• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Pet Attachment Dengan Well-Being Pada Individu Yang Memiliki Hewan Peliharaan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Pet Attachment Dengan Well-Being Pada Individu Yang Memiliki Hewan Peliharaan"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

11

BAB II

LANDASAN TEORI

II.1 Pet Attachment

II.1.1 Pengertian Pet Attachment

Konsep pet attachment diambil langsung dari teori Bowlby (dalam Quinn,

2005) mengenai gaya kelekatan atau attachment. Bowlby menjelaskan attachment

sebagai ikatan emosional yang bertahan lama antara dua orang yang berusaha

untuk mempertahankan kedekatan dan berperilaku untuk memastikan hubungan

tersebut bertahan lama. Attachment dimiliki manusia sejak bayi dengan figur ibu.

Menurut Karen (2010) pet attachment dapat didefenisikan sebagai ikatan

emosional yang bertahan lama yang dimiliki oleh pemilik hewan peliharaan

dengan hewan peliharaannya yang dikarakteristikkan dengan kecenderungan

untuk memperoleh dan mempertahankan rasa aman (security). Sementara menurut

Triebenbacher (dalam Quinn, 2005), pet attachment merupakan konstruk

multidimensional yang terdiri dari ikatan emosional, kedekatan secara fisik, dan

perawatan atau pengasuhan.

Beberapa pola dari hubungan hewan peliharaan dengan pemiliknya

mengarah kepada hewan peliharaan dilihat sebagai sumber cinta, penerimaan diri,

dan dukungan emosional. Individu pemilik hewan peliharaan cenderung merasa

hewan peliharaan mereka mencintai dan menerima mereka apa adanya (Levinson,

dalam Zilcha-Mano, Mikulincer, & Shaver, 2011). Hal tersebut cenderung

(2)

12 membuat para pemilik mendekati peliharaan mereka untuk memperoleh

kenyamanan dan penghiburan ketika dibutuhkan. Hal ini mengarah kepada adanya

kelekatan atau attachment terhadap hewan peliharaan. Selain itu, terdapat banyak

perilaku yang ditunjukkan oleh pemilik hewan peliharaan terhadap peliharaannya

yang sama dengan seorang ibu tunjukkan kepada anaknya, seperti membelai,

memeluk, menyentuh dan tidur bersampingan satu sama lain (Bierer, dalam

Karen, 2010).

Berdasarkan defenisi yang dikemukakan oleh beberapa tokoh di atas,

dapat disimpulkan bahwa pet attachment merupakan ikatan atau hubungan yang

dimiliki pemilik dengan hewan peliharaannya yang bertahan lama untuk

memperoleh dan mempertahankan rasa aman.

II.1.2 Dimensi Pet Attachment

Menurut Melson (dalam Sable, 1995), pet attachment memiliki empat

dimensi yaitu sebagai berikut.

a. Waktu dan kegiatan yang dihabiskan bersama dan ditujukan kepada

hewan peliharaan.

Dimensi ini merupakan elemen yang paling berpengaruh terhadap

pet attachment. Karen (2010) menemukan bahwa individu yang lebih

banyak menghabiskan waktu bersama peliharaannya memiliki skor yang

lebih tinggi pada skala pet attachment daripada individu yang lebih sedikit

menghabiskan waktu dengan peliharaannya. Menghabiskan waktu dapat

(3)

13 dimaksud dengan berapa lama waktu yang dihabiskan untuk bermain

bersama hewan peliharaan, seberapa sering individu mendisiplinkan

peliharaannya, atau seberapa sering individu dekat secara fisik dengan

hewan peliharaannya. Dimensi ini mencakup komponen perilaku dari

individu (Melson, Peet & Sparks, 1991).

b. Ketertarikan terhadap hewan peliharaan.

Dimensi ini mengungkapkan bagaimana ketertarikan dan perasaan

lain yang dimiliki individu terhadap hewan peliharaannya, yaitu seperti

seberapa sering individu berbicara mengenai hewan peliharaannya,

seberapa sering individu menunjukkan rasa sayang terhadap hewan

peliharaannya, apakah individu mengabaikan hewan peliharaannya, dan

lain sebagainya. Dimensi ini mencakup komponen afektif dari individu

(Melson et al., 1991).

c. Pengetahuan mengenai hewan peliharaan dan bagaimana cara

mengurusnya.

Seperti manusia, hewan peliharaan memiliki kebutuhan secara fisik

dan psikologis. Dimensi ini mencakup bagaimana pengetahuan individu

mengenai hewan peliharaan yang dimilikinya dan cara yang tepat dalam

mengurus peliharaannya sendiri. Setiap hewan peliharaan memiliki cara

mengurus yang berbeda sehingga hal ini dapat mempengaruhi tingkat pet

(4)

14

attachment yang dimiliki individu. Dimensi ini mencakup komponen

kognitif dari individu pemilik hewan peliharaan (Melson et al, 1991).

d. Tanggung jawab perilaku terhadap hewan peliharaan dan

kebutuhannya.

Berkaitan dengan pengetahuan individu mengenai hewan

peliharaannya, individu memiliki tanggung jawab dalam hal perilaku

untuk mengurus hewan peliharaannya. Dimensi ini mencakup seberapa

mampu individu untuk memenuhi kebutuhan hewan peliharaannya, seperti

memberi makan, membersihkan kotoran, tidak mengabaikan hewan

peliharaan, dan hal lain yang mencakup perilaku individu terhadap hewan

peliharaan dan kebutuhannya.

II.1.3 Faktor yang Mempengaruhi Pet Attachment

Berikut ini adalah faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingkat pet

attachment:

a. Gender

Perbedaan gender mempengaruhi tingkat pet attachment individu.

Perempuan dilaporkan memiliki tingkat attachment yang lebih tinggi

daripada laki-laki terhadap hewan peliharaannya pada penelitian yang

dilakukan oleh Smolkovic, Fajfar dan Mlinaric (2012) dan Vidović et al.

(dalam Smolkovic et al., 2012). Hasil yang berbeda ditemukan pada

(5)

15 penelitian Karen (2010) yaitu tidak terdapat perbedaan tingkat pet

attachment antara remaja perempuan dan laki-laki di Hong Kong.

b. Jangka Waktu Memiliki Peliharaan

Lamanya individu memiliki peliharaan mereka menjadi pengaruh

penting terhadap pet attachment. Hal ini dikarenakan seiring berjalannya

waktu, individu lebih melekat terhadap peliharaan mereka (Wood et al.,

dalam Smolkovic et al., 2012). Pemilik hewan peliharaan yang memiliki

hewan peliharaannya lebih dari tiga tahun dilaporkan memiliki tingkat pet

attachment yang lebih tinggi.

c. Jenis Hewan Peliharaan

Penelitian-penelitian sebelumnya telah banyak meneliti pet

attachment pada individu yang memiliki anjing atau kucing, dikarenakan

jenis hewan tersebut yang paling umum dimiliki oleh orang. Penelitian

Vidovic et al. membandingkan tingkat pet attachment pemelihara anjing,

pemelihara kucing dan pemelihara hewan lainnya. Ditemukan bahwa

pemelihara anjing dan pemelihara kucing memiliki tingkat pet attachment

yang lebih tinggi dari pemilik hewan lainnya (dalam Karen, 2010). Hal ini

menunjukkan bahwa jenis hewan peliharaan yang dimiliki dapat

mempengaruhi tingkat pet attachment pemiliknya.

(6)

16 d. Budaya

Perbedaan budaya menghasilkan sikap yang berbeda pula terhadap

hewan peliharaan, khususnya pada budaya Barat dan Timur. Sikap yang

ditunjukkan pemilik hewan peliharaan di Inggris berbeda dengan pemilik

yang berada di Jepang (Kikuchi, McBride, Reilly, & Marvin, dalam

Karen, 2010). Pemilik anjing di Jepang menganggap peliharaan mereka

memiliki peran proyektif, karena media menunjukkan bahwa anjing

merupakan asesoris untuk menunjukkan kesuksesan. Sementara pemilik

anjing di Inggris menganggap anjing mereka sebagai teman dekat. Sikap

yang berbeda terhadap hewan peliharaan tersebut dapat mempengaruhi

tingkat pet attachment.

Faktor-faktor di atas mempengaruhi tingkat tinggi rendahnya pet

attachment individu sehingga faktor-faktor ini menjadi hal yang penting untuk

dilihat pada hasil penelitian ini.

II.2 Well-being

II.2.1 Definisi Well-being

Martin Seligman memiliki pandangan yang hampir sama dengan

Aristoteles mengenai kebahagiaan, yaitu semua hal yang dilakukan oleh manusia

bertujuan untuk membuat diri mereka bahagia. Aristoteles (dalam

www.pursuit-of-happiness.org) mendefinisikan kebahagiaan sebagai tujuan akhir dari seluruh

kehidupan individu dan merupakan nilai dari kehidupan individu itu sendiri dan

(7)

17 bukan sesuatu yang bersifat sementara. Perbedaannya adalah Seligman telah

menggunakan istilah well-being untuk menjelaskan konsep tersebut, yang

merupakan teori baru yang berasal dari perbaikan teori Authentic Happiness

(Seligman, 2011).

Menurut Seligman (2011) well-being bukanlah sesuatu yang hanya ada di

dalam pikiran individu, tetapi merupakan kombinasi dari perasaan baik mengenai

diri sendiri dan perasaan memiliki makna hidup, pencapaian dan hubungan yang

baik dengan orang lain. Seligman juga menjelaskan well-being sebagai suatu

konstruk yang terdiri dari lima elemen yaitu positive emotion (P), engagement

(E), relationships (R), meaning (M), dan accomplishment (A) yang dapat diukur

secara subjektif dan objektif. Semua perilaku manusia mengarah kepada

peningkatan kelima elemen tersebut yang disingkat sebagai PERMA. Peningkatan

dari PERMA akan mengarah kepada tingkat well-being yang tinggi yang disebut

sebagai flourishing, yaitu kombinasi dari perasaan yang menyenangkan (good

feeling) dengan fungsi yang baik (well-functioning) secara psikis dan sosial

(Huppert, 2011).

Sedangkan subjective well-being menurut Biswas, Diener & Dean (2007)

adalah kualitas dari keseluruhan hidup manusia, yaitu apa yang membuat

kehidupan menjadi baik secara keseluruhan seperti kesehatan fisik yang baik,

tingkat kreativitas yang tinggi ataupun pendapatan yang tinggi.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa well-being adalah kualitas

dari keseluruhan hidup manusia yang berupa perasaan baik mengenai dirinya

(8)

18 sendiri serta perasaan memiliki makna, pencapaian dan hubungan yang baik

dengan orang lain.

II.2.2 Dimensi Well-being

Menurut Seligman (2011), well-being terdiri dari lima elemen yang sering

disingkat sebagai PERMA, yaitu sebagai berikut.

a. Positive Emotion

Emosi positif merupakan bagian utama dari well-being. Hal ini

mencakup perasaan senang, keceriaan, kebahagiaan, pengharapan, cinta,

damai dan hal lainnya yang merupakan bagian dari emosi positif.

Memiliki emosi positif membantu seseorang untuk memberikan performa

yang baik dalam pekerjaan maupun sekolah, meningkatkan kesehatan

fisik, memperkuat hubungan dengan orang lain, dan mendorong

seseorang untuk kreatif, mengambil kesempatan dan melihat masa depan

dengan optimis dan penuh harapan.

b. Engagement

Engagement dialami seseorang jika sedang fokus pada sesuatu yang

dikerjakan dan mengalami kesenangan dalam keterlibatan penuh dengan

hal yang sedang dikerjakan. Flow akan dirasakan pada kondisi ini baik

pada kehidupan profesional maupun kehidupan pribadi. Flow merupakan

istilah dalam Psikologi Positif untuk menjelaskan suatu keadaan dimana

seakan-akan waktu terhenti, seseorang „tenggelam‟ dalam pekerjaannya,

dan berkonsentrasi penuh pada keadaan sekarang.

(9)

19 c. Relationship/Positive Relationship

Manusia merupakan makhluk sosial dan hubungan sosial yang baik

dengan orang lain menjadi penting bagi kesejahteraan individu.

Kesejahteraan atau well-being dapat meningkat dengan memiliki

hubungan yang kuat dengan keluarga, teman, teman kerja ataupun

tetangga.

d. Meaning

Kehidupan menjadi lebih bermakna jika seseorang dapat mendedikasikan

dirinya kepada hal yang lebih besar dan lebih luas yang berdampak pada

orang lain, bukan hanya pada dirinya sendiri. Memiliki makna dalam

hidup dapat disamakan seperti memiliki kompas yang memberikan arah

dan tujuan.

e. Accomplishment/Achievement

Pencapaian adalah tujuan-tujuan yang dapat diperoleh, baik tujuan kecil,

sedang atau besar. Kesejahteraan berkembang jika seseorang dapat

berkembang lebih baik dengan tujuan-tujuannya tercapai.

Kelima dimensi dari well-being yang terdiri dari Positive Emotion,

Engagement, Relationships, Meaning, dan Accomplishment digunakan sebagai

dasar teori untuk mengukur well-being individu melalui alat ukur yang digunakan

oleh peneliti.

(10)

20 II.2.3 Faktor yang Mempengaruhi Well-being

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi well-being adalah sebagai

berikut:

a. Kepribadian

Kepribadian merupakan prediktor yang paling kuat dan

konsisten terhadap well-being, khususnya dimensi extraversion dan

neuroticism. Kepribadian yang ekstrovert secara kuat berhubungan

dengan model emosi positif, sedangkan kepribadian neurotik

berhubungan dengan model emosi negatif (Huppert, 2009). Individu

dengan kepribadian yang neurotik cenderung cemas, mudah marah,

dan depresi, sedangkan individu yang ekstrovert cenderung lebih

sosial, optimis, mudah bergaul, enerjik, ekspresif, aktif, asertif, dan

bersemangat (Steel, Schmidt & Shultz, 2008).

b. Usia

Individu yang muda dan tua cenderung memiliki tingkat

well-being yang lebih tinggi daripada individu yang berada di usia

pertengahan, walaupun terdapat penurunan tingkat well-being pada

individu yang lanjut usia. Hubungan usia dengan tingkat well-being

tersebut sudah sesuai dengan kelompok individu yang berbeda yang

terdapat di banyak negara (Blanchflower & Oswald, dalam Huppert,

2009).

(11)

21 c. Status Menikah

Menikah pada umumnya berhubungan dengan tingginya

kesejahteraan hidup dan rendahnya gangguan psikologis. Hubungan

sebab-akibat dari hal tersebut belum terlihat jelas, karena individu

dengan tingkat well-being yang tinggi cenderung lebih tinggi untuk

menikah (Diener, dalam Huppert, 2009). Penelitian Zimmerman &

Easterlin (2006) menemukan bahwa „akan‟ menikah meningkatkan

well-being seseorang, sementara „sudah‟ menikah menunjukkan hal

yang sebaliknya.

d. Faktor Sosioekonomi

Secara umum, terdapat beberapa bukti dimana tingkat

pendapatan dan status sosioekonomi yang tinggi berhubungan dengan

tingkat well-being yang tinggi dan tingkat gangguan psikologis yang

rendah (Dolan et al., dalam Huppert, 2009), walaupun pengaruh

tersebut menurun pada tingkat pendapatan yang lebih tinggi.

Memiliki pekerjaan juga mampu mempengaruhi tingkat

well-being individu. Pengangguran telah ditemukan berhubungan dengan

adanya masalah kesehatan mental (Evans & Repper, dalam Huppert,

2009). Beberapa penelitian belum menemukan arah sebab-akibat yang

tepat untuk hal tersebut, tetapi data dari penelitian longitudinal

menemukan bahwa individu yang pada awalnya merasa bahagia

menjadi tidak bahagia ketika mereka mengalami pengangguran

(Huppert, 2009).

(12)

22 Walaupun faktor demografis (usia dan jenis kelamin) dan faktor

sosioekonomi merupakan dorongan utama yang mempengaruhi well-being,

faktor-faktor tersebut hanya menjelaskan sekitar 10 persen dari perbedaan

well-being yang dimiliki tiap individu. Faktor kepribadian (extraversion dan

neuroticism) dua kali lebih mampu menjelaskan adanya perbedaan tingkat

well-being pada individu yang berbeda (Huppert, 2009).

Faktor-faktor yang mempengaruhi well-being di atas akan menjadi dasar

bagi peneliti untuk menjelaskan hasil penelitian ini, terutama pada tingkat

well-being yang tinggi maupun yang rendah.

II.3 Hubungan Pet Attachment dengan Well-being pada Individu yang Memiliki Hewan Peliharaan

Seligman (2011) mendefenisikan well-being sebagai kombinasi dari

perasaan yang baik mengenai diri sendiri dan perasaan memiliki makna hidup,

pencapaian dan hubungan yang baik dengan orang lain. Konsep well-being yang

dibuat oleh Seligman terdiri dari lima pilar yang sering disebut sebagai PERMA,

yaitu positive emotion, engagement, relationships, meaning dan achievement.

Well-being menjadi salah satu konsep yang paling sering dikaitkan untuk melihat

manfaat positif yang diperoleh dari memiliki hewan peliharaan. Dalam penelitian

McConnell et al. (2011), individu yang memiliki hewan peliharaan memiliki

tingkat well-being yang lebih tinggi daripada individu yang tidak memiliki hewan

peliharaan. Individu yang memiliki hewan peliharaan memiliki harga diri yang

(13)

23 lebih tinggi, tingkat aktivitas dan olahraga yang lebih tinggi, dan tingkat kesepian

yang lebih rendah daripada individu yang tidak memiliki hewan peliharaan

(McConnell et al, 2011).

Individu yang memiliki hewan peliharaan memiliki tingkat well-being

yang lebih tinggi dikarenakan hewan peliharaan mereka berperan sebagai sumber

dukungan sosial bagi mereka (Compton, dalam Nurlayli & Hidayati, 2014).

Dengan menjadi sumber dukungan sosial, hewan peliharaan memberikan emosi

positif kepada pemiliknya. Hal ini dapat dilihat dari beberapa hasil penelitian yang

menemukan bahwa individu yang memiliki hewan peliharaan memiliki tingkat

subjective happiness yang lebih tinggi dan tingkat depresi yang lebih rendah

daripada yang tidak memiliki peliharaan (McConnell et al., 2011; Garrity et al.,

1987). Emosi positif termasuk ke dalam salah satu dimensi yang membangun

well-being, yaitu dimensi positive emotions pada PERMA. Perasaan senang,

bahagia, dan cinta terhadap hewan peliharaan mampu mempengaruhi tingkat

well-being individu.

Semakin banyak waktu yang dihabiskan dengan hewan peliharaan, emosi

positif yang dialami oleh pemilik semakin meningkat dan emosi negatif yang

dialami dapat diminimalisir (Hart, 2000). Banyaknya waktu yang dihabiskan

dengan hewan peliharaan merupakan salah satu aspek yang termasuk ke dalam pet

attachment. Pet attachment merupakan ikatan atau hubungan emosional yang

bertahan lama antara pemilik dengan hewan peliharaannya (Karen, 2010).

Dibandingkan dengan pet ownership atau hanya sekedar memiliki hewan

(14)

24 peliharaan, pet attachment menjadi konsep yang lebih penting untuk dilihat ketika

ingin melihat manfaat positif yang diberikan hewan peliharaan kepada pemiliknya

(Brown & Katcher, 2001).

Dengan memiliki tingkat pet attachment yang tinggi, individu yang

memiliki peliharaan tidak hanya mengalami dan memperoleh emosi positif saja

dari hewan peliharaannya. Ketika hewan peliharaan berperan menjadi sumber

dukungan sosial bagi pemiliknya, individu juga akan memperoleh hubungan yang

positif dari hewan peliharaannya. Dengan adanya hewan peliharaan yang selalu

hadir dan memberikan rasa afeksinya secara konsisten terhadap pemiliknya,

individu akan merasakan hubungan sosial yang bersifat positif dari hewan

peliharaannya. Hal ini didukung oleh penelitian Smolkovic, Fajfar dan Mlinaric

(2012) yang menemukan bahwa individu yang memiliki hewan peliharaan

memenuhi kebutuhan sosialnya dari hewan peliharaannya, yaitu memiliki harga

diri dan merasa dicintai. Dapat dilihat bahwa pet attachment berperan

meningkatkan emosi positif serta hubungan sosial yang positif bagi individu yang

memiliki hewan peliharaan. Emosi positif dan hubungan sosial yang positif

termasuk ke dalam elemen yang membangun well-being.

Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa semakin dekat

individu dengan hewan peliharaannya, maka semakin tinggi pula tingkat

well-being yang dimiliki individu.

(15)

25 II.4 Kerangka Konsep Penelitian

Gambar II.1 menunjukkan bahwa penelitian ini meneliti hubungan antara

variabel I, pet attachment dengan variabel II, well-being.

II.5 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan sebelumnya, maka hipotesis

yang diajukan dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan yang positif antara

pet attachment dengan well-being pada individu yang memiliki hewan peliharaan. Variabel I

Pet

Attachment Well-being

Variabel II Gambar II.1 Kerangka Konsep Penelitian

Gambar

Gambar II.1 Kerangka Konsep Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Dalam minat pada mahasiswa psikologi yang berpotensi menjadi SDM layanan kesehatan dan dalam hubungan konselor, psychological well-being, dan attachment, maka peneliti membatasi

Sebuah penelitian yang membandingkan kondisi antara manula yang memiliki hewan peliharaan dan yang tidak memelihara hewan ( dalam Pet Benefits and Iriformation, para 1)

Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai hubungan parenting self-efficacy dengan subjective well-being dan juga melihat

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah untuk: (1) Mengetahui konsep Psychological Well-Being (PWB) pada individu dewasa awal yang

School well-being adalah penilaian individu berkaitan dengan keadaan lingkungan sekolah tempat belajar, sedangkan rumination adalah pola pikir yang berulang yang

Berdasarkan penjelasan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa psychological well-being merupakan kebahagiaan individu yang berfokus pada fungsi psikologis dan memandang

Penelitian mengenai psychogical well-being pada individu yang hidup sendiri dikarenakan beberapa kondisi atau aspek yang ada pada responden, dinilai dapat mempengaruhi

Diketahui bahwa sudah terdapat beberapa penelitian mengenai hubungan antara resiliensi dengan psychological well-being namun peneliti belum menemukan penelitian yang mengamati hubungan