• Tidak ada hasil yang ditemukan

TAP.COM - PENGARUH SUPLEMENTASI MULTIVITAMIN MINERAL ...

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "TAP.COM - PENGARUH SUPLEMENTASI MULTIVITAMIN MINERAL ..."

Copied!
85
0
0

Teks penuh

(1)

TERHADAP STATUS GIZI DAN KADAR SENG (Zn) SERUM

PADA WANITA PEKERJA USIA SUBUR

Alia Latifah Hanum

PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBER DAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN

(2)

Status Gizi dan Kadar Seng (Zn) Serum pada Wanita Pekerja Usia Subur. (Dibawah bimbingan CESILIA METI DWIRIANI dan RIMBAWAN).

Penelitian ini bertujuan untuk 1) Mempelajari karakteristik sosio demografi (pendapatan, pendidikan, usia, besar keluarga) contoh 2) Mempelajari tingkat kecukupan intake energi, protein, dan seng contoh dari makanan 3) Menganalisis pengaruh suplementasi multivitamin dan multimineral terhadap perubahan status gizi contoh (IMT dan LILA), dan 4) Menganalisis pengaruh suplementasi multivitamin dan multimineral terhadap perubahan kadar seng serum contoh.

Desain penelitian ini adalah eksperimental murni teracak buta ganda

(double blind randomized controlled trial). Penelitian lapang dilaksanakan selama 4 bulan, yaitu mulai bulan Februari hingga Mei 2008 di PT Ricky Putra Globalindo, Citeurep, Kabupaten Bogor. Kegiatan analisa kadar seng (Zn) serum dilakukan di Laboratorium Seng Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Gizi dan Makanan, Departemen Kesehatan, Bogor.

Populasi adalah adalah wanita usia subur usia 15-45 tahun (Depkes 2003), sedangkan contoh adalah kelompok populasi yang memenuhi kriteria inklusi yang dipilih secara acak, dengan kriteria Inklusi tertentu. Selanjutnya dilakukan penentuan besar contoh menggunakan analogi penelitian Raqib et al.

(2001). Pada awal penelitian masing-masing kelompok perlakuan terdiri atas 35 orang contoh, dalam proses intervensi terjadi drop out sehingga pada akhirnya diperoleh besar contoh masing-masing 27 orang untuk kelompok perlakuan plasebo, dan 31 orang untuk kelompok perlakuan multivitamin. Sebelum perlakuan, kadar seng serum, pola konsumsi, dan status gizi contoh diperiksa sebagai dasar (baseline). Perlakuan diberikan setiap hari kepada contoh selama sepuluh minggu. Kemudian setelah 10 minggu dilakukan kembali pemeriksaan (endline). Suplemen multivitamin mineral yang digunakan dalam penelitian ini berupa kaplet yang berisi 1000 mg vitamin C, 45 mg vitamin E, 700 g vitamin A, 6.5 mg vitamin B6, 400 g asam folat, 9.6 g vitamin B12, 10 g vitamin D, 10 mg Zn, 110 g Se, 0.9 mg Cu, dan 5 mg Fe.

Karakteristik contoh yang diamati pada penelitian ini terdiri atas pendapatan, tingkat pendidikan, usia, dan jumlah anggota keluarga contoh. Contoh pada kelompok plasebo memiliki rata-rata pendapatan per kapita per hari sebesar Rp. 1853.80 Sedangkan contoh pada kelompok perlakuan multivitamin memiliki rata-rata pendapatan sebesar Rp. 18319.53 per kapita per hari. Uji statistik menujukkan bahwa tingkat pendapatan perkapita per hari antar kelompok perlakuan tidak berbeda nyata (P=0.916). Berdasarkan kategori, seluruh responden dari kedua kelompok perlakuan tergolong dalam kategori sejahtera. Hal ini diduga karena pihak perusahaan memberikan bayaran pada pekerjanya sesuai UMR, sehingga pendapatan per kapita per hari contoh dapat melebihi batas kemiskinan kabupaten Bogor, yakni Rp.6102.233 per kapita per hari. Usia contoh dibedakan menurut kelompok usia <20 tahun, 20-29 tahun,

30-39 tahun, dan ≥40 tahun . Pada kelompok plasebo, separuh contoh (51.85%)

(3)

38.70%. Terdapat 3.23% contoh yang tidak tamat SD, serta 3.23% contoh yang berpendidikan tamat D1/D3. Pada kelompok perlakuan plasebo sebagian besar contoh (88.89%) memiliki jumlah anggota keluarga < 4 orang dan hanya 11.11% contoh yang memiliki jumlah anggota keluarga 5-7 orang. Demikian pula pada kelompok perlakuan multivitamin, dimana sebagian besar contoh (90.32%) memiliki jumlah anggota keluarga < 4 orang dan hanya 9.67% contoh yang memiliki jumlah anggota keluarga 5-7 orang. Uji statistik tidak menunjukkan perbedaan yang nyata pada jumlah anggota keluarga antara kelompok perlakuan plasebo dan multivitamin (P=0.861).

Pada kelompok perlakuan plasebo rata-rata IMT pada pemeriksaan awal adalah 24.31 kg/m2, sedangkan pada kelompok multivitamin rata-rata IMT contoh adalah 23.99 kg/m2 . Uji statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata pada status gizi antar kelompok perlakuan (P=0.726). Demikian pula halnya dengan nilai LLA contoh, dimana tidak terdapat perbedaan yang nyata antar kelompok perlakuan (P=0.810). Nilai rataan LILA pada kelompok perlakuan plasebo adalah 28.01 cm sedangkan nilai rataan pada kelompok perlakuan multivitamin adalah 27.92 cm.

Setelah intervensi, lebih dari separuh contoh baik pada kelompok plasebo (81.5%) maupun kelompok perlakuan multivitamin (96.8%) berada dalam status gizi normal menurut LLA. Hanya terdapat 18.5% contoh pada kelompok plasebo, dan 3.2% contoh pada kelompok perlakuan multivitamin yang menderita KEK. Berdasarkan hasil uji T berpasangan terdapat perubahan LLA antara data

baseline dan endline untuk kelompok perlakuan plasebo (P=0.04). Sedangkan untuk kelompok perlakuan multivitamin tidak terdapat perbedaan (P=0.80). Walaupun hasil uji T berpasangan menunjukkan adanya perubahan yang terjadi terhadap LLA contoh pada kelompok perlakuan plasebo, namun demikian berdasarkan hasil analisis ragam terlihat bahwa perlakuan suplementasi tidak berpengaruh terhadap LLA (P=0.47).

Pada pemeriksaan baseline, kadar seng serum responden adalah homogen. Hal ini dapat terlihat dari hasil uji statistik yang tidak menunjukkan adanya perbedaan yang nyata pada kadar serum seng contoh kelompok perlakuan plasebo maupun multivitamin (P=0.395). Pada kelompok perlakuan plasebo, nilai rataan serum seng nya adalah 0.78 mol/L sedangkan pada kelompok perlakuan multivitamin nilai rataan serum seng nya adalah 0.77 mol/L. Pada pemeriksaan baseline sebagian besar contoh pada kelompok plasebo (85.2%) maupun kelompok perlakuan multivitamin (80.6%) berada dalam status seng normal. Setelah intervensi selama 10 minggu, terdapat peningkatan jumlah contoh yang status seng nya normal, yakni menjadi 100% pada kelompok plasebo dan 87.1%

(4)

Wanita Pekerja Usia Subur

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga

Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

ALIA LATIFAH HANUM

PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN

(5)

Judul : Pengaruh Suplementasi Multivitamin Mineral

Terhadap Status Gizi dan Kadar Seng (Zn) Serum pada Wanita Pekerja Usia Subur

Nama : Alia Latifah Hanum NRP : A54104054

Disetujui,

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Dr. Rimbawan Ir. Cesilia Meti Dwiriani, MSc

NIP. 131 629 744 NIP. 131 629 744

Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Didy Soepandie, M.Agr. NIP. 131 124 019

(6)

PRAKATA

Segala puji bagi Allah SWT pencipta yang agung yang melimpahkan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini dengan baik. Tak lupa pula shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada nabi kita Muhammad SAW beserta keluarganya dan para sahabatnya.

Terselesaikannnya penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari banyak pihak. Oleh karena itu penulis ingin menyampaikan terimakasih sebesar-besarnya kepada :

1. Ir. Cesilia Meti Dwiriani Msc. Dan Dr.Rimbawan sebegai dosen pembimbing skripsi, yang telah membimbing dengan penuh kesabaran, serta memberikan banyak ilmu dan nasehat bagi penulis.

2. Fitrah Ernawati Msc. Yang telah melibatkan penulis dalam penelitian payung

“Pengaruh Suplementasi Multivitamin Mineral Terhadap Imunitas Humoral

dan Seluler”, untuk semua bantuan, bimbingan, dan pengalaman berharga.

3. Dr.Ir. Lilik Kustiyah,MS selaku dosen pemandu seminar, atas semua saran dan kritik yang membuat skripsi ini menjadi lebih baik.

4. Dr.Ir. Evy Damayanthi, MS selaku dosen penguji, atas semua saran dan kritik yang membangun.

5. Firdaus dan Febrina Sulistiawati, atas kerjasama yang baik dan sangat menyenangkan selama penelitian.

6. Keluarga penulis, ayah, ibu, Zaky, dan Ridho. Atas semua doa, dukungan, dan semangat.

7. Teman-teman GaMaSaKers ’41, atas seluruh kebersamaan dan persahabatan yang tidak ternilai. You’re the best, Guys..

8. Rekan-rekan BKG (Rizka, Ceu-ceu, Mei, Kiki, Icus, Onye, Bagus), untuk saat-saat sibuk yang menyenangkan.

9. Femphy Pisceldo S.Kom. Untuk semua doa, bantuan, dan semangat.

10. Ibu-Ibu responden karyawan PT.Ricky Putra Globalindo, atas kerjasama yang baik, dan saat-saat yang tidak terlupakan saat penelitian.

11. Rio Ardhiyanto,SH. dan keluarga (Om, Tante, Amel, dll). Atas semua bantuan, doa, dan dukungannya.

Semoga skripsi ini bermanfaat. Bogor, Januari 2009

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor pada 29 Oktober 1986. Penulis merupakan putri pertama dari pasangan Drs. H. Muryadi Nurta dan Ir. Zahro (Almh.). Penulis menempuh pendidikan pada SD Al-Ghazaly dan Mts.S Al-Ghazaly Bogor, serta SMUN 5 Bogor. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan di Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut pertanian Bogor melalui jalur Ujian Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2004.

(8)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL... i

DAFTAR GAMBAR... ii

DAFTAR LAMPIRAN... iii

PENDAHULUAN... 1

Latar Belakang... 1

Tujuan ... ... 3

Kegunaan Penelitian... 3

TINJAUAN PUSTAKA... 4

Seng (Zn) dalam Tubuh Manusia ... ... 4

Fungsi Seng (Zn) dan Akibat Defisiensi Seng ... …… 5

Metabolisme dan Penyerapan Seng (Zn) ... …… 7

Ketersediaan Seng (Zn) dalam Tubuh dari Konsumsi Makanan ... …… 10

Suplemen Multivitamin Mineral ... …… 13

Peranan Suplementasi dalam Mengatasi Masalah Defisiensi Seng ... …… 15

METODE PENELITIAN... 18

Desain, Waktu dan Tempat Penelitian ... …… 18

Penentuan Jumlah Contoh ... …… 18

Cara Pengambilan Contoh ... …… 19

Jenis dan Cara Pengumpulan Data ... …... 21

Pengolahan dan Analisis Data ... …… 22

Definisi Operasional ... …… 25

HASIL DAN PEMBAHASAN ... …… 27

Karakterisik Contoh ... …… 27

Satus Gizi Contoh Sebelum Intervensi ... …… 30

Intake Energi, Protein, dan Seng Contoh dari Makanan ... …… 31

Pengaruh Perlakuan Suplementasi Terhadap IMT dan LLA ... …… 37

Pengaruh Perlakuan Suplementasi Terhadap Kadar Serum Seng ... …… 38

KESIMPULAN DAN SARAN ... …… 43

Kesimpulan ... …… 43

Saran ... …… 44

DAFTAR PUSTAKA ... ... 45

(9)

DAFTAR TABEL

NOMOR HALAMAN

Tabel 1. Kandungan seng dan bioavailabilitas seng makanan secara in vitro

pada beberapa desa di Bogor... 12

Tabel 2. Kategori suplemen multivitamin mineral menurut beberapa survey... 14

Tabel 3 Formula suplemen multivitamin mineral... 21

Tabel 4 Pengelompokan status gizi orang dewasa menurut IMT... 25

Tabel 5. Sebaran status ekonomi dan usia contoh... 27

Tabel 6. Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan dan besar keluarga... ... ... 29

Tabel 7 Sebaran contoh berdasarkan nilai IMT dan LLA... 30

Tabel 8 Sebaran contoh menurut status gizi berdasarkan nilai IMT dan LLA……. 31

Tabel 9 Intake energi, protein, dan seng contoh dari makanan... 32

Tabel 10. Jenis-jenis pangan sumber seng yang paling banyak dikonsumsi contoh... ... ... 33

Tabel 11 Tingkat konsumsi energi, protein, dan seng contoh dari makanan .. …… 34

Tabel 12. Status gizi contoh pada pemeriksaan endline ... …… 37

(10)

DAFTAR GAMBAR

NOMOR HALAMAN

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

NOMOR HALAMAN

Lampiran 1. FFQ contoh... 50

Lampiran 2. Kuisioner Penelitian... 55

Lampiran 3. Hasil Uji statistik... 66

Lampiran 4. Dokumentasi Penelitian... 73

(12)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Dalam sepuluh tahun terakhir ini zat gizi mikro (micronutrient), terutama vitamin dan mineral secara internasional telah mendapat perhatian yang lebih besar dalam ilmu gizi. Hal ini disebabkan makin banyaknya penemuan penelitian gizi baru yang mengungkapkan mengenai makin luas dan pentingnya peranan vitamin dan mineral bagi kesehatan dan kesejahteraan manusia. Usia dan kualitas hidup manusia sangat bergantung pada peran vitamin dan mineral dalam mengatur fungsi otak, ketahanan tubuh (imunitas), fungsi kehamilan, dan pengolahan energi. Kekurangan zat gizi mikro pada tingkat ringan sekalipun diketahui akan dapat mengganggu kemampuan belajar, menurunkan produktivitas kerja, bahkan memperparah penyakit dan meningkatkan kematian (Soekirman 2000).

Defisiensi beberapa jenis zat gizi mikro pada wanita umum terjadi di seluruh dunia. Padahal, status zat gizi mikro pada wanita, terutama wanita usia subur bukan hanya mempengaruhi kesehatan wanita itu sendiri, namun juga mempengaruhi kesehatan generasi yang akan datang (Bartley et al. 2005). Wanita dewasa pada umumnya memiliki stamina yang lebih rentan dibandingkan dengan pria. Hal ini antara lain disebabkan oleh keadaan fisologis wanita yang berbeda dengan pria, contohnya pada keadaan hamil dan menyusui (Sekarindah 2004). Wanita di masa sekarang juga dituntut untuk mampu berperan ganda, yakni sebagai pencari nafkah dan sebagai ibu rumah tangga. Selain itu wanita mengalami menstruasi secara berkala dan cenderung mengikuti diet yang mengakibatkan rendahnya asupan vitamin dan mineral. Hal-hal tersebut menyebabkan wanita rentan terkena masalah yang terkait dengan kekurangan zat gizi mikro, termasuk diantaranya adalah defisiensi seng (Zn).

Seng (Zn) merupakan salah satu zat gizi mikro esensial yang berperan penting dalam proses pertumbuhan, perkembangan, dan pemeliharaan sistem kekebalan tubuh (Fischer-Walker et al. 2005). Selain itu seng juga berperan dalam kerja lebih dari 70 jenis enzim, karena peranannya dalam sintesis DNA dan RNA serta protein, maka defisiensi seng dapat menghambat pembelahan sel, pertumbuhan dan pemulihan jaringan, serta diduga seng berinteraksi dengan defisiensi vitamin A dalam proses terjadinya buta senja (Wood 2000).

(13)

pangan hewani. Namun demikian, saat kebutuhan seng tidak dapat dipenuhi dengan cara perbaikan pola makan, terdapat beberapa cara alternatif untuk mengatasi defisiensi seng, antara lain dengan cara suplementasi dan fortifikasi (Soekirman 2008). Dalam kondisi tidak terpenuhinya vitamin dan mineral yang bersumber dari makanan, suplemen zat gizi dapat digunakan sebagai alternatif pilihan. Dalam International Conference on Nutrition Tahun 1992, FAO/WHO menetapkan bahwa suplementasi zat gizi harus dibatasi untuk kelompok rawan (vulnerable group) yang tidak dapat memenuhi kebutuhannya akan zat gizi melalui makanan, seperti bayi dan anak-anak, lansia, kelompok dengan sosial ekonomi rendah, orang terlantar, pengungsi, penduduk yang berada dalam kondisi darurat, dan wanita usia subur (FAO/WHO 1992).

International Market Research Report (IMRR 2005) melaporkan bahwa food suplements (termasuk vitamin dan mineral) market di Indonesia diperkirakan mencapai $ 100 juta pada tahun 2001, dan meningkat 10% pada tahun 2002 menjadi $ 110 juta. Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan permintaan pasar antara lain adalah perubahan pola makan, kesadaran untuk hidup sehat, pengaruh turis dan warga negara asing, mahalnya harga obat-obatan, pengaruh pelajar yang belajar di luar negeri, ketidak seimbangan antara diet dengan gaya hidup yang stress, stabilnya penghasilan, serta merebaknya penyakit epidemik.

Defisiensi seng pada manusia menyebar secara luas di beberapa bagian dunia. Defisiensi seng terjadi pada berbagai populasi di negara berkembang dan kemudian meningkat menjadi masalah kesehatan yang penting (ACC/SCN 1997). Dari hasil penelitian Riyadi (1995) diketahui bahwa prevalensi seng pada perempuan di semua kelompok umur berkisar antara 41.5% - 59.7%. Lebih jauh hasil penelitian Puslitbang Gizi dan Departemen Kesehatan pada 7 provinsi di Indonesia tahun 2006 menunjukkan terjadinya prevalensi defisiensi seng antara 7.96% – 44.44% (Anonim 2007).

(14)

terutama seng, pada golongan wanita usia subur yang bekerja. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian ini.

Tujuan Tujuan Umum :

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh suplementasi multivitamin mineral (vitamin C, E, A, B6, Asam folat, B12, D, Zn, Se, Cu, dan Fe) terhadap status gizi dan kadar seng (Zn) serum pada wanita pekerja usia subur.

Tujuan Khusus :

1. Mempelajari karakteristik sosio demografi (pendapatan, pendidikan, usia, besar keluarga) contoh.

2. Mempelajari tingkat kecukupan intake energi, protein, dan seng contoh dari makanan.

3. Menganalisis pengaruh suplementasi multivitamin dan multimineral terhadap perubahan status gizi contoh (Indeks Massa Tubuh (IMT) dan Lingkar Lengan Atas (LLA)).

4.

Menganalisis pengaruh suplementasi multivitamin dan multimineral terhadap perubahan kadar seng serum contoh .

Kegunaan Penelitian

(15)

TINJAUAN PUSTAKA

Seng (Zn) dalam Tubuh Manusia

Winarno (1997) menyatakan bahwa seng merupakan komponen penting dalam berbagai enzim. Sedikitnya 15-20 metalo enzim yang mengandung seng telah diisolasi dan dimurnikan. Salah satu contohnya dalah enzim karbonat anhidrase yang terdapat dalam sel darah merah. Selain itu seng juga terdapat dalam karboksi peptidase dan dehidrogense dalam hati. Sebagai kofaktor, seng dapat meningkatkan keaktifan enzim lainnya.

Berdasarkan kadar seng tubuh total yakni sekitar 20 g Zn/g, maka diduga bayi yang baru lahir mengandung sekitar 60 mg seng. Selama pertumbuhan dan pematangan, kadar seng tubuh manusia meningkat menjadi sekitar 30 g Zn/g. Kandungan seng tubuh total orang dewasa berkisar dari 1.5 gram pada wanita dewasa sampai 2.5 gram pada laki-laki dewasa. Seng terdapat dalam semua organ, jaringan, cairan, dan sekresi-sekresi tubuh. Seng terutama merupakan ion intraselular, dengan lebih dari 95% seng tubuh total ditemukan dalam sel-sel. Seng berhubungan dengan semua organel sel, tetapi sekitar 60-80% seng selular ditemukan dalam sitosol (Shils, Olson, dan Shike 1994).

Sediaoetama (2000) menjelaskan bahwa seng dalam tubuh manusia tersebar luas dalam berbagai jaringan dengan konsentrasi yang bervariasi, sebesar 10-200 g Zn/g jaringan basah. Pankreas mengandung seng dengan kadar 20-30 g Zn/g, sedangkan jaringan hati, otot skeletal dan jaringan tulang mengandung kadar 60-180 g Zn/g jaringan basah. Darah lengkap mengandung seng sekitar 900 g Zn/dl, sedangkan plasma mengandung seng kira-kira 120 g Zn/dl. Seng yang terdapat dalam plasma sekitar 34% terikat erat pada  globulin dan 66% terikat lemah pada protein darah secara umum, yang diperkirakan sebagai bentuk transpor.

(16)

Pada semua spesies yang diteliti, penurunan intake seng makanan yang tajam dengan cepat diikuti oleh tanda-tanda defisiensi seng. Namun demikian, beberapa sumber seng endogen dipertahankan secara khusus pada jaringan-jaringan tertentu sebagai tanggapan atas penurunan seng makanan. Sebagai contoh, pada defisiensi seng, kadar dan uptake seng tulang menurun, tetapi laju turnover dan pembebasan seng tidak meningkat nyata. Sebaliknya pengurangan

intake makanan yang berhubungan dengan defisiensi seng dapat menyebabkan katabolisme jaringan otot dan pembebasan seng kedalam plasma (Shils, Olson, dan Shike 1994)

Diperkirakan kebutuhan seng adalah 15 mg bagi setiap anak diatas usia 11 tahun. Telah dibuktikan bahwa seng dalam protein nabati kurang tersedia dan lebih sulit digunakan tubuh manusia dibandingkan dengan seng yang terdapat dalam protein hewani. Hal tersebut mungkin disebabkan karena adanya asam

phytate yang mampu mengikat ion-ion logam. Para ahli gizi berpendapat dengan konsumsi jumlah protein hewani yang dianjurkan maka kebutuhan seng tubuh akan terpenuhi. Meskipun seng terdapat dalam berbagai bahan pangan namun yang merupakan sumber utama seng adalah daging, unggas, ikan laut, telur, keju, dan susu (Winarno 1997).

Fungsi Seng (Zn) dan Akibat Defisiensi Seng

Seng memegang peranan penting dalam banyak fungsi tubuh. Seng berperan pada kegiatan ebih dari 200 enzim, seng juga berperan dalam berbagai aspek metabolisme, seperti reaksi-reaksi yang berkaitan dengan sintesis dan degradasi karbohidrat, protein, lipida, dan asam nukleat. Misalnya sebagai bagian dari karbonik anhidrase dalam sel darah merah. Seng berperan dalam pemeliharaan keseimbangan asam basa dengan cara membantu mengeluarkan karbon dioksida dari jaringan serta mengangkut dan mengeluarkan karbon dioksida dari paru-paru pada proses pernapasan. Sebagai bagian dari enzim peptidase karboksil yang terdapat dalam cairan pankreas, seng berperan dalam pencernaan protein (Almatsier 2002).

(17)

Kadar seng darah yang rendah dihubungkan dengan hipogeusia atau kehilangan indra rasa. Hipogeusia biasanya disertai dengan penurunan nafsu makan dan hiposmia atau kehilangan indra bau. Hal ini biasanya terjadi pada stress akibat luka bakar, fraktur tulang, serta infeksi (Almatsier 2002).

Linder (1992) menyatakan bahwa seng berfungsi dalam metabolisme dan pemeliharaan kulit, pankreas, dan organ-organ reproduksi pada pria. Selain itu seng juga memiliki peran dalam proses detoksifikasi alkohol serta dalam metabolisme pigmen visi bervitamin A, yakni suatu enzim yang memerlukan seng. Seng juga diperlukan dalam sintesis protein pengikat retinol dalam hati yang dibutuhkan untuk proses distribusi vitamin melalui plasma.

Suatu hipotesis menyatakan bahwa seng memainkan peran biokimia yang sama dengan vitamin E, dengan cara menstabilkan struktur membran dan dengan menurunkan kerusakan peroksidatif terhadap sel. Luka pada hati yang diakibatkan oleh karbon dioksida adalah model lain untuk mempelajari luka radikal bebas terhadap jaringan. Hewan-hewan yang dipelihara dengan pola hidup seng, jika terdapat luka-luka biokimia ini memberi kesan bahwa seng melindungi terhadap luka radikal bebas. Seng juga menahan rangkaian radikal bebas yang tergantung pada metramadezone yang serupa (Prasad 1993).

Sebuah penelitian tahun 1960an di Iran, mengidentifikasi bahwa defisiensi seng merupakan penyebab utama stunting dan penundaan kematangan sexual pada manusia (Hambidge 2000). Selain itu, ditemukan bahwa defisiensi seng pada bayi dan anak-anak tidak hanya menghambat proses pertumbuhan dan perkembangan, namun juga menurunkan imunitas dan meningkatkan morbiditas dan kematian karena penyakit infeksi. Peran fisologis seng dalam masa pertumbuhan dan perkembangan menggambarkan pula pentingnya peran seng untuk pertumbuhan bayi sejak dalam kandungan (Saskia

et al. 2003). Selain itu, defisiensi seng akan memperlama proses penyembuhan tubuh, menurunkan kemampuan indra perasa (Ma dan Betts 2000), dan menurunkan perkembangan saraf (Hotz et al. 2003).

(18)

dalam metabolisme vitamin A. Defisiensi seng mengarah pada gangguan sintesis protein pengikat vitamin A dan menurunkan pembebasan simpanan vitamin A di hati kedalam aliran darah. Sebagai tambahan, retinol dehydrogenase, seperti dehydrogenase lainnya merupakan metalloenzim yang tergantung seng.

Prasad (1993) menjelaskan bahwa defisiensi seng mungkin terjadi akibat

intake yang tidak cukup dan ketersediaan seng makanan yang rendah, yang dihubungkan dengan intake serat makanan, polifosfat, besi, tembaga, dan

phytate yang berlebihan . Disamping itu defisiensi seng juga dapat diakibatkan oleh keadaan kesehatan. Gejala klinis yang tampak menonjol pada penderita defisiensi seng antara lain adalah :

 Pertumbuhan terhambat

 Rasa dan penciuman rusak atau terganggu

 Anoreksia atau gangguan nafsu makan dan intake makanan  Tertundanya kematangan seksual atau impotensia

 Hipogonadisme dan hipospermia

 Pertumbuhan rambut terhenti (alopesia)  Penyembuhan luka tertunda

 Gangguan perilaku, depresi, pikiran labil, dan tidak konsentrasi  Kekebalan tubuh menurun

 Buta senja, fotofobia, blefaritis  Kuku berhenti tumbuh

 Lesi kulit pada jari, perineum, parietal nasobial, dan lipatan-lipatan  Diare

Metabolisme dan Penyerapan Seng (Zn)

Metabolisme merupakan semua proses baik fisik maupun kimia yang terjadi di dalam tubuh dan diperlukan untuk mempertahankan kehidupan. Proses-proses ini berupa pemecahan zat-zat gizi untuk menghasilkan energi atau membentuk struktur tubuh (Almatsier 2002). Vitamin, mineral dan cairan di absorbsi secara bersamaan melalui mucosa usus. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi bioavailabilitas vitamin dan mineral, termasuk ada tidaknya zat gizi yang spesifik.

Kebanyakan vitamin dan air berjalan dari usus halus ke aliran darah melalui difusi pasive tanpa mengalami perubahan. Akan tetapi mineral di absorbsi lebih komplek dan berjalan melalui 3 tahap. Pada tahap pertama, yaitu

(19)

lambung dan usus halus. Reaksi ini sebagian besar ditentukan oleh pH dan komposisi makanan yang memasuki lambung, terutama mempengaruhi kation. Anion yang kecil seperti florida tidak dipengaruhi baik oleh pH maupun oleh komposisi makanan dan diserap dengan bebas. Tahap kedua adalah

translocation stage, yang melewati membran menuju sel mukosa usus halus. Transpor anion yang kecil kemungkinan terjadi hanya melalui difusi yang sederhana. Untuk sebagian besar unsur kation, mekanisme dapat terjadi melalui difusi fasilitatif atau transpor aktif. Selama tahap ketiga, yaitu mobilization stage, mineral dapat diangkut melalui permukaan serosal usus menuju aliran darah atau dipisahkan di dalam sel. Beberapa mineral dibawa dengan cara berikatan dengan protein pembawa/protein pengangkut. Protein pengangkut tersebut ada yang bersifat spesifik misalnya transferin yang berikatan dengan besi atau yang bersifat umum misalnya albumin mengikat berbagai mineral (Beyer 2004).

Istilah bioavailabilitas secara umum didefinisikan sebagai penyerapan dan pemanfaatan zat gizi (Fairweather-Tait 1997). Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi bioavailabilitas, yaitu bentuk kimia dari zat gizi; komposisi zat gizi dalam makanan atau suplemen; interaksi antar zat gizi dan faktor dari dalam individu sendiri yang meliputi usia, jenis kelamin, faktor fisiologis, dan patologis (Krebs 2001). Faktor fisiologis yang dapat mempengaruhi bioavailabilitas antara lain kondisi pencernaan, umur, fungsi ginjal, jenis kelamin, aktivitas fisik, komposisi tubuh, status gizi, status kesehatan, pola dan komposisi makan, suplemen makanan, alkohol, suku bangsa, dan faktor lingkungan seperti polusi, stres, dan penggunaan obat-obatan ( Solomon et al..

2001).

(20)

Gambar 1. Penyaluran seng dalam tubuh

Ketersediaan Seng (Zn) dari Konsumsi Makanan

Sumber : Almatsier (2002)

Proses penyerapan membutuhkan alat angkut dan terjadi di bagian atas usus halus (duodenum). Seng diangkut oleh albumin dan transferin masuk kedalam aliran darah dan kemudian dibawa ke hati (Gambar 1). Kelebihan seng akan disimpan di hati dalam bentuk metallotionin, lainnya dibawa ke pankreas serta jaringan tubuh lain. Dalam pankreas seng digunakan untuk membuat enzim pencernaan, yang akan dikeluarkan kedalam saluran cerna pada proses pencernaan makanan. Dengan demikian saluran cerna menerima seng dari dua sumber, yakni dari makanan dan dari cairan pencernaan yang berasal dari pankreas. Penyaluran seng dalam tubuh dari pankreas ke dalam saluran cerna dan kemudian kembali lagi ke pankreas dinamakan siklus enteropankreatik (Almatsier 2002).

Penyerapan seng diatur oleh metallotionin yang disintesis dalam sel dinding saluran cerna. Bila konsumsi seng meningkat, dalam sel dinding saluran

Seng makanan

sel saluran cerna

meningkatkan seng ke albumin dan transferin

darah mengangkut seng dalam

albumin dan transferin

Hati

Menyimpan kelebihan sebagai metallotionin

Darah membawa seng dlm albumin ke jaringan tubuh

lain

Sebagian hilang melalui urin, kulit, darah, dan mani Pankreas membentuk enzim

pencernaan dari seng dan mengeluarkannya kedalam

(21)

cerna sebagian akan diubah menjadi metallotionin sebagai simpanan, sehingga penyerapan akan menurun. Metallotionin di dalam hati akan mengikat seng hingga saat dibutuhkan oleh tubuh. Metallotionin diduga mempunyai peranan dalam mengatur kandungan seng dalam cairan intraselular. Penyaluran seng antara cairan ekstraselular, jaringan, dan organ dipengaruhi oleh keseimbangan hormon dan situasi stress. Hati memegang peranan penting dalam redistribusi ini (Almatsier 2002). Lebih jauh Groff et al. (1995) menjelaskan bahwa seng diserap kedalam enterocyte oleh sebuah media pembawa yang menggunakan, atau tanpa menggunakan energi.

Menurut Lonnerdal (2000), terdapat 10 faktor yang berhubungan dengan pola makan (dietary factors) yang dapat mempengaruhi proses penyerapan seng dalam tubuh, yakni :

Intake seng

 Jumlah dan kualitas protein

 Keberadaan phytate dan serat dalam makanan  Konsumsi kalsium

 Konsumsi zat besi  Konsumsi tembaga  Konsumsi kadmium

 Ligan dan kelat dengan berat molekul rendah  Keberadaan asam amino

 Keberadaan asam oganik

Ketersediaan Seng (Zn) dalam Tubuh dari Konsumsi Makanan Brown dan Wuehler (2000), menjelaskan bahwa efisiensi absorpsi seng dalam tubuh dipengaruhi oleh berbagai faktor. Selain oleh status seng dalam tubuh, diantaranya juga oleh jumlah seng yang terkandung dalam susunan makanan, proses pemasakan, serta bioavailabilitas seng dari setiap jenis makanan di dalam susunan makanan. Bioavailabilitas seng diartikan sebagai jumlah seng yang dapat diserap oleh tubuh. Absorpsi seng yang berasal dari makanan terutama ditentukan oleh kelarutannya dalam lumen usus. Tingkat kelarutan tersebut dipengaruhi oleh bentuk atau struktur kimia dari seng, serta adanya faktor penghambat atau pendorong absorpsi seng yang terkandung dalam makanan.

(22)

khususnya serealia dan kacang-kacangan, dan ikatan-ikatan seng yang tidak dapat berubah dalam kondisi lumen usus. Organ dalam dan daging hewan menyusui (mamalia), unggas, ikan, dan kerang merupakan jenis pangan yang kaya akan seng serta tidak mengandung phytate. Telur dan produk ternak tidak mengandung phytate akan tetapi memiliki kandungan seng yang lebih rendah dibandingkan dengan kandungan seng dalam daging dan organ dalam hewan (Nasoetion 2003).

Serealia dan kacang-kacangan memiliki kandungan seng yang tergolong cukup, namun karna jenis pangan tersebut mengandung phytate yang tinggi, maka jumlah seng yang dapat diserap tubuh menjadi jauh berkurang. Bila pangan sumber karbohidrat difermentasi (roti, tape beras) maka organisme yang melakukan proses fermentasi akan memproduksi enzim phytase yang akan memecah phytate sehingga jumlah seng yang dapat diabsorpsi tubuh akan meningkat. Beras, akar berpati, dan umbi-umbian memiliki kadar seng yang lebih sedikit dibandingkan dengan kacang-kacangan dan serealia selain beras. Buah-buahan dan sayuran pada umumnya memiliki kandungan seng yang rendah, kecuali pada beberapa jenis sayuran berdaun hijau seperti bayam yang memiliki cukup kandungan seng, meskipun belum jelas bioavailabilitasnya (Nasoetion 2003).

Menurut Solomons (1985) yang diacu dalam Riyadi (2002), penyerapan seng dari makanan berkisar antara 14-41%. Namun tentu saja angka tersebut sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor pembantu dan penghambat seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Lebih jauh Prasad (1993) menjelaskan bahwa terdapat beberapa faktor yang berpengaruh pada jumlah seng yang dapat diserap oleh sel usus, mencakup a) zat pengikat, ada yang menghambat dan ada yang mempercepat penyerapan, b) status seng, penyerapan seng meningkat bila terjadi defisiensi seng, c) mekanisme transpor aktif seng, d) sekresi seng endogen ; sekresi seng dalam jumlah cukup kedalam lumen usus berlangsung melalui sekresi dari sel epitel, empedu, dan pankreas. Penyerapan seng secara in vitro pada beberapa makanan di pedesaan Bogor disajikan pada tabel 1

(23)

Tabel 1. Kandungan seng dan bioavailabilitas seng makanan secara in vitro pada beberapa desa di Bogor

Jenis makanan Kandungan Zn (mg/100g)

Bioavailabilitas (%)

Nasi putih 0,84 6,84

Nasi uduk 0,74 6,56

Nasi goreng 0,79 3,76

Lontong sayur 0,56 6,65

Ikan cue goreng 0,62 10,72

Ikan teri cue goreng 0,69 16,50

Ikan mas goreng 0,78 16,16

Ikan layur goreng 0,38 31,36

Tempe goreng 1,10 6,67

Bakwan sayur 0,54 4,70

Sayur sop 0,37 7,00

Sayur asem 0,53 4,85

Bayam tumis 0,63 3,93

Kangkung tumis 0,51 6,96

Buncis tumis 0,64 3,65

Sumber : Riyadi (1995)

(24)

Suplemen Multivitamin Mineral

Dewasa ini, penggunaan suplemen semakin meningkat di seluruh dunia. Konsumen suplemen terbesar adalah wanita dan anaknya, orang tua, masyarakat dengan pendidikan dan pendapatan tinggi, masyarakat dengan gaya hidup dan makanan sehat, dan penderita penyakit berat seperti kanker. Banyak dari mereka merasa lebih baik setelah mengkonsumsi suplemen. Namun sayangnya, populasi yang beresiko tinggi mengalami ketidakcukupan intik zat gizi yang kemungkinan akan memperoleh lebih banyak manfaat dari konsumsi suplemen multivitamin mineral sangat sedikit mengkonsumsi suplemen (NIH State of the Science Panel 2007).

The European Commission mengusulkan definisi suplemen sebagai sumber zat gizi padat (terutama vitamin dan mineral) yang dipasarkan dalam bentuk obat (seperti kapsul, tablet, serbuk, dan lain-lain) untuk menambah intik zat gizi pada makanan normal (Official Journal of the European Communities 2002). Sedangkan menurut FAO/WHO (2001), suplementasi merujuk pada pemberian sediaan farmakologi zat gizi secara periodik dalam bentuk kapsul atau tablet, atau melalui suntikan untuk kelompok yang beresiko menderita kurang gizi.

(25)

Berikut adalah beberapa contoh kategori suplemen multivitamin mineral yang digunakan dalam beberapa survey (Yetley 2007):

Tabel 2 Kategori suplemen multivitamin mineral dalam beberapa survey

Kategori Definisi Survey

Multivitamin mineral

Gabungan beberapa vitamin Tidak didefinisikan NHANES I, II; NHIS

dan mineral; multivitamin- 1987, 1992, 2000,

multimineral 2002; CSFII

Minimal mengandung NHANES III

vit. B1, B2, niasin, vit. A,

Kombinasi antara beberapa Tidak didefinisikan NHANES 1999-2000,

vitamin dan mineral dengan NHANES 2001-2002

produk lain Minimal mengandung NHIS 1986

1 vitamin dan 1 mineral ditambah bahan lain

Multivitamin

Multivitamin, gabungan Tidak didefinisikan NHANES I, II, III;

beberapa vitamin NHIS 1987, 1992,

2000; CSFII

Multivitamin dengan vit. C Harus mengandung NHANES III

vit. C, B1, B2, niasin,

vit. A, dan vit. D

Multimineral

Multimineral Tidak didefinisikan NHANES III,

NHANES 2001-2002

Kombinasi mineral Tidak mengandung NHIS 1986

vitamin, Ca, P, I, Fe, Mg,

mengandung ≥ 2 mineral

Sumber: Yetley (2007) dari beragam sumber

(26)

Peranan Suplementasi dalam Mengatasi Masalah Defisiensi Seng Brown dan Wuehler (2000) menyatakan bahwa terdapat beberapa upaya mengatasi masalah defisiensi seng yang dapat dilaksanakan baik secara langsung maupun tidak langsung. Upaya langsung mencakup diversifikasi atau modifikasi susunan makanan untuk meningkatkan konsumsi atau absorpsi seng, suplementasi bahan mengndung seng, dan fortifikasi seng kedalam bahan makanan antara. Upaya tidak langsung diantaranya adalah pelaksanaan program kesehatan masyarakat yang ditujukan untuk mencegah kejadian-kejadian yang dapat mempengaruhi status gizi seperti diare atau gangguan pencernaan lainnya.

Suplementasi merupakan suatu cara pemberian tambahan zat gizi, dalam hal ini adalah seng kepada sasaran. Suplementasi zat gizi lebih banyak diberikan dalam bentuk bahan kimia atau bentuk obat dibandingkan dalam bentuk pengaturan makanan. Beberapa manfaat pemberian suplemen dalam bentuk bahan kimia atau obat, diantaranya adalah biaya pengadaan bahan kimia relatif lebih murah dibanding biaya pengadaan bahan makanan yang dapat menyediakan seng yang dapat diserap tubuh dalam jumlah yang sama, demikian pula dalam hal kemampuan untuk mencapai jumlah target sasaran (Nasoetion 2003).

Saat ini pemerintah semakin menyadari pentingnya peranan zat gizi mikro, termasuk seng, dalam proses metabolisme dan pemeliharaan kesehatan. Hal ini terlihat dari beberapa program suplementasi maupun fortifikasi seng yang dijalankan pemerintah, yang antara lain dituangkan dalam keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.153 tahun 2001, tentang Standar Nasional Indonesia Tepung Terigu. SNI ini mewajibkan fortifikasi tepung terigu dengan beberapa zat gizi mikro, termasuk seng (Soekirman 2008).

Hal-hal yang perlu mendapat perhatian dalam penyelenggaraan kegiatan suplementasi adalah bentuk fisik dan kimia dari bahan kimia yang mengandung seng, serta dosis seng yang diberikan. Selain itu efek mengonsumsi, penyertaan zat gizi mikro lain kedalam bahan suplemen, cara penyajian tanpa/dengan menggunakan media bahan makanan, sistem pengepakan dan distribusi, serta kemungkinan adanya resiko sampingan terjadi keracunan (Nasoetion 2003).

(27)

khususnya pada individu yang produksi asam lambungnya rendah. Hal ini banyak terjadi terutama di daerah yang memiliki banyak penderita gizi salah/gizi kurang sekaligus juga penderita infeksi Helicobacter pylori, karena 2 kelompok penderita tersebut umumnya mengalami gangguan sekresi asam lambung. Selain itu karena ikatan garam mengandung seng yang larut air umumnya memiliki rasa yang kurang sedap. Seng lebih mudah diserap tubuh dari suplemen berbentuk cairan daripada berbentuk makanan. Tetapi bila suplemen seng berbentuk cairan tersebut diberikan pada jarak waktu hanya sesaat sebelum atau sesudah makan, maka bila dalam makanan tersebut terdapat zat penghambat absoprsi seng, besar kemungkinan zat penghambat tersebut akan bekerja menurunkan kemampuan tubuh untuk mengabsorpsi seng dari suplemen.

Telah diketahui bahwa beberapa jenis pangan atau komponen-komponen pangan berperan menghambat absorpsi mineral. Tetapi beberapa jenis lainnya justru berperan mempercepat absorpsi mineral. Identifikasi interelasi antar zat gizi termasuk antar vitamin dan mineral sangat penting untuk menentukan kebutuhan masing-masing zat gizi dalam suplemen multivitamin dan mineral tersebut. Artinya tubuh memerlukan jumlah tertentu untuk setiap jenis zat gizi dalam hubungannya dengan zat-zat gizi lain agar diperoleh respon yang paling baik (Fischer-Walker 2005).

Menurut Bodwell dan Erdman (1988) yang diacu dalam Nasoetion (2003), terdapat 2 kemungkinan interelasi atau interaksi antar vitamin dan mineral yakni koadaptasi absorpsi di usus dan kompetisi absorpsi secara langsung di usus. Selanjutnya Brown dan Wuehler (2000) menyatakan bahwa salah satu jenis mineral yang diduga menghambat absorpsi seng adalah besi (Fe) yang mungkin disertakan dalam suplemen zat gizi mikro. Namun terdapat bukti bahwa pengaruh besi terhadap absorpsi seng menjadi minimal bila rasio molarnya mendekati 1:1, dan tidak lebih dari 2:1. Akan tetapi masih terdapat perbedaan temuan antar peneliti mengenai hal tersebut.

(28)
(29)

METODOLOGI

Desain, Waktu dan Tempat Penelitian

Desain penelitian ini mengacu pada penelitian payung “Pengaruh Suplementasi Multivitamin Mineral Terhadap Imunitas Humoral dan Seluler”,

yaitu eksperimental murni teracak buta ganda (double blind randomized controlled trial). Penelitian lapang dilaksanakan selama 4 bulan, yaitu mulai bulan Februari hingga Mei 2008 di PT Ricky Putra Globalindo, Citeurep, Kabupaten Bogor. Alasan Pemilihan lokasi pabrik karena kemudahan mendistribusikan bahan suplemen dan kemudahan mengontrol kepatuhan mengkonsumsi suplemen, serta karyawannya memiliki tingkat sosial ekonomi dan aktivitas yang hampir sama. Selain itu pabrik ini mempunyai jumlah karyawan perempuan terbanyak di Jabotabek. Kegiatan analisa kadar seng (Zn) serum dilakukan di Laboratorium Seng Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Gizi dan Makanan, Departemen Kesehatan, Bogor.

Penentuan Jumlah Contoh

Pengulangan merupakan salah satu prinsip dasar percobaan. Ulangan merupakan pengalokasian perlakuan tertentu terhadap beberapa unit percobaan pada kondisi yang seragam (Mattjik dan Sumertajaya 2002). Penentuan jumlah ulangan dalam penelitian ini dilakukan menggunakan analogi penelitian Raqib et al..(2004) dengan asumsi bahwa α = 5% (Zα = 1.96); power of test = 90% (Zβ =

δ = 5 (peningkatan kadar seng serum yang diharapkan setelah intervensi Raqib et al.. (2004)).

Dari perhitungan di atas, diperoleh besar minimal unit percobaan/contoh (n) = 26 unit percobaan untuk setiap kelompok.

(30)

Cara Pengambilan Contoh

Populasi adalah adalah wanita usia subur (usia 15-45 tahun) (Depkes 2003), sedangkan contoh adalah kelompok populasi yang memenuhi kriteria inklusi yang dipilih secara acak, dengan kriteria Inklusi sebagai berikut :

 Wanita dewasa (usia produktif 15 – 45 thn)  Tidak menderita penyakit kronis

 Tidak sedang melakukan diet  Tidak sedang mengandung  Tidak sedang menyusui  Tidak merokok

 Tidak minum alkohol

 Tidak sedang menstruasi pada saat pengambilan contoh darah  Bersedia menandatangani informed consent

 Bersedia mengikuti tahap penelitian sampai selesai

(31)

dilakukan kembali pemeriksaan kadar seng serum (endline). Sebelum menerima perlakuan semua sample diberikan obat cacing merk Albendazole untuk meminimalisir gangguan absorpsi. Untuk lebih jelasnya, alur penelitian digambarkan pada Gambar 2.

Suplemen diberikan setiap hari kepada contoh oleh petugas dan perawat di klinik perusahaan. Suplemen yang diberikan berbentuk tablet dan diminum langsung oleh contoh di depan petugas. Jenis suplemen yang diberikan kepada masing-masing contoh tidak diketahui baik oleh peneliti maupun oleh petugas. Pengacakan contoh hanya diketahui oleh petugas khusus yang tidak terlibat dalam penelitian. Sementara itu, formula suplemen multivitamin dan mineral yang diberikan pada penelitian dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Formula suplemen multivitamin mineral

Zat Gizi Satuan Kandungan AKG

a

Ket: a) Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi Tahun 2004 b) % AKG untuk wanita usia 30-49 tahun

(32)

Gambar 2 Diagram alir penelitian

n

= 58

Plasebo MVM

n

= 31

n

= 27

Penentuan unit percobaan (contoh)

Penilaian status gizi (baseline) Pengambilan darah awal (baseline)

Pengujian serum Seng

Suplementasi 10 minggu

Penilaian status gizi (endline)

Pengujian serum Seng Pengambilan darah akhir (endline)

Drop Out Drop Out

(33)

Jenis dan Cara Pengumpulan Data

Data yang diambil pada penelitian ini terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer terdiri atas data sosio demografi, data konsumsi, antropometri, dan kadar seng serum contoh. Data sekunder yang diambil berupa daftar nama dan keterangan pribadi karyawan yang diperoleh dari pihak administrasi perusahaan. Data sosio demografi (pendapatan, pendidikan, usia, dan besar keluarga contoh) diperoleh dengan cara wawancara menggunakan kuisioner. Data konsumsi diperoleh dengan cara FFQ dan recall 4 x 24 jam yang diambil 2 kali, yakni pada waktu sebelum intervensi (baseline) dan setelah intervensi (endline), masing-masing 2 x 24 jam. Data antropometri yang diambil berupa berat badan, tinggi badan, dan lingkar lengan atas (LLA). Barat badan diukur dengan timbangan digital merk SECA dengan ketelitian 0.1 kg, tinggi badan diukur dengan alat ukur Microtoise, LLA diukur pita LLA dengan ketelitian 0.1 mm. Pengukuran antropometri dilakukan oleh tenaga terlatih dari Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Institut Pertanian Bogor. Data kadar seng serum contoh diperoleh dengan cara pengambilan darah untuk kemudian dianalisis kadar sengnya, pengambilan darah dilakukan sebanyak dua kali (baseline-endline) dan dilakukan oleh tenaga ahli dari Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Gizi dan Makanan, Departemen Kesehatan Bogor. Metode penelitian ini telah mendapat persetujuan dari Departemen Kesehatan dengan nomor ethical clearance LB.03.04/KE/4294/2007.

Pengolahan dan Analisis Data

Pengolahan data dilakukan secara bertahap, mulai data yang terkumpul di lapangan hingga data siap untuk dianalisis. Terhadap data hasil pengumpulan di lapangan dilakukan pengeditan (editing), pengkodean (coding), dan pemasukan data ke dalam komputer (entry data). Kemudian dilakukan pembersihan data (cleaning) dengan cara melihat distribusi frekuensi setiap peubah. Bila terdapat kesalahan memasukkan data ke dalam komputer, dilakukan pengecekan ulang terhadap kuesioner.

(34)

(BPS 2007). Pendidikan contoh diukur berdasarkan jenjang pendidikan, yaitu tidak sekolah, tidak tamat SD, tamat SD, tamat SLTP, tamat SLTA, dan tamat PT/akademi. Usia contoh dibedakan menurut kelompok usia <20 tahun, 20-29 tahun, 30-39 tahun, dan ≥40 tahun. Besar keluarga diukur dari jumlah anggota keluarga. Kriteria besar keluarga menurut BPS dibedakan atas keluarga kecil jika jumlah anggota keluarga ≤4 orang, sedang jika jumlah anggota 5 sampai 7 orang, dan besar jika jumlah anggota keluarga >7 orang.

Data konsumsi pangan yang didapatkan dengan metode recall 2x24 jam meliputi jumlah dan jenis makanan yang dikonsumsi selama dua hari. Pengukuran dilakukan dengan menghitung konsumsi pangan dari satuan ukuran rumah tangga (URT) kedalam satuan berat (gram). Dari satuan berat yang diperoleh selanjutnya dihitung asupan zat gizi dari setiap bahan pangan berdasarkan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM). Jumlah zat gizi dari setiap bahan pangan yang dikonsumsi dihitung dengan rumus (Hardinsyah dan Briawan 1994):

Keterangan:

KGij = Kandungan zat gizi bahan pangan yang dikonsumsi Bj = Berat bahan pangan yang dikonsumsi (gram)

Gij = Kandungan zat gizi yang dikonsumsi dalam 100 gram BDD BDD = Bagian bahan pangan yang dapat dimakan (% BDD)

Selanjutnya, dihitung angka kecukupan energi dan protein yang dikoreksi dengan berat badan aktual (nyata) dengan rumus sebagai berikut:

Keterangan:

AKGi = Angka kecukupan energi atau protein individu Ba = Berat badan aktual nyata (kg)

Bs = Berat badan standar menurut WNPG 2004

AKG = Angka kecukupan energi atau protein menurut WNPG 2004 Sedangkan untuk mengukur kecukupan vitamin dan mineral tidak dilakukan koreksi terhadap berat badan aktual, namun langsung digunakan AKG untuk masing-masing zat gizi. Untuk mengetahui tingkat konsumsi zat gizi, konsumsi

KGij = (Bj/100) x Gij x (BDD/100)

(35)

zat gizi aktual dibandingkan dengan kecukupan gizi yang dinyatakan dalam persen sesuai dengan rumus berikut:

Keterangan:

TKGi = Tingkat konsumsi zat gizi individu Ki = Konsumsi zat gizi individu

AKG = Angka Kecukupan Gizi

Tingkat konsumsi energi dan protein selanjutnya dikategorikan menjadi empat kategori, yaitu defisit tingkat berat jika tingkat konsumsi <70%, defisit tingkat ringan jika tingkat konsumsi 70-80%, cukup jika tingkat konsumsi 80-90%, dan normal jika tingkat konsumsi >90% (Depkes 1990). Sedangkan tingkat konsumsi seng dibagi menjadi dua kategori, yaitu kurang jika tingkat konsumsi <77% dan cukup jika tingkat konsumsi ≥77% (Gibson 2005). Sedangkan frekuensi konsumsi bahan pangan yang diperoleh melalui food frequency questionnaire (FFQ) ditabulasi secara deskriptif.

Data konsumsi pangan yang didapatkan dengan metode recall 2x24 jam meliputi jumlah dan jenis makanan yang dikonsumsi selama dua hari berturut-turut. Data ini selanjutnya dikonversikan ke dalam bentuk jumlah zat gizi menggunakan Program Nutrisoft for Windows. Dari konversi tersebut dapat diketahui rata-rata konsumsi zat gizi per individu per hari.

Penilaian status gizi melalui antropometri dilakukan menggunakan indikator lingkar lengan atas (LLA) dan indeks massa tubuh (IMT). Nilai LLA dikategorikan sebagai KEK (kurang energi kronis) bila LLA kurang dari 23.5 cm, dan normal bila LLA lebih dari atau sama dengan 23.5 cm (Depkes 1999). Nilai IMT dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Keterangan: IMT = indeks massa tubuh; BB = berat badan (kg); TB = tinggi badan (m)

Status gizi berdasarkan nilai IMT tersebut selanjutnya dikelompokkan berdasarkan Depkes RI (1996) sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 4.

2 TB

BB IMT

(36)

Sedangkan analisis kadar serum Seng darah dilakukan dengan metode AAS (Atomic Absorption Spectrophotometric) menggunakan alat spektrofotometer.

Tabel 4 Pengelompokan status gizi orang dewasa menurut IMT

Status gizi IMT (kg/m2)

Gizi buruk < 17.0

Gizi kurang 17.0 – 18.4

Gizi baik 18.5 – 24.9

Gizi lebih (overweight) 25.0 – 27.0

Obesitas > 27.0

Sumber: Depkes RI (1996)

Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis secara deskriptif dan statistik menggunakan program Microsoft Excel dan SPSS for Windows versi 15.0. Untuk mengetahui perubahan status gizi serta kadar serum seng sebelum dan setelah suplementasi digunakan uji t berpasangan (t paired test). Sedangkan untuk mengetahui pengaruh perlakuan kelompok digunakan analysis of variance

(ANOVA) dan analysis of covariance (ANCOVA). Definisi Operasional

Wanita usia subur adalah wanita pekerja yang berusia antara 15 – 45 tahun

Suplementasi adalah pemberian sediaan farmakologi multivitamin mineral dalam bentuk tablet setiap hari selama 10 minggu pada wanita usia subur.

Suplemen multivitamin mineral adalah kaplet yang mengandung 1000 mg vitamin C, 45 mg vitamin E, 700 g vitamin A, 6.5 mg vitamin B6, 400 g asam folat, 9.6 g vitamin B12, 10 g vitamin D, 10 mg Zn, 110 g Se, 0.9 mg Cu, dan 5 mg Fe; yang diberikan setiap hari selama 10 minggu pada wanita usia subur.

(37)

Status gizi adalah keadaan kesehatan tubuh seseorang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan (absorbsi), dan utilisasi (utilization) zat gizi makanan, yang terlihat melalui parameter indeks massa tubuh (IMT) dan lingkar lengan atas (LLA)

Indeks Massa Tubuh (IMT) adalah hasil perbandingan antara berat badan (kg) dengan kuadrat tinggi badan (m) berdasarkan hasil pengukuran secara antropometri dan diklasifikasikan menurut Depkes RI (1996)

Konsumsi pangan adalah jumlah, jenis, dan waktu mengkonsumsi pangan seseorang yang diukur dengan metode recall 2x 24 jam secara berturut-turut. dan kebiasaan makan seseorang yang diukur dengan metode food frequency questionaire (FFQ)

Kadar seng serum adalah kandungan serum seng dalam darah responden yang merupakan cerminan dari hasil asupan zat gizi, konsumsi suplemen dan penggunaan seng dalam tubuh dengan pemeriksaan laboratorium biokimia.

Status seng adalah kadar seng dalam serum contoh penelitian yang diukur dengan metode AAS yang dinyatakan dengan µmol/L dan digolongkan sebagai defisiensi jika kadarnya kurang dari 0.7 µmol/L, dan normal jika lebih dari atau sama dengan 0.7 µmol/L.

(38)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakterisik Contoh

Karakteristik contoh yang diamati pada penelitian ini terdiri atas pendapatan, tingkat pendidikan, usia, dan jumlah anggota keluarga contoh. Tabel 5 menunjukkan sebaran contoh berdasarkan kategori status ekonomi dan usia. Contoh pada kelompok plasebo memiliki rata-rata pendapatan per kapita per hari sebesar Rp. 1853 + 8525 Sedangkan contoh pada kelompok perlakuan multivitamin memiliki rata-rata pendapatan sebesar Rp. 18319 + 7087 per kapita per hari. Uji statistik menujukkan bahwa tingkat pendapatan perkapita per hari antar kelompok perlakuan tidak berbeda nyata (P=0.916). Berdasarkan kategori, seluruh responden dari kedua kelompok perlakuan tergolong dalam kategori sejahtera. Hal ini diduga karena pihak perusahaan memberikan bayaran pada pekerjanya sesuai UMR, sehingga pendapatan per kapita per hari contoh dapat melebihi batas kemiskinan kabupaten Bogor, yakni Rp.6102.233 per kapita per hari.

Tabel 5. Sebaran status ekonomi dan usia contoh

Variabel Plasebo Multivitamin

n % n %

(39)

Usia contoh dibedakan menurut kelompok usia <20 tahun, 20-29 tahun, 30-39 tahun, dan ≥40 tahun . Pada kelompok plasebo, separuh contoh (51.85%) berada dalam rentang kelompok usia 20-29 tahun dan hanya terdapat 7.41% contoh yang berusia > 40 tahun. Sedangkan pada kelompok multivitamin, lebih dari separuh contoh (67.74%) berada dalam rentang usia 30-39 tahun dan terdapat 3.23% contoh yang berusia > 40 tahun. Uji statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata pada usia contoh antar pelakuan plasebo dan multivitamin (P=0.225).

Tabel 6 menunjukkan sebaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan dan jumlah anggota keluarga. Latar belakang pendidikan seseorang merupakan salah satu unsur penting yang dapat mempengaruhi keadaan gizi, karena dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi diharapkan pengetahuan atau informasi gizi yang dimiliki menjadi lebih baik (Berg 1986). Tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap perubahan sikap dan perilaku hidup sehat. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan seseorang atau masyarakat untuk menyerap informasi dan mengimplementasikannya dalam perilaku dan gaya hidup sehari-hari khususnya dalam kesehatan dan gizi (Atmarita & Fallah 2004). Pada kelompok plasebo, 40.74% contoh berpendidikan tamat SLTA dan terdapat 7.40% contoh yang tidak tamat SD. Sedangkan pada kelompok perlakuan multivitamin mayoritas contoh berpendidikan tamat SD, yakni sebesar 38.70%. Terdapat 3.23% contoh yang tidak tamat SD, serta 3.23% contoh yang berpendidikan tamat D1/D3.

(40)

Tabel 6. Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan dan besar keluarga

Variabel Plasebo Multivitamin

n % n %

Pada kelompok perlakuan plasebo sebagian besar contoh (88.89%) memiliki jumlah anggota keluarga < 4 orang dan hanya 11.11% contoh yang memiliki jumlah anggota keluarga 5-7 orang. Demikian pula pada kelompok perlakuan multivitamin, dimana sebagian besar contoh (90.32%) memiliki jumlah anggota keluarga < 4 orang dan hanya 9.67% contoh yang memiliki jumlah anggota keluarga 5-7 orang. Uji statistik tidak menunjukkan perbedaan yang nyata pada jumlah anggota keluarga antara kelompok perlakuan plasebo dan multivitamin (P=0.861). Besar keluarga merupakan faktor yang sangat penting dilihat dari upaya pemenuhan pangan keluarga, terutama pada kondisi pendapata keluarga rendah. Dari Tabel 6 dapat terlihat bahwa sebagian besar contoh terdiri atas keluarga kecil. Dalam kondisi pendapatan rendah, maka keberadaan anggota keluarga yang dalam kondisi rawan gizi, seperti ibu hamil, ibu menyusui, bayi, dan anak-anak akan meningkatkan kebutuhan gizi dan pangan keluarga (Nasoetion 2003).

(41)

intake zat gizi responden, termasuk intake seng, ternyata tidak berbeda nyata (P=0.916), demikian juga halnya dengan karakteristik usia (P=0.225), jumlah anggota keluarga (P=0.861) dan tingkat pendidikan contoh (P=0.214) antar kelompok perlakuan tidak berbeda nyata.

Satus Gizi Contoh Sebelum Intervensi

Tabel 7 menunjukkan status gizi contoh digambarkan berdasarkan nilai Indeks Massa Tubuh (IMT) dan Lingkar Lengan Atas (LLA). Pada kelompok perlakuan plasebo rata-rata IMT pada pemeriksaan awal adalah 24.31 kg/m2, sedangkan pada kelompok multivitamin rata-rata IMT contoh adalah 23.99 kg/m2. Uji statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata pada status gizi antar kelompok perlakuan (P=0.726). Demikian pula halnya dengan nilai LLA contoh, dimana tidak terdapat perbedaan yang nyata antar kelompok perlakuan (P=0.810). Nilai rataan LLA pada kelompok perlakuan plasebo adalah 28.01 cm sedangkan nilai rataan pada kelompok perlakuan multivitamin adalah 27.92 cm.

Sebaran nilai IMT contoh pada kedua kelompok perlakuan yang terdapat pada Tabel 7 selanjutnya dikelompokkan menjadi 5 golongan status gizi berdasarkan nilai IMT berdasarkan Depkes RI (1996). Pada kelompok plasebo, hampir separuh contoh (44.44%) berada dalam status gizi baik, dan terdapat satu orang contoh (3.70%) yang berada dalam status gizi kurang. Sedangkan pada kelompok perlakuan multivitamin lebih dari separuh contoh (67.74%) berada dalam status gizi baik, serta terdapat satu orang contoh (3.23%) yang berada dalam status gizi buruk (Tabel 8).

Tabel 7 Sebaran contoh berdasarkan nilai IMT dan LLA

Variabel Plasebo Multivitamin

(42)

perlakuan multivitamin, dimana sebagian besar contoh (96.80%) berada dalam status gizi normal, dan hanya terdapat 1 orang contoh (3.23%) yang menderita KEK (Tabel 8).

Dari hasil pada Tabel 8 dapat dilihat bahwa interpretasi status gizi dapat berbeda-beda sesuai dengan kategori yang digunakan. Dilihat dari IMT, terdapat 2 orang dari kedua kelompok yang mengalami gizi kurang / buruk, dan terdapat 25 orang dari kedua kelompok yang berstatus gizi lebih / obesitas. Sedangkan jika dilihat dari LLA dari kedua kalompok hanya terdapat 3 orang yang mengalami KEK, dan sisanya seluruh responden berstatus gizi normal, tanpa terdeteksi adanya yang mengalami gizi lebih / obesitas.

Tabel 8 Sebaran contoh menurut status gizi berdasarkan nilai IMT dan LLA

Variabel Plasebo Multivitamin

N % n %

Menurut Almatsier (2002), permasalahan gizi dan kesehatan di Indonesia cenderung lebih kompleks karena saat ini Indonesia mengalami masalah gizi ganda, yakni di satu sisi banyak terdapat masalah gizi kurang seperti busung lapar, marasmus, kwasiokhor, GAKY, KVA, dll, namun di sisi lain juga banyak terdapat kasus gizi lebih yakni dengan meningkatnya prevalensi penderita penyakit degenaratif seperti obesitas , Diabetes Mellitus (DM), dan penyakit kardiovaskular terutama di daerah-daerah perkotaan.

Intake Energi, Protein, dan Seng Contoh dari Makanan

Tabel 9 menunjukkan jumlah intake energi, protein, dan seng contoh dari makanan saat pemeriksaan baseline dan endline. Intake energi contoh pada kelompok placebo mengalami penurunan pada pemeriksaan endline. Sedangkan contoh pada kelompok perlakuan multivitamin mengalami peningkatan intake

(43)

perbedaan yang nyata pada kedua kelompok, baik pada pemeriksaan baseline

(P=0.727) maupun endline (P=0.373). Intake protein contoh mengalami peningkatan pada pemeriksaan endline, baik untuk kelompok plasebo maupun untuk kelompok multivitamin. Uji statistik juga tidak menunjukkan adanya perbedaan antar kelompok, baik pada pemeriksaan baseline (P=0.997) maupun

endline (P=0.997).

Tabel 9 Intake energi, protein, dan seng contoh dari makanan

Variable Plasebo Multivitamin

(44)

perubahan asupan seng dari makanan antara data baseline dengan data endline

baik untuk kelompok plasebo maupun untuk kelompok perlakuan multivitamin (P (2-arah) > 0.05).

Data recall yang diperoleh merupakan pola konsumsi contoh di hari kerja (week days). Biasanya pola makan akan mengalami perubahan saat hari kerja dan hari libur (weekends). Namun demikian contoh pada penelitian ini memiliki pola konsumsi yang relatif sama antara hari kerja dan hari libur sehingga data recall yang diperoleh dapat menggambarkan pola makan contoh secara keseluruhan.

Tabel 10. Jenis-jenis pangan sumber seng yang paling banyak dikonsumsi contoh

Tabel 10 menunjukkan jenis-jenis pangan sumber seng yang paling banyak dikonsumsi contoh dari kedua kelompok pada pemeriksaan baseline dan

(45)

mengandung phytate akan tetapi memiliki kandungan seng yang lebih rendah dibandingkan dengan kandungan seng dalam daging dan organ dalam hewan.

Tabel 11 menunjukkan hasil pengkategorian tingkat konsumsi energi, protein, dan seng contoh berdasarkan AKG. Lebih dari separuh contoh baik pada kelompok plasebo (59.3%) maupun multivitamin (64.5%) mengalami defisit energi tingkat berat pada pemeriksaan baseline. Pada pemeriksaan endline

terjadi peningkatan jumlah contoh yang mengalami defisit energi tingkat berat pada kelompok plasebo menjadi 63.0%, sedangkan pada kelompok multivitamin jumlahnya menurun menjadi 51.6%. Tingkat konsumsi protein contoh pada pemeriksaan baseline menunjukkan bahwa hampir separuh contoh pada kelompok plasebo (48.1%) maupun kelompok perlakuan multivitamin (41.9%) berada dalam status normal. Jumlah tersebut sama sekali tidak mengalami perubahan saat pemeriksaan endline.

Tabel 11 Tingkat konsumsi energi, protein, dan seng contoh dari makanan

Variabel Plasebo Multivitamin

n % n %

Tingkat intake energi baseline

Defisit tingkat berat

Tingkat intake energi endline

Defisit tingkat berat

Tingkat intake protein baseline

Defisit tingkat berat

Tingkat intake protein endline

Defisit tingkat berat

Tingkat intake seng baseline

Kurang

Tingkat intake seng endline

(46)

Pada pemeriksaan baseline, sebagian besar contoh (88.90%) pada kelompok plasebo berada dalam kategori kurang dan hanya 11.11% contoh yang berada dalam kategori cukup konsumsi seng nya. Hal ini tidak jauh berbeda dengan contoh pada kelompok perlakuan multivitamin dimana terdapat sebagian besar contoh (96.80%) yang berada dalam kategori kurang, dan hanya 3.20% contoh yang berada dalam kategori cukup konsumsi seng nya. Pada pemeriksaan endline, sebagian besar (77.78%) contoh pada kelompok plasebo berada dalam kategori kurang konsumsi seng dan 22.22% contoh berada dalam kategori cukup. Sedangkan pada kelompok perlakuan multivitamin, sebagian besar (77.42%) contoh berada dalam kategori kurang konsumsi seng, dan 22.58% contoh berada dalam kategori cukup konsumsi seng. Hasil ini merupakan jumlah seng yang didapat dari makanan contoh, apabila ditambahkan kadungan seng yang terkandung dalam suplemen maka tingkat konsumsi seluruh contoh dalam kelompok perlakuan multivitamin akan lebih dari 100%. Hasil uji T berpasangan untuk data tingkat konsumsi seng contoh berdasarkan AKG menunjukkan bahwa tidak terjadi perubahan untuk status asupan seng contoh baik pada kelompok plasebo maupun kelompok perlakuan multivitamin (P (2-arah) > 0.05).

Berdasarkan data FFQ, konsumsi pangan hewani contoh saat pemeriksaan baseline maupun endline pada kedua kelompok didominasi oleh ayam, ikan segar dan telur. Pada pemeriksaan baseline hampir separuh contoh (48.4%) pada kelompok plasebo, dan sebagian besar contoh (75.0%) pada kelompok perlakuan multivitamin mengkonsumsi daging ayam sebanyak 1-2 kali sebulan. Separuh contoh pada kedua perlakuan juga mengkonsumsi ikan segar sebanyak 1-2 kali sebulan. Sedangkan untuk konsumsi telur, hampir separuh contoh pada kelompok plasebo (41.9%) dan lebih dari separuh contoh pada perlakuan multivitamin (56.3%) mengkonsumsi telur 3-5 kali per minggu. Hasil ini juga tidak jauh berbeda dengan hasil pada pemeriksaan endline (Lampiran 1).

Nasoetion (2003) menyatakan bahwa organ dalam dan daging hewan menyusui (mamalia), unggas, ikan, dan kerang merupakan jenis pangan yang kaya akan seng serta tidak mengandung phytate. Telur dan produk ternak tidak mengandung phytate akan tetapi memiliki kandungan seng yang lebih rendah dibandingkan dengan kandungan seng dalam daging dan organ dalam hewan.

(47)

kacang panjang dan kangkung (Lampiran 1). Pada pemeriksaan baseline, lebih dari separuh contoh pada kedua kelompok mengkonsumsi bayam 1-2 kali per bulan. Sebanyak 38.7% contoh pada kelompok plasebo dan lebih dari separuh contoh (53.1%) kelompok multivitamin mengkonsumsi daun singkong 1-2 kali per bulan. Sebanyak 35.5% contoh pada kelompok plasebo dan lebih dari separuh contoh (65.6%) pada kelompok multivitamin mengkonsumsi kacang panjang 1-2 kali per bulan. Sedangkan untuk kangkung, lebih dari separuh contoh pada kedua kelompok mengkonsumsi kangkung 1-2 kali per bulan. Dari data tersebut dapat terlihat bahwa konsumsi daun sayuran pada kelompok perlakuan multivitamin lebih banyak daripada kalompok plasebo. Buah-buahan dan sayuran pada umumnya memiliki kandungan seng yang rendah, kecuali pada beberapa jenis sayuran berdaun hijau seperti bayam yang memiliki cukup kandungan seng, meskipun belum jelas bioavailabilitasnya (Nasoetion 2003).

Konsumsi serealia, umbi dan kacang-kacangan contoh juga dapat dilihat pada Lampiran 1. Pada pemeriksaan baseline seluruh contoh pada kedua kelompok mangkonsumsi nasi 2-3 kali sehari. Sebanyak 25.8% contoh pada kelompok plasebo dan 37.5% contoh pada kelompok multivitamin mengkonsumsi ubi jalar 1 kali sebulan. Sebesar 38.7% contoh pada kelompok plasebo mengkonsumsi kacang hijau 1 kali perbulan, sedangkan pada kelompok multivitamin 31.3% contoh mengkonsumsi kacang hijau 1-2 kali per bulan. Nasoetion (2003) menyatakan bahwa serealia dan kacang-kacangan memiliki kandungan seng yang tergolong cukup, namun karna jenis pangan tersebut mengandung phytate yang tinggi, maka jumlah seng yang dapat diserap tubuh menjadi jauh berkurang. Bila pangan sumber karbohidrat difermentasi (roti, tape beras) maka organisme yang melakukan proses fermentasi akan memproduksi enzim phytase yang akan memecah phytate sehingga jumlah seng yang dapat diabsorpsi tubuh akan meningkat. Beras, akar berpati, dan umbi-umbian memiliki kadar seng yang lebih sedikit dibandingkan dengan kacang-kacangan dan serealia selain beras.

Menurut Lonnerdal (2000), terdapat 10 faktor yang berhubungan dengan pola makan (dietary factors) yang dapat mempengaruhi proses penyerapan seng dalam tubuh, yakni :

Intake seng

 Jumlah dan kualitas protein

Gambar

Gambar 1. Penyaluran seng dalam tubuh
Tabel 1. Kandungan seng dan bioavailabilitas seng makanan secara in vitro pada
Tabel 2  Kategori suplemen multivitamin mineral dalam beberapa survey
Tabel 3  Formula suplemen multivitamin mineral
+7

Referensi

Dokumen terkait

DVOR yaitu suatu peralatan navigasi udara untuk memandu pesawat agar bisa mendarat sempurna pada bandara yang dituju dengan cara memberikan informasi berupa azimuth atau

pengaruh pemberian daun gedi terhadap gambaran histopatologi jaringan hati mencit dan tidak terdapat perbedaan nilai AST/ALT secara signifikan terhadap kelompok

b. Sedang melakukan ibadah. Janganlah lalai memenuhi syarat-syarat, jangan malas mengerjakan tata-tertibnya. Seumpama mengerjakan shalat, janganlah melakukan sembahyang

Faktor intern yang berasal dari diri pelaku sendiri. Misalnya faktor keimanan yang sangat mempengaruhi prilaku seseorang. Umumnya seorang yang tidak beriman akan

membandingkan besarnya taraf signifikan sebesar 0,05 maka 0,000 &lt; 0,05 berarti dapat dikatakan bahwa ada pengaruh positif antara variabel total persediaan, total aktiva dan

Pengertian konflik adalah sebagai suatu proses sosial atau lebih (kelompok sosial). Dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain yang berbagai macam cara

Pada penelitian ini akan disusun suatu portofolio dari sejumlah saham yang tercatat pada LQ45 di Bursa Efek Indonesia menggunakan tiga metode yaitu Single Index Model dan Roy’s

HTML juga merupakan file teks murni yang dapat dibuat dengan editor teks sembarang yaitu yang dikenal sebagai web page atau dokumen yang disajikan dalam web browser..