• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Teknologi Informasi dalam Transfor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Peran Teknologi Informasi dalam Transfor"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

Peran Teknologi Informasi

dalam Transformasi Perguruan Tinggi:

Mitos atau Realitas?

oleh:

Fathul Wahid, Ph.D.

Dosen Jurusan Teknik Informatika,

Fakultas Teknologi Industri, Universitas Islam Indonesia

(2)
(3)

dalam Transformasi Perguruan Tinggi:

Mitos atau Realitas?

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Yang saya hormati

‐ Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta

‐ Bupati dan Walikota di Daerah Istimewa Yogyakarta

‐ Koordinator Kopertis Wilayah V dan Kopertais Wilayah III

‐ Ketua dan Anggota Pembina Yayasan Badan Wakaf Universitas Islam

Indonesia

‐ Ketua dan Anggota Pengawas Yayasan Badan Wakaf Universitas Islam

Indonesia

‐ Ketua dan Anggota Pengurus Yayasan Badan Wakaf Universitas Islam

Indonesia

‐ Ketua dan Anggota Presidium Universitas Islam Indonesia

‐ Senat Universitas Islam Indonesia

‐ Para Pjs. Dekan, Pjs. Wakil Dekan, Ketua dan Sekretaris Program

Pascarsarjana, Ketua dan Sekretaris Jurusan di Universitas Islam Indonesia

‐ Para Dosen dan Tenaga Kependidikan Universitas Islam Indonesia

‐ Ketua dan Pengurus Lembaga Kemahasiswaan di Universitas Islam

Indonesia

‐ Para undangan dan hadirin

(4)

Semoga sholawat dan keselamatan senantiasa mengiringi Nabi Muhammad SAW, Sang Pembebas, Sang Liberator. Nabi telah membebaskan manusia dari perilaku hewani dan pola pikir sempit yang membatasinya dalam mengembangkan potensi kemanusiaan.

Hadirin yang saya hormati

Dalam kajian sistem informasi (SI), bidang yang saya geluti, hubungan antara teknologi informasi dan transformasi atau perubahan organisasi menjadi salah satu fokus penting diskusi (Markus & Robey, 1988). Keampuhan teknologi informasi (TI) dalam transformasi organisasi seringkali diterima begitu saja (taken for granted), tanpa pertanyaan dan telaah kritis lebih lanjut. TI dianggap sebagai obat mujarab untuk banyak masalah organisasi. Tidak jarang ketika masalah yang seharusnya terpecahkan masih muncul, kita dengar komentar, “Kan sudah ada sistem informasinya?, yang mengandaikan bahwa perubahan terjadi dengan serta-merta setelah sebuah sistem dibuat dan dipasang.

Ilustrasi ini memunculkan pertanyaan yang mengusik. Apakah kehadiran TI untuk memecahkan beragam masalah organisasi, sebuah kenyataan yang terjadi ataukah hanya mitos untuk ‘ngayem-ayemi’ dan menghentikan kita mencari jawaban sebenarnya atas masalah yang ada? Bagaimana dengan konteks perguruan tinggi?

Pidato singkat ini, yang berjudul “Peran Teknologi Informasi dalam Transformasi Perguruan Tinggi: Mitos atau Realitas?”, diharapkan dapat memberikan tilikan (insight) untuk menjawab pertanyaan di atas.

(5)

tempat mereka lahir dan hidup. Bisa jadi, kita yang hidup dan banyak menghabiskan waktu di lingkungan PT mengidap ‘sindrom’ serupa. Kita mungkin lupa mengenal dan memaknai dengan serius tempat kita merentangkan ladang ibadah1

.

Hadirin yang saya hormati

Misi Perguruan Tinggi

PT mempunyai misi yang sangat mulia dalam mendorong kemajuan dan pembentukan peradaban sebuah bangsa. PT diharapkan menjadi ‘pabrik’ pengetahuan melalui aktivitas penelitian yang berkualitas (knowledge creation)2, yang kemudian disebar-luaskan

melalui proses pendidikan3

dan publikasi (knowledge dissemination), dan diaplikasikan dengan beragam program pengabdian kepada masyarakat (knowledge application)4

. Di Indonesia, ketiga misi ini dilabeli dengan Tri Darma. Di UII, satu darma lagi, dakwah Islamiyah5, ditambahkan dan dinamai Catur Darma6.

1 Hadist Nabi berikut mungkin dapat mengingatkan kita tentang hal ini. “Kun

aliman, au muta’alliman, au mustami’an, au muhibban, wa la takun khomisan, fatahlik!” yang artinya “Jadilah kamu pengajar, atau pembelajar, atau pendengar, atau pecinta, dan jangan jadi yang (golongan yang) kelima, maka kamu akan binasa.” Lihat juga nilai dasar UII dalam Statuta UII.

2 Dalam bahasa agama Islam, tujuan utama penelitian adalah menyingkap ‘ayat

kauniyah’ yang tersebar di muka bumi, untuk melengkapi ‘ayat qauliyah’ yang sudah termaktub dalam teks suci Al-Quran.

3 Tiga prinsip dalam pendidikan Islam: (1) tarbiyah (to grow, increase), (2) ta'dib (to be refined, disciplined, cultured), dan (3) ta'lim (to know, be informed, perceive, discern) relevan untuk didiskusikan lebih lanjut (Halstead, 2004).

4 Frasa “ilmu amaliah dan amal ilmiah” dalam misi UII relevan untuk konteks ini.

5 Pelaksanaan darma ini harus sangat hati-hati supaya tidak terjebak dalam

formalisme dan simbolisme keberagamaan yang sangat mungkin mengurangi keikhlasan dan mendangkalkan arti dakwah.

6 Karena nama ‘Catur Darma’ bersifat sakral, ada baiknya dipertimbangkan

(6)

Meski tidak selalu mudah dilakukan, misi tersebut juga bukan sesuatu yang mustahil dicapai. Dalam praktik, apa yang kita idealkan mewujud dalam konteks PT tidak selamanya terjadi. Sebelum diskusi lebih lanjut, mengenal PT dengan lebih baik dan dengan pikiran terbuka perlu dilakukan. Pemahaman yang membumi penting dilakukan untuk dapat merumuskan beragam strategi kontekstual untuk mencapai misi mulia. Berikut ada dua karakteristik PT yang perlu kita renungkan: anarki yang terorganisasi (organized anarchy) (Cohen et al., 1972) dan sistem yang longgar (a loosely coupled system) (Weick, 1976).

Hadirin yang saya hormati

Keunikan Perguruan Tinggi

(7)

sudut pandang operasional “tidak mengetahui” apa yang sedang dilakukan. Mahasiswa menginginkan belajar dengan gaya dan ritme mereka sendiri, dosen mengajar dengan materi dan metode yang diminati (seperti seniman), dan tenaga kependidikan menginginkan bekerja dengan ukurannya masing-masing.

Selanjutnya, tilikan yang ditawarkan oleh Weick (1976) 38 tahun lalu, nampaknya masih relevan kita gunakan untuk memahami konteks PT dengan lebih baik. Dia menyebut PT sebagai sistem yang longgar (a loosely coupled system), hubungan antarelemen di dalamnya sangat renggang. Di dalam sistem yang longgar, elemen-elemennya saling mempengaruhi “secara tiba-tiba (daripada kontinu), kadang-kadang (daripada konstan), dapat diabaikan (daripada signifikan), tidak langsung (daripada langsung), dan memerlukan waktu (daripada seketika)” (Weick, 1982, h. 380)—dikutip dalam Orton dan Weick (1990)7

. Hubungan yang longgar ini mewujud dalam banyak tingkat, mulai dari individu, sub-organisasi, aktivitas, intensi, dan tindakan (Orton & Weick, 1990). Karenanya, dalam sistem seperti ini, terbentuk struktur otoritas yang menyebar dan fragmentasi internal ((Lockwood, 1985)—dikutip oleh (Pollock & Cornford, 2004)).

Hubungan yang longgar tidak selalu jelek, dan dalam banyak kasus justru diharapkan. Hal ini dapat meningkatkan kepuasan anggota organisasi dan adaptabilitas organisasi atau kelincahan dalam merespon perubahan lingkungan (Orton & Weick, 1990).

Dalam konteks seperti ini, anggota organisasi belajar dan berubah dengan cara imitasi. Hal ini tidak akan berjalan dengan baik bila rasa saling percaya belum tumbuh. Karenanya, civitas academica

7 Jika terjemahan dalam bahasa Indonesia ini membingungkan karena

(8)

harus dilihat sebagai manusia dan bukan mesin produksi. Tanpa mengabaikan prosedur rasional yang disepakati (hubungan mekanistik), hubungan informal (organik)8

antar anggota organisasi menjadi sangat penting. Semangat kebersamaan, kolegialitas, atau silaturahmi antarelemen mutlak diperlukan sebagai perekat.

Terlepas dari diskusi dan debat yang dapat dimunculkan dari tilikan-tilikan di atas, karakteristik unik tersebut di atas, tentu perlu diperhatikan dalam manajemen PT. Karakteristik tersebut mengirim pesan bahwa ketidak-teraturan (messiness) organisasi, seperti sistem yang longgar, dalam tingkat tertentu perlu diakomodasi (Abrahamson & Freedman, 2013), terutama ketika keteraturan ‘berbiaya’ sangat mahal, tidak hanya dari sisi finansial, tetapi lebih-lebih juga dari sisi non-finansial, seperti kenyamanan bekerja yang tergadai, ruang kreativitas yang terpangkas, dan adaptabilitas yang terbatasi.

Metafor yang paling tepat untuk menggambarkan sistem yang longgar ini adalah seperti memimpin pelayaran dengan kapal layar yang memanfaatkan kekuatan angin dan ombak, dan bukan seperti memimpin kapal mesin. Angin dan ombak ibarat kekuatan dari elemen-elemen PT yang harus disinergikan untuk mencapai tujuan. Kemampuan manajerial dan kepemimpinan yang kuat menjadi syarat mutlak, bukan untuk menyeragamkan tetapi untuk memimpin orkestrasi dari simfoni. Sebagai metafor, semua anggota organisasi sangat mungkin tidak mampu memainkan instrumen musik yang sama, dan seperti konduktor, tugas pemimpinlah untuk membuat mereka berada dalam tangga nada yang sama. Tanpa ini, PT dapat oleng dan tiba-tiba terdampar di sebuah situasi yang tidak diinginkan oleh semua.

8 Diskusi menarik dan lebih detail tentang sistem mekanistik dan organik dapat

(9)

Perspektif tersebut relevan diaplikasikan dalam manajemen TI. Bagaimana kita memposisikan TI, akan dipengaruhi dan mempengaruhi oleh konteks PT. Beragam mazhab dapat ditemukan dalam literatur untuk mengkonseptualisasi hubungan antara TI dan konteks sosial tempat implementasinya.

Hadirin yang saya hormati

Mazhab Konseptualisasi Awal

Mazhab pertama adalah technological determinism yang mempercayai bahwa TI mempunyai dampak spesifik dan menyebabkan perubahan organisasi secara deterministik (Gallivan & Srite, 2005). Menurut mazhab ini, tindakan tidak dilihat sebagai hasil dari pilihan sadar dan terencana, tetapi merupakan dampak dari tekanan eksternal di luar kendali aktor organisasi (Markus & Robey, 1988). Mazhab ini telah ditolak oleh sebagian besar cendekiawan (scholars) sistem informasi9 karena terlalu simplistis

(Gallivan & Srite, 2005).

Mazhab kedua adalah organizational imperative yang mengasumsikan adanya pilihan tidak terbatas atas TI dan kendali atas konsekuensi dari penggunaan TI (Gallivan & Srite, 2005; Markus & Robey, 1988). TI dianggap sebagai kakas (tool) yang dapat digunakan untuk mencapai perubahan dalam praktik organisasi yang diinginkan oleh manajer (Markus, 1983). Mazhab ini mempunyai masalah karena fakta di lapangan menunjukkan bahwa adopsi TI tidak dapat sepenuhnya dikendalikan. Mazhab ini pun sekarang ditolak oleh banyak cendekiawan sistem informasi karena terlalu simplistis karena tidak memungkinkan pengguna TI untuk berinisiatif (memainkan keagenannya), menafikan peluang-peluang yang muncul di lapangan, dan menolak kemungkinkan bahwa TI

9 Sistem informasi di sini adalah sebuah disiplin yang, secara singkat, mempelajari

(10)

yang digunakan dapat ‘menyimpang’ seiring berjalannya waktu (Gallivan & Srite, 2005; Markus & Robey, 1988).

Hadirin yang saya hormati

Mazhab Ketiga

Untuk mengatasi kelemahan kedua mazhab konseptualisasi di atas, diperkenalkan mazhab ketiga, emergent perspective, yang saat ini diadopsi oleh sebagian besar cendekiawan sistem informasi (Gallivan & Srite, 2005; Markus & Robey, 1988). Mazhab ini mempercayai bahwa penggunaan dan dampak dari penggunaan TI, muncul (emerge) dari interaksi sosial yang kompleks dan tidak dapat diramalkan sebelumnya (Markus & Robey, 1988). Mengapa dapat seperti ini? Dalam bahasa Pfeffer (1982), sebagaimana dikutip oleh Markus dan Robey (1988), hal ini terjadi “karena partisipasi dalam pengambilan keputusan organisasi selain tersegmentasi juga tidak kontinu, karena preferensi berkembang dan berubah sejalan dengan waktu, dan karena interpretasi atas hasil dari serangkain tindakan seringkali problematik; perilaku tidak dapat diprediksi secara a priori, baik berdasar intensi dari aktor individu maupun kondisi lingkungan” (Pfeffer, 1982, h. 9).

(11)

diinginkan penggunanya (Leidner & Kayworth, 2006). Memang nilai yang berbeda tidak selamanya bertentangan, tetapi konflik yang terjadi karena perbedaan nilai ini perlu dikelola dengan bijak, jika tidak ingin menjadi kontraproduktif.

Hadirin yang saya hormati

Mencari Penjelasan

Selain itu, alasan sebuah organisasi dalam mengadopsi TI tidaklah tunggal. Hal ini dipengaruhi oleh tekanan isomofik yang menjadikan PT cenderung seragam dalam penggunaan TI. Teori institusional (institutional theory) memberikan inspirasi kepada kita, bahwa tidak selamanya manusia rasional dalam mengambil keputusan (DiMaggio & Powell, 1983). Pertama, beberapa keputusan didasarkan pada tekanan koersif (coercive pressures) dari otoritas lebih tinggi yang bersifat memaksa dan tidak bisa ditawar (DiMaggio & Powell, 1983). Meskipun terpaksa, sebuah organisasi harus mengadopsi sistem yang ada. Peraturan atau kebijakan otoritas yang lebih tinggi bersifat membatasi (constraining) (McKinley et al., 1995).

Kedua, tidak jarang keputusan diambil karena tekanan mimetik (mimetic pressures) yang hanya karena ingin sama dengan organisasi lain tanpa proses refleksi dan pembelajaran yang memadai (DiMaggio & Powell, 1983). Banyak organisasi mengadopsi sebuah solusi TI karena sedang banyak organisasi lain mengadopsi solusi serupa dan karenanya menjadi tren. Ini mirip dengan proses kloning (cloning) (McKinley et al., 1995).

(12)

Saya melihat, tekanan-tekanan ini relevan untuk memotret dan memahami hubungan antara TI dan perubahan organisasi dalam konteks PT. Tekanan-tekanan inilah yang menjelaskan bahwa tidak jarang penggunaan TI, dan juga inisiatif yang lain, ‘hanya’ untuk mendapatkan legitimasi atau pengakuan dari pihak lain, dan dalam praktik tercerabut (decoupled) dari proses bisnis sehari-hari.

Di lapangan, beragam ‘pola penggunaan’ (enactment) TI dapat ditemukan. Ini yang disebut oleh Orlikowski (2000) dengan nosi

technology-in-practice yang didefinisikan sebagai “serangkaian aturan dan sumberdaya yang disusun (kembali) dalam keterlibatan yang berulang antara manusia dengan teknologi yang digunakan”10

(Orlikowski, 2000, h. 407). TI yang dikembangkan pun tidak selalu diterima dengan ‘hati lapang’ oleh semua anggota organisasi. Ada sebagian yang merasa diuntungkan, ada yang merasa terancam atau bahkan terintimidasi. Ini adalah gambaran kenyataan, yang seringkali tidak sesederhana yang kita bayangkan. Pemahaman tentang beragam pola penggunaan berikut, berguna untuk menjelaskan mengapa sebuah solusi TI tidak selalu digunakan oleh anggota organisasi seperti yang diinginkan oleh desainernya.

Yang pertama, pola penggunaan inertia ketika TI digunakan untuk memperkuat atau melestarikan status quo atau kepentingan pengambil keputusan. Anggota organisasi mungkin memilih tidak menggunakan TI yang dikembangkan atau menggunakannya tetapi setengah hati (Boudreau & Robey, 2005). Kedua, pola penggunaan

application, ketika aktor menggunakan TI untuk mendukung kolaborasi, meningkatkan produktivitas personal, memecahkan masalah bersama, dan mendukung proses Orlikowski (2000).

10 Jika terjemahan di atas membingungkan, berikut versi asli dalam bahasa

(13)

Ketiga, pola penggunaan change, yang dipilih untuk mentransformasikan status quo dengan melakukan improvisasi dalam penggunaan teknologi (Orlikowski, 2000). Ada proses pembelajaran dalam pola yang terakhir ini, yang oleh Boudreau dan Robey (2005) disebut dengan pembelajaran terimprovisasi (improvised learning). Namun, pilihan terakhir ini tidak selamanya hadir sebagai sebuah kenyataan, karena kemerdekaan dalam penggunaan (freedom of enactment) yang terbatasi (Merschbrock & Wahid, 2013), seperti oleh tekanan koersif yang bersifat memaksa.

Karena beragam pola penggunaan ini dan hubungan terjalin-berpilin antara TI dan konteks sosial, seperti telah disinggung di atas, tidak jarang, adopsi TI memunculkan konsekuensi yang tidak diinginkan (unintended consequences). Tidak semua perubahan dapat diantisipasi di depan (anticipated changes). Banyak perubahan yang muncul ketika proses berjalan (emergent changes). Hal ini tidak selalu negatif (Orlikowski & Hofman, 1997). Hal ini dapat terjadi karena dipaksa oleh lingkungan yang berubah atau munculnya konsekuensi yang tidak diperkirakan sebelumnya (Setyono et al., 2014).

(14)

Hadirin yang saya hormati

Catatan Penutup

Realitas adalah hasil konstruksi sosial (socially constructed) yang melibatkan banyak aktor yang seringkali tidak steril dari kepentingan yang berbeda, dan bahkan bertentangan. Sekali lagi, penting bagi kita untuk memahami bahwa TI bukanlah obat mujarab untuk semua masalah organisasi. Karenanya, jika TI dianggap sebagai solusi, dalam mendesain, seharusnya pertanyaan pertama yang wajib diajukan adalah: untuk kepentingan apa atau siapa? Kesepakatan jawaban atas pertanyaan ini akan memunculkan kesadaran kolektif (collective awareness) yang selanjutnya menjadi perekat dan landasan (kalimatun sawa, common denominator) bergerak.

Untuk mendukung hal tersebut, diperlukan aktor-aktor yang memperkenalkan ide-ide cemerlang (hidayah)11, menginisiasi dan

mempimpin perubahan. Penyuntikan nilai yang tepat menjadi sangat penting di sini untuk menghindarkan dari jebakan proses bisnis yang mekanistik dan tidak humanis. Jika tidak, keampuhan TI hanya akan menjadi mitos, dan perubahan organisasi tidak akan terinstitusionalisasi12, karena ide-ide tersebut tercerabut (decoupled)

dari proses bisnis sehari-hari, dan hanya menjadi alat mendapatkan legitimasi dan terjebak pada seremoni. Dalam bahasa pesantren,

wujuduhu ka ‘adamihi, adanya tidak menggenapkan atau mengganjilkan. Tentu ini bukan sesuatu yang kita inginkan.

11 Ide-ide cemerlang, sebagaimana hidayah, harus diusahakan dengan serius.

Ayat 69 dari Surat Al-Ankabut menginspirasi ini: “Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.”

12 Sebuah praktik organisasi disebut terinstitusionalisasi jika secara umum

(15)

Dalam konteks manajemen TI, berbekal beragam konsep dan pengalaman di atas, saya ingin membuka diskusi bagaimana mendesain TI yang menggerakkan dan membahagiakan, bukan TI yang menakutkan dan keampuhannya hanya menjadi mitos, karena tidak dibarengi dengan perubahan organisasi.

Hadirin yang saya hormati

Selama saya membacakan pidato ini, saya yakin, hadirin tidak sepenuhnya sependapat dengan poin-poin yang disampaikan. Karena saya ingin membuka diskusi, mendapatkan kesepakatan bukanlah tujuan saya menulis pidato ini.

Namun demikian, saya yakin, untuk poin-poin berikut, hadirin sepakat dengan saya.

Sudah merupakan sunnatullah bahwa sebuah kemajuan tak akan mewujud tanpa perubahan, meskipun perubahan tidak selalu menuju kebaikan. Perubahan mengharuskan kita hijrah dari zona nyaman kita. Untuk itu perlu gerakan bersama. Hanya menjadi komentator tanpa mau ‘bertangan kotor’, bukanlah pilihan bijak. Hanya senang mengkritisi tanpa berkontribusi, juga bukan hal yang patut. Apalagi hanya mempunyai hobi mengeluh tanpa mau berpeluh.

Kalau sampai saat ini kita masih terlelap dalam zona nyaman kita, tujuh ayat pertama Surat Al-Muddatstsir berikut nampaknya dapat dijadikan inspirasi untuk bergerak ke depan. Berikut adalah artinya: 1. Hai orang yang berkemul (berselimut)!

2. Bangunlah, lalu berilah peringatan! 3. Dan Tuhanmu agungkanlah! 4. Dan pakaianmu bersihkanlah! 5. Dan perbuatan dosa tinggalkanlah!

(16)

7. Dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu, bersabarlah!

Akhirnya, saya mengucapkan selamat milad ke-71. Semoga Allah selalu memudahkan UII dan segenap civitas academicanya dalam menjalankan misi mulia yang diemban oleh PT, dengan landasan nilai-nilai ketuhanan dan profetik yang abadi (perennial).

Wabillahit taufiq wal hidayah, warridlo wal inayah. Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Referensi

Abrahamson, E., & Freedman, D. H. (2013). A Perfect Mess: The Hidden Benefits of Disorder. New York: Little, Brown and Company.

Avgerou, C. (2000). IT and organizational change: An institutionalist perspective. Information Technology and People, 13(4), 234-262.

Boudreau, M.-C., & Robey, D. (2005). Enacting integrated information technology: A human agency perspective. Organization Science 16(1), 3-18.

Cohen, M. D., March, J. G., & Olsen, J. P. (1972). A garbage can model of organizational choice. Administrative Science Quarterly, 17(1), 1-36. DiMaggio, P. J., & Powell, W. W. (1983). The iron cage revisited: Institutional

isomorphism and collective rationality in organizational fields. American Sociological Review, 48(2), 147-160.

Gallivan, M., & Srite, M. (2005). Information technology and culture: Identifying fragmentary and holistic perspectives of culture. Information and Organization, 15(4), 295-338.

Halstead, J. M. (2004). An Islamic concept of education. Comparative Education,

40(4), 517-529.

Henriksen, H. Z., & Mahnke, V. (2005). E-procurement adoption in the Danish public sector. Scandinavian Journal of Information Systems, 17(2), 5-26. Lee, A. S. (2010). Retrospect and prospect: Information systems research in the

last and next 25 years. Journal of Information Technology, 25(4), 336-348. Leidner, D. E., & Kayworth, T. (2006). A review of culture in information

systems research: Toward a theory of information technology culture conflict. MIS Quarterly, 30(2), 357-399.

(17)

Lockwood, G. (1985). Universities as organizations. Dalam G. Lockwood & J. Davies (Eds.), Universities: The Management Challenge. Windsor: NFER-Nelson Publishing.

Markus, M. L. (1983). Power, politics, and MIS implementation. Communications

of the ACM, 26(6), 430-444.

Markus, M. L., & Robey, D. (1988). Information technology and organizational change: Causal structure in theory and research. Management Science, 34(5), 583-598.

McKinley, W., Sanchez, C. M., Schick, A. G., & Higgs, A. C. (1995). Organizational downsizing: Constraining, cloning, learning. Academy of Management Executive, 9(3), 32-44.

Merschbrock, C., & Wahid, F. (2013). Actors’ freedom of enactment in a loosely coupled system: The case of BIM use in construction projects. Proceedings of the European Conference on Information Systems (ECIS) 2013, Utrecht, The Netherlands, 6-8 June.

Morgan, G. (1996). Images of Organization. California: Sage Publication.

Orlikowski, W. J. (2000). Using technology and constituting structures: A practice lens for studying technology in organizations. Organization Science, 11(4), 404-428.

Orlikowski, W. J., & Hofman, J. D. (1997). An improvisational model of change

management: the case of groupware technologies. Sloan Management

Review, Winter, 11-21.

Orlikowski, W. J., & Iacono, C. S. (2001). Desperately seeking the “IT” in IT research—A call to theorizing the IT artifact. Information Systems Research, 12(2), 121-134.

Orton, D., & Weick, K. E. (1990). Loosely coupled systems: A

reconceptualization. Academy of Management Review, 15(2), 203-223.

Pfeffer, J. (1982). Organizations and Organization Theory. Marshfield, MA: Pitman.

Pollock, N., & Cornford, J. (2004). ERP systems and the university as a “unique” organisation. Information Technology & People, 17(1), 31-52.

Porra, J. (1999). Colonial systems. Information Systems Research, 10(1), 38-69. Setyono, P., Wahid, F., & Meidawati, N. (2014). Unintended benefits of

adopting an ERP system in an Indonesian university. Dalam N. Panchaud & E. Marclay (Eds.), SAP for Universities. Lausanne, Switzerland: EPFL Press.

(18)

Tolbert, P. S., & Zucker, L. G. (1983). Institutional sources of change in the formal structure of organizations: The diffusion of civil service reform, 1880-1935. Administrative Science Quarterly, 28, 22-39.

Walsham, G. (2012). Are we making a better world with ICTs? Reflections on a future agenda for the IS field. Journal of Information Technology, 27(2), 87-93.

Weick, K. E. (1976). Educational organizations as loosely coupled systems.

Administrative Science Quarterly, 21(1), 1-19.

Weick, K. E. (1982). Management of organizational change among loosely coupled elements. Dalam P. S. Goodman (Ed.), Change in Organizations

(19)

BIODATA

Nama: Fathul Wahid

Tempat, tanggal lahir: Jepara, 26 Januari 1974

Pekerjaan: Dosen Jurusan Teknik Informatika

Universitas Islam Indonesia

Status: Menikah, dengan dua putri

E-mail: fathul.wahid@uii.ac.id

Pendidikan

1. Ph.D. dari Department of Information Systems, University of Agder, Norway

(2013)

2. M.Sc. dari Department of Information Systems, University of Agder, Norway

(2003)

3. S.T. dari Jurusan Teknik Informatika, Institut Teknologi Bandung (1997)

Bidang penelitian Technology, Berlin Heidelberg: Springer, 328-337.

2. Setyono, P., Wahid, F., & Meidawati, N. (2014). Unintended Benefits of Adopting an ERP System in an Indonesian University. Dalam N. Panchaud & E. Marclay (Eds.), SAP for Universities. Lausanne, Switzerland: EPFL Press.

3. Wahid, F., & Sein, M. K. (2014). Steering Institutionalization through Institutional Work: The Case of an eProcurement System in Indonesian Local Government. Proceedings of the 47th Hawaii International Conference on System Sciences (HICSS) 2014, Hawaii, 6-9 Januari.

4. Wahid, F. (2013). The Antecedents and Impacts of a Green eProcurement

Infrastructure: Evidence from the Indonesian Public Sector. International Journal of Internet Protocol Technology, 7(4), 210-218.

5. Wahid, F., & Indarti, N. (2013). Facebook, Online Social Network, and the

(20)

6. Wahid, F., Ramdhani, N., & Wiradhany, W. (2013). More Gaining and Less Gaming? The Internet Use in Indonesia After One Decade. Dalam Gaol, F. L., Kadry, K., Taylor, M., & Li, P. S. (Eds.). Recent Trends in Social and Behaviour Sciences. Leiden, The Netherlands: CRC Press.

7. El-Gazzar, R., & Wahid, F. (2013). An Analytical Framework to Understand

the Adoption of Cloud Computing: An Institutional Theory Perspective. Proceedings of the International Conference on Cloud Security Management (ICCSM) 2013, Seattle, USA, 17-18 Oktober.

8. Wahid, F., & Prastyo, D. (2013). Politicians’ Trust in the Information Technology Use in General Election: Evidence from Indonesia. Procedia Technology, 11, 374–379.

9. Merschbrock, C., & Wahid, F. (2013). Actors’ Freedom of Enactment in a

Loosely Coupled System: The Case of BIM Use in Construction Projects.

Proceedings of the European Conference on Information Systems (ECIS) 2013, Utrecht, The Netherlands, 6-8 Juni.

10. Wahid, F. (2013). A Triple-Helix Model of Sustainable Government

Information Infrastructure: Case Study of the eProcurement System in the Indonesian Public Sector. Dalam H. Linger, J. Fisher, A. Barnden, C. Barry, M. Lang, C. Schneider (Eds.) Building Sustainable Information Systems, Berlin Heidelberg: Springer.

11. Wahid, F. (2013). Translating the Idea of the eGovernment One-Stop Shop

in Indonesia. Dalam Khabib, M., Neuhold, E. J., Tjoa, A M., Weippl, E., and You, I (Eds). Information & Communication Technology. Berlin Heidelberg: Springer, 1-10.

12. Wahid, F., & Sein, M. K. (2013). Institutional Entrepreneurs: The Driving Force in Institutionalization of Public Systems in Developing Countries. Transforming Government: People, Process and Policy, 7(1), 76-92.

13. Wahid, F. (2013). Themes of Research on eGovernment in Developing

Countries: Current Map and Future Roadmap. Proceedings of the 46th Hawaii

International Conference on System Sciences (HICSS) 2013, Hawaii, 7-10 Januari.

14. Wahid, F., & Furuholt, B. (2012). Understanding the Use of Mobile Phones

in the Agricultural Sector in Rural Indonesia: Using the Capability Approach as Lens. International Journal of Information and Communication Technology, 4(2/3/4), 165-178.

15. Indarti, N., & Wahid, F. (2012). University-Industry Joint-Research: How does the Indonesian Industry Perceive It?. The Triple Helix 10th International Conference 2012, Bandung, Indonesia, 8-10 Agustus.

16. Wahid, F. (2012). The Green eProcurement Infrastructure in the

(21)

17. Wahid, F. (2012). Institutionalization of Public Systems in Developing Countries: A Case Study of eProcurement in Indonesian Local Government.

Proceedings of the Transforming Government Workshop 2012, Brunel University, West London, UK, 8-9 Mei.

18. Wahid, F. (2012). The Current State of Research on eGovernment in

Developing Countries: A Literature Review. Dalam H. J. Scholl, M. Janssen,

M. A. Wimmer, C. E. Moe, L. S. Flak (Eds.). Electronic Government. Berlin

Heidelberg: Springer, 1-12.

19. Wahid, F., (2011). Is There a Bidirectional Relationship between

e-Government and Anti-Corruption Practices?: Analysis of Cross-Country

Data. Proceedings of the International Conference on Informatics for

Development 2011, Yogyakarta, Indonesia, 26 November.

20. Wahid, F., Sein, M. K., & Furuholt, B. (2011). Unlikely Actors: Religious Organizations as Intermediaries in Indonesia. Proceedings of the 11th International Conference on Social Implications of Computers in Developing Countries, Kathmandu, Nepal, 22-25 Mei.

21. Wahid, F. (2011). Explaining History of e-Government Implementation in Developing Countries: An Analytical Framework. Dalam M. Janssen et al. (Eds.). Electronic Government. Berlin Heidelberg: Springer, 38–49.

22. Wahid, F. (2011). Explaining Failure of E-Government Implementation in Developing Countries: A Phenomenological Perspective. Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Informasi 2011, Yogyakarta, 17-18 Juni.

23. Wahid, F., & Setyono, P. (2010). Dealing with the Misfits in an ERP

Implementation: Experiences from a University Context in

Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Informasi 2010, Yogyakarta, 19 Juni.

24. Wahid, F. (2010). Examining Adoption of e-Procurement in Public Sector using the Perceived Characteristics of Innovating: Indonesian Perspective. Dalam A. B. Sideridis & Ch. Z. Patrikakis (Eds.). e-Democracy, Berlin Heidelberg: Springer, 64–75.

25. Kristiansen, S., Wahid, F., & Furuholt, B. (2008). Gaming or gaining? Internet café use in Indonesia and Tanzania. The International Information & Library Review, 40(2), 129–139.

26. Furuholt, B., & Wahid, F. (2008). E-government Challenges and the Role of Political Leadership in Indonesia: the Case of Sragen. Proceedings of the 41st Hawaii International Conference on System Sciences (HICSS) 2008, Hawaii, 7-10 Januari.

27. Wahid, F. (2007). Using the Technology Adoption Model to Analyze

Internet Adoption and Use among Men and Women in Indonesia. The

(22)

28. Kristiansen, S., Wahid, F., & Furuholt, B. (2006). Investing in Knowledge?

Information Asymmetry and Indonesian Schooling. International Information

& Library Review, 38(2), 192–204.

29. Wahid, F., Furuholt, B., & Kristiansen, S. (2006). Internet for

Development? Patterns of Use Among Internet Cafe Customers in Indonesia. Information Development, 22(4), 278-291.

30. Kristiansen, S., Kimeme, J., Mbwambo, A., & Wahid, F. (2005). Information

Flows and Adaptation in Tanzanian Cottage Industries. Entrepreneurship and

Regional Development, 17, 365-388.

31. Furuholt, B., Kristiansen, S., & Wahid, F. (2005). The Spread of Information in a Developing Society: A Study of Internet Cafe Users in Indonesia. The Electronic Journal on Information Systems in Developing Countries, 22, 1-16.

32. Kristiansen, S., Furuholt, B., & Wahid, F. (2003). Internet Cafe Entrepreneurs: Pioneers in Information Dissemination in Indonesia. The International Journal of Entrepreneurship and Innovation, 4(4), 251-263.

Buku

1. Wahid, F. (2012). Tentang Menjadi Dosen. Jakarta: nulisbuku.com.

2. Wahid, F., & Dirgahayu, T. (Eds.) (2012). Pembelajaran Teknologi Informasi di Perguruan Tinggi: Perspektif dan Pengalaman. Yogyakarta: Graha Ilmu. 3. Wahid, F. (2010). Servant Leadership: Refleksi Kepala Pelayan Kampus.

Yogyakarta: Navila Idea.

4. Kusumadewi, S., Fauzijah, A., Khoiruddin, A. A., Wahid, F., Setiawan, M.

A., Rahayu, N. W., Hidayat, T., & Prayudi, Y. (2009). Informatika Kesehatan. Yogyakarta: Graha Ilmu.

5. Wahid, F. (2007). Teknologi Informasi dan Pendidikan. Yogyakarta: Ardana Media dan Rumah Produksi Informatika.

6. Wahid, F. (2004). E-Dakwah: Dakwah Melalui Internet, Yogyakarta: Gava Media.

7. Wahid, F. (2004). Dasar-dasar Algoritma dan Pemrograman, Yogyakarta:

Penerbit Andi.

Referensi

Dokumen terkait

proses caring yang terdiri dari bagaimana perawat mengerti kejadian yang berarti di dalam hidup seseorang, hadir secara emosional, melakukan suatu hal kepada orang. lain

Kode Barang Asal-usul Cara Nomor Bahan Nomor Register Merk / Type Ukuran /cc Nama Barang /.

untuk pengujian selanjutnya digunakan file "buku.xml" yang mempunyai 7jenis node yang dapat ditampilkan dalam tree sehingga dapat dikena, proses manipulasi.. Pengujian

“Ketentuan mengenai pemutusan hubungan kerja dalam undang-undang ini meliputi pemutusan hubungan kerja yang terjadi di badan usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden lintas ekosistem dan pola musim mempersepsi tiga jenis kejadian alam akibat perubahan iklim secara signifikan yang

ASMITA NATU :IYYA TAWWA GURU GURU LAGI CERITA IH BILANG ITU TAWWA ANGGA BERUBAH TOTAL MIH MAKIN AKTIF MIH BELAJAR TIDAK PERNAH ALFA LAGI DIKELAS. NUR FITRIA :MEMANG NAH BANYAK

Analogi berarti persamaan atau perbandingan. Berpikir analogis adalah berpikir dengan jalan menyamakan atau memperbandingkan fenomena- fenomena yang biasa/pernah

communication fasilitator (fasilitator komunikasi), dan problem solving process fasilitator (fasilitator proses pemecahan masalah) pada program employee