• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Motivasi dengan Efikasi Diri Pasien Post Stroke yang Menjalani Fisioterapi di RSUP H.Adam Malik Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Motivasi dengan Efikasi Diri Pasien Post Stroke yang Menjalani Fisioterapi di RSUP H.Adam Malik Medan"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

2.1. Konsep Motivasi 2.1.1. Definisi Motivasi

Motivasi berasal dari bahasa latin yang berarti to move. Secara umum mengacu pada adanya kekuatan atau dorongan yang menggerakkan kita berprilaku tertentu, motivasi juga berhubungan dengan keinginan, dorongan dan tujuan (Quinn, 1995 dalam Notoatmodjo, 2005).

Menurut Mc. Donald, motivasi adalah perubahan energi diri seseorang yang ditandai dengan munculnya “feeling” dan didahului dengan tanggapan terhadap adanya tujuan (Sardiman, 2011).

John Elder (et.al) (1998, dalam Notoatmodjo, 2005) mendefinisikan motivasi sebagai interaksi antara pelaku dan lingkungan sehingga dapat meningkatkan, menurunkan atau memepertahankan perilaku.

2.1.2. Unsur-unsur Motivasi

Menurut Mc. Donald (dalam Sardiman, 2011) motivasi mengandung 3 unsur penting:

(2)

b. Motivasi ditandai dengan munculnya, rasa “feeling”, afeksi seseorang. Dalam hal ini motivasi relevan dengan persoalan-persoalan kejiwaan, afeksi dan emosi yang dapat menentukan perubahan tingkah laku manusia.

c. Motivasi akan dirangsang karena adanya tujuan. Jadi motivasi dalam hal ini sebenrnya merupakan respon dari suatu aksi, yaitu tujuan. Motivasi memang muncul dari dalam diri manusia, tetapi kemunculannya karena terangsang atau terdorong oleh adanya unsur lain, dalam hal ini adalah tujuan. Tujuan ini akan menyangkut kebutuhan yang akan dicapai oleh orang tersebut (Sardiman, 2011).

2.1.3. Jenis-jenis Motivasi a. Motivasi Intriksik

Yang dimaksud dengan motivasi intriksik adalah motif-motif yang menjadi aktif atau berfungsinya tidak perlu dirangsang dari luar, karena dalam setiap diri individu sudah ada dorongan untuk melakukan sesuatu.

Faktor – faktor yang mempengaruhi motivasi intrinsik yaitu: 1) Kebutuhan

Seseorang melakukan aktifitas (kegiatan) karena adanya faktor – faktor kebutuhan baik fisiologis maupun psikologis.

2) Harapan

(3)

harga diri meningkat dan menggerakkan seseorang ke arah pencapaian tujuan.

3) Minat

Minat adalah suatau rasa lebih suka dan rasa keinginan pada suatau hal tanpa ada yang menyuruh ( tanpa adanya pengaruh dari orang lain).

b. Motivasi Eksterinsik

Motivasi ekstrinsik adalah kebalikan dari motivasi intrinsik. Motivasi ekstrinsik adalah moti-motif yang aktif dan berfungsi karena adanya perangsang atau pengaruh dari orang lain sehingga seseorang berbuat sesuatu (Sardiman, 2011).

Faktor – faktor yang mempengaruhi motivasi ekstrinsik adalah: 1) Dorongan Keluarga

Keluarga mendukung pasien untuk melakukan fisisoterapi bukan kehendak sendiri tetapi karena adanya dorongan dari keluarga seperti orang tua, suami atau teman. Dukungan atau dorongan dari keluarga semakin menguatkan motivasi seseorang untuk mencapai tujuannya. 2) Lingkungan

(4)

3) Imbalan

Seseorang dapat termotivasi untuk melakukan sesuatu karena adanya imbalan sehingga orang tersebut ingin melakukan sesuatu.

2.1.4. Fungsi Motivasi

Menurut Sardiman (2011) ada 3 fungsi motivasi yaitu:

a. Mendorong manusia untuk berbuat, sebagai penggerak atau motor yang melepaskan energi. Motivasi dalam hal ini merupakan motor dari setiap kegiatan yang akan dikerjakan.

b. Menentukan arah perbuatan, yakni ke arah tujuan yang hendak dicapai, dengan demikian motivasi dapat memberikan arah dan kegiatan yang harus dikerjakan sesuai dengan rumusan tujuannya.

c. menyelesaikan perbuatan, yakni menentukan perbuatan-perbuatan apa yang harus dikerjakan yang serasi guna mencapai tujuan, dengan menyisihkan perbuatan-perbuatan yang tidak bermanfaat bagi tujuan tersebut. Pilihan perbuatan yang sudah ditentukan atau dikerjakan akan memberikan kepercayaan diri yang tinggi kerana sudah melakukan proses penyeleksian.

2.1.5. Motivasi Pasien Stroke

(5)

rentang gerak tidak dapat mempengaruhi kesembuhan penderita terhadap penyakitnya, padahal dengan melakukan rentang gerak dapat mencegah terjadinya keacacatan atau seperti kerusakan gangguan otak atau kelumpuhan pada anggota gerak, gangguan bicara serta gangguan – gangguan yang lainnya akibat stroke. Motivasi penderita stroke yang kurang baik juga kemungkinan dipengaruhi oleh bebrapa faktor yakni, umur, pendidikan yang rendah, pekerjaan.

2.2. Konsep Efikasi Diri 2.2.1. Definisi Efikasi Diri

Menurut Bandura (1994) efikasi diri adalah keyakinan seseorang tentang kemampuan mereka untuk mencapai suatu tingkat kinerja yang mempengaruhi setiap peristiwa dalam hidupnya. Efikasi diri merupakan suatu bentuk kepercayaan yang dimiliki seseorang terhadap kapasitas seseorang untuk meningkatkan prestasi kehidupannya. Efikasi diri menentukan bagaimana sesorang merasa, berfikir, memotivasi dirinya dan berprilaku. Efikasi diri terbentuk melalui empat proses yaitu kognitif, motivasi, afektif dan proses seleksi.

2.2.2. Sumber Efikasi Diri

Alwisol (2009) menyatakan bahwa efikasi diri dapat diperoleh, diubah, ditingkatkan atau diturunkan melalui empat sumber yaitu:

1. Pengalaman Performansi

(6)

efikasi diri, sebaliknya kegagalan akan menurunkan efikasi sesorang. Mencapai keberhasilan akan memberi dampak efikasi yang berbeda-beda, tergantung pada proses pencapaiannya:

a. Semakin sulit tugasnya, keberhasilan akan membuat efikasi diri seseorang semakin tinggi.

b. suatu tugas yang dilakukan sendiri dapat meningkatkan efikasi diri seseorang dibanding kerja kelompok, atau dibantu orang lain.

c. Kegagalan dapat menurunkan efikasi diri saat seseorang merasa sudah berusaha semaksimal mungkin.

d. Kegagalan dalam suasana emosional/stres, dampaknya tidak seburuk saat keadaan kondisinya optimal.

e. Kegagalan bagi orang yang telah memiliki efikasi diri yang kuat dampaknya tidak terlalu buruk dibandingkan jika kegagalan itu terjadi pada orang yang telah memiliki efikasi diri yang kuat sebelumnya.

2. Pengalaman Vikarius

(7)

yang setara dengan dirinya, maka bisa jadi seseorang tersebut tidak akan mau melakukan apa yang pernah gagal dekerjakan figur yang diamatinya tersebut dalam jangka waktu yang lama.

3. Persuasi Sosial

Efikasi diri juga dapat diperoleh melalui persuasi sosial. Dampak dari sumber ini terbatas, tetapi pada kondisi yang tepat persuasi dari orang lain dapat mempengaruhi efikasi diri. Kondisi itu adalah rasa percaya kepada pemberi persuasi, dan sifat realistik dari apa yang dipersuasikan. Seseorang yang mendapatkan persuasi berupa sugesti dari luar bahwa dirinya memiliki kemampuan untuk melakukan kegiatan, maka mereka akan lebih mampu bertahan dalam keadaan sulit.

4. Keadaan Emosi

Keadaan emosi seseorang dalam mengikuti suatu kegiatan akan mempengaruhi efikasi di bidang kegiatan tersebut. Emosi yang kuat, takut, cemas, stres, dapat menurunkan efikasi diri. Emosi yang positif akan mempengaruhi keberhasilan seseorang begitupun sebaliknya keputusasaan akan menyebabkan kegagalan.

2.2.3. Dimensi Efikasi Diri

Bandura (1997) mengemukakan bahwa efikasi diri individu dapat dilihat dari tiga dimensi yaitu:

a. Tingkat (level)

(8)

memiliki efikasi diri yang tinggi pada tugas yang mudah dan sederhana, atau juga pada tugas yang rumit dan membutuhkan kompetensi yang tinggi. Individu yang memiliki efikasi diri yang tinggi cenderung memiliki tugas yang tingkat kesukarannya sesuai dengan kemampuannya.

b. Keluasan (generality)

Dimensi ini berkaitan dengan penguasaan individu terhadap suatu atau beberapa bidang kegiatan. Penguasaan ini dapat terlihat dari kemampuan mengekspresikan dan mengatur diri yang mengarah pada tujuan yang ingin dicapai. Individu dengan efikasi diri yang tinggi akan mampu menguasai beberapa bidang sekaligus untuk menyelesaikan suatu tugas, sedangkan individu yang memiliki efikasi diri yang rendah hanya menguasai sedikit bidang yang diperlukan dalam menyelesaikan tugas. c. Kekuatan (strength)

Dimensi yang ketiga ini lebih menekankan pada tingkat kekuatan atau kemantapan individu pada keyakinannya. Efikasi diri menunjukkan bahwa tindakan yang dilakukan individu akan memberikan hasil yang sesuai dengan yang diharapkan individu. Efikasi diri menjadi dasar dirinya melakukan usaha yang keras, bahkan ketika menemui hambatan sekaligus.

2.2.4. Proses Pembentukan Efikasi Diri

(9)

1. Proses Kognitif

Proses kognitif merupakan proses berfikir, termasuk pemerolehan, pengorganisasian, dan penggunaan informasi. Kebanyakan tindakan manusia bermula dari sesuatu yang dipikirkan terlebih dahuli. Individu yang memiliki efikasi diri yang tinggi lebih senang membayangkan tentang kesuksesan. Sebaliknya individu dengan efikasi diri yang rendah lebih banyak membayangkan kegagalan dan hal-hal yang dapat menghambat tercapainya kesuksesan. Bentuk tujuan personal juga dipengaruhi oleh penilaian dan kemampuan diri. Semakin seseorang mempresepsikan dirinya mampu maka individu akan semakin membentuk usaha-usaha dalam mencapai tujuannya dan semakin kuat komitmen individu terhadap tujuannya.

2. Proses Motivasi

(10)

3. Proses Afektif

Proses afektif merupakan proses pengaturan kondisi emosi dan reaksi emosional. Keyakinan individu akan koping mereka turut mempengaruhi tingkat stres dan depresi seseorang saat mereka menghadapi situasi yang sulit. Persepsi efikasi diri tentang kemampuannya mengontrol sumber stres memiliki peranan penting dalam timbulnya kecemasan. Individu yang percaya akan kemampuannya untuk mengontrol situasi cenderung tidak memikirkan hal-hal yang negatif. Individu yang merasa tidak mampu mengontrol situasi cenderung mengalami tingkat kecemasan yang tinggi selalu memikirkan kekurangan mereka, memandang lingkungan sekitar penuh dengan ancaman, membesar-besarkan masalah kecil, dan terlalu cemas pada hal-hal kecil yang sebenarnya jarang terjadi.

4. Proses Seleksi

(11)

2.2.5. Efikasi Diri sebagai Prediktor Tingkahlaku

Menurut Bandura (dalam Alwisol, 2009) sumber pengontrol tingkahlaku adalah resipokal antara lingkungan, tingkah laku, dan pribadi. Efikasi diri merupakan variabel pribadi yang penting, apabila digabung dengan tujuan-tujuan spesifik dan pemahaman mengenai prestasi, akan menjadi penentu tingkahlaku yang penting pada waktu selanjutnya. Berbeda dengan konsep diri yang bersifat kesatuan umum, konsep diri bersifat fragmental. Setiap individu mempunyai efikasi diri yang berbeda-beda pada situasi yang berbeda, tergantung kepada:

1. Kemampuan yang dituntut oleh situasi yang berbeda

2. Kehadiran orang lain, khususnya saingan dalam situasi tersebut

3. Keadaan fisiologis dan emosional : kelelahan, kecemasan, apatis, murung.

Efikasi yang tinggi atau rendah, dikombinasikan dengan lingkungan yang responsif atau tidak responsif, akan menghasilkan empat kemungkinan prediksi tingkahlaku yaitu:

a. Efikasi tinggi dengan lingkungan yang responsif, prediksi hasil tingkah lakunya yaitu sukses melaksanakan tugas yang sesuai dengan kemampuannya.

(12)

c. Efikasi tinggi dengan lingkungan tidak responsif, prediksi tingkah lakunya yaitu berusaha keras mengubah lingkungan menjadi responsif, melakukan protes bahkan memaksakan perubahan.

d. Efikasi rendah dengan lingkungan responsif, prediksi tingkah lakunya yaitu orang mejadi apaptis, pasrah, merasa diri tidak mampu.

2.2.6. Efikasi diri Pasien Stroke

Efikasi diri merupakan keyakinan seseorang dalam kemampuannya untuk melakukan sesuatu bentuk kontrol terhadap keberfungsian orang itu sendiri dan kejadian dalam lingkungan. Pasien stroke akan mengalami perubahan fisik dan psikologis seperti kelumpuhan pada sebagian ektremitas atau hemiparese, disatria atau pelo. Pasien akan merasa rendah diri, malu, dan akan menutup diri maka akan mengalami efikasi diri yang rendah. Gejolak emosi, kegelisahan yang mendalam, dan keadaan fisiologis yang lemah yang dialami individu akan dirasakan sebagai suatu isyarat akan terjadi peristiwa yang tidak diinginkan. Kecemasan dan stres yang terjadi dalam diri seseorang ketika melakukan tugas sering diartikan sebagai suatu kegagalan. Pada umunya, seseorang cenderung akan mengharapkan keberhasilan dalam kondisi yang tidak diwarnai oleh ketegangan dan tidak merasa adanya keluhan atau gangguan somatic lainnya (Yantik, 2014).

2.3Konsep Stroke 2.3.1 Definisi Stroke

(13)

berlangsung selama 24 jam ataupun lebih, dapat mengakibatkan kematian dengan gangguan peredaran darah ke otak (Sofwan, 2010).

Stroke merupakan penyakit gangguan fungsional otak berupa kelumpuhan saraf atau defisit neurologik akibat gangguan aliran darah pada salah satu bagian otak. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa stroke adalah penyakit akibat terhentinya suplai darah ke otak karena sumbatan atau perdarahan, dengan gejala lemas/lumpuh sesaat, atau gejala berat sampai hilangnya kesadaran, dan kematian (Junaidi, 2006).

2.3.2 Klasifikasi Stroke

Stroke terbagi menjadi 2 kategori yaitu stroke hemoragik dan stroke iskemik:

1. Stroke hemorargik adalah stroke yang disebabkan oleh pecahnya

pembuluh darah sehingga menghambat aliran darah yang normal karena 2. darah akan mengalir kedalam suatu bagian otak dan akan merusaknya.

Hampir 70% kasus stroke hemoragik diderita oleh penderita hipertensi. Stroke hemoragik terbagi lagi menjadi 2 jenis yaitu : Hemoragik intrasebral (perdarahan yang terjadi didalam jaringan otak) dan Hemoragik subraknoid yaitu perdarahan yang terjadi pada bagian subraknoid (bagian sempit antara permukaan otak dan lapisan jaringan yang menutupi otak).

(14)

dinding pembuluh darah atau bekuan darah yang telah menyumbat suatu pembuluh darah ke otak. Penyumbatan biasanya terjadi disepanjang jalur pembuluh darah arteri menuju otak. Stroke iskemik dibagi menjadi 3 jenis yaitu:Stroke trombotik (proses terbentuknya thrombus hingga menjadi gumpalan), Stroke embolik (tertutupnya pembuluh darah arteri yang disebabkan oleh bekuan darah), dan Hipoperfusion (aliran darah keseluruh bagian tubuh berkurang karena adanya gangguan denyut jantung) (Pudiastuti, 2011).

2.3.3. Tanda dan Gejala Stroke

Menurut Sofwan (2010) tanda dan gejala seseorang terkena stroke sangat beragam dan berbeda-beda antara satu individu dengan individu lainnya. Perbedaan ini dikarenakan otak manusia sangat kompleks. Setiap daerah di otak mempunyai fungsi berbeda-beda. Ada yang mengatur gerak, pancaindra, perasaan, kognitif, dan lain-lain.

(15)

tiba-tiba dan tidak mampu mengatur gerakan tubuh, muncul gangguan kognitif lain seperti tiba-tiba pikun, tidak dapat berhitung, membaca, ataupun menulis secara tiba-tiba.

2.3.4. Fisioterapi Stroke

Fisioterapi merupakan “pelatihan gerakan” peregangan atau tindakan lainnya yang mempunyai peranan penting dalam pelatihan yang akan dijalani oleh penderita stroke. Fisioterapi dilakukan sesegera mungkin setelah serangan stroke, satu hingga tiga hari setelah terkena stroke. Tujuan dari dilakukan fisioterapi yaitu untuk membantu pasien melakukan aktivitas atau menyelesaikan tugas sehari-hari. Beberapa bidang yang dilatih adalah berdiri, berjalan, mengambil dan menggunakan benda-benda; khususnya peralatan makan. (Junaidi, 2011).

Beberapa bentuk metode atau tipe latihan yang dapat diaplikasikan oleh pasien pasca stroke adalah:

a. Latihan Passive Range of Motion (PROM)

(16)

b. Latihan Pada Anggota Gerak Atas (upper extremity) menurut Hoeman (1996, dalam Purwanti dan Maliya 2008) adalah:

1. Fleksi dan ekstensi

Dukung lengan atas dengan pergelangan tangan dan siku, angkat lengan lurus melewati kepala klien, istirahtakan lengan dengan posisi terlentang diatas kepala di tempat tidur. Lakukan sebanyak 7 kali atau sesuai dengan toleransi. Latihan ini mampu mengurangi komplikasi akibat kurang gerak pada bahu dan lengan.

2. Abduksi dan adduksi

Dukung lengan di pergelangan dengan telapak tangan dan siku dari tubuh klien, geser lengan menjauh dari tubuh, biarkan lengan berputar dan berbalik sehingga mencapai sudut 90º dari bahu. 3. Siku fleksi dan ekstensi

Dukung siku dan pergelangan tangan. tekuk lengan klien sehingga lengan menyentuh ke bahu, luruskan lengan ke depan. 4. Pergelangan tangan

(17)

5. Jari fleksi dan ekstensi

Dukung tangan klien dengan memegang telapak tangan, tekuk semua jari sekali, luruskan semua jari sekali.

c. Latihan gerak sendi pada anggota gerak bawah menurut Hoeman (1996, dalam Purwanti dan Maliya 2008) adalah:

1) Pinggul fleksi

Dukung dari bawah lutut dan tumit klien, angkat lutut mengarah ke dada, tekuk pinggul sedapat mungkin, biarkan lutut menekuk sedikit atau dengan toleransi klien.

2) Pinggul ekstensi

Dukung dari bawah lutut dan tumit klien, angkat kaki klien dan luruskan setinggi mungkin, pegang sampi hitungan kelima.

3) Lutut fleksi dan ekstensi

Dukung kaki bila perlu tumit dan belakang lutut, tekuk setinggi 90º dan luruskan lutut.

4) Jari kaki fleksi dan ekstensi

Dukung telapak kaki klien, tekuk semua jari menurun dan dorong jari kebelakang.

5) Tumit inversi dan evesri

(18)

d. Latihan Duduk

Latihan duduk dimulai dengan meninggikan letak kepala secara bertahap untuk kemudian dicapai posisi setengan duduk dan pada akhirnya posisi duduk. Latihan duduk secara aktif sering kali memrlukan alat bantu, misalnya trapeze untuk pegangan penderita Harsono (1996, dalam Purwanti dan Maliya 2008). Bangun duduk dilakukan dengan bantuan perawat yang memegang kuat siku sisi yang sakit pada tempat tidur, dengan tangan yang lain berjabatan tangan dengan tangan penderita yang sehat, siku perderita yang sakit harus berada langsung dibawah bahu, bukan dibelakang bahu. Latihan ini diulang-ulang sampai penderita merasakan gerakannya.

e. Metode Terapi Latihan Khusus

Pada prinsipnya ada banyak metode terapi latihan yang dapat digunakan oleh fisioterapis. Metode-metode tersebut saling memiliki keterkaitan antara satu dengan lainnya, hanya titik berat pendekatannya yang berbeda

1. Metode PNF (Proprioceptive Neuromuscular Facilititation)

(19)

2. Metode Brunnstrom

Metode pendekatan ini dikembangkan oleh Signe Brunnstrom, seorang fisioterapis di sekitar tahun 1970-an, khusus untuk penderita hemiplegia. Metode ini dapat digunakan untuk merangsang timbulnya gerakan yang hilang, seperti tahap perkembangan normal.

3. Metode MRP (Motor Relearning Programme)

Metode ini diperkenalkan oleh Carr & Shepherd (1982). Metode ini merupakan suatu program untuk melatih kembali kontrol motorik spesifik dengan menghadirkan gerakan yang tidak perlu atau salah yang melibatkan proses kognitif, ilmu perilaku dan psikologi, pelatihan pemahaman tentang anaotmi dan fisiologi saraf, serta tidak berdasarkan pada teori perkembangan normal (neurodevlomental).MRP terdiri dari 7 sesi yang mewakili fungsi penting (tugas motorik) dari kehidupan sehari-hari yang dikelompokkan menjadi: fungsi ekstremitas atas, fungsi orofasial, gerakan motorik saat dari tidur ke duduk di tepi tempat tidur, keseimbangan duduk, posisi duduk ke berdiri, keseimbangan berdiri, dan berjalan.

4. Metode Bobath

(20)

Referensi

Dokumen terkait

Motivasi intrinsik adalah motif-motif yang menjadi aktif dan berfungsinya tidak perlu dirangsang dari luar, karena dalam diri individu sudah ada dorongan untuk

Yang dimaksud dengan motivasi intrinsik adalah motif- motif yang menjadi aktif atau berfungsinya tidak perlu dirangsang dari luar, karena dalam diri setiap individu sudah

Yang dimaksud dengan motivasi intrinsik adalah motif-motif yang menjadi aktif atau berfungsinya tidak perlu dirangsang dari luar, karena dalam diri setiap individu sudah

Yang dimaksud dengan motivasi intrinsik adalah motif-motif yang menjadi aktif atau berfungsinya tidak perlu dirangsang dari luar, karena dalam diri setiap individu

a) Motivasi intrinsik, yaitu motif-motif yang menjadi aktif atau berfungsinya tidak perlu dirangsang dari luar. Karena diri setiap individu sudah ada dorongan

Yang dimaksud dengan motivasi intrisik adalah motif-motif yang terjadi aktif atau berfungsinya tidak perlu dirangsang dari luar, karena dalam setiap diri individu sudah ada

Motivasi intrinsik adalah motif-motif yang menjadi aktif dan berfungsinya tidak perlu dirangsang dari luar, karena dalam diri setiap individu sudah ada dorongan

Yang dimaksud dengan motivasi Intrinsik adalah motif yang menjadi aktif atau berfungsinya tidak perlu dirangsang dari luar, karena dalam diri setiap individu sudah ada