BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1Paradigma dan Perspektif Kajian
Paradigma merupakan suatu model dari teori ilmu pengetahuan dan
kerangka berfikir. Menurut Guba dan Lincoln, paradigma adalah seperangkat
kepercayaan dasar yang menjadi prinsip utama dalam menentukan pandangan
tentang dunia dan menjelaskan pada penganutnya tentang alam dunia. Artinya,
paradigma bisa dikatakan sebagai suatu kepercayaan, cara pandang, atau prinsip
dasar yang ada dalam diri seseorang tentang pandangan dunia dan membentuk
cara pandangnya terhadap dunia (Wibowo, 2013:36).
Cara pandang disebut juga perspektif. Sebagaimana diutarakan, perspektif
dimaknai sebagai paradigma. Istilah ini pertama kali diperkenalkan Thomas
Khun, yang sinonim dengan disciplinary matrix atau weltanschaung. Maka,
definisi paradigma ilmu adalah cara pandang seseorang terhadap diri dan
lingkungan keilmuan yang akan mempengaruhi dalam berpikir, bersikap, dan
bertingkah laku dalam upaya mencari dan menemukan pengetahuan ilmu dan
kebenaran (Vardiansyah, 2008:50).
Cresswel membedakan dua macam paradigma yakni kuantitatif dan
kualitatif (Sunarto & Hermawan, 2011:9). Penelitian ini menggunakan paradigma
kualitatif yakni sudut pandang dalam penelitian yang melihat hubungan antara
fakta yang diteliti dengan peneliti yang bersifat dependen, sehingga fakta yang
diteliti dalam berbagai dimensi bersifat subjektif dan tidak bebas nilai (Ardial,
2014:520). Paradigma ilmu komunikasi berdasarkan metodologi penelitiannya,
menurut Dedy Nur Hidayat (1999) yang mengacu pada pemikiran Guba dan
Lincoln (1994) ada tiga paradigma yaitu: (1) paradigma klasik yang mencakup
positivisme dan post positivisme, (2) paradigma konstruktivisme (3) paradigma
kritis (Bungin, 2008:237).
Paradigma inilah yang sangat mempengaruhi pandangan seseorang dalam
mengambil suatu tindakan atau sesuatu hal apapun. Misalnya dua orang yang
sama dihadapkan dengan suatu fenomena yang sama, atau suatu peristiwa yang
terhadap fenomena atau peristiwa tersebut. Kedua orang tersebut juga akan
menghasilkan penilaian, sikap, tindakan, bahkan pandangan yang berbeda juga.
Perbedaan ini bisa terjadi karena kedua orang tersebut memiliki paradigma yang
berbeda, yang secara otomatis mempengaruhi persepsi dan tindakan
komunikasinya.
2.1.1 Perspektif Konstruktivisme
Konstruktivisme menolak pandangan positivisme yang memisahkan
subjek dan objek komunikasi. Dalam konstruktivisme, bahasa tidak lagi hanya
dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka dan dipisahkan dari
subjek sebagai penyampai pesan. Konstruktivisme justru menganggap subjek
sebagai faktor sentral dalam kegiatan komunikasi serta hubungan-hubungan
sosialnya. Subjek memiliki kemampuan melakukan kontrol terhadap
maksud-maksud tertentu dalam setiap wacana (Ardianto & Q Anees, 2007:151).
Konsep mengenai konstruktivisme diperkenalkan oleh sosiolog interpretif,
Peter L. Berger bersama Thomas Luckman. Paradigma konstruktivisme
memandang realitas kehidupan sosial bukanlah sebagai realitas natural, tetapi
hasil dari konstruksi. Konsentrasi analisis pada paradigma konstruktivis adalah
menemukan bagaimana peristiwa atau realitas tersebut dikonstruksi dan dengan
cara apa konstruksi tersebut dibentuk (Eriyanto, 2001:37).
Sejarah konstruktivisme dapat dirunut pada teori Popper yang
membedakan alam semesta ke dalam tiga bagian. Pertama, dunia fisik atau
keadaan fisik. Kedua, dunia kesadaran atau mental atau disposisi tingkah laku.
Ketiga, dunia dari isi objektif pemikiran manusia, khususnya pengetahuan ilmiah, puitis, dan seni. Bagi Popper, objektivisme tidak dapat dicapai pada dunia fisik,
melainkan selalu melalui dunia pemikiran manusia. Pemikiran ini kemudian
berkembang menjadi konstruktivisme yang tidak hanya menyajikan batasan baru
mengenai keobjektifan, melainkan juga batasan baru mengenai kebenaran dan
pengetahuan manusia (Ardianto & Q Anees, 2007:153).
Konstruktivisme berpendapat bahwa semesta secara epistemologi
merupakan hasil konstruksi sosial. Pengetahuan manusia adalah konstruksi yang
dibangun dari proses kognitif dengan interaksinya dengan dunia objek material.
bukan reproduksi kenyataan. Konstruktivisme menolak pengertian ilmu sebagai yang “terberi” dari objek pada subjek yang mengetahui. Unsur subjek dan objek sama-sama berperan dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan. Dengan demikian
paradigma konstruktivis mencoba menjembatani dualisme
objektivisme-subjektivisme dengan mengafirmasi peran subjek dan objek dalam konstruksi
ilmu pengetahuan (Ardianto & Q Anees, 2007 : 151-153).
Para konstruktivis percaya bahwa pengetahuan itu ada dalam diri
seseorang yang sedang mengetahui. Pada proses komunikasi, pesan tidak dapat
dipindahkan begitu saja dari otak seseorang ke kepala orang lain. Penerima pesan
sendirilah yang harus mengartikan apa yang telah diajarkan dengan menyesuaikan
terhadap pengalaman mereka. Konsep penting konstruktivisme adalah bahwa
pengetahuan bukanlah tertentu dan deterministik, tetapi suatu proses menjadi tahu
(Ardianto & Q Anees, 2007:154).
Berangkat dari penjelasan teoritik tadi, konstruktivisme merujuk pada
pengetahuan yang dikonstruksi sudah ada di benak subjek. Namun,
konstruktivisme juga meyakini bahwa pengetahuan bukanlah hasil sekali jadi
melainkan sebuah proses yang panjang dari sejumlah pengalaman. Ada banyak
situasi yang memaksa seseorang untuk mengadakan perubahan. Menurut
Bettencourt, situasi perubahan tersebut meliputi: konteks tindakan, konteks
membuat masuk akal, konteks penjelasan, dan konteks pembenaran.
Pentingnya pengalaman dalam proses pengetahuan ini membuat proses
konstruksi membutuhkan beberapa kemampuan sebagai berikut: Pertama,
kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman. Kedua,
kemampuan membandingkan, mengambil keputusan (justifikasi) mengenai
persamaan dan perbedaan. Ketiga, kemampuan untuk lebih menyukai pengalaman
yang satu dari yang lain. Bettencourt menyebutkan beberapa hal yang dapat
membatasi proses konstruksi pengetahuan manusia, antara lain Pertama,
konstruksi kita yang lama. Kedua, domain pengalaman kita. Ketiga, jaringan
struktur kognitif kita.
Paradigma konstruktivis ini, menegaskan bahwa pengetahuan tidak lepas
dari subjek yang sedang belajar mengerti. Konstruktivisme menekankan bahwa
mendasarkan pada penafsiran teks yang menjadi objek penelitian. Dalam proses
penafsiran teks, pengalaman, latar belakang, dan perasaan peneliti dapat
mempengaruhi hasil penelitian. Dalam penelitian ini akan digunakan paradigma
konstruktivis, karena seperti yang dijelaskan tadi, konsentrasi analisis pada
paradigma konstruktivis adalah menemukan bagaimana peristiwa atau realitas
tersebut dikonstruksi dan dengan cara apa konstruksi tersebut dibentuk.
2.2Kajian Semiotik dalam Studi Komunikasi Massa
Teori adalah sebuah sistem konsep abstrak yang mengindikasikan adanya
hubungan diantara konsep-konsep tersebut yang membantu kita memahami
sebuah fenomena. Stephen Littlejohn dan Karen Foss (2005) menyatakan bahwa
sistem yang abstrak ini didapatkan dari pengamatan yang sistematis. Jonathan H. Turner (1986) mendefinisikan teori sebagai “sebuah proses mengembangkan ide -ide yang membantu kita menjelaskan bagaimana dan mengapa suatu peristiwa
terjadi (West & Turner, 2009:49).
Teori merupakan seperangkat proposisi-proposisi yang dikandung dan
yang membentuk teori terdiri atas beberapa konsep yang terjalin dalam bentuk
hubungan sebab-akibat. Namun, karena di dalam teori juga terkandung konsep
teoritis yang berfungsi menggambarkan realitas dunia sebagaimana yang dapat
diobservasi (Suyanto & Sutinah, 2005:34). Adapun teori yang relevan dengan
penelitian ini adalah:
2.2.1 Komunikasi Massa
Konsep komunikasi massa pertama kali diciptakan pada tahun 1920 atau
1930-an yang diterapkan pada kemungkinan baru untuk komunikasi publik yang
muncul dari pers massa, radio, dan film. Media-media ini memperbesar khalayak
potensial melampaui minoritas yang melek huruf. Hal yang baru secara esensial
baru adalah gaya industrial dan skala organisasi produksi dan penyebaran. Media
massa pers, radio, dan film yang waktu itu baru, bersama juga dengan musik rekaman, juga memunculkan varian baru dari „budaya populer‟.
Konteks untuk semua perkembangan ini adalah salah satu perubahan yang
waktu untuk pertumbuhan dan konsentrasi populasi di kota-kota besar, mekanisasi
dan birokratisasi di semua aspek kehidupan, serta ekspansi imperialis oleh para
warga Eropa dan Amerika. Saat itu juga merupakan periode perubahan politik,
pergerakan sosial, dan peperangan bencana antarnegara. Oleh sebab itu, media
massa baru memainkan peranan mereka dalam peristiwa-peristiwa ini
sebagaimana pula menyediakan alat relaksasi dan hiburan bagi massa.
Makna awal dari „komunikasi massa‟ dan yang masih bertahan, diambil sebagian besar dari gagasan orang sebagai „massa‟ dan dari karakteristik media
massa yang dipersepsikan. Kata „massa‟ dipersepsikan sebagai ukuran,
anonimitas, ketidaktahuan secara umum, kurangnya stabilitas dan rasionalitas, dan
sebagai hasilnya mereka rentan terhadap persuasi dan saran (McQuail, 2011:308).
2.2.1.1Karakteristik Komunikasi Massa
Definisi-definisi komunikasi massa secara prinsip mengandung suatu
makna yang sama, bahkan antara satu definisi dengan definisi lainnya dapat saling
melengkapi. Jay Black dan Frederick C. Whitney mendefinisikan komunikasi
massa sebagai sebuah proses dimana pesan-pesan diproduksi secara massal lalu
disebarkan kepada massa penerima pesan yang luas, anonim, dan heterogen.
Melalui salah satu definisi tersebut, dapat diketahui karakteristik komunikasi
massa sebagai berikut (Nurudin, 2011 : 19-30):
1. Komunikator Melembaga
Komunikator adalah salah satu elemen komunikasi massa.
Komunikator dalam komunikasi massa bukan satu orang, melainkan
kumpulan orang, yang artinya gabungan antar berbagai macam unsur dan
bekerja satu sama lain dalam sebuah lembaga.
2. Komunikan Bersifat Heterogen
Audience dalam komunikasi massa sangatlah heterogen karena,
jika ditinjau dari asalnya, mereka berasal dari berbagai kelompok
masyarakat. Satu sama lain tidak saling mengenal dan antarindividu itu
tidak berinteraksi secara langsung.
Pesan-pesan dalam komunikasi masssa tidak ditujukan kepada satu
orang atau satu kelompok masyarakat tertentu. Dengan kata lain,
pesan-pesannya ditujukan pada khalayak yang plural.
4. Komunikasi Bersifat Satu Arah
Dikatakan satu arah karena ketika kita menerima informasi lewat
media yang kita baca atau kita tonton, kita tidak bisa langsung
memberikan respon kepada media massa yang bersangkutan, seperti
halnya kita melakukan komunikasi tatap muka. Kalaupun bisa, sifatnya
tertunda. Misalnya kita mengirimkan ketidaksetujuan pada berita itu
melalui rubrik surat pembaca. Jadi, komunikasi yang berjalan satu arah
akan memberi konsekuensi umpan balik yang sifatnya tidak langsung
(delayed feedback). Dengan demikian, komunikasi massa itu berlangsung satu arah.
5. Komunikasi Menimbulkan Keserempakan
Kelebihan komunikasi massa dibandingkan dengan komunikasi
lainnya adalah jumlah sasaran khlayak atau komunikan yang dicapainya
relatif banyak dan tidak terbatas. Komunikan yang banyak tersebut secara
serempak pada waktu yang bersamaan memperoleh pesan yang sama pula.
6. Komunikasi Dikontrol oleh Gatekeeper
Selain komunikator, elemen komunikasi massa yang lain adalah
gatekeeper. Seperti yang telah diutarakan, bahwa gatekeeper adalah semua pekerja media, antara lain wartawan, editor film/surat kabar/buku, manajer
pemberitaan, penjaga rubrik, kameramen, sutradara, dan lembaga sensor
film yang semuanya mempengaruhi bahan yang akan dikemas dalam
pesan media massa masing-masing. Gatekeeper berfungsi untuk
menginterpretasikan pesan, menambah data, mengurangi pesan-pesan, dan
menganalisis yang intinya mereka merupakan pihak yang ikut menentukan
pengemasan sebuah pesan dari media massa.
7. Stimulasi Alat Indra Terbatas
Pada komunikasi massa, stimulasi alat indra bergantung pada jenis
media massa yang digunakan. Pada surat kabar dan majalah, pembaca
mendengar, sedangkan pada media televisi dan film, menggunakan indra
penglihatan dan pendengaran.
2.2.1.2 Fungsi Komunikasi Massa
Karlinah, dalam Karlinah, dkk (1999) mengemukakan fungsi
komunikasi massa secara umum (Ardianto & Komala, 2004: 19-22) yakni:
a. Fungsi informasi, yaitu diartikan bahwa media massa adalah penyebar informasi bagi pembaca, pendengar atau pemirsa. Berbagai informasi dibutuhkan oleh khalayak media massa yang bersangkutan sesuai dengan kepentingan khalayak. Khalayak media massa berlangganan suratkabar, majalah, mendengarkan radio siaran atau menonton televisi karena mereka ingin mendapatkan informasi tentang peristiwa yang terjadi.
b. Fungsi pendidikan, yaitu media massa merupakan sarana pendidikan bagi khalayaknya. Karena media massa pada dasarnya direkomendasikan untuk lebih banyak menyajikan program yang sifatnya mendidik. Melalui program-program edukasi seperti olimpiade dan kuis yang menguji daya pikir masyarakat baik untuk siswa/anak sekolah maupun kalangan umum. Begitu juga dengan program serial yang bermutu untuk semua kalangan baik itu sinetron, ftv, film pendek, dan lain-lainnya.
c. Fungsi mempengaruhi, yaitu media massa secara implisit terdapat pada
tajuk/editorial, features, iklan, artikel, dan sebagainya. Khalayak dapat
terpengaruh oleh iklan-iklan yang ditayangkan televisi ataupun surat kabar.
d. Fungsi korelasi, yaitu fungsi yang menghubungkan bagian-bagian dari masyarakat agar sesuai dengan lingkungannya. Maka peran media massa sebagai penghubung antara berbagai komponen masyarakat. Sebuah berita oleh seorang reporter akan menghubungkan narasumber dengan pembaca/khalayak surat kabar.
e. Fungsi pengawasan, yaitu menunjuk pada pengumpulan dan penyebaran informasi mengenai kejadian-kejadian yang ada di sekitar kita. Fungsi
pengawasan bisa dibagi menjadi dua, yakni warning or beware
surveillance atau pengawasan peringatan dan instrumental surveillance atau pengawasan instrumental.
f. Fungsi manipulasi lingkungan, manipulasi disini bukanlah diartikan sebagai sesuatu yang negatif. Manipulasi lingkungan artinya berusaha untuk mempengaruhi. Setiap orang berusaha untuk saling mempengaruhi dunia dan orang-orang yang berada di sekitarnya. Dalam fungsi manipulasi, komunikasi digunakan sebagai alat kontrol utama dan pengaturan lingkungan.
Media massa cetak dalam arti luas merupakan media massa yang
menyampaikan atau menyalurkan pesan komunikasi dalam bentuk kata-kata,
gambar tercetak, meliputi pamflet, bulletin, booklet, buku, surat kabar, dan
majalah yang ditujukan kepada massa. Akan tetapi dalam arti sempit, media
massa cetak hanya terbatas pada surat kabar dan majalah yang mempunyai
periodisitas seperti harian, mingguan, dan triwulan (Suwardi Lubis, 2011:21).
Keberadaan majalah sebagai media massa terjadi tidak lama setelah surat kabar.
Sebagaimana surat kabar, sejarah majalah diawali dari negara-negara Eropa dan
Amerika (Ardianto & Komala, 2004:109).
Di Inggris, majalah Review yang diterbitkan oleh Daniel Depoe pada tahun
1704. Bentuknya adalah antara majalah dan surat kabar, hanya halaman kecil,
serta terbit tiga kali seminggu. Depoe bertindak sebagai pemilik, penerbit, editor,
sekaligus sebagai penulis. Tulisannya mencakup berita, artikel, kebijakan
nasional, aspek moral dan lain-lain. Tahun 1790, Richard Steele membuat majalah
The Tatler, kemudian bersama-sama dengan Joseph Addison ia menerbitkan The Spectator. Majalah tersebut berisi masalah politik, berita-berita internasional, tulisan yang mengandung unsur-unsur moral, hiburan, dan gosip.
Di Amerika, Benjamin Franklin telah mempelopori penerbitan majalah
tahun 1740, yakni General Magazine dan Historical Chronicle. Tahun 1820-an
sampai 1840-an merupakan zamannya majalah (the age of magazines). Majalah
yang paling populer saat itu adalah Saturday Evening Post yang terbit tahun 1821,
dan majalah lainnya North American Review. Pada pertengahan abad ke-20 tidak
ada majalah sesukses Reader‟s Digest yang diterbitkan oleh Dewitt Wallace dan
Lila. Menyusul majalah Time oleh Henry Luce bersama dengan Briton Hadden,
kemudia ia juga menerbitkan majalah Life, Fortune, dan Sport Illustrated. Life
merupakan majalah berita yang banyak menggunakan foto (Ardianto & Komala,
2004:109).
Di Indonesia, sejarah keberadaan majalah sebagai media massa dimulai
pada masa menjelang kemerdekaan Indonesia. Tahun 1945 di Jakarta, terbit
majalah bulanan dengan nama Pantja Raja pimpinan Markoem Djojohadisoeparto
(MD) dengan prakata dari Ki Hadjar Dewantoro selaku Menteri Pendidikan
majalah mingguan Menara Merdeka yang memuat berita-berita yang disiarkan
RRI. Menara Merdeka bertahan sampai tahun 1950 (Ardianto & Komala,
2004:110).
Majalah-majalah lain yang terbit setelah kemerdekaan, antara lain
Pahlawan (Aceh), Sastra Arena (Yogyakarta) yang dipimpin oleh H. Usmar
Ismail, Sastrawan (Malang) yang diterbitkan oleh Inu Kertapati, dan Seniman
(Solo) pimpinan Trisno Soemardjo, penerbitnya adalah Seniman Indonesia Muda.
Siauw Giok Tjan menerbitkan majalah bulanan Liberty. Di Kediri, terbit majalah
berbahasa Jawa, Djojobojo, pimpinan Tadjib Ermadi. Para anggota Ikatan Pelajar
Indonesia di Blitar, menerbitkan majalah berbahasa Jawa, Obor (Suluh) yang
ditujukan untuk memberi penerangan bagi rakyat yang berada di pelosok-pelosok,
yang pada umumnya belum bisa berbahasa Indonesia. Di Kediri, para pelajar juga
menerbitkan majalah tengah bulanan Pelajar Merdeka. Majalah untuk kaum
wanita dengan nama Wanita terbit di Solo dibawah pimpinan Sutiah Surjohadi.
Sedangkan majalah Soeara Perkis dan Bulan Sabit diterbitkan oleh Gerakan
Pemuda Islam Indonesia cabang Solo (Ardianto & Komala, 2004:110).
Majalah kontemporer secara umum dibagi menjadi tiga kategori besar,
yaitu (Baran, 2012 : 185-186):
1. Majalah umum (trade), profesional, dan bisnis yakni majalah yang menyajikan cerita, tulisan khas, dan iklan yang ditujukan kepada
masyarakat dengan profesi khusus dan didistribusikan oleh organisasi
profesional itu sendiri atau perusahaan media seperti Whittle
Communication and Time Warner (Progressive Farmer).
2. Majalah industri, perusahaan, dan majalah bersponsor yakni majalah yang diproduksi oleh perusahaan secara khusus untuk para pekerja,
pelanggan, atau pemegang sahamnya atau dibuat oleh klub dan asosiasi
secara khusus untuk para anggotanya. Misalnya; AARP the Magazine
adalah salah satu majalah untuk para anggota American Association for
Retired Persons.
eceran, termasuk supermarket, garden shop, dan toko komputer. Sunset dan Wired masuk dalam kelompok ini.
Sedangkan menurut Dominick, berdasarkan segmentasi pembacanya,
majalah diklasifikasikan menjadi (Sudarman, 2008 : 13-14):
1. Majalah konsumen umum (general consumer magazine), merupakan
majalah yang diperjualbelikan untuk umum, rubrik majalah tersebut bersifat umum, memiliki berbagai tulisan yang unik dan menarik bagi kalangan umum.
2. Majalah bisnis (business publication), yaitu majalah yang berkaitan
dengan dunia bisnis atau trade publication. Majalah jenis ini tidak dijual di
pasar atau tempat umum, karena sasaran pembacanya adalah kalangan tertentu yakni kaum profesional.
3. Majalah kritik sastra dan ilmiah (literacy reviews and academic journal),
yaitu pada umumnya majalah ini memiliki sirkulasi yang lebih sedikit, banyak diterbitkan oleh organisasi nonprofit, seperti universitas, yayasan profesional, dan lain sebagainya.
4. Majalah khusus terbitan berkala (newsletter), yaitu majalah yang biasanya
diterbitkan dalam bentuk khusus, didistribusikan secara gratis karena menyajikan berbagai produk sebagai media promosi yang profit dari pemasang produk.
5. Majalah humas (Public Relations Magazines), yaitu majalah yang
diterbitkan perusahaan untuk membangun citra baik (good image)
perusahaan terhadap publik, baik publik internal, seperti karyawan, maupun publik eksternal seperti pemegang saham, para pelanggan dan lainnya.
Pada umumnya, majalah memiliki karakteristik sebagai berikut
(Sudarman, 2008:15).
Pertama, penyajian isinya lebih mendalam. Periodesitas terbitan majalah lebih lama daripada surat kabar (khususnya surat kabar harian). Ada yang satu
minggu sekali (mingguan), dua minggu sekali (dwi mingguan), bahkan sebulan
sekali (bulanan). Sehingga tulisan isi untuk majalah biasanya dibuat lebih
mendalam (in depth) agar tetap up to date.
Kedua, nilai aktualitasnya lebih lama. Apabila nilai aktualitas surat akbar cukup satu hari (khususnya surat kabar harian), maka nilai aktualitas majalah
lebih lama lagi, sesuai dengan jarak waktu terbitannya. Biasanya isi tulisan
majalah juga lebih tebal sehingga untuk membacanya tidak selesai satu kali
Ketiga, banyak menyajikan gambar atau foto. Penyajian gambar atau foto kaya akan warna dan lebih menarik serta berkualitas daripada surat kabar. Oleh
sebab itu majalah lebih tebal dan memiliki halaman lebih banyak.
Keempat, sampul pada majalah dibuat lebih atraktif. Sampul dalam majalah ibarat pakaian yang dapat mengundang perhatian para calon pembacanya.
Maka dari itu, ketertarikan pertama pembaca untuk memilih majalah mana yang
ingin mereka baca adalah dari desain sampul yang menarik minat pembaca.
Mengulas tentang bagaimana majalah, seiring dengan perkembangan
zaman, majalah sudah mengalami berbagai kemajuan. Jika pada zaman dahulu
majalah hadir dalam bentuk cetak sederhana, maka saat ini majalah terbit dalam
sajian yang menarik. Dengan kualitas cetakan yang tinggi serta kemasan yang
sangat menarik, kini majalah semakin tersegmentasi. dengan mulai adanya
majalah khusus anak-anak seperti majalah Bobo, khusus wanita seperti Femina
dan Kartini, khusus olahraga seperti Sportif, khusus remaja seperti Gadis dan
Kawanku, dan untuk bidang politik terdapat Tempo.
Secara teoritis, media massa bertujuan menyampaikan informasi dengan
benar secara efektif dan efisien. Pada praktiknya, apa yang disebut sebagai
kebenaran ini sangat ditentukan oleh jalinan banyak kepentingan. Akan tetapi di
atas semua itu, yang paling utama tentunya adalah kepentingan survival media itu
sendiri, baik dalam pengertian bisnis maupun politis. Dalam kaitannya, kerap terjadi bahwa, “Kebenaran milik perusahaan” menjadi penentu atau acuan untuk kebenaran-kebenaran lainnya. Atas nama kebenaran milik perusahaan itulah
realitas yang ditampilkan oleh media bukan sekadar realitas tertunda, namun juga
realitas tersunting, suatu keadaan yang sebetulnya memang tidak bisa tidak harus
dikembalikan ke faktor luar perusahaan itu sendiri, terutama sekali politik.
Di belakang realitas tersunting ini terdapat pemilahan atas fakta atau
informasi yang dianggap penting dan yang dianggap tidak penting, serta yang
dianggap penting namun demi kepentingan survival menjadi tidak perlu
disebarluaskan. Media menyunting bahkan menggunting realitas dan kemudian
memolesnya menjadi suatu kemasan yang layak disebarluaskan. Tetapi, media
siapa yang layak dan tidak layak masuk menjadi bagian dari realitas itu (Sobur,
2003:114).
Karena itu, salah satu cara untuk membantu pembaca menyikapi pers
adalah lewat konteks pemberitaan. Pembaca dapat menyadari bahwa wartawan kadang menghidangkan “madu” dalam menu beritanya, kadang pula menuangkan “racun” dalam berita yang lain. Melalui konteks pemberitaan ini pembaca mengerti bahwa berita yang buruk bisa dibungkus dengan bahasa yang manis
sehingga tampak samar-samar dan menyenangkan. Pekerjaan media pada
hakikatnya adalah mengkonstruksikan realitas, maka, seluruh isi media adalah
realitas yang telah dikonstruksikan. Pada hakikatnya, bahasa digunakan sebagai
perangkat dasar bagi media, namun bukan hanya sebagai alat merepresentasikan
realitas, tetapi juga bisa menentukan seperti apa relief yang akan diciptakan oleh
bahasa tentang realitas tersebut. Akibatnya, media massa mempunyai peluang
yang sangat besar untuk mempengaruhi makna dan gambaran yang dihasilkan dari
realitas yang dikonstruksikannya (Sobur, 2004 : 87-88).
Istilah konstruksi realitas menjadi terkenal sejak diperkenalkan oleh Peter
L. Berger dan Thomas Luckmann (1966) melalui bukunya menggambarkan
proses sosial melalui tindakan dan interaksinya, dimana individu secara intens
menciptakan suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subjektif.
2.2.2 Desain Komunikasi Visual
Desain komunikasi visual adalah ilmu yang mempelajari konsep
komunikasi dan ungkapan daya kreatif, yang diaplikasikan dalam pelbagai media
komunikasi visual dengan mengolah elemen desain grafis yang terdiri atas gambar
(ilustrasi) huruf dan tipografi, warna, komposisi dan lay-out. Semua itu dilakukan
guna menyampaikan pesan secara visual, audio dan/atau audio visual kepada
target sasaran yang dituju (Tinarbuko, 2009:24). Pada dasarnya, desain
komunikasi visual merupakan representasi sosial budaya masyarakat dan salah
satu manifestasi kebudayaan yang berwujud produk dari nilai-nilai yang berlaku
pada kurun waktu tertentu (Tinarbuko, 2009:6).
Desain dalam pengertian modern adalah desain yang dihasilkan melalui
metode berpikir, berlandaskan ilmu pengetahuan, bersifat rasional dan pragmatis.
industrialisasi. Desain grafis dipelajari dalam konteks tata letak dan komposisi,
bukan seni grafis murni. Menurut Suyanto, desain grafis didefinisikan sebagai
aplikasi dari keterampilan seni dan komunikasi untuk kebutuhan bisnis dan
industri. Sedangkan Blanchard mendefinisikan desain grafis sebagai suatu seni
komunikatif yang berhubungan dengan industri, seni dan proses dalam
menghasilkan gambaran visual pada segala permukaan (Sitepu, 2014 : 11-12).
Desain grafis yang merupakan rancangan sebuah pesan, menerapkan
elemen-elemen dan prinsip-prinsip desain (komposisi) dalam memproduksi
sebuah karya visual. Desain grafis menerapkan beberapa prinsip, yakni:
Kesederhanaan, Keseimbangan, Kesatuan, Penekanan dan Repetisi. Sedangkan
elemen-elemen yang diusungnya meliputi Garis, Bentuk, Ruang, Tekstur dan
Warna (Sitepu, 2004 : 6-7). Ilmu komunikasi kini lazim menyebut desain grafis sebagai desain komunikasi visual. Sebab, desain grafis pada dasarnya adalah
pekerjaan berkomunikasi dimana pesan yang disampaikan adalah visual (grafis:
gambar dan tipografi/elemen-elemen desain dalam seni). Beberapa penelitian
membuktikan media komunikasi visual lebih efektif ketimbang media lainnya
yang hanya mengandalkan teks (Sitepu, 2004:8).
2.2.2.1Elemen-elemen Desain Grafis
Keindahan sebagai kebutuhan setiap orang, mengandung nilai-nilai
subjektivisme. Pemahaman yang baik pada elemen-elemen atau unsur-unsur
desain grafis adalah wajib. Dalam penciptaan sebuah pesan komunikasi visual,
banyak elemen penting yang harus diperhatikan. Elemen tersebut adalah Garis,
Bentuk, Ruang, Tekstur, dan Warna. Berikut adalah penjelasannya: 1. Garis
Dalam desain grafis, garis dibagi menjadi empat bentuk, yakni vertikal
horizontal, diagonal dan kurva. Selain digunakan sebagai penunjuk bagian-bagian
tertentu dengan tujuan sebagai penjelas, garis juga digunakan untuk memisahkan
posisi antara elemen grafis lainnya, atau garis bisa diterapkan untuk menjadi
penunjuk arah mata pembaca. Model dan ketebalan garis juga mempengaruhi
psikologi komunikan. Misalnya, sebuah garis putus-putus digunakan untuk
2. Bentuk
Menurut Sony Kartika, bentuk adalah suatu bidang yang terjadi karena
dibatasi oleh sebuah kontur (garis) dan atau dibatasi oleh adanya warna yang
berbeda atau oleh gelap terang pada arsiran atau karena adanya tekstur. Bentuk
bisa berupa wujud alam (figur) yang tidak sama sekali menyerupai wujud alam
(non figur). Bentuk memiliki perubahan wujud berupa stilisasi, distorsi dan
transformasi. Makna ini dikonstruksi dalam grafis dua dimensi. Lazim juga
disebut area. Sedangkan dalam grafis 3 dimensi bentuk disamaartikan dengan
massa.
3. Ruang
Ruang terjadi karena adanya persepsi mengenai kedalaman sehingga terasa
jauh dan dekat, tinggi dan rendah, tampak melalui indra penglihatan (Kusmiati,
1999). Dalam beberapa praktiknya dikenal ruang kosong (white space),
merupakan tempat bernafas bagi pembaca/komunikan. Kosong bukan berarti
apa-apa, hal tersebut juga merupakan pesan yang mendukung keseluruhan isi pesan
komunikasi visual.
4. Tekstur
Tekstur adalah unsur rupa yang menunjukkan rasa permukaan bahan
(material), yang sengaja dibuat dan dihadirkan dalam susunan untuk mencapai
bentuk rupa, baik dalam bentuk nyata ataupun semu. Tekstur memperkuat dan
mempertegas rasa dari karya desain grafis.
5. Warna
Warna merupakan nuansa visual yang direfleksikan oleh cahaya yang
jatuh pada objek dan dipantulkan ke mata, cahaya memiliki spektrum (rangkaian
sistematis) warna yang membantu kita mengenali warna. Pada saat kita melihat
warna, sebenarnya kita melihat gelombang cahaya yang dipantulkan atau
dipancarkan oleh obyek yang kita lihat. Permasalahan mendasar dari warna
diantaranya adalah Hue (spektrum warna), Saturation (nilai kepekatan) dan
Lightness (nilai cahaya dari gelap ke terang).
Menurut Brewster dalam teori warna miliknya (1831), warna
dikelompokkan menjadi 4 kelompok warna, yaitu: warna primer, sekunder, tersier
menciptakan warna sekunder. Warna juga dapat menciptakan persepsi psikologis
bagi pembacanya. Leatrice Eiseman, seorang konsultan warna dan penulis buku
More Alive With Color, memberi arti dari warna-warna tersebut, yaitu:
Biru memiliki arti kesetiaan, ketenangan, sensitif dan bisa diandalkan. Keabu-abuan memiliki arti serius, bisa diandalkan dan stabil. Merah Muda
memiliki arti cinta, kasing sayang, kelembutan dan feminin. Merah memiliki arti
kuat, berani, percaya diri dan bergairah. Kuning memiliki arti muda, gembira dan
imajinasi. Hitam memiliki arti elegan, kuat dan dewasa. Hijau memiliki arti
kesejukan, keberuntungan dan kesehatan. Sementara itu, Barker (1984:86, dalam
Mulyana, 2005:377) mendeskripsikan karakter warna, sebagaimana dijelaskan
berikut ini:
1) Merah
Warna merah melambangkan rangsangan, menggambarkan perlindungan dan sifat
mempertahankan. Warna ini mengesankan tantangan, perlawanan dan
permusuhan. Merah adalah energi yang kuat, menunjukkan erotisme, keberanian,
simbol dari api. Warna ini dapat menjadi stopping point suatu pesan pada suatu
desain.
2) Biru
Warna biru memberikan kesan aman dan nyaman, lembut dan menenangkan,
perlindungan dan pertahanan, kalem, damai dan tentram. Warna biru juga
mengesankan persahabatan, harmoni, kasih sayang dan dapat menciptakan
perasaan yang dingin dan tenang.
3) Oranye
Warna oranye menunjukkan suasana hati yang tertekan, terganggu dan bising.
Namun juga merepresentasikan keceriaan jika dipadu dengan warna lain.
4) Coklat
Warna coklat menunjukkan perlindungan dan pertahanan, kesedihan,
kemurungan. Warna coklat juga menunjukkan persahabatan, pengalaman yang
panjang dan „dalam,‟ bumi, pemikiran yang materialis, reliabilitas, produktivitas dan kerja keras.
Warna putih menunjukkan kedamaian, kesucian, kemurnian, permohonan maaf,
kejelasan, spiritualitas, kesederhanaan, kesempurnaan, kebersihan, cahaya, tak
bersalah, keamanan, persatuan. Warna putih menekankan dan menguatkan warna
lain serta memberi kesan.
6) Hitam
Warna hitam melambangkan perlindungan, pertahanan, pengusiran, sesuatu yang
negatif, kesedihan mendalam, kemurungan, ketidakbahagiaan, pertentangan dan
permusuhan. Warna hitam mengesankan kemisteriusan dan berbahaya, kekayaan,
ketakutan, kejahatan, perasaan yang dalam. Latar belakang warna hitam dapat
memberikan ruang pada karya desain grafis.
7) Hijau
Warna hijau menunjukkan warna yang tenang, kalem, damai dan tenteram.
Menggambarkan bumi, kesuburan, pertumbuhan, umur yang masih muda.
8) Kuning
Warna kuning merupakan warna yang menyenangkan, keceriaan, riang, gembira
dan harapan. Warna yang merujuk pada matahari ini, dapat merangsang dan
menarik perhatian.
9) Ungu
Warna ungu menunjukkan keagungan dan kewibawaan, perlindungan dan
pertahanan. Juga memberikan kesan tentang kekuatan spiritual, keagungan,
kebangsawanan, misterius dan kepercayaan yang dalam. Hingga derajat tertentu,
tampaknya ada hubungan antara warna yang digunakan dengan kondisi fisiologis
dan psikologis manusia.
2.2.2.2Tipografi
Tipografi adalah sebuah disiplin khusus dalam desain grafis yang
mempelajari mengenai seluk beluk huruf (font). Tipografi dalam konteks desain
komunikasi visual mencakup pemilihan bentuk huruf; besar huruf; cara dan teknik
penyusunan huruf menjadi kata atau kalimat sesuai dengan karakter pesan (sosial
atau komersial) yang ingin disampaikan (Tinarbuko, 2009: 25)
Dalam perkembanganya, ada lebih dari seribu macam huruf Romawi atau
merupakan hasil perkawinan silang lima jenis huruf berikut ini (Tinarbuko, 2009:
26):
1. Huruf Romein. Garis hurufnya memperlihatkan perbedaan antara tebal-tipis
dan mempunyai kaki atau kait yang lancip pada setiap batang hurufnya.
2. Huruf Egyptian. Garis hurufnya memiliki ukuran yang sama tebal pada
setiap sisinya. Kaki atau kaitnya berbentuk lurus atau kaku.
3. Huruf Sans Serif. Garis hurufnya sama tebal dan tidak mempunyai kaki atau
kait.
4. Huruf Miscellaneous. Jenis huruf ini lebih mementingkan nilai hiasnya
daripada nilai komunikasinya. Bentuknya senantiasa mengedepankan aspek
dekoratif dan ornamental.
5. Huruf Script. Jenis huruf ini menyerupai tulisan tangan dan bersifat
spontan.
Sementara itu, Danton Sihombing (2001:96 dalam Tinarbuko, 2009:26)
mengelompokkan keluarga huruf berdasarkan latar belakang sejarahnya:
1. Old Style, jenis huruf ini meliputi: Bembo, Caslon, Galliard, Garamond. 2. Transitional, jenis huruf ini meliputi: Baskerville, Perpetua, Times New Roman.
3. Modern, jenis huruf ini meliputi: Bodoni
4. Egyptian atau Slab Serif, jenis huruf ini meliputi: Bookman, Serifa.
5. Sans Serif, jenis huruf ini meliputi: Franklin Gothic, Futura, Gill Sans, Optima.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi mudah-tidaknya ketersampaian
sebuah pesan verbal yang terkandung dalam karya desain komunikasi visual, di
antaranya (Tinarbuko, 2009: 27):
Pertama, latar belakang, yakni warna dasar dan tekstur kertas yang digunakan. Teks akan terlihat jelas manakala keberadaan warna latar dan
hurufnya cukup kontras.
Kedua, besar huruf yang digunakan. Ukuran standar teks adalah antara 6
sampai 10 point, juga disesuaikan dengan keluarga huruf yang ingin ditampilkan.
Perbedaan tampilan yang pokok dalam keluarga huruf dibagi menjadi tiga bentuk
pengembangan: (1) kelompok berat terdiri atas light, regular dan bold. (2)
Kelompok proporsi condesed, regular dan extended. (3) kelompok kemiringan
Ketiga, spasi antarhuruf, kata, maupun jarak antar baris kalimat. Keempat, faktor-faktor subjektif seperti jarak baca maupun kualitas penerangan ketika
membaca. Dalam praktik desain grafis, pemilihan, pengolahan dan penerapan
huruf sebaiknya tidak dilakukan sembarangan. Pemilihan warna dan
elemen-elemen desain grafis dalam desain komunikasi visual memiliki maksud dan
tujuan, yang mendukung isi inti informasi yang hendak disampaikan.
2.2.3 Kajian Semiotik di Media
2.2.3.1Pengertian dan Macam-macam Semiotika
Secara etimologis, istilah semiotika berasal dari kata yunani Semeion yang
berarti tanda. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai suatu–yang atas dasar
konvensi sosial yang terbangun sebelumnya–dapat dianggap mewakili sesuatu
yang lain. Tanda pada awalnya dimaknai sebagai suatu hal yang menunjuk adanya
hal lain. Contohnya asap menandai adanya api, sirene mobil yang keras
meraung-raung menandai adanya kebakaran di sudut kota. Secara terminologis, semiotika
diidentifikasikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek,
peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda. Pada dasarnya, analisis
semiotika merupakan sebuah ikhtiar untuk merasakan sesuatu yang aneh, sesuatu
yang perlu dipertanyakan lebih lanjut ketika kita membaca teks, narasi/wacana
tertentu. (Wibowo, 2011:5).
Konsep dasar yang menyatukan tradisi semiotika ini adalah „tanda‟ yang
diartikan sebagai a stimulus designating something other than itself (suatu
stimulus yang mengacu pada sesuatu yang bukan dirinya sendiri). Menurut John
Powers, pesan memiliki tiga unsur, yaitu tanda dan simbol, bahasa, dan wacana
(discourse) (Morrisan, 2010:173). Charles Morris memudahkan kita memahami ruang lingkup kajian semiotika. Menurutnya, kajian semiotika dapat dibedakan ke
dalam tiga cabang penyelidikan (branches of inquiry), yakni (Wibowo, 2011:4):
(1) Sintaktik (syntactic) atau sintaksis (syntax): suatu cabang penyelidikan semiotika yang mengkaji “hubungan formal diantara satu tanda dengan tanda-tanda yang lain.
objek-objek yang diacunya. Designata: tanda-tanda sebelum digunakan di dalam
tuturan tertentu.
(3) Pragmatik (pragmatics): suatu cabang penyelidikan semiotika yang mempelajari “hubungan diantara tanda-tanda dengan interpreter-interpreter atau para pemakainya.
Sekurang-kurangnya terdapat sembilan macam semiotika yang kita kenal
sekarang, yaitu (Pateda dalam Sobur, 2004 : 100-101):
1) Semiotika analitik, yakni semiotik yang menganalisis sistem tanda. Charles S. Pierce menyatakan bahwa semiotik berobjekkan tanda dan menganalisisnya menjadi ide, objek, dan makna. Ide dapat dikatakan sebagai lambang, sedangkan makna adalah beban yang terdapat dalam lambang yang mengacu kepada objek tertentu.
2) Semiotika deskriptif, yakni semiotik yang memperhatikan sistem tanda yang dapat kita alami sekarang, meskipun ada tanda yang sejak dahulu tetap seperti yang disaksikan sekarang. Misalnya, langit yang mendung menandakan bahwa hujan tidak lama lagi akan turun, dulu hingga sekarang tetap seperti itu.
3) Semiotika faunal (zoosemiotic), yakni semiotik yang khusus memperhatikan sistem tanda yang dihasilkan oleh hewan. Hewan biasanya menghasilkan tanda untuk berkomunikasi antara sesamanya, namun juga sering menghasilkan tanda yang dapat ditafsirkan manusia. Misalnya, seekor ayam betina yang berkotek-kotek menandakan ayam itu telah bertelur atau ada sesuatu yang ia takuti.
4) Semiotika kultural, yakni semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang berlaku dalam kebudayaan masyarakat tertentu. Budaya yang terdapat dalam masyarakat yang juga merupakan sistem itu, menggunakan tanda-tanda tertentu yang membedakannya dengan masyarakat yang lain. 5) Semiotika naratif, yakni semiotik yang menelaah sistem tanda dalam
narasi yang berwujud mitos dan cerita lisan (folklore). Telah diketahui bahwa mitos dan cerita lisan, ada di antaranya memiliki nilai kultural tinggi.
6) Semiotika natural, yakni semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh alam. Air sungai keruh menandakan di hulu telah turun hujan, dan daun pohon-pohonan yang menguning lalu gugur.
7) Semiotika normatif, yakni semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dibuat oleh manusia yang berwujud norma-norma, misalnya rambu-rambu lalu-lintas. Di ruang kereta apai sering dijumpai tanda yang bermakna dilarang merokok.
9) Semiotika Struktural, yakni semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dimanifestasikan melalui struktur bahasa.
2.2.3.2Tokoh-tokoh Semiotika
1. Charles S. Pierce
Charles Sanders Pierce merupakan tokoh yang menjadi pendiri
pragmatisme. Pierce terkenal karena teori tandanya. „Tanda‟, menurut Pierce
adalah “…something which stands to somebody for something in some respect or
capacity”. Definisi Pierce menunjukkkan peran „subjek‟ (somebody) sebagai
bagian tak terpisahkan dari proses signifikasi. Model triadic yang digunakan
Pierce (representamen + object + interpretant = sign) memperlihatkan peran besar
subjek ini dalam proses transformasi bahasa. melihat Rumus sederhana Pierce
menyalahi kenyataan tentang adanya suatu fungsi tanda: tanda A menunjukkan
suatu fakta (atau objek B), kepada penafsirnya yaitu C. Oleh karena itu, suatu
tanda tidak pernah berupa suatu entitas yang sendirian, tetapi memiliki ketiga
aspek tersebut. Pierce mengatakan bahwa tanda itu sendiri merupakan contoh dari
Kepertamaan, objeknya adalah Kekeduaan, dan penafsirnya–unsur pengantara–
adalah contoh Keketigaan.
Bagi Pierce, sesuatu yang digunakan agar tanda bisa berfungsi disebut
ground. Konsekuensinya, tanda (sign atau representamen) selalu terdapat dalam
hubungan triadik, yakni ground, object, dan interpretant. Atas dasar hubungan ini,
Pierce mengadakan klasifikasi tanda. Tanda yang dikaitkan dengan ground
dibaginya menjadi (Sobur, 2004:41):
1. Hubungan penalaran dengan jenis penandanya:
a. Qualisigns : penanda yang bertalian dengan kualitas, adalah tanda-tanda yang merupakan tanda-tanda berdasarkan suatu sifat.
b. Sinsign : penanda yang bertalian dengan kenyataan, adalah tanda yang merupakan tanda atas dasar tampilnya dalam kenyataan.
c. Legisign : penanda yang bertalian dengan kaidah, adalah tanda-tanda yang merupakan tanda atas dasar suatu peraturan yang berlaku umum,
sebuah konvensi, sebuah kode.
a. icon/ikon : sesuatu yang melaksanakan fungsi sebagai penanda yang serupa dengan bentuk objeknya (terlihat pada gambar atau lukisan);
b. index/indeks : sesuatu yang melaksanakan fungsi sebagai penanda yang mengisyaratkan petandanya;
c. symbol/simbol : sesuatu yang melaksanakan fungsi sebagai penanda yang oleh kaidah secara konvensi telah lazim digunakan dalam masyarakat.
3. Hubungan pikiran dengan jenis petandanya (berdasarkan interpretant):
a. rheme or seme : penanda yang bertalian dengan mungkin terpahaminya objek petanda bagi penafsir;
b. dicent or decisign or pheme : penanda yang menampilkan informasi tentang petandanya;
c. argument : penanda yang petandanya akhir bukan suatu benda tetapi kaidah (Sobur, 2004 : 97-98).
Triadik atau disebut sebagai teori segitiga makna (triangle meaning), yang
menurut Pierce salah satu bentuk tanda adalah kata, sedangkan objek adalah
sesuatu yang dirujuk tanda. Sementara interpretan adalah tanda yang ada dalam
benak seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda. Apabila ketiga elemen
makna itu berinteraksi, maka muncullah makna tentang sesuatu yang diwakili
oleh tanda tersebut. Persoalan bagaimana makna muncul dari sebuah tanda ketika
tanda itu digunakan orang pada waktu berkomunikasi adalah apa yang dikupas
dari teori segitiga makna. Hubungan teori segitiga makna Pierce lazimnya
ditampilkan dalam gambar berikut (Fiske dalam Sobur, 2004:115):
Gambar 1.2
Elemen Makna Pierce
Sign
Interpretant Object
Sumber: John Fiske, Introduction to Communication Studies, 1990, hlm.42 dalam (Sobur,
2. Ferdinand De Saussure
“Jika ada seseorang yang layak disebut sebagai pendiri linguistik modern, dialah sarjana dan tokoh besar asal Swiss: Ferdinand De Saussure”. Selain sebagai seorang ahli linguistik, dia juga seorang spesialis bahasa-bahasa Indo Eropa dan
Sansekerta (Wibowo, 2013:20). Saussure dilahirkan di Jenewa pada 1857 dalam
sebuah keluarga yang sangat terkenal di kota itu karena keberhasilan mereka
dalam bidang ilmu. Ia hidup sezaman dengan Sigmund Freud dan Emile Dukheim
meski tidak banyak bukti bahwa ia sudah pernah berhubungan dengan mereka
(Sobur, 2004:45).
Karyanya disusun dari tiga kumpulan catatan kuliah saat memberi kuliah
linguistik umum di Universitas Jenewa pada tahun 1907, 1908-1909, dan
1910-1911 kemudian diterbitkan sebagai buku dengan judul Course In General
Linguistics. Kita mengenalnya dengan istilah “strukturalisme” dalam (Sobur, 2004:44). Dikatakan strukturalisme karena pada saat itu, studi bahasa hanya
berfokus pada perilaku linguistik yang nyata (Parole). Saussure justru
menggunakan pendekatan anti historis yang melihat bahasa sebagai sebuah sistem
yang utuh dan harmonis secara internal atau dalam istilah Saussure disebut
Langue (Wibowo, 2013:20).
Sedikitnya, ada lima pandangan dari Saussure yang di kemudian hari
menjadi peletak dasar dari strukturalisme, yaitu pandangan tentang (1) signifier
(penanda) dan signified (petanda); (2) form (bentuk) dan content (isi); (3) langue
(bahasa) dan parole (tuturan, ujaran); (4) synchronic (sinkronik) dan diachronic
(diakronik); (5) syntagmatic (sintagmatik) dan paradigmatic (paradigmatic)
(Sobur, 2004:46).
Saussure meletakkan tanda dalam konteks komunikasi manusia dengan
melakukan pemilahan antara apa yang disebut signifier (penanda) dan signified
(petanda).
(1) Signifier adalah bunyi yang bermakna atau coretan yang bermakna (aspek material), yakni apa yang dikatakan dan apa yang ditulis dan dibaca.
Signified adalah gambaran mental, yakni pikiran atau konsep aspek mental dari bahasa. Hubungan antara keberadaan fisik tanda dan konsep mental tersebut
(2) Istilah form (bentuk) dan content (materi,isi) ini oleh Gleason (Pateda,
1994:35) diistilahkan dengan expression dan content, satu berwujud bunyi dan
yang lain berwujud ide (Sobur, 2004:47).
(3) Saussure membedakan tiga istilah dalam bahasa Perancis: langage,
langue (sistem bahasa) dan parole (kegiatan ujaran). Dalam pandangan Barthes
(1996:81) dalam (Sobur, 2004:50), apa yang disebut langue itu adalah langage
dikurangi parole. Dalam pengertian umum, langue adalah abstraksi dan artikulasi
bahasa pada tingkat sosial budaya, atau sedangkan parole merupakan ekspresi
bahsa pada tingkat individu.
(4) Sinkronik dan diakronik merupakan konsep ruang dan waktu untuk
melihat suatu gejala kebahasaan. Sinkronik yaitu keadaan yang bertepatan
menurut waktu, sedangkan diakronik yaitu deskripsi tentang perkembangan
(bahasa, sejarah) melalui waktu (Sobur, 2004:53).
(5) Saussure sekali lagi membahas struktur bahasa dalam konsepsi dasar
yakni perbedaan tanda antara sintagmatik dan paradigmatik. Hubungan-hubungan
ini terdapat pada kata-kata sebagai rangkaian bunyi-bunyi maupun kata-kata
sebagai konsep (Sobur, 2004 : 49-54).
Gambar 1.3
Elemen-Elemen Makna Saussure
Sign
Composed of
Signification
Signifier Signified external reality of meaning (physical (mental concept)
existence of the sign)
Sumber: John Fiske, Introduction to Communication Studies, 1990, hlm.44 dalam (Sobur,
Ferdinand De Saussure (1857-1913) mengatakan bahwa tanda-tanda
disusun dari dua elemen, yaitu aspek citra tentang bunyi (semacam kata atau
representasi visual) dan sebuah konsep dimana citra bunyi disandarkan. Tanda itu
sendiri merupakan manifestasi konkret dari citra bunyi dan diidentifikasikan
sebagai penanda dan petanda. Dengan kata lain, dalam sebuah tanda terungkap
konsep penanda dan petanda yang tak terpisahkan, kehadiran yang satu berarti
pula kehadiran yang lain seperti dua sisi kertas. Bagi Saussure, hubungan antara
penanda dan petanda bersifat bebas (arbiter), yakni arbitrer dalam pengertian
penanda tidak mempunyai hubungan alamiah dengan petanda (Sobur, 2004 :
31-32).
3. Umberto Eco
Stephen W. Littlejohn (1996) menyebut Umberto Eco sebagai ahli
semiotika yang menghasilkan salah satu teori tanda yang paling komprehensif dan
kontemporer. Umberto Eco lahir pada 5 Januari 1932 di Alessandria, wilayah
Piedmont, Italia. Awalnya ia belajar hukum, namun kemudian mempelajari
filsafat dan sastra sebelum akhirnya menjadi ahli semiotika. Ia menulis tesisnya
tentang estetika Thomas Aquinas dan meraih gelar doctor dalam bidang filsafat
pada 1954. Dia kemudian memasuki dunia jurnalisme sebagai editor untuk
program budaya di jaringan televisi RAI.
Beberapa karya Eco yang dituangkan lewat buku, novel, esai dan tulisan
lainnya yakni: Sviluppo dell‟estetico medievale (1959); Opera apera (1962); Le
poetische di Joyce: dall “summa” al “Finnegans Wake” (1966); A Theory of Semiotics (1976); A Semiotic Landscape (1979); The Role of the Reader: Explorations in the Semiotics of Text (1981); Semiothics and the Philosophy of Languange (1984); The Name of the Rose (1983); Foucault‟s Pendulum (1988); Belief or Nonbelief? A Confrontation (1997) (Sobur, 2004:73).
Awalnya Eco menulis buku dan beberapa tulisan lainnya dilatarbelakangi
oleh penyesalannya atas hilangnya keimanan dan kepercayaan beragama yang
sempat dianutnya. Mulanya Eco adalah seorang katholik sampai umur dua puluh
dua tahun, namun kemudian memilih untuk tidak memiliki kepercayaan apapun.
Meski begitu, ia tidak marah atau bersikap anti agama setelah menjadi
menunjukkan perhatian besar dalam produksi tanda yang dihasilkan oleh
masyarakat linguistik dan budaya. Berbeda dengan konsep Ferdinand de Saussure
tentang tanda dan pendekatan taksonomis semiotika Charles Sanders Pierce, Eco
memastikan diri untuk menyelidiki sifat-sifat dinamis tanda dalam bukunya
Theory of Semiothics (1976, 1979) (Sobur, 2004:75).
Pada dasarnya, fungsi tanda merupakan interaksi antara berbagai norma: “Kode memberikan kondisi untuk hubungan timbal balik fungsi-fungsi tanda secara kompleks” (Eco, 1979). Menurut Eco, sistem aturan, yaitu kode yang terdiri atas hierarki subkode-subkode yang kompleks; sebagaian darinya kuat dan
stabil, sedangkan lainnya lemah dan bersifat sementara (Sobur, 2004:76).
Menurut Eco, unsur-unsur pokok dalam tipologi cara pembentukan tanda
adalah (Lechte, 2001) (Sobur, 2004:78):
1. Kerja fisik, yaitu: upaya yang dilakukan untuk membuat tanda.
2. Pengenalan, yaitu: objek atau peristiwa dilihat sebagai suatu ungkapan
kandungan tanda, seperti tanda, gejala, bukti.
3. Penampilan, yaitu: suatu objek atau tindakan menjadi contoh jenis objek
atau tindakan.
4. Replika, yaitu: kecenderungan ke arah ratio difficilis secara prinsip, tetapi
mengambil kodifikasi melalui pengayaan.
5. Penemuan, yaitu: kasus yang paling jeals dari ratio difficilis sebagai yang
tidak terlihat oleh kode; menjadi landasan suatu kontinuum materi baru
Eco–sebagaimana dikutip Yasraf Amir Piliang dalam buku
“Hipersemiotika” Tafsir Cultural Studies Atas matinya Makna (2003)– menegaskan bahwa semiotika adalah teori dusta. Eco mengatakan bahwa: pada
prinsipnya semiotika adalah sebuah disiplin yang mempelajari segala sesuatu
yang dapat digunakan untuk berdusta. Dengan demikian semiotika pada
prinsipnya adalah suatu disiplin yang mempelajari apapun yang dapat digunakan
untuk menyatakan suatu kebohongan. Jika sesuatu itu tersebut tidak dapat
digunakan untuk mengatakan kebohongan, sebaliknya tidak bisa digunakan untuk
2.2.4 Semiologi Roland Barthes
Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir strukturalis yang getol
mempraktikkan model linguistik dan semiologi Saussurean. Barthes lahir tahun
1915 dari keluarga kelas menengah Protestan di Cherbourg dan dibesarkan di
Bayonne, kota kecil dekat pantai Atlantik di sebelah barat daya Perancis. Pada 1976, Barthes diangkat sebagai professor untuk “semiologi literer” di College de France. Barthes telah banyak menulis buku, yang beberapa diantaranya telah menjadi bahan rujukan penting untuk studi semiotika di Indonesia. Karya-karya
pokok Barthes antara lain:Le degre zero de l‟ecritureatau “Nol Derajat di Bidang
Menulis” (1953 diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Writing Degree Zero,
1977); Michelet (1954); Mythologies (1957); Critical Essays (1964); Elements of
Semiology (1964); The Empire of Sign (1970); Sade Fourier Loyola (1971); The Pleasure of the Text (1973); A Lover‟s Discourse: Fragments (1977); Camera Lucida: Reflections on Photography (1980); The Gain of the Voice: Interviews 1962-1980 (1981); TheResponsibility of Forms (1982); L‟aventure Semiologique (1985); dan masih banyak lagi karya Barthes lainnya (Sobur, 2004 : 63-67).
Semiologi Barthes pada awalnya didasarkan pada kritik budaya, eksplorasi
tanda-tanda, budaya massa sebagai bentuk mitos yang menandai hadirnya petit
bourgeois (borjuis kecil) yang dianggap sebagai representasi universal. Pada
tulisannya yang berjudul Systéme de la Mode (Sistem Mode) (Barthes, 1967), ia
menjelaskan bahwa istilah-istilah yang digunakan dalam dunia mode penuh
dengan idealisme kaum borjuis. Seperti konsep mode celana gentleman yang
dianggap cocok dengan jas dan dasi, diterima oleh masyarakat seakan-akan
sebagai sebuah kebenaran absolut (Barthes, 2007: vi).
Barthes mengembangkan kajian yang sebelumnya memiliki warna kental
strukturalisme kepada semiotika teks. Barthes melontarkan konsep tentang
konotasi dan denotasi sebagai kunci dari analisisnya. Fiske menyebut model ini
sebagai signifikasi dua tahap (two order of signification). Lewat model ini Barthes
menjelaskan bahwa signifikasi tahap pertama merupakan hubungan antara
signifier (penanda) dan signified (petanda) di dalam sebuah tanda terhadap tealitas external. Itu yang disebut Barthes sebagai denotasi yaitu makna paling nyata dari
antara penanda dan petanda, atau antara tanda dan rujukannya pada realitas, yang
menghasilkan makna yang eksplisit, langsung, dan pasti. Sementara konotasi
adalah istilah yang digunakan Barthes untuk menunjukkan signifikasi tahap kedua
yang merupakan tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda
dan petanda yang didalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak
langsung dan tidak pasti. Konotasi mempunyai makna yang subjektif atau paling
tidak intersubjektif. Dengan kata lain, denotasi adalah apa yang digambarkan
tanda terhadap sebuah objek, sedangkan makna konotasi adalah bagaimana cara
menggambarkannya (Wibowo, 2011:17).
Dalam bukunya Barthes S / Z (1970), ia menganalisis sebuah novel kecil
yang kurang dikenal berjudul Sarrasine, ditulis oleh sastrawan Perancis abad ke
19, Honore de Barzac. Barthes berpendapat bahwa teks Sarrasine terangkai dalam
kode-kode rasionalisasi, suatu proses yang mirip dengan yang terlihat dalam
retorika tentang tanda mode. Ada lima kode yang ditinjau Barthes (Sobur, 2004 :
65-55), yaitu:
1. Kode hermeneutik atau kode teka-teki berkisar pada harapan pembaca untuk mendapatkan “kebenaran” bagi pertanyaan yang muncul dalam teks. Kode teka -teki merupakan unsur struktur yang utama dalam narasi tradisional. Di dalam narasi ada suatu kesinambungan antara pemunculan suatu peristiwa teka-teki dan penyelesaiannya di dalam cerita.
2. Kode semik atau kode konotatif banyak menawarkan banyak sisi. Dalam proses pembacaan, pembaca menyusun tema suatu teks. Ia melihat bahwa konotasi kata atau frase tertentu dalam teks dapat dikelompokkan dengan konotasi kata atau frase yang mirip. Jika kita melihat suatu kumpulan satuan konotasi, kita menemukan suatu tema di dalam cerita.
3. Kode simbolik merupakan aspek pengkodean fiksi yang paling khas bersifat struktural, atau tepatnya menurut konsep Barthes, pascastruktural. Dalam suatu teks verbal, perlawanan yang bersifat simbolik seperti ini dapat dikodekan melalui istilah-istilah retoris seperti antitesis, yang merupakan hal yang istimewa dalam sistem simbol Barthes.
4. Kode proairetik atau kode tindakan/lakuan dianggapnya sebagai perlengkapan utama teks yang dibaca orang; artinya, antara lain, semua teks yang bersifat naratif. Secara teoritis Barthes melihat semua lakuan dapat dikodifikasi. Namun pada praktiknya, ia menerapkan beberapa seleksi. Kita mengenal kode lakuan atau peristiwa karena kita dapat memahaminya.
Pada dasarnya, ada perbedaan antara denotasi dan konotasi dalam
pengertian secara umum serta denotasi dan konotasi yang dimengerti oleh
Barthes. Dalam pengertian umum, denotasi biasanya dimengerti sebagai makna
harfiah, makna yang “sesungguhnya”. Proses signifikasi yang secara tradisional
disebut sebagai denotasi ini biasanya mengacu kepada penggunaan bahasa dengan
arti yang sesuai dengan apa yang terucap. Akan tetapi, dalam semiologi Roland
Barthes dan para pengikutnya, denotasi justru lebih diasosiasikan dengan
ketertutupan makna. Sebagai reaksi yang paling ekstrem melawan keharfiahan
denotasi yang bersifat opresif ini, Barthes mencoba menyingkirkan dan
menolaknya. Baginya, yang ada hanyalah konotasi semata-mata (Sobur, 2004 :
70-71).
Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi yang disebutnya sebagai „mitos‟, dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembernaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu.
Mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya atau,
dengan kata lain, mitos adalah juga suatu sistem pemaknaan tataran ke-dua
(Sobur, 2004:71).
2.2.5 Representasi
Istilah representasi merujuk pada bagaimana seseorang, satu kelompok,
gagasan atau pendapat tertentu ditampilkan dalam pemberitaan. Representasi ini
penting dalam dua hal. Pertama, apakah seseorang, kelompok, gagasan, tersebut
ditampilkan dalam pemberitaan sebagaimana mestinya atau apa adanya, atau
diburukkan. Kedua, bagaimana representasi tersebut ditampilkan yaitu dengan
kata, kalimat, aksentuasi, dan bantuan foto macam apa seseorang, kelompok, atau
gagasan tersebut ditampilkan dalam pemberitaan kepada khalayak.
Menurut John Fiske, saat menampilkan objek, peristiwa, gagasan,
kelompok, atau seseorang, paling tidak ada tiga proses yang dihadapi wartawan.
Pertama adalah peristiwa yang ditandakan (encode) sebagai realitas. Bagaimana peristiwa itu dikonstruksi sebagai realitas oleh wartawan/media. Disini, realitas
selalu siap ditandakan ketika kita menangkap dan mengkonstruksi peristiwa
realitas itu digambarkan. Disini, kita menggunakan perangkat secara teknis.
Dalam bahasa tulis, alat teknis itu adalah kata, kalimat atau proposisi, grafik, dan
sebagainya. Pemakaian kata-kata, kalimat atau proposisi tertentu, misalnya,
membawa makna tertentu ketika diterima oleh khalayak. Ketiga, Bagaimana
kode-kode representasi dihubungkan dan diorganisasikan ke dalam koherensi
sosial seperti kelas sosial atau kepercayaan dominan yang ada dalam masyarakat
(Eriyanto, 2001 : 113-114).
Menurut David Croteau dan Willian Hoynes, representasi merupakan hasil
dari suatu proses penyeleksian yang menggarisbawahi hal-hal tertentu dan hal-hal
lain diabaikan. Dalam representasi media, tanda yang akan digunakan untuk
melakukan representasi tentang sesuatu mengalami proses seleksi. Mana yang
sesuai dengan kepentingan-kepentingan dan pencapaian tujuan-tujuan komunikasi
ideologisnya itu yang digunakan, sementara tanda-tanda lain diabaikan (Wibowo,
2011:123).
Stuart Hall (1997), menyebutkan bahwa representasi mempunyai dua
pengertian, yaitu: pertama, representasi mental. representasi ini merupakan
konsep tentang „sesuatu‟ yang ada di kepala kita masing-masing (peta
konseptual). Representasi mental ini berbentuk susuatu yang abstrak. Kedua,
representasi bahasa, berperan penting dalam konstruksi makna. Konsep abstrak
yang ada dalam kepala kita harus diterjemahkan ke dalam bahasa yang lazim
supaya kita dapat menghubungkan konsep dan ide-ide dengan tanda dan
simbol-simbol tertentu.
Dalam hal ini, proses pertama yang memungkinkan kita memaknai dunia
dengan mengkonstruksi seperangkat rantai korespondensi antara sesuatu dengan
sistem peta konseptual kita. Dalam proses kedua, kita mengkonstruksi
seperangkat korespondensi antara peta konseptual dengan bahasa atau simbol
yang berfungsi merepresentasikan konsep-konsep kita tentang sesuatu. Relasi antara „sesuatu‟, „peta konseptual‟, dan „bahasa atau simbol‟ adalah jantung dari produksi makna lewat bahasa. Proses ini yang terjadi secara bersama-sama itulah
yang kita sebut representasi.
Hall mengatakan bahwa ada tiga teori yang menjelaskan bagaimana
1. Pendekatan reflektif: bahasa berfungsi sebagai cermin, yang merefleksikan makna yang sebenarnya dari segala sesuatu yang ada di dunia. Sebuah makna bergantung pada sebuah objek, ide, peristiwa dalam dunia nyata, dan orang. Bahasa pun berfungsi seperti cermin yaitu untuk memantulkan arti sebenarnya seperti yang telah ada di dunia. Namun, tanda visual membawa sebuah hubungan kepada bentuk dan tekstur dari objek yang dipresentasikan. Harus diingat bahwa ada begitu banyak kata-kata, suara, gambar, yang mana kita mengerti dengan jelas tetapi fiksi atau fantasi menunjuk kepada dunia yang diimajinasikan. Misalnya, kita dapat menggunakan kata „bunga mawar‟ sebagai tanaman nyata yang tumbuh di taman. Tetapi ini karena kita mengetahui kode yang terhubung dengan konsep khusus dari sebuah kata atau gambar, kita tidak bisa memikirkan, mengucapkan atau menggambarkan bunga mawar yang sesungguhnya.
2. Pendekatan intensional: kita menggunakan bahasa untuk
mengkomunikasikan sesuatu, sesuai dengan cara pandang kita terhadap sesuatu. Pendekatan makna yang kedua dalam representasi mendebat kasus sebaliknya. Pendekatan ini mengatakan bahwa sang pembicara, penulis, siapapun yang mengungkapkan pengertiannya yang unik ke dalam dunia melalui bahasa. Ada beberapa poin untuk argumentasi ini semenjak kita semua, sebagai individu juga menggunakan bahasa untuk mengkomunikasikan hal-hal yang spesial atau unik bagi kita dengan cara pandang kita terhadap dunia. Bagaimanapun juga, sebagai teori umum dari representasi bahasa, pendekatan intensional cukup rapuh. Namun esensi dari bahasa adalah komunikasi yang mana tergantung pada pembagian kode-kode linguistik.
3. Pendekatan konstruktivis: kita percaya bahwa mengkonstruksi makna
2.2.5.1Bahasa
Representasi sekaligus misrepresentasi tersebut adalah peristiwa
kebahasaan. Bagaimana seseorang ditampilkan dengan tidak baik, bias terjadi
pertama-tama dengan menggunakan bahasa. Melalui bahasalah berbagai tindak
misrepresentasi tersebut ditampilkan oleh media dalam pemberitaan. Oleh karena
itu, yang perlu dikritisi disini adalah pemakaian bahasa yang ditampilkan oleh
media. Bagaimana cara media memaknai realitas paling tidak ada dua proses
besar yang dilakukan. Pertama, memilih fakta. Proses memilih fakta ini
didasarkan pada asumsi wartawan tidak mungkin melihat peristiwa tanpa
perspektif. Kedua, menuliskan fakta. Proses ini berhubungan dengan bagaimana
fakta yang dipilih itu disajikan kepada khalayak. Gagasan itu diungkapkan dengan
kata, kalimat, dan proposisi apa, dengan bantuan aksentuasi foto, gambar apa, dan
sebagainya (Eriyanto, 2001:116).
Pemilihan kata-kata tertentu yang dipakai tidak sekedar teknis jurnalistik,
tetapi bagian penting dari representasi. Bagaimana bahasa–yang dalam hal ini
umumnya pilihan kata-kata yang dipilih–dapat menciptakan realitas tertentu
kepada khalayak. Menurut Kenneth Burke, kata-kata tertentu tidak hanya
memfokuskan perhatian khalayak pada masalah tertentu tetapi juga membatasi
persepsi kita dan mengarahkannya pada cara berpikir dan keyakinan tertentu.
Dengan kata lain, kata-kata yang dipakai dapat membatasi seseorang melihat
perspektif lain, menyediakan aspek tertentu dari suatu peristiwa dan
mengarahkannnya bagaimana khalayak harus memahami suatu peristiwa. Akan
tetapi, yang lebih penting bagaimana kata-kata sesungguhnya dapat mengarahkan
logika tertentu untuk memahami suatu persoalan (Eriyanto, 2001:113).
2.2.6 Feminisme
2.2.6.1Deskripsi Feminisme
Feminisme berasal dari kata latin femina yang berarti memiliki sifat
penyetaraan hak perempuan dan laki-laki dalam segala bidang, sesuai dengan
potensi mereka sebagai human being (Ardianto & Q Anees, 2007:184).
Feminisme menurut Goefe ialah teori tentang persamaan antara laki-laki
dan perempuan di bidang politik, ekonomi, dan sosial; atau kegiatan organisasi
yang memperjuangkan hak-hak serta kepentingan perempuan. Feminisme muncul
sebagai sebuah upaya perlawaan atas berbagai upaya kontrol laki-laki. Asumsi
bahwa perempuan telah ditindas dan dieksploitasi menghadirkan anggapan bahwa
feminisme merupakan satu-satunya jalan untuk mengakhiri penindasan dan
eksploitasi tersebut. Salah satu alasan yang mendukung hal ini adalah kenyataan
bahwa feminisme tidak hanya memperjuangkan masalah gender, tetapi juga
masalah kemanusiaan (Sugihastuti & Saptiawan, 2007 : 93-95).
Feminisme berbeda dengan emansipasi. Sofia dan Sugihastuti menjelaskan
bahwa emansipasi lebih menekankan pada partisipasi perempuan dalam
pembangunan tanpa mempersoalkan hak serta kepentingan mereka yang dinilai
tidak adil, sedangkan feminisme memandang perempuan memiliki aktivitas dan
inisiatif sendiri untuk memperjuangkan hak dan kepentingan tersebut dalam
berbagai gerakan (Sugihastuti & Saptiawan, 2007:95).
Pada hakekatnya, tujuan feminisme adalah transformasi sosial untuk
menciptakan suatu keadaan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.
Feminisme sebagai suatu gerakan memiliki dimensi sejarah yang panjang, dimulai
pada abad ke-14. Secara garis besar, perkembangan gerakan feminisme dapat
dibagi dalam tiga periode, yaitu feminisme gelombang pertama (first wave
feminism), feminisme gelombang kedua (second wave feminism), dan feminisme
gelombang ketiga (third wave feminism).
Feminisme gelombang pertama mengangkat isu-isu prinsip persamaan hak
bagi perempuan. Titik tolak perjuangannya adalah dominasi laki-laki terhadap
perempuan dalam berbagai aspek kehidupan, khususnya bidang pendidikan,
politik, dan ekonomi. Feminisme gelombang pertama ini dimulai dengan
pergerakan-pergerakan feminisme yang berkaitan dengan terjadinya Revolusi
Perancis, yakni suatu periode dalam sejarah dimana terdapat pemikir-pemikir
seperti Mary Wollstonecraft, Sejourner Truth, dan Elizabeth Cady Stanton.
Perempuan di Senca Falls. Pergerakan perempuan pada t