BAB II
TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN KERJA
A. Perjanjian Pada Umumnya 1. Pengertian Perjanjian
Pengertian perjanjian dapat ditemui dalam Buku III Bab II Pasal 1313
KUHPerdata yang berbunyi ”Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan hukum
dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain
atau lebih”. Ketentuan pasal ini menurut Abdul Kadir Muhammad sebenarnya
banyak mengandung kelemahan yang dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Hanya menyangkut sepihak saja
Hal ini dapat dilihat dari kalimat ”satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”. Kata mengikatkan diri bersifat satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak. Seharusnya perumusannya adalah saling mengikatkan diri sehingga ada konsensus di antara para pihak.
b. Kata ”perbuatan” juga mencakup tanpa konsensus
Dalam pengertian ”perbuatan” termasuk juga tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa (zaakwarneming). Tindakan melawan hukum (onrechtmatige daad) yang tidak mengandung suatu konsensus seharusnya dipakai kata persetujuan.
c. Pengertian perjanjian terlalu luas
Pengertian perjanjian dalam pasal tersebut adalah terlalu luas karena mencakup juga perlangsungan perkawinan, janji kawin, yang diatur dalam lapangan hukum keluarga. Padahal yang dimaksud adalah hubungan antara debitur dan kreditur dalam lapangan harta kekayaan saja. Perjanjian yang bersifat kebendaan, bukan perjanjian yang bersifat personal.
d. Tanpa menyebut tujuan
Dalam perumusan pasal tersebut di atas tidak disebutkan tujuan mengadakan perjanjian, sehingga para pihak tidak jelas mengikatkan diri untuk apa.6
6
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, Citra Adhitya Bhakti, Bandung, 1990, hlm. 78 (Selanjutnya disebut Abdul Kadir Muhammad 1).
Berdasarkan alasan yang dikemukan di atas maka perlu dirumuskan
kembali apa yang dimaksud dengan perjanjian itu. Beberapa Sarjana Hukum yang
R. Setiawan menyatakan bahwa:
”Perjanjian adalah suatu perbuatan hukum, di mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang
atau lebih.7
”Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seseorang berjanji
kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk
melaksanakan sesuatu hal. ”
Defenisi perjanjian menurut R. Subekti:
8
”Perjanjian atau verbintenisen mengandung pengertian suatu hubungan hukum kekayaan atau harta kekayaan antara dua orang atau lebih yang
memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh potensi dan
sekaligus kewajiban pada pihak lain untuk menunaikan prestasi. ”
Sedangkan M. Yahya Harahap menyatakan bahwa:
9
2. Syarat Sahnya Perjanjian
”
Dari beberapa defenisi di atas penulis lebih memilih pendapat yang
dikemukakan oleh R. Subekti, yaitu adalah suatu peristiwa di mana seseorang
berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk
melaksanakan sesuatu hal. Dari uraian di atas, maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa perjanjian adalah kesepakatan antara dua orang atau lebih dalam lapangan
hukum kebendaan untuk saling mengikatkan diri dengan cara memberi dan
menerima sesuatu.
Di dalam Pasal 1320 KUHPerdata, dinyatakan ada 4 syarat yang harus
dipenuhi agar suatu perjanjian dinyatakan sah, yaitu:
7
R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung, 1987, hlm. 49
8
R. Subekti 1, Op.Cit., hlm. 1
9
a) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
b) Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian
c) Suatu hal tertentu
d) Suatu sebab yang halal
Dua syarat yang pertama, dinamakan syarat-yarat subjektif, karena
mengenai orang-orangnya atau subjeknya yang mengadakan perjanjian,
sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat-syarat objektif karena
mengenai perjanjiannya sendiri atau objek dari perbuatan hukum yang dilakukan
itu.10
Menurut R. Subekti, yang dimaksud dengan sepakat adalah kedua subjek
yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau seia-sekata
mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Apa yang
dikehendaki oleh pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak lain. Mereka
menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik.
Untuk lebih jelasnya, akan diuraikan syarat syarat sahnya perjanjian itu satu
persatu.
ad. a Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
Sepakat para pihak di dalam suatu perjanjian adalah unsur esensial dari
hukum perjanjian yaitu asas konsensualitas yang ditentukan adanya perjanjian
(rasion d’etre het bestaanwaarde)
11
Jadi, sepakat itu adalah kemauan atau kesesuaian kehendak oleh kedua
belah pihak sehingga seia-sekata atau setuju mengenai hal-hal pokok dari
perikatan yang mereka adakan. Pernyataan ini merupakan kehendak bersama
berdasarkan kebebasan para pihak, namun demikian ada 3 faktor yang
10
R. Subekti 1, Op.Cit, hlm. 17
11
menyebabkan sepakat tidak sah sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1321
KUHPerdata, yaitu:
1) Khilaf, kekeliruan atau salah pengertian (dwaling) 2) Paksaan (dwang)
3) Penipuan (bedrog)
Kekelirun ini mencakup hakekat barang atau benda yang menjadi pokok
objek perjanjian (error in substantia) dan kekelirunan mengenai orangnya (error in persona).
Pasal 1322 KUHPerdata menjelaskan bahwa kekhilafan mengenai hakikat
barang yang menjadi pokok persetujuan mengakibatkan batalnya suatu
persetujuan tetapi kekhilafan mengenai diri orangnya dengan siapa seseorang
bermaksud membuat suatu persetujuan itu telah dibuat terutama kesepakatan
mengingat diri orang tersebut. Misalnya X membuat perjanjian dengan Y, karena
X menganggap Y adalah penyanyi yang punya nama sama dengan Y. Dan Y
sendiri menyadari kekeliruan anggapan X. Dalam hal ini X kemudian dapat
memintakan pembatalan perjanjian.
Mengenai paksaan, Mariam Darus Badrulzaman menyatakan bahwa:
“ Yang dimaksud dengan paksaan bukan paksaan dalam arti absolut, sebab dalam hal yang demikian itu perjanjian sama sekali tidak terjadi. Yang dimaksud dengan paksaan adalah kekerasan jasmani atau ancaman (akan membuka rahasia) dengan sesuatu yang diperbolehkan hukum yang menimbulkan ketakutan kepada seseorang sehingga ia membuat perjanjian.12
Sedangkan menurut R. Subekti, paksaan yang dimaksud adalah paksaan
rohani atau paksaan jiwa (psysicis), jadi bukan paksaan badan (fisik). ”
13
12
Mariam Darus Badrulzaman, KUHPerdata Buku III Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, Alumni, Bandung, 1983, hlm.101 (Selanjutnya disebut Mariam Darus Badrulzaman 1)
13
Mengenai paksaan ini (dwang), terjadi apabila pihak yang dipaksakan itu tidak punya pilihan lain selain menyetujui persetujuan itu. Dan paksaan itu
mungkin saja dilakukan oleh pihak ketiga.
Tetapi tidak demikian halnya dengan penipuan. Penipuan hanya dilakukan
oleh pihak lawan. Wiryono Prodjodikoro, mengatakan bahwa satu macam
pembohongan saja tidak cukup untuk adanya penipuan ini, melainkan harus
serangkaian pembohongan yang di dalamnya hubungan satu dengan yang lainnya
merupakan suatu tipu muslihat.14
1) Teori kehendak (wilstheorie)
Menurut Pasal 1328 KUHPerdata, penipuan merupakan segala tipu
muslihat ataupun memperdayakan yang terang dan nyata sehingga pihak yang lain
tidak akan membuat perikatan seandainya tidak dilakukan tipu muslihat tersebut.
Penipuan ini tidak dipersangkakan tetapi harus dibuktikan.
Dalam penipuan itu pihak yang menipu bertindak aktif untuk
menjerumuskan lawan baik dengan keterangan palsu maupun tipu muslihat
lainnya. Dan pihak yang merasa tertipu harus mampu membuktikannya untuk
pembatalan perjanjian.
Mengenai saat terjadinya kesepakatan ada beberapa ajaran, yaitu:
Teori ini adalah yang tertua dan menekankan kepada faktor kehendak. Menurut teori ini jika kita mengemukakan suatu pernyataan yang berbeda dengan apa yang dikehendaki, maka kita tidak terikat kepada pernyataan tersebut.
2) Teori pernyataan (Verklaringstheorie)
Menurut teori ini, kebutuhan masyarakat menghendaki bahwa kita dapat berpegang kepada apa yang dinyatakan.
3) Teori kepercayaan (Vetrouwenstheorie)
Teori yang sekarang dianut, juga oleh yurisprudensi adalah teori kepercayaan, di mana menurut teori ini kata sepakat terjadi jika ada pernyataan yang secara objektif dapat dipercaya.
4) Teori ucapan (Uitingstheorie)
14
Menurut teori ini bahwa persetujuan terjadi pada saat orang yang menerima penawaran telah menyiapkan surat jawaban bahwa ia menyetujui penawaran tersebut. Kelemahan teori ini adalah bahwa sulit untuk menentukan saat terjadinya persetujuan dan selain itu jawabannya setiap saat masih dapat berubah.
5) Teori pengiriman (Verzendingstheorie)
Menurut beberapa sarjana, terjadinya persetujuan adalah pada saat dikirimkannya surat jawaban. Diterangkan selanjutnya bahwa dengan dikirimkannya surat tersebut si pengirim kehilangan kekuasaan atas surat tersebut dan lagi pula saat pengiriman dapat ditentukan secara tepat.
6) Teori pengetahuan (Vernemeningstheorie)
Teori ini mengemukakan bahwa persetujuan terjadi setelah orang yang menawarkan mengetahui bahwa penawarannya disetujui. Sehubungan dengan itu timbul pertanyaan, apakah persetujuan tidak akan terjadi jika sekiranya surat tersebut tidak dibuka atau jika surat tersebut hilang? Selain itu sulit untuk menentukan saat diketahuinya isi surat tersebut.
6) Teori penerimaan (Ontvangstheorie)
Menurut teori ini, bahwa persetujuan terjadi pada saat diterimanya surat jawaban penerimaan penawaran oleh orang yang menawarkan.15
1) Orang-orang yang belum dewasa
ad. b Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
Orang yang membuat suatu perjanjian harus “cakap” menurut hukum.
Pada dasarnya setiap orang adalah cakap untuk membuat perjanjian jika oleh
undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap (Pasal 1329 KUHPerdata).
Pada asasnya setiap orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya adalah
cakap menurut hukum. Dalam Pasal 1330 KUHPerdata disebutkan orang-orang
yang tidak cakap untuk membuat suatu persetujuan atau perjanjian, yaitu:
Pasal 330 KUHPerdata menentukan orang yang belum dewasa adalah orang
yang belum berumur genap 21 tahun serta belum menikah.
2) Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan
15
Orang-orang yang dungu, sakit otak atau mata gelap harus diletakkan di
bawah pengampuan walaupun kadang-kadang cakap mempergunakan
pikirannya. Demikian pula orang yang di bawah pengampuan ini sama
kedudukannya dengan orang-orang yang belum dewasa, di mana anak yang
belum dewasa harus diwakili orangtuanya atau walinya. Maka orang dewasa
yang berada di bawah pengampuan harus diwakili oleh pengampu atau
kurator.
3) Orang-orang perempuan
Dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang dan pada umumnya
semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat
persetujuan-persetujuan tertentu. Orang-orang perempuan yang bersuami
cakap bertindak dalam hukum sepanjang tindakan hukum tersebut tidak
melampaui kekuasaan mereka. Bila tindakan hukum yang mereka lakukan
melampaui kekuasaan hukum, maka tindakan hukum tersebut batal demi
hukum (Pasal 1446 KUHPerdata).
Yang merupakan tindakan yang tidak melampaui kekuasaan perempuan yang
bersuami adalah tindakan hukum sebagaimana yang dikemukakan dalam Pasal
109 KUHPerdata, misalnya perjanjian yang dilakukan istri guna keperluan
segala yang berkenaan dengan pembekalan rumah tangga sehari-hari. Untuk
itu istri tidak perlu memperoleh izin suami.
Berbeda dengan Pasal 108 KUHPerdata yang menyatakan istri harus
memperoleh izin yang tegas dari suami untuk membuat suatu akta. Demikian
juga Pasal 110 KUHPerdata menyatakan bahwa istri tidak boleh menghadap
dimuka pengadilan tanpa bantuan suami. Hal ini menunjukkan istri tidak
Akan tetapi, melalui Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1963
tanggal 4 Agustus 1963 kepada Ketua Pengadilan Negeri dan Pengadilan
Tinggi di seluruh Indonesia ternyata, Mahkamah Agung menganggap Pasal
108 dan 110 KUHPerdata tentang wewenang seorang istri untuk melakukan
perbuatan hukum dan untuk menghadap di depan pengadilan tanpa izin atau
bantuan dari suaminya, sudah tidak berlaku lagi. Demikian juga dengan
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Pasal 31 ayat 1
menyatakan hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan
kewajiban suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama
dengan masyarakat. Pasal 31 ayat 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
menyatakan masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
ad. c Suatu hal tertentu
Pasal 1320 KUHPerdata ini menentukan bahwa objek perjanjian harus
sesuatu hal tertentu (een pepaalde onderwerp). Suatu hal tertentu merupakan pokok perjanjian, merupakan prestasi yang perlu dipenuhi dalam suatu perjanjian,
merupakan objek perjanjian.16
16
Abdul Kadir Muhammad 1, Op.Cit, hlm. 93
Sekurang-kurangnya objek perjanjian tersebut
harus mempunyai jenis tertentu sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1333
KUHPerdata. Apa yang diperjanjikan harus cukup jelas, ditentukan jenisnya,
jumlahnya boleh tidak disebutkan asal dapat dihitung atau ditetapkan. Adapun inti
sari dari perjanjian itu adalah prestasi di mana kreditur berhak atas prestasi dan
debitur wajib melaksanakan prestasi. Jika seluruh objek perjanjian (voorwerp) tidak tentu, maka dengan sendirinya perjanjian yang sedemikian itu tidak sah.
ukuran rumah, letak rumah maupun jenis bangunannya, maka perjanjian ini tidak
mempunyai kekuatan hukum (krachteloos). ad. d Suatu sebab yang halal
Undang-Undang tidak memberi pengertian causa atau sebab. Yang
dimaksud dengan causa bukan hukum dan akibat, tetapi isi atau maksud dari
perjanjian.
Dengan demikian yang dimaksud dengan sebab (oorzaak/causa) bukanlah mengenai sesuatu yang menyebabkan seseorang membuat perjanjian tetapi isi
perjanjian itu sendiri. Isi perjanjian itu harus memuat sebab atau causa yang
diperbolehkan (geoorloofde oorzak).
Melalui syarat ini, di dalam praktek memberi peluang bagi hakim untuk
dapat mengawasi perjanjian tersebut. Hakim dapat menilai apakah isi perjanjian
tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan
(Pasal 1337 KUHPerdata). Undang-undang mengatur isi perjanjian dalam Pasal
1329 dan Pasal 1327 KUHPerdata. Dari sini disimpulkan bahwa isi perjanjian
terdiri dari elemen-elemen sebagai berikut:
1) Isi perjanjian ialah apa yang dinyatakan secara tegas oleh kedua belah pihak di
dalam perjanjian itu.
2) Kepatutan adalah ulangan dari kepatutan yang terdapat dalam Pasal 1338
KUHPerdata.
3) Kebiasaan adalah yang diatur Pasal 1339 KUHPerdata yaitu kebiasaan yang
bersifat umum sedang yang diatur dalam Pasal 1327 KUHPerdata itu
kebiasaan yang hidup di tengah masyarakat.
Jadi apa yang menjadi objek atau isi dan tujuan prestasi yang melahirkan
benar-benar sesuatu yang mungkin dapat dilaksanakan. Suatu sebab yang halal ini
mengacu pada Pasal 1337 KUHPerdata, artinya isi perjanjian itu tidak
bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan maupun ketertiban umum.
Bila suatu perjanjian dibuat tanpa sebab atau dibuat karena sesuatu sebab
yang palsu ataupun terlarang, maka perjanjian tersebut tidak mempunyai kekuatan
hukum. Itu sebabnya bila syarat akan adanya sebab yang halal ini tidak dapat
dipenuhi maka perjanjian tersebut batal demi hukum.
Dari uraian keempat syarat sahnya perjanjian di atas, harus dibedakan
antara syarat subjektif dengan syarat objektif. Dalam hal syarat objektif, kalau
syarat itu tidak terpenuhi, maka perjanjian itu batal demi hukum. Artinya, dari
semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu
perikatan. Tujuan para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut untuk
melahirkan suatu perikatan hukum adalah gagal. Dengan demikian, maka tiada
dasar untuk saling menuntut di depan hakim. Dalam bahasa Inggris dikatakan
bahwa perjanjian yang demikian itu null and void.
Dalam hal suatu syarat subjektif, jika syarat itu tidak dipenuhi,
perjanjiannya bukan batal demi hukum, tetapi salah satu pihak mempunyai hak
untuk meminta supaya perjanjian itu dibatalkan. Pihak yang dapat meminta
pembatalan itu adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan
sepakatnya (perizinannya) secara tidak bebas. Jadi, perjanjian yang telah dibuat
itu mengikat juga, selama tidak dibatalkan (oleh hakim) atas permintaan pihak
yang berhak meminta pembatalan tadi. Dengan demikian, nasib sesuatu perjanjian
seperti itu tidaklah pasti dan tergantung pada kesediaan suatu pihak yang
3. Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian
Syarat-syarat objektif sebagaimana yang diuraikan pada bagian yang
terdahulu merupakan isi perjanjian yang memuat hak dan kewajiban para pihak.
Masing-masing pihak dalam perjanjian mempunyai hak dan kewajiban sendiri.
Kewajiban pihak pertama merupakan hak pihak kedua, dan sebaliknya hak pihak
pertama merupakan kewajiban bagi pihak kedua. Itu sebabnya dikatakan bahwa
intisari atau objek dari perjanjian adalah prestasi itu sendiri.
Menurut pasal 1234 KUH Perdata, prestasi yang dijanjikan itu adalah:
a) Untuk memberi sesuatu (to geven)
b) Untuk berbuat sesuatu ( to doen)
c) Untuk tidak berbuat sesuatu (of nien to doen)
Prestasi ini menimbulkan adanya hak dan kewajiban para pihak. Misalnya,
prestasi berupa memberikan sesuatu (to geven) maka pihak yang satu berkewajiban untuk menyerahkan atau melever (levering) sesuatu/benda dan pihak yang lain berhak menerima benda tersebut. Hal ini diatur di dalam Pasal
1235 KUHPerdata. Dengan demikian, pemenuhan prestasi merupakan kewajiban. Prestasi tidak hanya memberikan hak kepada satu pihak lalu kewajiban kepada
pihak lain, tetapi prestasi memberikan hak sekaligus kewajiban pada
masing-masing pihak.
Sebagaimana telah dinyatakan kalau satu pihak memberikan sesuatu
(kewajibannya) maka pihak yang lain menerima (hak) demikian sebaliknya pihak
yang sudah memenuhi kewajibannya tersebut akan memperoleh haknya dan
melakukan kewajibannya. Dengan demikian perjanjian itu menimbulkan hak dan
Di sinilah letak keseimbangan dari suatu perjanjian itu karena sudah
menjadi tabiat manusia untuk hidup saling tergantung. Tidak ada manusia yang
rela hidup hanya melaksanakan kewajiban tetapi tidak pernah menerima hak.
Perjanjian yang dibuat oleh kedua belah pihak secara sah itu menjadi tolak ukur
hubungan mereka dalam pelaksanaan hak dan kewajiban di mana apa yang
mereka sepakati bersama berlaku sebagai undang-undang baginya dan perjanjian
atau kesepakatan itu mengikat para pihak tidak hanya untuk hal-hal yang
dituliskan atau dinyatakan dengan tegas tetapi juga untuk segala sesuatu yang
menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan dan
undang-undang.
Dengan demikian, Pasal 1339 KUHPerdata ini memungkinkan munculnya
hak dan kewajiban bagi para pihak di luar yang disetujui tetapi dianggap sebagai
hak maupun kewajiban berdasarkan kepatutan, kebiasaan dan undang-undang
yang ada. Ini membuka peluang bagi hakim untuk menimbang dan memutuskan
apakah suatu perjanjian itu sesuai dengan kepatutan maupun kebiasaan yang
hidup di masyarakat serta dengan undang-undang yang ada.
Dari uraian di atas dapat terlihat bahwa adanya hak dan kewajiban para
pihak merupakan akibat hukum dari perbuatan mengadakan perjanjian. Dan
membatalkan hak dan kewajiban berarti membatalkan perjanjian dan itu harus
dengan kesepakatan para pihak (Pasal 1339 KUHPerdata).
4. Asas-Asas Hukum Perjanjian
Berdasarkan teori, di dalam suatu hukum kontrak terdapat 5 (lima) asas
yang dikenal menurut ilmu hukum perdata. Kelima asas itu antara lain adalah:
c) Asas kepastian hukum (pacta sunt servanda); d) Asas itikad baik (good faith); dan
e) Asas kepribadian (personality).
Berikut ini adalah penjelasan mengenai asas-asas dimaksud:
a) Asas kebebasan berkontrak (freedom of contract)
Hukum benda menganut sistem tertutup, sedangkan hukum perjanjian
menganut sistem terbuka. Artinya macam-macam hak atas benda adalah terbatas
dan peraturan-peraturan yang mengenai hak-hak atas benda itu bersifat memaksa,
sedangkan hukum perjanjian memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada
masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja, asalkan tidak
melanggar ketertiban umum dan kesusilaan.17
Mereka diperbolehkan membuat ketentuan-ketentuan sendiri yang
menyimpang dari pasal-pasal hukum perjanjian. Mereka diperbolehkan mengatur
sendiri kepentingan mereka dalam perjanjian-perjanjian yang mereka adakan itu. Pasal-pasal dari hukum perjanjian
merupakan hukum pelengkap (optional law), yang berarti bahwa pasal-pasal itu boleh disingkirkan manakala dikehendaki oleh pihak-pihak yang membuat suatu
perjanjian.
18
17
R. Subekti 1, Op.Cit, hlm. 13
18
Ibid.
Asas ini dalam hukum perjanjian dikenal dengan asas kebebasan berkontrak
(contractvrijheid).
Asas kebebasan berkontrak ini mempunyai hubungan yang erat dengan
asas konsensualisme dan asas kekuatan mengikat yang terdapat di dalam Pasal
1338 Ayat (1) KUHPerdata. Ketentuan ini berbunyi:
“Semua Persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai
Asas ini merupakan suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para
pihak untuk:
1) membuat atau tidak membuat perjanjian;
2) mengadakan perjanjian dengan siapa pun;
3) menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, serta
4) menentukan bentuk perjanjiannya apakah tertulis atau lisan.
“Semua” mengandung arti meliputi seluruh perjanjian, baik yang namanya
dikenal maupun yang tidak dikenal oleh undang-undang. Asas kebebasan
berkontrak (contractvrijheid) berhubungan dengan isi perjanjian, yaitu kebebasan menentukan “apa” dan dengan “siapa” perjanjian itu diadakan. Perjanjian yang
diperbuat sesuai Pasal 1320 KUHPerdata mempunyai kekuatan mengikat. Dengan
demikian maka kebebasan berkontrak adalah salah satu asas yang sangat penting
di dalam hukum perjanjian. Kebebasan ini adalah perwujudan dari kehendak
bebas, pancaran hak asasi manusia.
Latar belakang lahirnya asas kebebasan berkontrak adalah adanya paham
individualisme yang secara embrional lahir dalam zaman Yunani, yang diteruskan
oleh kaum Epicuristen dan berkembang pesat dalam zaman renaissance melalui antara lain ajaran-ajaran Hugo de Grecht, Thomas Hobbes, John Locke dan J.J.
Rosseau.19
19
Salim H.S, Hukum Kontrak: Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hlm. 9
Menurut paham individualisme, setiap orang bebas untuk memperoleh
apa saja yang dikehendakinya. Dalam hukum kontrak asas ini diwujudkan dalam
“kebebasan berkontrak”. Teori leisbet fair in menganggap bahwa the invisible hand akan menjamin kelangsungan jalannya persaingan bebas. Karena pemerintah sama sekali tidak boleh mengadakan intervensi di dalam kehidupan sosial
kepada golongan kuat ekonomi untuk menguasai golongan lemah ekonomi. Pihak
yang kuat menentukan kedudukan pihak yang lemah. Pihak yang lemah berada
dalam cengkeraman pihak yang kuat seperti yang diungkap dalam exploitation de homme par l’homme.
Pada akhir abad ke-19, akibat desakan paham etis dan sosialis, paham
individualisme mulai pudar, terlebih-lebih sejak berakhirnya Perang Dunia II.
Paham ini kemudian tidak mencerminkan keadilan. Masyarakat menginginkan
pihak yang lemah lebih banyak mendapat perlindungan. Oleh karena itu,
kehendak bebas tidak lagi diberi arti mutlak, akan tetapi diberi arti relatif
dikaitkan selalu dengan kepentingan umum. Pengaturan substansi kontrak tidak
semata-mata dibiarkan kepada para pihak namun perlu juga diawasi. Pemerintah
sebagai pengemban kepentingan umum menjaga keseimbangan kepentingan
individu dan kepentingan masyarakat. Melalui penerobosan hukum kontrak oleh
pemerintah maka terjadi pergeseran hukum kontrak ke bidang hukum publik. Oleh
karena itu, melalui intervensi pemerintah inilah terjadi pemasyarakatan
(vermastchappelijking) hukum kontrak/perjanjian. b) Asas konsensualisme (concensualism)
Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 1320 dan Pasal 1338 KUHPerdata.
Dalam Pasal 1320 KUHPerdata penyebutannya tegas sedangkan dalam Pasal 1338
KUHPerdata ditemukan dalam istilah “semua”. Kata-kata semua menunjukkan
bahwa setiap orang diberi ke semua menunjukkan bahwa setiap orang diberi
kesempatan untuk menyatakan keinginannya (will), yang dirasakannya baik untuk menciptakan perjanjian. Asas ini sangat erat hubungannya dengan asas kebebasan
mengadakan perjanjian.
”Asas konsesualisme mengandung arti bahwa dalam suatu perjanjian
cukup ada kata sepakat dari mereka yang membuat perjanjian itu, tanpa
diikuti dengan perbuatan hukum lain kecuali perjanjian yang bersifat
formal.20
c) Asas kepastian hukum (pacta sunt servanda)
”
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, perjanjian itu sudah mengikat
sejak tercapainya kata sepakat mengenai pokok perjanjian. Dalam Pasal 1320 ayat
(1) KUHPerdata ditentukan bahwa perjanjian atau kontrak tidaklah sah apabila
dibuat tanpa adanya konsensus atau sepakat dari para pihak yang membuatnya.
Asas ini merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak
diadakan secara formal, melainkan cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah
pihak. Kesepakatan adalah persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang
dibuat oleh kedua belah pihak. Asas konsensualisme muncul diilhami dari hukum
Romawi dan hukum Jerman. Di dalam hukum Jerman tidak dikenal istilah asas
konsensualisme, tetapi lebih dikenal dengan sebutan perjanjian riil dan perjanjian
formal. Perjanjian riil adalah suatu perjanjian yang dibuat dan dilaksanakan secara
nyata (dalam hukum adat disebut secara kontan). Sedangkan perjanjian formal
adalah suatu perjanjian yang telah ditentukan bentuknya, yaitu tertulis (baik
berupa akta otentik maupun akta bawah tangan). Dalam hukum Romawi dikenal
istilah contractus verbis literis dan contractus innominat. Yang artinya bahwa terjadinya perjanjian apabila memenuhi bentuk yang telah ditetapkan. Asas
konsensualisme yang dikenal dalam KUHPerdata adalah berkaitan dengan bentuk
perjanjian.
20
A. Qirom Syamsudin M, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Beserta Perkembangannya,
Asas kepastian hukum atau disebut juga dengan asas pacta sunt servanda
merupakan asas yang berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah
undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi
kontrak yang dibuat oleh para pihak.
Demikianlah seterusnya dapat ditarik kesimpulan di dalam perjanjiaan
terkandung suatu asas kekuatan mengikat. Terikatnya para pihak pada perjanjian
itu tidak semata-mata terbatas pada apa yang diperjanjikan akan tetapi juga
terhadap beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatutan
serta moral.
Demikianlah sehingga asas-asas moral, kepatutan dan kebiasaan yang
mengikat para pihak. Asas kekuatan mengikat atau asas facta sun servanda ini dapat diketahui di dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan
bahwa:
“Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”
Adapun maksud dari asas ini tidak lain untuk mendapatkan kepastian
hukum bagi para pihak, maka sejak dipenuhinya syarat sahnya perjanjian sejak
saat itu perjanjian mengikat para pihak seperti undang-undang.
Asas ini pada mulanya dikenal dalam hukum gereja. Dalam hukum gereja
itu disebutkan bahwa terjadinya suatu perjanjian bila ada kesepakatan antar pihak
yang melakukannya dan dikuatkan dengan sumpah. Hal ini mengandung makna
bahwa setiap perjanjian yang diadakan oleh kedua pihak merupakan perbuatan
perkembangan selanjutnya asas pacta sunt servanda diberi arti sebagai pactum, yang berarti sepakat yang tidak perlu dikuatkan dengan sumpah dan tindakan
formalitas lainnya. Sedangkan istilah nudus pactum sudah cukup dengan kata sepakat saja.
d) Asas itikad baik (good faith)
Asas itikad baik tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata yang
berbunyi:
“Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.”
Asas itikad baik ini sangat mendasar dan penting untuk diperhatikan
terutama di dalam membuat perjanjian, maksud itikad baik di sini adalah
bertindak sebagai pribadi yang baik. Itikad baik dalam pengertian yang sangat
subjektif dapat diartikan sebagai kejujuran seseoraang, yaitu apa yang terletak
pada seseorang pada waktu diaadakan perbuatan hukum. Sedangkn itikad baik
dalam pengertian objektif yaitu bahwa pelaksanaan suatu perjanjian itu harus
didasarkan pada norma kepatutan atau apa-apa yang dirasa sesuai dengan yang
patut dalam masyarakat.21
”Rumusan dari Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata tersebut mengidentifikasikan bahwa sebenarnya itikad baik bukan merupakan syarat sahnya suatu kontrak sebagaimana syarat yang terdapat dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Unsur itikad baik hanya diisyaratkan dalam hal “pelaksanaan” dari suatu kontrak, bukan pada “pembuatan” suatu kontrak. Sebab unsur “itikad baik” dalam hal pembuatan suatu kontrak sudah dapat dicakup oleh unsur “kausa yang legal” dari Pasal 1320 KUHPerdata tersebut.
Kemudian menurut Munir Fuady:
22
Berdasarkan asas ini, para pihak yaitu pihak kreditur dan debitur harus
melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang ”
21
Ibid, hlm. 19 22
teguh maupun kemauan baik dari para pihak. Asas itikad baik terbagi menjadi dua
macam, yakni itikad baik nisbi dan itikad baik mutlak. Pada itikad yang pertama,
seseorang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek. Pada
itikad yang kedua, penilaian terletak pada akal sehat dan keadilan serta dibuat
ukuran yang objektif untuk menilai keadaan (penilaian tidak memihak) menurut
norma-norma yang objektif. Berbagai putusan Hoge Raad (HR) yang erat kaitannya dengan penerapan asas itikad baik dapat diperhatikan dalam
kasus-kasus posisi berikut ini. Kasus yang paling menonjol adalah kasus Sarong Arrest
dan Mark Arrest. Kedua arrest ini berkaitan dengan turunnya nilai uang (devaluasi) Jerman setelah Perang Dunia I.23
23
Salim HS, Op.Cit, hlm. 11
Kasus Sarong Arrest: Pada tahun 1918 suatu firma Belanda memesan pada pengusaha Jerman sejumlah sarong dengan harga sebesar 100.000 gulden. Karena keadaan memaksa sementara, penjual dalam waktu tertentu tidak dapat
menyerahkan pesanan. Setelah keadaan memaksa berakhir, pembeli menuntut
pemenuhan prestasi. Tetapi sejak diadakan perjanjian keadaan sudah banyak
berubah dan penjual bersedia memenuhi pesanan tetapi dengan harga yang lebih
tinggi, sebab apabila harga tetap sama maka penjual akan menderita kerugian,
yang berdasarkan itikad baik antara para pihak tidak dapat dituntut darinya.
Pembelaan yang penjual ajukan atas dasar Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata
dikesampingkan oleh HR dalam arrest tersebut. Menurut putusan HR tidak mungkin satu pihak dari suatu perikatan atas dasar perubahan keadaan
bagaimanapun sifatnya, berhak berpatokan pada itikad baik untuk mengingkari
janjinya yang secara jelas dinyatakan HR masih memberi harapan tentang hal ini
“Mengubah inti perjanjian atau mengesampingkan secara keseluruhan.
Dapatkah diharapkan suatu putusan yang lebih ringan, jika hal itu bukan
merupakan perubahan inti atau mengesampingkan secara keseluruhan.”
Putusan HR ini selalu berpatokan pada saat dibuatnya oleh para pihak
Apabila pihak pemesan sarong sebanyak yang dipesan maka penjual harus
melaksanakan isi perjanjian tersebut, karena didasarkan bahwa perjanjian harus
dilaksanakan dengan itikad baik.
Kasus Mark Arrest: Sebelum Perang Dunia I, seorang warga negara Jerman memberi sejumlah pinjaman uang kepada seorang warga negara Belanda
pada tahun 1924. Dari jumlah tersebut masih ada sisa pinjaman tetapi karena
sebagai akibat peperangan nilai Mark sangat menurun, maka dengan jumlah sisa tersebut hampir tidak cukup untuk membeli prangko sehingga dapat dimengerti
kreditur meminta pembayaran jumlah yang lebih tinggi atas dasar devaluasi
tersebut. Namun, Pasal 1757 KUHPerdata menyatakan:
“Jika saat pelunasan terjadi suatu kenaikan atau kemunduran harga atau
ada perubahan mengenai berlakunya mata uang maka pengembalian
jumlah yang dipinjam harus dilakukan dalam mata uang yang berlaku pada
saat itu.”
Hoge Raad menimbang bahwa tidak nyata para pihak pada waktu mengadakan perjanjian bermaksud untuk mengesampingkan ketentuan yang
bersifat menambah dan memutuskan bahwa orang Belanda cukup mengembalikan
jumlah uang yang sangat kecil itu. Menurut hakim pada badan peradilan tertinggi
ini, tidak berwenang atas dasar itikad baik atau kepatutan mengambil tindakan
Putusan Mark Arrest ini sama dengan Sarong Arrest bahwa hakim terikat pada asas itikad baik, artinya hakim dalam memutus perkara didasarkan pada saat
terjadinya jual beli atau saat penjam-meminjam uang. Apabila orang Belanda
meminjam uang sebanyak 1000 gulden, maka orang Belanda tersebut harus mengembalikan sebanyak jumlah uang di atas, walaupun dari pihak peminjam
berpendapat bahwa telah terjadi devaluasi uang. Berbeda dengan kondisi di Indonesia pada tahun 1997 di mana kondisi negara pada saat itu mengalami krisis
moneter dan ekonomi. Pihak perbankan telah mengadakan perubahan suku bunga
bank secara sepihak tanpa diberitahu kepada nasabah. Pada saat perjanjian kredit
dibuat, disepakati suku bunga bank sebesar 16 % per tahun, akan tetapi setelah
terjadi krisis moneter, suku bunga bank naik menjadi 21-24 % per tahun. Hal ini
menandakan bahwa pihak nasabah berada pada pihak yang dirugikan karena
kedudukan nasabah berada pada posisi yang lemah (low bargaining posistion). Oleh karena itu, pada masa-masa yang akan datang pihak kreditur harus
melaksanakan isi kontrak sesuai dengan yang telah disepakatinya, yang dilandasi
pada asas itikad baik.
e) Asas Kepribadian (personality)
Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang
yang akan melakukan dan/atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan
perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340
KUHPerdata. Pasal 1315 KUHPerdata menegaskan:
“Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau
Inti ketentuan ini sudah jelas bahwa untuk mengadakan suatu perjanjian,
orang tersebut harus untuk kepentingan dirinya sendiri. Pasal 1340 KUHPerdata
berbunyi:
“Perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya.”
Hal ini mengandung maksud bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak
hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya. Namun demikian, ketentuan itu
terdapat pengecualiannya sebagaimana diintridusir dalam Pasal 1317 KUHPerdata
yang menyatakan:
“Dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila
suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian
kepada orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu.”
Pasal ini mengkonstruksikan bahwa seseorang dapat mengadakan
perjanjian/kontrak untuk kepentingan pihak ketiga, dengan adanya suatu syarat
yang ditentukan. Sedangkan di dalam Pasal 1318 KUHPerdata, tidak hanya
mengatur perjanjian untuk diri sendiri, melainkan juga untuk kepentingan ahli
warisnya dan untuk orang-orang yang memperoleh hak daripadanya. Jika
dibandingkan kedua pasal itu maka Pasal 1317 KUHPerdata mengatur tentang
perjanjian untuk pihak ketiga, sedangkan dalam Pasal 1318 KUHPerdata untuk
kepentingan dirinya sendiri, ahli warisnya dan orang-orang yang memperoleh hak
dari yang membuatnya. Dengan demikian, Pasal 1317 KUHPerdata mengatur
tentang pengecualiannya, sedangkan Pasal 1318 KUHPerdata memiliki ruang
lingkup yang luas.
Di samping kelima asas yang telah diuraikan di atas, dalam Lokakarya
Hukum Perikatan yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional
berhasil dirumuskannya delapan asas hukum perikatan nasional. Kedelapan asas
tersebut adalah sebagai berikut:
a) Asas kepercayaan
Asas kepercayaan mengandung pengertian bahwa setiap orang yang akan mengadakan perjanjian akan memenuhi setiap prestasi yang diadakan diantara mereka dibelakang hari.
b) Asas persamaan hukum
Asas persamaan hukum mengandung maksud bahwa subjek hukum yang mengadakan perjanjian mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama dalam hukum. Mereka tidak boleh dibeda-bedakan antara satu sama lainnya, walaupun subjek hukum itu berbeda warna kulit, agama, dan ras.
c) Asas keseimbangan
Asas keseimbangan adalah asas yang menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian. Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, namun debitur memikul pula kewajiban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik. d) Asas kepastian hukum
Perjanjian sebagai figur hukum mengandung kepastian hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikatnya perjanjian, yaitu sebagai undang-undang bagi yang membuatnya.
e) Asas moralitas
Asas moral ini terikat dalam perikatan wajar, yaitu suatu perbuatan sukarela dari seseorang tidak dapat menuntut hak baginya untuk menggugat prestasi dari pihak debitur. Hal ini terlihat dalam
zaakwarneming, yaitu seseorang melakukan perbuatan dengan sukarela (moral). Yang bersangkutan mempunyai kewajiban hukum untuk meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya. Salah satu faktor yang memberikan motivasi pada yang bersangkutan melakukan perbuatan hukum itu adalah didasarkan pada kesusilaan (moral) sebagai panggilan hati nuraninya.
f) Asas kepatutan
Asas kepatutan tertuang dalam Pasal 1339 KUHPerdata. Asas ini berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian yang diharuskan oleh kepatutan berdasarkan sifat perjanjiannya.
g) Asas kebiasaan
Asas ini dipandang sebagai bagian dari perjanjian. Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk apa yang secara tegas diatur, akan tetapi juga hal-hal yang menurut kebiasaan lazim diikuti.
h) Asas perlindungan
Asas perlindungan mengandung pengertian bahwa antara debitur dan kreditur harus dilindungi oleh hukum. Namun, yang perlu mendapat perlindungan itu adalah pihak debitur karena pihak ini berada pada posisi yang lemah.24
24
Asas-asas inilah yang menjadi dasar pijakan dari para pihak dalam
menentukan dan membuat suatu kontrak/perjanjian dalam kegiatan hukum
sehari-hari. Dengan demikian dapat dipahami bahwa keseluruhan asas diatas merupakan
hal penting dan mutlak harus diperhatikan bagi pembuat kontrak/perjanjian
sehingga tujuan akhir dari suatu kesepakatan dapat tercapai dan terlaksana
sebagaimana diinginkan oleh para pihak.
5. Jenis-Jenis Perjanjian
a) Perjanjian Obligatoir, yaitu perjanjian-perjanjian yang menimbulkan perikatan. Jenis-jenis perjanjian obligatoir di antaranya adalah sebagai berikut. 1) Perjanjian sepihak dan timbal balik (1313 KUHPerdata)
Hendaknya diperhatikan bahwa setiap perjanjian merupakan perbuatan hukum
bersegi dua atau jamak. Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang
menimbulkan kewajiban pokok kepada kedua belah pihak. Misalnya
perjanjian jual-beli. Perjanjian sepihak adalah perjanjian di mana hanya
terdapat kewajiban pada salah satu pihak saja. Misalnya hibah.
2) Perjanjian dengan cuma-cuma dan atas beban
Perjanjian atas beban adalah perjanjian di mana terhadap prestasi pihak yang
satu terdapat prestasi pihak yang lain. Antara kedua prestasi tersebut terdapat
hubungan hukum satu dengan yang lain, misalnya perjanjian jual-beli.
Perjanjian dengan cuma-cuma adalah persetujuan di mana salah satu pihak
mendapatkan keuntungan dari pihak lain secara cuma-cuma.
3) Perjanjian konsensual, rill dan formil
Perjanjian konsensual adalah perjanjian yang terjadi dengan kata sepakat.
Perjanjian rill adalah persetujuan di mana selain diperlukan kata sepakat juga
pinjam mengganti. Adakalanya kata sepakat harus dituangkan dalam bentuk
tertentu atau formil, misalnya hibah.
4) Perjanjian bernama, tidak bernama dan campuran
Perjanjian-perjanjian bernama adalah perjanjian-perjanjian yang oleh
undang-undang telah diatur secara khusus dalam KUHPerdata, yaitu pada Bab V
sampai dengan Bab XVIII ditambah Titel VII a dan dalam KUHDagang
perjanjian-perjanjian Asuransi dan Pengangkutan. Sedangkan perjanjian tidak
bernama adalah perjanjian yang tidak diatur secara khusus. Misalnya
perjanjian sewa beli.
Baik untuk perjanjian bernama ataupun tidak bernama pada dasarnya berlaku
ketentuan-ketentuan pada Bab I, II, dan IV Buku III KUHPerdata. Tidak
selalu dengan pasti kita dapat mengatakan apakah suatu perjanjian tersebut
merupakan perjanjian bernama atau tidak bernama. Karena ada
perjanjian-perjanjian yang mengandung berbagai unsur dari berbagai perjanjian-perjanjian yang
sulit dikualifikasikan sebagai perjanjian bernama atau tidak bernama.
Perjanjian seperti ini disebut dengan perjanjian campuran. Hanya dalam satu
hal undang-undang memberikan pemecahannya, yaitu yang disebutkan dalam
Pasal 1601 c KUHPerdata.
Untuk menyelesaikan persoalan tersebut maka dapat dikemukakan tiga
teori:
1) Teori absorptie
Menurut teori ini diterapkan ketentuan-ketentuan perundang-undangan daripada perjanjian yang dalam perjanjian campuran tersebut paling menonjol.
2) Teori combinatie
3) Sui generis
Menurut teori ini, ketentuan-ketentuan daripada perjanjian-perjanjian yang terdapat dalam perjanjian campuran diterapkan secara analogis.25 b) Jenis perjanjian lainnya
1) Perjanjian Liberatoir (Pasal 1440 dan Pasal 1442 KUHPerdata)
Perjanjian liberatoir adalah perbuatan hukum yang atas dasar sepakat para pihak menghapuskan perikatan yang telah ada. Misalnya, A mengadakan
perjanjian jual beli dengan B, kemudian, 2 hari berikutnya dibatalkan atas
kesepakatan bersama.
2) Perjanjian dalam hukum keluarga
Misalnya pada perkawinan. Hal ini pun merupakan perjanjian, karena
terjadi berdasarkan kata sepakat suami-istri. Tetapi hendaknya
diperhatikan bahwa perjanjian ini mempunyai sifat-sifat khusus.
3) Perjanjian kebendaan
Perjanjian ini diatur dalam Buku II KUHPerdata dan merupakan perjanjian
untuk menyerahkan benda atau menimbulkannya, mengubah atau
menghapuskan hak-hak kebendaan.
4) Perjanjian mengenai pembuktian
Para pihak adalah bebas untuk mengadakan perjanjian mengenai alat-alat
pembuktian yang akan mereka gunakan dalam suatu proses. Dapat
ditentukan pula alat pembuktian yang tidak boleh dipergunakan. Perjanjian
ini dilakukan untuk menentukan kekuatan alat bukti.
25
6. Berakhirnya Perjanjian
Hapusnya perjanjian tidak sama dengan hapusnya perikatan. Suatu
perikatan dapat hapus dengan pembayaran, penawaran pembayaran tunai diikuti
dengan penyimpanan atau penitipan, pembaharuan hutang, perjumpaan hutang
atau konpensasi, pencampuran hutang, pembebasan hutang, musnahnya barang
yang terutang, batal atau pembatalan, berlakunya suatu syarat batal, dan lewatnya
waktu (Pasal 1338 KUHPerdata). Akan tetapi perjanjian yang merupakan
sumbernya mungkin belum hapus. Bila X dan Y mengadakan jual beli, perikatan
dapat hapus dengan dibayarkannya harga oleh Y selaku pembeli. Tetapi mungkin
perjanjiannya masih ada. Untuk hapusnya perjanjian, tujuan perjanjiannya (yaitu
untuk memiliki barang) harus tercapai dulu. Jadi, bila perjanjian telah hapus
seluruhnya barulah perjanjian dinyatakan telah berakhir. Adapun beberapa cara
hapusnya perjanjian adalah:
a) Ditentukan dalam perjanjian oleh kedua belah pihak. Misalnya penyewa yang menyewakan bersepakat untuk mengadakan perjanjian sewa menyewa yang akan berakhir selama 3 tahun.
b) Undang-undang menentukan batas berlakunya suatu perjanjian. Misalnya, menurut Pasal 1066 ayat 3 KUHPerdata bahwa para ahli waris dapat mengadakan perjanjian untuk selama waktu tertentu untuk tidak melakukan pemecahan harta warisan. Akan tetapi waktu perjanjian tersebut oleh Pasal 1066 ayat 4 KUHPerdata dibatasi berlakunya hanya untuk lima tahun.
c) Para pihak atau undang-undang dapat menentukan bahwa dengan terjadinya peristiwa tertentu, maka perjanjian akan hapus. Misalnya, jika salah satu meninggal perjanjian menjadi hapus:
1) perjanjian perseroan (Pasal 1646 ayat 4 KUHPerdata) 2) perjanjian pemberian kuasa (Pasal 1813 KUHPerdata) 3) perjanjian kerja (Pasal 1603 j KUHPerdata)
d) Pernyataan menghentikan perjanjian (opzegging). Hal ini dapat dilakukan baik oleh salah satu atau dua belah pihak. Opzegging hanya ada pada perjanjian-perjanjian yang bersifat sementara, misalnya perjanjian kerja dan perjanjian sewa-menyewa.
e) Tujuan perjanjian telah tercapai. Misalnya dalam perjanjian jual beli bila salah satu pihak telah mendapat uang dan pihak lain telah mendapatkan barang maka perjanjian akan berakhir.
6) Dengan perjanjian para pihak. Dalam hal ini para pihak masing-masing setuju untuk saling mengentikan perjanjiannya. Misalnya perjanjian pinjam pakai berakhir karena pihak yang meminjam telah mengembalikan barangnya.26
B. Perjanjian Kerja Pada Umumnya 1. Pengertian Perjanjian Kerja
Perjanjian kerja yang dalam bahasa Belanda disebut Arbeidsoverenkoms, mempunyai beberapa pengertian. Pasal 1601 a KUHPerdata memberikan
pengertian sebagai berikut :
” Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian di mana pihak yang satu sebagai
buruh atau pekerja mengikatkan dirinya untuk dibawah perintahnya/
bekerja pada pihak lainnya sebagai majikan dengan mendapatkan upah
selama waktu tertentu.”
Perjanjian kerja diatur dalam UU Nomor 13 Tahun 2003. Menurut Pasal 1
angka 14:
“Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian antara pekerja/buruh dengan
pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, serta hak
dan kewajiban para pihak.”
Selain pengertian normatif tersebut di atas, para pakar Hukum Perburuhan
Indonesia juga memberikan pengertian perjanjian kerja.
Iman Soepomo, menyatakan bahwa:
”Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian di mana pihak pertama, buruh,
mengikatkan diri untuk bekerja dengan menerima upah pada pihak
26
lainnya, majikan, yang mengikatkan diri untuk mengerjakan buruh itu
dengan membayar upah.27
”Perjanjian antara seorang ”buruh” dengan seorang ”majikan”, perjanjian mana ditandai oleh ciri-ciri; adanya suatu upah atau gaji tertentu yang diperjanjikan dan adanya suatu hubungan diperatas (dierstverhanding) yaitu suatu hubungan berdasarkan mana pihak yang satu (majikan) berhak memberikan perintah-perintah yang harus ditaati oleh pihak yang lain (buruh).
”
Selanjutnya, perihal perjanjian kerja, ada juga pendapat R. Subekti, beliau
menyatakan dalam bukunya Aneka Perjanjian, disebutkan bahwa perjanjian kerja adalah :
28
”Perjanjian kerja itu adalah suatu perjanjian antara orang perorang pada
satu pihak dengan pihak lain sebagai majikan untuk melaksanakan suatu
pekerjaan dengan mendapatkan upah. ”
Menurut Wiwoho Soedjono:
29
Menurut Wiwoho Soedjono, dengan adanya rumusan Pasal 1601 a
KUHPerdata, maka perlu kiranya dibedakan tentang pengertian perjanjian kerja
dengan perjanjian perburuhan, karena perjanjian kerja itu bersifat individual
sedangkan perjanjian perburuhan itu bersifat kelompok atau kolektif. Didalam
memperjuangkan kepentingan atau kesejaterahan buruh, undang-undang
memberikan kesempatan sepenuhnya kepada serikat buruh untuk mengadakan
suatu perjanjian perburuhan.
”
30
Adapun yang diartikan dengan perjanjian perburuhan (Perjanjian Kerja
Bersama) menurut ketentuan Pasal 1 Angka 21 UU Nomor 13 Tahun 2003
menyebutkan bahwa:
27
Iman Soepomo, Hukum Perburuhan Bagian Pertama Hubungan Kerja, PPAKRI Bhayangkara, Jakarta, 1968, hlm. 57
28
R. Subekti, Aneka Perjanjian Cetakan Kedua, Alumni, Bandung, 1977, hlm. 63. (Selanjutnya disebut dengan R. Subekti 2)
29
Wiwoho Soedjono, Hukum Perjanjian Kerja Cetakan Kedua, Bina Aksara, Jakarta, 1987, hlm. 1
30
”Perjanjian perburuhan (Perjanjian Kerja Bersama) adalah perjanjian yang merupakan hasil perundingan antara serikat pekerja/buruh atau beberapa serikat pekerja/buruh yang tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha atau beberapa pengusaha atau perkumpulan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak.”
Dari batasan pengertian tentang perjanjian kerja dan perjanjian perburuhan
tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa:
a) Perjanjian kerja itu diadakan oleh seorang buruh, jadi bersifat individual dengan pihak majikan, sedangkan perjanjian perburuhan ialah suatu perjanjian yang diadakan oleh serikat buruh atau serikat-serikat buruh dengan majikan-majikan atau perkumpulan majikan. b) Perjanjian kerja itu dapat diadakan sewaktu-waktu tanpa adanya
serikat buruh, jadi oleh buruh secara perseorangan dengan majikan, sedangkan perjanjian perburuhan hanya dapat diadakan semata-mata oleh serikat-serikat buruh di dalam suatu perusahaan tempat para buruh tersebut bekerja dan menjadi anggotanya.
c) Perjanjian kerja harus merupakan penjabaran perjanjian perburuhan dalam arti perjanjian kerja tidak boleh bertentangan dengan perjanjian perburuhan.
d) Isi perjanjian kerja itu ialah mengenai hak dan kewajiban untuk melakukan pekerjaan, sedangkan isi perjanjian perburuhan ialah mengenai hak dan kewajiban tentang syarat-syarat kerja.31
Setelah dipaparkan beberapa pengertian mengenai perjanjian kerja,
khususnya pengertian yang ditentukan pada Pasal 1601 a KUHPerdata tersebut,
ada dikemukakan perkataan ”di bawah perintah”, maka perkataan inilah yang
merupakan norma dalam perjanjian kerja dan yang membedakan antara perjanjian
kerja dengan perjanjian-perjanjian lainnya. Perihal ketentuan ”di bawah perintah”
ini mengandung arti bahwa salah satu pihak yang mengadakan perjanjian kerja
harus tunduk pada pihak yang lainnya, atau di bawah perintah atau pimpinan
pihak lain, berarti ada unsur wewenang perintah. Dan dengan adanya wewenang
perintah berarti antara kedua belah pihak ada kedudukan yang tidak sama yang
disebut subordinasi. Jadi di sini ada pihak yang kedudukannya di atas, yaitu yang
31
memerintah dan ada pihak yang kedudukannya di bawah, yaitu yang diperintah.32
Selanjutnya, jika dilihat dari segi objeknya, maka perjanjian kerja itu mirip
dengan perjanjian pemborongan, yaitu sama-sama menyebutkan bahwa pihak
yang satu menyetujui untuk melaksanakan pekerjaan bagi pihak yang lain dengan
pembayaran tertentu. Namun perbedaan antara perjanjian kerja dengan perjanjian
pemborongan adalah bahwa pada perjanjian kerja ada terdapat gabungan
kedinasan atau kekuasaan antara buruh dan majikan. Sedangkan pada perjanjian Maka dengan adanya ketentuan tersebut, pihak buruh mau tidak mau harus tunduk
pada perintah majikan. Dengan demikian, dalam melaksanakan hubungan hukum
dalam perjanjian kerja ini, kedudukan hukum antara kedua belah pihak jelas tidak
dalam kedudukan yang sama dan seimbang.
Ketentuan tersebut jika dibandingkan dengan pengertian perjanjian pada
umumnya seperti yang ditentukan dalam Pasal 1313 KUHPerdata, jelas bahwa
kedudukan antara para pihak yang membuat perjanjian adalah sama dan
seimbang. Karena dalam pasal tersebut ditentukan bahwa satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.
Jelaslah pengertian tentang perjanjian tersebut berlainan jika dibandingkan
dengan pengertian perjanjian kerja yang terdapat dalam Pasal 1601 a KUHPerdata
. Karena di dalam ketentuan tersebut dinyatakan dengan tegas adanya dua
ketentuan, yakni satu pihak yang mengikatkan diri dan hanya satu pihak pula yang
dibawah pekerja orang lain, pihak ini adalah pihak buruh atau pekerja. Sebaliknya
pihak yang menurut ketentuan tersebut tidak mengikatkan dirinya dan berhak pula
untuk memerintah kepada orang lain, adalah pihak majikan atau pengusaha.
32
pemborongan tidak ada hubungan semacam itu, melainkan melaksanakan
pekerjaan yang tugasnya mandiri.33
Akan tetapi, selain berpedoman pada Pasal 1320 KUHPerdata, masih ada
unsur-unsur lain yang harus dipenuhi. Menurut seorang pakar Hukum Perburuhan
dan Hukum Sosial Belanda, M.G Rood, bahwa perjanjian kerja mengandung
empat unsur, yaitu :
2. Unsur-Unsur Dalam Perjanjian Kerja
Dalam perjanjian pada umumnya, unsur-unsur yang harus dipenuhi agar
perjanjian bisa dinyatakan sah dan mengikat sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya, haruslah memenuhi ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam
Pasal 1320 KUHPerdata.
Dalam perjanjian kerja, pada prinsipnya unsur-unsur seperti yang
ditentukan dalam Pasal 1320 KUHPerdata tersebut masih juga menjadi pegangan
dan harus diterapkan, agar suatu perjanjian kerja tersebut keberadaanya bisa
dianggap sah dan konsekuensinya dianggap sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya.
34
a. Adanya unsur work atau pekerjaan
Suatu pekerjaan yang diperjanjiakan dan dikerjakan sendiri oleh pekerja
yang membuat perjanjian kerja merupakan unsur penting dalam perjanjian kerja.
Pekerjaan yang dikerjakan oleh pekerja itu sendiri haruslah berdasarkan dan
berpedoman pada perjanjian kerja.
Pekerja yang melaksanakan pekerjaan atas dasar perjanjian kerja tersebut
pada pokoknya wajib untuk melaksanakannya sendiri. Sebab apabila para pihak
33
Sri Soedewi Maschun Sofwan, Hukum Bangunan, Perjanjian Pemborongan Bangunan Cetakan Pertama, Liberty, Yokyakarta, 1982 hlm. 52.
34
itu bebas untuk melaksanakan pekerjaannya, untuk dilakukan sendiri atau
menyuruh pada orang lain untuk melakukannya, akibatnya hal tersebut akan sulit
dikatakan sebagai pelaksanaan dari perjanjian kerja. Bahkan pada Pasal 93 ayat 1
UU Nomor 13 Tahun 2003, dinyatakan bahwa upah tidak dibayar bila tidak
melakukan pekerjaan. Ketentuan tersebut di atas, bila disebut when do not work, do not get pay atau no work no pay. Maksud dari kalimat tersebut adalah jika seseorang tidak mau bekerja, maka seseorang tersebut tidak berhak untuk
mendapatkan upah.
Walaupun demikian di dalam pelaksanaanya, jika pihak pekerja sewaktu
akan melaksanakan pekerjaan berhalangan, maka pekerjaan bisa diwakili atau
digantikan oleh orang lain, sepanjang sebelumnya telah diberitahukan dan
mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari pihak majikan. Ketentuan ini
tercantum dalam Pasal 1383 KUHPerdata jo. 1603 a KUHPerdata jo. UU Nomor
13 Tahun 2003 dalam Pasal 93 ayat 2.
Pasal 1383 KUHPerdata :
”Suatu perjanjian untuk berbuat sesuatu tak dapat dipenuhi oleh seseorang
dari pihak ketiga berlawanan dengan kemauan si berpiutang, jika si
berpiutang ini mempunyai kepentingan supaya perbuatannya dilakukan
sendiri oleh si berutang.”
Pasal 1603 a KUHPerdata :
”Buruh wajib melakukan sendiri pekerjaanya, hanyalah dengan izin
majikan ia dapat menyuruh seseorang ketiga menggantikannya.”
UU Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 93 ayat 2 berbunyi:
”Ketentuan sebagaimana dimaksudkan dalam ayat 1 tidak berlaku, dan
1) pekerja/buruh sakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan;
2) pekerja/buruh perempuan yang sakit pada hari pertama dan kedua masa haidnya sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan;
3) pekerja/buruh tidak masuk bekerja karena pekerja/buruh menikah, menikahkan, mengkhitankan, membaptiskan anaknya, isteri melahirkan atau keguguran kandungan, suami atau isteri atau anak atau menantu atau orang tua atau mertua atau anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia;
4) pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena sedang menjalankan kewajiban terhadap negara;
5) pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
6) pekerja/buruh bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi pengusaha tidak mempekerjakannya, baik karena kesalahan sendiri maupun halangan yang seharusnya dapat dihindari pengusaha; 7) pekerja/buruh melaksanakan hak istirahat;
8) pekerja/buruh melaksanakan tugas serikat pekerja/serikat buruh atas persetujuan pengusaha; dan
9) pekerja/buruh melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan.
b. Adanya service atau pelayanan
Bahwa yang melakukan pekerjaan sebagai manifestasi adanya perjanjian
kerja tersebut adalah bahwa pekerja hanya tunduk pada/di bawah perintah orang
lain, yaitu pihak pemberi kerja yaitu si majikan (pengusaha).
Dengan adanya ketentuan tersebut maka seorang dokter misalnya, dalam
melaksanakan tugasnya, yaitu memeriksa atau mengdiagnosa pasiennya atau
seorang notaris yang melayani kliennya, mereka itu dalam melakukan
pekerjaanya, tidak dapat disamakan dengan pengertian melaksanakan perjanjian
kerja. Alasannya, karena unsur service dalam melakukan pekerjaan tersebut tidak terdapat di dalamnya. Sebab mereka itu dalam melakukan pekerjaanya, tidak
tunduk dan di bawah perintah orang lain. Karena mereka mempunyai keahlian
tertentu yang tidak dipunyai dan dikuasai si pemberi kerja, yaitu pasien atau
klien.35
35
Djumadi, Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja Cetakan Ketiga, Radjawali Pers, Jakarta, 1995, hlm. 60.
Di samping itu dalam melaksankan pekerjaanya, pekerjaan itu harus
bermanfaat bagi si pemberi kerja, misalnya jika dalam suatu perjanjian kerja yang
mereka buat, dinyatakan bahwa bidang pekerjaan yang dijanjikan adalah suatu
pekerjaan pengerasan atau pengaspalan jalan. Maka pekerja dalam melaksanakan
pekerjaannya haruslah bermanfaat bagi si pemberi kerjanya, misalnya sejak si
pekerja bekerja memecah batu dan menghamparkannya disepanjang jalan yang
sedang diperkeras atau diaspal. Berdasarkan hal tersebut jelaslah bahwa prinsip
dalam unsur ini adalah suatu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh si pekerja
dan harus bermanfaat bagi si pemberi kerja, sesuai dengan apa yang dimuat dalam
perjanjian kerja. Oleh karena itu bila suatu pekerjaan yang tujuannya bukan untuk
memberikan manfaat bagi si pemberi kerja tetapi bertujuan untuk kemanfaatan si
pekerja, misalnya untuk kepentingan praktik seorang siswa atau mahasiswa, maka
perjanjian tersebut jelas bukan merupakan perjanjian kerja.
c. Adanya unsur time atau waktu tertentu
Yang dimaksud unsur time atau waktu tertentu di sini bahwa dalam melakukan hubungan kerja tersebut haruslah disesuaikan dengan waktu yang telah
ditentukan dalam perjanjian kerja atau dalam peraturan perundang-undangan.
Oleh karena itu pekerja tidak boleh melakukan pekerjaanya sekehendak
hati, begitu pula si majikan tidak boleh mempekerjakan pekerjanya seumur hidup.
Apabila dilakukan dengan demikian, maka berarti hak pribadi manusia akan
hilang, sehingga timbullah yang dinamakan perbudakan dan bukan perjanjian
kerja. Pelaksanaan pekerjaan tersebut harus sesuai dengan isi perjanjian kerja.
Dengan kata lain dalam pelaksanan pekerjaan, si buruh tidak boleh bekerja dalam
waktu yang seenaknya saja, akan tetapi harus dilakukan sesuai dengan yang telah
pekerjaanya tidak boleh bertentangan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan, kebiasaan setempat dan ketertiban umum.
d. Adanya unsur pay atau upah
Unsur pay atau upah ini merupakan unsur yang paling penting dan menentukan dalam setiap perjanjian kerja. Apabila seseorang bertujuan bukan
untuk mencari upah (pay) maka sulit untuk dikatakan sebagai pelaksanaan dari perjanjian kerja. Jika seseorang bekerja bertujuan untuk mendapatkan manfaat
bagi diri si pekerja dan bukan bertujuan untuk mencari upah, maka unsur keempat
dalam perjanjian kerja ini, yaitu unsur pay tidak terpenuhi. Contoh dari ketentuan tersebut adalah dalam hal perjanjian kerja praktik dari seorang pelajar atau
mahasiswa. Mereka dalam melaksanakan masa prakteknya, misalnya mahasiswa
dari akademi perhotelan dan pariwisata, maka sewaktu mahasiswa tersebut
berpraktik di suatu hotel, walaupun mereka telah bekerja dan di bawah perintah
orang lain serta dalam waktu-waktu tertentu pula, tetapi karena tujuannya yang
utama bukan bukan mendapatkan upah, maka hubungan hukum tersebut bukan
merupakan hubungan kerja.
Akan tetapi menurut UU Nomor 13 Tahun 2003, yang menjadi unsur
dalam sebuah perjanjian kerja hanyalah ada tiga (3) yaitu : pekerjaan, upah dan
perintah. Unsur upah dan unsur pekerjaan yang dinyatakan oleh M.G Rood di atas
sama dengan yang terdapat dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 ini. Akan tetapi
unsur service (pelayanan) dan unsur time (waktu) yang dinyatakan M.G Rood tidak disebutkan dalam UU Nomor 13 Tahun 2003. Unsur lainnya yang terdapat
dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 adalah unsur perintah.
Unsur perintah di sini menjelaskan bahwa manifestasi dari pekerjaan yang
tunduk pada perintah pengusaha untuk melakukan pekerjaan sesuai dengan yang
diperjanjikan. Pada dasarnya unsur perintah ini sama dengan unsur service
(pelayanan) yang di kemukakan oleh M.G. Rood.
Dari keempat unsur tersebut, jika dirumuskan adalah sebagai berikut :
a. Bahwa dalam melaksanakan pekerjaan, pada pokoknya harus dilakukan
sendiri.
b. Harus di bawah perintah orang lain.
c. Pekerjaan tersebut dilakukan dalam waktu tertentu.
d. Si pekerja setelah memenuhi prestasinya, berhak mendapatkan upah,
sebaliknya si pengusaha wajib untuk membayarkan upah tepat pada waktunya.
Keempat unsur tersebut, diatur dalam Pasal 1602, 1602 b, 1603 a dan 1603
b KUHPerdata, serta UU Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 93 ayat 2. Menurut
Sendjum W. Manulang, dalam bukunya Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan
Indonesia, antara lain menyebutkan bahwa ada 3 (tiga) unsur atau faktor yang
menentukan adanya hubungan kerja, yaitu :
a. Adanya pekerjaan yang harus dilakukan;
b. Adanya perintah (bekerja atas perintah atasan atau pengusaha) dan;
c. Adanya upah.
Tanpa adanya salah satu dari ketiga unsur tersebut maka tidak ada
hubungan kerja.36
a. Harus disebutkan macam pekerjaan yang diperjanjikan;
Selain syarat-syarat material seperti telah diuraikan, maka dalam hal
diadakannya perjanjian kerja yang dilakukan secara tertulis, dalam perjanjian
kerja tersebut harus berisi syarat-syarat formal antara lain sebagai berikut :
b. Waktu berlakunya perjanjian kerja;
36
c. Upah buruh yang berupa uang diberikan tiap bulan;
d. Saat istirahat bagi buruh, yang dilakukan di dalam dan kalau perlu di luar Indonesia serta selama istirahat itu.
e. Bagian upah lainnya yang berisi perjanjian menjadi hak buruh.37
Biasanya perjanjian kerja itu, jika hanya untuk pekerjaan yang sifatnya
sederhana saja, maka perjanjian tersebut dilakukan secara lisan. Walaupun
demikian buruh atau pekerjaannya, pekerja tersebut tetap mendapatkan hak atas
upah mereka.
Ketentuan mengenai syarat sahnya suatu perjanjian kerja juga tertuang
dalam Pasal 52 ayat 1 UU Nomor 13 Tahun 2003 yang menyebutkan bahwa:
Perjanjian kerja dibuat atas dasar : a. Kesepakatan keduabelah pihak;
b. Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum; c. Adanya pekerjaan yang diperjanjikan;
d. Perjanjian yang diperjanjikan tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kesepakatan kedua belah pihak yang lazim disebut kesepakatan bagi yang
mengikatkan dirinya maksudnya bahwa pihak-pihak yang mengadakan perjanjian
kerja harus setuju atau sepakat, seiya sekata mengenai hal-hal yang diperjanjikan.
Apa yang dikehendaki pihak yang satu juga dikehendaki oleh pihak yang lain.
Pihak pekerja menerima pekerjaan yang ditawarkan, dan pihak pengusaha
menerima pekerja tersebut untuk dipekerjakan.
Kemampuan atau kecakapan kedua belah pihak yang membuat perjanjian
maksudnya pihak pekerja maupun pengusaha cakap membuat perjanjian.
Seseorang dipandang cakap membuat perjanjian jika yang bersangkutan telah
cukup umur. Ketentuan hukum ketenagakerjaan memberikan batasan umur
minimal 18 tahun yang diatur dalam Pasal 26 UU Nomor 13 Tahun 2003. Selain
37
itu seseorang dikatakan cakap melakukan perjanjian jika seseorang itu tidak
terganggu jiwanya atau waras.
Adanya pekerjaan yang diperjanjikan, dalam istilah Pasal 1320
KUHPerdata adalah hal tertentu. Pekerjaan yang diperjanjikan merupakan objek
dari perjanjian kerja antara pekerja dengan pengusaha, yang akibat hukumnya
melahirkan hak dan kewajiban para pihak.
Objek perjanjian (pekerjaan) harus halal, yakni tidak boleh bertentangan
dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Jenis pekerjaan yang
diperjanjikan merupakan salah satu unsur perjanjian kerja yang harus disebutkan
secara jelas.
Keempat syarat tersebut bersifat kumulatif artinya harus dipenuhi
seluruhnya baru dapat dikatakan sebagai perjanjian kerja yang sah. Syarat
kemauan bebas kedua belah pihak dan kemampuan atau kecakapan kedua belah
pihak dalam membuat perjanjian dalam hukum perdata disebut sebagai syarat
subjektif, karena menyangkut mengenai orang yang membuat perjanjian,
sedangkan syarat adanya pekerjaan yang diperjanjikan dan pekerjaan yang
diperjanjikan harus halal disebut sebagai syarat objektif karena menyangkut objek
perjanjian. Apabila syarat objektif tidak dipenuhi, maka perjanjian tersebut batal
demi hukum, maksudnya dari semula perjanjian tersebut dianggap tidak pernah
ada. Jika yang tidak dipenuhi syarat subjektif, maka akibat hukum dari perjanjian
tersebut dapat dibatalkan. Pihak-pihak yang tidak memberikan persetujuan secara
tidak bebas, demikian juga oleh orang tua atau wali pengampu bagi orang yang
tidak cakap membuat perjanjian dapat meminta pembatalan perjanjian itu kepada
hakim. Dengan demikian perjanjian tersebut mempunyai kekuatan hukum selama
3. Hak dan Kewajiban Para Pihak Dalam Perjanjian Kerja
Sifat perjanjian kerja itu harus timbal balik atau dengan kata lain, dengan
adanya perjanjian kerja itu menimbulkan hak dan kewajiban bagi masing-masing
pihak. Hak dan kewajiban antara para pihak yang satu dengan yang lainnya
merupakan suatu kebalikan, jika di satu pihak merupakan suatu hak maka di pihak
lainnya adalah merupakan suatu kewajiban. Kewajiban dari penerima kerja, yaitu
si pekerja pada umumnya tersimpul dalam hak si majikan, seperti juga hak si
pekerja tersimpul dalam kewajiban si majikan.38
a) Kewajiban pengusaha (majikan)
Kewajiban yang harus dipenuhi serta hak yang bisa mereka nikmati, bagi
mereka yang membuat perjanjian, bisa dirumuskan sebagai saling berlawanan
antara yang satu dengan pihak yang lainnya. Yaitu pihak pekerja atau buruh
berlawanan dengan pihak pengusaha atau majikan.
Jika isi yang tertuang dalam perjanjian kerja tersebut menunjukkan
kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi oleh pihak pekerja, maka sebaliknya
kewajiban tersebut bagi pihak pengusaha adalah merupakan haknya, dan begitu
pula sebaliknya.
Kewajiban pengusaha atau majikan diatur dalam Pasal 1602 KUHPerdata.
Kewajiban utama dari pengusaha dalam perjanjian kerja adalah membayar upah.
Mengenai hal ini juga diatur pada Bagian Kedua Bab X UU Nomor 13 Tahun
2003. Pengupahan yang diatur dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 ini bersifat
publik, hal ini dapat diketahui dari ketentuan Pasal 95 ayat 3 UU Nomor 13 Tahun
2003 yang berbunyi :
38