• Tidak ada hasil yang ditemukan

Unduhan – PPPM Now

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Unduhan – PPPM Now"

Copied!
200
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA

YANG KRONIS, SISTEMIK, DAN MELUAS DI INDONESIA

Noer Fauzi Rachman

*

Abstract: Abstract: Abstract: Abstract:

Abstract: The article offers an framework to identify causes, effects, perpetuating conditions, and structural roots of agrarian conflicts. Systemic agrarian conflicts were defined as everlasting contradictory claims on who had the rights over access to lands, natural resources, and territories between rural community and concession holders in the business of plantation, forestry, mining, infrastructure, etc. The conflicting claims are perpetuated by significant efforts to delegitimize the existence of others’ claims. Being different from various mainstream analysis promoting global market as opportunity, I prefer to use what Ellen M. Wood notion of “market-as-imperative”. Using the illustration of the expansion of oil palm plantation in Indonesia, the article shows the consequence of global capitalist markets to the emergence of the agrarian conflicts.

Keywords KeywordsKeywords Keywords

Keywords: agrarian conflicts, market, agrarian capitalism. Intisari:

Intisari: Intisari: Intisari:

Intisari: Artikel ini menawarkan sebuah kerangka penjelas untuk memahami sebab, akibat, kondisi yang melestarikan, dan akar-akar masalah dari konflik agraria struktural. Konflik agraria struktural didefinisikan sebagai pertentangan klaim yang berkepanjangan mengenai siapa yang berhak atas akses terhadap tanah, sumberdaya alam, dan wilayah antara satu kelompok rakyat pedesaan dengan badan penguasa dan/atau pengelola tanah yang bergerak dalam bidang produksi, ekstraksi, konservasi, dan lainnya. Pertentangan klaim tersebut disertai pula dengan upaya dan tindakan menghilangkan eksistensi, legitimasi, atau daya berlaku dari klaim pihak lain. Berbeda dengan banyak analisis yang mengutamakan pasar-sebagai-kesempatan, penulis mendayagunakan pemikiran Ellen M. Wood mengenai pasar-sebagai-keharusan. Dengan menggunakan ilustrasi pada konflik-konflik agraria berkenaan dengan ekspansi perkebunan kelapa sawit di Indonesia, artikel ini menempatkan konflik agraria sebagai konsekuensi dari perkembangan pasar kapitalis.

Kata K Kata KKata K Kata K

Kata Kunciunciunciunciunci: Konflik agraria, pasar, kapitalisme agraria.

A. Pengantar

Konflik agraria struktural yang dimaksud dalam artikel ini merujuk pada pertentangan klaim yang berkepanjangan mengenai siapa yang berhak atas akses pada tanah, sumber daya alam

(SDA), dan wilayah antara suatu kelompok rakyat pedesaan dengan badan penguasa/penge-lola tanah2 yang bergerak dalam bidang pro-duksi, ekstraksi, konservasi, dan lainnya; dan

pi-Hukum memenjarakan laki-laki dan perempuan, tersangka yang mencuri seekor angsa dari tanah kepunyaan bersama. Namun tersangka yang lebih besar lolos begitu saja, yakni mereka yang mencuri tanah milik bersama dari angsa itu … Dan para angsa terus hidup dalam kekurangan tanah bersama Sampai mereka masuk dan mencurinya kembali.1

*Noer Fauzi Rachman, PhD adalah Direktur Sajogyo

Institute, Bogor; Dewan Pakar Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA); dan pengajar mata kuliah “Politik dan Gerakan Agraria” pada Departemen Sains Komunikasi dan

Pengembangan Masyarakat (SKPM), Fakultas Ekologi Manusia (FEMA), Institut Pertanian Bogor (IPB).

1 “The law locks up the man or woman; Who steals

(3)

hak-pihak yang bertentangan tersebut berupaya dan bertindak, secara langsung maupun tidak, menghilangkan klaim pihak lain. Konflik agraria yang dimaksud dimulai oleh surat keputusan pejabat publik, termasuk Menteri Kehutanan, Menteri ESDM (Energi Dan Sumber Daya Min-eral), Kepala BPN (Badan Pertanahan Nasional), Gubernur, dan Bupati, yang memberi ijin/hak/ lisensi pada badan usaha tertentu, dengan me-masukkan tanah, SDA, dan wilayah kepunyaan rakyat ke dalam konsesi-konsesi agraria yang bergerak dalam bidang ekstrasi, produksi, mau-pun konservasi berbasiskan sumberdaya alam.

Konflik agraria yang dimaksud dalam artikel ini dimulai dengan pemberian ijin/hak pemanfaatan oleh pejabat publik yang meng-ekslusi sekelompok rakyat dari tanah, SDA, dan wilayah kelolanya. Akses yang telah dipunyai sekelompok rakyat itu dibatasi, atau dihilangkan sepenuhnya. Dalam literature studi agraria ter-baru, konsep akses dan ekslusi adalah dua kon-sep yang diletakkan sebagai dua sisi dari satu mata uang. Akses diberi makna sebagai “kemam-puan untuk mendapat manfaat dari sesuatu, termasuk objek-objek material, orang-orang, institusi-institusi dan simbol-simbol”3, sedangkan eksklusi dimaknakan sebagai “cara-cara dimana orang lain dicegah untuk mendapatkan manfaat

dari sesuatu (lebih khususnya, tanah)”.4 Proses eksklusi ini menggunakan regulasi, pasar, keku-atan, dan legitimasi, sebagaimana dijelaskan dengan panjang lebar dan secara ilustratif dalam buku Derek Hall, Philip Hirsch, dan Tania Murray Li dalam Power of Exclusion, Land Di-lemmas in Southeast Asia, 2001.

Naskah ini akan secara lugas mengungkap dan membahas rantai penjelas dari konflik agra-ria (sebab langsung, sebab struktural, dan kon-disi-kondisi yang melestarikannya—lihat Bagan 1 di bawah), dengan mengambil ilustrasi konflik agraria yang diakibatkan oleh ekspansi perkebunan kelapa sawit.

B. Kerangka Rantai Penjelas Konflik-konflik Agraria

Konflik agraria akan terus-menerus meletus di sana-sini, bila sebab-sebabnya belum dihi-langkan. Dengan tetap adanya kondisi-kondisi yang melestarikannya, konflik-konflik agraria ini menjadi kronis dan berdampak luas. Pelajaran pokok yang hendak dikemukakan tulisan ini adalah bahwa dalam menangani konflik-konflik agraria struktural, yang kronis, sistemik dan berdampak luas, kita tidak bisa mengandalkan cara-cara tambal-sulam dengan sekedar menga-tasi secara cepat dan darurat, terutama sehu-bungan dengan eskalasi dan ekses yang tampak dari konflik-konflik itu. Artikel ini mengan-jurkan bahwa untuk memahami konflik-konflik agraria seperti ini secara memadai, kita memer-lukan pendekatan yang memadai pula, yang mendasarkan diri pada rerantai sebab-akibat dan kondisi-kondisi yang melestarikannya.

… And geese will still a common lack; Till they go and

steal it back”, demikian bait-bait protes atas enclosure

(perampasan tanah) yang merupakan gejala umum di Inggris mulai abad 17. Dalam literature terbaru, kalimat-kalimat ini dikutip kembali untuk menunjukkan relevansi konsep analitik “enclosure’. Lihat misalnya Ollman (2008: 8), Kloppenburg (2010: 367).

2 Dalam pengertian badan penguasa/pengelola tanah

ini mencakup baik perusahaan-perusahaan milik Negara, maupun milik pribadi/swasta, domestik maupun asing; dan juga badan-badan pemerintah pengelola tanah luas, seperti taman-taman nasional yang berada langsung dibawah Kementerian Kehutanan.

3 Jesse Ribot dan Nancy Lee Peluso, 2003, “A

Theory of Access”. Rural Sociology, 68 (2), hlm. 153.

(4)

3

Noer Fauzi Rachman: Rantai Penjelas Konflik-Konflik Agraria ...: 1-14

Sebab-sebab

• Pemberian ijin/hak/konsesi oleh pejabat pub-lik (Menteri kehutanan, Menteri ESDM, Kepala BPN, Gubernur dan Bupati) yang me-masukkan tanah/wilayah kelola/SDA ke-punyaan sekelompok rakyat ke dalam konsesi badan-badan usaha raksasa dalam bidang produksi, ekstraksi, maupun konservasi.

• Penggunaan kekerasan, manipulasi, dan pe-nipuan dalam pengadaan tanah skala besar untuk proyek-proyek pembangunan, perusa-haan-perusahaan raksasa, dan pemegang konsesi lain dalam bidang produksi, ekstraksi, konservasi.

• Ekslusi sekelompok rakyat pedesaan dari ta-nah/wilayah kelola/SDA yang dimasukkan ke dalam konsesi badan usaha raksasa tersebut.

• Perlawanan langsung dari kelompok rakyat sehubungan ekslusi tersebut.

Akibat-akibat

• Ekslusi rakyat, perempuan dan laki-laki, atas tanah, wilayah, dan SDA yang diperebutkan

secara langsung berakibat hilangnya (seba-gian) wilayah hidup, mata pencaharian, dan kepemilikan atas harta benda.

• Menyempitnya ruang hidup rakyat, yang diiringi menurunnya kemandirian rakyat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, uta-manya pangan.

Last but not least, transformasi dari petani menjadi buruh upahan.

Akibat-akibat Lanjutan

• Konflik yang berkepanjangan menciptakan krisis sosial ekologi yang kronis, termasuk mendorong penduduk desa bermigrasi ke wilayah-wilayah baru untuk mendapatkan ta-nah pertanian baru atau pergi ke kota menjadi golongan miskin perkotaan.

• Dalam krisis sosial ekologis ini secara khusus perhatian perlu diberikan pada berbagai ben-tuk ketidakadilan gender, dimana perempuan dari kelompok marginal menghadapi dan menanggung beban yang jauh lebih besar.

• Merosotnya kepercayaan masyarakat setem-Bagan 1. Kerangka penjelas sebab-akibat konflik agraria struktural, kondisi-kondisi yang melestarikan,

(5)

pat terhadap pemerintah yang pada gilirannya dapat menggerus rasa ke-Indonesia-an para korban.

• Meluasnya artikulasi konflik agraria ke ben-tuk-bentuk konflik lain seperti: konflik etnis, konflik agama, konflik antar kampung/desa, dan konflik antar “penduduk asli” dan pen-datang.

Kondisi-kondisi yang Melestarikan

• Tidak adanya koreksi atas putusan-putusan pejabat publik yang memasukkan tanah/ wilayah kelola/SDA rakyat ke dalam konsesi badan usaha atau badan pemerintah raksasa untuk produksi, ekstraksi, maupun konser-vasi, dan di sisi lain, berlangsungnya terus-menerus proses pemberian ijin/hak pada badan-badan raksasa tersebut.

• Lembaga-lembaga pemerintah tidak pernah membuka informasi kepada publik, apalagi dikontrol oleh publik, perihal penerbit hak/ ijin/lisensi yang berada pada kewenangannya.

• Ketiadaan kelembagaan yang memiliki otoritas penuh, lintas sektor dalam lembaga pemerintah, yang memadai dalam menanga-ni konflik agraria yang telah, sedang, dan akan terjadi.

• Badan-badan usaha atau badan-badan peme-rintah bersikap defensif apabila rakyat meng-artikulasikan protes sebab hilang atau berku-rangnya akses rakyat atas tanah, sumber daya alam, dan wilayahnya, sebagai akibat dari hak/ ijin/lisensi yang mereka dapatkan itu. Lebih lanjut, protes rakyat disikapi dengan keke-rasan, kriminalisasi, dan intimidasi.

• Sempitnya ruang lingkup dan terhambatnya pelaksanaan program yang disebut “Reforma Agraria” dalam membereskan ketimpangan penguasaan tanah dan SDA. Lebih dari itu, kita menyaksikan berbagai skandal dalam implementasi redistribusi tanah, misalnya pemberian tanah bukan pada mereka yang

memperjuangkan, pengurangan jumlah tanah yang seharusnya diredistribusi, peni-puan dan manipulasi nama-nama penerima maupun objek redistribusi, dan tanah-tanah yang diredistribusi dikuasai oleh tuan-tuan tanah (rekonsentrasi).

Akar Masalah

• Tidak adanya kebijakan untuk menyediakan kepastian penguasaan (tenurial security) bagi akses atas tanah-tanah/SDA/wilayah kelola masyarakat, termasuk pada akses yang berada dalam kawasan huatn negara.

• Dominasi dan ekspansi badan-badan usaha raksasa dalam industri ekstraktif, produksi perkebunan dan kehutanan, serta konservasi.

• Instrumentasi badan-badan pemerintahan sebagai “lembaga pengadaaan tanah” melalui rejim-rejim pemberian hak/ijin/lisensi atas tanah dan sumber daya alam.

• UUPA 1960 yang pada mulanya ditempatkan sebagai UU Payung, pada prakteknya disem-pitkan hanya mengurus wilayah non-hutan (sekitar 30% wilayah RI), dan prinsip-prinsip-nya diabaikan. Peraturan perundang-un-dangan mengenai pertanahan/kehutanan/ PSDA lainnya tumpang tindih dan berten-tangan antara satu dengan yang lain.

• Hukum-hukum adat yang berlaku di ka-langan rakyat diabaikan atau ditiadakan keberlakuannya oleh perundang-undangan agraria, kehutanan dan pertambangan.

• Sektoralisme kelembagaan, sistem, mekanis-me, dan administrasi yang mengatur perta-nahan/kehutanan/SDA lainnya yang semakin menjadi-jadi.

(6)

5

Noer Fauzi Rachman: Rantai Penjelas Konflik-Konflik Agraria ...: 1-14

C. Ilustrasi Konflik-konflik Agraria sebagai Akibat Ekspansi Perkebunan Kelapa Sawit

Produksi Crude Palm Oil (CPO) Indonesia terus tumbuh pesat dari tahun ke tahun. Indo-nesia adalah penghasil CPO terbesar di dunia. Pemantauan dari Indonesian Commercial News Letter (Juli 2011) produksi CPO meningkat men-jadi 21,0 juta pada 2010 dari tahun sebelumnya 19,4 juta ton. Pada 2011 produksi diperkirakan akan naik 4,7% menjadi sekitar 22,0 juta ton. Sementara itu, total ekspor juga meningkat, yak-ni pada 2010 sekitar 15,65 juta ton, dan diper-kirakan akan melonjak menjadi 18,0 juta ton pada 2011. Dari total produksi tersebut diperki-rakan hanya sekitar 25% atau sekitar 5,45 juta ton yang dikonsumsi oleh pasar domestik. Pro-duksi CPO sebanyak itu ditopang oleh total luas konsesi perkebunan kelapa sawit yang terus bertambah yaitu menjadi 7,9 juta hektar pada 2011 dari 7,5 juta hektar pada 2010.

Data Dirjenbun menunjukkan bahwa luasan perkebunan kelapa sawit di Indonesia adalah 8,1 juta (Dirjenbun 2012 sebagaimana dikutip oleh Sawit Watch 2012). Luas perkebunan ini, lebih kecil dari yang sesungguhnya sebagaimana diperkirakan oleh Sawit Watch (2012), telah men-capai 11,5 juta hektar. Perkebunan-perkebunan kelapa sawit sering lebih luas dari konsesi legal-nya. Dari luasan ini berapa persen partisipasi petani-petani yang bertanam kelapa sawit di tanahnya sendiri. Menurut Dirjen Perkebunan, Departemen Pertanian, luasan kebun sawit milik petani di atas 40 % (sebagaimana dikutip oleh Sawit Watch 2012). Sementara menurut Sawit Watchsendiri (2012), jumlahnya adalah kurang dari 30 %. Dengan percepatan luasan 400.000 ha per tahun, luasan kebun sawit Indonesia yang digenjot pemerintah, perusahaan-perusahaan swasta, dan petani-petani sawit, luasan kebun sawit di Indonesia dicanangkan mencapai 20 juta

hektar pada tahun 2025.

Menarik sekali memperhatikan data dari Direktur Pascapanen dan Pembinaan Usaha Direktorat Jenderal (Ditjen) Perkebunan pada Kementerian Pertanian, Herdradjat Natawidjaja (2012), sebagaimana dimuat dalam Kompas 26 Januari 2011, “Lahan Sawit Rawan Konflik”. Dalam rapat koordinasi perkebunan berkelanjutan di Kota Pontianak, Kalimantan Barat, pada tanggal 25 Januari 2012, ia menyampaikan data bahwa sekitar 59 % dari 1.000 perusahaan kelapa sawit di seluruh daerah Indonesia terlibat konflik dengan masyarakat terkait lahan. Tim dari Ditjen Perkebunan sudah mengidentif ikasi konflik itu di 22 provinsi dan 143 kabupaten. Totalnya ada sekitar 591 konflik: Kalimantan Tengah menem-pati urutan pertama dengan 250 kasus konflik, disusul Sumatera Utara 101 kasus, Kalimantan Timur 78 kasus, Kalimantan Barat 77 kasus, dan Kalimantan Selatan 34 kasus.

Dalam banyak konflik-konflik agraria kita juga menyaksikan instrumentasi hukum, peng-gunaan kekerasan, kriminalisasi (tokoh) pendu-duk, manipulasi, penipuan, dan pemaksaaan persetujuan, yang dilakukan secara sistematik dan meluas. Kesemua ini sering menyertai upaya penghilangan klaim rakyat atau pengalihan penguasaan atas tanah, SDA dan wilayah kelola rakyat setempat ke konsesi yang dipunyai oleh badan-badan usaha raksasa termaksud. Hal ini sekaligus merupakan ekslusi atau pembatasan akses rakyat terhadap tanah, SDA, maupun wila-yah kelolanya. Sebaliknya, terjadi perlawanan langsung dari rakyat maupun yang difasilitasi oleh organisasi-organisasi gerakan sosial, lem-baga swadaya masyarakat (LSM), maupun elite politik, dilakukan untuk menentang eksklusi, atau pembatasan paksa akses rakyat tersebut.

(7)

Perten-tangan klaim hak atas tanah terjadi antara pengusaha yang telah mengantongi Hak Guna Usaha (HGU) dari pemerintah dengan masya-rakat petani yang telah hidup bertahun-tahun di sebuah wilayah dengan sistem tenurialnya sendiri.5

D. Sebab-sebab Struktural Konflik Agraria

Konf lik agraria belum banyak diungkap sebab-sebab strukturalnya, yakni yang berhu-bungan dengan bagaimana ekonomi pasar kapitalistik bekerja. Harus dipahami bahwa ekonomi pasar kapitalistik bekerja sama sekali berbeda dengan ekonomi pasar sederhana dima-na terjadi tukar-menukar barang melalui tin-dakan belanja dan membeli yang diperantarai oleh uang. Dalam ekonomi pasar kapitalis, “bukanlah ekonomi yang melekat ke dalam hu-bungan-hubungan sosial, melainkan hubungan-hubungan sosial lah yang melekat ke dalam sis-tem ekonomi kapitalis itu”.6 Pasar kapitalis memi-liki kekuatannya sendiri yang dipercayai bisa mengatur dirinya sendiri. Tapi, sebagaimana ditunjukkan oleh Polanyi, badan-badan negara lah yang sesungguhnya membuat pasar kapitalis demikian itu bisa bekerja.

Ekonomi pasar kapitalis terus bergerak. Kalau tidak bergerak dia mati. Gerakan pasar dapat dibedakan sebagai penyedia kesempatan dan juga dapat sebagai kekuatan pemaksa. Ellen Wood (1994) mengistilahkannya sebagai mar-ket-as-opportunity (pasar-sebagai-kesempatan),

dan market-as-imperative (pasar-sebagai-keha-rusan). Pasar sebagai kesempatan bekerja melalui proses sirkulasi barang dagangan. Kebutuhan manusia pada gilirannya dibentuk agar dapat mengkonsumsi apa-apa yang diproduksi. Seba-gai suatu sistem produksi yang khusus, ia men-dominasi cara pertukaran komoditas melalui pasar. Lebih dari itu, perusahaan kapitalisme sanggup membentuk bagaimana cara sektor ekonomi dikelola oleh badan-badan pemerin-tahan hingga ke pemikiran cara bagaimana cara ekonomi pasar itu diagung-agungkan.7

Negara Indonesia secara terus-menerus di-bentuk menjadi negara neoliberal dalam rangka melancarkan bekerjanya ekonomi pasar kapitalis di zaman globalisasi sekarang ini. Hal ini perlu dipahami dengan kerangka pasar-sebagai-keha-rusan. Pasar-sebagai-keharusan dapat dipahami mulai dari karakter sistem produksi kapitalis sebagai yang paling mampu dalam mengakumu-lasikan keuntungan melalui kemajuan dan sof istikasi teknologi, serta peningkatan produk-tivitas tenaga kerja per-unit kerja, dan ef isiensi hubungan sosial dan pembagian kerja produksi dan sirkulasi barang dagangan. Kesemuanya mengakibatkan penggantian pabrik-pabrik yang telah usang, sektor-sektor ekonomi yang tidak kompetitif, hingga ketrampilan para pekerja yang tidak lagi dapat dipakai.

Sebagai sistem produksi yang khusus, kapi-talisme ini memberi tempat hidup dan insentif bagi semua yang efisien, dan menghukum mati atau membiarkan mati hal-hal yang tidak sanggup menyesuaikan diri dengannya. Selan-jutnya, di atas apa-apa yang telah dihancur-lebur-kan itulah dibangun sesuatu yang baru, yang

5 M. Colchester, N. Jiwan, M.T. Sirait, A.Y. Firdaus,

A. Surambo, & H. Pane, 2006, Promised Land: Palm Oil

and Land Acquisition in Indonesia - Implications for Local Communities and Indigenous Peoples (published by Forest People Programme (FPP), Sawit Watch, HUMA, World Agroforestry Centre (ICRAF) – SEA.

6 Karl Polanyi, 1967 (1944). The Great

Transforma-tion: The Political and Economic Origins of Our Time. Bos-ton: Beacon Press, 1967/(1944), hlm. 57.

7 Perihal asal-mula dari keharusan-pasar

(8)

7

Noer Fauzi Rachman: Rantai Penjelas Konflik-Konflik Agraria ...: 1-14

dapat lebih menjamin keberlangsungan akumu-lasi keuntungan. Schumpeter (1944/1976:81-86) menyebut hal ini sebagai the process of creative destruction (proses penghancuran yang kreatif). Sejarah penguasaan agraria di Indonesia ham-pir mirip dengan sejarah yang terjadi di negara-negara pasca-kolonial di Asia, Amerika Latin hingga Afrika. Pemberlakuan hukum agraria yang baru, termasuk di dalamnya hukum yang mengatur usaha-usaha perkebunan, kehutanan, dan pertambangan, merupakan suatu cara agar perusahaan-perusahaan kapitalis dari negara-negara penjajah di Eropa maupun Amerika dapat memperoleh akses eksklusif atas tanah dan kekayaan alam, yang kemudian mereka def ini-sikan sebagai modal perusahaan-perusahaan itu. Di Indonesia pasca-kolonial, kran liberalisasi sumberdaya alam tersebut sangat jelas ketika Orde Baru pimpinan Jenderal Soeharto mulai berkuasa, tahun 1967. Liberalisasi ini telah me-rampas kedaulatan rakyat atas tanah untuk kedua kalinya setelah pemerintah kolonial mela-kukan cara serupa semasa penjajahan sebelum-nya. Badan-badan pemerintahan dan perusaha-an-perusahaan mulai mengkapling-kapling tanah-air Indonesia untuk konsesi perkebunan, kehutanan dan pertambangan, dan mengelu-arkan penduduk yang hidup di dalam konsesi itu. Hubungan dan cara penduduk menikmati hasil dari tanah dan alam telah diputus melalui pemberlakuan hukum, penggunaan kekerasan, pemagaran wilayah secara f isik, hingga peng-gunaan simbol-simbol baru yang menunjukkan status kepemilikan yang bukan lagi dipangku oleh mereka. Bila saja sekelompok rakyat melakukan protes dan perlawanan untuk menguasai dan menikmati kembali tanah dan wilayah yang telah diambil alih pemerintah dan perusahaan-peru-sahaan itu, mereka akan merasakan akibat yang sangat nyata: kriminalisasi, sanksi oleh birokrasi hukum, atau tindakan kekerasan lainnya yang seringkali dibenarkan secara hukum.

Pengkaplingan dan pemutusan hubungan itu pada intinya adalah penghentian secara paksa akses petani atas tanah dan kekayaan alam ter-tentu, lalu tanah dan kekayaan alam itu masuk ke dalam modal perusahaan-perusahaan kapi-talistik.8 Jadi, perubahan dari alam menjadi “sum-ber daya alam” ini “sum-berakibat sangat pahit bagi rakyat petani yang harus tersingkir dari tanah asalnya dan sebagian dipaksa berubah menjadi tenaga kerja/buruh upahan. Ini adalah proses paksa menciptakan orang-orang yang tidak lagi bekerja terikat pada tanah dan alam. Orang-orang ini mengandalkan hanya pada tenaga yang melekat pada dirinya saja, lalu menjadi para pe-kerja bebas. Sebagian mereka pergi dari tanah mereka di desa-desa ke kota-kota untuk menda-patkan pekerjaan. Kantung-kantung kemiskinan di kota-kota dilahirkan oleh proses demikian ini.9 David Harvey (2003, 2005) mengemukakan istilah accumulation by dispossession (akumulasi

8 Karl Marx dalam Das Capital (1867) mengembangkan

teori “the so-called primitive accumulation”, yang

mendu-dukkan proses perampasan tanah ini sebagai satu sisi dari mata uang, dan kemudian memasangkannya dengan sisi lainnya, yaitu penciptaan tenaga kerja bebas. Marx menger-jakan kembali temuan Adam Smith (pemikir ekonomi terkenal yang menteorikan mengenai “tangan-tangan tak terlihat” [ in-visible hands] yang bekerja dalam mengatur bagaimana pasar bekerja), bahwa “akumulasi kekayaan alam harus terjadi dulu sebelum pembagian kerja”, sebagaimana tertulis dalam karya terkenalnya The Weath of Nations (1776, I.3: 277). Michael Perelman memecahkan misteri penggunaan kata “primitive” dalam “primitive accumulation”. Seperti yang secara tegas

tercantum dalam tulisan Marx, kata primitive berasal dari

istilah previous accumulation- Adam Smith. Marx yang

menulis dalam bahasa Jerman menerjemahkan kata “

previ-ous” dari karya Adam Smith menjadi “ursprunglich”, dimana

penerjemah bahasa Inggris Das Kapital karya Marx kemudian

menerjemahkannya menjadi kata “primitive” (Perelman

2000:25). Uraian menarik mengenai konsep “original accu-mulation” dari Adam Smith dan “primitive accuaccu-mulation” dari Karl Marx, dan relevansinya untuk memahami perkembangan kapitalisme dewasa ini, dapat ditemukan dalam Perelman (2000) dan De Angelis (1999, 2007).

(9)

dengan cara perampasan) yang dibedakan dengan accumulation by exploitation, yakni aku-mulasi modal secara meluas melalui eksploitasi tenaga kerja dalam proses produksi dan sirkulasi barang dagangan. Dalam proses akumulasi dengan cara perampasan, dia menekankan pen-tingnya “produksi ruang, organisasi pembagian kerja yang secara keseluruhannya baru dalam wilayah yang baru pula, pembukaan berbagai macam cara perolehan sumberdaya baru yang jauh lebih murah, pembukaan wilayah-wilayah baru sebagai bagian dari dinamika ruang-ruang akumulasi modal, dan penetrasi terhadap forma-si soforma-sial yang ada oleh hubungan-hubungan so-sial kapitalis dan tatanan kelembagaannya (con-tohnya aturan kontrak dan kepemilikan pribadi) membuka jalan bagi penyerapan surplus modal maupun tenaga kerja”.10 Reorganisasi dan rekon-struksi geograf is untuk pembukaan ruang-ruang baru bagi sistem produksi kapitalis ini di-mulai dengan menghancur-lebur hubungan kepemilikan rakyat pedesaan dengan tanah, kekayaan alam, dan wilayahnya, dan segala hal-ihwal kebudayaannya yang hidup, melekat seca-ra sosial pada tempat-tempat itu.

Reorganisasi dan rekonstruksi geograf is ini-lah yang sedang kita alami dengan pemberian konsesi-konsesi tanah dan sumber daya alam untuk menghasilkan komoditas-komoditas glo-bal seperti yang dirancang secara terpusat dengan Masterplan Percepatan dan Pengem-bangan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025. Dalam MP3EI itu, tiap koridor ekonomi diran-cang untuk menghasilkan andalan-andalan komoditas global tertentu (lihat table 1 di bawah).

Tabel 1. Pembagian Koridor Ekonomi menurut MP3EI

Pasar kapitalis membuat segala hal dikomo-dif ikasi menjadi barang dagangan. Namun, khusus untuk tanah (atau lebih luas alam), pasar kapitalis tidak akan pernah berhasil mengko-modif ikasi sepenuhnya. Karl Polanyi percaya bahwa tanah (atau lebih luasnya: alam) sesung-guhnya bukanlah komoditi atau barang da-gangan, dan tidak dapat sepenuhnya diperlaku-kan sebagai komoditi (barang dagangan). Tanah melekat sepenuhnya dengan relasi-relasi sosial. Jadi mereka yang memperlakukan tanah (alam) sepenuhnya sebagai komoditi, sesungguhnya bertentangan dengan hakekat tanah (alam) itu sendiri. Tanah (alam) dapat dibayangkan sebagai komoditi. Polanyi mengistilahkannya: f ictitious commodity (barang dagangan yang dibayang-kan). Menurut Polanyi memperlakukan tanah (alam) sebagai barang dagangan dengan memi-sahkannya dari ikatan hubungan-hubungan sosial yang melekat padanya, niscaya akan meng-hasilkan guncangan-guncangan yang menghan-curkan sendi-sendi keberlanjutan hidup masya-rakat itu, dan kemudian akan ada gerakan tan-dingan untuk melindungi masyarakat dari keru-sakan yang lebih parah.

10 David Harvey, 2003, The New Imperialism.

Ox-ford: Oxford University Press, hlm. 116.

Koridor Ekonomi Produksi Komoditas Global yang Diandalkan Sumatera, Banten Utara Sentra produksi dan pengolahan hasil bumi dan lumbung

energi nasional dengan fokus sektor pada minyak kelapa sawit/CPO, Karet, dan Batubara

Jawa Pendorong industri dan jasa nasional dengan fokus sektor pada produk makanan, tekstil dan industri alat angkut Kalimantan Pusat produksi dan pengolahan hasil tambang dan lumbung

energi nasional dengan fokus sektor pada migas, minyak kelapa sawit, dan batubara

Sulawesi, Maluku Utara Pusat produksi dan pengolahan hasil pertanian, perkebunan, dan perikanan nasional dengan fokus sektor pada tanaman pangan, perkebunan, perikanan, dan pertambangan nikel Bali, Nusa Tenggara Pintu gerbang pariwisata dan pendukung pangan nasional

dengan fokus sektor pada pariwisata serta pertanian dan peternakan

(10)

9

Noer Fauzi Rachman: Rantai Penjelas Konflik-Konflik Agraria ...: 1-14

Tanah (dan juga tenaga kerja) merupakan syarat hidup dari masyarakat. Memasukkan ta-nah (dan juga tenaga kerja) dalam mekanisme pasar adalah merendahkan hakekat masyarakat, dan dengan demikian menyerahkan begitu saja sepengaturan kehidupan masyarakat pada meka-nisme pasar. Hal ini dengan sendirinya, akan menimbulkan gejolak perlawanan, demikian Polanyi menyebutkan. Polanyi pun menulis bah-wa kelembagaan pasar demikian “tak dapat hidup lama tanpa melenyapkan hakekat alamiah dan kemanusiaan dari masyarakat; Ia akan secara f isik merusak manusia dan mengubah ling-kungannya menjadi demikian tak terkendalikan. Tak terelakkan lagi, masyarakat melakukan upaya perlindungan diri”.11

Dalam bagian lain bukunya, Polanyi menulis “selama berabad dinamika masyarakat modern diatur oleh suatu gerakan ganda (double move-ment): pasar yang terus ekspansi meluaskan diri, tapi gerakan (pasar) ini bertemu dengan suatu gerakan tandingan (counter-movement) meng-hadang ekspansi ini agar jalan ke arah yang

ber-beda. Apa yang diutamakan oleh gerakan tan-dingan ini adalah untuk melindungi masyarakat, yang pada akhirnya (gerakan tandingan itu) tak cocok dengan prinsip pengaturan diri-sendiri dari pasar, dan dengan demikian tidak cocok pula dengan sistem pasar itu sendiri”.12 Protes-protes itu adalah perlawanan balik yang sesaat atau bisa juga berkepanjangan dari sekelompok rakyat untuk bertahan, melindungi diri dan bah-kan melawan proses komodif ikasi yang dilan-carkan oleh pasar kapitalis itu.13

E. Kesimpulan

Merujuk pada puisi yang dikutip di awal tulisan ini, di kalangan kaum terdidik, termasuk para ahli hukum, baik di Indonesia maupun di berbagai belahan bumi lainnya, kita dihadapkan oleh dua macam pemikiran yang bertentangan satu sama lain, yakni mereka yang mempelajari “orang-orang yang mencuri seekor angsa dari tanah milik bersama”, dan mereka yang mempe-lajari mereka “yang mencuri tanah milik bersama

11 Karl Polanyi, 1944, The Great Transformation: The

Political and Economic Origins of Our Time. Boston: Bea-con Press, hlm. 3.

12 Ibid, hlm. 130.

13 Noer Fauzi, 1999, Petani dan Penguasa. Dinamika

(11)

dari angsa itu”14. Tulisan ini mengajak kita mengerti mereka yang “mencuri angsa” dari “tanah milik bersama” itu, dengan berusaha mengemukakan cara kerja mereka “yang men-curi tanah milik bersama dari angsa itu”.

Kita sudah saksikan bahwa jika konf lik-konflik agraria struktural, seperti yang terjadi sehubungan dengan ekspansi perkebunan kelapa sawit, dipahami hanya sebatas problem kriminalitas rakyat, maka pendekatan polisionil yang diterapkan sebagai konsekuensi dari pema-haman itu berakibat pada semakin rumitnya konflik-konflik agraria tersebut. Penulis mengan-jurkan mendudukkan konflik-konflik agraria yang berhubungan dengan perluasan perke-bunan sawit di Indonesia dalam perspektif yang lebih luas. Akibat lanjutan dari konflik agraria ini adalah meluasnya konflik itu sendiri, dari sekedar konflik klaim atas tanah, sumberdaya alam dan wilayah menjadi konflik-konflik lain. Konflik agraria yang berkepanjangan mencipta-kan krisis sosial-ekologi, termasuk yang mendo-rong penduduk desa bermigrasi ke wilayah-wilayah baru untuk mendapatkan tanah perta-nian baru, atau pergi dan hidup menjadi go-longan miskin kota. Hal ini menjadi sumber masalah baru di kota-kota.

Lebih jauh dari itu, artikulasi konflik agraria dapat membentuk-bentuk konflik lain seperti konflik antara para petani pemilik asal tanah dengan pekerja perkebunan, konf lik antar kelompok etnis, antar “penduduk asli” dan pen-datang, bahkan hingga konflik antar kampung/ desa. Ketika konflik-konflik itu berlangsung dalam intensitas yang tinggi, rakyat mencari akses ke organisasi gerakan sosial, LSM, DPRD, Badan Pertanahan Nasional, Kementrian

Kehu-tanan, hingga DPR Pusat, Komnas HAM, dll. Dalam sejumlah kasus klaim dan keperluan rakyat korban bisa diurus sesuai dengan kewe-nangan dan kapasitas masing-masing lembaga. Namun, tidak demikian halnya untuk kasus-kasus dengan karakteristik konf liknya yang bersifat struktural, dan sudah kronis, serta aki-bat-akibatnya telah meluas.

Konflik agraria struktural macam ini diles-tarikan oleh tidak adanya koreksi/ralat atas pu-tusan-putusan pejabat publik (Menteri Kehu-tanan, Kepala Badan Pertanahan Nasional, Men-teri ESDM, Bupati dan Gubernur) yang mema-sukkan tanah, SDA, dan wilayah hidup rakyat ke dalam konsesi badan usaha raksasa untuk produksi, ekstraksi, maupun konservasi. Kita tahu bahwa berdasarkan kewenangannya, pejabat publik itu dimotivasi oleh keperluan perolehan rente maupun untuk pertumbuhan ekonomi, mereka melanjutkan dan terus-mene-rus memproses pemberian ijin/hak pada badan-badan usaha/proyek raksasa tersebut. Kita tahu pula bahwa bila suatu koreksi demikian dilaku-kan, pejabat-pejabat publik dapat dituntut balik oleh perusahaan-perusahaan yang konsesinya dikurangi atau apalagi dibatalkan. Resiko keru-gian yang bakal diderita bila kalah di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) tentu dihindari oleh pejabat publik yang bersangkutan.

Dalam situasi konflik agraria yang berkepan-jangan, rakyat korban bertanya mengenai posisi dan peran pemerintah. Rakyat bisa sampai pada perasaan tidak adanya pemerintah yang melin-dungi dan mengayomi. Pada tingkat awal mereka akan memprotes pemerintah. Ketika krimina-lisasi diberlakukan terhadap mereka, mereka merasa dimusuhi pemerintah. Kalau hal ini diteruskan, mereka merasakan pemerintah di masa Reformasi berlaku sebagai penguasa dan bertindak semaunya saja, termasuk menjadi pela-yan pasar kapitalis. Kalau hal ini diteruskan, pela-yang akan terjadi adalah merosotnya legitimasi

peme-14 Bertell Ollman, 2008, “Why Dialectics? Why

Now?”, Dialectics for the New Century. Edited by Bertell

(12)

11

Noer Fauzi Rachman: Rantai Penjelas Konflik-Konflik Agraria ...: 1-14

rintah di mata rakyatnya. Hal ini tentunya akan membuat negara kita semakin jauh dari yang dicita-citakan oleh proklamasi kemerdekaan Negara Republik Indonesia sebagaimana dike-mukakan dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945.

Merosotnya legitimasi rakyat terhadap peme-rintah itu membuat mereka yang pada mulanya berada dalam posisi korban dalam konf lik-konf lik agraria itu sampai pada pertanyaan apakah mereka “berhak mempunyai hak”?15 Ilustrasi terbaik dari krisis legitimasi pemerintah dan pentingnya “hak untuk memiliki hak” ini adalah apa yang diperjuangakan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), sebagai-mana terpantul dari motonya, “Kalau negara tidak mengakui kami, kami pun tidak mengakui negara”. Menurut penulis, tuntutan AMAN agar negara mengakui eksistensi masyarakat adat beserta pemastian hak atas tanah-air masyarakat adat adalah suatu panggilan untuk pejabat dan badan-badan negara untuk memenuhi kewa-jiban konstitusional untuk “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum” demi tujuan “mewujudkan suatu ke-adilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Hasil amandemen atas Undang-undang Dasar 1945 menghasilkan tiga ketentuan baru berkenaan dengan eksistensi dan hak-hak masyarakat adat, yaitu pasal 18B ayat (2), pasal 28i ayat (3), dan ayat (2). Pengakuan eksistensi dan perlindungan hak-hak masyarakat adat ini dipersyarati dengan

empat ketentuan, yakni sepanjang masih hidup, sesuai dengan perkembangan masyarakat, sesuai prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan diatur dalam undang-undang. Namun pengakuan konstitusional ini tidak dengan sen-dirinya (secara otomatis) mendorong penyesu-aian perundang-undangan di bawahnya. Masih banyak pekerjaan pembaruan perundang-un-dangan untuk meralat penyangkalan dan mewu-judkan pengakuan atas eksistensi masyarakat adat itu dan segenap hak-hak dasarnya.16 Lebih jauh, agenda utama perjuangan AMAN adalah (i) mendorong ralat kebijakan-kebijakan yang menyangkal eksistensi masyarakat adat itu, dengan memastikan bahwa masyarakat adat ada-lah suatu subjek hukum yang sah, dan peme-rintah Republik Indonesia wajib mengadminis-trasikan hak-hak khusus yang melekat padanya, termasuk hak-hak atas tanah, kekayaan alam, dan wilayah kelolanya; dan (ii) mewujudkan hak memperoleh pemulihan atas kerusakan sosial-ekologis yang diderita masyarakat adat akibat kekeliruan kebijakan pemerintah yang menyang-kal eksistensinya sebagai subjek hukum, dan hak-hak dasar yang melekat padanya.17

15 Penulis mengambil konsep “hak untuk memiliki hak”

(the rights to have rights) dari filsuf politik Hannah Arendt

(1951) The Origins of Totalitarianism (1951). Arendt lah

yang membuat konsep “hak untuk memiliki hak” ini populer sebagai hak politik yang paling fundamental bagi seorang warganegara (Arendt 1951/1968: 177. Untuk pembahasan terbaru mengenai konsep ini dalam konteks perjuangan hak asasi manusia, kewajiban Negara, dan rejim pasar bebas, lihat Somerr (2008), dan Kesby (2012).

16 Lihat Simarmata, 2006, Pengakuan Hukum terhadap

Masyarakat Adat di Indonesia. Jakarta: UNDP, Myrna A. Safitri, “Legislasi Hak-hak Masyarakat atas Tanah dan Kekayaan Alam dalam Peraturan Perundang-undangan Nasional Indonesia: Model, Masalah, dan Rekomendasi”,

dalam Masa Depan Hak-hak Komunal atas Tanah: Beberapa

Gagasan untuk Pengakuan Hukum: Rekomendasi Kebijakan,

Universiteit Leiden dan BAPPENAS, hlm. 15-35, Yance Arizona, 2010, “Satu Dekade Legislasi Masyarakat Adat: Trend Legislasi Nasional tentang Keberadaan dan Hak-hak Masyarakat Adat atas Sumber Daya Alam di

Indone-sia (1999-2009)”, Kertas Kerja EPISTEMA No. 07/2010.

17 Noer Fauzi Rachman, 2012, “Masyarakat Adat dan

Perjuangan Tanah-Airnya”. Naskah kuliah dalam rangka Kongres Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Tobelo, 20 April 2012. http://www.kongres4.aman.or.id/ 2012/05/masyarakat-adat-dan-perjuangan-tanah-airnya.asp (Terakhir diunduh pada 10 Maret 2013) dan “Masyarakat

(13)

Indonesia di bawah Orde Baru (1966-1998) mewariskan cara bagaimana pemerintah yang berkuasa menekankan kewajiban-kewajiban sosial penduduk, dan bukan memenuhi hak-hak sipil-politik dan ekonomi, sosial dan budaya penduduk. Indonesia saat ini bukan hanya me-merlukan Reformasi atas pemerintahan yang otoritarian dan sentralistik dan digantikan oleh suatu pemerintahan demokratis dan desentra-listis, melainkan juga transformasi kelembagaan yang menyeluruh.18 Dalam konteks pokok ba-hasan artikel ini, menjadi jelas bahwa satu agenda utama dari transformasi kelembagaan itu adalah memulihkan posisi kewarganegaran dari rakyat miskin pedesaan, termasuk mereka yang berada dalam situasi konflik agraria dan dalam kesatuan-kesatuan masyarakat-hukum adat.

Ucapan Terima kasih

Versi-versi terdahulu atau bagian-bagian ter-tentu dari naskah ini disajikan sebagai brief ing paper, bahan presentasi dan/atau makalah di banyak forum diskusi/lokakarya/seminar semen-jak penulis aktif sebagai peneliti senior di Sajogyo Institute. Forum-forum itu diselenggarakan oleh berbagai unit/proyek dalam organisasi-organisasi sebagai berikut: Konsorsium Pembaruan Agra-ria, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, Perkum-pulan Pembaruan Hukum berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMA), Program Studi Pasca Sar-jana Sosiologi Universitas Indonesia, Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4), Yayasan Perspektif Baru, Badan Legislatif DPR-RI, Komisi Pemberantasan Korupsi, dan lainnya. Sebagian isi naskah ini telah disajikan dalam Rachman dan Swanvri

(2012).Versi lain akan dimuat dalam Jurnal Ilmu Pemerintahan Universitas Indonesia, 2013. Teri-ma kasih untuk Didi Novrian dan Mia Siscawati dan semua kolega lain di Sajogyo Institute yang memberi banyak kritik, komentar, usulan dan inspirasi untuk pengembangan naskah ini.

Daftar Pustaka

Arizona, Yance. 2010. Satu Dekade Legislasi Masyarakat Adat: Trend Legislasi Nasional tentang Keberadaan dan Hak-hak Masya-rakat Adat atas Sumber Daya Alam di In-donesia (1999-2009). Kertas Kerja EPIS-TEMA No. 07/2010

Arendt, Hannah. 1951 (1968). The Origins of To-talitarianism. New York: Harcourt Brace Jovanovich.

Colchester, M., Jiwan, N., Sirait, M.T., Firdaus, A.Y., Surambo, A. & Pane, H. ( 2006). Prom-ised Land: Palm Oil and Land Acquisition in Indonesia - Implications for Local Com-munities and Indigenous Peoples (published by Forest People Programme (FPP), Sawit Watch, HUMA, World Agroforestry Cen-tre (ICRAF) - SEA.

Davis, Mike. 2006. Planet of Slums. New York: Verso.

De Angelis, Massimo. 1999. “Marx’s Theory of Primitive Accumulation: A Suggested Re-interpretation.” University of East London. Available online at http:// homepages.uel.ac.uk/M.DeAngelis/ PRIMACCA.htm (Unduh terakhir tanggal 04 Oktober 2012).

____. 2007. The Beginning of History: Value Struggles and Global Capital. London, Pluto Press

Fauzi, Noer. 1999. Petani dan Penguasa. Dina-mika Perjalanan Politik Agraria Indonesia. Yogyakarta, Pustaka Pelajar bekerjasama dengan Insist Press dan Konsorsium Pem-baruan Agraria.

Hall, Derek, Philip Hirsch, dan Tania Li. 2011.

18 Saich, Anthony, 2010, David Dapice, Tarek Masoud,

Dwight Perkins, Jonathan Pincus, Jay Rosengard,

Tho-mas Vallely, Ben Wilkinson, and Jeffrey Williams,

(14)

13

Noer Fauzi Rachman: Rantai Penjelas Konflik-Konflik Agraria ...: 1-14

Powers of Exclusion: Land Dilemmas in Southeast Asia. Singapore and Manoa: NUS Press.

Harvey, David. 2003. The New Imperialism. Ox-ford: Oxford University Press.

____. 2004. “The ‘New’ Imperialism: Accumula-tion by Disposession.” in Socialist Register 2004, edited by L. Panitch and C. Leys. New York: Monthly Review Press.

____. 2005. A Brief History of Neoliberalism. Oxford: Oxford University Press.

Indonesian Commercial Letter. 2011. “Indonesian Commercial Letter, July 2011” http:// www.datacon.co.id/Sawit-2011Kelapa.html (Unduh terakhir tanggal 04 Oktober 2012). ____. 2011. From Reformasi to Institutional Transformation: A strategic Assessment of Indonesia’s Prospects for Growth, Equity and Democratic Governance. Harvard Kennedy School Indonesia Program, Harvard, USA. Kementerian Koordinator Bidang Perekono-mian, 2011. Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indone-sia 2011-2025. Jakarta: Kementerian Koordi-nator Bidang Perekonomian, 2011 .

Kesby, Alison. 2012. The Right to Have Rights: Citizenship, Humanity, and International Law, Oxford University Press,.

Kloppenburg, Jack. 2010. “Impeding disposses-sion, enabling repossession: biological open source and the recovery of seed sovereignty”. Journal of Agrarian Change 10:3 (July): 367-388.

Ollman, Bertell. 2008. “Why Dialectics? Why Now?”, Dialectics for the New Century. Ed-ited by Bertell Ollman dan Tony Smith. Hampshire: Palgrave Macmillan.

Perelman, Michael. 2000. The Invention of Capi-talism: Classical Political Economy and the Secret History of Primitive Accumulation. Durham: Duke University Press.

Polanyi, Karl. 1967 (1944). The Great Transfor-mation: The Political and Economic Origins of Our Time. Boston: Beacon Press. ____. 2001 (1944) The Great Transformation: The

Political and Economic Origins of Our Time.

Boston: Beacon Press.

Rachman, Noer Fauzi. 2012a. “Masyarakat Adat dan Perjuangan Tanah-Airnya”. Naskah kuliah dalam rangka Kongres Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). To-belo, 20 April 2012. http:// w w w.kongres4.aman.or.id/2012/05/ masyarakat-adat-dan-perjuangan-tanah-airnya.asp (Terakhir diunduh pada 10 Maret 2013).

____. 2012b. “Masyarakat Adat dan Perjuangan Tanah-Airnya”. Kompas 11 Juni 2012. Rachman, Noer Fauzi dan Swanvri. 2012.

“Pasar-sebagai-Keharusan: Sebab Struktural Konf lik Agraria”. Sawit Watch Journal. Vol.1:43-54.

Ribot, Jesse dan Nancy Lee Peluso. 2003. “A Theory of Access”. Rural Sociology 68(2):153-81.

Safitri, Myrna A. 2010. “Legislasi Hak-hak Masya-rakat atas Tanah dan Kekayaan Alam dalam Peraturan Perundang-undangan Nasional Indonesia: Model, Masalah, dan Rekomen-dasi”, dalam Masa Depan Hak-hak Komunal atas Tanah: Beberapa Gagasan untuk Pengakuan Hukum: Rekomendasi Kebi-jakan. Universiteit Leiden dan BAPPENAS, hal 15-35.

Sawit Watch. 2012. “Menerka Luasan Kebun Sawit Rakyat” http://sawitwatch.or.id/2012/ 07/menerka-luasan-kebun-sawit-rakyat/ (Unduh terakhir tanggal 04 Oktober 2012). Saich, Anthony, David Dapice, Tarek Masoud, Dwight Perkins, Jonathan Pincus, Jay Rosengard, Thomas Vallely, Ben Wilkinson, and Jeffrey Williams. 2010. Indonesia Menentukan Nasib: dari Reformasi ke Transformasi Kelembagaan. Jakarta: Pener-bit Buku Kompas.

Simarmata, Ricardo. 2006. Pengakuan Hukum terhadap Masyarakat Adat di Indonesia. Jakarta: UNDP.

(15)

Wood, Ellen Meiksins. 1994. “From Opportunity to Imperative: The History of the Market”. Monthly Review 46(3).

____. 1995, Democracy against Capitalism: Re-newing Historical Materialism, Cambridge: Cambridge University Press.

____. 1999a, “Horizontal Relations: A Note on Brenner’s Heresy”, Historical Materialism, 4(1): 171–9.

____. 1999b, “The Politics of Capitalism”, Monthly Review, 51(4): 12–26.

____. 2001. “Contradiction: Only in Capitalism?”, in The Socialist Register 2002, edited by Leo Panitch and Colin Leys, London: Merlin Press.

____. 2002a. The Origin of Capitalism. A Longer View. London, Verso.

(16)

POTRET KONFLIK AGRARIA DI INDONESIA

Widiyanto

*

Abstract AbstractAbstract Abstract

Abstract: For the last three years (2010-2013) the conflicts on natural and agrarian resources has taken public attention beginning from the Government, Parliement, National Commission on Human Right to Non Governmental Organization as they frequently took place. The conflicts, which had been previously latent, later they came into existence.The article talks about the portrait of the agrarian conflicts taking place in Indonesia in general.

Keywords KeywordsKeywords Keywords

Keywords: conflicts, agraria, Indonesia, natural resources. Intisari

IntisariIntisari Intisari

Intisari: Konflik sumberdaya alam dan agraria sepanjang tiga tahun terakhir (2010-2013) menyita perhatian publik, mulai dari Pemerintah, Parlemen, Komnas HAM, dan LSM, mengingat intensitas ledakannya yang cukup sering. Ada tren yang cukup kuat, konflik yang sebelumnya bersifat laten, beberapa tahun belakangan berubah menjadi manifes. Tulisan ini menyajikan potret konflik agraria yang terjadi pada umumnya di Indonesia.

Kata kunci Kata kunciKata kunci Kata kunci

Kata kunci: konflik, agraria, Indonesia, sumberdaya alam...

A. Pengantar

Konflik sumberdaya alam dan agraria secara garis besar disebabkan paling tidak oleh dua hal.

Pertama, adalah ketimpangan penguasaan atas tanah. Negara dan korporasi yang mendapat konsesi darinya memiliki porsi penguasaan atas tanah yang sangat dominan, dibanding dengan penguasaan oleh mayoritas masyarakat di per-desaan yang pada umumnya hidup di bawah garis kemiskinan. Data Konsorsium Pembaruan Agraria, misalnya, menyebut sekitar 64,2 juta hektar tanah atau 33,7 persen daratan di Indone-sia telah diberikan kepada perusahaan-perusa-haan kehutanan, pertambangan gas, mineral, dan batubara berupa izin konsesi. Meskipun Pemerintah mengakui bahwa sebagian besar izin sebenarnya bermasalah.1 Di sektor kehutanan

sendiri, luas hutan yang ditunjuk mencapai

136,94 juta hektar atau 69 persen total luas wilayah Indonesia. Dari jumlah tersebut, baru sekitar 12-13 persen yang telah selesai ditata batas. Dengan wilayah seluas ini, Kementerian Kehutanan sela-ku pihak pemangsela-kunya, merupakan instansi yang memiliki luasan terbesar dibanding instansi lain. Penyebab konflik agraria yang kedua adalah adanya perbedaan sistem penguasaan lahan antar pihak dalam konflik agraria tak kunjung ada ke-pastian. Masyarakat gigih mempertahankan hak penguasaannya secara turun-temurun dan bersi-fat informal, sementara perusahaan dan para pihak lain datang dengan sistem aturan formal yang tidak dikenal dalam kebiasaan masyarakat. Kedua akar utama konflik agraria tersebut memang saling terkait, bahkan melekat. Perbe-daan keduanya baru dapat teridentifikasi melalui pokok masalah hingga penanganannya. Pokok masalah pertama adalah ketimpangan pengu-asaan lahan, kedua adalah pertentangan klaim. Bila konflik didasari ketimpangan penguasaan, maka problem solvingnya yang paling penting didorong adalah dengan mekanisme redistribusi

* Penulis adalah Koordinator Divisi Pusat Database

dan Informasi, www.huma.or.id.

1 Bernhard Limbong, Reforma Agraria, (Jakarta:

(17)

tanah. Sementara bila akar masalah konflik ada-lah pertentangan klaim yang tak seimbang, maka perlu adanya pengakuan yang mengarah pada kepastian penguasaan yang dianggap tak resmi atau formal. Itu sebabnya, gagasan pembaruan agraria berujung pada keadilan dan memberikan kepastian penguasaan kepada kelompok masya-rakat yang lemah.

Lalu bagaimana potret konflik agraria di In-donesia? Apa saja tipologi konflik yang do-minan? Dan bagaimana sebarannya? Pertanyaan selanjutnya, apa implikasi konflik agraria terha-dap hak asasi manusia, sebagai dimensi terpen-ting dalam menjaga eksistensi para pihak teru-tama bagi korban? Dalam tulisan ini, saya lebih menekankan potret konf lik agraria dengan mengacu pada penyebab yang kedua, yakni ada-nya pertentangan klaim penguasaan lahan antar pihak. Konflik bermula dari pertentangan dua sistem penguasaan lahan, formal dan yang in-formal, yang meletusnya dipicu dengan

ke-inginan salah satu pihak untuk memaksakan sistemnya kepada pihak lain.

Banyak konflik yang mulanya terjadi secara diam-diam, tiba-tiba meletus ke permukaan. Perubahan tren konflik tersebut terjadi merata di seluruh Indonesia. Kita bisa simak mulai dari Mesuji di Lampung Utara, Ogan Komering Ilir, Kebumen, hingga Sumbawa. Gambar di atas menunjukkan sebaran konflik di Indonesia.2

B. Sebaran Konflik

Dari data yang didokumentasikan oleh HuMa terlihat bahwa ratusan konflik tersebut terjadi di hampir seluruh provinsi di Indonesia dengan tingkat frekuensi yang berbeda. Beberapa pro-vinsi tidak masuk karena keterbatasan data yang ada. Sangat mungkin provinsi seperti ini justru memiliki intensitas konflik yang tinggi. Sebut

2 Widiyanto, dkk, Outlook Konflik Sumberdaya Alam

dan Agraria, HuMa, 2012

(18)

17

Widiyanto: Potret Konflik Agraria di Indonesia ...: 15-27

saja seperti Provinsi Papua, dimana megaproyek ambisius pengadaan lumbung pangan Merauke Integrated Food and Energy Estate atau dikenal

MIFEE, sedang berlangsung. Proyek ini akan mengkonversi sekitar sejuta hektar lahan yang dikuasai masyarakat adat menjadi areal perke-bunan dan pertanian oleh korporasi-korporasi besar.

HuMa mencatat konflik berlangsung di 98 kota/kabupaten di 22 provinsi. Yang mempriha-tinkan, luasan area konflik mencapai 2.043.287 hektar atau lebih dari 20 ribu km2. Luasan ini setara dengan separoh luas Provinsi Sumatera Barat. Konflik yang didokumentasikan HuMa ini hanya potret permukaan saja. Bisa dibayang-kan jika semua konflik berhasil diidentif ikasi jumlah dan luasannya yang pasti akan jauh lebih besar. Dari 22 provinsi konflik yang didokumen-tasikan HuMa, tujuh provinsi di antaranya me-miliki konflik paling banyak, yakni Aceh, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, Kali-mantan Tengah dan Sumatera Utara.

Tabel 1. Jumlah Kasus Konflik Terbanyak

Sumber: Database HuMa, 2012.

Kalimantan Tengah menjadi provinsi yang paling banyak konflik, dimana 13 dari 14 kabu-paten dan kotanya memendam masalah klaim atas sumberdaya alam dan agraria. Artinya, kon-flik berlangsung merata di wilayah administra-tif provinsi tersebut. Sebanyak 85% dari kasus di Kalimantan Tengah terjadi di sektor perkebunan. Sedangkan 10% merupakan konflik di sektor kehutanan. Sisanya adalah konf lik

pertam-bangan dan konflik lainnya. Meluasnya ekspansi perkebunan monokultur seperti sawit di Kali-mantan tak ayal membuat luas hutan berkurang drastis. Perubahan status kawasan hutan melalui mekanisme pelepasan, tukar-menukar yang tak seimbang, maupun izin pinjam pakai marak terjadi dan cenderung kian tak terkendali. Aki-batnya, konflik klaim adat atas wilayah hutan melawan penunjukan sepihak oleh negara yang paling sering terjadi, makin runyam. Ketika kasus macam ini belum tuntas, kini konflik bertambah antara masyarakat dengan perusahaan. Keempat provinsi se-Kalimantan menyumbang angka 36 persen konflik secara keseluruhan dari data kon-flik HuMa. Konkon-flik-konkon-flik yang terjadi di pro-vinsi-provinsi lain di Nusa Tenggara, Sulawesi, Sumatera dan Jawa juga menunjukkan kondisi yang mencemaskan.

Tipologi konflik yang terjadi di Sumatera hampir mirip dengan Kalimantan, yakni konflik klaim komunitas lokal atau masyarakat adat dengan negara dan perusahaan. Dua pulau besar ini memiliki kawasan hutan yang luas dan bela-kangan menjadi wilayah dominan ekspansi perkebunan sawit di Indonesia. Sementara konflik di Jawa, lebih banyak menyangkut sektor kehutanan, dimana gugatan masyarakat terha-dap penguasaan wilayah oleh Perhutani masih dalam deretan teratas. Konflik yang melibatkan Perhutani terjadi di seluruh wilayah kerja peru-sahaan plat merah tersebut, yaitu di Provinsi Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah dan Jawa Ti-mur. Data resmi Perhutani menunjukkan bahwa perusahaan ini menguasai kawasan hutan seluas 2,4 juta hektar. Terdapat sekitar 6.800 desa yang berkonflik batas dengan kawasan Perhutani di Pulau Jawa.

C. Konflik Dilihat dari Sektor

Menurut data HuMa, konflik perkebunan dan kehutanan menjadi konflik yang paling sering terjadi di Indonesia. Konflik di dua sektor

No Provinsi Jumlah kasus Luas Lahan (hektar)

1

Kalimantan

Tengah 67 kasus 254.671 2 Jawa Tengah 36 kasus 9.043 3 Sumatera Utara 16 kasus 114,385

4 Banten 14 kasus 8,207

5 Jawa Barat 12 kasus 4,422 6 Kalimantan Barat 11 kasus 551,073

(19)

ini mengalahkan konflik pertanahan atau agraria non kawasan hutan dan kebun. Konflik perke-bunan terjadi sebanyak 119, dengan luasan area konflik mencapai 413.972 hektar. Meski frekuensi konf lik kehutanan lebih sedikit dibanding konflik perkebunan, namun secara luasan kon-flik sektor ini paling besar. Dari 72 kasus, luas area konflik kehutanan mencapai 1.2 juta hektar lebih.

Sumber: Database HuMa, 2012.

Meluasnya area konflik sektor perkebunan ditengarai sebagian besar berada di kawasan hutan. Hutan yang sebelumnya ditumbuhi pohon-pohon lebat dan banyak yang dikelola oleh masyarakat, dalam satu dekade mengalami deforestasi yang amat parah. Tingkat konversi hutan cukup tinggi di daerah dimana ekspansi sawit merajalela.Dorongan untuk memacu laju investasi sektor perkebunan sawit diduga mem-perkuat tekanan atas kebutuhan lahan, dan yang paling rentan dikorbankan adalah kawasan ber-hutan. Ini terjadi di Nagari Rantau, Kabupaten Pasaman Barat, Sumatera Barat, yang melibatkan PT. Anam Koto. Perusahaan ini memegang hak guna usaha seluas 4,777 hektar di atas tanah yang dulunya diklaim sebagai wilayah hutan adat. Pendampingan kasus ini dikerjakan oleh Q-Bar, mitra HuMa yang berbasis di Sumatera Barat.

1. Konflik Kehutanan dan Akarnya

Secara umum, konf lik sektor kehutanan terjadi di 17 provinsi. Konflik sektor kehutanan pada umumnya disebabkan hak menguasai negara secara sepihak pada tanah-tanah yang

dikuasai oleh komunitas lokal secara komunal. Politik penunjukan tanah yang diklaim milik negara menyulut perlawanan yang menyebab-kan konflik berlarut-larut.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kemenhut tahun 2007 dan 2009, terdapat 31.957 desa yang saat ini teridentif ikasi berada di sekitar dan dalam kawasan hutan yang sedang menunggu proses kejelasan statusnya. Di banyak desa bahkan hampir secara keseluruhan wilayah administratifnya berada di dalam kawasan hutan lindung atau konservasi yang berarti dapat dengan mudah dianggap sebagai tindakan ilegal, bila ada masyarakat yang memungut atau mengambil kayu hasil hutan.

Ambil contoh Desa Sedoa yang terletak di Kecamatan Lore Utara, Kabupaten Poso, Sula-wesi Tengah. Wilayah administratif desa ini hampir 90 persen berada di kawasan hutan lin-dung dan Taman Nasional Lore-Lindu. Kasus Desa Sedoa kini masih dalam proses pendam-pingan oleh Bantaya, mitra HuMa yang berada di Palu, Sulawesi Tengah. Atau Kelurahan Battang Barat, Kota Palopo, yang sekitar 400 hektar terkena perluasan kawasan Taman Wisata Alam (TWA) Nanggala III yang diadvokasi oleh Wallacea.Bagi desa yang berada dalam kawasan hutan, seperti Desa Sedoa atau Kelurahan Bat-tang Barat, maka atas tanah-tanah dalam desa tersebut tidak dapat diterbitkan sertif ikat atau

(20)

19

Widiyanto: Potret Konflik Agraria di Indonesia ...: 15-27

bukti terkuat kepemilikan atas tanah. Domain pengaturan tanah dalam kawasan hutan berada dalam rezim Kementerian Kehutanan, sementara sertif ikat atau registrasi tanah berada di bawah Badan Pertanahan Nasional. Sepintas masalah desa-desa di sekitar dan di dalam kawasan hutan ini masalah administratif. Akan tetapi perbedaan rezim ini berimplikasi pada pelayanan publik, jaringan infrastruktur, dan lain sebagainya, yang rentan menghadirkan diskriminasi bagi masya-rakat desa dalam kawasan hutan tersebut.

Selain konf lik mengenai kejelasan status wilayah administratif, konflik kehutanan juga dilatari perbedaan cara pandang antara perusa-haan dengan komunitas setempat atas jenis ta-naman yang ditanam. Biasanya konflik seperti ini maraknya terjadi pada area-area konsesi hutan produksi atau hutan tanaman industri yang me-miliki tutupan primer. Perusahaan membutuh-kan lahan skala luas untuk ditanami bahan baku pembuatan kertas atau kayu lapis olahan. Salah

satu contoh konf lik kehutanan kategori ini terjadi pada kasus PT. Toba Pulp Lestari di Ka-bupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara. Perusahaan membabat Hutan Kemenyan (Tombak Haminjon) yang sudah dikuasai secara turun temurun oleh masyarakat adat Pandu-maan dan Sipituhuta, dan menggantinya dengan pohon ekaliptus. Terjadi pula pada kasus PT. Wira Karya Sakti yang membabat hutan primer untuk ditanami akasia dan ekaliptus di Kabu-paten Tanjung Jabung Barat, Jambi. Serta kasus PT. Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) di Semenanjung Kampar, Teluk Meranti, Kabupa-ten Pelalawan, Riau.

2. Akar-akar Konflik Perkebunan

Sementara itu, jika konflik sektor perkebunan tidak mendapat perhatian serius, bukan tak mungkin luas lahan yang disengketakan akan menyamai, bahkan melebihi luas area kehutanan yang berkonflik.

Gambar 2. Sebaran konflik Sumber Daya Alam Sektor Kehutanan di Indonesia.

(21)

Konf lik perkebunan yang massif terjadi belakangan secara tidak langsung dipicu oleh ambisi Pemerintah untuk menjadikan sawit sebagai komoditas unggulan Indonesia yang terbesar di dunia.

Dalil ini kemudian dimanfaatkan oleh kalangan pengu-saha sawit untuk m e n d a p a t k a n berbagai proteksi dari Pemerintah. Parahnya, Peme-rintah lokal juga turut ‘bermain’ dalam memudah-kan penguasaan lahan dan pengoperasian perkebunan sawit di daerahnya dengan pertimbangan ekonomi-politik jangka pendek.

Dari data HuMa, paling tidak terdapat 14 provinsi yang tercatat memiliki konflik perke-bunan yang mayoritas terjadi di Kalimantan dan Sumatera. Banyak sumber yang merilis data mengenai konversi besar-besaran kawasan hutan menjadi area perkebunan kelapa sawit. Komu-nitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, misal-nya, menyebut penyusutan kawasan hutan seluas 1,1 juta hektar di Jambi dalam dua dekade ter-akhir.3

3. Konflik Pertambangan

Data konflik sektor pertambangan agaknya memang tak sebanyak konflik kehutanan dan perkebunan. Akan tetapi konflik sektor ini sangat mudah meletup dibanding sektor kehutanan, yang cenderung bersifat laten. Dari pantauan HuMa, komunitas lokal sangat gigih

memper-tahankan wilayah kelolanya yang dirampas oleh perusahaan dengan izin konsesi tambang, tanpa ada pertimbangan persetujuan dengan dasar informasi tanpa paksaan atau free, prior and in-formed consent (FPIC).

Wilayah-wilayah pertambangan perusahaan umumnya berada di kawasan yang memiliki dimensi religius-magis bagi masyarakat adat setempat. Perusahaan berdalih memegang izin formal, masyarakat kukuh mempertahankan wilayah yang sakral bagi leluhur mereka. Konflik pun termanifes. Konflik pertambangan memiliki kecenderungan sering terjadi bentrok f isik di dalamnya. Korban luka banyak berjatuhan, bebe-rapa di antaranya sampai meninggal dunia.

Dalam konflik pertambangan, perusahaan hampir selalu tampil sebagai pemenang. Aparat polisi, jaksa, hingga hakim cenderung lebih mengutamakan pihak yang memegang konsesi sebagai alas hukum ketimbang adat yang diang-gap tak resmi atau formal.Perusahaan tambang sendiri dengan mudah membelokkan tudingan penyerobotan tanah, kawasan hutan atau pence-maran lingkungan sebagai efek destruksi pengo-lahan tambang terhadap lingkungan, menjadi persoalan administrasi konsesi atau kontrak karya. Tak jarang justru perusahaan-perusahaan dibantu aparat penegak hukum melakukan kriminalisasi terhadap warga yang melakukan

3

http://www.mongabay.co.id/2012/12/03/foto-udara- kehancuran-hutan-jambi-akibat-perambahan-ekspansi-perkebunan/

Gambar 3. Sebaran konflik Sumber Daya Alam Sektor Kehutanan di Indonesia.

(22)

21

Widiyanto: Potret Konflik Agraria di Indonesia ...: 15-27

protes dengan dalih anarkis. Warga ditangkapi, ditahan, bahkan banyak yang dipenjarakan. Seperti yang terjadi pada PT. Sorikmas Mining yang beroperasi di Kabupaten Mandailing Na-tal, Sumatera Utara.

Mahkamah Agung dalam putusan hak uji materi SK Menteri Kehutanan No.126-Menhut-II/2004 tentang Perubahan Fungsi dan Penun-jukan Kawasan Taman Nasional Batang Gadis memenangkan perusahaan yang sebagian besar dimiliki oleh Aberifoyle Pungkut Investment Singapura ini. Terkait kasus yang sama, lima orang masyarakat Desa Huta Godang Muda dise-ret ke pengadilan atas laporan PT. Sorikmas.

Di Kalimantan Barat, tepatnya di Pelaik Keru-ap, Kabupaten Melawi, yang merupakan daerah dampingan Lembaga Bela Banua Talino (LBBT), tiga orang tokoh komunitas setempat dihukum penjara dengan dakwaan menahan tanpa hak rombongan surveyor perusahaan eksplorasi tam-bang PT. Mekanika Utama yang masuk kampung tengah malam. Padahal masyarakat setempat sejatinya berniat untuk menanyakan maksud kedatangan rombongan saat itu. Kasus krimi-nalisasi dalam konflik pertambangan juga me-nimpa empat warga Sirise, Kabupaten Mang-garai, Nusa Tenggara Timur. Mereka dihukum lima bulan penjara karena mempertahankan

lingko atau hutan adat yang diserobot konsesi perusahaan tambang.

D. Siapa Para Pihak yang Terlibat Konflik?

HuMa dengan menggunakan sistem pen-dokumentasian HuMaWin, mengidentif ikasi para pihak bersifat komunal. Unit terkecilnya adalah komunitas, masyarakat, atau kelompok. Tidak individual. Ada sembilan pihak yang terlibat dalam konflik sumberdaya alam dan agraria yang diidentif ikasi HuMa, yaitu: a) Masyarakat Adat; b) Komunitas Lokal; c) Kelom-pok Petani; d) Taman Nasional/Kementerian

Kehutanan; e) Perhutani; f ) PT. Perkebunan Nusantara (PTPN); g) Perusahaan/Korporasi; h) Perusahaan Daerah; i) Instansi Lain.

Masyarakat adat dengan komunitas lokal sengaja dibedakan untuk menjelaskan perbe-daan klaim historis atas lahan konflik. Sementara kelompok petani diidentif ikasi bagi pihak yang terkait dengan relasi kontraktual dengan peru-sahaan. Ketiga pihak ini merupakan pihak yang menjadi korban. Kementerian Kehutanan ma-suk sebagai pihak yang berkonflik karena kewe-nangan institusionalnya yang melekat untuk menunjuk hingga menetapkan kawasan hutan.

Tabel 2. Para pihak yang berkonflik

Sumber: Database HuMa, 2012.

Perhutani sebagai institusi dipisahkan dengan Kementerian Kehutanan. Sebagai unit bisnis yang memiliki sejarah dan area konsesi tersendiri, perusahaan plat merah yang mengelola hutan

Para Pihak Frekuensi dalam

Konflik

Perusahaan/Korporasi 158 Komunitas Lokal 153

Petani 41

Masyarakat Adat 34

Perhutani 30

Taman Nasional/

Kemenhut 20

PTPN 11

Pemerintah Daerah 7

(23)

Jawa ini patut dipertimbangkan sebagai pihak yang berkonflik. Dasar pendirian Perhutani pertama kali adalah Surat Keputusan Gubernur Jenderal (Staatblad No. 110 tahun 1911) dan mengalami berkali-kali revisi terakhir adalah Peraturan Pemerintah No.72 tahun 2010 tentang Perusahaan Umum Kehutanan Negara. Demi-kian pula PTPN. Dalam setahun terakhir perkem-bangan perusahaan negara di sektor perkebunan ini perlu perhatian, terutama terkait konflik la-han. Posisinya dalam peta ekonomi nasional semakin signif ikan tatkala kebijakan nasional mendorong pertumbuhan investasi dengan menggenjot produksi komoditas dalam negeri. Oleh karenanya, PTPN didudukkan sebagai unit pelaku yang terlibat konflik secara tersendiri, terpisah dengan entitas perusahaan (swasta). Me-nurut data yang didokumentasi HuMa, paling tidak PTPN terlibat dalam 11 kasus konflik agrari, tentu kesemuanya berada di sektor perkebunan. PTPN berperan penting sebagai produsen komoditas andalan nasional, seperti gula dan kopi. Tak heran bila Menteri Negara Urusan Ba-dan Usaha Milik Negara (Menneg BUMN), Dah-lan Iskan, yang membawahi PTPN, mati-matian membela luasan wilayah PTPN ketika meletup kasus Cinta Manis, Sumatera Selatan, yang digugat warga karena telah menyerobot tanah mereka. Instansi lain di sini merujuk pada organ kekuasaan yang ternyata mengklaim punya penguasaan atas tanah, seperti TNI Angkatan Darat dan Angkatan Laut.

Dari data yang dihimpun HuMa, perusahaan/ korporasi atau koperasi menempati urutan pertama sebagai pelaku dalam konflik agraria dan sumberdaya alam. Perusahaan/korporasi banyak terlibat konflik di sektor perkebunan dan pertambangan berlawanan dengan komunitas lokal, masyarakat adat, bahkan dengan kelom-pok petani. Bila terlibat di sektor kehutanan, da-pat dipastikan mereka terlibat di kawasan hutan yang status kawasannya hutan produksi.

Fre-kuensi keterlibatan perusahaan/korporasi men-capai 35% dari keseluruhan data pelaku yang didokumentasikan HuMa. Posisi perusahaan/ korporasi sebagai pelanggar hak asasi manusia yang tinggi juga tercatat dalam laporan yang dirilis oleh Komnas HAM atau lembaga advokasi seperti Walhi. Hal ini menunjukkan makin be-sarnya peran perusahaan/korporasi di segala sektor kehidupan masyarakat, menggeser peran dominan negara.

Dominannya swasta bisa kita simak lewat per-putaran uang yang melibatkan sektor swasta. Menurut Sof ian Wanandi, Ketua Asosiasi Pengu-saha Indonesia (Apindo), perputaran uang di swasta mencapai Rp. 7.000 trilyun. Bandingkan dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Nega-ra (APBN) yang hanya sekitar Rp. 1.200 trilyun. Dengan demikian peran swasta di masa depan, dapat dipastikan akan membesar. Ini catatan penting untuk diantisipasi dalam proses penye-lesaian konflik agraria yang akan mengorbankan masyarakat.

Taman Nasional atau dalam hal ini Kemen-terian Kehutanan pada umumnya terlibat dalam sengketa tata batas atau perluasan kawasan secara sepihak oleh Kementerian Kehutanan, seperti terjadi di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS), yang tertuang dalam SK Men-hut No. 175/Kpts-II/2003. Seperti yang diidenti-fikasi Rimbawan Muda Indonesia (RMI), paling tidak terdapat 314 kampung yang terkena perlu-asan itu yang tersebar di sekitar kawperlu-asan Gunung Halimun-Salak, di Kabupaten Bogor maupun Kabupaten Lebak. Salah satu kampung yang ter-kena perluasan TNGHS adalah Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan Nang-gung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

(24)

23

Widiyanto: Potret Konflik Agraria di Indonesia ...: 15-27

Disusul kemudian Perhutani dengan 30 kasus, dan Taman Nasional 20 kasus, PTPN di 11. Kemu-dian Pemda dengan 7 kasus dan instansi lain 2 kasus. Berikut tabel para pihak pelaku konflik sumberdaya alam dan agraria yang dihimpun HuMa:

Sumber: Database HuMa, 2012.

E. Tipologi Konflik dan Pelanggaran terhadap HAM

1. Tipologi Konflik Berdasar Pelaku

Secara umum dengan melihat para pihak yang terlibat dalam konflik sumberdaya alam dan agraria, terdapat empat jenis konflik yang do-minan terjadi di Indonesia. Posisi perusahaan/ korporasi sebagai pelaku utama muncul paling sering di empat tipologi konflik. Empat tipologi konflik tersebut adalah: (1) Komunitas Lokal melawan Perusahaan/Korporasi; (2) Petani mela-wan Perusahaan; (3) Komunitas Lokal melamela-wan Perhutani; (4) Masyarakat Adat melawan Peru-sahaan.

Tingginya frekuensi keterlibatan perusahaan ini disumbang dari konflik sektor perkebunan dan pertambangan. Barangkali hampir keselu-ruhan konflik sumberdaya alam dan agraria ber-dasar pada perbedaan ber-dasar klaim para pihak yang menyebabkan tumpang-tindih klaim. Dasar klaim formal umumnya dijadikan pegangan oleh perusahaan berhadapan dengan klaim historis nonformal versi komunitas lokal atau masyarakat adat.

Berangkat dari tipologi konflik yang telah dipaparkan, sejumlah pelanggaran hak asasi manusia telah terjadi di dalamnya. Sejalan dengan perkembangan hak asasi manusia, maka saat ini perusahaan atau korporasi dapat dikate-gorikan sebagai pelaku. Tidak hanya negara. Perusahaan tidak hanya beroperasi dengan ber-singgungan dengan dimensi publik atau rakyat, akan tetapi perusahaan atau bisnis juga menga-lami pergeseran peran yang dalam banyak hal menggerus kewenangan negara.

Menurut Kerangka Kerja PBB mengenai Prinsip-prinsip Panduan untuk Bisnis dan Hak Asasi Manusia “Perlindungan, Penghormatan, dan Pemulihan”, setidaknya terdapat tiga pilar penting dalam hal kaitan bisnis dan hak asasi manusia ini. Pertama, tugas negara untuk melindungi dari pelanggaran hak asasi manusia oleh pihak ketiga, termasuk perusahaan bisnis, melalui kebijakan, peraturan, dan peradilan yang sesuai. Kedua, adalah tanggung jawab korporasi untuk menghormati hak asasi manusia, yang berati bahwa perusahaan bisnis harus bertindak dengan uji tuntas untuk menghindari dilaku-kannya pelanggaran atas hak pihak lain dan un-tuk mengatasi akibat yang merugikan di mana mereka terlibat. Ketiga, adalah kebutuhan atas akses yang lebih luas oleh korban untuk men-dapatkan pemulihan yang efektif, baik yudisial maupun non yudisial.

Dalam realitas di lapangan, perusahaan seringkali menggunakan instrumen atau

(25)

ratur negara dalam melakukan tindak kekerasan. Perusahaan dengan modalitas ekonominya mampu mempengaruhi dan bahkan memaksa aparatur negara menghalau demonstrasi atau protes-protes komunitas lokal atau masyarakat adat dengan membabi buta. Contoh kongkrit dalam relasi organisasi bisnis yang menggunakan entitas atau aparat negara yang mengakibatkan korban dapat kita lihat dalam kasus Mesuji atau Cinta Manis yang mengakibatkan korban komu-nitas lokal berjatuhan.

2. Pelanggar dan Pelanggaran HAM

Sistem pendokumentasian HuMaWin meng-klasif ikasi kejadian seperti ini masuk dalam kategori peristiwa yang melingkupi kasus. HuMaW in mendokumentasikan konf lik dengan dasar kasus, bukan peristiwa. Sehingga keluaran data pelanggar berbeda dengan data para pihak yang bertindak sebagai pelaku dalam konflik yang didokumentasikan. Bila dalam kategori pelaku konf lik, perusahaan atau korporasi menempati urutan teratas, maka dalam kategori pelanggar hak asasi manusia dalam konf lik agraria, entitas negara yang menempati pelanggar pertama. Dari tingginya pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi melingkupi konflik agraria menunjukkan bahwa penanganan konf lik yang termanifes pada umumnya berlangsung sistematis menyasar pada kelompok masyarakat yang melakukan aksi demonstrasi menentang konsesi atau izin perusahaan. Aparat negara, seperti personel Brimob, dalam hal ini cenderung memposisikan dirinya sebagai pihak yang mengamankan aset perusahaan ketimbang melindungi masyarakat. HuMa mencatat sebanyak 91.968 orang dari 315 komunitas telah menjadi korban dalam konflik sumberdaya alam dan agraria.

HuMa juga mengidentifikasi pelaku pelang-gar hak asasi manusia dari kalangan individu yang memiliki posisi dan pengaruh dalam

kekuasaan, umumnya di tingkat lokal. Kategori pelaku individu ini dialamatkan kepada orang seperti ketua kerapatan adat, yang menggunakan kekuasaan simboliknya sebagai tetua adat untuk menghasut atau menyerang masyarakat yang melakukan protes-protes. Berikut tabel pelanggar HAM yang berhasil dihimpun.

Tabel 3. Pelaku dan Pelanggar HAM

Sumber: Database HuMa, 2012.

Dalam konflik sumberdaya alam dan agraria, jenis pelanggaran yang sering terjadi adalah pelanggaran terhadap hak ekonomi, sosial-bu-daya—utamanya adalah hak ekonomi, akan teta-pi hak siteta-pil-politik dalam berbagai bentuk seperti bentrokan yang disertai penembakan, sweeping, penangkapan, penganiayaan, penggusuran, dan perusakan properti milik komunitas juga kerap dilakukan pelaku. Berikut contoh beberapa keja-dian yang di dalamnya terdapat pelanggaran hak sipil-politik.

Tabel 4. Beberapa contoh pelanggaran HAM di daerah

Pelaku Pelanggar HAM Peristiwa Prosentase

Entitas Negara 266 53,96% Organisasi Bisnis 179 36,31% Individu dalam posisi

memiliki kekuasaan 48 9,74% Jumlah 493 100,00%

No Daerah Pihak yang bersengketa dengan komunitas

Pelanggaran hak sipil dan politik 1 Aceh

Tamiang

PT Sinar Kaloy Perkasa Indo

Pemaksaan Datok Desa tandatangani rekomendasi perluasan HGU 2 Muara Enim Pengusaha Burhan Penangkapan Junaidi dan

Kosim 3 Pasaman

Barat

PT. Permata Hijau Pasaman II

20 orang terluka, 1 keguguran saat polisi melakukan sweeping. Warga lain trauma todongan senjata. 4 Tanjung

Jabung Barat

PT Wira Karya Sakti Ahmad (45) tewas ditembak anggota Brimob. 5 Pasaman

Barat

PT. Anam Koto Penculikan terhadap 2 aktivis dan 5 warga

6 Binjai PTPN 2 Sei Semayang Remi (22) tewas akibat panah beracun saat pertahankan lahan

7 Bengkalis PT Arara Abadi Penangkapan 200 warga disertai kekerasan, 1 balita mati

8 Manggarai Timur

Pemda Manggarai Pemukulan terhadap warga yang tolak tanda tagan penyerahan tanah 9 Minahasa

Selatan

Gambar

Gambar 1. Sebaran konflik Sumber Daya Alam di Indonesia. Sumber: Database HuMa, 2012.
Gambar 2. Sebaran konflik Sumber Daya Alam Sektor Kehutanan di Indonesia.Sumber: Database HuMa, 2012.
Tabel 2. Para pihak yang berkonflik
Tabel 4. Beberapa contoh pelanggaran HAMdi daerah
+7

Referensi

Dokumen terkait

Mengetahui Pokja Jasa Konsultansi Kepala Unit Layanan Pengadaan Ketua. ttd

Menurut beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan kegiatan ekstrakurikuler merupakan kegiatan di dalam sekolah yang menggunakan waktu diluar jam Kegiatan Belajar

Dalam pembelajaran kimia sebagian besar materi kimia dapat dikaitkan dengan kondisi atau masalah yang ada dalam kehidupan sehari-hari, seperti pada topik asam basa, banyak

Apa yang terjadi pada ileum tikus sehingga memberikan respon yang bervariasi  pada pemberian metacholine dan atropin dapat dijelaskan dengan 3 teori, yaitu

Bagian Keempat: Jual Beli dengan Syarat Khusus Bagian Kelima: Berakhirnya Akad Jual Beli Bagian Ketujuh: Hak yang Berkaitan dengan Harga dan Barang Setelah Akad Jual Beli

Perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti adalah sasaran penelitian yaitu pasien dewasa bangsal penyakit dalam yang menjalani rawat inap, teknik

Hal lain yang juga mungkin terjadi adalah suatu keadaan di mana penganalisis leksikal tidak dapat melanjutkan proses karena tidak satupun pola untuk token yang cocok dengan

H Soewondo yang masuk shift pagi sebagian besar mengalami stres tingkat ringan, dan sebagian mengalami stres tingkat sedang, hal ini disebabkan oleh karena jumlah