sekali

mengembangkan studi tentang kebijakan publik, Lawsell menggagas suatu

pendekatan yang ia sebut sebagai pendekatan proses (policy process approach).

Menurutnya agar ilmuwan memperoleh pemahaman yang baik tentang apa

sesungguhnya arti dari kebijakan publik, maka kebijakan publik harus diuraikan

menjadi beberapa bagian sebagai tahapan-tahapan, yaitu: agenda setting,

formulasi, legitimasi, implementasi, evaluasi, reformulasi, dan terminasi. Dari

siklus tersebut terlihat jelas bahwa implementasi hanyalah bagian atau salah satu

tahap dari proses besar bagaimana suatu kebijakan publik dirumuskan.

Ripley dan Franklin menyatakan bahwa implementasi adalah apa yang

terjadi setelah undang-undang ditetapkan yang memberikan otoritas program,

kebijakan, keuntungan (benefit), atau suatu jenis keluaran yang nyata.

Implementasi mencakup tindakan-tindakan oleh sebagai aktor, khususnya para

birokrat yang dimaksudkan untuk membuat program berjalan. Menurut Van Meter

Van Horn, Implementasi merupakan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh

individu-individu atau kelompok baik pemerintah maupun swasta yang diarahkan

(12)

Implementasi adalah proses yang krusial dalam proses kebijakan publik.

Implementasi adalah tahapan atau serankaian kegiatan setelah suatu kebijakan

dirumuskan. Tanpa suatu implementasi, maka suatu kebijakan yang telah

dirumuskan akan sia-sia. Implementasi kebijakan merupakan hal yang paling

berat, karena pada tahap ini dijumpai masalah-masalah yang tidak dijumpai dalam

konsep, namun muncul di lapangan. Implementasi kebijakan pada prinsipnya

adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya, tidak lebih dan tidak

kurang. Untuk mengimplementasikan kebijakan publik ada dua langkah, yaitu

langsung mengimplementasikan dalam bentuk program atau melalui formulasi

kebijakan turunan dari kebijakan publik tersebut. Secara garis besar dapat

dikatakan bahwa fungsi implementasi kebijakan adalah untuk membentuk suatu

hubungan yang memungkinkan tujuan-tujuan atau sasaran kebijakan Negara

diwujudkan sebagai out come (hasil akhir) dari kegiatan-kegiatan yang dilakukan

pemerintah.

1.5.2.2 Model Implementasi Kebijakan

Untuk menjelaskan kegiatan dalam tahapan implementasi tersebut,

terdapat beberapa model kebijakan yang dapat digunakan untuk memperlancar

implementasi kebijakan. Model-model tersebut antara lain:

1. Model Implementasi Kebijakan menurut Van Meter dan Van Horn

Menurut Van Meter dan Van Horn, ada enam variable yang dapat

mempengaruhi kinerja implementasi, yaitu (a) standart dan sasaran kebijakan, (b)

sumber daya, (c) hubungan/komunikasi antar organisasi, (d) karakteristik agen

pelaksana, (e) disposisi implementor, dan (f) kondisi sosial, ekonomi, dan politik.

a) Standar dan sasaran kebijakan

Setiap kebijakan publik harus mempunyai standart suatu sasaran kebijakan jelas

dan terukur. Standart dan sasaran suatu program yang akan dilaksanakan harus

diidentifikasi dan diukur sehingga dapat terealisasi, karena implementasi tidak akan

berhasil jika standart dan sasaran kebijakan tidak dipertimbangkan.

b) Sumber daya

Pelaksanaan implementasi kebijakan perlu didukung adanya sumber daya manusia

(13)

akan mendorong dan memperlancar implementasi yang efektif. Sumber-sumber

daya layak mendapat perhatian karena sangat menunjang dalam menunjang

keberhasilan implemenasi kebijakan.

c) Hubungan/komunikasi antar organisasi

Koordinasi merupakan mekanisme yang ampuh dalam implementasi kebijakan

publik. Semakin baik koordinasi komunikasi diantara pihak-pihak yang terlibat

dalam suatu proses implementasi, maka asumsinya kesalahan-kesalahan akan

sangat kecil untuk terjadi dan begitu pula sebaliknya.

d) Karakteristik agen pelaksana

Yang dimaksud dalam karakteristik agen pelaksana adalah mencakup struktur

birokrasi, norma-norma, dan pola-pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi,

yang semuanya itu akan mempengaruhi implementasi kebijakan suatu program.

e) Disposisi implementor

Dalam implementasi kebijakan, sikap atau disposisi implementor ini dibedakan

menjadi tiga hal, yaitu: (a) respons implementor terhadap kebijakan, yang terkait

dengan kemauan implementor untuk melaksanakan kebijakan publik, (b) kondisi,

yakni pemahaman terhadap kebijakan yang telah ditetapkan, dan (c) intens

disposisi implementor, yakni preferensi nilai yang dimiliki tersebut.

f) Kondisi sosial, ekonomi, dan politik

Hal terakhir yang perlu diperhatikan guna menilai kinerja implementasi publik

dalam perspektif yang ditawarkan oleh Van Meter dan Van Horn adalah sejauh

mana lingkungan eksternal turut mendorong keberhasilan kebijakan publik yang

telah ditetapkan. Lingkungan sosial, ekonomi, dan politik yang tidak kondusif

dapat menjadi penyebab dari kegagalan kinerja implementasi kebijakan. Oleh

karena itu, upaya untuk mengimplementasikan kebijakan harus pula

memperhatikan kekondusifan kondisi lingkungan eksternal.

2. Model Implementasi Kebijakan menurut George Edward II

Menurut pandangan Edward dalam Winarno (2002: 125-126), terdapat

empat faktor atau variabel krusial dalam implementasi kebijakan publik.

Faktor-faktor atau variabel tersebut antara lain, yakni: (a) komunikasi, (b) sumber-sumber

(resources), (c) kecenderungan-kecenderungan (disposisi), dan (d) struktur

(14)

a) Komunikasi

Variabel pertama yang dapat mempengaruhi keberhasilan implementasi

suatu kebijakan menurut Edward adalah komunikasi. Menurutnya,

komunikasi sangat menentukan keberhasilan pencapaian tujuan dari

implementasi dari implementasi kebijakan publik. Implementasi yang

efektif terjadi apabila para pembuat keputusan sudah mengetahui apa yang

akan mereka kerjakan. Pengetahuan atas apa yang akan mereka kerjakan

dapat berjalan apabila komunikasi berjalan dengan baik, sehingga setiap

keputusan kebijakan dan peraturan implementasi harus ditransmisikan atau

dikomunikasikan kepada bagian personalia yang tepat, akurat, dan

konsisten. Komunikasi atau pentransmisian informasi diperlukan agar para

pembuat keputusan dan para implementor akan semakin konsisten dalam

melaksanakan kebijakan yang akan diterapkan dalam kehidupan

bermasyarakat.

Terdapat tiga indikator yang dapat dipakai dalam mengukur keberhasilan

variabel komunikasi, yaitu:

1) Transmisi; penyaluran

komunikasi yang baik akan dapat menghasilkan suatu implementasi yang baik

pula. Seringkali yang terjadi dalam penyaluran komunikasi adalah adanya salah

pengertian (miscommunication).

2) Kejelasan; komunikasi yang

diterima oleh para pelaksana kebijakan haruslah jelas dan tidak

membingungkan. Pada tataran tertentu, para pelaksana kebijakan membutuhkan

fleksibilitas dalam melaksanakan kebijakan. Tetapi pada tataran yang lain, hal

tersebut justru akan menyelewengkan tujuan yang hendak dicapai oleh

kebijakan yang telah ditetapkan

3) Konsistensi; perintah yang

diberikan dalam melaksanakan suatu komunikasi haruslah konsisten dan jelas

untuk diterapkan atau dijalankan. Karena jika perintah yang diberikan sering

berubah-ubah, maka dapat menimbulkan kebingungan bagi pelaksana di

lapangan.

(15)

Variabel kedua yang dapat mempengaruhi keberhasilan suatu implementasi

kebijakan adalah sumber daya. Sumber daya merupakan hal penting lainnya

dalam mengimplementasikan kebijakan, menurut Edward variable sumber

daya memiliki beberapa indikator, yaitu:

1) Staf; sumber daya utama

dalam implementasi kebijakan adalah staf. Kegagalan yang sering terjadi dalam

implementasi kebijakan salah satunya disebabkan karena staf yang tidak

mencukupi, memadai, ataupun tidak memiliki kemampuan dibidangnya.

Penambahan jumlah staf dan implementor saja tidak cukup, tetapi diperlukan

juga kecukupan staf dengan keahlian dan kemampuan yang diperlukan dalam

mengimplementasikan kebijakan atau melaksanakan tugas yang diinginkan oleh

kebijakan itu sendiri.

2) Informasi; dalam

implementasi kebijakan, informasi mepunyai dua bentuk, yaitu pertama,

informasi yang berhubungan dengan cara melaksanakan kebijakan.

Implementor harus mengetahui apa yang harus mereka lakukan saat mereka

diberikan perintah. Kedua, informasi mengenai data kepatuhan dari pelaksana

terhadap peraturan dan regulasi pemerintah yang telah ditetapkan. Implementor

harus mengetahui apakah orang yang terlibat didalam pelaksanaan kebijakan

tersebut patuh terhadap hukum.

3) Wewenang; pada umumnya

kewenangan harus bersifat formal agar perintah dapat dilaksanakan.

Kewenangan merupakan otoritas atau legitimasi bagi para pelaksana dalam

melaksanakan kebijakan yang ditetapkan secara politik. Ketika wewenang nihil,

maka kekuatan para implementor dimata publik tidak terlegitimasi, sehingga

dapat menggagalkan proses implementasi kebijakan. Tetapi dalam konteks yang

lain, ketika wewenang formal tersebut ada, maka sering terjadi kesalahan dalam

melihat efektivitas kewenangan.

4) Fasilitas; fasilitas fisik juga

merupakan faktor penting dalam implementasi kebijakan. Implementor

mungkin memiliki staf yang mencukupi, mengerti apa yang harus dilakukan,

dan memiliki wewenang untuk melaksanakan tugasnya, tetapi tanpa adanya

fasilitas pendukung (sarana dan prasarana) maka implementasi kebijakan

(16)

c) Disposisi

Variabel ketiga yang dapat mempengaruhi keberhasilan implementasi

kebijakan adalah disposisi. Hal-hal penting yang perlu dicermati dalam

variabel disposisi menurut Edward adalah:

1) Pengangkatan birokrat;

disposisi atau sikap pelaksana akan menimbulkan hambatan-hambatan yang

nyata terhadap implementasi kebijakan apabila personil yang ada tidak

melaksanakan kebijakan-kebijakan yang diingikan oleh pejabat-pejabat tinggi.

Karena itu, pemilihan dan pengangkatan personil pelaksana kebijakan haruslah

orang-orang yang memiliki dedikasi pada kebijakan yang telah ditetapkan.

2) Insentif; Edward menyatakan

bahwa salah satu teknik yang disarankan untuk mengatasi masalah

kecenderungan para pelaksana adalah memanipulasi insentif. Oleh karena itu,

pada umumnya orang bertindak menurut kepentingan mereka sendiri, maka

memanipulasi insentif oleh para pembuat kebijakan mempengaruhi tindakan

para pelaksana kebijakan. Dengan cara menambah keuntungan atau biaya

tertentu mungkin akan menjadi faktor pendorong yang membuat para pelaksana

kebijakan melaksanakan perintah dengan baik. Hal ini dilakukan sebagai upaya

memenuhi kepentingan pribadi atau organisasi.

d) Struktur birokrasi

Menurut Edward yang mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan

publik adalah struktur birokrasi. Walaupun sumber daya untuk

melaksanakan suatu kebijakan tersedia atau para pelaksana kebijakan

mengetahui apa yang seharusnya dilakukan, dan mempunyai keinginan

untuk melaksanakan suatu kebijakan, kemungkinan kebijakan tersebut tidak

dapat dilaksanakan atau direalisasikan karena terdapat kelemahan dalam

struktur birokrasi. Kebijakan yang begitu kompleks menuntut adanya

kerjasama banyak orang ketika struktur birokrasi tidak kondusif pada

kebijakan yang tersedia, maka hal ini akan menyebabkan sumber

(17)

Menurut Edward, ada dua karakteristik yang dapat mendongkrak kinerja

struktur birokrasi/organisasi kearah yang lebih baik, yaitu dengan

melakukan:

1) Standard Operating

Prosedures (SOPs); adalah suatu kegiatan rutin yang memungkinkan para

pegawai (pelaksana kebijakan/administrator/birokrat) untuk melaksanakan

kegiatan-kegiatannya setiap hari sesuai dengan standar yang ditetapkan atau

standar minimum yang dibutuhkan.

2) Fragmentasi; adalah upaya

penyebaran tanggungjawab kegiatan-kegiatan atau aktivitas-aktivitas pegawai

diantara beberapa unit kerja.

3. Model Implementasi Kebijakan menurut Merilee S. Grindle

Keberhasilan implementasi kebijakan menurut Merilee S. Grindle dalam

Sumarsono (2009:19) dipengaruhi dua variabel besar, yaitu:

a) Variabel isi kebijakan (content of policy), mencakup:

1. Sejauh mana kepentingan kelompok sasaran termuat dalam isi kebijakan;

2. Jenis manfaat yang diterima oleh kelompok sasaran;

3. Sejauh mana perubahan yang diinginkan dari sebuah kebijakan;

4. Apakah letak program sudah tepat;

5. Apakah sebuah kebijakan telah menyebut implementornya dengan rinci;

dan

6. Apakah sebuah program didukung oleh sumber daya yang memadai.

b) Variabel lingkungan implementasi (context of implementation), mencakup:

1. Seberapa besar kekuasaan, kepentingan, dan strategi yang dimiliki oleh

para aktor yang terlibat dalam implementasi kebijakan;

(18)

3. Tingkat kepatuhan dan responsivitas kelompok sasaran.

1.5.3 Beras Untuk Keluarga Miskin (RASKIN) 1.5.3.1 Pengertian Raskin

Program Raskin (Program Penyaluran Beras Untuk Keluarga Miskin)

adalah sebuah program pemerintah. Program terebut adalah sebuah upaya untuk

mengurangi beban pengeluaran dari rumah tangga miskin sebagai bentuk

dukungan dalam meningkatkan ketahanan pangan dengan memberikan

perlindungan sosial beras murah dengan jumlah maksimal 15 kg perrumah tangga

miskin perbulan dengan masing-masing seharga Rp. 1.600,00 per kg (netto) dititik

distribusi. Program ini mencakup di seluruh Provinsi, sementara tanggungjawab

pendistribusian beras dari gudang sampai titik distribusi di kelurahan dipegang

oleh Perum Bulog.

Istilah-istilah yang digunakan dalam petunjuk teknis antara lain:

1. BAST adalah Berita Acara Serah Terima Beras Raskin berdasarkan SPA dari

Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk, yang ditandatangani Satker Raskin

dan Pelaksana Distribusi.

2. DPM-1 adalah Model Daftar Penerima Manfaat Raskin di Desa/Kelurahan setelah

dilakukan pemutakhiran data RTS-PM yang bersumber dari Basis Data Terpadu

untuk Program Raskin 2014 melalui mekanisme Mudes/Muskel.

3. DPM-2 adalah Model Daftar Penyaluran Raskin di Desa/Kelurahan.

4. Kelompok Kerja (Pokja) adalah sekelompok masyarakat yang terdiri dari aparat

Desa/Kelurahan dan beberapa orang yang ditunjuk dan ditetapkan oleh Kepala

Desa/Lurah sebagai Pelaksana Distribusi Raskin.

5. Kelompok Masyarakat (Pokmas) adalah lembaga masyarakat dan/atau kelompok

masyarakat di Desa/Kelurahan yang ditetapkan oleh Kepala Desa/Lurah sebagai

Pelaksana Distribusi Raskin.

6. Tim Koordinasi Program Raskin tingkat Provinsi adalah tim koordinasi yang

ditetapkan berdasarkan keputusan Gubernur dan terdiri dari unsure pemerintah

daerah Provinsi (Biro Sarana Perekonomian, Biro Bina Produksi, BPMD, Bappeda,

Badan Pusat Statistik (BPS) BKKBN, Prum Bulog, Divisi Regional,

(19)

7. Tim Koordinasi Divisi Regional (Divre) Provinsi adalah satuan kerja Perum Bulog

Divre Provinsi yang dibentuk Kadivre yang bertugas dan bertanggungjawab

mengkoordinasi dalam pelaksanaan Program Raskin di Sub Divre.

8. Satker Raskin adalah satuan kerja Perum Bulog Sub Divre yang dibentuk Kasub

Divre yang bertugas dan bertanggungjawab mengangkut beras dari gudang Perum

Bulog sampai dengan titik distribusi dan menyerahkan kepada pelaksana distribusi.

9. Tim Koordinasi Raskin Kecamatan adalah tim yang dibentuk ditingkat Kecamatan

yang dipimpin oleh Camat sebagai ketua, yang beranggotakan unsur Kecamatan,

Polsek, Pengelola Program KB kecamatan, dan Koordinator Sensus Kecamatan

(KSK) yang bertugas mengkoordinir pelaksanaan Program Raskin di Kecamatan.

10. Pelaksana Distribusi adalah Kelompok Kerja (Pokja) dititik distribusi yang

dibentuk berdasarkan musyawarah Desa/Kelurahan yang ditetapkan dengan

keputusan Kepala Desa/Lurah, terdiri dari Aparat Desa/Kelurahan, Lembaga

Masyarakat, dan unsur-unsur masyarakat yang bertugas dan bertanggungjawab

mendistribusikan Raskin kepada penerima manfaat Raskin.

11. Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) adalah panduan pelaksanaan program Raskin di

tingkat Provinsi yang disusun sesuai dengan situasi dan kondisi setempat sebagai

penajaman dari Pedoman Umum Raskin.

12. Petunjuk Teknis (Juknis) adalah panduan pelaksanaan program Raskin di tingkat

Kabupaten/Kota yang disusun sesuai dengan situasi dan kondis setempat sebagai

penajaman dari Pedum Raskin dan Juklak Raskin.

13. Titik Bagi adalah fasilitas publik di Desa/Kelurahan yang ditetapkan sebagai

tempat atau lokasi penyerahan beras Raskin dari Pelaksana Distribusi Raskin

kepada RTS-PM termasuk Warung Desa (Wardes). Fasilitas publik termasuk dan

tidak terbatas pada: Kantor Desa/Lurah, Koperasi, Koramil, Sekolah, dan

tempat-tempat lain yang disepakati oleh masyarakat.

14. Titik Distribusi adalah tempat atau lokasi penyerahan beras oleh Satuan Kerja

(Satker) Raskin Sub Divre kepada pelaksana distribusi di Desa/Kelurahan yang

dapat dijangkau penerima manfaat Raskin atau lokasi lain yang ditetapkan atas

dasar kesepakatan secara tertulis antara Pemerintah Daerah dan Sub Divre.

15. Rumah Tangga Miskin (RTM) adalah penerima manfaat program Raskin di

Desa/Kelurahan sesuai hasil pendataan Sosial Ekonomi dengan kategori sangat

miskin, miskin, dan sebagian hampir miskin.

16. Musyawarah Desa/Kelurahan adalah forum komunikasi di tingkat

(20)

17. Kualitas Beras Raskin adalah beras medium hasil pengadaan Perum BULOG

sesuai dengan Inpres Kebijakan Perberasan yang berlaku dan kemasan Beras

Raskin adalah kemasan yang berlogo BULOG dengan kuantum 15 kg/karung

dan/atau 50 kg/karung.

18. Unit Pengaduan Masyarakat (UPM) adalah lembaga yang ditetapkan dengan

keputusan Gubernur di Provinsi dan Keputusan Bupati/Walikota di

Kabupaten/Kota yang berfungsi menerima dan menindaklanjuti pengaduan

masyarakat, baik langsung maupun tidak langsung termasuk media cetak dan

elektronik.

1.5.3.2 Tujuan, Sasaran, dan Manfaat Program RASKIN 1. Tujuan

Tujuan dari program Raskin adalah mengurangi beban pengeluaran

Rumah Tangga Miskin melalui pemenuhan sebagian kebutuhan pangan pokok

dalam bentuk beras.

2. Sasaran

Sasaran dari program Raskin adalah berkurangnya beban pengeluaran

15.530.897 RTS dalam mencukupi kebutuhan pangan beras melalui penyaluran

beras bersubsidi dengan alokasi sebanyak 15 kg per RTS per bulan.

3. Manfaat

Manfaat program Raskin adalah sebagai berikut:

a. Peningkatan ketahanan pangan ditingkat rumah tangga sasaran, sekaligus

mekanisme perlindungan sosial dan penanggulangan kemiskinan.

b. Pengingkatan akses pangan baik secara fisik (beras tersedia di Titik Distribusi),

maupun ekonomi (harga jual yang terjangkau) kepada RTS

c. Sebagai pasar bagi hasil usaha tani padi.

d. Stabilisasi harga beras di pasaran.

e. Pengendalian inflasi melalui intervensi pemerintah dengan menetapkan harga beras

bersubsidi sebesar Rp.1.600,00 per kg, dan menjaga stok pangan nasional.

(21)

1.5.3.3 Penentuan Pagu

Pagu Raskin adalah alokasi jumlah Rumah Tangga Sasaran Penerima

Manfaat Raskin (RTS-PM) atau jumlah beras yang dialokasikan bagi RTS-PM

Raskin untuk tingkat Nasional, Provinsi, atau Kabupaten/Kota pada tahun

tertentu.

1. Penentuan Pagu Raskin Nasional

a. Pagu Raskin Nasional tahun 2015 merupakan besaran jumlah Rumah

Tangga Sasaran yang menerima Raskin pada tahun 2015 atau jumlah beras

yang dialokasikan untuk RTS-PM Raskin secara nasional pada tahun 2015.

b. Pagu Raskin Nasional merupakan hasil kesepakatan pembahasan antara

Pemerintah dan DPR yang dituangkan dalam Undang-Undang Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun anggaran 2015.

c. Besaran Pagu Raskin Nasional tahun 2015 yaitu 2,79 juta ton beras selama

12 bulan untuk 15.530.897 RTS-PM atau sebanyak 15 kg per RTS per bulan

atau 180 kg per RTS per tahun.

d. Dalam situasi dan kondisi tertentu Pemerintah atas persetujuan DPR RI

dapat menambah alokasi Pagu Raskin Nasional pada tahun 2015.

e. Apabila Pagu Raskin disuatu wilayah baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota

tidak dapat diserap sampai dengan tanggal 31 Desember 2015 maka sisa

pagu tersebut tidak dapat didistribusikan pada tahun 2016.

f. Daftar wilayah administrasi Provinsi dan Kabupaten/Kota yang digunakan

untuk penetapan Pagu Raskin 2015 mengacu pada MFD (Master File Desa)

semester I tahun 2014 dari BPS.

2. Penentuan Pagu Raskin Provinsi

a. Pagu Raskin Provinsi tahun 2015 merupakan besaran jumlah RTS yang

menerima Raskin pada tahun 2015 disetiap Provinsi atau jumlah beras yang

(22)

Pagu Raskin untuk setiap Provinsi ditetapkan oleh Menteri Koordinator

Bidang Kesejahteraan Rakyat.

b. Pemerintah Provinsi dapat membuat kebijakan untuk menambah pagu

Raskin bagi rumah tangga yang dianggap miskin dan tidak termasuk dalam

data RTS-PM untuk program Raskin 2015 dari Basis Data Terpadu yang

dikelola oleh TNP2K. Kebijakan ini didanai oleh APBD sesuai dengan

kemampuan.

3. Penentuan Pagu Raskin Kabupaten/Kota

a. Pagu Raskin Kabupaten/Kota tahun 2015 merupakan besaran jumlah RTS

yang menerima Raskin pada tahun 2015 disetiap Kabupaten/Kota atau

jumlah beras yang dialokasikan untuk RTS-PM Raskin disetiap

Kabupaten/Kota pada tahun 2015.

b. Pagu Raskin untuk setiap Kabupaten/Kota ditetapkan oleh Gubernur dengan

mengacu pada Pagu Raskin Kabupaten/Kota yang disampaikan oleh Menko

Kesra pada waktu penetapan Pagu Provinsi.

c. Pemerintah Kabupaten/Kota dapat membuat kebijakan untuk menambah

pagu Raskin bagi rumah tangga yang dianggap miskin dan tidak termasuk

dalam data RTS-PM untuk program Raskin 2015 dari Basis Data Terpadu

yang dikelola oleh TNP2K. Kebijakan ini didanai oleh APBD sesuai dengan

kemampuan.

4. Penentuan Pagu Raskin Kecamatan dan Desa/Kelurahan

a. Pagu Raskin Kecamatan dan Desa/Kelurahan/Pemerintahan setingkat tahun

2015 merupakan besaran jumlah RTS pada tahun 2015 disetiap Kecamatan

dan Desa/Kelurahan/Pemerinah setingkat atau jumlah beras yang

dialokasikan untuk RTS-PM Raskin disetiap Kecamatan dan

Desa/Kelurahan/Pemerintahan setingkat pada tahun 2015 berdasarkan DPM

(23)

Sosial yang bersumber dari PPLS 2011 hasil pendataan BPS yang dikelola

oleh TNP2K yang telah dimutakhirkan melalui pelaporan FRP 2014 ke

Sekretariat TNP2K sesuai tenggat yang telah ditetapkan.

b. Pagu Raskin untuk setiap Kecamatan dan Desa/Kelurahan/Pemerintahan

setingkat ditetapkan oleh Bupati/Walikota.

c. Pagu Raskin disuatu Desa/Kelurahan/Pemerintahan setingkat pada

prinsipnya tidak dapat direlokasi ke Desa/Kelurahan/Pemerintahan

setingkat, kecuali melalui Muscam yang dilakukan atas permintaan dua

Desa/Kelurahan/Pemerintahan setingkat atau lebih sebagai tindak lanjut

Mudes/Muskel yang memerlukan penyesuaian pagu Raskin di

masing-masing Desa/Kelurahan/Pemerintahan setingkat.

1.5.3.4 Penentuan Rumah Tangga Sasaran Penerima Manfaat

a. RTM yang berhak mendapatkan Raskin adalah RTM yang terdaftar dalam

PPLS 08 BPS sebagai RTS di Desa/Kelurahan.

b. Dalam rangka mengakomodir adanya dinamika RTM ditingkat

Desa/Kelurahan, maka perlu dilakukan Mudes/Muskel untuk menetapkan

kebijakan local sebagai berikut:

1) Melakukan verifikasi nama RTS hasil PPLS 08 BPS yang sudah tidak layak

atau pindah alamat keluar Desa/Kelurahan dapat diganti oleh RTM yang

belum terdaftar sebagai RTS. Sedangkan untuk RTS yang meninggal dunia

diganti oleh salah satu anggota rumah tangganya. Apabila RTS yang

meninggal dunia merupakan rumah tangga tunggal (tidak memiliki anggota

keluarga) dapat digantikan RTM yang belum terdaftar.

2) RTM yang belum terdaftar sebagai RTS hasil PPLS 08 BPS dan butir 1)

diatas, yang dimulai layak sesuai criteria RTS BPS dapat diberikan Raskin.

c. RTS BPS yang telah diverifikasi dan hasil Mudes/Muskel yang memutuskan

(24)

dimasukkan kedalam daftar RTS-PM sesuai model DPM-1 yang ditetapkan

oleh Kepala Desa/Lurah dan disahkan oleh Camat.

d. Data RTS-PM Raskin di Desa/Kelurahan direkap ditingka Kecamatan dan

dilaporkan kepada Tim Koordinasi Raskin Kabupaten/Kota.

1.5.3.5 Mekanisme Distribusi Raskin

a. Bupati/Walikota mengajukan Surat Permintaan Alokasi (SPA) kepada Kepala

Sub-Divisi Regional Perum BULOG berdasarkan alokasi pagu Raskin dan

rumah tangga sasaran penerima manfaat dimasing-masing Kecamatan dan

Desa/Kelurahan.

b. SPA yang tidak dapat dilayani sebagian atau seluruhnya dalam jangka waktu

tiga bulan, maka pagu dapat direlokasikan kedaerah lain dengan menerbitkan

SPA baru yang menunjuk pada SPA yang tidak dapat dilayani.

c. Berdasarkan SPA, Sub-Divre menerbitkan SPPB DO beras untuk

masing-masing Kecamatan/Desa/Kelurahan kepada pelaksana Raskin. Apabila terdapat

tunggakan Harga Penjualan Beras (HPB) pada periode sebelumnya, maka

penerbitan SPPB DO periode berikutnya ditangguhkan sampai ada pelunasan.

d. Berdasarkan SPPB DO, pelaksana Raskin mengambil beras digudang

penyimpanan Perum BULOG mengangkut dan menyerahkan beras Raskin

kepada pelaksana distribusi di Titik Distribusi. Kualitas beras yang diserahkan

sesuai dengan standar kualitas BULOG. Apabila kualitas tidak memenuhi

standar, maka beras dapat dikembalikan kepada pelaksana Raskin untuk

ditukar/diganti.

e. Serah terima beras Raskin dari pelaksana Raskin kepada pelaksana distribusi di

Titik Distribusi dibuktikan dengan Berita Acara Serah Terima (BAST) yang

merupakan pengalihan tanggungjawab.

f. Pelaksana distribusi menyerahkan beras kepada Rumah Tangga Miskin.

g. Mekanisme distribusi secara rinci diatur dalam Pedoman Teknis Raskin

(25)

Menurut BPS ada 14 kriteria untuk menentukan Keluarga/Rumah Tangga

Miskin, yaitu sebagai berikut:

a. Luas bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang.

b. Jenis lantai tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan.

c. Jenis dinding tempat tinggal dari bambu/rumbia/kayu berkualitas rendah/tembok

tanpa diplester.

d. Tidak memiliki fasilitas buang air besar atau bersama-sama dengan rumah tangga lain.

e. Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik.

f. Sumber air minuman berasal dari sumur/mata air tidak terlindung/sungai/air hujan.

g. Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/arang/minyak tanah.

h. Hanya mengkonsumsi daging/susu/ayam satu kali dalam seminggu.

i. Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun.

j. Hanya sanggup makan satu atau dua kali sehari.

k. Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di Puskesmas/Poliklinik.

l. Sumber penghasilan kepala keluarga adalah petani dengan luas lahan 500 m2, buruh

tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan, atau pekerjaan lainnya dengan

pendapatan dibawah Rp. 600.000,00 (Enam Ratus Ribu Rupiah) perbulan.

m.Pendidikan tertinggi kepala keluarga: tidak bersekolah atau tidak tamat SD atau hanya

SD

n. Tidak memiliki tabungan/barang yang mudah dijual dengan nilai minimal Rp.

500.000,00 (Lima Ratus Ribu Rupiah) seperti sepeda motor kredit/non-kredit, emas,

ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya.

Jika minimal 9 kriteria terpenuhi, barulah sebuah rumah tangga dapat

dikategorikan sebagai Rumah Tangga Miskin.

1.6 Defenisi Konsep

Konsep merupakan istilah dan defenisi yang digunakan untuk

menggambarkan secara abstrak mengenai kejadian, keadaan, kelompok, atau

individu yang menjadi pusat perhatian. Yang dimana tujuannya adalah untuk

mendapatkan batasan yang jelas dari setiap konsep yang diteliti. Adapun konsep

yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Implementasi Program Raskin (Program Penyaluran Beras Untuk Keluarga Miskin)

(26)

mengurangi beban pengeluaran dari rumah tangga miskin sebagai bentuk dukungan

dalam meningkatkan ketahanan pangan dengan memberikan perindungan beras

sosial murah.

Adapun teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah menurut Van

Meter dan Van Horn dimana terdapat 6 variabel yang mempengaruhi

implementasi, dan pada kesempatan kali ini, penulis membatasi penelitian ini

dengan hanya menggunakan 4 variabel, yaitu Standar dan sasaran kebijakan,

Sumber daya, Komunikasi/hubungan antarorganisasi, dan Disposisi implementor.

1. Standar dan sasaran kebijakan. Standar dan sasaran kebijakan harus jelas dan terukur

sehingga dapat terealisasi. Apabila standar dan sasaran kebijakan kabur atau tidak

jelas, maka akan terjadi multiintervensi dan mudah menimbulkan konflik diantara

para implementor.

2. Sumber daya. Implementasi kebijakan perlu dukungan sumber daya, baik sumber

daya manusia maupun sumber daya non-manusia atau sumber daya dana.

3. Komunikasi/hubungan antarorganisasi. Dalam banyak program implementasi,

sebuah program perlu dukungan dan koordinasi dengan instansi lain. Untuk itu,

diperlukan koordinasi dan kerjasama antar instansi bagi keberhasilan suatu program.

4. Disposisi implementor. Sikap para pelaksana, sikap penerimaan, atau penolakan dari

agen pelaksana kebijakan sangat mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan

implementasi kebijakan publik.

1.7 Defenisi Operasional

Defenisi operasional adalah unsur penelitian yang menjelaskan bagaimana

cara mengukur suatu variabel atau suatu informasi ilmiah yang dapat membantu

peneliti lain yang ingin menggunakan variabel yang sama (Singarimbun,

1989:46-47). Dari informasi tersebut, peneliti akan mengetahui bagaimana cara

pengukuran variabel tersebut dapat dilakukan dan dengan demikian peneliti dapat

menentukan apakah prosedur pengukuran yang sama akan dilakukan atau

diperlukan prosedur yang jelas.

Adapun yang menjadi indikator dari implementasi program Raskin adalah:

(27)

a.Tepat sasaran penerima Raskin

Tingkat kesesuaian data RTS (Rumah Tangga Sasaran) penerima manfaat

Raskin sesuai dengan daftar penerima manfaat yang dikeluarkan BPS.

b. Tepat jumlah

Tingkat kesesuaian jumlah Raskin yang diterima RTS berdasarkan pedoman

umum Raskin yakni sebesar 15 kg/RTM/bulan selama 12 bulan.

c.Tepat harga

Tingkat kesesuaian harga tebus Raskin oleh RTM berdasarkan standar pedoman

umum Raskin yakni Rp. 1600,00.

d. Tepat waktu

Tingkat kesesuaian waktu pendistribusian Raskin dengan rencana jadwal

pendistribusian yaitu RTS menerima Raskin setiap bulan selam 12 bulan.

e.Tepat kualitas

Tepatnya persyaratan kualitas beras sesuai dengan standar kualitas beras Bulog.

f.Tepat administrasi

Terpenuhinya persyaratan administrasi secara benar dan lengkap sesuai dengan

yang telah ditetapkan dalam pedoman Raskin sebagai wujud akuntabilitas.

2) Sumber daya

a.Sumber daya manusia

Kemampuan para pengelola program Raskin untuk melaksanakan tugas dan

fungsinya.

b. Sumber daya dana/keuangan

Dana yang disediakan pemerintah untuk pengadaan Raskin dan ketersediaan

dana dari masyarakat penerima manfaat itu sendiri untuk menebus beras Raskin

tersebut.

3) Hubungan/komunikasi antar organisasi

a.Koordinasi

Adanya kesatuan sikap dan usaha bersama antarbadan, instansi, dan unit dalam

pelaksanaan program Raskin sehingga terdapat saling mengisi, saling

membantu, dan saling melengkapi.

(28)

Menciptakan kemudahan serta kelancaran pelaksanaan program Raskin karena

adanya kesadaran bahwa setiap orang atau unit organisasi perlu untuk

mengembangkan semangat saling membantu.

4) Disposisi implementor

Disposisi implementor mencakup tiga hal penting yakni:

a. Respon implementor terhadap kebijakan, yang akan mempengaruhi

kemauannya untuk melaksanakan program Raskin.

b. Kognisi, yakni pemahaman implementor terhadap program Raskin.

c. Intensitas disposisi implementor yakni besar kecilnya kecenderungan

implementator bertindak atau berperilaku terhadap program Raskin.

1.8 Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan disusun dalam rangka memaparkan keseluruhan

hasil penelitian ini, secara singkat sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Memuat latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian,

manfaat penelitian, kerangka teori, defenisi konsep, defenisi

operasionnal ,dan sistematika penulisan.

BAB II : METODE PENEITIAN

Memuat bentuk penelitian, lokasi penelitian, informan penelitian,

teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data.

BAB III : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

Berisi gambaran umum kota atau tempat yang diteliti dan

gambaran umum

BAB IV : PENYAJIAN DATA

Memuat hasil penelitian yang diperoleh dari lapangan dan

dokumentasi yang dianalisis.

(29)

Memuat analisa data pada BAB IV untuk selanjutnya

memberikan interpretasinya.

BAB VI : PENUTUP

Memuat kesimpulan dan saran atas hasil penelitian yang

Referensi

Dokumen terkait

Kontrol positif yang digunakan adalah minyak atsiri murni dari hasil destilasi yaitu minyak atsiri dengan konsentrasi 100% karena minyak atsiri kulit batang kayu manis

Digital video adalah jenis sistem video recording yang bekerja menggunakan sistem digital dibandingkan dengan analog dalam hal representasi

> untuk indosata trialnya seperti gambar dibawah, maka masuk ke emas, masuk ke containment (MOM Based) dan rubah portD ke data 2 (jika 1

PEKERJAAN PASANG AN LANTAI KERAMIK X. PEKERJAAN

[r]

Virtual workshop ini dibuat dengan tujuan agar memudahkan mahasiswa khususnya mahasiswa Universitas Gunadarma yang mengikuti workshop ini, untuk mempelajari kembali materi

Dengan adanya Macromedia Director MX 2004 ini, animasi tersebut dapat di buat interaktif karena pada software tersebut biasa di gunakan untuk pembuatan

[r]