BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Air Susu Ibu (ASI)
2.1.1. Pengertian Air Susu Ibu (ASI) Eksklusif
ASI adalah satu-satunya makanan bayi yang paling baik, karena
mengandung zat gizi yang paling sesuai dengan kebutuhan bayi yang sedang
dalam tahap percepatan tumbuh kembang (Sanyoto dan Eveline, 2008).
ASI eksklusif adalah pemberian ASI saja kepada bayi yang baru lahir
tanpa tambahan cairan lain seperti susu formula, jeruk, madu air putih, dan tanpa
tambahan makanan padat seperti pisang, papaya, bubur susu, biscuit, bubur nasi,
dan tim. Pada bayi yang sehat umumnya tidak memerlukan tambahan sampai usia
6 bulan, tetapi pada keadaan khusus dibenarkan memberikan makanan padat
kepada bayi setelah berumur 4 bulan. Misalnya, terjadi peningkatan berat badan
yang kurang atau didapatkan tanda tanda lain yang menunjukkan bahwa
pemberian ASI eksklusif tidak berjalan dengan baik (Roesli, 2005).
ASI merupakan emulsi lemak dalam protein, laktosa, dan garam organik
yang disekresi oleh kelenjar payuudara ibu. ASI tidak memiliki komposisi yang
sama dari waktu ke waktu. Komposisi ASI dibedakan menjadi tiga macam yaitu:
1. Kolostrum, ASI yang dihasilkan pada hari pertama sampai hari ketiga
setelah bayi lahit, warnanya agak kekuningan, dan lebih kuning dari ASI
biasanya, bentuknya agak kasar karena mengandung butiran lemak dan
sel-sel epitel.
2. ASI masa transisi, ASI yang dihasilkan dari hari keempat sampai hari
kesepuluh.
3. ASI Mature, ASI yang dihasilkan pada hari kesepuluh sampai seterusnya
2.1.2. Manfaat Pemberian ASI Eksklusif
Pemberian ASI eksklusif memiliki keuntungan bagi bayi, ibu, keluarga,
masyarakat, dan negara. Sebagai makanan bayi yang paling sempurna, ASI dapat
dengan mudah dicerna dan diserap karena mengandung enzim pencernaan.
Beberapa manfaat ASI sebagai berikut:
1. Bayi
Ketika bayi berumur 0-6 bulan ASI merupakan makanan utama bagi bayi,
karena mengandung sekitar 60% kebutuhan bayi. Pemberian ASI dapat
mengurangi resiko infeksi lambung dan usus, sembeli serta alergi, bayi
yang diberi ASI memiliki sistem imun yang kuat daripada bayi yang tidak
diberi ASI, bayi yang diberi ASI lebih mampu menghadapi efek penyakit
kuning. Pemberian ASI dapat mendekatkan hubungan ibu dan bayinya.
Hal ini akan berpengaruh terhadap perkembangan emosinya di masa
depan. Apabila bayi sakit, ASI merupakan makanan yang tepat karena
mudah dicerna dan dapat mempercepat penyembuhan. Pada bayi yang
premature, ASI dapat meningkatkan berat badan secara cepat dan
mempercepat pertumbuhan sel otak. Tingkat kecerdasan bayi yang diberi
ASI lebih tinggi 7-9 poin dari bayi yang tidak diberi ASI (Roesli, 2000).
2. Ibu
Isapan bayi dapat membuat rahim menciut, mempercepat kondisi ibu
untuk kembali kemasa pra kehamilan, mengurangi resiko perdarahan,
lemak yang ditimbun di sekitar panggul dan paha pada saat kehamilan
akan berpindah kedalam ASI sehingga, ibu cepat kembali langsing, resiko
ibu menyusui bayinya untuk terkena kanker rahim dan payudara lebih
kecil daripada ibu yang tidak menyusui. Pada ibu yang menyusui anaknya
langsung setelah persalinan akan mengurangi perdarahan pada saat selesai
persalinan karena pada saat ibu menyusui anaknya akan terjadi
peningkatan oksitosin yang berguna untuk kontraksi atau penutupan
2.2. Asma
2.2.1. Definisi Asma
Tidak ada definisi asma yang diterima secara umum; asma dapat
dipandang sebagai penyakit paru obstruktif, difus dengan (1) hiperreaktivitas jalan
napas terhadap berbagai rangsangan dan (2) tingginya tingkat reversibilitas proses
obstruktif, yang dapat terjadi secara spontan atau sebagai penyakit jalan napas
reaktif, kompleks asma mungkin mencakup bronchitis mengi, mengi akibat virus,
dan asma terkait atopik. Disamping bronkokonstriksi, radang merupakan faktor
patofisiologi yang penting; ia melibatkan eosinofil, monosit dan mediator imun
dan telah menimbulkan tanda alternatif bronkitis eosinofilik deskuamasi kronis.
2.2.2. Epidemiologi
Asma dapat timbul pada segala umur; 30% penderita bergejala pada
umutangani. Sebagian kecil mengalami asma berat yang berlarut-larut biasanya
lebih banyak terus-menerus daripada yang musiman; menjadikannya tidak mampu
sekolah dan mengganggu kehadirannya di sekolah, aktivitas bermain, dan fungsi
dari hari ke hari. Hubungan antara umur timbulnya asma dan prognosanya tidak
pasti; anak-anak yang paling berat terkena mulai timbul mengi selama tahun
pertama kehidupan dan mempunyai riwayat keluarga asma serta penyakit alergi
lainnya (terutama dermatitis atopik). Anak-anak ini dapat mengalami
pertumbuhan yang lambat, yang tidak terkait dengan pemberian kortikosteroid,
deformitas dada akibat hiperinflasi kronis, dan kelainan uji fungsi paru yang
menetap.
Prognosis untuk anak muda yang terkena asma biasanya baik. Sebagian
penyembuhan akhir tergantung pada pertumbuhan diameter potongan-melintang
jalan napas. Penelitian longitudinal menunjukkan bahwa sekitar 50% dari semua
anak asma sebenarnya bebas gejala dalam 10-20 tahun, tapi sering terjadi
timbul antara umur 2 tahun hingga pubertas, angka kesembuhan sekitar 50%, dan
hanya 5% yang mengalami penyakit berat. Sebaliknya dengan anak asma berat,
yang ditandai dengan penyakit kronis tergantung-steroid dengan riwayat rawat
inap di rumah sakit yang sering, jarang membaik, dan sekitar 95% menjadi orang
dewasa asmatis. Blum diketahui apakah hiperiritabilitas jalan napas mereka
pernah menghilang; respon abnormal terhadap hirupan metakolin pada penderita
yang dulunya asma ditemukan selama 20 tahun sesudah gejala-gejala telah
berkurang.
2.2.3. Faktor Risiko Asma
Baik prevalensi maupun mortalitas asma meningkat selama 2 dekade
terakhir. Penyebab kenaikan prevalensi ini tidak diketahui, tetapi beberapa faktor
yang dihubungkan dengan timbulnya asma ataupun kenaikan mortalitas telah
diketahui. Faktor-faktor risiko timbulnya asma adalah kemiskinan, ras kulit hitam,
umur ibu kurang dari 20 tahun pada saat melahirkan, berat badan kurang dari
2500 gram, ibu merokok (lebih dari setengah bungkus per hari), ukuran rumah
kecil (<8 kamar), ukuran keluarga besar (≥6 anggota), dan paparan allergen pada
masa bayi kuat (lebih dari 10µg allergen tungau debu rumah Der p 1 per gram
debu rumah yang dikumpulkan). Faktor risiko tambahan dapat meliputi seringnya
infeksi pernapasan pada awal masa kanak-kanak dan kurang optimalnya
perawatan oleh orangtua. Sensitisasi terhadap allergen hirupan dapat terjadi pada
masa bayi, tetapi sensitisasi semakin bertambah sering setelah umur 2 tahun dan
dapat ditunjukkan dari banyaknya anak setelah usia 4 tahun yang perlu
mengunjungi kamar gawat darurat karena mengi.
Faktor risiko kematian asma adalah meremehkan asma berat, menunda
pelaksanaan pengobatan yang tepat, kurangnya penggunaan bronkodilator dan
kortikosteroid, ras kulit hitam, tidak patuh terhadap nasihat untuk penanganan,
disfungsi dan stress psikososial yang dapat mengganggu kepatuhan dan kepekaan
terhadap bertambahnya penyumbatan jalan napas, sedasi serta pemaparan
skait, karena asma, yang baru saja dilalui menambah risiko kematian asma.
Penderita yang menjadi sasaran penyumbatan jalan napas berat, mendadak dan
mereka yang menderita asma kronis tergantung-steroid adalah yang terutama
berisiko tinggi untuk kematian oleh karena asma.
2.2.4. Patofisiologi Asma
Manifestasi penyumbatan jalan napas pada asma disebabkan oleh
bronkokonstriksi, hipersekresi, mucus, edema mukosa, infiltasi seluler, dan
deskuamasi sel epitel serta sel radang. Berbagai rangsangan alergi dan rangsangan
nonspesifik, akan adanya jalan napas yang hiperreaktif, mencetuskan respon
bronkokonstriksi dan radang. Rangsangan ini meliputi alergen yang dihirup
(tungau debu, tepung sari, sari kedelain, protein minyak jarak), protein sayuran
lainnya, infeksi virus, asap rokok, polutan udara, bau busuk, obat-obatan (NSAID,
antagonis reseptor ß, metabisulfit), udara dingin, dan olahraga.
Patologi asma berat adalah bronkokonstriksi, hipertrofi otot polos bronkus,
hipertrofi kelenjar mukosa, edema mukosa, infiltrasi sel radang dan deskuamasi.
Tanda-tanda patognomosis adalah Kristal Charcot-Leyden (lisofosfolipase
membrane eosinofil), spiral Cursch-mann (silinder mukosa bronchial), dan
benda-benda Creola (sel epitel terkelupas).
Mediator yang baru disintesis dan disimpan dilepaskan dari sel mast
mukosa lokal paska-ransangan nonspesifik atau pengikatan allergen terhadap
immunoglobulin (Ig) E terkait-sel dan mast spesifik. Mediator seperti histamine,
leukotrien C4, D4, dan E4 serta faktor pengaktif trombosit mencetuskan
bronkokonstriksi, edema mukosa dan respon imun. Respons imun awal
menimbulkan bronkokonstriksi, dapat diobati dnegan agonis reseptor ß2, dan
dapat dicegah dengan agen penstabil-sel mast (kromolin atau nedokromil).
Respons imun lambat terjadi 6-8 jam kemudian menghasilkan keadaan
hiper-responsif jalan napas berkelanjutan dengan infiltrasi eosinofil dan neutrofil, dapat
diobati dan dicegah dengan steroid, dan dapat dicegah dengan kromolin dan
Penyumbatan paling berat adalah selama ekspirasi karena jalan napas
intratoraks biasanya menjadi lebih kecil selama ekspirasi. Walaupun penyumbatan
jalan napas difus, penyumbatan ini tidak seragam semua di seluruh paru.
Atelektasis segmental atau subsegmental dapat terjadi, memperburuk
ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi. Hiperinflasi menyebabkan penurunan
kelenturan, dengan akibat kerja pernapasan bertambah. Kenaikan tekanan
transpulmoner, yang diperlukan untuk ekspirasi melalui jalan napas yang
tersumbat, dapat menyebabkan penyempitan lebih lanjut atau penutupan dini
(prematur) beberapa jalan napas total selama ekspirasi, dengan demikian
menaikkan risiko pneumotoraks. Kenaikan intratoraks dapat mengganggu aliran
balik vena dan mengurangi curah jantung, yang kemungkinan tampak sebagai
pulsus paradoksus.
2.2.5. Etiologi Asma
Asma merupakan gangguan kompleks yang melibatkan faktor autonom,
imunologis, infeksi, endokrin dan psikologis dalam berbagai tingkat pada
berbagai individu. Pengendalian diameter jalan napas dapat dipandang sebagai
suatu keseimbangan gaya neural dan humoral. Aktivitas bronko-konstriktor neural
diperantai oleh bagian kolinergik system saraf otonom. Ujung sensoris vagus pada
epitel jalan napas, mencetuskan reflex arkus cabang aferens, yang pada ujung
eferens merangsang kontraksi otot polos bronkus. Neurotrans-misi peptide
intestinal vasoaktif (PIV) memulai relaksasi otot polos bronkus. PIV mungkin
merupakan suatu neuropeptide dominan yang dilibatkan pada pemeliharaan
terbukanya jalan napas. Faktor humoral membantu bronkodilatasi termasuk
katekolamin endogen yang bekerja pada reseptor adrenergik-β menghasilkan
relaksasi otot polos bronkus. Bila substansi humoral local seperti histamin dan
leukotriene dilepaskan melalui reaksi yang diperantarai proses imunologis,
mereka menghasilkan bronkokonstriksi, dengan cara bekerja langsung pada otot
polos atau dengan rangsangan reseptor sensoris vagus. Adenosin yang dihasilkan
setempat, yang melekat pada reseptor spesifik dapat turut menyebabkan
Asma dapat disebabkan oleh kelainan fungsi reseptor adenilat siklase
adrenergic-β, dengan penurunan respons adrenergik. Laporan penurunan jumlah
reseptor adrenergic-β pada leukosit penderita asma dapat memberi dasar
strukutural hipo-responsivitas terhadap agonis-β. Cara lain, bertambahnya
aktivitas kolinergik pada jalan napas diusulkan sebagai defek pada asma,
kemungkinan diakibatkan oleh beberapa kelainan pada reseptor iritan, baik
intrinsic ataupun didapat, yang para penderita asma agaknya mempunyai nilai
ambang yang rendah dalam responsnya terhadap rangsangan, daripada individu
normal. Tidak ada teori yang cocok dengan semua data. Pada penderita-penderita
perseorangan biasanya sejumlah faktor turut membantu aktivitas proses asmatis
pada berbagai tingkat.
Faktor Endokrin. Asma dapat lebih buruk dalam hubungannya dngan kehamilan dan menstruasi, terutama premenstruasi, atau dapat timbul pada saat
wanita menopause. Asma membaik pada beberapa anak pubertas. Hanya sedikit
yang diketahui tentang peran faktor endokrin pada etiologi dan pathogenesis
asma. Tirotoksikosis menambah keparahan asma; mekanismenya tidak diketahui.
Faktor-faktor Psikologis. Faktor emosi dapat memicu gejala-gejala pada beberapa anak dan dewasa yang berpenyakit asma, tetapi “penyimpangan”
emosional atau sifat-sifat perilaku yang dijumpai pada abak asma tidak lebih
sering daripada anak dengan penyakit cacat yang lain. Sebaliknya, pengaruh
penyakit kronis berat seperti asma pada pandangan anaknya sendiri, pandangan
orangtuanya padanya, atau kehidupan pada umumnya, dapat merusak. Gangguan
emosi dan tingkah laku terkait lebih erat dengan pengendalian asma yang buruk
daripada keparahan serangan itu sendiri, karenanya, intervensi medis yang ahli
dapat mempunyai dampak yang penting.
2.2.6. Manifestasi Klinis Asma
Timbulnya eksaserbasi asma dapat secara akut atau diam-diam. Episode
akut paling sering disebabkan oleh pemaparan terhadap iritan seperti udara dingin
bahan kimia sederhana, misalnya aspirin atau sulfit. Bila penyumbatan jalan napas
terjadi dengan cepat dalam beberapa menit, sepertinya kebanyakan disebabkan
oleh spasme otot polos pada jalan napas besar. Eksaserbasi dipercepat oleh infeksi
virus pernapasan yang timbulnya lebih lambat, dengan frekuensi dan keparahan
batuk dan mengi yang sedikit demi sedikit bertambah selama beberapa hari.
Karena pembukaan jalan napas mengurang pada malam hari, banyak anak
menderita asma akut pada saat ini. Tanda-tanda dan gejala-gejala asma adalah
batuk, yang kedengarannya lengket dan batuk yang nonproduktif pada awal
perjalanan serangan; mengi, takipnea, dan dyspnea dengan ekspresi panjang serta
menggunakan otot-otot pernapasan tambahan; sianosis;hiperinflasi dada; tatikardi
dan pulsus paradoksus; yang mungkin dijumpai pada berbagai tingkat, tergantung
pada stadium dan keparahan serangan. Dapatdijumpai batuk tanpa mengi, atau
dijumpai mengi tanpa batuk; juga dapat dijumpai takipnea tanpa mengi.
Manifestasinya akan bervariasi tergantung pada keparahan eksaserbasi.
Bila penderita berada pada dalam disters pernapasan yang berat,
tanda-tanda utama asma, mengi, mungkin tidak mencolok; pada penderita demikian,
dapat terjadi gerakan udara yang cukup untuk menimbulkan mengi hanya sesudah
pengobatan bronkodilator, yang memberikan sebagian kelegaan dari penyumbatan
jalan napas. Napas yang pendek mungkin begitu berat, sehingga anak mengalami
kesukaran berjalan atau bahkan berbicara. Penderita dengan penyumbatan berat
bersikap duduk membungkuk, posisi duduk seperti tripod yang membuatnya lebih
mudah bernapas. Ekspirasi (khas) lebih sukar karena penutupan prematur jalan
napas ekspirasi, tetapi banyak anak yang mengeluhkan kesukaran dalam inspirasi
juga. Sering didapat nyeri abdomen terutama pada anak yang lebih muda, dan
agaknya karena penggunaan otot abdomen dan diafragma yang berlebihan. Hati
dan limpa mungkin dapar teraba karena hiperinflasi paru. Sering dijumpai muntah
dan dapat disertai pengurangan gejala sementara.
Selama penyumbatan jalan napas yang berat, usaha yang luar biasa untuk
bernapas dapat dijumpai dan anak dapat berkeringat banyak; dapat terjadi demam
berat. Diantara serangan-serangan yang buruk anak dapat bebas gejala sama sekali
dan tidak ditemui bukti adanya penyakit paru pada pemeriksaan fisik. Deformitas
dada seperti tong merupakan tanda penyumbatan jalan napas asma berat yang
kronis dan terus-menerus. Sulkus Harisson, depresi antero-lateral toraks pada
insersi diafragma, mungkin ditemui pada anak dengan retraksi berat yang
berulang. Jadi tabuh jarang ditemukan pada asma yang tanpa komplikasi,
walaupun pada asma berat. Jadi tabuh memberi kesan penyebab penyakit
penyumbatan paru kronis lainnya seperti kistik fibrosis.
2.2.7. Diagnosis Asma
Episode batuk berulang dan mengi, terutama jika diperburuk atau dipicu
oleh olahraga, infeksi virus atau alergan hirupan, sangat memberi kesan asma.
Namun, asma juga dapat menyebabkan batuk menetap pada anak tanpa riwayat
mengi karena kecepatan aliran udara tidak mencukupi untuk menimbulkan mengi,
penyumbatan jalan napas yang relatif ringan, atau pengasuh tidak mampu
mengenali mengi. Gejala-gejala yang buruk tersebut dapat dianggap berasal dari
“batuk alergi,” “bronkitis alergika,” “bronkitis mengi,” atau “bronkitis kronis”.
Uji fungsi paru sebelum dan sesudah oalhraga dapat membantu menegakkan
diagnosis asma. Pemeriksaan selama episode gejala yang berat dapat juga
membantu jika terjadi perbaikan pasca-terapi bronkodilator. Lagipula, bila diobati
dengan cara-cara yang spesifik untuk asma, dan anak yang terkena menunjukkan
perbaikan yang mencolok, memberi kesan kuat bahwa batuk tersebut merupakan
tanda asma.
Evaluasi laboratorium. Eosinophilia pada darah dan sputum terjadi pada asma. Eosinoffilia darah lebih dari 250-400 sel/mm3 adalah biasa. Sputum
penderita asma sangat kental, elastis dan keputih-putihan. Cat biru metilen-eosin
biasanya menampakkan banyak eosinophil dan granula dari sel yang terganggu.
Beberapa penyakit pada anak selain asma mungkin menyebabkan eosinophilia
superinfeksi bakteri jarang dan biakan seringkali terkontaminasi dengan
organisme orofaring. Protein serum dan kadar immunoglobulin biasanya normal
pada asma, kecuali bahwa kadar IgE mungkin bertambah.
Uji alergi kulit dan URAS (uji radioalergosorben) atau penentuan IgE spesifik secara in vitro lainnya, berguna dalam mengendali allergen lingkungan
yang secara potensial penting.
Uji tantangan inhalasi bronkus jarang sekali dilakukan untuk menjajaki arti klinik keterlibatan allergen dengan uji kulit, karena tantangan alergik dapat
menimbulkan respons asma fase lambat, prosedur ini memakan waktu dan hanya
satu allergen yang dapat diuji pada satu saat. Bila diagnosis asma tidak pasti, uji
hiper-responsivitas terhadap pengaruh bronkokon-striktif metakolin atau
histamine dapat membantu anak yang cukup tua untuk bekerja sama pada uji
fungsi paru. Uji provokatif metakolin tidak boleh dilakukan bila garis dasar fungsi
paru abnormal, respons terhadap terapi bronkodilator lebih tepat.
Respons penderita asma terhadap uji olahraga sangat khas. Lari selama
1-2 menit sering menyebabkan bronkodilatasi pada penderita dengan asma; tetapi
bila bernapas dalam udara yang kering dan relative dingin, olahraga berat yang
lama menyebabkan bronkokonstriksi yang sebenarnya pada semua subjek
asmatis. Peragaan respons abnormal terhadap olahraga ini secara diagnostic
membantu dan menolong dalam menyakinkan penderita dan orangtua mengenai
pentingnya pengobatan pencegahan. Lari pada treadmill 3-4 mil/jam dengan
kemiringan 15% serta bernapas melalui mulut selama sekurang-kurangnya 6
menit akan menimbulkan penyumbatan jalan napas pada kebanyakan penderita
dengan asma, terutama jika olahraga menyebabkan kenaikan frekuensi nadi
sampai sekurang-kurangnya 180 denyut/menit. Pengukuran fungsi paru segera
sebelum olahraga, segera sesudah olahraga, juga 5 dan 10 menit kemudian
biasanya menampakkan penurunan angka aliran ekspirasi puncak (peak expiratory
flow rate = PEFR) atau volume ekspirasi paksa (forced expiratory volume = FEV)
tidak menyebabkan penyumbatan jalan napas, uji diulangi pada hari lainnya ketika
kelembaban udara relative rendah, biasanya mendatangkan respons positif pada
penderita asma. Uji olahraga harus ditangguhkan jika terjadi penyumbatan jalan
napas yang berarti. Bila mungkin, bronkodilator dan kromolin harus dihentikan
selama sekurang-kurangnya 8 jam sebelum pengujian; teofilin lepas lambat (slow
release)jangan diberikan 12-24 jam sebelum pengujian.
Setiap anak yang diduga menderita asma tidak memerlukan
roentgenogram dada, tetapi pemeriksaan ini seringkali tepat untuk
mengesampingkan kemungkinan diagnosis lainnya ataupun komplikasi, seperti
atelektasisatau pneumonia. Corakan paru sering bertambah pada asma.
Hiperinflasi terjadi selama serangan akut dan dapat menjadi kronis apabila
penyumbatan jalan napas menetap. Atelectasis dapat terjadi sebanyak 6% anak
selama eksaserbasi akut dan sepertinya terutama melibatkan lobus media kanan, di
mana atelectasis dapat menetap selama berbulan-bulan. Roentgenogram ulangan
selama masa eksaserbasi biasanya tidak diindikasikan bila tidak ada demam; bila
tidak ada kecurigaan pneumotoraks, atau takipnea yang lebih dari 60
denyut/menit, takikardia yang lebih dari 160/menit, ronki atau mengi setempat,
atau suara pernapasan yang berkurang.
Uji fungsi paru bermanfaat dalam mengevaluasi anakyang didugaa menderita asma. Pada mereka yang diketahui menderita asma, uji demikian
berguna dalam menilai tingkat penyumbatan jalan napas dan gangguan pertukaran
gas, pada pengukuran respons jalan napas terhadap alergen dan bahan kimia yang
dihirup, atau olahraga (uji provokasi bronkus), dalam menilai respons terhadap
agen terapeutik, dan dalam mengevaluasi perjalanan penyakit jangka lama.
Penilaian fungsi paru pada asma adalah paling bermanfaat bila dibuat sebelum dan
sesudah pemberian aerosol bronkodilator, suatu prosedur yang menunjukkan
tingkat reversibiltas penyumbatan jalan napas pada saat pengujian. Kenaikan PFR
atau FEVI, sekurang-kurangnya 10% sesudah terapi aerosol, sangat memberi
dan dapat disebabkan oleh status asmatikus atau karena fungsi paru yang
mendekati-maksimum.
Pada kasus asma ringan yang dalam penyembuhan, kelainan tidak dapat
terdeteksi. Pada yang lain mungkin ditemukan berbagai kelainan. Kapasitas total
paru, kapasitas sisa fungsional, dan volume sisa bertambah. Kapasitas vital
biasanya menurun. Uji-uji dinamis aliran udara, kapasitas vital paksa (forced vital
capacity = FVC), FEVI, PFR, dan aliran ekspirasi maksimum antara 25%-75%
kapasitas vital (forced expiratory flow = FEF 25-75%) dapat juga menunjukkan
pengurangan nilai-nilai, yang kembali ke arah normal sesudah pemberian aerosol
bronkodilator.dengan tersedianya instrumen kecil, yang secara relative tidak
mahal, yang mengukur angka aliran ekspirasi puncak (PEFR) (Mini-WrightPeak
Flow Meter, Healthscan Assess Plus peak flow meter, cocok untuk memantau
angka aliran ekspirasi di rumah dua sampai tiga kali sehari. Ini memberikan
pengukuran tingkat penyumbatan jalan napas yang objektif di luar kunjungan ke
tempat praktek. Penurunan aliran ekspirasi puncak meramalkan mulainya
eksaserbasi dan mendorong intervensi dini dengan terapi obat tambahan.
Penentuan gas dan pH darah arterial adalah penting dalam evaluasi penderita asma selama masa eksaserbasi yang memerlukan perawatan di rumah
sakit. Selama masa pembaikan (remisi), tekanan parsial oksigen (PO2), tekanan
parsial karbondioksida (PCO2) dan pH mungkin normal. Pada periode bergejala,
ditemukan PO2 menurun secara teratur dan dapat menetap beberapa hari atau
beberapa minggu sesudah episode akut selesai. Penentuan saturasi oksigen dengan
oksimetri secara teratur membantu dalam menentukan keparahan eksaserbasi akut.
PCO2 biasanya rendah selama stadium awal asma akut. Ketika penyumbatan
memburuk, PCO2 naik; ini merupakan tanda yang tidak menyenangkan. pH darah
tetap normal (atau kadang-kadang sedikit alkalosis karena hiperventilasi) sampai
kapasitas penyangga (buffering) darah habis, dan kemudian terjadi asidosis.
Ketika penyumbatan jalan napas dan hipoksia menjadi lebih berat, terjadi asidosis,
baik respiratorik maupun metabolik karena masing-masing adalah asidosid
2.2.8. Diagnosis Banding Asma
. Kebanyakan anak yang menderita episode batuk dan mengi berulang
menderita asma. Penyebab lain penyumbatan jalan napas adalah malformasi
kongenital (system pernapasan, kardiovaskuler, atau gastrointestinal), benda asing
pada jalan napas atau esophagus, bronkiolitis infeksius, kistik fibrosis, penyakit
defisiensi imunologis, pneumonitis hipersensitivitas, aspergilosis bronkopulmonal
alergika, dan berbagai keadaan jarang yang mengganggu jalan napas, termasuk
tuberklosis endobronkial, penyakit jamur, dan adenoma bronkus. Amat jarang di
Amerika Serikat, eosinophilia tropika dan infeksi parasite lain yang dapat
melibatkan paru-paru dan menyerupai asma.
2.2.9. Penatalaksanaan Asma
Terapi asma mencakup konsep dasar penghindaran allergen, peningkatan
bronkodilatasi, dan mengurangi peradangan akibat mediator. Obat-obat sistemik
atau hirupan topical yang digunakan tergantung pada keparahan episode.
Dasar-dasar penghindaran allergen yang diuraikan pada pengobatan rhinitis alergika juga
membantu anak dengan asma. Hiper-reaktivitas jalan napas asmatik sebagai faktor
tambahan ditanganani dengan meminimalkan paparan terhadap iritan spesifik
seperti asap tembakau, asap dari tungku yang membakar kayu, dan gas dari
pemanas minyak tanah dan bau-bauan yang kuat seperti cat basah dan disinfektan,
dan dengan menghindari minuman dingin, perubahan suhu serta kelembaban yang
cepat. Rumat dengan udara yang dilembabkan penting pada cuaca dingin, kering
di musim salju (dingin), tetapi kelembaban relative jangan melebihi 50% karena
tungau debu rumah tumbuh dengan subur pada kelembaban yang lebih tinggi. Jika
riwayat klinik memberi kesan sensitivitas yang diperantai IgE terhadap allergen
hirupan yang dapat dihindari atau hanya dapat sebagian dihindari, imunoterapi
harus dipertimbangkan.
Terapi farmakologis merupakan pengobatan utama asma. Pemberian
oksigen dengan masker atau pipa hidung pada 2-3 L/menit diindikasikan pada
episode akut, tetapi obat-obatan yang digunakan pada terapi (agonis adrenergik β
atau aminofilin intravena) dapat mennyebabkan penurunan PO2 sementara akibat
pemburukan ketidakseimbangan ventilasi-perfusi, yang terjadi karena agen ini
menyebabkan vasodilatasi pulmonal dan kenaikan curah jantung. Selama
bertahun-tahun suntikan epinefrin merupakan terapi pilihan untuk asma akut,
tetapi sekarang aerosol bronkodilator lebih disukai.
Bila epinefrin digunakan, diberikan dosis 0,01 mL/kg larutan aqua dengan
kadar 1:1000(1,0 mg/mL). Untuk memperoleh kesembuhan optimal mungkin
diperlukan pengulangan dosis yang sama sebanyak satu atau dua kali dengan
interval 20 menit. Pada bayi dan anak kecil dosis 0,05 mL seringkali efektif. Efek
samping efinefrin yang tidak menyenangkan (pucat,tremor, cemas, palpitasi dan
nyeri kepala) sering dapat diminimalkan jika dosis yang diberikan tidak lebih dari
0,3 mL pada setiap umur. Terbutalin, agonis β yang lebih selektif, tersedia dalam
bentuk suntikan dan merupakan pengganti epinefrin. Biasanya dosis 0,01 mL/kg
dalam larutan dengan kadar 1:1000 tidak menyebabkan vasokonstriksi perifer dan
mempunyai jangka aktivitas yang lebih lama, sampai 4 jam. Dosis maksimum
terbutalin melalui suntikan subkutan adalah 0,25 mL/dosis ini dapat diulangi satu
kali jika perlu sesudah 20 menit.
Inhalasi aerosol bronkodilator dengan cepat efektif dalam melegakan
tanda-tanda dan gejala-gejala asma. Aerosol mempunyai manfaat di mana terlihat
bahwa obat yang diberikan lebih sedikit daripada yang diperlukan secara
subkutan; efek samping yang tidak enak dari obat-obat suntikan seperti epinefrin
terhindari. Lagipula, walaupun ada penyumbatan jalan napas, yang dapat
membatasi pemasukan aerosol ke jalan napas perifer, tetapi aerosol mungkin lebih
efektif daripada epinefrin dalam mengembalikan bronkokonstriksi (menjadi
normal). Larutan albuterol (Proventil, Ventolin) aman dan efektif pada dosis 0,15
mg/kg (maksimum 5 mg) diikuti dengan 0,05-0,15 mg/kg pada interval 20-30
menit sampai respons cukup. Albuterol tersedia sebagai larutan 0,5%(5 mg/mL)
yang dilarutkan dengan 2-3 mL salin normal dan sebagai unit dosis 2,5 mg yang
pada 6L/menit mencegah hipoksemia yang mungkin terkait dengan pengobatan.
Disodiumedetat dan benzalkonium klorida, yang terdapat dalam beberapa larutan
albuterol dan metaproterenol untuk nebulisasi, kadang-kadang dapat
menyebabkan bronkokonstriksi pada penderita asma; Ventolin Nebule tidak
mengandung zat-zat tersebut.
Jika respons terhadap epinefrin atau aerosol bronkodilator tidak
memuaskan, dapat diberikan aminofilin secara intravena dengan dosis 5 mg/kg
selama 5-15 menit, dengan kecepatan tidak lebih besar dari 25 mg/menit. Dosis
ini (yang akan menaikkan kadar puncak teofilin tidak lebih dari 10 mg/mL) aman
pada penderita yang belum mendapat teofilin beberapa jam sebelumnya. Jika
terdapat alas an untuk memercayai bahwa penderita mungkin telah mempunyai
kadar teofilin serum yang berarti, dosis intravena harus ditunda sampai kadar
teofilin diketahui. Sesudahnya dosis teofilin 1 mg/kg akan menambah kadar
serum sekitar.
2.3. Hubungan Pemberian ASI Eksklusif dengan Terjadinya Asma
Pada beberapa penderita yang disebut asma ekstrinsik atau alergik,
eksaserbasi terjadi setelah pemaparan terhadap faktor lingkungan seperti debu
rumah, tepungsari, dan ketombe. Seringkali, tapi tidak selalu. Kagang IgE total
maupun IgE spesifik penderita seperti ini meningkat terhadap antigen yang
terlibat. Pada penderita lainnya dengan asma yangs serupa secara klinik, tidak ada
bukti keterlibatan IgE; uji kulit negative dan kadar IgE rendah. Betuk asma ini,
yang ditemukan paling sering pada usia 2 tahun pertama dan pada orang dewasa
(asma yang timbul lambat), disebut intrinsic. Perbedaan antara asma intinsik dan
ekstrinsik mungkin pada hal buatan (artifisal), karena dasar imun pada jejas
mukosa akibat-mediator pada kedua kelompok tersebut serupa. Asma ekstrinsik
mungkin dihubungkan dengan lebih mudahnya mengenal rangsang pelepasan
mediator daripada asma intrinsik. Penderita asma dari semua umur biasanya
mempunyai kadar serum IgE yang meningkat, pada kebanyakan penderita
karena atopi, rangsangan non-spesifik kronis, yaitu reaksi imun fase lambat akibat
allergen pada sel mast menciptakan hiperreaktivitas jalan napas non-spesifik yang
lama, yang dapat menghasilkan bronkospasme tanpa adanya faktor ekstrinsik
yang dapat diketahui. Agen virus adalah pemicu infeksi asma yang paling penting.
Pada umur muda (awal) virus sinsial respiratorik (respriratory syncytial = RSV)
dan virus parainfluenza adalah yang palin sering terlibat. Infeksi virus influenza
diduga berperan penting pada umur yang semakin tua. Agen virus dapat bekerja
mencetuskan asma melalui rangsangan reseptor aferens vagus dari system
kolinergik di jalan napas. Respons IgE terhadap RSV dapat terjadi pada bayi dan
anak yang mengakibatkan RSV, tetapi tidak terjadi pada mereka yang penyakit
RSV pernapasannya tidak terkait dengan mengi. Mengi dengan infeksi RSV dapat
mengungkapkan kecenderungan terhadap asma.
Mukosa saluran cerna bayi menunjukkan kemampuan serap yang tinggi
terhadap molekul besar seperti protein utuh (misalnya protein susu sapi). Pada
bayi yang memiliki risiko tinggi alergi, maka masuknya molekul besar ini menjadi
proses pengenalan pertama dari alergen (molekul penyebab reaksi alergi). Paparan
molekul yang sama selanjutnya akan menyebabkan timbulnya gejala penyakit
alergi seperti gejala saluran cerna, eksema dan asma. Pada beberapa penelitian
memperlihatkan pemberian ASI eksklusif selama 4-6 bulan berhubungan dengan
rendahnya kejadian penyakit alergi. Penelitian yang dilakukan di Australia pada
2187 anak selama 6 tahun menyimpulkan bahwa risiko terjadinya asma berkurang
pada bayi yang mendapat ASI eksklusif.(Zakiudin Munasir dan Nia
Kurniati,2013).
Oleh karena itu, diduga ada hubungan antara pemberia ASI Eksklusif