• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Yuridis Terhadap Perjanjian Kerja Antara Petugas Administrasi (Pekerja Kontrak) Dengan PT. Bank Rakyat Indonesia Tbk. Kantor Cabang Tebing Tinggi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tinjauan Yuridis Terhadap Perjanjian Kerja Antara Petugas Administrasi (Pekerja Kontrak) Dengan PT. Bank Rakyat Indonesia Tbk. Kantor Cabang Tebing Tinggi"

Copied!
61
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN KERJA

A. Perjanjian Pada Umumnya 1. Pengertian Perjanjian

Pengertian perjanjian dapat ditemui dalam Buku III Bab II Pasal 1313

KUHPerdata yang berbunyi ”Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan hukum

dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain

atau lebih”. Ketentuan pasal ini menurut Abdul Kadir Muhammad sebenarnya

banyak mengandung kelemahan yang dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Hanya menyangkut sepihak saja

Hal ini dapat dilihat dari kalimat ”satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”. Kata mengikatkan diri bersifat satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak. Seharusnya perumusannya adalah saling mengikatkan diri sehingga ada konsensus di antara para pihak.

b. Kata ”perbuatan” juga mencakup tanpa konsensus

Dalam pengertian ”perbuatan” termasuk juga tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa (zaakwarneming). Tindakan melawan hukum (onrechtmatige daad) yang tidak mengandung suatu konsensus seharusnya dipakai kata persetujuan.

c. Pengertian perjanjian terlalu luas

Pengertian perjanjian dalam pasal tersebut adalah terlalu luas karena mencakup juga perlangsungan perkawinan, janji kawin, yang diatur dalam lapangan hukum keluarga. Padahal yang dimaksud adalah hubungan antara debitur dan kreditur dalam lapangan harta kekayaan saja. Perjanjian yang bersifat kebendaan, bukan perjanjian yang bersifat personal.

d. Tanpa menyebut tujuan

Dalam perumusan pasal tersebut di atas tidak disebutkan tujuan mengadakan perjanjian, sehingga para pihak tidak jelas mengikatkan diri untuk apa.6

6

Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, Citra Adhitya Bhakti, Bandung, 1990, hlm. 78 (Selanjutnya disebut Abdul Kadir Muhammad 1).

Berdasarkan alasan yang dikemukan di atas maka perlu dirumuskan

kembali apa yang dimaksud dengan perjanjian itu. Beberapa Sarjana Hukum yang

(2)

R. Setiawan menyatakan bahwa:

”Perjanjian adalah suatu perbuatan hukum, di mana satu orang atau lebih

mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang

atau lebih.7

”Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seseorang berjanji

kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk

melaksanakan sesuatu hal. ”

Defenisi perjanjian menurut R. Subekti:

8

”Perjanjian atau verbintenisen mengandung pengertian suatu hubungan hukum kekayaan atau harta kekayaan antara dua orang atau lebih yang

memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh potensi dan

sekaligus kewajiban pada pihak lain untuk menunaikan prestasi. ”

Sedangkan M. Yahya Harahap menyatakan bahwa:

9

2. Syarat Sahnya Perjanjian

Dari beberapa defenisi di atas penulis lebih memilih pendapat yang

dikemukakan oleh R. Subekti, yaitu adalah suatu peristiwa di mana seseorang

berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk

melaksanakan sesuatu hal. Dari uraian di atas, maka dapat ditarik kesimpulan

bahwa perjanjian adalah kesepakatan antara dua orang atau lebih dalam lapangan

hukum kebendaan untuk saling mengikatkan diri dengan cara memberi dan

menerima sesuatu.

Di dalam Pasal 1320 KUHPerdata, dinyatakan ada 4 syarat yang harus

dipenuhi agar suatu perjanjian dinyatakan sah, yaitu:

7

R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung, 1987, hlm. 49

8

R. Subekti 1, Op.Cit., hlm. 1

9

(3)

a) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

b) Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian

c) Suatu hal tertentu

d) Suatu sebab yang halal

Dua syarat yang pertama, dinamakan syarat-yarat subjektif, karena

mengenai orang-orangnya atau subjeknya yang mengadakan perjanjian,

sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat-syarat objektif karena

mengenai perjanjiannya sendiri atau objek dari perbuatan hukum yang dilakukan

itu.10

Menurut R. Subekti, yang dimaksud dengan sepakat adalah kedua subjek

yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau seia-sekata

mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Apa yang

dikehendaki oleh pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak lain. Mereka

menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik.

Untuk lebih jelasnya, akan diuraikan syarat syarat sahnya perjanjian itu satu

persatu.

ad. a Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

Sepakat para pihak di dalam suatu perjanjian adalah unsur esensial dari

hukum perjanjian yaitu asas konsensualitas yang ditentukan adanya perjanjian

(rasion d’etre het bestaanwaarde)

11

Jadi, sepakat itu adalah kemauan atau kesesuaian kehendak oleh kedua

belah pihak sehingga seia-sekata atau setuju mengenai hal-hal pokok dari

perikatan yang mereka adakan. Pernyataan ini merupakan kehendak bersama

berdasarkan kebebasan para pihak, namun demikian ada 3 faktor yang

10

R. Subekti 1, Op.Cit, hlm. 17

11

(4)

menyebabkan sepakat tidak sah sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1321

KUHPerdata, yaitu:

1) Khilaf, kekeliruan atau salah pengertian (dwaling) 2) Paksaan (dwang)

3) Penipuan (bedrog)

Kekelirun ini mencakup hakekat barang atau benda yang menjadi pokok

objek perjanjian (error in substantia) dan kekelirunan mengenai orangnya (error in persona).

Pasal 1322 KUHPerdata menjelaskan bahwa kekhilafan mengenai hakikat

barang yang menjadi pokok persetujuan mengakibatkan batalnya suatu

persetujuan tetapi kekhilafan mengenai diri orangnya dengan siapa seseorang

bermaksud membuat suatu persetujuan itu telah dibuat terutama kesepakatan

mengingat diri orang tersebut. Misalnya X membuat perjanjian dengan Y, karena

X menganggap Y adalah penyanyi yang punya nama sama dengan Y. Dan Y

sendiri menyadari kekeliruan anggapan X. Dalam hal ini X kemudian dapat

memintakan pembatalan perjanjian.

Mengenai paksaan, Mariam Darus Badrulzaman menyatakan bahwa:

“ Yang dimaksud dengan paksaan bukan paksaan dalam arti absolut, sebab dalam hal yang demikian itu perjanjian sama sekali tidak terjadi. Yang dimaksud dengan paksaan adalah kekerasan jasmani atau ancaman (akan membuka rahasia) dengan sesuatu yang diperbolehkan hukum yang menimbulkan ketakutan kepada seseorang sehingga ia membuat perjanjian.12

Sedangkan menurut R. Subekti, paksaan yang dimaksud adalah paksaan

rohani atau paksaan jiwa (psysicis), jadi bukan paksaan badan (fisik). ”

13

12

Mariam Darus Badrulzaman, KUHPerdata Buku III Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, Alumni, Bandung, 1983, hlm.101 (Selanjutnya disebut Mariam Darus Badrulzaman 1)

13

(5)

Mengenai paksaan ini (dwang), terjadi apabila pihak yang dipaksakan itu tidak punya pilihan lain selain menyetujui persetujuan itu. Dan paksaan itu

mungkin saja dilakukan oleh pihak ketiga.

Tetapi tidak demikian halnya dengan penipuan. Penipuan hanya dilakukan

oleh pihak lawan. Wiryono Prodjodikoro, mengatakan bahwa satu macam

pembohongan saja tidak cukup untuk adanya penipuan ini, melainkan harus

serangkaian pembohongan yang di dalamnya hubungan satu dengan yang lainnya

merupakan suatu tipu muslihat.14

1) Teori kehendak (wilstheorie)

Menurut Pasal 1328 KUHPerdata, penipuan merupakan segala tipu

muslihat ataupun memperdayakan yang terang dan nyata sehingga pihak yang lain

tidak akan membuat perikatan seandainya tidak dilakukan tipu muslihat tersebut.

Penipuan ini tidak dipersangkakan tetapi harus dibuktikan.

Dalam penipuan itu pihak yang menipu bertindak aktif untuk

menjerumuskan lawan baik dengan keterangan palsu maupun tipu muslihat

lainnya. Dan pihak yang merasa tertipu harus mampu membuktikannya untuk

pembatalan perjanjian.

Mengenai saat terjadinya kesepakatan ada beberapa ajaran, yaitu:

Teori ini adalah yang tertua dan menekankan kepada faktor kehendak. Menurut teori ini jika kita mengemukakan suatu pernyataan yang berbeda dengan apa yang dikehendaki, maka kita tidak terikat kepada pernyataan tersebut.

2) Teori pernyataan (Verklaringstheorie)

Menurut teori ini, kebutuhan masyarakat menghendaki bahwa kita dapat berpegang kepada apa yang dinyatakan.

3) Teori kepercayaan (Vetrouwenstheorie)

Teori yang sekarang dianut, juga oleh yurisprudensi adalah teori kepercayaan, di mana menurut teori ini kata sepakat terjadi jika ada pernyataan yang secara objektif dapat dipercaya.

4) Teori ucapan (Uitingstheorie)

14

(6)

Menurut teori ini bahwa persetujuan terjadi pada saat orang yang menerima penawaran telah menyiapkan surat jawaban bahwa ia menyetujui penawaran tersebut. Kelemahan teori ini adalah bahwa sulit untuk menentukan saat terjadinya persetujuan dan selain itu jawabannya setiap saat masih dapat berubah.

5) Teori pengiriman (Verzendingstheorie)

Menurut beberapa sarjana, terjadinya persetujuan adalah pada saat dikirimkannya surat jawaban. Diterangkan selanjutnya bahwa dengan dikirimkannya surat tersebut si pengirim kehilangan kekuasaan atas surat tersebut dan lagi pula saat pengiriman dapat ditentukan secara tepat.

6) Teori pengetahuan (Vernemeningstheorie)

Teori ini mengemukakan bahwa persetujuan terjadi setelah orang yang menawarkan mengetahui bahwa penawarannya disetujui. Sehubungan dengan itu timbul pertanyaan, apakah persetujuan tidak akan terjadi jika sekiranya surat tersebut tidak dibuka atau jika surat tersebut hilang? Selain itu sulit untuk menentukan saat diketahuinya isi surat tersebut.

6) Teori penerimaan (Ontvangstheorie)

Menurut teori ini, bahwa persetujuan terjadi pada saat diterimanya surat jawaban penerimaan penawaran oleh orang yang menawarkan.15

1) Orang-orang yang belum dewasa

ad. b Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

Orang yang membuat suatu perjanjian harus “cakap” menurut hukum.

Pada dasarnya setiap orang adalah cakap untuk membuat perjanjian jika oleh

undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap (Pasal 1329 KUHPerdata).

Pada asasnya setiap orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya adalah

cakap menurut hukum. Dalam Pasal 1330 KUHPerdata disebutkan orang-orang

yang tidak cakap untuk membuat suatu persetujuan atau perjanjian, yaitu:

Pasal 330 KUHPerdata menentukan orang yang belum dewasa adalah orang

yang belum berumur genap 21 tahun serta belum menikah.

2) Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan

15

(7)

Orang-orang yang dungu, sakit otak atau mata gelap harus diletakkan di

bawah pengampuan walaupun kadang-kadang cakap mempergunakan

pikirannya. Demikian pula orang yang di bawah pengampuan ini sama

kedudukannya dengan orang-orang yang belum dewasa, di mana anak yang

belum dewasa harus diwakili orangtuanya atau walinya. Maka orang dewasa

yang berada di bawah pengampuan harus diwakili oleh pengampu atau

kurator.

3) Orang-orang perempuan

Dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang dan pada umumnya

semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat

persetujuan-persetujuan tertentu. Orang-orang perempuan yang bersuami

cakap bertindak dalam hukum sepanjang tindakan hukum tersebut tidak

melampaui kekuasaan mereka. Bila tindakan hukum yang mereka lakukan

melampaui kekuasaan hukum, maka tindakan hukum tersebut batal demi

hukum (Pasal 1446 KUHPerdata).

Yang merupakan tindakan yang tidak melampaui kekuasaan perempuan yang

bersuami adalah tindakan hukum sebagaimana yang dikemukakan dalam Pasal

109 KUHPerdata, misalnya perjanjian yang dilakukan istri guna keperluan

segala yang berkenaan dengan pembekalan rumah tangga sehari-hari. Untuk

itu istri tidak perlu memperoleh izin suami.

Berbeda dengan Pasal 108 KUHPerdata yang menyatakan istri harus

memperoleh izin yang tegas dari suami untuk membuat suatu akta. Demikian

juga Pasal 110 KUHPerdata menyatakan bahwa istri tidak boleh menghadap

dimuka pengadilan tanpa bantuan suami. Hal ini menunjukkan istri tidak

(8)

Akan tetapi, melalui Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1963

tanggal 4 Agustus 1963 kepada Ketua Pengadilan Negeri dan Pengadilan

Tinggi di seluruh Indonesia ternyata, Mahkamah Agung menganggap Pasal

108 dan 110 KUHPerdata tentang wewenang seorang istri untuk melakukan

perbuatan hukum dan untuk menghadap di depan pengadilan tanpa izin atau

bantuan dari suaminya, sudah tidak berlaku lagi. Demikian juga dengan

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Pasal 31 ayat 1

menyatakan hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan

kewajiban suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama

dengan masyarakat. Pasal 31 ayat 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974

menyatakan masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.

ad. c Suatu hal tertentu

Pasal 1320 KUHPerdata ini menentukan bahwa objek perjanjian harus

sesuatu hal tertentu (een pepaalde onderwerp). Suatu hal tertentu merupakan pokok perjanjian, merupakan prestasi yang perlu dipenuhi dalam suatu perjanjian,

merupakan objek perjanjian.16

16

Abdul Kadir Muhammad 1, Op.Cit, hlm. 93

Sekurang-kurangnya objek perjanjian tersebut

harus mempunyai jenis tertentu sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1333

KUHPerdata. Apa yang diperjanjikan harus cukup jelas, ditentukan jenisnya,

jumlahnya boleh tidak disebutkan asal dapat dihitung atau ditetapkan. Adapun inti

sari dari perjanjian itu adalah prestasi di mana kreditur berhak atas prestasi dan

debitur wajib melaksanakan prestasi. Jika seluruh objek perjanjian (voorwerp) tidak tentu, maka dengan sendirinya perjanjian yang sedemikian itu tidak sah.

(9)

ukuran rumah, letak rumah maupun jenis bangunannya, maka perjanjian ini tidak

mempunyai kekuatan hukum (krachteloos). ad. d Suatu sebab yang halal

Undang-Undang tidak memberi pengertian causa atau sebab. Yang

dimaksud dengan causa bukan hukum dan akibat, tetapi isi atau maksud dari

perjanjian.

Dengan demikian yang dimaksud dengan sebab (oorzaak/causa) bukanlah mengenai sesuatu yang menyebabkan seseorang membuat perjanjian tetapi isi

perjanjian itu sendiri. Isi perjanjian itu harus memuat sebab atau causa yang

diperbolehkan (geoorloofde oorzak).

Melalui syarat ini, di dalam praktek memberi peluang bagi hakim untuk

dapat mengawasi perjanjian tersebut. Hakim dapat menilai apakah isi perjanjian

tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan

(Pasal 1337 KUHPerdata). Undang-undang mengatur isi perjanjian dalam Pasal

1329 dan Pasal 1327 KUHPerdata. Dari sini disimpulkan bahwa isi perjanjian

terdiri dari elemen-elemen sebagai berikut:

1) Isi perjanjian ialah apa yang dinyatakan secara tegas oleh kedua belah pihak di

dalam perjanjian itu.

2) Kepatutan adalah ulangan dari kepatutan yang terdapat dalam Pasal 1338

KUHPerdata.

3) Kebiasaan adalah yang diatur Pasal 1339 KUHPerdata yaitu kebiasaan yang

bersifat umum sedang yang diatur dalam Pasal 1327 KUHPerdata itu

kebiasaan yang hidup di tengah masyarakat.

Jadi apa yang menjadi objek atau isi dan tujuan prestasi yang melahirkan

(10)

benar-benar sesuatu yang mungkin dapat dilaksanakan. Suatu sebab yang halal ini

mengacu pada Pasal 1337 KUHPerdata, artinya isi perjanjian itu tidak

bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan maupun ketertiban umum.

Bila suatu perjanjian dibuat tanpa sebab atau dibuat karena sesuatu sebab

yang palsu ataupun terlarang, maka perjanjian tersebut tidak mempunyai kekuatan

hukum. Itu sebabnya bila syarat akan adanya sebab yang halal ini tidak dapat

dipenuhi maka perjanjian tersebut batal demi hukum.

Dari uraian keempat syarat sahnya perjanjian di atas, harus dibedakan

antara syarat subjektif dengan syarat objektif. Dalam hal syarat objektif, kalau

syarat itu tidak terpenuhi, maka perjanjian itu batal demi hukum. Artinya, dari

semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu

perikatan. Tujuan para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut untuk

melahirkan suatu perikatan hukum adalah gagal. Dengan demikian, maka tiada

dasar untuk saling menuntut di depan hakim. Dalam bahasa Inggris dikatakan

bahwa perjanjian yang demikian itu null and void.

Dalam hal suatu syarat subjektif, jika syarat itu tidak dipenuhi,

perjanjiannya bukan batal demi hukum, tetapi salah satu pihak mempunyai hak

untuk meminta supaya perjanjian itu dibatalkan. Pihak yang dapat meminta

pembatalan itu adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan

sepakatnya (perizinannya) secara tidak bebas. Jadi, perjanjian yang telah dibuat

itu mengikat juga, selama tidak dibatalkan (oleh hakim) atas permintaan pihak

yang berhak meminta pembatalan tadi. Dengan demikian, nasib sesuatu perjanjian

seperti itu tidaklah pasti dan tergantung pada kesediaan suatu pihak yang

(11)

3. Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian

Syarat-syarat objektif sebagaimana yang diuraikan pada bagian yang

terdahulu merupakan isi perjanjian yang memuat hak dan kewajiban para pihak.

Masing-masing pihak dalam perjanjian mempunyai hak dan kewajiban sendiri.

Kewajiban pihak pertama merupakan hak pihak kedua, dan sebaliknya hak pihak

pertama merupakan kewajiban bagi pihak kedua. Itu sebabnya dikatakan bahwa

intisari atau objek dari perjanjian adalah prestasi itu sendiri.

Menurut pasal 1234 KUH Perdata, prestasi yang dijanjikan itu adalah:

a) Untuk memberi sesuatu (to geven)

b) Untuk berbuat sesuatu ( to doen)

c) Untuk tidak berbuat sesuatu (of nien to doen)

Prestasi ini menimbulkan adanya hak dan kewajiban para pihak. Misalnya,

prestasi berupa memberikan sesuatu (to geven) maka pihak yang satu berkewajiban untuk menyerahkan atau melever (levering) sesuatu/benda dan pihak yang lain berhak menerima benda tersebut. Hal ini diatur di dalam Pasal

1235 KUHPerdata. Dengan demikian, pemenuhan prestasi merupakan kewajiban. Prestasi tidak hanya memberikan hak kepada satu pihak lalu kewajiban kepada

pihak lain, tetapi prestasi memberikan hak sekaligus kewajiban pada

masing-masing pihak.

Sebagaimana telah dinyatakan kalau satu pihak memberikan sesuatu

(kewajibannya) maka pihak yang lain menerima (hak) demikian sebaliknya pihak

yang sudah memenuhi kewajibannya tersebut akan memperoleh haknya dan

melakukan kewajibannya. Dengan demikian perjanjian itu menimbulkan hak dan

(12)

Di sinilah letak keseimbangan dari suatu perjanjian itu karena sudah

menjadi tabiat manusia untuk hidup saling tergantung. Tidak ada manusia yang

rela hidup hanya melaksanakan kewajiban tetapi tidak pernah menerima hak.

Perjanjian yang dibuat oleh kedua belah pihak secara sah itu menjadi tolak ukur

hubungan mereka dalam pelaksanaan hak dan kewajiban di mana apa yang

mereka sepakati bersama berlaku sebagai undang-undang baginya dan perjanjian

atau kesepakatan itu mengikat para pihak tidak hanya untuk hal-hal yang

dituliskan atau dinyatakan dengan tegas tetapi juga untuk segala sesuatu yang

menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan dan

undang-undang.

Dengan demikian, Pasal 1339 KUHPerdata ini memungkinkan munculnya

hak dan kewajiban bagi para pihak di luar yang disetujui tetapi dianggap sebagai

hak maupun kewajiban berdasarkan kepatutan, kebiasaan dan undang-undang

yang ada. Ini membuka peluang bagi hakim untuk menimbang dan memutuskan

apakah suatu perjanjian itu sesuai dengan kepatutan maupun kebiasaan yang

hidup di masyarakat serta dengan undang-undang yang ada.

Dari uraian di atas dapat terlihat bahwa adanya hak dan kewajiban para

pihak merupakan akibat hukum dari perbuatan mengadakan perjanjian. Dan

membatalkan hak dan kewajiban berarti membatalkan perjanjian dan itu harus

dengan kesepakatan para pihak (Pasal 1339 KUHPerdata).

4. Asas-Asas Hukum Perjanjian

Berdasarkan teori, di dalam suatu hukum kontrak terdapat 5 (lima) asas

yang dikenal menurut ilmu hukum perdata. Kelima asas itu antara lain adalah:

(13)

c) Asas kepastian hukum (pacta sunt servanda); d) Asas itikad baik (good faith); dan

e) Asas kepribadian (personality).

Berikut ini adalah penjelasan mengenai asas-asas dimaksud:

a) Asas kebebasan berkontrak (freedom of contract)

Hukum benda menganut sistem tertutup, sedangkan hukum perjanjian

menganut sistem terbuka. Artinya macam-macam hak atas benda adalah terbatas

dan peraturan-peraturan yang mengenai hak-hak atas benda itu bersifat memaksa,

sedangkan hukum perjanjian memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada

masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja, asalkan tidak

melanggar ketertiban umum dan kesusilaan.17

Mereka diperbolehkan membuat ketentuan-ketentuan sendiri yang

menyimpang dari pasal-pasal hukum perjanjian. Mereka diperbolehkan mengatur

sendiri kepentingan mereka dalam perjanjian-perjanjian yang mereka adakan itu. Pasal-pasal dari hukum perjanjian

merupakan hukum pelengkap (optional law), yang berarti bahwa pasal-pasal itu boleh disingkirkan manakala dikehendaki oleh pihak-pihak yang membuat suatu

perjanjian.

18

17

R. Subekti 1, Op.Cit, hlm. 13

18

Ibid.

Asas ini dalam hukum perjanjian dikenal dengan asas kebebasan berkontrak

(contractvrijheid).

Asas kebebasan berkontrak ini mempunyai hubungan yang erat dengan

asas konsensualisme dan asas kekuatan mengikat yang terdapat di dalam Pasal

1338 Ayat (1) KUHPerdata. Ketentuan ini berbunyi:

“Semua Persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai

(14)

Asas ini merupakan suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para

pihak untuk:

1) membuat atau tidak membuat perjanjian;

2) mengadakan perjanjian dengan siapa pun;

3) menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, serta

4) menentukan bentuk perjanjiannya apakah tertulis atau lisan.

“Semua” mengandung arti meliputi seluruh perjanjian, baik yang namanya

dikenal maupun yang tidak dikenal oleh undang-undang. Asas kebebasan

berkontrak (contractvrijheid) berhubungan dengan isi perjanjian, yaitu kebebasan menentukan “apa” dan dengan “siapa” perjanjian itu diadakan. Perjanjian yang

diperbuat sesuai Pasal 1320 KUHPerdata mempunyai kekuatan mengikat. Dengan

demikian maka kebebasan berkontrak adalah salah satu asas yang sangat penting

di dalam hukum perjanjian. Kebebasan ini adalah perwujudan dari kehendak

bebas, pancaran hak asasi manusia.

Latar belakang lahirnya asas kebebasan berkontrak adalah adanya paham

individualisme yang secara embrional lahir dalam zaman Yunani, yang diteruskan

oleh kaum Epicuristen dan berkembang pesat dalam zaman renaissance melalui antara lain ajaran-ajaran Hugo de Grecht, Thomas Hobbes, John Locke dan J.J.

Rosseau.19

19

Salim H.S, Hukum Kontrak: Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hlm. 9

Menurut paham individualisme, setiap orang bebas untuk memperoleh

apa saja yang dikehendakinya. Dalam hukum kontrak asas ini diwujudkan dalam

“kebebasan berkontrak”. Teori leisbet fair in menganggap bahwa the invisible hand akan menjamin kelangsungan jalannya persaingan bebas. Karena pemerintah sama sekali tidak boleh mengadakan intervensi di dalam kehidupan sosial

(15)

kepada golongan kuat ekonomi untuk menguasai golongan lemah ekonomi. Pihak

yang kuat menentukan kedudukan pihak yang lemah. Pihak yang lemah berada

dalam cengkeraman pihak yang kuat seperti yang diungkap dalam exploitation de homme par l’homme.

Pada akhir abad ke-19, akibat desakan paham etis dan sosialis, paham

individualisme mulai pudar, terlebih-lebih sejak berakhirnya Perang Dunia II.

Paham ini kemudian tidak mencerminkan keadilan. Masyarakat menginginkan

pihak yang lemah lebih banyak mendapat perlindungan. Oleh karena itu,

kehendak bebas tidak lagi diberi arti mutlak, akan tetapi diberi arti relatif

dikaitkan selalu dengan kepentingan umum. Pengaturan substansi kontrak tidak

semata-mata dibiarkan kepada para pihak namun perlu juga diawasi. Pemerintah

sebagai pengemban kepentingan umum menjaga keseimbangan kepentingan

individu dan kepentingan masyarakat. Melalui penerobosan hukum kontrak oleh

pemerintah maka terjadi pergeseran hukum kontrak ke bidang hukum publik. Oleh

karena itu, melalui intervensi pemerintah inilah terjadi pemasyarakatan

(vermastchappelijking) hukum kontrak/perjanjian. b) Asas konsensualisme (concensualism)

Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 1320 dan Pasal 1338 KUHPerdata.

Dalam Pasal 1320 KUHPerdata penyebutannya tegas sedangkan dalam Pasal 1338

KUHPerdata ditemukan dalam istilah “semua”. Kata-kata semua menunjukkan

bahwa setiap orang diberi ke semua menunjukkan bahwa setiap orang diberi

kesempatan untuk menyatakan keinginannya (will), yang dirasakannya baik untuk menciptakan perjanjian. Asas ini sangat erat hubungannya dengan asas kebebasan

mengadakan perjanjian.

(16)

”Asas konsesualisme mengandung arti bahwa dalam suatu perjanjian

cukup ada kata sepakat dari mereka yang membuat perjanjian itu, tanpa

diikuti dengan perbuatan hukum lain kecuali perjanjian yang bersifat

formal.20

c) Asas kepastian hukum (pacta sunt servanda)

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, perjanjian itu sudah mengikat

sejak tercapainya kata sepakat mengenai pokok perjanjian. Dalam Pasal 1320 ayat

(1) KUHPerdata ditentukan bahwa perjanjian atau kontrak tidaklah sah apabila

dibuat tanpa adanya konsensus atau sepakat dari para pihak yang membuatnya.

Asas ini merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak

diadakan secara formal, melainkan cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah

pihak. Kesepakatan adalah persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang

dibuat oleh kedua belah pihak. Asas konsensualisme muncul diilhami dari hukum

Romawi dan hukum Jerman. Di dalam hukum Jerman tidak dikenal istilah asas

konsensualisme, tetapi lebih dikenal dengan sebutan perjanjian riil dan perjanjian

formal. Perjanjian riil adalah suatu perjanjian yang dibuat dan dilaksanakan secara

nyata (dalam hukum adat disebut secara kontan). Sedangkan perjanjian formal

adalah suatu perjanjian yang telah ditentukan bentuknya, yaitu tertulis (baik

berupa akta otentik maupun akta bawah tangan). Dalam hukum Romawi dikenal

istilah contractus verbis literis dan contractus innominat. Yang artinya bahwa terjadinya perjanjian apabila memenuhi bentuk yang telah ditetapkan. Asas

konsensualisme yang dikenal dalam KUHPerdata adalah berkaitan dengan bentuk

perjanjian.

20

A. Qirom Syamsudin M, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Beserta Perkembangannya,

(17)

Asas kepastian hukum atau disebut juga dengan asas pacta sunt servanda

merupakan asas yang berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah

undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi

kontrak yang dibuat oleh para pihak.

Demikianlah seterusnya dapat ditarik kesimpulan di dalam perjanjiaan

terkandung suatu asas kekuatan mengikat. Terikatnya para pihak pada perjanjian

itu tidak semata-mata terbatas pada apa yang diperjanjikan akan tetapi juga

terhadap beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatutan

serta moral.

Demikianlah sehingga asas-asas moral, kepatutan dan kebiasaan yang

mengikat para pihak. Asas kekuatan mengikat atau asas facta sun servanda ini dapat diketahui di dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan

bahwa:

“Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai

undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”

Adapun maksud dari asas ini tidak lain untuk mendapatkan kepastian

hukum bagi para pihak, maka sejak dipenuhinya syarat sahnya perjanjian sejak

saat itu perjanjian mengikat para pihak seperti undang-undang.

Asas ini pada mulanya dikenal dalam hukum gereja. Dalam hukum gereja

itu disebutkan bahwa terjadinya suatu perjanjian bila ada kesepakatan antar pihak

yang melakukannya dan dikuatkan dengan sumpah. Hal ini mengandung makna

bahwa setiap perjanjian yang diadakan oleh kedua pihak merupakan perbuatan

(18)

perkembangan selanjutnya asas pacta sunt servanda diberi arti sebagai pactum, yang berarti sepakat yang tidak perlu dikuatkan dengan sumpah dan tindakan

formalitas lainnya. Sedangkan istilah nudus pactum sudah cukup dengan kata sepakat saja.

d) Asas itikad baik (good faith)

Asas itikad baik tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata yang

berbunyi:

“Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.”

Asas itikad baik ini sangat mendasar dan penting untuk diperhatikan

terutama di dalam membuat perjanjian, maksud itikad baik di sini adalah

bertindak sebagai pribadi yang baik. Itikad baik dalam pengertian yang sangat

subjektif dapat diartikan sebagai kejujuran seseoraang, yaitu apa yang terletak

pada seseorang pada waktu diaadakan perbuatan hukum. Sedangkn itikad baik

dalam pengertian objektif yaitu bahwa pelaksanaan suatu perjanjian itu harus

didasarkan pada norma kepatutan atau apa-apa yang dirasa sesuai dengan yang

patut dalam masyarakat.21

”Rumusan dari Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata tersebut mengidentifikasikan bahwa sebenarnya itikad baik bukan merupakan syarat sahnya suatu kontrak sebagaimana syarat yang terdapat dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Unsur itikad baik hanya diisyaratkan dalam hal “pelaksanaan” dari suatu kontrak, bukan pada “pembuatan” suatu kontrak. Sebab unsur “itikad baik” dalam hal pembuatan suatu kontrak sudah dapat dicakup oleh unsur “kausa yang legal” dari Pasal 1320 KUHPerdata tersebut.

Kemudian menurut Munir Fuady:

22

Berdasarkan asas ini, para pihak yaitu pihak kreditur dan debitur harus

melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang ”

21

Ibid, hlm. 19 22

(19)

teguh maupun kemauan baik dari para pihak. Asas itikad baik terbagi menjadi dua

macam, yakni itikad baik nisbi dan itikad baik mutlak. Pada itikad yang pertama,

seseorang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek. Pada

itikad yang kedua, penilaian terletak pada akal sehat dan keadilan serta dibuat

ukuran yang objektif untuk menilai keadaan (penilaian tidak memihak) menurut

norma-norma yang objektif. Berbagai putusan Hoge Raad (HR) yang erat kaitannya dengan penerapan asas itikad baik dapat diperhatikan dalam

kasus-kasus posisi berikut ini. Kasus yang paling menonjol adalah kasus Sarong Arrest

dan Mark Arrest. Kedua arrest ini berkaitan dengan turunnya nilai uang (devaluasi) Jerman setelah Perang Dunia I.23

23

Salim HS, Op.Cit, hlm. 11

Kasus Sarong Arrest: Pada tahun 1918 suatu firma Belanda memesan pada pengusaha Jerman sejumlah sarong dengan harga sebesar 100.000 gulden. Karena keadaan memaksa sementara, penjual dalam waktu tertentu tidak dapat

menyerahkan pesanan. Setelah keadaan memaksa berakhir, pembeli menuntut

pemenuhan prestasi. Tetapi sejak diadakan perjanjian keadaan sudah banyak

berubah dan penjual bersedia memenuhi pesanan tetapi dengan harga yang lebih

tinggi, sebab apabila harga tetap sama maka penjual akan menderita kerugian,

yang berdasarkan itikad baik antara para pihak tidak dapat dituntut darinya.

Pembelaan yang penjual ajukan atas dasar Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata

dikesampingkan oleh HR dalam arrest tersebut. Menurut putusan HR tidak mungkin satu pihak dari suatu perikatan atas dasar perubahan keadaan

bagaimanapun sifatnya, berhak berpatokan pada itikad baik untuk mengingkari

janjinya yang secara jelas dinyatakan HR masih memberi harapan tentang hal ini

(20)

“Mengubah inti perjanjian atau mengesampingkan secara keseluruhan.

Dapatkah diharapkan suatu putusan yang lebih ringan, jika hal itu bukan

merupakan perubahan inti atau mengesampingkan secara keseluruhan.”

Putusan HR ini selalu berpatokan pada saat dibuatnya oleh para pihak

Apabila pihak pemesan sarong sebanyak yang dipesan maka penjual harus

melaksanakan isi perjanjian tersebut, karena didasarkan bahwa perjanjian harus

dilaksanakan dengan itikad baik.

Kasus Mark Arrest: Sebelum Perang Dunia I, seorang warga negara Jerman memberi sejumlah pinjaman uang kepada seorang warga negara Belanda

pada tahun 1924. Dari jumlah tersebut masih ada sisa pinjaman tetapi karena

sebagai akibat peperangan nilai Mark sangat menurun, maka dengan jumlah sisa tersebut hampir tidak cukup untuk membeli prangko sehingga dapat dimengerti

kreditur meminta pembayaran jumlah yang lebih tinggi atas dasar devaluasi

tersebut. Namun, Pasal 1757 KUHPerdata menyatakan:

“Jika saat pelunasan terjadi suatu kenaikan atau kemunduran harga atau

ada perubahan mengenai berlakunya mata uang maka pengembalian

jumlah yang dipinjam harus dilakukan dalam mata uang yang berlaku pada

saat itu.”

Hoge Raad menimbang bahwa tidak nyata para pihak pada waktu mengadakan perjanjian bermaksud untuk mengesampingkan ketentuan yang

bersifat menambah dan memutuskan bahwa orang Belanda cukup mengembalikan

jumlah uang yang sangat kecil itu. Menurut hakim pada badan peradilan tertinggi

ini, tidak berwenang atas dasar itikad baik atau kepatutan mengambil tindakan

(21)

Putusan Mark Arrest ini sama dengan Sarong Arrest bahwa hakim terikat pada asas itikad baik, artinya hakim dalam memutus perkara didasarkan pada saat

terjadinya jual beli atau saat penjam-meminjam uang. Apabila orang Belanda

meminjam uang sebanyak 1000 gulden, maka orang Belanda tersebut harus mengembalikan sebanyak jumlah uang di atas, walaupun dari pihak peminjam

berpendapat bahwa telah terjadi devaluasi uang. Berbeda dengan kondisi di Indonesia pada tahun 1997 di mana kondisi negara pada saat itu mengalami krisis

moneter dan ekonomi. Pihak perbankan telah mengadakan perubahan suku bunga

bank secara sepihak tanpa diberitahu kepada nasabah. Pada saat perjanjian kredit

dibuat, disepakati suku bunga bank sebesar 16 % per tahun, akan tetapi setelah

terjadi krisis moneter, suku bunga bank naik menjadi 21-24 % per tahun. Hal ini

menandakan bahwa pihak nasabah berada pada pihak yang dirugikan karena

kedudukan nasabah berada pada posisi yang lemah (low bargaining posistion). Oleh karena itu, pada masa-masa yang akan datang pihak kreditur harus

melaksanakan isi kontrak sesuai dengan yang telah disepakatinya, yang dilandasi

pada asas itikad baik.

e) Asas Kepribadian (personality)

Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang

yang akan melakukan dan/atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan

perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340

KUHPerdata. Pasal 1315 KUHPerdata menegaskan:

“Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau

(22)

Inti ketentuan ini sudah jelas bahwa untuk mengadakan suatu perjanjian,

orang tersebut harus untuk kepentingan dirinya sendiri. Pasal 1340 KUHPerdata

berbunyi:

“Perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya.”

Hal ini mengandung maksud bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak

hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya. Namun demikian, ketentuan itu

terdapat pengecualiannya sebagaimana diintridusir dalam Pasal 1317 KUHPerdata

yang menyatakan:

“Dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila

suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian

kepada orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu.”

Pasal ini mengkonstruksikan bahwa seseorang dapat mengadakan

perjanjian/kontrak untuk kepentingan pihak ketiga, dengan adanya suatu syarat

yang ditentukan. Sedangkan di dalam Pasal 1318 KUHPerdata, tidak hanya

mengatur perjanjian untuk diri sendiri, melainkan juga untuk kepentingan ahli

warisnya dan untuk orang-orang yang memperoleh hak daripadanya. Jika

dibandingkan kedua pasal itu maka Pasal 1317 KUHPerdata mengatur tentang

perjanjian untuk pihak ketiga, sedangkan dalam Pasal 1318 KUHPerdata untuk

kepentingan dirinya sendiri, ahli warisnya dan orang-orang yang memperoleh hak

dari yang membuatnya. Dengan demikian, Pasal 1317 KUHPerdata mengatur

tentang pengecualiannya, sedangkan Pasal 1318 KUHPerdata memiliki ruang

lingkup yang luas.

Di samping kelima asas yang telah diuraikan di atas, dalam Lokakarya

Hukum Perikatan yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional

(23)

berhasil dirumuskannya delapan asas hukum perikatan nasional. Kedelapan asas

tersebut adalah sebagai berikut:

a) Asas kepercayaan

Asas kepercayaan mengandung pengertian bahwa setiap orang yang akan mengadakan perjanjian akan memenuhi setiap prestasi yang diadakan diantara mereka dibelakang hari.

b) Asas persamaan hukum

Asas persamaan hukum mengandung maksud bahwa subjek hukum yang mengadakan perjanjian mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama dalam hukum. Mereka tidak boleh dibeda-bedakan antara satu sama lainnya, walaupun subjek hukum itu berbeda warna kulit, agama, dan ras.

c) Asas keseimbangan

Asas keseimbangan adalah asas yang menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian. Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, namun debitur memikul pula kewajiban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik. d) Asas kepastian hukum

Perjanjian sebagai figur hukum mengandung kepastian hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikatnya perjanjian, yaitu sebagai undang-undang bagi yang membuatnya.

e) Asas moralitas

Asas moral ini terikat dalam perikatan wajar, yaitu suatu perbuatan sukarela dari seseorang tidak dapat menuntut hak baginya untuk menggugat prestasi dari pihak debitur. Hal ini terlihat dalam

zaakwarneming, yaitu seseorang melakukan perbuatan dengan sukarela (moral). Yang bersangkutan mempunyai kewajiban hukum untuk meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya. Salah satu faktor yang memberikan motivasi pada yang bersangkutan melakukan perbuatan hukum itu adalah didasarkan pada kesusilaan (moral) sebagai panggilan hati nuraninya.

f) Asas kepatutan

Asas kepatutan tertuang dalam Pasal 1339 KUHPerdata. Asas ini berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian yang diharuskan oleh kepatutan berdasarkan sifat perjanjiannya.

g) Asas kebiasaan

Asas ini dipandang sebagai bagian dari perjanjian. Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk apa yang secara tegas diatur, akan tetapi juga hal-hal yang menurut kebiasaan lazim diikuti.

h) Asas perlindungan

Asas perlindungan mengandung pengertian bahwa antara debitur dan kreditur harus dilindungi oleh hukum. Namun, yang perlu mendapat perlindungan itu adalah pihak debitur karena pihak ini berada pada posisi yang lemah.24

24

(24)

Asas-asas inilah yang menjadi dasar pijakan dari para pihak dalam

menentukan dan membuat suatu kontrak/perjanjian dalam kegiatan hukum

sehari-hari. Dengan demikian dapat dipahami bahwa keseluruhan asas diatas merupakan

hal penting dan mutlak harus diperhatikan bagi pembuat kontrak/perjanjian

sehingga tujuan akhir dari suatu kesepakatan dapat tercapai dan terlaksana

sebagaimana diinginkan oleh para pihak.

5. Jenis-Jenis Perjanjian

a) Perjanjian Obligatoir, yaitu perjanjian-perjanjian yang menimbulkan perikatan. Jenis-jenis perjanjian obligatoir di antaranya adalah sebagai berikut. 1) Perjanjian sepihak dan timbal balik (1313 KUHPerdata)

Hendaknya diperhatikan bahwa setiap perjanjian merupakan perbuatan hukum

bersegi dua atau jamak. Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang

menimbulkan kewajiban pokok kepada kedua belah pihak. Misalnya

perjanjian jual-beli. Perjanjian sepihak adalah perjanjian di mana hanya

terdapat kewajiban pada salah satu pihak saja. Misalnya hibah.

2) Perjanjian dengan cuma-cuma dan atas beban

Perjanjian atas beban adalah perjanjian di mana terhadap prestasi pihak yang

satu terdapat prestasi pihak yang lain. Antara kedua prestasi tersebut terdapat

hubungan hukum satu dengan yang lain, misalnya perjanjian jual-beli.

Perjanjian dengan cuma-cuma adalah persetujuan di mana salah satu pihak

mendapatkan keuntungan dari pihak lain secara cuma-cuma.

3) Perjanjian konsensual, rill dan formil

Perjanjian konsensual adalah perjanjian yang terjadi dengan kata sepakat.

Perjanjian rill adalah persetujuan di mana selain diperlukan kata sepakat juga

(25)

pinjam mengganti. Adakalanya kata sepakat harus dituangkan dalam bentuk

tertentu atau formil, misalnya hibah.

4) Perjanjian bernama, tidak bernama dan campuran

Perjanjian-perjanjian bernama adalah perjanjian-perjanjian yang oleh

undang-undang telah diatur secara khusus dalam KUHPerdata, yaitu pada Bab V

sampai dengan Bab XVIII ditambah Titel VII a dan dalam KUHDagang

perjanjian-perjanjian Asuransi dan Pengangkutan. Sedangkan perjanjian tidak

bernama adalah perjanjian yang tidak diatur secara khusus. Misalnya

perjanjian sewa beli.

Baik untuk perjanjian bernama ataupun tidak bernama pada dasarnya berlaku

ketentuan-ketentuan pada Bab I, II, dan IV Buku III KUHPerdata. Tidak

selalu dengan pasti kita dapat mengatakan apakah suatu perjanjian tersebut

merupakan perjanjian bernama atau tidak bernama. Karena ada

perjanjian-perjanjian yang mengandung berbagai unsur dari berbagai perjanjian-perjanjian yang

sulit dikualifikasikan sebagai perjanjian bernama atau tidak bernama.

Perjanjian seperti ini disebut dengan perjanjian campuran. Hanya dalam satu

hal undang-undang memberikan pemecahannya, yaitu yang disebutkan dalam

Pasal 1601 c KUHPerdata.

Untuk menyelesaikan persoalan tersebut maka dapat dikemukakan tiga

teori:

1) Teori absorptie

Menurut teori ini diterapkan ketentuan-ketentuan perundang-undangan daripada perjanjian yang dalam perjanjian campuran tersebut paling menonjol.

2) Teori combinatie

(26)

3) Sui generis

Menurut teori ini, ketentuan-ketentuan daripada perjanjian-perjanjian yang terdapat dalam perjanjian campuran diterapkan secara analogis.25 b) Jenis perjanjian lainnya

1) Perjanjian Liberatoir (Pasal 1440 dan Pasal 1442 KUHPerdata)

Perjanjian liberatoir adalah perbuatan hukum yang atas dasar sepakat para pihak menghapuskan perikatan yang telah ada. Misalnya, A mengadakan

perjanjian jual beli dengan B, kemudian, 2 hari berikutnya dibatalkan atas

kesepakatan bersama.

2) Perjanjian dalam hukum keluarga

Misalnya pada perkawinan. Hal ini pun merupakan perjanjian, karena

terjadi berdasarkan kata sepakat suami-istri. Tetapi hendaknya

diperhatikan bahwa perjanjian ini mempunyai sifat-sifat khusus.

3) Perjanjian kebendaan

Perjanjian ini diatur dalam Buku II KUHPerdata dan merupakan perjanjian

untuk menyerahkan benda atau menimbulkannya, mengubah atau

menghapuskan hak-hak kebendaan.

4) Perjanjian mengenai pembuktian

Para pihak adalah bebas untuk mengadakan perjanjian mengenai alat-alat

pembuktian yang akan mereka gunakan dalam suatu proses. Dapat

ditentukan pula alat pembuktian yang tidak boleh dipergunakan. Perjanjian

ini dilakukan untuk menentukan kekuatan alat bukti.

25

(27)

6. Berakhirnya Perjanjian

Hapusnya perjanjian tidak sama dengan hapusnya perikatan. Suatu

perikatan dapat hapus dengan pembayaran, penawaran pembayaran tunai diikuti

dengan penyimpanan atau penitipan, pembaharuan hutang, perjumpaan hutang

atau konpensasi, pencampuran hutang, pembebasan hutang, musnahnya barang

yang terutang, batal atau pembatalan, berlakunya suatu syarat batal, dan lewatnya

waktu (Pasal 1338 KUHPerdata). Akan tetapi perjanjian yang merupakan

sumbernya mungkin belum hapus. Bila X dan Y mengadakan jual beli, perikatan

dapat hapus dengan dibayarkannya harga oleh Y selaku pembeli. Tetapi mungkin

perjanjiannya masih ada. Untuk hapusnya perjanjian, tujuan perjanjiannya (yaitu

untuk memiliki barang) harus tercapai dulu. Jadi, bila perjanjian telah hapus

seluruhnya barulah perjanjian dinyatakan telah berakhir. Adapun beberapa cara

hapusnya perjanjian adalah:

a) Ditentukan dalam perjanjian oleh kedua belah pihak. Misalnya penyewa yang menyewakan bersepakat untuk mengadakan perjanjian sewa menyewa yang akan berakhir selama 3 tahun.

b) Undang-undang menentukan batas berlakunya suatu perjanjian. Misalnya, menurut Pasal 1066 ayat 3 KUHPerdata bahwa para ahli waris dapat mengadakan perjanjian untuk selama waktu tertentu untuk tidak melakukan pemecahan harta warisan. Akan tetapi waktu perjanjian tersebut oleh Pasal 1066 ayat 4 KUHPerdata dibatasi berlakunya hanya untuk lima tahun.

c) Para pihak atau undang-undang dapat menentukan bahwa dengan terjadinya peristiwa tertentu, maka perjanjian akan hapus. Misalnya, jika salah satu meninggal perjanjian menjadi hapus:

1) perjanjian perseroan (Pasal 1646 ayat 4 KUHPerdata) 2) perjanjian pemberian kuasa (Pasal 1813 KUHPerdata) 3) perjanjian kerja (Pasal 1603 j KUHPerdata)

d) Pernyataan menghentikan perjanjian (opzegging). Hal ini dapat dilakukan baik oleh salah satu atau dua belah pihak. Opzegging hanya ada pada perjanjian-perjanjian yang bersifat sementara, misalnya perjanjian kerja dan perjanjian sewa-menyewa.

e) Tujuan perjanjian telah tercapai. Misalnya dalam perjanjian jual beli bila salah satu pihak telah mendapat uang dan pihak lain telah mendapatkan barang maka perjanjian akan berakhir.

(28)

6) Dengan perjanjian para pihak. Dalam hal ini para pihak masing-masing setuju untuk saling mengentikan perjanjiannya. Misalnya perjanjian pinjam pakai berakhir karena pihak yang meminjam telah mengembalikan barangnya.26

B. Perjanjian Kerja Pada Umumnya 1. Pengertian Perjanjian Kerja

Perjanjian kerja yang dalam bahasa Belanda disebut Arbeidsoverenkoms, mempunyai beberapa pengertian. Pasal 1601 a KUHPerdata memberikan

pengertian sebagai berikut :

” Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian di mana pihak yang satu sebagai

buruh atau pekerja mengikatkan dirinya untuk dibawah perintahnya/

bekerja pada pihak lainnya sebagai majikan dengan mendapatkan upah

selama waktu tertentu.”

Perjanjian kerja diatur dalam UU Nomor 13 Tahun 2003. Menurut Pasal 1

angka 14:

“Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian antara pekerja/buruh dengan

pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, serta hak

dan kewajiban para pihak.”

Selain pengertian normatif tersebut di atas, para pakar Hukum Perburuhan

Indonesia juga memberikan pengertian perjanjian kerja.

Iman Soepomo, menyatakan bahwa:

”Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian di mana pihak pertama, buruh,

mengikatkan diri untuk bekerja dengan menerima upah pada pihak

26

(29)

lainnya, majikan, yang mengikatkan diri untuk mengerjakan buruh itu

dengan membayar upah.27

”Perjanjian antara seorang ”buruh” dengan seorang ”majikan”, perjanjian mana ditandai oleh ciri-ciri; adanya suatu upah atau gaji tertentu yang diperjanjikan dan adanya suatu hubungan diperatas (dierstverhanding) yaitu suatu hubungan berdasarkan mana pihak yang satu (majikan) berhak memberikan perintah-perintah yang harus ditaati oleh pihak yang lain (buruh).

Selanjutnya, perihal perjanjian kerja, ada juga pendapat R. Subekti, beliau

menyatakan dalam bukunya Aneka Perjanjian, disebutkan bahwa perjanjian kerja adalah :

28

”Perjanjian kerja itu adalah suatu perjanjian antara orang perorang pada

satu pihak dengan pihak lain sebagai majikan untuk melaksanakan suatu

pekerjaan dengan mendapatkan upah. ”

Menurut Wiwoho Soedjono:

29

Menurut Wiwoho Soedjono, dengan adanya rumusan Pasal 1601 a

KUHPerdata, maka perlu kiranya dibedakan tentang pengertian perjanjian kerja

dengan perjanjian perburuhan, karena perjanjian kerja itu bersifat individual

sedangkan perjanjian perburuhan itu bersifat kelompok atau kolektif. Didalam

memperjuangkan kepentingan atau kesejaterahan buruh, undang-undang

memberikan kesempatan sepenuhnya kepada serikat buruh untuk mengadakan

suatu perjanjian perburuhan.

30

Adapun yang diartikan dengan perjanjian perburuhan (Perjanjian Kerja

Bersama) menurut ketentuan Pasal 1 Angka 21 UU Nomor 13 Tahun 2003

menyebutkan bahwa:

27

Iman Soepomo, Hukum Perburuhan Bagian Pertama Hubungan Kerja, PPAKRI Bhayangkara, Jakarta, 1968, hlm. 57

28

R. Subekti, Aneka Perjanjian Cetakan Kedua, Alumni, Bandung, 1977, hlm. 63. (Selanjutnya disebut dengan R. Subekti 2)

29

Wiwoho Soedjono, Hukum Perjanjian Kerja Cetakan Kedua, Bina Aksara, Jakarta, 1987, hlm. 1

30

(30)

”Perjanjian perburuhan (Perjanjian Kerja Bersama) adalah perjanjian yang merupakan hasil perundingan antara serikat pekerja/buruh atau beberapa serikat pekerja/buruh yang tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha atau beberapa pengusaha atau perkumpulan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak.”

Dari batasan pengertian tentang perjanjian kerja dan perjanjian perburuhan

tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa:

a) Perjanjian kerja itu diadakan oleh seorang buruh, jadi bersifat individual dengan pihak majikan, sedangkan perjanjian perburuhan ialah suatu perjanjian yang diadakan oleh serikat buruh atau serikat-serikat buruh dengan majikan-majikan atau perkumpulan majikan. b) Perjanjian kerja itu dapat diadakan sewaktu-waktu tanpa adanya

serikat buruh, jadi oleh buruh secara perseorangan dengan majikan, sedangkan perjanjian perburuhan hanya dapat diadakan semata-mata oleh serikat-serikat buruh di dalam suatu perusahaan tempat para buruh tersebut bekerja dan menjadi anggotanya.

c) Perjanjian kerja harus merupakan penjabaran perjanjian perburuhan dalam arti perjanjian kerja tidak boleh bertentangan dengan perjanjian perburuhan.

d) Isi perjanjian kerja itu ialah mengenai hak dan kewajiban untuk melakukan pekerjaan, sedangkan isi perjanjian perburuhan ialah mengenai hak dan kewajiban tentang syarat-syarat kerja.31

Setelah dipaparkan beberapa pengertian mengenai perjanjian kerja,

khususnya pengertian yang ditentukan pada Pasal 1601 a KUHPerdata tersebut,

ada dikemukakan perkataan ”di bawah perintah”, maka perkataan inilah yang

merupakan norma dalam perjanjian kerja dan yang membedakan antara perjanjian

kerja dengan perjanjian-perjanjian lainnya. Perihal ketentuan ”di bawah perintah”

ini mengandung arti bahwa salah satu pihak yang mengadakan perjanjian kerja

harus tunduk pada pihak yang lainnya, atau di bawah perintah atau pimpinan

pihak lain, berarti ada unsur wewenang perintah. Dan dengan adanya wewenang

perintah berarti antara kedua belah pihak ada kedudukan yang tidak sama yang

disebut subordinasi. Jadi di sini ada pihak yang kedudukannya di atas, yaitu yang

31

(31)

memerintah dan ada pihak yang kedudukannya di bawah, yaitu yang diperintah.32

Selanjutnya, jika dilihat dari segi objeknya, maka perjanjian kerja itu mirip

dengan perjanjian pemborongan, yaitu sama-sama menyebutkan bahwa pihak

yang satu menyetujui untuk melaksanakan pekerjaan bagi pihak yang lain dengan

pembayaran tertentu. Namun perbedaan antara perjanjian kerja dengan perjanjian

pemborongan adalah bahwa pada perjanjian kerja ada terdapat gabungan

kedinasan atau kekuasaan antara buruh dan majikan. Sedangkan pada perjanjian Maka dengan adanya ketentuan tersebut, pihak buruh mau tidak mau harus tunduk

pada perintah majikan. Dengan demikian, dalam melaksanakan hubungan hukum

dalam perjanjian kerja ini, kedudukan hukum antara kedua belah pihak jelas tidak

dalam kedudukan yang sama dan seimbang.

Ketentuan tersebut jika dibandingkan dengan pengertian perjanjian pada

umumnya seperti yang ditentukan dalam Pasal 1313 KUHPerdata, jelas bahwa

kedudukan antara para pihak yang membuat perjanjian adalah sama dan

seimbang. Karena dalam pasal tersebut ditentukan bahwa satu orang atau lebih

mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.

Jelaslah pengertian tentang perjanjian tersebut berlainan jika dibandingkan

dengan pengertian perjanjian kerja yang terdapat dalam Pasal 1601 a KUHPerdata

. Karena di dalam ketentuan tersebut dinyatakan dengan tegas adanya dua

ketentuan, yakni satu pihak yang mengikatkan diri dan hanya satu pihak pula yang

dibawah pekerja orang lain, pihak ini adalah pihak buruh atau pekerja. Sebaliknya

pihak yang menurut ketentuan tersebut tidak mengikatkan dirinya dan berhak pula

untuk memerintah kepada orang lain, adalah pihak majikan atau pengusaha.

32

(32)

pemborongan tidak ada hubungan semacam itu, melainkan melaksanakan

pekerjaan yang tugasnya mandiri.33

Akan tetapi, selain berpedoman pada Pasal 1320 KUHPerdata, masih ada

unsur-unsur lain yang harus dipenuhi. Menurut seorang pakar Hukum Perburuhan

dan Hukum Sosial Belanda, M.G Rood, bahwa perjanjian kerja mengandung

empat unsur, yaitu :

2. Unsur-Unsur Dalam Perjanjian Kerja

Dalam perjanjian pada umumnya, unsur-unsur yang harus dipenuhi agar

perjanjian bisa dinyatakan sah dan mengikat sebagai undang-undang bagi mereka

yang membuatnya, haruslah memenuhi ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam

Pasal 1320 KUHPerdata.

Dalam perjanjian kerja, pada prinsipnya unsur-unsur seperti yang

ditentukan dalam Pasal 1320 KUHPerdata tersebut masih juga menjadi pegangan

dan harus diterapkan, agar suatu perjanjian kerja tersebut keberadaanya bisa

dianggap sah dan konsekuensinya dianggap sebagai undang-undang bagi mereka

yang membuatnya.

34

a. Adanya unsur work atau pekerjaan

Suatu pekerjaan yang diperjanjiakan dan dikerjakan sendiri oleh pekerja

yang membuat perjanjian kerja merupakan unsur penting dalam perjanjian kerja.

Pekerjaan yang dikerjakan oleh pekerja itu sendiri haruslah berdasarkan dan

berpedoman pada perjanjian kerja.

Pekerja yang melaksanakan pekerjaan atas dasar perjanjian kerja tersebut

pada pokoknya wajib untuk melaksanakannya sendiri. Sebab apabila para pihak

33

Sri Soedewi Maschun Sofwan, Hukum Bangunan, Perjanjian Pemborongan Bangunan Cetakan Pertama, Liberty, Yokyakarta, 1982 hlm. 52.

34

(33)

itu bebas untuk melaksanakan pekerjaannya, untuk dilakukan sendiri atau

menyuruh pada orang lain untuk melakukannya, akibatnya hal tersebut akan sulit

dikatakan sebagai pelaksanaan dari perjanjian kerja. Bahkan pada Pasal 93 ayat 1

UU Nomor 13 Tahun 2003, dinyatakan bahwa upah tidak dibayar bila tidak

melakukan pekerjaan. Ketentuan tersebut di atas, bila disebut when do not work, do not get pay atau no work no pay. Maksud dari kalimat tersebut adalah jika seseorang tidak mau bekerja, maka seseorang tersebut tidak berhak untuk

mendapatkan upah.

Walaupun demikian di dalam pelaksanaanya, jika pihak pekerja sewaktu

akan melaksanakan pekerjaan berhalangan, maka pekerjaan bisa diwakili atau

digantikan oleh orang lain, sepanjang sebelumnya telah diberitahukan dan

mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari pihak majikan. Ketentuan ini

tercantum dalam Pasal 1383 KUHPerdata jo. 1603 a KUHPerdata jo. UU Nomor

13 Tahun 2003 dalam Pasal 93 ayat 2.

Pasal 1383 KUHPerdata :

”Suatu perjanjian untuk berbuat sesuatu tak dapat dipenuhi oleh seseorang

dari pihak ketiga berlawanan dengan kemauan si berpiutang, jika si

berpiutang ini mempunyai kepentingan supaya perbuatannya dilakukan

sendiri oleh si berutang.”

Pasal 1603 a KUHPerdata :

”Buruh wajib melakukan sendiri pekerjaanya, hanyalah dengan izin

majikan ia dapat menyuruh seseorang ketiga menggantikannya.”

UU Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 93 ayat 2 berbunyi:

”Ketentuan sebagaimana dimaksudkan dalam ayat 1 tidak berlaku, dan

(34)

1) pekerja/buruh sakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan;

2) pekerja/buruh perempuan yang sakit pada hari pertama dan kedua masa haidnya sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan;

3) pekerja/buruh tidak masuk bekerja karena pekerja/buruh menikah, menikahkan, mengkhitankan, membaptiskan anaknya, isteri melahirkan atau keguguran kandungan, suami atau isteri atau anak atau menantu atau orang tua atau mertua atau anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia;

4) pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena sedang menjalankan kewajiban terhadap negara;

5) pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;

6) pekerja/buruh bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi pengusaha tidak mempekerjakannya, baik karena kesalahan sendiri maupun halangan yang seharusnya dapat dihindari pengusaha; 7) pekerja/buruh melaksanakan hak istirahat;

8) pekerja/buruh melaksanakan tugas serikat pekerja/serikat buruh atas persetujuan pengusaha; dan

9) pekerja/buruh melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan.

b. Adanya service atau pelayanan

Bahwa yang melakukan pekerjaan sebagai manifestasi adanya perjanjian

kerja tersebut adalah bahwa pekerja hanya tunduk pada/di bawah perintah orang

lain, yaitu pihak pemberi kerja yaitu si majikan (pengusaha).

Dengan adanya ketentuan tersebut maka seorang dokter misalnya, dalam

melaksanakan tugasnya, yaitu memeriksa atau mengdiagnosa pasiennya atau

seorang notaris yang melayani kliennya, mereka itu dalam melakukan

pekerjaanya, tidak dapat disamakan dengan pengertian melaksanakan perjanjian

kerja. Alasannya, karena unsur service dalam melakukan pekerjaan tersebut tidak terdapat di dalamnya. Sebab mereka itu dalam melakukan pekerjaanya, tidak

tunduk dan di bawah perintah orang lain. Karena mereka mempunyai keahlian

tertentu yang tidak dipunyai dan dikuasai si pemberi kerja, yaitu pasien atau

klien.35

35

Djumadi, Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja Cetakan Ketiga, Radjawali Pers, Jakarta, 1995, hlm. 60.

(35)

Di samping itu dalam melaksankan pekerjaanya, pekerjaan itu harus

bermanfaat bagi si pemberi kerja, misalnya jika dalam suatu perjanjian kerja yang

mereka buat, dinyatakan bahwa bidang pekerjaan yang dijanjikan adalah suatu

pekerjaan pengerasan atau pengaspalan jalan. Maka pekerja dalam melaksanakan

pekerjaannya haruslah bermanfaat bagi si pemberi kerjanya, misalnya sejak si

pekerja bekerja memecah batu dan menghamparkannya disepanjang jalan yang

sedang diperkeras atau diaspal. Berdasarkan hal tersebut jelaslah bahwa prinsip

dalam unsur ini adalah suatu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh si pekerja

dan harus bermanfaat bagi si pemberi kerja, sesuai dengan apa yang dimuat dalam

perjanjian kerja. Oleh karena itu bila suatu pekerjaan yang tujuannya bukan untuk

memberikan manfaat bagi si pemberi kerja tetapi bertujuan untuk kemanfaatan si

pekerja, misalnya untuk kepentingan praktik seorang siswa atau mahasiswa, maka

perjanjian tersebut jelas bukan merupakan perjanjian kerja.

c. Adanya unsur time atau waktu tertentu

Yang dimaksud unsur time atau waktu tertentu di sini bahwa dalam melakukan hubungan kerja tersebut haruslah disesuaikan dengan waktu yang telah

ditentukan dalam perjanjian kerja atau dalam peraturan perundang-undangan.

Oleh karena itu pekerja tidak boleh melakukan pekerjaanya sekehendak

hati, begitu pula si majikan tidak boleh mempekerjakan pekerjanya seumur hidup.

Apabila dilakukan dengan demikian, maka berarti hak pribadi manusia akan

hilang, sehingga timbullah yang dinamakan perbudakan dan bukan perjanjian

kerja. Pelaksanaan pekerjaan tersebut harus sesuai dengan isi perjanjian kerja.

Dengan kata lain dalam pelaksanan pekerjaan, si buruh tidak boleh bekerja dalam

waktu yang seenaknya saja, akan tetapi harus dilakukan sesuai dengan yang telah

(36)

pekerjaanya tidak boleh bertentangan dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan, kebiasaan setempat dan ketertiban umum.

d. Adanya unsur pay atau upah

Unsur pay atau upah ini merupakan unsur yang paling penting dan menentukan dalam setiap perjanjian kerja. Apabila seseorang bertujuan bukan

untuk mencari upah (pay) maka sulit untuk dikatakan sebagai pelaksanaan dari perjanjian kerja. Jika seseorang bekerja bertujuan untuk mendapatkan manfaat

bagi diri si pekerja dan bukan bertujuan untuk mencari upah, maka unsur keempat

dalam perjanjian kerja ini, yaitu unsur pay tidak terpenuhi. Contoh dari ketentuan tersebut adalah dalam hal perjanjian kerja praktik dari seorang pelajar atau

mahasiswa. Mereka dalam melaksanakan masa prakteknya, misalnya mahasiswa

dari akademi perhotelan dan pariwisata, maka sewaktu mahasiswa tersebut

berpraktik di suatu hotel, walaupun mereka telah bekerja dan di bawah perintah

orang lain serta dalam waktu-waktu tertentu pula, tetapi karena tujuannya yang

utama bukan bukan mendapatkan upah, maka hubungan hukum tersebut bukan

merupakan hubungan kerja.

Akan tetapi menurut UU Nomor 13 Tahun 2003, yang menjadi unsur

dalam sebuah perjanjian kerja hanyalah ada tiga (3) yaitu : pekerjaan, upah dan

perintah. Unsur upah dan unsur pekerjaan yang dinyatakan oleh M.G Rood di atas

sama dengan yang terdapat dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 ini. Akan tetapi

unsur service (pelayanan) dan unsur time (waktu) yang dinyatakan M.G Rood tidak disebutkan dalam UU Nomor 13 Tahun 2003. Unsur lainnya yang terdapat

dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 adalah unsur perintah.

Unsur perintah di sini menjelaskan bahwa manifestasi dari pekerjaan yang

(37)

tunduk pada perintah pengusaha untuk melakukan pekerjaan sesuai dengan yang

diperjanjikan. Pada dasarnya unsur perintah ini sama dengan unsur service

(pelayanan) yang di kemukakan oleh M.G. Rood.

Dari keempat unsur tersebut, jika dirumuskan adalah sebagai berikut :

a. Bahwa dalam melaksanakan pekerjaan, pada pokoknya harus dilakukan

sendiri.

b. Harus di bawah perintah orang lain.

c. Pekerjaan tersebut dilakukan dalam waktu tertentu.

d. Si pekerja setelah memenuhi prestasinya, berhak mendapatkan upah,

sebaliknya si pengusaha wajib untuk membayarkan upah tepat pada waktunya.

Keempat unsur tersebut, diatur dalam Pasal 1602, 1602 b, 1603 a dan 1603

b KUHPerdata, serta UU Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 93 ayat 2. Menurut

Sendjum W. Manulang, dalam bukunya Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan

Indonesia, antara lain menyebutkan bahwa ada 3 (tiga) unsur atau faktor yang

menentukan adanya hubungan kerja, yaitu :

a. Adanya pekerjaan yang harus dilakukan;

b. Adanya perintah (bekerja atas perintah atasan atau pengusaha) dan;

c. Adanya upah.

Tanpa adanya salah satu dari ketiga unsur tersebut maka tidak ada

hubungan kerja.36

a. Harus disebutkan macam pekerjaan yang diperjanjikan;

Selain syarat-syarat material seperti telah diuraikan, maka dalam hal

diadakannya perjanjian kerja yang dilakukan secara tertulis, dalam perjanjian

kerja tersebut harus berisi syarat-syarat formal antara lain sebagai berikut :

b. Waktu berlakunya perjanjian kerja;

36

(38)

c. Upah buruh yang berupa uang diberikan tiap bulan;

d. Saat istirahat bagi buruh, yang dilakukan di dalam dan kalau perlu di luar Indonesia serta selama istirahat itu.

e. Bagian upah lainnya yang berisi perjanjian menjadi hak buruh.37

Biasanya perjanjian kerja itu, jika hanya untuk pekerjaan yang sifatnya

sederhana saja, maka perjanjian tersebut dilakukan secara lisan. Walaupun

demikian buruh atau pekerjaannya, pekerja tersebut tetap mendapatkan hak atas

upah mereka.

Ketentuan mengenai syarat sahnya suatu perjanjian kerja juga tertuang

dalam Pasal 52 ayat 1 UU Nomor 13 Tahun 2003 yang menyebutkan bahwa:

Perjanjian kerja dibuat atas dasar : a. Kesepakatan keduabelah pihak;

b. Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum; c. Adanya pekerjaan yang diperjanjikan;

d. Perjanjian yang diperjanjikan tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kesepakatan kedua belah pihak yang lazim disebut kesepakatan bagi yang

mengikatkan dirinya maksudnya bahwa pihak-pihak yang mengadakan perjanjian

kerja harus setuju atau sepakat, seiya sekata mengenai hal-hal yang diperjanjikan.

Apa yang dikehendaki pihak yang satu juga dikehendaki oleh pihak yang lain.

Pihak pekerja menerima pekerjaan yang ditawarkan, dan pihak pengusaha

menerima pekerja tersebut untuk dipekerjakan.

Kemampuan atau kecakapan kedua belah pihak yang membuat perjanjian

maksudnya pihak pekerja maupun pengusaha cakap membuat perjanjian.

Seseorang dipandang cakap membuat perjanjian jika yang bersangkutan telah

cukup umur. Ketentuan hukum ketenagakerjaan memberikan batasan umur

minimal 18 tahun yang diatur dalam Pasal 26 UU Nomor 13 Tahun 2003. Selain

37

(39)

itu seseorang dikatakan cakap melakukan perjanjian jika seseorang itu tidak

terganggu jiwanya atau waras.

Adanya pekerjaan yang diperjanjikan, dalam istilah Pasal 1320

KUHPerdata adalah hal tertentu. Pekerjaan yang diperjanjikan merupakan objek

dari perjanjian kerja antara pekerja dengan pengusaha, yang akibat hukumnya

melahirkan hak dan kewajiban para pihak.

Objek perjanjian (pekerjaan) harus halal, yakni tidak boleh bertentangan

dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Jenis pekerjaan yang

diperjanjikan merupakan salah satu unsur perjanjian kerja yang harus disebutkan

secara jelas.

Keempat syarat tersebut bersifat kumulatif artinya harus dipenuhi

seluruhnya baru dapat dikatakan sebagai perjanjian kerja yang sah. Syarat

kemauan bebas kedua belah pihak dan kemampuan atau kecakapan kedua belah

pihak dalam membuat perjanjian dalam hukum perdata disebut sebagai syarat

subjektif, karena menyangkut mengenai orang yang membuat perjanjian,

sedangkan syarat adanya pekerjaan yang diperjanjikan dan pekerjaan yang

diperjanjikan harus halal disebut sebagai syarat objektif karena menyangkut objek

perjanjian. Apabila syarat objektif tidak dipenuhi, maka perjanjian tersebut batal

demi hukum, maksudnya dari semula perjanjian tersebut dianggap tidak pernah

ada. Jika yang tidak dipenuhi syarat subjektif, maka akibat hukum dari perjanjian

tersebut dapat dibatalkan. Pihak-pihak yang tidak memberikan persetujuan secara

tidak bebas, demikian juga oleh orang tua atau wali pengampu bagi orang yang

tidak cakap membuat perjanjian dapat meminta pembatalan perjanjian itu kepada

hakim. Dengan demikian perjanjian tersebut mempunyai kekuatan hukum selama

(40)

3. Hak dan Kewajiban Para Pihak Dalam Perjanjian Kerja

Sifat perjanjian kerja itu harus timbal balik atau dengan kata lain, dengan

adanya perjanjian kerja itu menimbulkan hak dan kewajiban bagi masing-masing

pihak. Hak dan kewajiban antara para pihak yang satu dengan yang lainnya

merupakan suatu kebalikan, jika di satu pihak merupakan suatu hak maka di pihak

lainnya adalah merupakan suatu kewajiban. Kewajiban dari penerima kerja, yaitu

si pekerja pada umumnya tersimpul dalam hak si majikan, seperti juga hak si

pekerja tersimpul dalam kewajiban si majikan.38

a) Kewajiban pengusaha (majikan)

Kewajiban yang harus dipenuhi serta hak yang bisa mereka nikmati, bagi

mereka yang membuat perjanjian, bisa dirumuskan sebagai saling berlawanan

antara yang satu dengan pihak yang lainnya. Yaitu pihak pekerja atau buruh

berlawanan dengan pihak pengusaha atau majikan.

Jika isi yang tertuang dalam perjanjian kerja tersebut menunjukkan

kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi oleh pihak pekerja, maka sebaliknya

kewajiban tersebut bagi pihak pengusaha adalah merupakan haknya, dan begitu

pula sebaliknya.

Kewajiban pengusaha atau majikan diatur dalam Pasal 1602 KUHPerdata.

Kewajiban utama dari pengusaha dalam perjanjian kerja adalah membayar upah.

Mengenai hal ini juga diatur pada Bagian Kedua Bab X UU Nomor 13 Tahun

2003. Pengupahan yang diatur dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 ini bersifat

publik, hal ini dapat diketahui dari ketentuan Pasal 95 ayat 3 UU Nomor 13 Tahun

2003 yang berbunyi :

38

Referensi

Dokumen terkait

Pengelola hotel, pengelola Mall/Super Mall/Plaza, pengelola Toko Modern, penyelenggara pameran dan/atau pengelola Kawasan Pariwisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7,

Dalam hal jual beli secara angsuran yang terjadi dalam surat perjanjian urusan pengadaan tanah tapak rumah, pembeli sudah melakukan kewajibannya (prestasi) yaitu

Variabel Pelatihan memiliki koefisien korelasi terhadap Kinerja sebesar 0,361 menunjukkan hubungan cukup kuat dengan koefisien determinasi atau besarnya kontribusi yang

Näistä neljä (kykenemättömyys nukkua, rajoittuminen hengitysputkeen ja/tai erilaisiin johtoihin, kipujen tunteminen sekä janoisuuden tunne) ovat myös potilaiden mukaan

Model Adaptasi Wujud Visual Wayang Analisis yang telah dilakukan pada tokoh Cakil, Bima, Gatotkaca, Arjuna, Abimanyu, Sinta, Anoman, dan Petruk merupakan langkah awal

 Potongan melintang diukur setiap 100 m dan ditambah pada lokasi tikungan/tempat yang berubah (lokasi bangunan yang akan di desain) dan tikungan, walaupun jaraknya

Pupuk ialah bahan yang diberikan ke dalam tanah baik yang organik maupun yang anorganik dengan maksud untuk mengganti kehilangan unsur hara dari dalam tanah dan bertujuan

User dapat dengan mudah untuk mengakses aplikasi ini, karena ditampilkan secara user friendly dan mudah dimengerti Diharapkan dengan pembuatan tutorial ini akan membantu dalam