• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mencari dan menemukan hukum di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Mencari dan menemukan hukum di Indonesia"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

Mencari dan menemukan hukum di Indonesia

Tristam P. Moeliono

Tulisan ini secara ringkas akan menggambarkan persoalan kegiatan mencari dan menemukan hukum di Indonesia dan mengidentifikasi sejumlah hambatan yang muncul berkaitan dengannya. Titik tolak tulisan ini adalah kesadaran bahwa upaya menemukan hukum pada prinsipnya bukan kegiatan yang melulu ilmiah dan hanya dapat dan harus dilakukan akademisi atau praktisi hukum. Persoalannya di sini bukanlah ikhtiar menemukan dan mengungkap kebenaran ilmiah (dalam bidang kajian ilmu hukum) dengan metoda yuridis normatif atau bukan yuridis normatif.

Dengan kata lain, persoalan ini tidak boleh dan lagipula mungkin didominasi akademisi hukum apalagi filsuf hukum. Satu dan lain karena urusan mencari dan menemukan hukum adalah urusan kita semua dan tidak melulu teoretis namun sangat praktikal. Semua orang, bahkan anak kecil, dapat segera merasakan ketidakadilan yang dialaminya dalam kehidupan sehari-hari dan ketika menghadapi ketidakadilan nyata akan segera berta ya apa ya g seharus ya e jadi huku da sekaligus mempertanyakan nilai keadilan, kemasuk-akalan (rasionalitas/redelijkheid) atau justru

kepantasan/kelayakan (billijkheid) dari apa yang dinyatakan oleh hukum baik oleh pakar ataupun penegak hukum. Kedua hal ini bukan kegiatan ilmiah yang bisa dilepaskan dari kehidupan sehari-hari. Akademisi (ilmuwan hukum), penegak hukum (polisi, kejaksaan dan kekuasaan kehakiman + advokat) bahkan masyarakat awam, baik warganegara sendiri maupun warganegara asing yang bersentuhan dan berurusan dengan (implementasi dan penegakan) hukum di Indonesia berkepentingan mencari dan menemukan hukum. Untuk akademisi dan penegak hukum tidaklah cukup menemukan hukum hanya dengan membaca peraturan perundang-undangan, mencari aturan yang cocok dengan kebutuhan yang ada saat itu dan menyatakan aturan itulah yang (seharusnya) menjadi hukum. Di samping itu, juga tidak cukup bagi masyarakat awam untuk mengetahui hukum sekadar melalui kegiatan sosialisasi yang diselenggarakan pemerintah atau pemrakarsa di ruang-ruang rapat kecamatan-kelurahan atau sekadar melalui iklan layanan masyarakat.

Tujuan tulisan ini adalah mengidentifikasi kesulitan-kesulitan yang umum dialami tidak saja oleh akademisi namun juga terutama mereka yang dalam kehidupan sehari-hari berurusan dengan hukum, penegak hukum maupun masyarakat awam. Diharapkan dengan mengungkap kesulitan dan kerumitan i i, kita se ua dapat le ih e aha i huku di I do esia sebagai suatu sistem aturan (yang tidak sertamerta tertata dengan baik – bahkan dapat disebut justru chaotic) serta kerumitan menegakkan hukum. Di si i juga se agai disclaimer perlu dita ahka ah a tulisa i i tidak aka e ahas

(2)

Pentingnya menemukan dan menegakkan hukum: beranjak dari satu cita hukum-cita Negara yang niscaya tunggal?

Pada pokoknya tidak ada perbedaan penting antara tugas penegak hukum, praktisi hukum dengan akademisi ketika ketiga-tiganya dihadapkan pada persoalan konkrit apa yang seharusnya berlaku sebagai hukum dalam situasi konkrit tertentu (Paul Scholten; R. Dworkin; B. Arief Sidharta). Ketiga pengemban hukum di atas (penegak hukum, praktisi dan akademisi), setelah mengkategorikan fakta yang terjadi sebagai fakta hukum (naming) dan selanjutnya menelaah ragam sumber hukum tertulis-tidak tertulis yang dianggap relevan, dengan penuh keyakinan atau justru sebaliknya keraguan akan menyatakan inilah (yang seharusnya berlaku sebagai) hukumnya (blaming). Sekaligus mereka dengan itu menilai keabsahan (legalitas/illegalitas suatu perbuatan) dan (bila menyangkut sengketa atau konflik hukum) memutuskan upaya hukum apa yang dapat/tidak dapat dilakukan (claiming). Ke dalam

kegiatan ini tersembunyi kegiatan yang dilakukan pengemban hukum untuk mengungkap kebenaran (factual/empiris) dari apa yang terjadi (koherensi dan konsistensi narasi empiri) dan kemudian memilah dan memilih dari banyak aturan yang ditemukannya, aturan paling relevan da dari ya ilai ( value-norm) yang dianggap layak menjadi acuan. Di samping itu, baik di eksplisitkan atau tidak, terkandung di dalam kegiatan ini ikhtiar menilai atau menguji keabsahan aturan-aturan, baik yang disingkirkan maupun yang dipilih untuk digunakan.

Jarang – mungkin karena argumen non liquet– para pengemban hukum mengakui bahwa dalam suatu kasus tertentu tidak ada (aturan) hukum yang dapat ditemukan, atau ditunjuk sebagai inilah aturan yang seharusnya jadi panduan. Itu pula alasannya mengapa dimunculkan konsep (kegiatan) menemukan hukum. Kegiatan ini tidak dan jangan sekadar dipahami sebagai ikhtiar mencari dan mengidentifikasi aturan yang berlaku dari cadangan atau pasokan hukum tertulis yang tersedia. Sebaliknya, alasan ketiadaan aturan (hukum) dan sebab itu tidak dilakukannya kegiatan penemuan hukum baru akan dimunculkan dan menjadi relevan bilamana legislatif atau pemerintah hendak membuat aturan baru atau e yataka atura la a uka lagi huku . Untuk selebihnya para pengemban hukum akan selalu berusaha menyatakan apa yang seharusnya menjadi hukum. Tujuan untuk apa hukum, dicari, ditemukan, atau justru diungkap dan dirumuskan merupakan factor yang juga akan menentukan mengapa hukum harus ditemukan dan ditegakkan.

Tentu tidak boleh dibayangkan bahwa kegiatan menemukan dan memberlakukan (implementation) termasuk menegakkan (enforcement) hukum adalah proses yang sepenuhnya mekanistik. Jika itu yang terjadi, maka dari sudut pandang ini tidak ada perbedaan bobot antara (dan juga tidak relevan

menjawab) pertanyaan apakah perkelahian dua anak kecil patut di bawa kehadapan pengadilan untuk diperiksa dan diputus apa hukumnya (dan dalam proses itu menghabiskan sumberdaya negara yang langka). Sama halnya seperti persoalan apakah layak dan pantas perempuan renta yang mencuri dua buah kakao atau hakim ditingkat manapun yang menerima suap di bawa kehadapan pengadilan karena mengambil barang yang bukan hak-nya. Serupa dengan itu juga tidak penting persoalan apakah

(3)

Apa itu hukum (atau yang seharusnya menjadi hukum) yang terkait atau justru terlepas dari (rasa) keadilan dalam perkara-perkara konkrit bukan semata-mata persoalan akademis dan teoretis yang jauh dari kerudinan hidup sehari-hari . Bagi mereka yang langsung bersentuhan dengan masalah hukum (konkrit), apa yang seharusnya dan diputus menjadi hukum kerap dipersepsikan sebagai urusan hidup mati dan kadang juga urusan kehormatan yang seketika bersinggungan dengan rasa malu atau harga diri (institutional, keluarga atau individual). Itu pula alasan mengapa dapat dikatakan urusan hukum dan keadilan bukanlah semata-mata persoalan mengetahui dan memahami apa yang dikatakan para filsuf dari dunia barat ( Aristoteles, John Rawls, Amartya Sen, dll) ataupun para pemikir hukum Indonesia (B. Arief Sidharta, Soetandyo, Satjipto, Mochtar Kusuma Atmadja, Budiono Kusumohamidjojo, Anthon Susanto, Shidarta dll.) betapapun teori-teori itu penting bagi para sarjana hukum di Indonesia. Pada ekstrim lain, sebagaimana disinggung di atas, menemukan hukum adalah juga upaya mewujudkan keadilan. Pengertian keadilan di sini sekaligus menyentuh dan bersinggungan dengan apa yang dirasakan (tidak sekadar dipikirkan apalagi diangan-angankan) mereka yang bersinggungan dengan hukum sebagai patut/layak atau baik-buruk (secara etis atau moral).

Bayangan ideal tentang hukum (cita hukum) sebagai titik tolak menemukan-membentuk hukum

Menemukan hukum juga langsung berkaitan dengan kegiatan pembentukan hukum (merumuskan norma, menuliskan dan menetapkannya sebagai hukum). Artinya menemukan hukum bukan hanya terbatas pada soal membaca dan menafsirkan ketentuan-ketentuan yang sudah ada dan masih tersembunyi di balik sumber-sumber hukum formal (peraturan perundang-undangan) atau informal (hukum tidak tertulis). Pembentuk hukum (pembuat undang-undang, otoritas pemegang kekuasaan resmi atau masyarakat) ketika membentuk aturan sebagai sistem norma (hukum) sudah dipastikan beranjak dari apa yang mereka bayangkan sebagai ide (cita) tentang hukum atau setidak-tidaknya apa yang harus diatur dengan hukum dan tidak sekadar dengan norma etika, kebiasaan atau moral. Berangkat dari itu, dibuat (dibentuk) aturan-aturan baru untuk mengisi kekosongan hukum atau dalam hal sudah ada aturan: menambah, memperjelas atau memperbaiki .

Selain itu, bayangan ideal tentang hukum yang dibagi bersama (antara pembuat dengan masyarakat) atau sebaliknya justru berbeda (antara pembentuk hukum dengan masyarakat: addressat aturan bahkan berbagai kelompok masyarakat) harus ditemukan, diungkap dan menjadi titik tolak kegiatan

menemukan hukum. Di belakang pembentukan hukum, dengan perkataan lain, tersembunyi tidak hanya satu cita atau gagasan ideal tentang apa itu yang seharusnya menjadi hukum. Bahkan dalam kegiatan merumuskan rancangan peraturan perundang-undangan, perancang setiap kali diwajibkan merumuskan dalam naskah akademis: landasan filosofis, empiris dan normative (yuridis). Apakah la dasa filosofis tiap paket u da g-undang niscaya sama? Tidak terbayangkan bahwa landasan filosofi paket aturan dalam bidang hukum pidana (pembalasan; prevensi umum-khusus) mesti sama dengan paket aturan dalam bidang hukum ekonomi (efisiensi-transparansi) atau dengan aturan-aturan di bidang hukum administrasi (yang berlandaskan asas-asas pemerintahan yang baik).

(4)

(cita hukum) maupun Negara (cita Negara). Inilah yang harus menjadi titik tolak pembuat peraturan perundang-undangan dan sekaligus diejawantahkan ke dalam peraturan perundang-undangan dalam arti formal. Dalam pengertian ini nilai-nilai Pancasila ditetapkan sebagai landasan kehidupan bernegara da erhuku da dia ggap se agai su er dari segala su er huku . Beranjak dari titik tolak ini pula butir-butir atau nilai-nilai Pancasila (yang dapat dipecah namun harus dibaca sebagai satu kesatuan) dapat atau diharapkan digunakan sebagai norma kritik dan batu ujian atas keabsahan substantif aturan-aturan perundang-undangan. Ini kiranya pembenaran dari hak uji konstitusional (constitutional review: undang-undang terhadap Konstitusi [dengan muatan nilai-nilai Pancasila oleh MK), hak uji materiil (judicial review: peraturan perundang-undangan di bawah UU oleh MA) maupun hak uji administratif (administrative review: Peraturan Daerah oleh Kementerian Dalam Negeri).

Juga diajukan postulat (sedikit berbeda dari yang di atas) bahwa cita hukum Indonesia harus dilandaskan pada abstraksi gagasan tentang hukum adat (hukum (tidak tertulis) dari kumpulan masyarakat

bumiputera yang melebur diri menjadi bangsa Indonesia) yang dikontraskan secara karikatural dengan sistem hukum Barat (yang dianggap mutlak bercirikan atau beranjak dari paham individualis-liberal). Pendekatan ini diusung, antara lain, oleh Moh. Koesnoe dan masih menjadi titik tolak UUPA (5/1960). Dibayangkan bahwa gagasan ideal tentang hukum Indonesia harus beranjak dari abstraksi tentang ciri dan kekhasan masyarakat Indonesia yang masih sangat komunal-religius dan artinya non-sekuler. Pengaitan hak menguasai Negara (dalam UUD) dengan hak ulayat bangsa dalam UUPA di mana Negara sebagai lembaga menguasai, mengurus, dan mengelola kekayaan alam bangsa adalah konkritisasi pandangan ini.

Kedua pendekatan di atas yang menekankan pentingnya pencarian dan perumusan pandangan hidup khas a gsa I do esia se agai la dasa pe e ua -pe uata huku (di Indonesia) pada prinsipnya akan terbentur (teoretik maupun praktikal) pada persoalan: 1. bagaimana menyelaraskan klaim

partikularistik (khas bangsa Indonesia) yang ternyata juga harus dan akan sekaligus universal (semua nilai keadaban baik yang mewujudkan manusia paripurna berlaku seolah absolut, universal dan non-temporer); 2. Ketidak o oka ji a-se a gat hukum positif yang untuk sebagian besar atau pada pokoknya masih merupakan warisan zaman colonial dengan postulat pandangan hidup bangsa

Indonesia yang berbeda; Itu artinya pada aturan-atura la a dipaksaka atau di a gkoka ji a atau se a gat er eda; da 3. Peru aha -perubahan atau pembaharuan hukum positif yang ada justru diwarnai ideologi yang tidak ada hubungannya dengan Pancasila (jiwa bangsa yang dipostulatkan tidak berubah), namun justru mencerminkan pandangan hidup atau filosofi yang berlaku pada periode tertentu: UUPA 5/1960 misalnya terinspirasi sosialisme; sedangkan regulasi ekonomi yang berkembang sekarang diwarnai oleh paham neo-liberalisme-kapitalisme. Sedangkan khusus tentang postulasi hukum adat sebagai suatu ideal dapat ditunjukkan ketidakselarasannya dengan hukum tidak tertulis (adat) yang, dari sudut pandang pendekatan etnografis, justru menunjukan kebhinekaan dan tumbuh berkembang di luar lingkup dominasi hukum (formal) Negara.

Mencari dan menemukan hukum: pendekatan teleologis?

(5)

Untuk apakah hukum harus ditemukan atau sebelum ditemukan harus dibentuk ulang agar dapat dikonkritkan? Secara umum dengan kesengajaan salah membaca (deliberate misreading) karya Gustaaf Radbruch: disebutkan bahwa tujuan hukum adalah tiga serangkai: kepastian, keadilan dan kemanfaatan . Padahal Radbruch sebenarnya berbicara tentang legal certainty, justice, and expediency or suitability for a purpose. Ketiganya tidak serta merta dapat direduksi menjadi tiga rangkaian tujuan hukum di atas. Seolah merupakan cerminan (dari tiga tujuan hukum di atas) adalah pedoman yang diberikan pada perancang peraturan perundang-undangan yang di atas telah disinggung. Setiap naskah akademis harus memuat landasan filosofis (pembenaran adanya aturan/norma secara falsafati), landasan empiris-sosiologis (kemanfaatan) dan yang terakhir landasan yuridis-normatif (kepastian-keselarasan dengan tatanan hukum yang sudah ada). Ketiga landasan pembenaran ini seharusnya menjadi acuan pencari keadilan ketika membaca dan menafsir aturan-aturan yang di aktu ka ke dala for at peratura perundang-undangan.

Disebutkan seperti ini (di Indonesia), maka seolah-olah ada tiga tujuan berbeda yang harus diemban kegiatan penemuan dan penegakan hukum (termasuk pembentukan hukum). Ketiga tujuan ini lagipula dapat bertabrakan satu sama lain. Salah satu kesalahpahaman berkaitan dengan ini adalah pemaknaan

summum ius, summa iniura. Sebenarnya apa yang dimaksud di sini adalah kekakuan dalam

(memahami) aturan-aturan hukum dapat berujung pada ketidakadilan. Hukum dibuat dan ditegakkan bukan lagi untuk memenuhi kebutuhan manusia namun hanya demi ketaatan pada aturan itu sendiri atau sekadar untuk memiliki aturan karena dipersyaratkan. Inilah yang antara lain dikritik oleh (alm. Satjipto Rahardjo ketika menyatakan hukum seharusnya untuk manusia bukan manusia untuk hukum. Pada saat yang sama banyak orang yang terjebak membacanya sebagai berikut: semakin pasti suatu aturan (rinci dan ketat), otomatis menjadi semakin tidak adil. Maka dalam kepastian (aturan) tidak mungkin tercermin keadilan dan sebaliknya bila keadilan didahulukan, kepastian (aturan) yang dikorbankan.

Terkesan di sini bahwa keadilan (berhadapan dengan kekakuan peraturan) dipaha i se agai ke ijaka atau diskresi u tuk tidak emberlakukan/mengenyampingkan aturan. Dengan kala lain,

mengedepankan kepastian hukum otomatis berarti memilih bersikap kaku dan bertindak tidak manusiawi alias tidak bijak. Sebaliknya mengenyampingkan aturan yang berlaku umum untuk kepentingan seseorang (bahkan kelompok orang) atau karena adanya kekhususan (keistimewaan) seketika dipersamakan dengan bertindak bijak dan sebab itu adil.

Padahal dalam kepastian hukum dan penegakan hukum (sepanjang dilakukan konsisten dan tidak diskriminatif) sudah termuat keadilan: setiap orang (perempuan-laki; difabel atau normal) dalam situasi serupa harus mendapat perlakuan sama (dari setiap orang lain atau dari penguasa). Penyetaraan perlakuan (sikap anti-diskriminasi) sudah sepatutnya menjadi landasani jalinan hubungan antara pemerintah (penguasa) dengan rakyat dan dalam pergaulan antar manusia satu sama lain. Kiranya itulah makna dari setiap orang berkedudukan sama (sederajat) dihadapan hukum dan pemerintahan. Betul bahwa posisi-kedudukan, keadaan tertentu, juga demi keadilan, harus dipertimbangkan. Pejabat Negara karena tanggungjawab lebih besar mendapat perlakuan istimewa atau penegak hukum

(6)

kaum difabel dan mereka yang berada dalam posisi social-ekonomi tidak menguntungkan (kelompok rentan dan cenderung termarginalkan) harus mendapat perhatian dan perlakuan istimewa. Begitu juga dengan kedudukan hukum dari manusia dewasa dan yang oleh hukum dipandang belum cukup umur. Perlakuan berbeda justru diperlukan demi keadilan. Namun ini tidak menghilangkan keniscayaan perlunya perlakuan sama. Justru perlakuan khusus diberikan untuk menyeimbangkan posisi sehingga perlakuan sama dihadapan hukum menjadi masuk akal.

Apa yang harus dihindari sebenarnya adalah ketidakpastian dan perlakuan yang tidak konsisten (dalam penegakan hukum). Misalnya dalam hal adanya razia kelengkapan surat-surat kendaraan bermotor, polisi lalulintas terkesan (tuduhan yang setiap kali harus dibuktikan kebenarannya) melakukan tebang pilih atau dengan sengaja meloloskan kendaraan dengan plat nomor dari wilayah tertentu sedangkan terus menilang kendaraan yang datang dari wilayah lain. Atau secara konsisten pengadilan menjatuhkan hukuman yang sangat ringan pada pejabat Negara yang tertangkap tangan korupsi, misalnya mengingat jasa-jasa mereka pada Negara.

Selanjutnya tujuan hukum yang dikaitkan dengan kemanfaatan. Hukum sebagai pranata social untuk mengatur kehidupan manusia betul harus ditujukan untuk memberikan manfaat dan keuntungan bagi

bonum commune (kebaikan bersama) atau diabdikan untuk kepentingan umum (public). Dengan kata lain, pembuatan aturan termasuk implementasi dan penegakannya harus dilakukan dengan niatan mencapai tujuan yang legitim. Seberapa jauh tujuan (politik) dan manfaat (social atau justru pribadi) bersinggungan adalah persoalan lain. Lebih penting di sini adalah premis pembuatan aturan hukum tidak boleh dilakukan semata-mata berdasarkan selera atau kehendak sesaat penguasa, tanpa tujuan atau dengan tujuan yang tidak seketika bermanfaat bagi masyarakat. Ini pengertian umum yang kiranya dapat kita terima. Maka itu pula perintah atau larangan dari penguasa yang dimaknai sebagai hukum yang selalu dapat diberlakukan di bawah paksaan ancaman penjatuhan sanksi (sebagaimana dimaknai John Austin) sulit mendapat legitimasi, terkecuali addressat aturan berhasil diyakinkan akan

kemanfaatannya.

Ketika pemerintah atau DPR memutuskan untuk membuat dan memberlakukan suatu peraturan perundang-undangan tentu sejak semula (seharusnya) mereka sudah membayangkan apa yang hendak dicapai dengan aturan-aturan. Ini kiranya yang menjadi anjuran umum dari Seidmann & Seidmann: pembuatan aturan hukum (baru) harus dapat secara efektif-efisien menjawab persoalan sosial yang muncul. Tujuan social (atau kemanfaatan umum) itulah yang menjadi pembenaran dan alat ukur dibuat dan diberlakukannya peraturan. Dengan kata lain, pembaca dan addressat hukum harus dapat

mengungkap apa sebenarnya yang menjadi tujuan dari peraturan dan menggunakannya sebagai ukuran untuk mengevaluasi seberapa jauh peraturan yang ada berhasil atau tidak berhasil (mencapai

sasaran/tujuan sosial untuk mana aturan ini dibuat). Persoalan yang juga muncul di sini adalah tujuan atau sasaran mungkin dapat diekplisitkan (fungsi manifest), namun pembuat undang-undang bisa saja menyembunyikan agenda politik dibaliknya atau ternyata kemudian aturan yang ada digunakan untuk mewujudkan hal yang sama sekali berbeda dari apa yang dibayangkan pembuat undang-undang (fungsi laten). Juga dapat terjadi peraturan perundang-undangan sebenarnya sekadar dibuat (bahkan

(7)

Namun sebenarnya apakah yang dimaksud dengan kemanfaatan sebagai salah satu tujuan hukum dalam kaitannya dengan implementasi dan penegakan (aturan) hukum? Siapakah yang berwenang

menentukan apa dan bagaimana manfaat hukum? Penguasa , birokrasi pemerintahan (administrasi) atau justru rakyat yang pada akhirnya mendapat manfaat atau justru mudarat dari pemberlakuan

hukum . Apakah seketika penerapan hukum membuat kita (sebagai perorangan atau anggota masyarakat) rugi atau hukum yang diberlakukan dirasakan tidak bermanfaat, maka aturan hukum atau penegakannya harus ditentang dan disebut tidak adil? Maka dapat terjadi eksekusi putusan pengadilan (berirah-irah Demi Kadilan Berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa) yang sudah berkekuatan hukum atau penegakan aturan Peraturan Daerah dipertanyakan, diprotes bahkan dihalang-halangi sekelompok masyarakat sekadar karena isi putusan tidak cocok dengan harapan mereka.

Kemanfaatan, sekali lagi, dapat kita duga selalu dikaitkan dengan kepentingan umum (public interest

atau bonum commune). Dimaknai demikian, kepentingan umum menjadi konsep besar (sangat umum dan kabur) yang setiap kali perlu dibuat rinciannya. Perlu hal ini secara konkrit muncul dari pengaitan kepentingan umum dengan konsep besar lainnya: tujuan bernegara yang dicanangkan dalam UUD 1945: mencerdaskan bangsa, memajukan kemaslahatan umum dan kesejahteraan rakyat. Selain itu di dalam UUD 1945 juga diinyatakan bahwa kekayaan alam dikuasai Negara dan harus dimanfaatkan demi sebesar-besarnya kemakmuran atau kesejahteraan rakyat.

Gagasan tentang luas lingkup kesejahteraan-kemakmuran rakyat dan kepentingan umum seketika menjadi relevan tatkala kita, misalnya, berbicara tentang kepentingan umum dalam kegiatan pengadaan tanah. Serangkaian peraturan di bidang ini mendefinisikannya , pertama secara sangat kabur:

kepentingan umum dipersamakan dengan kepentingan bangsa-negara atau pembangunan. Dengan cara ini justru terbuka peluang besar untuk menyalahgunakan gagasan kepentingan umum. Sebagai respons, gagasan ini kemudian dirumuskan secara terinci dan enumeratif (yang menyulitkan pemerintah sendiri yang terus menerus dituntut membangun infrastruktur) dan terakhir dengan mengkombinasikan keduanya.

Apa yang dapat dicermati adalah bahwa kadang dalam proses perancangan aturan (yang kerap tertutup dari perhatian mass media apalagi masyarakat umum) public interest justru ditangkap-dibajak (captured) dan diambilalih oleh kepentingan-kepentingan ekonomi-politik sesaat dari penguasa atau justru

pembuat undang-undang (partai politik di dewan perwakilan). Ilustrasi dari yang pertama berkaitan dengan penetapan tata ruang. Penetapan ini sejatinya menentukan kapan dan di mana perusahaan pengembang diperkenankan membangun kompleks perumahan komersiil. Melalui lobi-lobi politik, pembuat undang-undang dapat diminta untuk mengatur penetapan tata ruang untuk membuka peluang bagi pengembang untuk masuk ke daerah yang sebelumnya tertutup. Sedangkan yang kedua menunjuk pada fakta bahwa bagaimanapun juga pembahasan peraturan perundang-undangan di parlemen tidak mungkin kedap terhadap kompromi-kompromi politik.

Kerentantan ini terbuka karena juga ada kecenderungan untuk memanfaatkan hukum sebagai wadah dari cita-cita masa depan (blue print). Rencana pembangunan (atau janji kampanye) adalah bayangan ideal yang disusun pemenang – pemegang tampuk kekuasaan tentang kemana dan bagaimana

(8)

umum atau pengusung partai politik yang bersangkutan. Di sini peraturan perundang-undangan selain menjadi bungkus luar rencana-rencana sekaligus menjadi instrumen untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan yang dibayangkan.

Di sini muncul kenyataan (dan persoalan besar) bahwa rencana masa depan yang diproyeksikan ke dalam aturan hukum ternyata terlalu mudah berubah karena terus menerus (harus?) disesuaikan dengan situasi konkrit yang kadang tidak mungkin dikendalikan oleh hukum, bahkan pemerintah. Maka perundang-undangan, misalnya tentang rencana pembangunan atau tata ruang, dianggap sebagai cetak biru dan agenda kerja yang dalam kenyataan hanya menjadi arahan tidak mengikat yang juga terus berubah-ubah. Hukum seperti ini ternyata mengingkari normativitasnya sendiri. Situasi yang digambarkan di atas juga menyebabkan kerancuan konseptual antara kebijakan, program kerja dan peraturan perundang-undangan.

Kebijakan, program kerja dan peraturan hukum

Pemerhati hukum (akademisi, mahasiswa) maupun penegak hukum seringkali dalam kegiatan akademik ataupun di luar itu mencampuradukan (atau memiliki kecenderungan untuk tidak cermat membedakan) kebijakan (policy), program kerja dan prioritas (work programmes and priorities), termasuk ke dalamnya agenda politik pemerintah yang berkuasa, dengan peraturan hukum (legal rules) yang dipandang sebagai pedoman perilaku yang memiliki kekuatan mengikat dan memaksa masyarakat umum. Persoalannya adalah ketiga-tiganya seringkali bisa kita temukan dirangkum (dan dicampuraduk) dalam satu dokumen (yang diterbitkan pemerintah) dan memberikan kesan kuat bahwa semua itu bisa dibaca sebagai aturan hukum yang mengikat dan memaksa. Sebaliknya itu berarti pula hukum (yang tumbuh kembang dalam semangat hukum tertulis sebagai sarana pembaharu masyarakat) kerap dipahami se agai desired situation projected into the future se agai a a ditegaska Benda-Beckmann dan sebab itu begitu mudah dijadikan kambing hitam, dikorbankan dan segera diganti dengan yang baru. Kerancuan pemahaman yang timbul dari pencampuradukan itu, misalnya dapat kita cermati dari Surat Edaran Kapolri tentang penanganan kejahatan kebencian. Surat edaran ini di a a se agai tafsira res i te ta g apa ya g seharus ya e jadi huku erkaita de ga pe a ga a kejadia -kejadian yang dikualifikasikan (naming) sebagai kejahatan kebencian. Padahal surat edaran ini sejatinya dimaknai sebagai perintah/instruksi haria te ta g apa ya g e jadi ke ijaka da progra prioritas kerja kepolisian dalam penanganan kejahatan tertentu (kejahatan kebencian) yang pada saat tertentu kerap terjadi di masyarakat. Bukan tentang apa yang seharusnya diyakini sebagai (aturan) hukum yang bersifat dan memaksa oleh masyarakat.

(9)

pedoman-pedoman MA dimaknai sebagai tafsir res i da e gikat agai a a e a a da e erlakuka hukum acara perdata peninggalan colonial (HIR/RbG) dalam situasi kondisi peradilan Indonesia. Dalam pola serupa, pedoman tertulis/tidak tertulis yang diterbitkan kejaksaan agung, memiliki pengaruh besar pada bagaimana jaksa penuntut umum memahami hak untuk mengajukan banding atau kasasi.

Kebijakan yang tersembunyi dalam pedoman adalah dalam hal putusan bebas, jaksa wajib (standing order) mengajukan banding atau kasasi.

Kebijakan dan prioritas dari pemerintah dan/atau masyarakat tidak selamanya jelas. Di dalam praktik tidak jelas bagaimana polisi biasa menyikapi pelaporan adanya tindak pidana penipuan/penggelapan, terutama yang terkait berkelindan dengan persoalan hutang-piutang di lapangan hukum perdata. Apakah penyidikan akan menghentikan proses pemeriksaan gugatan di pengadilan? Kebijakan yang ada sekalipun ada pedoman aturan hukumnya (dalam hal ada sengketa tentang kewenangan peradilan pidana dan perdata (praejudiciel geschil), maka forum atau proses manakah yang harus diprioritaskan? Apakah pemeriksaan sengketa keperdataan atau justru pidananya terlebih dahulu? Pilihan itu ada dalam kewenangan pengadilan. Peraturan yang ada hanya memberikan petunjuk. Di tingkat kepolisian, ke ijaka ya adalah laya i asyarakat pe ari keadila dan kasus-kasus seperti ini (pencampuran antara perkara pidana dengan gugatan perdata yang mengakibatkan praejudiciel geschil) dapat diputus berbeda-beda .

Kebijakan kepolisian (lalu lintas) lainnya lebih kasat mata. Setiap petugas memiliki diskresi dan atas kebijakannya sendiri atau arahan kebijakan komandan dapat memilih menegakan aturan lalulintas secara ketat: artinya menilang setiap pelanggaran lalulintas atau dengan kesadaran penuh membiarkan terjadinya pelanggaran lalulintas. Misalnya membiarkan pengemudi angkutan kota berhenti di bawah tanda larangan berhenti atau parkir ketika mencari calon penumpang, atau pada jam-jam masuk sekolah membiarkan siswa mengemudikan kendaraan tanpa helm atau orangtua mengantarkan anak usia sekolah tanpa diperlengkapi helm.

Singkat kata, kebijakan yang dalam dirinya sendiri memuat penetapan prioritas (pilihan) sekalipun berpengaruh terhadap pemaknaan dan lebih jauh implementasi aturan hukum harus dibedakan darinya. Pada saat sama harus dicermati bahwa kebijakan (resmi/tidak resmi) bisa sama sekali menyingkirkan peran hukum. Kebijakan ekonomi untuk memprioritaskan pengembangan perkebunan kelapa sawit dalam kenyataan meniadakan kekuatan mengikat larangan konversi hutan lindung maupun pembakaran hutan. Begitu juga kebijakan pengembangan kawasan industry membuat larangan alihfungsi sawah (dalam pelbagai format aturan) menjadi tidak berdaya. Proses serupa terjadi berkaitan dengan sejumlah norma hukum yang ditujukan untuk melindungi kelompok agama minoritas. Kebijakan atau lebih tepat agenda politik justru mendorong diskriminasi dan persekusi kelompok minoritas.

Dalam bahasa awam atau media social kita berbicara tentang pengaruh politik (agenda politik atau kebijakan pemerintah baik eksplisit maupun implisit) pada pe uata aupu pe erlakua huku . Terlepas dari keterpengaruhan ini, bagaimanapun juga dari sudut pandang penegakan hukum dan penjagaan keadilan, kita tetap harus dapat membedakan kebijakan, agenda/program kerja dan prioritas dengan aturan-aturan hukum yang bersifat (semi-)otonom. Tanpa pemisahan ini, maka

(10)

sebab itu pula tidak dapat dipahami hanya berwujud aturan: perintah-larangan, namun juga prinsip-prinsip yang menjadi landasan tatanan hukum. Hukum di sini harus dipahami sebagai fakta normatif dan sebab itu memenuhi fungsi evaluatif. Maka itu, ke ijaka pe e aka isterius tahu 80 a yang dibenarkan sebagai shock therapy atas menjamurnya kejahatan oleh preman tidak dapat dan boleh dibenarkan oleh aturan hukum apapun juga. Satu hal yang dilanggar dengan jelas adalah prinsip

praduga tidak bersalah (presumption of innocence). Tujuan di sini, betapapun dirumuskan sangat mulia, tidak boleh menghalalkan cara atau. Dengan kata lain, kebijakan yang dipandang perlu sebagai jalan pintas mencapai tujuan mulia tidak selalu otomasis harus dan dapat diterima sebagai kemaslahatan. Sekalipun pada saat sama tidak perlu dikatakan bahwa tidak ada serta perlu pemisahan antara hukum dengan kesusilaan (moral). Tanpa perlu masuk ke dalam perdebatan filsafati tentang keterkaitan dan keterpisahan hukum dan moralitas di sini cukup dikatakan bahwa hubungan antara keduanya tidaklah dapat dipandang sederhana. Perdebatan antara penganut teori hukum alam (klasik-modern) dengan para penganut positivisme hukum merupakan cukup bukti tentang ini.

Sumber hukum (formal dan materiil)

Dalam kenyataan hukum yang tersembunyi di dalam aturan perundang-undangan (sumber hukum dalam arti formal; hukum tertulis) jarang bahkan tidak pernah dengan mudah dapat dipastikan. Hal ini jelas ditunjukkan kasus-kasus hukum yang hampir setiap hari diberitakan mass media. Kenyataan ini, setidak-tidaknya, menunjukkan dua hal: pertama hukum (bahkan norma/kaedah) tidak sama dan sebangun dengan peraturan perundang-undangan (dalam arti luas) dan kedua, dalam hal

mengimplementasikan dan menegakan peraturan perundang-undangan kita akan menghadapi adanya perkaitan erat antara kegiatan menemukan (kaedah) hukum serta penerapannya dengan persoalan keadilan (justice) serta kepatutan/kepantasan (redelijkheid-billijkheid) yang terkait erat dengan hatinurani (conscience). Tujuan (ideal) hukum itulah yang menyebabkan kegiatan menemukan dan

e egakka huku tidak sekadar eka istis da sekaligus e uka rua g agi ke ijaka da /atau diskresi . Dalam bahasa lebih sulit, memajukan kepastian hukum melalui pemberlakuan aturan harus juga dilakukan dengan memperhatikan, tidak saja keadilan (distributive-corrective), namun juga kepantasan-kepatutan.

Lantas di manakah setidak-tidaknya kita dapat menemukan hukum - tidak sekaligus sama dan sebangun dengan keadilan (justice) yang pada tataran teori dipersamakan dengan fair ess oleh John Rawls atau sebagai efisiensi dan bersikap bijak-manusiawi (seperti yang diinginkan Satjipto)? Akademisi dan penegak hukum (termasuk kepolisian) akan segera menunjuk pada peraturan perundang-undangan dalam arti formal. Pertanyaan apa hukumnya yang (seharusnya) berlaku dalam situasi konkrit tertentu, berubah menjadi apa peraturan perundang-undangan yang relevan dan ketentuan manakah yang berlaku. Apa hukumnya menjadi pertanyaan tentang di mana dapat kita temukan norma yang mengatur hal tertentu (melarang atau memerintahkan dilakukannya sesuatu secara substantive atau sekadar procedural).

(11)

struktur piramida tatanan hukum) memungkinkan mereka yang mencari hukum, menguji apakah suatu ketentuan yang ditemukan ditulis di suatu bentuk aturan tertentu selaras atau justru bertentangan dengan aturan yang berkedudukan lebih tinggi atau pada puncak tertinggi dengan gru d or atau falsafah (pandangan hidup) bangsa Indonesia (Pancasila).

Hasil membenturkan aturan-aturan yang dituangkan dalam tangga urutan yang berbeda-beda ini dapat berupa konstatasi (pengamatan dan penegasan) adanya keselarasan atau justru inkonsistensii. Namun jelas bahwa ini saja tidak serta merta mengindikasikan apa yang seharusnya berlaku sebagai hukum. Apa yang konkrit diputuskan adalah peraturan perundang-undangan yang diuji (untuk sebahagian atau seluruhnya) dianggap bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi – sekalipun dibuat dan disahkan oleh lembaga legislatif - dan sebab itu dibatalkan dan kehilangan kekuatan mengikatnya sebagai hukum. Kemanfaatan tata urutan secara praktis hanya muncul ketika MK memutus apakah suatu ketentuan di dalam undang-undang bertentangan atau tidak de ga or a- or a ya g he dak diusu g Ko stitusi (hak uji konstitusional) atau ketika MA menjalankan kewenangannya melakukan hak uji materiil (semua peraturan di bawah undang-undang terhadap Undang-Undang. Peluang lain ialah ketika Menteri Dalam Negeri hendak menguji keabsahan peraturan daerah (Propinsi/Kabupaten-Kota dan Desa) terhadap peraturan yang ditempatkan lebih tinggi, setidak-tidaknya di atas Perda (yang menurut asas demokrasi merupakan cerminan dan kehendak politik dari masyarakat local) (administrative review). Selain itu, secara teoretik tata urutan ini juga terkait dengan sejumlah prinsip: lex specialiss derogat legi generali (khusus mengenyampingkan yang umum) & lex anterior derogat legi posterior (yang belakangan mengenyampingkan yang terdahulu).

Tata urutan ini beranjak dari asumsi bahwa di dalam wilayah kedaulatan Negara hanya akan berlaku satu sistem hukum nasional. Namun apakah tata urutan ini dapat diandalkan dan merepresentasikan sistem hukum yang berlaku di Indonesia? Ada sejumlah masalah terkait dengan itu. Beberapa diantaranya diurai di bawah ini.

Birokratisi dan penerjemahan peraturan perundang-undangan: fragmentasi sektoral dan horizontal

Sistem hukum yang dibentuk dalam suatu tata urutan hierakhis berarti bahwa peraturan disusun dan disimpan dari aturan paling umum (prinsip) sampai dengan aturan teknis pelaksanaan (juklak-juknis), bahkan surat edaran yang memuat petunjuk dan arahan kebijakan. Tata urutan ini secara langsung berkaitan pula (dan merupakan cerminan) struktur organisasi tata kerja serta pembagian/penyebaran kewenangan di antara lembaga Negara dan lembaga pemerintahan (pusat sd daerah). Secara ideal seharusnya tata urutan peraturan perundang-undangan selaras dengan struktur organisasi kelembagaan Negara (termuat di dalam konstitusi) dan tata organisasi kepemerintahan (termuat di dalam perundang-undangan dan pada tingkat cabinet/kementerian dapat berubah sesuai kebutuhan presiden).

(12)

peraturan-instruksi-surat menteri dstnya di dalam batasan kewenangan yang diberikan Presiden (yang membentuk cabinet) dan peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini MA memiliki hak uji materiil cq. Mengujikan konsistensi nilai yang diusung peraturan perundang-undangan dengan nilai-nilai yang dicerminkan Konstitusi. Sedangkan berkaitan dengan tatanan pemerintahan, peraturan di tingkat pusat dianggap otomatis berlaku di seluruh wilayah NKRI dan sebab itu harus menjadi rujukan ketika gubernur atau bupati-walikota/DPRD menetapkan peraturan daerah tingkat provinsi/kabupaten-kota. Itu sebabnya di tingkat kementerian dalam negeri diberikan hak uji administratif.

Persoalannya muncul ketika birokrasi pemerintahan pusat maupun (di-) daerah (dari sudut pandang dan kepentingan masing-masing sector) mulai memproduksi kebijakan (tertulis) dalam wujud peraturan perundang-u da ga ataupu doku e lai ya. Hasil akhir ya adalah ri a raya peratura -ke ijaka dan dengan mudahnya mereka yang mencari jawaban apa hukumnya tersesat di dalamnya. Ketiadaan atau kurangnya koordinasi-integrasi-sinkronisasi-sinergi, (karena pelbagai sebab: rentang pengawasan yang lemah, ego-sektoral, dstnya) tidak saja dalam bidang pembuatan kebijakan di setiap sektor (bidang kegiatan) memunculkan kumpulan peraturan di setiap sector yang kerap bertumpang tindih. Proliferasi peraturan (dan atau badan pemerintah) pada tingkat ini kemungkinan besar juga disebabkan pula oleh kemacetan pelaksanaan aturan di tempat lain.

Dalam kaitan ini juga dapat kita sebutkan hukum (yang muncul dari sikap birokrasi). Pembiaran atau ketidaan reaksi dari Negara atas pelanggaran hukum yang bersifat massal-masif, sikap diam pemerintah (ketidakhadiran Negara) memunculkan kekosongan hukum yang segera akan diisi oleh masyarakat. Sikap diam (atau ketidakhadiran Negara) akan ditafsirkan oleh masyarakat sebagai undangan untuk terus melanggar dan dengan itu mengubah norma. Apa yang dilarang justru menjadi kebolehan. Misalnya berkaitan dengan pe(-nyalah)gunaan trotoar sebagai tempat berdagang atau alur cepat bagi pengendara motor dikala lalulintas macet. Dalam skala lebih besar, kegagalan penegakan hukum secara massif dan konsisten (penebangan-pembakaran hutan/penambangan liar), memunculkan pula

kesadaran hukum (dan pengharapan wajar) dari masyarakat (pelanggar hukum) bahwa apa yang di atas kertas dilarang justru dalam praktik diperbolehkan.

Alhasil tata urutan peraturan perundang-undangan dalam arti formal yang semula diandaikan (fiksi hukum) merupakan piramida (dengan konstitusi sebagai puncak atau justru landasan: nilai dasar yang mewarnai semua aturan yang ada) sebaliknya dapat dipandang sebagai menjadi prisma melalui mana aturan hukum (Negara) termasuk aturan-aturan dari hukum regional dan internasional kemudian masuk sebagai cahaya yang menembus prisma akan menghablur dan membentuk spectrum cahaya yang sangat luas (prismatic society & law; Fred W. Riggs).

Pluralisme hukum dan hukum tidak tertulis

Secara internal Negara Kesatuan Republik Indonesia ,yang niscaya memiliki cita-cita memberlakukan satu sistem hukum nasional di seluruh wilayah kedaulatan NKRI, menghadapi persoalan pluralisme hukum. Peraturan perundang-undangan nasional bukanlah satu-satunya sumber hukum

(13)

kepentingan pengadilan agama) dan hukum adat (baik dari masyarakat pedesaan maupun dari eks kesultanan/kerajaan nusantara) yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.

Keberagaman hukum adat di Nusantara dicoba dipecahkan dengan memberikan pengakuan formal (Pasal 28 UUD 1945) pada masyarakat hukum adat (bukan lagi daerah swatantra : desa atau swapraja: kesultanan/kerajaan yang masih hidup pada masa pemerintahan Hindia Belanda). Namun sekaligus pada mereka dituntut pemenuhan persyaratan yang ketat. Pengakuan akan eksistensi masyarakat adat sebagai masyarakat otonom (di dalam lingkup NKRI) hanya akan diberikan bilamana masyarakat hukum adat masih dapat mempertahankan sendiri aturan-aturan hukum adat (tidak tertulis) yang menjadi acuan hidup mereka. Pada saat sama, wilayah hukum masyarakat adat diinkorporasikan ke dalam wilayah administrasi Negara (kabupaten) dan sumberdaya tempat mereka menggantungkan hidup (pertanahan, hutan) pada prinsipnya masuk ke dalam lingkup hak menguasai negara yang wajib dipergunakan Negara untuk sepenuhnya kemakmuran rakyat Indonesia. Hasilnya akhirnya adalah

massive dispossession (structural and systematic) dari masyarakat hukum adat (tradisional di Indonesia) yang menghasilkan ketidak adilan structural. Dalam konteks ini dapat dimengerti pernyataan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) pada 1999: Jika Negara Tidak Mengakui Kami, Maka Kami Tidak Me gakui Negara

Sedangkan berkaitan dengan hukum Islam perlu disebut berkembangnya hukum Islam dalam lingkup hukum Negara. Di Indonesia setidak-tidaknya dapat disebut tiga model pemberlakuan hukum Islam: Pertama adalah melalui seleksi dan kooptasi. Negara mengkompilasikan aturan-aturan (dari pelbagai sumber hukum Islam) ke dalam satu buku. Buku inilah (Kompilasi hukum Islam) yang digunakan sebagai acuan hukum materiil (substantive) oleh pihak yang berperkara termasuk hakim dalam memutus perkara dihadapan pengadilan agama (Islam). Berikutnya kita kenal fatwa-fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia yang kadang dapat dipandang sebagai mitra pemerintah) yang mengatur banyak hal dari penetapan makanan apa yang halal/tidak, kebijakan pemerintah mana yang layak/tidak diikuti umat Islam warganegara Indonesia sampai dengan menjawab persoalan apakah umat Islam boleh/tidak mengucap selamat Natal pada kaum Nasrani.

Namun juga keliru untuk mengatakan bahwa Negara sepenuhnya berhasil mengendalikan perkembangan hukum Islam. Di luar itu, pelbagai organisasi massa Islam bahkan pesantren yang terpusat pada satu dua guru (kiai) mengembangkan tafsiran dan pemahaman sendiri tentang bagian hukum Islam mana (menyangkut ritual, ibadah atau kehidupan sehari-hari) yang harus berlaku dan mengatur kehidupan warga masyarakat (atau anggota). Adanya perseteruan tentang siapa yang memegang hegemoni dalam menentukan tafsiran atas hukum Islam (dalam bidang ibadah, ritual atau lainnya) misalnya muncul ke permukaan setiap tahun dalam penetapan awal dan akhir ibadah puasa atau apakah muslim diperkenankan menikah dengan non muslim.

(14)

asuransi (berdasarkan syariah) dan kemudian hukum ekonomi Syariah. Kewenangan pengadilan agama dengan perkembangan ini diperluas hingga mencakup pula sengketa yang muncul dari hukum ekonomi Islam ini

Model lai erkaita de ga oto o i khusus ya g di ik ati Pro i si A eh sekara g Na ggroe A eh Darussalam. Perda Q a u ya g la gsu g erujuk pada daya berlaku dan kekuatan mengikat Q ura (dan tidak sertamerta pada UUD 1945) ya g erlaku pe uh di ilayah ad i istrasi Na ggroe A eh Darussalam. Bagaimana dalam wilayah kedaulatan Negara Kesatuan di mana seharusnya berlaku satu hukum nasional dapat kita temukan NAD yang memberlakukan sistem dan tatanan hukum berbeda hanya dapat dipahami dari sudut panjang sejarah kelam konflik GAM dengan TNI. Pasca pemerintahan Orde Baru dan dengan pendekatan berbeda (non-militer), niatan memisahkan diri dari NKRI berhasil diredam dengan kompromi politik pemberian otonomi khusus dan pemberlakuan syariah secara penuh di wilayah NAD.

Di samping itu, hukum Islam (agama) juga mempengaruhi masyarakat hukum adat. Maka misalnya di wilayah Sumatera Barat kita temukan formula adat erse di syara , syara erse di Kita ullah.

Bagaimana hukum adat (sebagai cerminan moral masyarakat matriachat dan the living law) bergabung, bercampur dan mempengaruhi hukum syariah (bertitik tolak dari Q ura da se ua su er rujuka lain) atau sebaliknya dapat berubah dari waktu ke waktu. Sebagai perbandingan dari pemberlakuan pencampuran hukum agama dan hukum adat (dan Negara) adalah penetapan kampong atau desa adat di wilayah Bali. Pertanyaannya selalu adalah seberapa jauh pencampuran ini terjadi dan pada suatu saat apakah kita perlu memurnikan misalnya adat dari agama atau sebaliknya.

Keberagaman (hukum) adat ini bagaimanapun juga harus diakomodasikan ke dalam (dalam bentuk pengakuan-penghormatan), dan sekaligus diselaraskan dengan hukum nasional (terutama dengan mengujinya terhadap nilai-nilai universal hak asasi manusia). Tidaklah mungkin kita misalnya begitu saja mengakui dan menghormati hukum adat suatu masyarakat adat tanpa sekaligus menilainya berdasarkan ukuran keadaban yang dianggap wajar atau pantas berlaku di manapun juga. Lagipula hukum adat sebagai hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat – bila ingin tetap bertahan – bagaimanapun juga harus merespons perkembangan dunia modern.

Tanpa hendak masuk terlalu jauh ke dalam persoalan di atas apa yang dapat ditengarai adalah adanya keberagaman sumber hukum yang hidup dalam masyarakat, yaitu hukum masyarakat adat dengan atau ta pa pe garuh huku Isla .

Keberlakuan Hukum Inter-nasional

Dalam kenyataan mereka yang mencari apa yang menjadi aturan yang berlaku (dan baru kemudian mencari hukum) di Indonesia tidak hanya dapat mengandalkan sistem hukum nasional dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di dalam batas-batas kedaulatan Negara. Dalam banyak hal juga harus diperhatikan keberadaan organisasi internasional seperti ASEAN, PBB, dan Organisasi

(15)

yang wajib dilakukan Negara baik dalam bentuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Termasuk ke dalamnya adalah, khususnya di bidang hukum ekonomi, menyelaraskan aturan-aturan hukum nasional (bahkan local) dengan standart yang ditetapkan pada aras regional maupun

internasional. Tujuan membongkar hambatan tariff dan non-tarif dalam rangka mendorong aliran barang-jasa, orang dan investasi secara bebas di kawasan ASEAN atau bahkan Asia-Pasicif, akan memaksa Negara-negara anggota untuk menyesuaikan aturan-aturan di tingkat nasional termasuk kebijakan nasional yang berlaku. Bersamaan dengan ini muncul tekanan untuk menyelaraskan peraturan perundang-undangan nasional pada standar yang disepakati bersama perihal perlindungan konsumen, perlindungan lingkungan, aturan-aturan kompetisi di bidang usaha dan perdagangan, hak atas kekayaan intelektual dstnya.

Tidak boleh dilupakan di sini adalah perkembangan serupa di bidang hukum pidana dan hak asasi manusia. Konsensus yang mengatur kedudukan hukum serta pertukaran hak-kewajiban antara Negara dengan warganegara tidak lagi hanya (dapat) dilandaskan pada konstitusi (kontrak social). Di luar itu, termuat atau tidak ke dalam konstitusi, ada nilai-nilai hak asasi manusia yang (sekalipun masih terus diperdebatkan) diyakini bersifat universal. Keberlakuan (dan kekuatan mengikat) nilai-nilai universal ini tidak lagi dikaitkan pada baik kontrak social (konstitusi) atau kehendak Negara (yang diwujudkan dalam hukum nasional), maupun nilai-nilai kesusilaan local atau budaya. Ini tampak lebih nyata di bidang hukum pidana maupun hukum acara pidana. Peruluran (perbudakan) yang di dalam beberapa budaya local dianggap wajar dibenturkan dengan nilai kemanusiaan universal dan sekarang dianggap tidak wajar. Begitu juga dengan penyiksaan dalam proses pemeriksaan (penyidikan).

Persoalan di atas, bagaimana keseluruhan bangunan hukum nasional diuji dan dievaluasi terhadap nilai-nilai hak asasi manusia yang diletakan di luar kesepakatani akan terutama menjadi penting ketika Negara cq. Pemerintah tampaknya gagal melindungi dan menghormati kemanusiaan dari warganegara. Dalam hal pemerintah yang sudah seharusnya memonopoli penggunaan kekuasaan (+ kekerasan bersenjata) menyalahgunakannya atau justru tidak menggunakannya padahal diperlukan untuk melindungi warganegara, maka instrument hak asasi manusia – bukan semata-mata hukum nasional - menjadi tolok ukur untuk menilai keabsahan tindakan Negara tersebut.

Dengan kata lain, acuan pembuatan kebijakan dan hukum bukan lagi semata-mata kehendak rakyat banyak dalam sistem Negara hukum demokratis. Badan legislatif ketika membuat peraturan perundang-undangan yang berlaku di tingkat nasional (atau local sesuai kewenangan pemerintah daerah)

bagaimanapun juga harus memperhatikan kesepakatan-kesepakatan yang dibuat pemerintah atas nama Negara, baik berbentuk perjanjian internasional ataupun sekadar nota kesepahaman. Hukum tertulis (hard law maupun soft law: yang semata-mata memuat komitmen politik Negara-negara) di tataran internasional ini, mungkin terkesan dapat dilanggar tanpa perlu cemas akan penjatuhan sanksi di tataran internasional. Dalam hal ini harus diakui bahwa hukum internasional berbeda dengan hukum nasional tidak (belum) memiliki mekanisme penegakan hukum yang ajeg.

(16)

dan RRC, untuk melindungi kepentingan nasional dan juga proyeksi kekuataan dan pengaruh mereka ke seluruh dunia, tetap akan mengandalkan keberlakuan hukum internasional (setidak-tidaknya hukum diplomatic-konsuler dan hukum perjanjian internasional).

Penutup

Uraian di atas jelas tidak dapat dibaca sebagai agenda perubahan. Harapannya lebih bersahaya: dengan mengurai dan menjelaskan kerancuan berpikir tentang hukum dan peraturan perundang-undangan (tertulis-formal), mereka yang mencermati perkembangan hukum di Indonesia, dapat memiliki semacam peta di dalam kepala (mind map) untuk bernavigasi di dalam lautan dan badai norma-prinsip dan

peraturan hukum Indonesia. Mungkin kegunaannya sama sekali tidak praktis. Penegak hukum seperti polisi, jaksa, pengacara dan hakim yang mencari bantuan saksi ahli jelas tidak butuh omongan panjang lebar tentang hal ini. Pada lain pihak, tulisan ini juga tidak dimaksud membuat pemerhati hukum, termasuk mahasiswa hukum, patah hati dan meninggalkan minat mencermati dan mengembangkan hukum Indonesia. Justru sebaliknya. Melalui tulisan ini mereka (pembaca) diharapkan dapat lebih mengapresiasi fenomena hukum dalam keberagamannya.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam tata hukum ada aturan hukum yang berlaku pada saat tertentu, ditempat tertentu yang disebut juga hukum positif atau ius constitutum lawannya adalah Ius Constituendum atau

Salah satu bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara sebagai dasar dan aturan yang menentukan dengan cara apa dan prosedur seperti apa sehingga ancaman pidana

Demikian pula pengertian hukum adat, adalah aturan-aturan yang tidak tertulis, akan tetapi diakui berlaku hidup dan berkembang dalam masyarakat, di hormati

Dari apa yang disampaikan Hans Kelsen ini bisa disampaikan kembali bahwa negara sebagai penjelmaan tata hukum nasional yang dapat dilihat dari hukum

Begitu pula terhadap aturan dalam ranah hukum perdata, walaupun pasal 1338 KUHPer menyatakan bahwa “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku bagi undang-undang bagi

Demikian pula pengertian hukum adat, adalah aturan-aturan yang tidak tertulis, akan tetapi diakui berlaku hidup dan berkembang dalam masyarakat, di hormati

Apabila timbul keragu-raguan, maka aturan hukum yang dipergunakan adalah hukum nasional setempat yang diakui oleh orang tersebut atau hukum yang berlaku di negara yang diduga menjadi

"Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah Hukum Adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan