Urgensi Hukum Perlindungan Konsumen Atas Jual Beli Pada
E-Commerce Sebagai Upaya Menjaga Kestabilan Usaha Mikro
Kecil Menengah (UMKM)
Oleh:
Arzakul Nur Kholis
Abstrak
Disahkannya Undang-Undang No. 20 Tahun 2008 terkait dengan keberadaan UMKM memberikan signal bahwa pemerintah ingin mengembangkan kondisi perekonomian melalui human capital. Salah satu contohnya dapat dilihat bahwa semakin berkembangnya jumlah UMKM di Indonesia, yang mana dalam kegiatan proses produksinya UMKM menggunakan energi yang tak terbatas dan terbarukan, yaitu bersumber dari ide dan gagasan yang kreatif dan inovatif. Data BPS memperkirakan bahwa jumlah UMKM pada tahun 2013 adalah sekitar 57,9 juta orang (BPS,2013). Pertumbuhan jumlah UMKM sekitar 2,41%. Jumlah tenaga kerja UMKM sekitar 114,1 juta orang, dengan pertumbuhan sekitar 6,03%. sumbangan GDP UMKM (harga konstan) adalah Rp. 1.536.918,8 miliar, dengan pertumbuhan sebesar 5,89 % (BPS, Tabel Perkembangan UMKM pada periode 1997-2013). Dari sisi penyerapan tenaga kerja, sekitar 93juta orang diserap oleh usaha mikro, sekitar 3,63 juta orang diserap oleh usaha kecil, dan sekitar 2,8 juta orang diserap oleh usaha menengah. Terdapat sekitar 96% dari tenaga kerja Indonesia, diserap sektor usaha mikro (BPS, 2012). Laju pertumbuhan UMKM di Indonesia yang dibarengi dengan kemajuan teknologi mampu menciptakan bentuk promosi dan transaksi yang modern, dimana antara penjual dan pembeli tidak perlu saling bertemu untuk melakukan transaksi jual beli, hal tersebutlah yang kemudian lazim disebut dengan istilah E-Commerce.
Transaksi jual beli berbasis E-commerce dirasa mudah bagi para kosumen, karena untuk membeli barang yang di inginkan konsumen hanya perlu memesan melalui gadget yang mereka miliki. Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh peneliti, dari transaksi tersebut mampu menimbulkan beberapa kerugian terhadap konsumen, jual beli online ini dalam praktiknya menggunakan sistem prabayar, konsumen diharuskan mentransfer uang senilai barang yang diinginkan dan kemudian mengirimkan photo bukti transfer terhadap produsen, produsen akan merespons dengan mengirimkan barang melalui jasa kurir. Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa narasumber, resiko yang mungkin timbul akibat dari adanya transaksi tersebut adalah, barang tidak kunjung dikirim atau terdapat perbedaan antara barang yang dipesan dengan barang yang dikirim, kasus ini biasanya terjadi pada produk pakaian.
Sumber: Survei Indikator TIK pada Rumah Tangga dan Individu Tahun 2016, Balitbang SDM
Merujuk pada gambar diatas, pakaian merupakan produk yang paling diminati oleh konsumen dalam lalu lintas perdagangan berbasis online, senada dengan hal tersebut pihak konsumen akan merasa kecewa dan berpengaruh terhadap minat beli masyarakat.
Gambar 2
Sumber: Survei Indikator TIK pada Rumah Tangga dan Individu Tahun 2016, Balitbang SDM
Metode pembayaran yang paling diminati pada jual beli online yaitu menggunakan cara transfer(Gambar 2), barang akan dikirim manakala konsumen telah mentransfer uang senilai harga barang yang diinginkan. Transaksi dengan metode seperti ini mempunyai sisi negatif, yaitu adakalanya pihak produsen tidak mengirim barang yang telah dipesan. Metode transfer dipilih karena dirasa mudah dan lebih efisien jika dibandingkan dengan metode pembayaran lainnya yaitu bayar ditempat, kartu kredit, Dll.
E-Commerce ini tumbuh bagaikan balon udara yang mengembang dan terus membesar, hingga pada akhirnya meletus yang diakibatkan konsumen merasa dirugikan atas kegiatan tersebut. Jika hal ini terjadi akan berujung pada kelesuan perekonomian khususnya dari sektor
UMKM, salah satu upaya untuk meminimalisirnya dapat dilakukan dengan membuat payung hukum yang tegas atas transaksi jual beli pada E-Commerce. Pada dasarnya prinsip jual beli pada E-Commerce tidak jauh berbeda dengan transaksi jual beli pada umumnya hanya saja antara pihak konsumen dan produsen tidak perlu bertemu, hal inilah yang kemudian menjadi faktor utama mengapa jual beli pada E-Commerce sulit dilakukan eksekusi ataupun tindakan nyata apabila terjadi sengketa maupun tindak pidana penipuan. Sifat siber dalam transaksi secara elektronis memungkinkan setiap orang baik penjual maupun pembeli menyamarkan atau memalsukan identitas dalam setiap transaksi maupun perjanjian jual beli.
Kerugian yang dialami konsumen dalam E-Commerce merupakan bentuk pelanggaran atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pasal 4 UU PK menyebutkan bahwa hak konsumen adalah :
a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa;
d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g. hak unduk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila
barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan lainnya.
Berdasarkan UUPK pasal 4 permasalahan yang sering dihadapi konsumen terkait jual beli pada E-Commerce sesuai dengan poin “C” dan “H”.
Di sisi lain, kewajiban bagi pelaku usaha (dalam hal ini adalah penjual online), sesuai Pasal 7 UU PK adalah:
b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
f. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
g. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Pasal tersebut dirasa belum mampu mengikat para produsen yang bertindak curang atas jual beli pada E-Commerce. Sehingga perlu dibentuknya undang-undang yang secara khusus mengatur lalu lintas perdagangan dalam E-Commerce. jual beli pada E-Commerce sulit disentuh hukum disebabkan adanya Sifat siber dalam transaksi secara elektronis memungkinkan setiap penjual menyamarkan atau memalsukan identitas dalam setiap transaksi maupun perjanjian jual beli. Sebagai upaya Untuk meminimalisir hal tersebut, setiap produsen yang ingin berpartisipasi dalam kegiatan jual beli pada E-Commerce harus terdaftar dan memiliki surat ijin untuk menjalakan kegiatan usahanya berbasis online. Hal demikian bertujuan agar nantinya pemerintah dimudahkan dalam melakukan eksekusi terhadap pelaku kejahatan pada jual beli E-Commerce. dihimbau kepada para konsumen, agar membeli produk yang mereka inginkan hanya kepada produsen yang usahanya sudah terdaftar sebagai salah satu agent E- Commerce.
Daftar Pustaka
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik.