BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penggunaan Lahan
Istilah penggunaan lahan (land use), berbeda dengan istilah penutup
lahan (land cover). Perbedaannya, istilah penggunaan lahan biasanya meliputi
segala jenis kenampakan dan sudah dikaitkan dengan aktivitas manusia dalam
memanfaatkan lahan, sedangkan penutup lahan mencakup segala jenis
kenampakan yang ada di permukaan bumi yang ada pada lahan tertentu. Kedua
istilah ini seringkali digunakan secara rancu.
Istilah lain tentang penggunaan lahan adalah setiap bentuk campur tangan
(intervensi) manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya
baik material maupun spritual (Vink, 1975). Sedangkan menurut Suparmoko
(1995) penggunaan lahan secara umum tergantung pada kemampuan lahan dan
pada lokasi lahan. Untuk aktivitas pertanian, penggunaan lahan tergantung pada
kelas kemampuan lahan yang dicirikan oleh adanya perbedaan pada sifat-sifat
yang menjadi penghambat bagi penggunaannya seperti tekstur tanah, lereng,
permukaan tanah, kemapuan menahan air dan tingkat erosi yang telah terjadi.
Penggunaan lahan juga tergantung pada lokasi, khususnya untuk daerah-daerah
permukiman, lokasi industri, maupun untuk daerah-daerah rekreasi.
Menurut Barlowe (1986) faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan
lahan adalah faktor fisik dan biologis, faktor pertimbangan ekonomi dan faktor
seperti keadaan geologi, tanah, air, iklim, tumbuh-tumbuhan, hewan dan
kependudukan. Faktor pertimbangan ekonomi dicirikan oleh keuntungan, keadaan
pasar dan transportasi. Faktor institusi dicirikan oleh hukum pertanahan, keadaan
politik, keadaan sosial dan secara administrasi dapat dilaksanakan.
Suatu unit penggunaan lahan mewakili tidak lebih dari suatu mental
construct yang didisain untuk memudahkan inventarisasi dan aktivitas pemetaan
(Malingreau dan Rosalia, 1981). Identifikasi, pemantauan dan evaluasi
penggunaan lahan perlu selalu dilakukan pada setiap periode tertentu, karena ia
dapat menjadi dasar untuk penelitian yang mendalam mengenai perilaku manusia
dalam memanfaatkan lahan. Dengan demikian, penggunaan lahan menjadi bagian
yang penting dalam usaha melakukan perencanaan dan pertimbangan dalam
merumuskan kebijakan keruangan di suatu wilayah. Prinsip kebijakan terhadap
lahan perkotaan bertujuan untuk mengoptimalkan penggunaan lahan dan
pengadaan lahan untuk menampung berbagai aktivitas perkotaan. Dalam
hubungannya dengan optimalisasi penggunaan lahan, kebijakan penggunaan lahan
diartikan sebagai serangkaian kegiatan tindakan yang sitematis dan terorganisir
dalam penyediaan lahan, serta tepat pada waktunya, untuk peruntukan
pemanfaatan dan tujuan lainnya sesuai dengan kepentingan masyarakat
(Suryantoro, 2002).
Penggunaan lahan dapat dikelompokan menjadi beberapa bagian,
menurut (I Made Sandy, 1990), yaitu :
a. Kelas I yaitu lahan untuk perumahan;
b. Kelas II yaitu lahan untuk perusahaan;
d. Kelas IV yaitu lahan untuk industri;
e. Kelas V yaitu lahan kosong yang diperuntukan;
f. Kelas VI yaitu lahan kosong yang tidak diperuntukan.
Menurut Jamulya dan Sunarto (1991), bahwa “penggunaan lahan
dikelompokan ke dalam 2 (dua) golongan besar, penggunaan lahan pertanian dan
penggunaan lahan bukan pertanian”, yaitu : Penggunaan lahan pertanian
dibedakan dalam garis besar ke dalam macam penggunaan lahan berdasarkan atas
penyediaan air atau komoditi yang diusahakan, dimanfaatkan atau yang terdapat
di atas lahan tersebut. Berdasarkan hal ini dikenal penggunaan lahan seperti
tegalan, sawah, kebun kopi, kebun karet, padang rumput, hutan produksi, hutan
lindung, padang alang-alang dan sebagainya. Penggunaan lahan bukan pertanian
dapat dibedakan ke dalam penggunaan kota dan desa (permukiman), industri,
rekreasi, pertambangan dan sebagainya.
2.2 Perubahan Penggunaan Lahan
Perubahan penggunaan lahan adalah bertambahnya suatu penggunaan
lahan dari satu sisi penggunaan ke penggunaan yang lainnya diikuti dengan
berkurangnya tipe penggunaan lahan yang lain dari suatu waktu ke waktu
berikutnya, atau berubahnya fungsi suatu lahan pada kurun waktu yang berbeda
(Wahyunto et al., 2001). Perubahan penggunaan lahan dalam pelaksanaan
pembangunan tidak dapat dihindari, dimana perubahan tersebut terjadi karena dua
hal, pertama adanya keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang makin
meningkat jumlahnya dan dua berkaitan dengan meningkatnya tuntutan akan mutu
Para ahli berpendapat bahwa perubahan penggunaan lahan lebih
disebabkan oleh adanya kebutuhan dan keinginan manusia. Menurut McNeil et al.,
(1998) faktor-faktor yang mendorong perubahan penggunaan lahan adalah politik,
ekonomi, demografi dan budaya. Aspek politik adalah adanya kebijakan yang
dilakukan oleh pengambil keputusan yang mempengaruhi terhadap pola
perubahan penggunaan lahan. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 2.1 yang
menjelaskan skenario perubahan penggunaan lahan.
Selanjutnya pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan pendapatan dan
konsumsi juga merupakan faktor penyebab perubahan penggunaan lahan. Sebagai
contoh, meningkatnya kebutuhan akan ruang tempat hidup, transportasi dan
tempat rekreasi akan mendorong terjadinya perubahan penggunaan lahan.
Teknologi juga berperan dalam menggeser fungsi lahan. Grubler (1998)
mengatakan ada tiga hal bagaimana teknologi mempengaruhi pola penggunaan
lahan. Pertama, perubahan teknologi telah membawa perubahan dalam bidang
pertanian melalui peningkatan produktivitas lahan pertanian dan produktivitas
tenaga kerja. Kedua, perubahan teknologi transportasi meningkatkan efisiensi
tenaga kerja, memberikan peluang dalam meningkatkan urbanisasi daerah
perkotaan. Ketiga, teknologi transportasi dapat meningkatkan aksesibilitas suatu
Gambar 2.1 Skenario Perubahan Penggunaan Lahan
(dimodifikasi dari Bito dan Doi, 1999)
Menurut Adjest (2000) di negara Afrika Timur, sebanyak 70% populasi
penduduk menempati 10% wilayah yang mengalami perubahan penggunaan lahan
selama 30 tahun. Pola penggunaan lahan ini disebabkan karena pertumbuhan
penduduk, kebijakan pemerintah pada sektor pertanian dan transmigrasi serta
faktor sosial ekonomi lainnya. Akibatnya, lahan basah yang sangat penting dalam
fungsi hidrologis dan ekologis semakin berkurang yang pada akhirnya
meningkatkan peningkatan erosi tanah dan kerusakan lingkungan lainnya.
Konsekuensi lainnya adalah berpengaruh terhadap ketahanan pangan yang
berimplikasi semakin banyaknya penduduk yang miskin. Modernisasi Populasi meningkat
Kebijakan
Lahan kering + Lahan kering -
Padang ilalang + Padang ilalang - Industrialisasi
Hutan + Hutan -
Lahan tidak dimanfaatkan + Lahan tidak dimanfaatkan -
Perubahan penggunaan lahan di suatu wilayah merupakan pencerminan
upaya manusia memanfaatkan dan mengelola sumberdaya lahan. Perubahan
penggunaan lahan tersebut akan berdampak terhadap manusia dan kondisi
lingkungannya. Menurut Suratmo (1982) dampak suatu kegiatan pembangunan
dibagi menjadi dampak fisik-kimia seperti dampak terhadap tanah, iklim mikro,
pencemaran, dampak terhadap vegetasi (flora dan fauna), dampak terhadap
kesehatan lingkungan dan dampak terhadap sosial ekonomi yang meliputi ciri
pemukiman, penduduk, pola lapangan kerja dan pola pemanfaatan sumberdaya
alam yang ada.
Penelitian yang membahas tentang perubahan penggunaan lahan dan
dampaknya terhadap biofisik dan sosial ekonomi telah banyak dilakukan.
Penelitian terhadap struktur ekonomi, yang dilakukan Somaji (1994) menyatakan
bahwa pada tahun 1984 wilayah industri berperan sebanyak 13,05% dan
meningkat menjadi 14,65% pada tahun 1990. Nilai ini dicapai akibat dari
kecepatan alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian selama kurun waktu
1981-1990 sebanyak 0,46%.
Di daerah perkotaan perubahan penggunaan lahan cenderung berubah
dalam rangka memenuhi kebutuhan sektor jasa dan komersial. Menurut
Cullingswoth (1997), perubahan penggunaan yang cepat di perkotaan dipengaruhi
oleh empat faktor, yakni : (1) adanya konsentrasi penduduk dengan segala
aktivitasnya; (2) aksesibilitas terhadap pusat kegiatan dan pusat kota; (3) jaringan
jalan dan sarana transportasi, dan; (4) orbitasi, yakni jarak yang menghubungkan
2.3 Konsep Kesesuaian Lahan
Kesesuaian lahan adalah tingkat kecocokan sebidang lahan untuk
penggunaan tertentu. Kesesuaian lahan tersebut dapat dinilai untuk kondisi saat ini
(kesesuaian lahan aktual) atau setelah diadakan perbaikan (kesesuaian lahan
potensial). Kesesuaian lahan aktual adalah kesesuaian lahan berdasarkan data sifat
biofisik tanah atau sumber daya lahan sebelum lahan tersebut diberikan
masukan-masukan yang diperlukan untuk mengatasi kendala.
Data biofisik tersebut berupa karakteristik tanah dan iklim yang
berhubungan dengan persyaratan tumbuh tanaman yang dievaluasi. Kesesuaian
lahan potensial menggambarkan kesesuaian lahan yang akan dicapai apabila
dilakukan usaha-usaha perbaikan. Lahan yang dievaluasi dapat berupa hutan
konversi, lahan terlantar atau tidak produktif, atau lahan pertanian yang
produktivitasnya kurang memuaskan tetapi masih memungkinkan untuk dapat
ditingkatkan bila komoditasnya diganti dengan tanaman yang lebih sesuai.
Klasifikasi kesesuaian lahan
Struktur klasifikasi kesesuaian lahan menurut kerangka FAO (1976) dapat
dibedakan menurut tingkatannya, yaitu tingkat Ordo, Kelas, Subkelas dan Unit.
Ordo adalah keadaan kesesuaian lahan secara global. Pada tingkat ordo
kesesuaian lahan dibedakan antara lahan yang tergolong sesuai (S=Suitable) dan
lahan yang tidak sesuai (N=Not Suitable).
Kelas adalah keadaan tingkat kesesuaian dalam tingkat ordo. Berdasarkan
tingkat detail data yang tersedia pada masing-masing skala pemetaan, kelas
(skala 1:25.000-1:50.000) pada tingkat kelas, lahan yang tergolong ordo sesuai (S)
dibedakan ke dalam tiga kelas, yaitu: lahan sangat sesuai (S1), cukup sesuai (S2),
dan sesuai marginal (S3). Sedangkan lahan yang tergolong ordo tidak sesuai (N)
tidak dibedakan ke dalam kelas-kelas. (2) Untuk pemetaan tingkat tinjau (skala
1:100.000-1:250.000) pada tingkat kelas dibedakan atas Kelas sesuai (S), sesuai
bersyarat (CS) dan tidak sesuai (N).
• Kelas S1 : Lahan tidak mempunyai faktor pembatas yang
berarti atau nyata terhadap penggunaan secara berkelanjutan, atau
faktor pembatas bersifat minor dan tidak akan berpengaruh
terhadap produktivitas lahan secara nyata.
• Kelas S2 : Lahan mempunyai faktor pembatas, dan faktor
pembatas ini akan berpengaruh terhadap produktivitasnya,
memerlukan tambahan masukan (input). Pembatas tersebut biasanya
dapat diatasi oleh petani sendiri.
• Kelas S3 : Lahan mempunyai faktor pembatas yang berat,
dan faktor pembatas ini akan sangat berpengaruh terhadap
produktivitasnya, memerlukan tambahan masukan yang lebih
banyak daripada lahan yang tergolong S2. Untuk mengatasi faktor
pembatas pada S3 memerlukan modal tinggi, sehingga perlu adanya
bantuan atau campur tangan (intervensi) pemerintah atau pihak
swasta.
• Kelas N Lahan yang karena mempunyai faktor pembatas yang
Subkelas adalah keadaan tingkatan dalam kelas kesesuaian lahan. Kelas
kesesuaian lahan dibedakan menjadi subkelas berdasarkan kualitas dan
karakteristik lahan (sifat-sifat tanah dan lingkungan fisik lainnya) yang menjadi
faktor pembatas terberat, misal Subkelas S3rc, sesuai marginal dengan pembatas
kondisi perakaran (rc=rooting condition).
Unit adalah keadaan tingkatan dalam subkelas kesesuaian lahan, yang
didasarkan pada sifat tambahan yang berpengaruh dalam pengelolaannya.
Contoh kelas S3rc1 dan S3rc2, keduanya mempunyai kelas dan subkelas yang
sama dengan faktor penghambat sama yaitu kondisi perakaran terutama faktor
kedalaman efektif tanah, yang dibedakan ke dalam unit 1 dan unit 2. Unit 1
kedalaman efektif sedang (50-75 cm), dan Unit 2 kedalaman efektif dangkal (<50
cm). Dalam praktek evaluasi lahan, kesesuaian lahan pada kategori unit ini
jarang digunakan.
Berbagai sistem evaluasi lahan dilakukan dengan menggunakan
pendekatan yang berbeda seperti sistem perkalian parameter, sistem penjumlahan
parameter dan sistem pencocokan (matching) antara kualitas lahan dan
karakteristik lahan dengan persyaratan tumbuh tanaman. (Sangat sesuai; Cukup
sesuai; Sesuai marginal; tidak sesuai).
2.4 Sistem Informasi Geografis
Dalam rangka mendeteksi perubahan yang terjadi di permukaan bumi
diperlukan suatu teknik yang dapat mengidentifikasi perubahan-perubahan atau
fenomena melalui pengamatan pada berbagai waktu yang berbeda. Menurut Singh
jauh dari satelit yang dapat mendeteksi perubahan karena peliputannya yang
berulang-ulang dengan interval waktu yang pendek dan terus menerus.
Penginderaan jauh merupakan suatu teknik untuk mengumpulkan
informasi mengenai obyek dan lingkungannya dari jarak jauh tanpa sentuhan fisik.
Biasanya menghasilkan beberapa bentuk citra yang selanjutnya diproses dan
diinterpretasi untuk menghasilkan data yang bermanfaat untuk aplikasi sesuai
kebutuhannya (Lo, 1996).
Sedangkan definisi Sistem Informasi Geografis (SIG) menurut Chrisman
(1997) adalah suatu sistem perangkat lunak maupun keras, data, orang, organisasi
dan institusi yang melakukan pengumpulan, penyediaan, analisis menyimpulkan
informasi yang meliputi area di bagian bumi. Jadi data tersebut dapat berupa data
spasial dan tabular yang dapat digunakan dalam pengambilan keputusan.
Analisis spasial dikembangkan untuk mengisi kebutuhan akan
permodelan dan penganalisisan data spasial. Rustiadi et al., (1999)
mendefinisikan analisis spasial sebagai suatu kemampuan umum untuk
memanipulasi data spasial ke dalam bentuk-bentuk yang berbeda dan mengetraksi
pengertian tambahan sebagai hasilnya. Analisis berbeda dengan peringkasan
(summarization) data spasial.
Rustiadi et al. (1999) mendefinisikan analisis spasial sebagai suatu
kumpulan dari teknik-teknik analisis kejadian-kejadian geografis dimana
hasil-hasil analisis tergantung pada susunan spasial kejadian-kejadian tersebut. Bentuk
dari ‘kejadian geografis’ ini dinyatakan dalam kumpulan obyek titik, garis, atau
area. Dengan demikian, analisis spasial membutuhkan informasi nilai-nilai atribut
2.5 Perencanaan Wilayah
Perencanaan pada dasarnya merupakan kegiatan yang berkaitan dengan
upaya pemanfaatan sumber daya dan faktor-faktor produksi yang terbatas untuk
dapat mencapai hasil yang optimal sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.
Dalam hal perencanaan wilayah menjadi penting karena beberapa hal (Tarigan,
2005) :
• Banyak potensi wilayah selain terbatas juga tidak mungkin lagi diperbanyak
atau diperbaharui.
• Kemampuan teknologi dan cepatnya perubahan dalam kehidupan manusia
yang memungkinkan pemanfaatan sumber daya alam yang tidak terkendali.
• Kesalahan perencanaan yang telah dilaksanakan di lapangan seringkali sulit
untuk diubah atau diperbaiki kembali.
• Lahan dibutuhkan oleh setiap manusia untuk mendukung kehidupannya.
Sementara kemampuan setiap orang dalam mendapatkan lahan tidak sama
sehingga perlu ada pengaturan penggunaan lahan.
• Tatanan wilayah dan aktivitas manusia saling mempengaruhi.
• Potensi wilayah yang diberikan alam perlu dimanfaatkan secara bijak untuk
kemakmuran dalam jangka panjang dan berkesinambungan sehingga
diperlukan perencanaan yang menyeluruh dan cermat.
Menurut Friedmann & Weaver (1979:129) perencanaan wilayah
merupakan suatu upaya dalam membuat suatu formula bagi pusat-pusat
pertumbuhan dengan mengabaikan dimensi-dimensi lain dari kebijakan wilayah.
akademik. Sebagai kesimpulan dalam perencanaan wilayah perhatian tidak hanya
diberikan sebatas pada sumber daya alam, implementasi politik dan organisasi
administrasi bagi pembangunan pedesaan.
Definisi perencanaan wilayah yang lebih komprehensif dan mungkin
dengan orientasi yang berbeda diberikan oleh Profesor Kosta Mihailovic dalam
faridad (1981:87), yang menyebutkan “pembangunan wilayah diartikan sebagai
perubahan sosial ekonomi dalam berbagai tipe wilayah, hubungan interregional
yang dinamis dan faktor-faktor relevan yang memiliki keterkaitan dengan tujuan
dan hasil dari pembangunan.” Definisi ini menurut Faridad memiliki kelemahan
kurang detail penjelasan secara ilmiah dan terlalu luas serta tidak menyentuh
faktor-faktor yang relevan dalam pembangunan.
Faridad (1981:94) sendiri mendefinisikan perencanaan wilayah sebagai
suatu aplikasi dari model pertumbuhan bagi perencanaan pembangunan dengan
rujukan yang sangat jelas dalam dimensi ruang bagi proses pembangunan. Sebagai
alternatif, hal ini dapat ditunjukkan sebagai persiapan action plan pemerintah
dengan mempertimbangkan aktivitas ekonomi dan pembangunan wilayah.
2.6 Pengembangan Wilayah
Pengembangan wilayah pada dasarnya merupakan peningkatan nilai
manfaat wilayah bagi masyarakat suatu wilayah tertentu, mampu menampung
lebih banyak penghuni, dengan tingkat kesejahteraan masyarakat yang rata-rata
membaik, disamping menunjukkan lebih banyak sarana dan prasarana, barang dan
jasa yang tersedia dan kegiatan usaha-usaha masyarakat yang meningkat, baik
Menurut Budiharso (2005) pengembangan wilayah setidak-tidaknya
perlu ditopang oleh enam pilar/aspek; yaitu, aspek biogefisik, aspek ekonomi,
aspek sosial dan budaya, aspek kelembagaan, aspek lokasi dan aspek lingkungan.
Keenam pilar tersebut dapat digambarkan dalam bentuk diagram seperti Gambar
2.2 berikut ini.
Gambar 2.2 Enam Pilar Pengembangan Wilayah
Sumber : Budiharso, 2005
Melalui diagram yang tergambar di atas, dapat dilakukan analisis dari
berbagai aspek berkaitan dengan pengembangan wilayah; yaitu aspek biogeofisik,
meliputi kandungan sumber daya hayati, sumber daya nirhayati, sarana dan
prasarana yang ada di wilayah tersebut. Aspek ekonomi meliputi kegiatan
ekonomi yang terjadi di dalam dan di sekitar wilayah. Aspek sosial meliputi
budaya, politik dan pertahanan dan keamanan (Hankam) yang merupakan
pembinaan kualitas sumber daya manusia. Aspek kelembagaan meliputi peraturan
perundang-undangan yang berlaku baik dari pemerintah pusat maupun daerah,
lokasi menunjukkan keterkaitan antara wilayah yang satu dengan wilayah lainnya
yang berhubungan dengan sarana produksi, pengelolaan maupun pemasaran.
Aspek lingkungan meliputi kajian mengenai bagaimana proses produksi
mengambil input yang berasal dari sumber daya alam, apakah merusak atau tidak.
2.7 Banjir
Banjir adalah luapan air sungai ke daerah alirannya akibat ketidak
mampuan sungai menampung air hujan karena adanya pendangkalan sungai
ataupun pendangkalan saluran drainase. Curah hujan merupakan faktor utama,
disamping faktor tanah dan tanaman atau faktor manusia. Banjir akan terjadi pada
wilayah tersebut jika pada daerah tersebut turun hujan dalam jumlah, intensitas,
dan waktu yang cukup lama. Menurut Isnugroho, (dalam Rouw, 2004) sedikitnya
ada lima faktor penting penyebab banjir antara lain : (1) Curah hujan (2)
Karakteristik daerah aliran sungai (DAS) (3) Kemampuan alur sungai
mengalirkan air banjir (4) Perubahan tata guna lahan dan (5) Pengelolaan sungai
meliputi tata wilayah, pembangunan sarana dan prasarananya hingga tata
pengaturannya.
Sedangkan menurut Undang-undang No. 24 tahun 2007, bencana
didefinisikan sebagai peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan
penghidupan masyarakat. Bencana dapat disebabkan baik oleh faktor alam
dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan
timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan
Kategori atau jenis banjir terbagi berdasarkan lokasi sumber aliran
permukaannya dan berdasarkan mekanisme terjadinya banjir :
1. Berdasarkan lokasi sumber aliran permukaannya, terdiri dari :
a. Banjir kiriman (banjir bandang), yaitu banjir yang diakibatkan oleh
tingginya curah hujan didaerah hulu sungai.
b. Banjir local yaitu banjir yang terjadi karena volume hujan setempat yang
melebihi kapasitas pembuangan disutu wilayah.
2. Berdasarkan mekanisme terjadinya banjir, yaitu :
a. Regular flood yaitu banjir yang diakibatkan oleh hujan.
b. Irregular flood yaitu banjir yang diakibatkan oleh selain hujan, seperti
tsunami, gelombang pasang dan hancurnya bendungan.
2.8 Penelitian Terdahulu
Suhardi Purwantoro dan Saiful Hadi (1997) dengan judul penelitian
“Studi Perubahan Penggunaan Lahan di Kecamatan Umbulharjo Kota Yogyakarta
Tahun 1987-1996 Berdasarkan Foto Udara”, menyimpulkan bahwa hasil
interpretasi penggunaan lahan dari foto udara tahun 1987 dan 1996 menunjukkan
penggunaan di daerah penelitian semakin bervariatif dan kompleks walaupun bila
dilihat dari jumlah unit penggunaan lahan mengalami penurunan, terutama blok
penggunaan lahan untuk permukiman. Penurunan jumlah blok lingkungan
permukiman itu bukan karena hilangnya blok tersebut atau digunakan untuk
penggunaan lahan lain tetapi hal itu justeru terjadi karena adanya perluasan
blok-blok lingkungan permukiman tersebut sehingga menyatu antara beberapa blok-blok
lahan dari lahan pertanian (sawah) menjadi permukiman dan penggunaan lainnya.
Perkembangan permukiman ini bila tidak dikendalikan, dalam jangka 25 tahun ke
depan lahan pertanian perkotaan ini akan habis. Untuk masa mendatang,
sebaiknya lahan pertanian yang tersisa dijadikan sebagai lahan perkotaan terhadap
suplai dari daerah hinterland atau pedesaan di sekitarnya dapat dikurangi dan
sekaligus sebagai penyeimbang ekologis lingkungan permukiman.
Lydia Surijani tatura (2010) dengan judul penelitian “Kajian Perubahan
Tata Guna Lahan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Gorontalo”
menyimpulkan bahwa telah terjadi perubahan penggunaan lahan dalam Rencana
Tata Ruang Wilayah (RTRW) Tahun 2001-2011. Terbentuknya Provinsi
Gorontalo pada tahun 2000 cukup mempengaruhi pemanfaatan lahan di Kota
Gorontalo sebagai Ibukota Provinsi, yaitu perubahan penggunaan lahan dalam hal
luas juga dalam hal fungsi. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan
penggunaan lahan di Kota Gorontalo yaitu adanya pembangunan yang
menyimpang dari Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Gorontalo, sehingga
diharapkan bagi Pemda, Investor dan Masyarakat sebagai pelaku pembangunan
mematuhi aturan-aturan yang telah ditetapkan.
Abd. Rahman As-Syakur (2011) dengan judul penelitian “Perubahan
Penggunaan Lahan di Provinsi Bali”, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa
penggunaan lahan permukiman dan sawah irigasi merupakan tipe penggunaan
lahan terluas yang mengalami perubahan, sedangkan tipe penggunaan lahan
penggaraman tidak mengalami perubahan. Gambaran spasial memperlihatkan
bahwa wilayah selatan dan tengah Provinsi Bali merupakan wilayah yang paling
mengalami perubahan lahan terluas adalah di Kabupaten Badung, dimana
perubahan lahan terjadi dari lahan non permukiman menjadi lahan permukiman.
Namun selain di Kota Depansar, Kabupaten Badung juga mengalami perubahan
berupa terjadinya penambahan luas hutan mangrove.
Robet Jaksen Sembiring (2013) dengan judul penelitian “Analisis Alih
Fungsi Lahan terhadap Pengembangan Wilayah di Kecamatan Sunggal Kabupaten
Deli Serdang” menyimpulkan bahwa berdasarkan hasil analisis tumpang tindih
antara peta penggunaan lahan tahun 2000 dengan peta penggunaan lahan tahun
2010 di Kecamatan Sunggal terdapat perubahan lahan yang cukup signifikan pada
wilayah penelitian, dimana terjadi kecenderungan perubahan penggunaan lahan
pertanian sawah menjadi penggunaan lahan non pertanian.
2.9 Kerangka Penelitian
Kerangka pemikiran merupakan alur penelitian yang dipakai oleh
seorang peneliti. Pada kerangka pemikiran ini berisi gambaran mengenai
langkah-langkah penelitian akan dilakukan. Pada penelitian Analisis Perubahan
Penggunaan Lahan di Kecamatan Stabat Kabupaten Langkat, variabel-variabel
yang akan dijadikan alat untuk bahan analisis antara lain adalah penggunaan lahan
eksisting yang telah lalu dan penggunaan lahan eksisting yang baru, serta Rencana
Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Langkat. Berdasarkan variabel-varibel
tersebut akan dilihat apakah terjadi perubahan penggunaan lahan dan bagaimana
kaitan antara hasil analisis penggunaan lahan dan rencana pola ruang yang ada
Selanjutnya hasil kesesuaian penggunaan lahan di Kecamatan Stabat
akan dikaitkan dengan daerah yang merupakan rawan bencana banjir, dan
kemudian dibuat suatu arahan penggunaan lahan untuk pengembangan wilayah
yang lebih baik. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2.3.
Gambar 2.3
Kerangka Pemikiran
KESESUAIAN PENGGUNAAN LAHAN
BERDASARKAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH
ARAHAN PENGGUNAAN LAHAN DI KECAMATAN STABAT DALAM PENGEMBANGAN WILAYAH
PENGGUNAAN LAHAN EKSISTING (LAMA)
PENGGUNAAN LAHAN EKSISTING (BARU)
POLA PENGGUNAAN RUANG (RTRW) ANALISIS PERUBAHAN
PENGGUNAAN LAHAN
2.10 Hipotesis
Hipotesis merupakan jawaban sementara dari sebuah penelitian yang
akan dilakukan oleh si peneliti. Untuk menemukan jawaban sementara maka
dilakukan penelaahan terhadap data primer dan sekunder yang ada. Dari data-data
tersebut, maka dapat dikemukakan jawaban sementara yang menjadi hipotesis dari
penelitian ini, yaitu :
1. Berdasarkan statistik, dalam kurun waktu 7 tahun terakhir luas lahan
pertanian di Kecamatan Stabat terus mengalami penurunan. Penurunan luas
lahan ini diduga telah dialih fungsikan menjadi lahan non pertanian.
2. Kecamatan Stabat merupakan Pusat Kegiatan Lokal (PKL), yang memiliki
fungsi utama sebagai pusat pemerintahan kabupaten, permukiman,
perdagangan regional, pengolahan hasil pertanian pangan dan pelayanan
masyarakat.
3. Persepsi masyarakat dengan adanya perubahan penggunaan lahan