• Tidak ada hasil yang ditemukan

sini Pakepung 1790, Penggagalan Syariat Islam di Keraton Surakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "sini Pakepung 1790, Penggagalan Syariat Islam di Keraton Surakarta"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

K. Subroto

Penggagalan Upaya Penerapan Syariat Islam

di Keraton Surakarta oleh Belanda dan Sekutunya

(2)

PAKEPUNG 1790

Penggagalan Upaya Penerapan Syariat Islam

di Keraton Surakarta oleh Belanda dan Sekutunya

K. Subroto

Laporan Khusus

Edisi 14 / Oktober 2016

ABOUT US

Laporan ini merupakan sebuah publikasi dari Lembaga Kajian Syamina (LKS). LKS merupakan sebuah lembaga kajian independen yang bekerja dalam rangka membantu masyarakat untuk mencegah segala bentuk kezaliman. Publikasi ini didesain untuk dibaca oleh pengambil kebijakan dan dapat diakses oleh semua elemen masyarakat. Laporan yang terbit sejak tahun 2013 ini merupakan salah satu dari sekian banyak media yang mengajak segenap elemen umat untuk bekerja mencegah kezaliman. Media ini berusaha untuk menjadi corong kebenaran yang ditujukan kepada segenap lapisan dan tokoh masyarakat agar sadar realitas dan peduli terhadap hajat akan keadilan. Isinya mengemukakan

gagasan ilmiah dan menitikberatkan pada metode analisis dengan uraian yang lugas dan tujuan yang legal. Pandangan yang tertuang dalam laporan ini merupakan pendapat yang diekspresikan oleh masing-masing penulis.

Untuk komentar atau pertanyaan tentang publikasi kami,

kirimkan e-mail ke:

lk.syamina@gmail.com.

Seluruh laporan kami bisa didownload di website:

(3)

3

EXECUTIVE SUMMARY

DAFTAR ISI

Daftar Isi — 3

Executive Summary — 3

PAKEPUNG 1790

Penggagalan Upaya Penerapan Syariat Islam — 5

di Keraton Surakarta oleh Belanda dan Sekutunya — 5

Kondisi Politik pada Masa Pakubuwana IV — 6

1. Habisnya Kedaulatan Mataram Digerogoti VOC — 6

2. Bangkrutnya VOC, Berkuasanya Pemerintah Belanda dan Kedatangan Inggris — 9

Biografi dan Tulisan Karya Pakubuwana IV — 10

Pengaruh Ulama di Sekitar Raja — 13

Usaha Penerapan Hukum Islam — 14

Pengadilan Agama (Surambi) Menjadi Pengadilan Tertinggi — 15

Hukum Kisas dan Hudud — 16

Bukti-Bukti Pelaksanaan Syariat Islam pada Masa Pakubuwana IV — 17

Pengepungan Keraton oleh Pasukan Belanda dan Sekutunya — 18

Perjuangan Bersenjata Pakubuwana IV dan Kerja Sama dengan Hamengkubuwana II — 20

Gagal dengan Perlawanan Fisik, Beralih ke Perlawanan Pena — 20

Kesimpulan — 21

Sunan Paku Buwono IV naik takhta pada usia 20 tahun. Usia yang begitu muda dan belum

matang kalaudibandingkandengan kondisi pemuda 20 tahun pada zaman ini. Namun, pada usia yang begitu mudaia mempunyai keberanian danidealisme yangtinggisebagaiseorangraja dan pemimpin yang berilmu karenaia telah dididik oleh para ulamayangmumpuni.Iaberusaha meluruskan berbagai penyelewengandan penyim- pangan dari ajaran Islam yang terjadi di Keraton Surakarta.Ia juga berusaha menerapkan aturan- aturan Islam di Keraton Surakarta.

Menyadari berbagai kekurangannya sebagai seorang raja muda, Sunan meminta beberapa ulama untuk mendampinginya. Ulama yang dipilih adalah yang mereka yang mumpuni ilmunya dan juga zuhud dalam kesehariannya. Harapannya, ulamabisamendampingidanmenjadi penasihat- nya dalam memimpin Kasunanan Surakarta seba- gai sebuah kerajaan islami penerus Mataram.

Setelah naik takhta Sunan berusaha melurus- kan arah kebijakan sesuai dengan syariat Islam. Sunan membuat berbagai aturan—baik berupa kebijakan maupun aturan tertulis—untuk merombak tata keloladiKeraton.Parapejabat yangmelanggar aturan yang dibuat Sunan akan dimutasi atau bahkan dipecat. Hal itu membuat beberapa pejabat yang tersingkir dari jabatannya

berusaha melawan Sunan.

(4)

4

Belanda kemudian berkolaborasi dengan para pejabat Keraton yang tidak menyukai kebijakan Sunan untuk melawan Sunan. Mereka kemudian melontarkan berbagai isu yang memojokkan Sunan untuk memperoleh dukungan dari Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Mangkunegara. Usaha mereka membuahkan hasil setelah hasutan dari musuh-musuh. Sultan Yogyakarta dan Mangku- negaran kemudian sepakat untuk melakukan kerja sama atau persekutuan dengan Belanda.

Koalisi tersebut membuat pasukan sekutu untuk mengepung Karaton Surakarta. Mereka sepakat bahwa para ulama yang menjadi penasihat Sunan adalah orang yang jahat dan mempengaruhi raja untuk menerapkan aturan-aturan Islam. Pengepungan dilakukan dengan ribuan pasukan untuk mengepung Keraton Surakarta yang hanya berisi beberapa ratus orang saja. Setelah terjadi pengepungan Belanda mengultimatum Sunan. Ia diminta menyerahkan para ulama penasihatnya atau Keraton akan diserang dan Sunan diturunkan

dari takhta secara paksa. Pengepungan ini dikenal dengan peristiwa Pakepung.

(5)

S

ejarah Kerajaan Mataram pada masa lampau banyak diwarnai oleh sengketa di antara para pangeran, lebih-lebih jika menyangkut persoalan suksesi. Walaupun raja yang sedang memerintah telah menyiapkan calon penggantinya, tetapi sesudah raja mangkat, pergantian tahta sering berlangsung secara tidak mulus.

Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya peristiwa di balik pergantian takhta tersebut. Namun,

faktor yang sangat menonjol adalah konsep kekuasaan dalam pemikiran kebudayaan Jawa. Konsep kekuasaan yang berdasarkan Wahyu Cakraningrat atau Wahyu Keraton masih berakar kuat dalam memilih calon yang dapat menjadi pengganti raja.

Di kalangan masyarakat tradisional Jawa, kekuasaan itu berkaitan dengan turunnya wahyu sehingga raja merupakan pengejawantahan dari Tuhan, sebagaimana disinyalir oleh Dr. Purwadi (2003). Akibatnya raja memiliki kekuasaan

1 Diambil dari: http://rodvoid.org/1/10/P.B.IV.jpg

Gb. Sunan Paku Buwono IV1

PAKEPUNG 1790

Penggagalan Upaya Penerapan Syariat Islam

di Keraton Surakarta oleh Belanda dan Sekutunya

tidak terbatas dan segala keputusannya tidak dapat ditentang karena dianggap kehendak dari Tuhan.2

Posisi raja yang sedemikian penting dan “menguntungkan” membuat setiap raja berusaha dengan sekuat tenaga untuk mempertahankan kedaulatannya. Sering terjadi perang saudara di antara keluarga kerajaan sendiri. Saat itulah VOC

tampil seolah-olah menjadi penengah. Melalui

perjanjian-perjanjian yang difasilitasi oleh VOC, konflik antarkeluarga kerajaan ini tampak mulai reda. Namun, di balik itu mulai muncul pihak-pihak yang mulai memanfaatkan situasi tersebut untuk mencari keuntungan pribadi, termasuk VOC sendiri.

Perjanjian Giyanti menandai babak baru dalam perjalanan sejarah Dinasti Mataram. Wafatnya Pakubuwana II, dilanjutkan dengan pengangkatan putra mahkota menjadi Pakubuwana III, ternyata memunculkan persoalan baru di kalangan istana. Hal ini dikarenakan sebelum upacara penobatan putra mahkota menjadi Pakubuwana III, pengikut Pangeran Mangkubumi telah mengangkat

2 Purwadi, Membaca Sasmita Jaman Edan Sosiologi Mistik R. Ng.

(6)

Gb. Sultan Hamengku Buwono4

Pangeran Mangkubumi menjadi raja.

Persoalan ini membuat VOC segera mengambil keputusan untuk mencoba dan merundingkan suatu penyelesaian sebagai upaya melepaskan diri dari peperangan yang berpotensi membuat VOC bangkrut. Pangeran Mangkubumi pun siap untuk mengadakan perundingan. Akhirnya pada tanggal 13 Februari 1755 Perjanjian Giyanti ditandatangani. VOC mengakui Pangeran Mangkubumi sebagai

Sultan Hamengkubuwana I yang menguasai setengah wilayah Mataram.3

Pengakuan Pemerintah Hindia Belanda atas kedudukan Sultan Hamengkubuwana I belum menyelesaikan persoalan di kalangan istana. Salah satu keturunan Pangeran Mangkunagara (putra tertua Amangkurat IV), yaitu Raden Mas Said, belum menghentikan perlawanan terhadap Belanda.

3 Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, Terjemahan Dharmono Hardjopuspito, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, hlm. 148-149.

4 Diambil dari: https://galeriilmiah.files.wordpress.com/2012/01/hb1. jpg

Perundingan damai antara Raden Mas Said dengan Belanda berlangsung pada tanggal 24 Februari 1757 di Grogol, sebelah selatan Surakarta. Kemudian dilanjutkan dengan perundingan kedua pada tanggal 17 Maret 1757 di Salatiga. Dalam perundingan tersebut diperoleh kesepakatan, bahwa Raden Mas Said mendapat wilayah kekuasaan yang meliputi Matesih, Keduwang, Nglaroh, dan Surakarta bagian tenggara. Akhirnya perjuangan panjang Raden Mas Said membuahkan hasil yang ditandai dengan berdirinya Pura Mangkunegaran.

Kondisi Politik pada masa Pakubuwana IV

1. Habisnya Kedaulatan Mataram Digerogoti VOC

Kasunanan Surakarta merupakan kelanjutan dari Kasunanan Kartasura. Kasunanan Kartasura merupakan kelanjutan dari Kasultanan Mataram. Kasultanan Mataram berdiri pada tahun 1588 M dengan Sutawijaya sebagai Sultan yang bergelar

Senapati ing Alaga Sayidin Panatagama yang

bermakna ‘Panglima Perang dan Ulama Pengatur Kehidupan Beragama’.

5 Diambil dari: http://4.bp.blogspot.com/-Tbesh3L0K8k/ VVlh8g8JMUI/AAAAAAAAArE/qN_yX_be8uI/s1600/ markijar. com%2B-%2Bwilayah%2Bmataram%2Bislam.png

(7)

Kasultanan Mataram runtuh akibat pemberontakan Trunajaya pada tahun 1677. Kemudian ibu kotanya dipindahkan ke Kartasura oleh Sunan Amangkurat II. Pada masa Sunan Pakubuwana II (1742) Mataram mendapat serbuan dari orang-orang Tionghoa yang mendapat dukungan dari orang-orang Jawa anti-VOC.

Kerajaan Mataram yang berpusat di Kartasura itu pun mengalami keruntuhannya. Kota Kartasura berhasil direbut kembali berkat bantuan Adipati Cakraningrat IV, penguasa Madura Barat—yang merupakan sekutu VOC—dalam keadaan rusak parah. Kemudian Sunan Pakubuwana II yang menyingkir ke Ponorogo memutuskan untuk membangun istana baru di desa Sala sebagai ibukota Kerajaan Mataram yang baru.6

Sebagai imbalan karena telah membantu merebut Kartasura dari pemberontak, VOC menginginkan penandatanganan perjanjian. Isi perjanjian itu sangat merugikan pihak Keraton. Namun, karena kondisi Kasunanan yang lemah, akhirnya Sunan dengan terpaksa menyetujui perjanjian itu. Hal itu terjadi ketika Sunan kembali menduduki tahta Kerajaan Kartasura (1742). Perjanjian itu dilakukan Sunan dengan Komisaris Kompeni Hoego Verijssel. Isi perjanjian itu antara lain:

1. Patih dan para bupati daerah Pesisiran, sebelum mereka memegang kekuasaan, harus sepengetahuan dan mendapat persetujuan Kompeni.

2. Sunan menyerahkan Madura, Sumenep, dan Pamekasan.

3. Sunan menyerahkan Sedayu kepada salah seorang keturunan Pangeran Cakraningrat dari Madura dan Sedayu berada di bawah pengawasan Kompeni.

4. Sunan menyerahkan daerah-daerah Bang Wetan, yaitu: Gresik, Panarukan, dan sekitarnya, Surabaya, Rembang, serta Semarang.

6 Darsiti Soeratman, Kehidupan Dunia Keraton Surakarta 1830—1939,

Yogyakarta: Penerbit Taman Siswa, 1989, hlm. 66.

5. Sunan memberi gaji kepada 4.000 orang Kompeni yang bertugas menjaga keamanan di Kartasura sebesar 24.000 real setahun; 10.000 real dan 1000 koyan beras kepada Kompeni, juga 500 koyan kacang-kacangan.

6. Sunan memberikan hak monopoli dagang di daerah Mataram kepada Kompeni. Selain perjanjian di atas, sesudah pindah ke Surakarta (1746), Sunan juga menandatangani perjanjian dengan Gubernur Jenderal Van Imhoff. Dalam hal ini Belanda meminta seluruh daerah pesisiran. Perjanjian ini dianggap sebagai pembaruan perjanjian tahun 1743 di atas. Surat ini dibuat pada tanggal 18 Mei 1746. Sejak saat itu seluruh daerah Pesisiran diberikan kepada Kompeni. Daerah-daerah tersebut adalah Brebes, Tegal, Pemalang, Pekalongan, Batang, Kendal, Demak, Juwana, Kudus, Pati, Tuban, Sedayu, Gresik, Lamongan, Sidoarjo, Bangil, Pasuruan, sebagian daerah Malang, Jepara, Rembang, Surabaya, dan Madura.7

Pada tahun 1749 kondisi kesehatan Sunan memburuk sejak perginya Pangeran Mangkubumi dari Keraton. Sebaliknya, situasi ini justru digunakan Kompeni untuk melaksanakan ambisinya. Pada saat Sunan jatuh sakit datanglah Hegendrop ke Surakarta dengan membawa surat perjanjian.

Pada waktu itu, dalam keadaan sakit, sambil dibangunkan dari tempat pembaringan, Sunan dipaksa menyerahkan mahkota dan kedaulatan Kerajaan Mataram kepada Kompeni serta menyerahkan nasib putranya, Pangeran Adipati Anom. Sejak saat itulah Kompeni berkuasa penuh atas Kerajaan Mataram sebab tidak lama kemudian Sunan Pakubuwana II meninggal dunia dan dimakamkan di Laweyan.8

Pada saat perlawanan Pangeran Mangkubumi semakin bersemangat dan memperoleh beberapa

7 “Serat Perjanjian Dalem Nata”,Surakarta: Radyapustaka, No. 297/D, hlm. 26-43, dalam: Edy S. Wirabhumi, Pemberdayaan Hukum Otonomi Daerah dan Potensi Wilayah: Studi tentang Kemungkinan

Terbentuknya Provinsi Surakarta, Disertasi Program Doktor Ilmu

Hukum, Semarang: Program Pascasarjana, Universitas Diponegoro, 2007, hlm. 70.

8 Edy S. Wirabhumi, Op. Cit., hlm. 71. Lihat: Buminata, Serat

Kuntharatama, Yogyakarta: t.p., 1932, hlm. 21: “Serat Perjanjian

(8)

hasil—seperti penguasaan wilayah pesisiran kulon—di dalam Keraton terjadi proses pergantian tahta. Pada hari Senin Wage, 4 Sura, Alip 1675 atau 1749 Masehi, putera mahkota kerajaan Pangeran Adipati Anom dinobatkan menjadi raja dengan gelar Sunan Pakubuwana III. Dalam kaitan ini posisi Sunan adalah “wakil” Kompeni dalam memerintah Mataram.

Setelah acara penobatan diadakan perjanjian dengan Kompeni tanggal 11 November 1749. Perjanjian itu berisi butir-butir kesepakatan, antara lain:

1. Sunan mengakui bahwa kekuasaannya diperoleh atas kebaikan hati pemerintah Kompeni.

2. Segala isi perjanjian yang dibuat oleh leluhur Sunan tahun 1707, 1743, 1746, dan 1749 tetap berlaku.9

Kasunanan Surakarta kembali mengalami penurunan legitimasi dan kewibawaan akibat Perjanjian Giyanti 1755. Mulai saat itu Mataram terpecah menjadi Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.

Gb. Naskah Perjanjian Giyanti10

Penurunan kewibawaan Kasunanan Surakarta sangat dirasakan oleh Sunan PB IV sebagai pewaris tahta Kasunanan Surakarta. Kondisi turunnya kewibawaan Kasunanan Surakarta akibat palihan 9 Soekanto, Sekitar Yogyakarta (1755—1825), Djakarta: t.p., 1952,

hlm. 178.

10 Diambil dari: http://image.slidesharecdn.com/

kratonsurakartahadiningrat-131223212855-phpapp02/95/kota-solokraton-surakarta-hadiningrat-4-638.jpg?cb=1387834174

nagari diperparah dengan semakin meningkatnya dominasi pihak pemerintah kolonial terhadap persoalan intern Keraton Surakarta.

Masalah ini sebenarnya sudah dimulai sejak pengangkatan Sunan Pakubuwana III sebagai raja Mataram. Sejak saat itu setiap raja yang dinobatkan harus menandatangani surat perjanjian yang di antara isinya menegaskan bahwa tahta yang diduduki oleh Sunan diakui sebagai jasa baik Kompeni dan Sunan harus setia pada perjanjian-perjanjian yang telah dibuat oleh raja-raja pendahulunya.11

Gb. Peta Mataram Islam setelah Perjanjian Giyanti12

Melihat kondisi tersebut, Sunan Pakubuwana IV sebagai pewaris tahta Kasunanan Surakarta, wajar jika mempunyai keinginan untuk mengembalikan kejayaan Mataram Islam. Menurut pandangan Sunan Pakubuwana IV, ada dua faktor yang menyebabkan Kasunanan Surakarta mengalami penurunan kewibawaan, yaitu pecahnya Mataram sebagai akibat Palihan Nagari 1755 dan terlalu dalamnya campur tangan pemerintah kolonial terhadap urusan intern Keraton.13 Berdasarkan

pandangan Sunan Pakubuwana IV tersebut maka dapat dipahami jika kebijakan politik diarahkan untuk menyatukan kembali Mataram dengan

11 Supariadi, Kyai dan Priyayi di Masa Transisi, Surakarta: Pustaka Cakra, 2001, hlm. 226.

12 Diambil dari: http://upload.wikimedia.org/wikipedia/id/thumb/8/83/ Jawa_Setelah_Perjanjian_Giyanti.png/ 640px-Jawa_Setelah_ Perjanjian_Giyanti.png

(9)

merangkul Kasultanan Yogyakarta dan melepaskan diri dari tekanan pemerintah kolonial.

Politik untuk menyatukan Mataram yang jaya dan berwibawa sudah menjadi cita-cita Pakubuwana III dan mulai dirintis oleh Pakubuwana IV. Namun, belum terlihat hasilnya, walaupun pada masa Pakubuwana IV Belanda sangat lemah. Meski demikian, pihak Mataram juga belum bisa mengumpulkan kekuatan yang cukup untuk melawan Belanda, apalagi mengusirnya dari Tanah Jawa.

Pada Pemerintahan Pakubuwana IV (1788-1820) di pusat pemerintahan kolonial terjadi peristiwa politik yang signifikan dan berpengaruh ke Surakarta. Bubarnya VOC (1799), Pemerintahan Republik Bataaf (1799-1808), Pemerintahan Hindia Belanda (1808-1811), pendudukan tentara Inggris (1811-1816), dan kembali kepada Pemerintahan Kolonial Belanda.14

2. Bangkrutnya VOC, Berkuasanya Pemerintah Belanda

dan Kedatangan Inggris

Kejayaan VOC ternyata tidak bertahan lama. Dalam perkembangannya VOC mengalami masalah yang besar, yakni kebangkrutan. Kebangkrutan VOC ini terutama terjadi karena para pegawainya banyak yang korupsi. Waktu itu VOC sudah sangat merosot, kas kosong, utang menumpuk, dan tidak mampu lagi menciptakan pengawasan dan keamanan atas wilayah Indonesia sehingga pada tanggal 31 Desember 1799 VOC dibubarkan.

Sementara itu di Belanda terjadi perubahan. Pemerintah Raja Williem V digulingkan kaum republik yang didukung oleh Prancis. Hal ini membuat Belanda menjadi negara jajahan Prancis. Akibatnya, Kerajaan Belanda diubah menjadi Republik Bataaf. Pemerintahan baru ini kemudian yang membubarkan VOC pd tgl 31 Desember 1799. Setelah kejadian itu Louis Napoleon Bonaparte— yang berkuasa di Belanda sebagai wakil Prancis— menunjuk Herman Williem Daendels (orang Belanda pro-Prancis) untuk memerintah Hindia Belanda (Indonesia) dengan tugas utama

14 Soeprijadi, Reorganisasi Tanah Serta Keresahan Petani dan

Bangsawan di Surakarta (1911—1940), Yogyakarta: Tesis Program

Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, 1996, hlm. 9.

mempertahankan pulau Jawa agar tidak dikuasai Inggris.15

Untuk menjalankan pemerintahan di Indonesia diangkatlah Gubenur Jenderal Daendels. Daendels tiba di Indonesia pada tanggal 1 Januari 1808. Kemudian Daendels mengadakan banyak tindakan. Salah satu tindakan Daendels yang terkenal adalah dalam bidang sosial ekonomi. Beberapa tindakan itu antara lain sebagai berikut.

z Meningkatkan usaha pemasukan uang dengan cara pemungutan pajak.

z Meningkatkan penanaman tanaman yang hasilnya laku di pasaran dunia.

z Rakyat masih diharuskan melaksanakan penyerahan wajib hasil pertaniannya.

z Penjualan tanah-tanah kepada pihak swasta.

z Membangun Jalan Anyer (Jawa Barat)– Panarukan (Jawa Timur).

Tindakan Daendels yang dikenal dengan kerja paksa telah menyebabkan kesengsaraan rakyat. Kesewenang-wenangan Daendels dan penderitaan rakyat itu telah menimbulkan protes dan perlawanan rakyat.

Di Mataram Daendels membuat aturan baru dalam penyambutan residen di Surakarta dan Yogyakarta. Residen di kedua kerajaan harus diberi penghormatan sebagai wakil dari kekuasaan yang tertinggi dan sejajar dengan raja sehingga kedua raja menjadi raja bawahan pemerintah kolonial. Aturan itu ditentang oleh Sultan Hamengkubuwana II. Tindakan ini menyebabkan sultan dipaksa turun tahta oleh Dandeles dengan ekspedisi militer.

Pada tahun 1812 Inggris merebut Jawa dari tangan Pemerintah Belanda. Dalam Kondisi seperti itu Raja Surakarta dan Yogyakarta berusaha memulihkan kekuasaannya seperti semula. Di Yogyakarta Sultan Hamengkubuwana II berhasil naik tahta lagi setelah diturunkan pada masa Daendels. Sultan Hamengkubuwana II dan Pakubuwana IV Surakarta bersama-sama

15 ---, Cross-Colonial Cooperation In Nineteenth-Century Java: Examining The Sepoy Conspiracy of 1815 in A World History

Context, The Middle Ground Journal, Number 6, Spring, 2013, hlm.

(10)

Pakubuwana III yang agak patuh kepada VOC, penerus tahta Kasunanan Surakarta berikutnya, yakni Sri Susuhunan Pakubuwana IV (1788-1820), adalah sosok raja yang membenci penjajah dan penuh cita-cita serta keberanian.19

Sunan Pakubuwana IV dalam pandangan masyarakat Surakarta tidak saja dikenal sebagai pujangga yang mumpuni, tetapi juga dipercaya sebagai raja dan ulama yang taat menjalankan ajaran agama Islam. Ketaatan dalam menjalankan agama Islam, seperti tidak meninggalkan shalat lima waktu, shalat Jumat dan mengharamkan minuman keras dan candu sudah terlihat sejak muda dan masih berstatus sebagai putra mahkota.

Pakubuwana IV dikenal sebagai raja Surakarta yang paling religius dalam mengamalkan ajaran Islam dalam kehidupan pribadi maupun kerajaan. Kegemarannya menimba ilmu agama dari kiai dan guru agama menjadikan dirinya memiliki pengetahuan dan pemahaman yang luas tentang agama Islam. Keluasan pengetahuan Islam yang dimiliki oleh raja Surakarta ini dapat dilihat dari serat-serat piwulang karyanya, seperti Serat Wulang Reh, Wulang Dalem, dan Wulang Brata Sunu. Sebagian besar isi Serat Piwulung Sunan Pakubuwana IV menerangkan ajaran Islam. Tidak jarang dalam serat karyanya tersebut ia mengutip langsung ayat-ayat Al-Qur’an dan Al-Hadits demi memperkuat nasihat yang disampaikannya.

19 Purwadi, Membaca Sasmita Jaman Edan Sosiologi Mistik R. Ng.

Ronggowarsito, Jogjakarta: Persada, 2003, hlm. 69.

berperang melawan Inggris. Tetapi, perlawanan berhasil dipatahkan Inggris yang kemudian menyerbu Yogyakarta dan memaksa Sultan turun tahta kembali serta mengasingkannya. Peristiwa ini berhasil memaksa Sunan dan Sultan yang baru untuk menandatangani perjanjian baru pada tanggal 1 Agustus 1812, yang antara lain berisi penyerahan Kedu, sebagian Semarang, Rembang, dan Surabaya kepada Inggris.17

Biografi dan Tulisan Karya Pakubuwana IV

Nama kecil Pakubuwana IV adalah Bendara Raden Mas Sambadya. Ia lahir dari permaisuri Sunan Pakubuwana III yang bernama Gusti Ratu Kencana (Rara Beruk), pada hari Kamis Wage, 18 Rabiul Akhir 1694 Saka atau 2 September 1768. Putra Sampeyan Dalem Hingkang Sinuhun Pakubuwana III nomer 17 ini memegang pemerintahan selama 32 tahun (1788-1820). Wafat pada hari Senin Pahing, 25 Besar 1747 Saka atau 2 Oktober 1820.18

Sri Susuhunan Pakubuwana IV, yang lebih dikenal dengan sebutan Sunan Bagus, mewarisi darah kaprabon dan kapujanggan ramandanya. Ia mendapat gelar demikian karena memang memiliki wajah yang tampan. Dalam usia 20 tahun, Sunan Bagus naik tahta menggantikan ayahandanya, Pakubuwana III. Berbeda dengan

16 Dari: https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/f/f7/ Java_Great_Post_Road.svg/1000px-Java_Great_Post_Road.svg.png 17 Mawarti Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah

Nasional Indonesia IV, Cetakan IV, Jakarta:Penerbit Balai Pustaka,

2010, hlm. 57—58.

18 Andi Harsono, S.TP., M.Pn., Tafsir Ajaran Serat Wulangreh, Yogyakarta: Puri Pustaka, 2005, hlm. 9.

(11)

Pakubuwana IV juga dikenal sebagai sebagai seorang pujangga. Sejak ia memimpin di Kasunanan Surakarta telah banyak karya-karya besar yang ia ciptakan, di antaranya: Serat Wulangreh, Serat Wulangsunu, Serat Wulangputri, Serat Wulang Tatakrama, Donga Kabula Mataram, Cipta Waskita, Panji Sekar, Panji Dhadhap, Panji Raras, Serat Sasana Prabu, dan Serat Polah Muna-Muni.20

Serat Wulangsunu adalah karya Pakubuwana

IV yang berisi tentang ajaran moral seperti serat piwulang lainnya. Bendelan aslinya berada di kepustakaan Surakarta yang memuat lima pupuh. Pesan moral dalam Serat Wulangsunu adalah pemahaman terhadap dharmaning gesang (tugas kehidupan di dunia) pamedaring wasitaning ati (lahirnya kata hati/niat). Akan tetapi, Serat Wulangsunu tidak sepopuler Serat Wulangreh dan belum banyak yang mengkaji secara luas.

Berikutnya adalah SeratCipta Waskitha. Tidak berbeda dengan serat piwulang lainnya, Serat Cipta Waskitha terdiri dari tiga pupuh, yang mengajarkan tentang budi pekerti, memilih guru, pengertian ilmu dan ngelmu, bawono ageng lan bawono alit. Menurut Dr. H. M. Muslich, Serat Cipta Waskitha

ini pernah digarap oleh Ki Hudoyo Djoyodipuro dengan judul Cipta Waskitha Ngelmu Mistik Terapan. Teks serat ini tersimpan di kepustakaan Surakarta. Dengan terciptanya Serat Cipta Waskitha

diharapkan manusia dapat memahami hidup, tidak memandang rendah orang lain, memahami hukum benar dan salah (halal dan haram).21

Serat Wulang Putri karya Susuhunan

Pakubuwana IV berisi lima pupuh. Serat Wulang Putri ini berisi tentang piwulang yang dipersiapkan untuk kepentingan putra-putri Sunan. Naskah

Serat Wulang Putri masih tersimpan baik di

kepustakaan Surakarta dan Istana Mangkunegaran; dijadikan satu dengan Serat Piwulang Pakubuwana IV yang masih berupa tulisan Jawa. Kemudian pada tahun 1994 dialihbahasakan oleh Dra. Darweni dengan kode transkrip naskah A 344 dan

20 Darusuparta, Serat Wulangreh Angitan Dalem Wedhatama Winardi, Surabaya, 1982, hlm. 14.

21 Dr. H. M. Muslich K.S., M.Ag., Moral Islam dalam Serat Piwulang

Pakubuana IV, 2006, hlm. 175.

disimpan di kepustakaan Rekso Pustaka, Istana Mangkunegaran.22

Serat Wulang Putra karya Susuhunan

Pakubuwana IV ini isinya lebih mengacu pada

Serat Wulangreh, terdiri sembilan pupuh. Seperti Naskah serat piwulang lainnya, Serat Wulang Putra

mengajarkan nasihat tentang cara memilih Guru yang baik, pergaulan, menghindari watak Adigang, Adigung, Adiguna, tata krama, akhlak terpuji dan akhlak tercela, serta ajaran taat terhadap agama. Pada tahun 1980 Serat Wulang Putra

dialihbahasakan oleh Surasa dalam huruf Latin dan disimpan di kepustakaan Rekso Pustaka, Istana Mangkunegaran.

Panji Raras adalah salah satu karya Pakubuwana IV yang berbentuk buku atau waosan yang terkenal. Karya-karyanya yang berbentuk waosan antara lain Panji Sekar, Panji Dadhap, dan Panji Blitar. Keempat waosan tersebut—yang berupa tulisan carik—semuanya disimpan di kepustakaan Radyapustaka nomor carik 189, 190, 191, 192, yang ditulis pada tahun 1732.23

Dari beberapa karya besar Sri Susuhunan Pakubuwana IV, Serat Wulangreh adalah karya yang paling fenomenal di kalangan masyarakat Jawa dan pengikut Kasunanan Surakarta. Serat Wulangreh selesai ditulis oleh Sunan Pakubuwana IV pada tahun 1735 Jawa yang bertepatan dengan tahun 1808 Masehi. Serat Wulangreh berasal dari tiga kata, yaitu serat, wulang, dan reh. Menurut Dojosantoso dalam bukunya Unsur Religius dalam Sastra Jawa, Serat berarti surat atau tulisan, Wulang

berarti piwulang atau mengajarkan, sedangkan Reh

mempunyai arti laku atau tingkah laku.24

22 Ibid, 28.

23 Dr. H. M. Muslich K.S., M.Ag., Moral Islam dalam Serat Piwulang

Pakubuana IV, 2006, hlm. 177.

(12)

Gb. Serat Wulangreh25

Tingkah laku yang dimaksud adalah tingkah laku dalam hal pergaulan, tingkah laku dalam hal menghadap Raja atau melaksanakan tugas Istana, tingkah laku dalam kehidupan dunia, tingkah laku putra Raja terhadap bawahannya atau orang kaya terhadap orang miskin. Semua ditulis dalam karya sastra Serat Wulangreh Sri Susuhunan Pakubuwana IV.

Sri Susuhunan Pakubuwana IV, dengan Serat

Wulangreh, ingin menyampaikan petuah yang

mengandung nasihat dan unsur-unsur religi (keagamaan) terhadap putra (anak), wayah (cucu keturunannya), serta kepada masyarakat umum, supaya tajam pemikiranya dalam menghadapi kehidupan dunia serta dalam menangapi kehendak ilahi. Mampu memilih mana yang baik dan buruk, benar dan salah, serta haram dan halal, seperti yang di kehendaki Yang Sukma (Allah). Misalnya, dalam

25 Dari: http://4.bp.blogspot.com/-1AAJKPHNkRQ/TkKtwUaotjI/ AAAAAAAAAFk/NA_5xxcvcwI/s1600/ Serat+Wulangreh+150+dpi.jpg

Serat Wulangreh Sunan mengajarkan berbagai hal tentang memahami kehidupan agar tidak tersesat. Di antaranya ia menulis bagaimana memilih seorang guru.

Sunan menulis agar tidak sembarangan memilih guru. Pilihlah guru yang tidak saja berilmu tapi juga baik akhlaknya, ibadahnya, serta

zuhud atau sederhana. Jangan memilih guru yang kelihatannya berilmu tetapi tidak melaksanakan syariat dengan alasan telah mencapai maqam yang tinggi karena hal itu akan merusak semua aturan agama.

Demikian juga pendapat Sunan yang mencerminkan pemahaman keislamannya yang baik adalah nasihatnya dalam ilmu dan menghukumi sesuatu. Ia menulis agar jangan mengambil ilmu yang tidak memenuhi empat syarat, yaitu Dalil (Al-Qur’an), Al-Hadits, Ijma’,dan Qiyas.26

Masa pemerintahan Pakubuwana IV (1788) merupakan masa kebangkitan karawitan Keraton. Pada masa ini kehidupan karawitan mengalami kemajuan yang luar biasa, yaitu banyak gending tercipta, baik gending dengan komposisi yang panjang (seperti gending ketuk 4 arang, 4 kerep), sampai gending prenes27 dan gecul.28 Masa

pemerintahan Pakubuwana IV juga ditandai dengan berkembangnya gending bonang.29 Hal

ini diduga karena pada masa tersebut merupakan kebangkitan gending Sekaten yang ditandai dengan pembuatan gamelan Sekaten Kyai Guntur Madu. Seperti diketahui bahwa gamelan sekaten menempatkan bonang sebagai main instrument

sehingga dirasa perlu menciptakan gending

bonang untuk keperluan musikal Sekaten maupun keperluan lainnya.30

Sunan Pakubuwana IV wafat pada usia 53 tahun, tepatnya pada Senin Paing, 23 Besar 1747 Jawa atau 1 Oktober 1820, dengan lama jabatan sebagai raja

26 Purwadi, Sistem Pemerintahan Jawa Klasik, Medan: Pujakesuma,

hlm. 411.

27 Bentuk gending yang memiliki karakter dinamis dan lincah yang ditandai dengan permainan teknik kendang ciblon.

28 Bentuk gending yang memiliki karakter lucu dengan ekspresi permainan (improvisasi) “seakan-akan” sekenanya.

29 Komposisi karawitan dengan main instrument boning.

30 Bambang Sosodoro, Karawitan Keraton Kasunanan dan Pura

Mangkunegaran Pasca Perjanjian Giyanti, Jurnal Keteg, Vol. 13 No.

(13)

selama kurang lebih 33 tahun. Sri Pakubuwana IV mempunyai 24 istri dan meninggalkan putra-putri yang semuanya berjumlah 56. Kepimpinannya digantikan putranya yang bergelar Pakubuwana V yang lahir dari permaisuri Raden Ayu Handoyo, putri Bupati Pamekasan Adipati Cakraningrat. Karya-karya Sri Pakubuwana IV hingga sekarang masih menyebar dan berakar kuat di lingkungan kebudayaan Jawa.31

Pengaruh Ulama di Sekitar Raja

Sunan Pakubuwana IV terkenal sebagai raja yang taat menjalankan ajaran agama dan mempunyai hubungan yang akrab dengan santri, kiai, dan haji. Keakraban hubungan dengan kiai dan haji menjadikan kolonial selalu menyoroti dan mengawasi raja Surakarta ini. Ketika Gubernur Thomas S. Reffles akan mengunjungi Keraton Kasunanan pada tahun 1812, Residen Surakarta membuat daftar ulama dan haji di Surakarta yang diduga mempunyai hubungan yang dekat dengan Sunan. Dari pendataan ini tercatat 51 ulama dan 24 haji yang perlu mendapatkan perhatian karena dekatnya hubungan dengan Sunan.32

Kiai Imam Syuhodo Apil Quran (1745-1843) dari Pesantren Wonorejo, Bekonang, Surakarta adalah salah seorang ulama yang dipercaya sebagai salah satu guru ngaji (agama) Sunan Pakubuwana IV. Ia adalah seorang kiai yang menuntut ilmu dari satu pesantren ke pesantren lainnya. Bahkan, pada saat Kiai Imam Syuhodo akan mendirikan pesantren, ia mendapat bantuan dari Sunan Pakubuwana IV yang berupa umpak (penyangga tiang), soko (tiang),

mustaka (kubah), mimbar, dan lampu katrol.

Ketika masih berstatus putra mahkota, sikap keagamaan Sunan Pakubuwana IV banyak dipengaruhi oleh Wiryakusuma, seorang guru agama yang anti-Kompeni. Wiryakusuma adalah putra R.M. Kreta yang dilahirkan dan dibesarkan di Cape Town, yang pada masa itu menjadi tempat

31 Widayati, Karya-Karya Sastra Klasik Jawa yang Menyandang Pendidikan Jender yang Masih Hidup di Masyarakat: Relevansinya

dengan Pendidikan di Tingkat Pendidikan Dasar, Laporan Penelitian

Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia, Surabaya: Lembaga Penelitian, Universitas Negeri Surabaya, 2001, hlm. 3. 32 Lihat: Surat Residen Surakarta Kolonel Adams kepada Raffles

tertanggal 17 Juni 1812 dalam Bendel Surakarta No. 28.

pembuangan bagi tokoh-tokoh perjuangan yang menentang penjajah Kompeni. Salah satu tokoh perjuangan yang dibuang ke Cape Town adalah Syekh Yusuf Al-Makassari, seorang ulama besar sekaligus guru Tarekat Naqsyabandiyah.33

Dalam Babad Pakepung disebutkan bahwa Pakubuwana IV juga mengangkat empat kiai dan santri—Kiai Wiradigda, Panengah, Bahman, dan Nur Saleh—sebagai Abdi Dalem Kinasih (abdi dalem terpercaya).34 Sumber lain menyebutkan,

para Abdi Dalem Ngulama itu berjumlah enam orang, yaitu R. Santri, R. Panengah, R. Wiradigda, R. Kanduruhan, Kiai Balkan, dan Kiai Nur Saleh.35

Pada saat itu, di daerah Surakarta masih penuh adat istiadat Hindu dan aliran-aliran animisme. Penyebaran Islam lebih banyak menghadapi kendala adat istiadat Jawa-Hindu. Sunan Pakubuwana IV pun mendatangkan para ulama di Surakarta. Di antara para ulama tersebut ialah Kiai Jamsari yang datang dari Banyumas, dan bertempat tinggal di sebelah barat daya dari Keraton Surakarta. Ia mendirikan sebuah masjid dan surau-surau serta mengajarkan Islam kepada masyarakat umum, para bangsawan, dan pejabat-pejabat Istana. Ajaran-ajaran Islam dapat diterima dengan baik, berkembang merata di seluruh Surakarta dan sekitarnya.

Kampung kediaman Kiai Jamsari dikenal dengan nama Kampung Jamsaren hingga sekarang. Kemaksiatan-kemaksiatan dan kejahatan di Surakarta semakin berkurang dan akhirnya Kota Surakarta menjadi sejahtera dan aman. Demikian seterusnya hingga Kiai Jamsari wafat, kemudian diganti dan diteruskan oleh putranya Kiai Jamsari II.36

Hubungan Pakubuwana IV dengan Yasadipura I juga mengalami gangguan karena ia tidak setuju

33 Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsabandiyah di Indonesia, Bandung: Penerbit Mizan, 1992, hlm. 34—42.

34 “Serat Babad Pakepung”, alih aksara: Sri Sulistyowati, Museum Sanapustaka Keraton Surakarta, No. 74 ca-KS# 60 — Reel 101 #2 dalam Babad Pakepung: Suntingan Teks, Analisis Struktur, dan

Resepsi, Yogyakarta: Tesis Program Pascasarjana, Universitas

Gadjah Mada, 1990.

35 Dwi Ratna Nurhajarini, Sejarah Kerajaan Tradisional Surakarta, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1999, hlm. 133.

(14)

dengan sikap Pakubuwana IV yang konfrontatif terhadap Belanda. Yasadipura I lebih dekat dengan Putra Mahkota (Pangeran Adipati Anom Mangkunegara III) dan kelompok kasepuhan lain seperti Pangeran Buminata dan Pangeran Hangabehi. Anthony Day mensinyalir bahwa beberapa tulisan Yasadipura I lebih banyak menyanjung putra mahkota daripada Pakubuwana IV. Sikap serupa juga ditunjukkan oleh putranya, yaitu Yasadipura II.37

Usaha Penerapan Hukum Islam

Pertama kali di Mataram diadakan perubahan di dalam tata hukum di bawah pengaruh Islam oleh Sultan Agung (1613-1645). Perubahan itu pertama-tama diwujudkan khusus dalam pengadilan Pradata

yang dipimpin oleh raja sendiri. Pengadilan Pradata

diubah namanya menjadi pengadilan Surambi

karena pengadilan ini tidak lagi mengambil tempat persidangan di Sitinggil, melainkan di serambi Masjid Agung. Perkara-perkara kejahatan yang menjadi urusan pengadilan ini dinamakan Kisas, padahal istilah ini tidak sesuai dengan arti kata yang sebenarnya di dalam hukum Islam.38

Konsep dewa-raja atau ratu-binathara ini pada periode kerajaan islami tidak menempatkan raja pada kedudukan yang sama dengan Tuhan, melainkan sebagai Khalifatullah, wakil Allah di dunia. Namun, penurunan derajat ini tidak mengubah atau mengurangi kekuasaan raja terhadap rakyat. Dalam hal ini rakyat tetap dituntut untuk tunduk kepada rajanya.

Kerajaan Mataram mendapat pengaruh hukum Barat pada tahun 1709 melalui perjanjian dengan Pemerintah Belanda. Dalam perjanjian tersebut Sunan Pakubuwana I harus menyerahkan pelaksanaan pengadilan dan tanah di sebelah timur Gunung Merapi dan Merbabu kepada Pemerintah Belanda.39

37 S. Margana, Pujangga Jawa dan Bayang-bayang Kolonial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, hlm. 208.

38 Dr. Th.W. Juynball, “Handleiding tot de kennis van de Mohammedaansche wet” dalam Mr. R. Tresna, Peradilan di

Indonesia dari Abad ke Abad, Jakarta: Pradnya Paramita, 1978, hlm.

17.

39 Serat Perjanjian Dalem Nata, Surakarta: Radya Pustaka, 1940, hlm.

19. Lihat: Sugiarti, Pengadilan Surambi Pasca Palihan Nagari, Op.

Cit., hlm. 52.

Pemerintahan Pakubuwana IV (1788-1820) masih mewarisi hasil perjanjian dari pendahulunya, yaitu sebagai bawahan pemerintah Belanda. Satu hal yang menarik, pada masa Pakubuwana IV pengadilan Surambi menjadi pengadilan tertinggi dan menjadi pengadilan tingkat banding bagi pengadilan Pradata dan Balemangu. Sebagai konsekuensinya, hukuman Kisas masih diberlakukan pada masa itu.40

Pakubuwana IV sebagai penguasa ketika itu menginginkan Keraton Kasunanan Surakarta terbebas dari pengaruh penjajahan Belanda dan tetap menjadi kiblat dari kebudayaan yang berlaku di Tanah Jawa. Selain itu, Sunan ingin menyatukan kembali Mataram yang terpecah akibat Perjanjian Giyanti dan Perjanjian Salatiga. Pakubuwana IV melihat bahwa potensi besar merespons hal tersebut dimiliki oleh kaum santri, yang mana ia sendiri sangat dekat dengan komunitas santri. Pada masa pemerintahannya, peraturan yang terkait dengan masalah pengaturan administrasi kenegaraan yang mengangkat kesejahteraan masyarakat tinggalan Sultan Agung sungguh-sungguh dipertahankan dan dijalankan.

Setiap ibu kota kabupaten, kawedanan, dan desa harus mempunyai masjid sebagai pusat perkembangan agama Islam. Masjid Besar di ibu kota kabupaten dipimpin oleh seorang penghulu yang bertugas sebagai penyelenggara urusan agama baik di bidang ibadat dan muamalat. Di bidang pengadilan kegamaan dia bekerja sama dengan jaksa yang bertugas sebagai hakim. Dalam menjalankan tugasnya ia dibantu oleh 40 orang pembantu. Untuk masjid kawedanan dipimpin oleh seorang naib dengan 11 pembantunya, sedangkan untuk masjid desa dipimpin oleh modin dengan 4 orang pembantunya. Pembantu-pembantunya dibagi menjadi 4 golongan: juru tulis, khatib,

muazin,dan marbot.41

40 T. Roorda, Wetten de Nawala Pradata, de Angger

Sadasa, de Angger Ageng, de Angger Gunung, de Angger Aru Biru, Amsterdam: Muler, 1844, hlm. 64. Lihat: Sugiarti, Op. Cit., hlm. 53.

41 Kusniatun, Dinamika Keraton dalam Pengembangan Budaya Islam

dan Kebudayaan Jawa, Makalah Suplemen Seminar Nasional “

(15)

Selain harus ada masjid dan pesantren sebagai tempat ibadah, pengajian kitab juga harus diselenggarakan. Pimpinan pesantren diserahkan kepada pengelola masjid dan mereka mendapatkan gelar sesuai dengan kedudukannya. Seorang penghulu mendapatkan gelar Kiai Sepuh,

atau Kanjeng Kiai untuk para pembantunya, atau tingkatan di bawahnya mendapat gelar Kiai Anom.

Banyak tradisi lama yang diganti oleh tradisi baru. Sunan Pakubuwana IV banyak dipengaruhi para ulama yang membantu Sunan. Beberapa perubahan yang dilakukan antara lain:

z pakaian prajurit bergaya Belanda diganti dengan pakaian Jawa;

z setiap hari Jumat Sunan selalu melakukan shalat Jumat di Masjid Besar;

z setiap hari Sabtu diadakan latihan

Watangan atau perang-perangan;

z semua abdi dalem yang menghadap raja diwajibkan berpakaian santri;

z Abdi dalem yang dinilai tidak patuh

terhadap syariat agama digeser dan dipecat serta mengangkat adiknya dengan nama “Mangkubumi” dan “Buminata”.42

Kebijakan politik Sunan pada waktu itu memang banyak dipengaruhi oleh ajaran Islam, termasuk ketika Sunan Pakubuwana IV menuntut kepada Kompeni agar semua penghulu yang ada di Yogyakarta, Semarang, dan daerah Pasisiran tunduk dan mengikuti kebijakan penghulu Surakarta.

Pengadilan Agama (Surambi) Menjadi Pengadilan

Tertinggi

Semenjak tahun 1715 pengadilan formal di Kasunanan Surakarta adalah (1) pengadilan Bale Mangu, (2) pengadilan Pradata, dan (3) pengadilan

Surambi. Adapun pengadilan khusus yang

mengadili perkara-perkara dari golongan tertentu adalah pengadilan Kadipaten Anom. Pengadilan ini

42 Dwi Ratna Nurhajarini dan Tugas Triwahyono, Sejarah Kerajaan

Tradisional Surakarta. Jakarta: C.V. Ilham Bangun Karya, 1999, hlm.

133.

hanya berwenang mengadili perkara yang berasal dari kerabat Sunan.43

Pada masa Pakubuwana IV (1788-1820) pengadilan Surambi menjadi pengadilan tertinggi dan menjadi bandingan dari pengadilan Pradata. Pada masa Pakubuwana IV juga didirikan dua pengadilan bagi kerabat Raja yang bersalah, yaitu

Balemangu dan Kadipaten Anom. Perkembangan selanjutnya pada tahun 1847 sistem kolonial masuk dalam tatanan peradilan di Kasunanan yang mengakibatkan pengadilan Surambi pada masa Pakubuwana VII (1830-1858) hanya mengurusi masalah keluarga.44

Menurut Rouffaer, pengadilan Surambi pada masa pemerintahan Sunan Pakubuwana IV (1788-1820) diperluas lagi menjadi pengadilan tertinggi yang menangani perkara-perkara rajapati dan

rajatatu, di samping perkara-perkara perkawinan dan warisan, sebagaimana tampak dalam kutipan berikut ini:

“…Ananing wong apadu salaki-rabi, kaya talak, waris, wasiat, mas kawin, nifkah sapepadhane, lan rajapati miwah tatu, ingkang sepi saka sabab, iya Si Pengulu ngukumana, sarta ajakena pepeka, lan ajakena mamanising ruruba, miwah anglalawas padu, iku ingsun wangeni lawas-lawase ing telung sasi,….45

Hal itu juga tampak dari gelar yang dipakai oleh ketua pengadilan Surambi sejak tahun 1785 sampai 1903 adalah Kanjeng Kyai Mas Pengulu Tafsir Anom Adiningrat.46

Karena pengadilan Surambi merupakan pengadilan agama, tempat pelaksanaan persidangannya pun masih di lingkup tempat ibadah, yaitu di serambi (bagian depan) Masjid Agung. Hari persidangan pengadilan Surambi

dilaksanakan pada hari Senin dan Kamis.

43 Rajiman, Sejarah Mataram Kartasura sampai Surakarta Hadiningrat, Krida: Surakarta, 1984, hlm. 180.

44 Riyanto, Hukum dan Peradilan di Praja Kejawen, Surakarta: Fakultas Sastra, Universitas Sebelas Maret, 1996, hlm. 20.

45 T. Roorda, Serat Angger Nawala Padata, Op. Cit., pasal 2. Lihat: Sugiarti, Op. Cit., hlm. 102.

46 G.P. Rouffaer, ”Vorstenlanden” dalam Adatrechsbundel Vol.

XXXIV Seri D No. 81. Terjemahan: Muh. Husodo Pringgokusumo,

Surakarta: Rekso Pustaka, 1931, hlm. 86. Lihat: Sugiarti, Op. Cit.,

(16)

Hukum Kisas dan Hudud

Dalam perkara ini dibedakan menjadi

rajapati dan rajatatu. Dalam hukum Islam jenis pembunuhan dapat dibedakan menjadi tiga macam, di antaranya pembunuhan secara sengaja, yang dihukum kisas; pembunuhan yang tidak disengaja, tetapi mengakibatkan kematian, yang dihukum denda; serta pembunuhan yang terjadi karena kesalahan, yang dihukum denda (diyat mughalalah).

“Filsun fi ikhkamil jinayat ikilah pasal, anyatakaken kukume mati. Utawi mateni iku tetelu: kang dhihin kang maha-maha sawecane, lan kapindho kaluputan sawecane, lan kaping telu maha-maha sawecane den kaluputan. Mangka kang den maha-maha sawecane iku, kaya pepadhane wong kang amateni wong kalawan borang kang den gawe mateni, mangka iku iya wajib den diyat kisas.

Lan amung angapura ahli warise kang pinaten iku wajib diyat mugalalah. Utawi wong kang kaluputan sawecane iku, kaya lamun nedya amanah ing beburon, mangka angenani manungsa, kari-kari mati. Mangka wong iku ora kena kisas, nanging wajib diyat mupakakah belaka. Utawi kang den mahamaha sarta kaluputan iku, kaya lamun wong iku amukul ing wong sawiji, kalawan borang kang ora mateni. Kaprah-kaprahe kaya lamun den pukul ing teken kang cilik, kari-kari mati, mangka wong iku ora kisas, nanging wajib diyat mugalalah belaka lawan artane sanake kang mateni.”

Hukum kisas adalah hukuman balasan yang sama dengan perbuatannya. Diyat mugalalah

adalah denda 100 unta dibagi tiga, sedangkan diyat

mupakakah adalah denda 100 unta dibagi lima.

Bila denda tersebut tidak dapat dibayar dengan unta, wajib dibayar dengan uang seharga unta tersebut. Dalam Serat Angger Sadasa dari masa Sunan Pakubuwana IV dijelaskan sebagai berikut:

“Prakawis kaping 41: Saupami wonten tiyang ngamuk ngantos kenging kacepeng gesang, dene anggenipun ngamuk wau sampun amejahi tetiyang punika kapatrapan paukuman ing Nagari, kawedalaken diyatipun gangsal atus reyal. Yen boten medal diyatipun, kagitika ing penjalin kaping gangsal atus lajeng kabucal sajawining Nagari.”

Dari kutipan di atas tampak jelas bahwa sistem hukum di kerajaan Jawa masih mengikuti sistem hukum Islam, dengan adanya istilah cambuk, diat, real, dinar, dan sebagainya. Untuk membuat jera para pelaku kejahatan maka pemerintah memilihkan tempat pembuangan yang membuat penghuni-penghuninya merasa tidak betah, seperti di daerah Lodaya, di Blitar Selatan. Tempat-tempat pembuangan itu biasanya berupa daerah yang gersang, hutan lebat, atau tempat yang berawa. 47

Hukum Islam telah berlaku pada masa Pakubuwana IV walaupun masih banyak kekurangan yang dapat ditemui. Dalam hal hukum pidana, misalnya, ada istilah kisas. Namun, istilah kisas yang diterapkan pada masa itu tidak seperti pengertian qishash menurut terminologi para ulama fikih. Hukuman untuk pencuri juga dihukum dengan hukum kisas.

“Yen ana wong memaling kalebu kisas, kisasana tugelen tangane tengen. Yen kongsi ganep pindho, tugelen tangane tengen kiwa, yen ganep ping telu tugelen sukune tengen, yen ganep ping pat, tugelen sukune tengen kiwa.”48

(Kalau ada pencurian termasuk kisas, kisaslah dengan memotong tangan kanannya. Kalau diulangi lagi untuk kedua kalinya, potonglah tangan yang kiri. Kalau sampai tiga kali, potonglah kaki kanannya. Kalau diulang lagi yang keempat, potonglah kakinya yang kiri.)

47 Katno, Penerapan Hukum Islam di Kasunanan Surakarta pada Masa

Pakoe Boewono IV (Tahun 1788-1820 M) dalam Jurnal Studi Islam

Profetika Vol. 16, No. 1, Juni 2015, Sukoharjo: Sekolah Pasca Sarjana, Universitas Muhammadiyah Surakarta, hlm. 60—61.

48 Serat Sultan Surya Ngalam, Surakarta: Radya Pustaka, 1765, hlm.

(17)

Dalam terminologi ulama fikih, qishash

hanya berlaku untuk tindak pidana pembunuhan, sebagaimana ayat-ayat Al-Qur’an.

“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu (melaksanakan) qishash berkenaan dengan orang yang dibunuh. Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba sahaya dengan hamba sahaya, perempuan dengan perempuan. Tetapi barang siapa memperoleh maaf dari saudaranya, hendaklah dia mengikutinya dengan baik, dan membayar diat (tebusan) kepadanya dengan baik (pula).” (Al-Baqarah: 178).

“Kami telah menetapkan bagi mereka di dalamnya (Taurat) bahwa nyawa dibalas dengan nyawa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada qishashnya. Barang siapa melepaskan (hak qishash)nya, maka itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang zalim.” (Al-Maidah: 45).

Bukti-Bukti Pelaksanaan Syariat Islam pada Masa

Pakubuwana IV

Dari uraian di atas diketahui bahwa aturan Islam telah berusaha diterapkan di Kasunanan Surakarta, baik di peradilan maupun regulasi (kebijakan) Sunan. Secara ringkas bukti-bukti pelaksanaan hukum Islam akan diuraikan di bawah ini:49

1. Abdi dalem yang tidak patuh pada ajaran agama ditindak, digeser, dan bahkan ada yang dipecat.50

49 Lihat: Katno, Penerapan Hukum Islam di Kasunanan Surakarta pada

Masa Paku Buwono IV, Tesis Program Pascasarjana, Sukoharjo:

Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2012.

50 Dwi Ratna Nurhajarini dan Tugas Triwahyono, Sejarah Kerajaan

Tradisional Surakarta, Jakarta: C.V. Ilham Bangun Karya, 1999,

hlm. 133. Juga dalam: Edy S. Wirabhumi, Pemberdayaan Hukum Otonomi Daerah dan Potensi Wilayah: Studi tentang Kemungkinan

Terbentuknya Provinsi Surakarta, Disertasi Program Doktor Ilmu

Hukum, Semarang: Program Pascasarjana, Universitas Diponegoro, 2007, hlm. 89—90.

2. Sunan Pakubuwana IV mengharamkan minuman keras dan opium.51

3. Pengadilan Surambi menjadi pengadilan tertinggi dan menjadi bandingan pengadilan Pradata.

4. Penerapan hukum kisas (hudud) di pengadilan Surambi.

“Anadene wong padu salaki rabi kayata wasiyat, waris sapadhane lan Raja pati miwah Raja tatu ingkang sepi saka sabab, iya si Pangulu (hakim pengadilan surambi) ingkang ngakimi.”52

“Yen ana wong memaling kalebu kisas, kisasana tugelen tangane tengen. Yen kongsi ganep pindho, tugelen tangane tengen kiwa, yen ganep ping telu tugelen sukune tengen, yen ganep ping pat, tugelen sukune tengen kiwa.”53

5. Pengadilan Surambi sebagai pengadilan banding yang berkuasa untuk menangani perkara pidana.

“Dene yen wong kang oleh parentah, yen kongsia tatu utawa mati, mangka ahli warise ora narima, iya mulura padune menyang Pradataningsun, banjur kaunggahena ing Surambi, mangka dadi panggugate mau, iya banjur ukumana saukume rajapati.”54

6. Adanya Abdi Dalem Singanagara bertugas memotong leher terdakwa yang dijatuhi hukuman mati dengan keris atau dapat juga memotong tangan, kaki, menyayat, dan menyiksa.55

51 Purwadi, Sistem Pemerintahan Jawa Klasik, Medan: Pujakesuma,

hlm. 409.

52 Nawala Pradata Pakubuwana IV, hlm. 90.Lihat: Achmad Ridwan,

Perkembangan Pengadilan Pradata Masa Reorganisasi Bidang

Hukum di Kasunanan Surakarta Tahun 1893—1903, Skripsi Jurusan

Ilmu Sejarah, Surakarta: Fakultas Sastra dan Seni Rupa, Universitas Sebelas Maret, 2010, hlm. 60.

53 Serat Sultan Surya Ngalam, hlm. 15. Lihat: Sugiarti, Op. Cit., hlm.

116.

54 T. Roorda, Serat Angger Gunung, Op. Cit., hlm. 88. Lihat: Sugiarti,

Op. Cit., hlm. 94.

55 Serat Nitik Keprajan, Surakarta: Radya Pustaka,1936, hlm. 157—158.

(18)

7. Adanya Abdi Dalem Mertalulut bertugas memotong leher orang yang sudah diputus dihukum kisas oleh pengadilan Surambi.56

8. Dalam memeriksa perkara-perkara, pengadilan Surambi menggunakan pedoman kitab-kitab Islam.

Dalam memutuskan perkara, pengadilan Surambi mendasarkan ketetapannya dari Al-Qur’an dan Al-Hadits serta menggunakan kitab-kitab karangan Asy-Syafi’i yang disadur dari Al-Wajiz dan kitab karangan Al-Ghazali, juga kitab-kitab lain, di antaranya Al-Muharrar karya Ar-Rafi’i, An-Nihayah karya Ar-Ramli, At-Tuhfah karya Ibnu Hajar Al-Haitami, dan

Fath Al-Wahhab karya Syekh Zakariyya Al-Anshari.57

Pengepungan Keraton oleh Pasukan Belanda dan

Sekutunya

Kecintaan Sunan Pakubuwana IV dalam mencari ilmu agama telah mempertemukannya dengan berbagai macam guru agama dan kiai. Ada saatnya kiai dan guru agama mempunyai pengaruh kuat terhadap Raja Surakarta sehingga tidak saja mempengaruhi sikap keagamaannya melainkan juga sikap politiknya. Peristiwa Pakepung yang terjadi pada awal pemerintahannya merupakan suatu bukti adanya pengaruh kiai dan guru agama terhadap sikap politik yang dijalankannya.

Peristiwa Pakepung terjadi pada tahun 1790 ketika Sunan Pakubuwana IV baru dua tahun dinobatkan sebagai raja Surakarta. Peristiwa ini mempunyai latar belakang keagamaan. Adanya latar belakang semangat keagamaan yang kuat dari peristiwa ini menyebabkan banyak penulis menyebutnya sebagai peristiwa gerakan keagamaan. H.J. de Graaf, misalnya, menyebut peristiwa Pakepung memiliki beberapa kesamaan dengan gerakan Wahabiyah di Arab.58

56 Ibid.

57 Pawarti Surakarta 1939, hlm. 90. Lihat juga: Zarkasji Abdul Salam,

Pengadilan Surambi di Yogyakarta: Studi Historis tentang Peradilan

Agama di Indonesia di Yogyakarta Tahun 1755—1882, Proyek

Perguruan Tinggi Agama, Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 1999. 58 H.J. de Graaf, Geschiedenis van Indonesie, s-Gravenhage-Bandung:

W. van Hope, 1949, hlm. 279.

Peristiwa Pakepung (Oktober-Desember 1790), sebagaimana diceritakan dalam Babad Pakepung,59

berawal dari pengangkatan empat kiai dan santri— Kiai Wiradigda, Panengah, Bahman, dan Nur Saleh—sebagai abdi dalem. Keempatnya menjadi

Abdi Dalem Kinasih (abdi dalem terpercaya).

Pengangkatan ini ditentang oleh para penasihat spiritual keraton, termasuk Yasadipura I.60

Pengaruh keempat abdi dalem kiai ini ternyata begitu besar pada Sunan sehingga banyak keputusan-keputusan politik didasarkan pada nasihatnya. Sunan Pakubuwana IV kemudian mulai mengadakan perubahan–perubahan, seperti:

1. Abdi dalem yang tidak patuh pada

ajaran agama ditindak, digeser, dan bahkan ada yang dipecat seperti yang dialami Tumenggung Pringgalaya dan Tumenggung Mangkuyuda.

2. Sunan Pakubuwana IV juga mengharamkan minuman keras dan opium, sebagaimana ajaran Islam.

3. Setiap hari Jumat, Sunan pergi ke Masjid Agung untuk melaksanakan shalat Jumat, bahkan sering bertindak sebagai khatib atau pemberi khotbah Jumat.

4. Setiap hari Sabtu diadakan latihan perang. 5. Pakaian prajurit yang semula seperti

pakaian prajurit Belanda diubah dengan pakaian prajurit Jawa. 61

Istana Yogyakarta merasa cemas dengan langkah Sunan. Ini karena ada rumor yang mengisyaratkan bahwa Sunan merencanakan perang untuk menyatukan kembali Mataram, yang akan mendelegitimasi Yogyakarta. Rumor pun mulai tersebar dan terdengar oleh Mangkunegara I, yang juga mulai khawatir dengan masa depan kekuasaannya bila rumor itu benar. Tokoh-tokoh

59 Babad Pakepung: Suntingan Teks, Analisis Struktur,

dan Resepsi, Tesis, Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 1990; Serat Babad Pakepung, alih aksara oleh Sri Sulistyowati, Museum Sanapustaka Keraton Surakarta, No. 74 ca-KS# 60 — Reel 101 #2.

60 Edy S. Wirabhumi, Pemberdayaan Hukum Otonomi Daerah dan Potensi Wilayah: Studi tentang Kemungkinan Terbentuknya Provinsi

Surakarta, Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum, Semarang:

Program Pascasarjana, Universitas Diponegoro, 2007, hlm. 90. 61 Purwadi, Sistem Pemerintahan Jawa Klasik, Medan: Pujakesuma,

(19)

senior yang tersisih juga merasa cemas dengan nasibnya di kemudian hari. Mereka kemudian mengajak VOC untuk melawan Pakubuwana IV secara militer.

Pihak Belanda merasa terkejut dan mulai terpengaruh, ketika pada bulan Juli 1789 ada desas-desus bahwa Pakubuwana IV dan para penasihatnya merencanakan pembunuhan besar-besaran terhadap orang-orang kafir Eropa di Jawa. VOC mulai panik karena khawatir ada pengkhianat yang telah menyusup ke bentengnya. Pada bulan September 1789 residen VOC di Surakarta menghadiri pertemuan rahasia di dalam Keraton dengan memakai pakaian Jawa.

Akhirnya para penentang Pakubuwana IV dapat meyakinkan VOC bahwa diperlukan langkah-langkah militer untuk menghentikan rencana-rencana Pakubuwana IV. Bahaya yang mungkin timbul dari rencana-rencana Pakubuwana IV dipandang akan sangat dahsyat oleh Hamengkubuwana I dan Mangkunegara I sehingga untuk pertama kalinya selama hampir 40 tahun mereka bertindak bersama.62

Berbagai kebijakan Sunan di Surakarta ini menimbulkan kekhawatiran pihak Kompeni. Kompeni pun mengirim utusan yang dipimpin langsung oleh Gubernur dan Direktur Java’s

Noord-en Ooskust yang berpusat di Semarang, yaitu

Jan Greeve.63 Dari tanggal 16 September hingga

6 Oktober 1790 Jan Greeve berada di Surakarta. Tuntutannya satu, yakni Sunan harus menyerahkan keempat orang abdi dalem kepercayaannya karena mereka inilah yang dianggap sebagai biang keladi berbagai kebijakan itu.

Pada bulan November 1790 musuh-musuh Pakubuwana IV mulai mengepung istana. Beberapa ribu pasukan Yogyakarta dan Mangkunegaran mengambil posisi di sekitar Keraton Surakarta. VOC mengirim beberapa ratus serdadu Madura, Bugis, Melayu, dan Eropa ke bentengnya yang ada di dalam kota dan dekat dengan istana.

62 Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, Cetakan X, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2011, hlm. 159.

63 J.K.J. de Jong dan M.L. Deventer (eds.), de Opkomstvan het NederlandschGezg in Oost Indie, verzamling van Onuitgegeven

Stukken uit het Oud-kolonial Archief Volume XII, s’Gravenhage:

Martinus Nijhoff, 1909, hlm. 209—228.

Para pangeran dan para pejabat senior istana mendesak Pakubuwana IV supaya menyingkirkan para penasihatnya (Abdi Dalem Kinasih) serta membuang rencana-rencara mereka. Isu-isu yang dilontarkan tidak pernah terbukti. Kenyataannya tidak ada langkah-langkah militer Pakubuwana IV sebagaimana yang dikhawatirkan.64

Sunan Pakubuwana IV—yang melihat kuatnya pengepungan terhadap keratonnya—merasa bingung. Akhirnya, atas bujukan Kiai Yasadipura I, Sunan bersedia menyerahkan para Abdi Dalem Kinasih. Dengan ditangkap dan dibuangnya orang-orang kepercayaan Sunan tersebut, pengepungan terhadap Keraton Surakarta dihentikan.

Keempat Abdi Dalem Kinasih adalah ulama yang dikenal anti dengan pemerintah kolonial Belanda. Mereka juga berhasil menanamkan ajaran Islam di kalangan penguasa dan pejabat tinggi Kasunanan Surakarta. Banyak kebijakan-kebijakan Raja yang didasarkan ajaran mereka dan ini dianggap sebagai ancaman bagi kolonial Belanda. Sampai-sampai di dalam Babad Mangkubumi

dijelaskan doktrin-doktrin mereka adalah sihir yang menyeleweng dari hukum-hukum Rasul. Namun, tudingan ini dibantah oleh Sunan Pakubuwana IV; bahwa tidak benar ajaran mereka itu jahat karena mereka mengikuti sepenuhnya kitab Al-Qur’an.

Pemerintah Kolonial bersikeras untuk menangkap mereka. Melalui Pangeran Purbaya, Mangkubumi, Buminata, dan Ngabehi, pada tanggal 26 November 1790 keempat abdi kinasih tersebut dibawa ke benteng Belanda. Pembelaan yang dilakukan oleh Sunan Pakubuwana IV tidak sia-sia sehingga keempat abdi kinasih tersebut tidak sampai dihukum mati.65

64 Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, Cetakan X, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2011, hlm. 160.

65 Ricklefs, M.C., Yogyakarta Under Sultan Mangkubumi 1749—1792:

A History of the Division of Java, London: Oxford University Press,

(20)

Perjuangan Bersenjata Pakubuwana IV dan Kerja

Sama dengan Hamengkubuwana II

Pakubuwana IV tercatat telah beberapa kali melakukan perang melawan penjajah. Ketika VOC bangkrut dan dibubarkan Pemerintah Belanda ia berperang melawan Belanda, pada tahun 1793 ketika terjadi Revolusi Prancis, tahun 1805 ketika Belanda menjadi negara di bawah Prancis, dan pada tahun 1815 ia bekerjasama dengan tentara Sepoy dari India, yaitu tentara yang dibawa Inggris ketika menduduki Jawa.66

Pakubuwono IV dan Hamengkubuwana II telah beberapa kali bekerja sama memerangi Penjajah (Belanda maupun Inggris). Akhirnya kerja sama antara Pakubuwana IV dan Hamengkubuwana II terbongkar. Hamengkubuwana II kemudian diasingkan ke Srilanka pada tahun 1815.67 Pihak

Inggris tidak menurunkan Pakubuwana IV dari takhta, tetapi merebut beberapa wilayah Surakarta.68

Pada akhir tahun 1815, selama pendudukan singkat Inggris di Jawa (1811-1816), Kapten Bengali Sepoy Dhaugkul Singh dan anak buahnya merencanakan operasi untuk membunuh semua orang Inggris, Belanda, dan penduduk Cina di Jawa Tengah, dan akan mengangkat Singh sebagai gubernur Jawa. Bulan-bulan sebelumnya mereka telah mengadakan beberapa pertemuan rahasia, antara orang Sepoy Bengali dan sejumlah bangsawan Jawa untuk mengambil bagian dalam rencana serangan.

Di antara daftar pemimpin Jawa yang terkenal adalah Pakubuwana IV, Sunan (raja) dari Jawa dan penguasa Kasunanan Surakarta. Tetapi, tanpa sepengetahuan orang Sepoy Bengali, Pakubuwana IV punya rencana sendiri. Dia setuju untuk bergabung dengan pasukan Singh, tetapi direncanakan hanya untuk memanfaatkan kekuatan militer Sepoy dalam usahanya untuk mengusir Inggris dari Jawa. Setelah Inggris

66 Lihat: Carey, Peter B.R., The Sepoy Conspiracy of 1815 in Java, Brill, 1977, hlm. 294, http://www.jstor.org/stable/ 27863129. Diakses pada 13/10/2016, 16.53.

67 G.P.H. Djatikusumo, Sedjarah Politik Hingkang Sinuwun Kandjeng

Susuhunan Pakubuwana VII. Surakarta: Panityo Kol Dalem

Pakubuwana VII, 1971, hlm. 9—10.

68 G.P.H. Djatikusumo, Sedjarah Politik Hingkang Sinuwun Kandjeng

Susuhunan Pakubuwana VII. Surakarta: Panityo Kol Dalem

Pakubuwana VII, 1971, hlm. 6—7.

dikalahkan, Pakubuwana IV merencanakan untuk merebut kembali kekuasaan atas Dinasti Kerajaan Jawa. Namun, rencana Pakubuwana IV bersama pasukan Sepoy tidak berhasil dijalankan. Selama tahap perencanaan, rencana itu bocor ke seorang perwira Inggris dan gagal dilaksanakan.

Para pemimpin Sepoy dan beberapa bangsawan Jawa (termasuk Hamengkubuwana II) kemudian dieksekusi atau diasingkan. Pada akhirnya pejabat Inggris menganggap perlawanan bersama terhadap kolonial dari dua kelompok yang berbeda etnis dan agama sebagai sebuah “konspirasi” dan usaha pemberontakan yang gagal.

Meskipun rencana dari kedua kelompok ini tidak pernah terealisasi, hal itu tetap menggambarkan kebencian yang tumbuh dari mereka yang dianggap “inferior” oleh Inggris. Hal ini juga menggambarkan cara masyarakat yang berusaha menggunakan agama untuk memposisikan diri sebagai oposisi terhadap penjajah. Orang Sepoy dan Jawa percaya bahwa non-Muslim dan atau non-Hindu tidak seharusnya memerintah atas mereka. 69

Gagal dengan Perlawanan Fisik, Beralih ke

Perlawanan Pena

Pengembalian kekuasaan politik penguasa dan pendidikan masyarakat yang dilakukan oleh klan raja yang merangkap pujangga adalah akibat dari ekspansi kolonial Kompeni Belanda, yang mempersempit kekuasaan politik dan ekonomi sehingga para raja Surakarta lebih menekankan pada pengembangan sektor kebudayaan.70

Paku Buwana IV, raja dan pujangga Kasunanan Surakarta, melihat kondisi masyarakat yang terpengaruh oleh budaya Belanda yang mengakibatkan berkurangnya gerak kekuasaan Raja. Ia berusaha untuk mengembalikan kewibawaan raja dan pejabat Keraton serta mendidik masyarakat dengan cara membuat karya sastra. Sunan Pakubuwana IV (1788-1820) termasuk salah seorang pujangga yang menunjang

69 ---, Cross-Colonial Cooperation In Nineteenth-Century Java: Examining The Sepoy Conspiracy Of 1815 in A World History

Context, The Middle Ground Journal Number 6, Spring 2013, hlm.

1—2.

(21)

strategi kebudayaan yang dilancarkan sejak akhir abad ke-18 hingga awal abad ke-19.71

Kemiskinan dan penderitaan mengakibatkan rakyat semakin putus asa dan merasa lemah tidak punya kekuatan untuk melawan kekejaman kaum penjajah. Hal ini menyebabkan rakyat merindukan datangnya Ratu Adil sebagai pembebas dan penegak keadilan yang diharapkan akan membalaskan sakit hati mereka terhadap kekejaman kaum penjajah dan akan membawa kepada Kerajaan Jawa yang adil dan makmur.

Kehilangan kekuasaan politik dan kenegaraan, ditambah lagi semakin memudarnya kepercayaan rakyat terhadap Kerajaan, menyebabkan Keraton semakin hilang pamornya. Oleh sebab itu, para pujangga Keraton mulai mengalihkan fungsi istana; dari berbagai pusat pemerintahan menjadi pusat perkembangan rohani dan kebudayaan spiritual. Usaha tersebut dipandang sebagai satu-satunya jalan untuk mempertahankan wibawa Islam sebagai pusat kebudayaan Jawa.72

71 Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, Jakarta: Balai Pustaka, 1994, hlm. 317.

72 Simuh, Sufisme Jawa: Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa, Cetakan II, Yogyakarta: Yayasan Benteng Budaya, 1996, hlm. 150.

Kesimpulan

Pada masa pemerintahan Sunan Pakubuwana IV telah ada upaya penegakan syariat Islam di Keraton Surakarta, hal itu ditandai dengan berbagai upaya dari Sunan untuk menegakkan aturan-aturan Islam yang sesuai dengan Al-Qur’an dan Al-Hadits di kalangan abdi dalem dan lingkungan istana serta rakyat Keraton Surakarta pada umumnya. Raja menjalin hubungan dengan para ulama dengan berbagai disiplin ilmu dan memintanya untuk mendampingi Sunan memperbaiki tata kelola politik negara islami Kasunanan Surakarta. Hal itu dilakukan karena Kasunanan Surakarta merupakan kelanjutan atau penerus dari Mataram Islam yang merupakan negara islami yang mendasarkan diri dengan aturan dan hukum Islam.

Dengan usaha itu, Sunan ingin mengembalikan kejayaan dan khitah sebagai negara Islam yang menjadi cita-cita pendiri Mataram pada masa lalu yang mulai pudar dengan berbagai penyelewengan yang terjadi dari waktu ke waktu. Sebagai raja muda yang baru naik tahta, Sunan Pakubuwana IV mempunyai jiwa muda dengan idealismenya yang tinggi untuk meluruskan penyelewengan yang ia amati. Ia juga berusaha mempraktikkan ilmu yang selama ini dipelajari dari para ulama dan kitab-kitab yang didalami.

Upaya tersebut di atas dilakukan dengan damai. Namun, tetap saja Sunan Pakubuwana IV dimusuhi oleh Belanda dan sekutunya karena khawatir kepentingan mereka terganggu. Permusuhan terutama dikobarkan oleh para pejabat yang disingkirkan oleh Sunan karena melanggar aturan yang ditetapkan. Mereka merasa bahwa kedekatan Sunan dengan para ulama serta upaya penerapan syariat Islam adalah ancaman. Para mantan pejabat ini berkolaborasi dengan penjajah dan melontarkan berbagai isu untuk menggalang dukungan dari berbagai fihak untuk melawan Sunan.

Meski demikian, setelah peristiwa Pakepung

(22)

kali melakukan perang melawan penjajah. Ketika VOC bangkrut dan dibubarkan Pemerintah Belanda, ia berperang melawan Belanda pada tahun 1793. Demikian pula pada tahun 1805, ketika Belanda menjadi negara bawahan Prancis. Selanjutnya pada tahun 1815, ia bekerja sama dengan tentara Sepoy dari India untuk melawan Inggris. Tentara Sepoy adalah tentara yang pernah dibawa Inggris ketika sedang berperang melawan Amerika Serikat.

Sebenarnya, Sunan Pakubuwana IV sebagai raja Kasunanan Surakarta yang sah telah mengedepankan upaya damai untuk mengembalikan eksistensi Kasunanan Surakarta yang semakin pudar tersaingi oleh penjajah Belanda. Hal itu tampak dari berbagai kebijakan yang ia buat. Namun, upaya penegakan syariat Islam—dengan bagaimanapun caranya dan oleh siapapun—akan dianggap sebagai ancaman oleh orang kafir dan pembelanya yang tidak suka dengan aturan hukum (syariat) Islam.

Referensi

Dokumen terkait

Ryantono Puji Santoso, L100090046, Konflik Budaya Dalam Bingkai Media (Studi Proses Produksi Media pada Kasus Berita Rekonsiliasi Keraton Surakarta Hadiningrat di Harian

(2) pengintegrasian syariat islam dalam pembelajaran di luar kelas adalah sebagai berikut; yang aturannya secara umum tertuang dalam buku amal sholeh SDIT Ar Risalah Surakarta,

Pemerintahan Republik Indonesia, yang mendasarkan diri pada Pancasila dan bukan merupakan negara agama atau negara sekuler, telah melakukan formalisasi syariat Islam

Sepanjang status kawasan yang didiami oleh masyarakat Baluwarti merupakan Kawasan Cagar Budaya (Keraton Kasunanan Surakarta), maka sepanjang itu pula instrumen yang

Disertasi yang berjudul: “IDEOLOGI TARI BEDHAYA KERATON KASUNANAN SURAKARTA DAN TARI BEDHAYAN DI SURAKARTA TAHUN 1990-2019” ini adalah karya penelitian saya sendiri dan

Hasil penelitian yang saya lakukan menunjukan bahwa (1) tradisi sekaten di Keraton yogyakarta adalah sebuah perayaan yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga untuk memperingati

Aceh sudah sangat baik hal ini dapat diketahui dalam pelaksanaan penegakan syariat Islam di Kota Banda Aceh yang dilaksanakan oleh Satuan Polisi Pamong Praja dan Wilayatul Hisbah telah

Berdasarkan pemaparan-pemaparan yang telah disebutkan, maka timbul rumusan- rumusan masalah untuk mengetahui pengaruh Islam dan Eropa di Keraton Yogyakarta dan Surakarta, khususnya pada