• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGUASAAN TANAH OLEH MASYARAKAT BALUWARTI DI DALAM KAWASAN KERATON SURAKARTA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PENGUASAAN TANAH OLEH MASYARAKAT BALUWARTI DI DALAM KAWASAN KERATON SURAKARTA "

Copied!
99
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

PENGUASAAN TANAH OLEH MASYARAKAT BALUWARTI DI DALAM KAWASAN KERATON SURAKARTA HADININGRAT

OLEH : BUDI UTOMO

B111 13 583

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR

2018

(2)

i

HALAMAN JUDUL

PENGUASAAN TANAH OLEH MASYARAKAT BALUWARTI DI DALAM KAWASAN KERATON SURAKARTA

HADININGRAT

OLEH :

BUDI UTOMO B111 13 583

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Tugas Akhir Dalam Rangka Penyelesaian Studi Sarjana Dalam Program Studi Ilmu Hukum

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR

2018

(3)

ii

(4)

iii

PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI

Yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : BUDI UTOMO

Nomor Induk Mahasiswa : B 111 13 583 Jenjang Pendidikan : S1

Program Studi : Ilmu Hukum

Menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul “PWNGUASAAN ANAH OLEH MASYARAKAT BALUWARTI DI DALAM KAWASAN KERATON SURAKARTA HADININGRAT” adalah BENAR merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilan tulisan atau pemikiran orang lain.

Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan isi Skripsi ini hasil karya orang lain atau dikutip tanpa menyebut sumbernya, maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.

Makassar, 28 November 2018

BUDI UTOMO

(5)

iv iv

(6)

v

(7)

vi ABSTRAK

Budi Utomo (B111 13 585) “Penguasaan Tanah Oleh Masyarakat Baluwarti Di Dalam Kawasan Keraton Kasunanan Surakarta”. Di bawah bimbingan Prof. Dr. A. Suryaman Mustari Pide S.H., M.Hum. sebagai Pembimbing I dan Dr. Sri Susiyanti Nur S.H., M.H. sebagai Pembimbing II.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui eksistensi, status hukum, dan implikasi hukum penguasaan tanah oleh masyarakat Baluwarti di dalam kawasan Keraton Kasunana Surakarta. Penelitian ini menggunakan metode penelitian studi kepustakaan (library research) dan studi lapangan (field research). Adapun hasil penelitian ini, Eksistensi penguasaan tanah oleh masyarakat Baluwarti di kawasan Keraton Surakarta Hadiningrat bermula sejak pindahnya Kerajaan Surakarta ke desa Sala dan membangun sebuah benteng yang hingga kini dikenal sebagai Keraton Surakarta Hadiningrat. Pada masa itu (1755) Paku Buwono II yang menjabat sebagai Sri Susuhunan (raja) membangun wilayah Baluwarti di dalam kawasan Keraton guna dihuni oleh keluarga Keraton dan Kerabat Keraton untuk keberlangsungan hidup Keraton Surakarta. Dalam perkembangannya pada masa sekarang bukan hanya keluarga Keraton dan Kerabat Keraton yang menempati wilayah Baluwarti, melainkan masyarakat pendatang yang datang bermukim di wilayah tersebut karena berbagai alasan. Status penguasaan tanah di Baluwarti dibagi menjadi empat bentuk alas hak untuk menentukan status penguasaan tanah yang dibagi berdasarkan peruntukannya, yaitu hak anggaduh, hak magersari, hak sewa, dan hak nenggo/ tenggan. Implikasi hukum yang mengatur penguasaan tanah oleh masyarakat Baluwarti mengacu pada instrumen yang berlaku.

Sepanjang status kawasan yang didiami oleh masyarakat Baluwarti merupakan Kawasan Cagar Budaya (Keraton Kasunanan Surakarta), maka sepanjang itu pula instrumen yang mengatur mengenai penguasaan tanah di dalam kawasan tersebut mengacu pada Undang-Undang Cagar Budaya yang juga diperkuat oleh Keputusan Presiden Nomor 23 Tahun 1988 tentang Status dan Pengelolaan Keraton Kasunanan Surakarta yang menekankan bahwa pihak Keraton merupakan penguasa atas wilayah Keraton termasuk wilayah Baluwarti, meski disatu sisi UUPA memberi ruang untuk peningkatan status hak menjadi Hak Milik.

Kata Kunci: Status penguasaan, Swapraja, Kawasan Cagar Budaya

(8)

vii ABSTRACT

Budi Utomo (B111 13 585) "Land Control by the Baluwarti Community Inside the Surakarta Kasunanan Palace Area". Under the guidance of Prof. Dr.

A. Suryaman Mustari Pide S.H., M.Hum. as Advisor I and Dr. Sri Susiyanti Nur S.H., M.H. as Advisor II. This study aims to determine the existence, legal status, and legal implications of land tenure by the Baluwarti community in the Surakarta Kasunana Palace area. This study uses library research research methods (field research) and field studies (field research). As for the results of this study, the existence of land control by the Baluwarti community in the Hadiningrat Surakarta Castle area dates back to the relocation of the Surakarta Kingdom to the village of Sala and built a fort that is now known as the Surakarta Hadiningrat Palace. At that time (1755) Paku Buwono II who served as Sri Susuhunan (king) built the Baluwarti area within the Castle area to be occupied by the Castle family and relatives for the survival of the Surakarta Palace. In its development at the present time not only the Castle family and the Castle family who occupy the Baluwarti area, but immigrant communities who come to settle in the region for various reasons. Land tenure status in Baluwarti is divided into four basic forms of rights to determine land tenure status which is divided based on its designation, namely rights, magersari rights, lease rights, and land rights. The legal implications governing land tenure by the Baluwarti community refer to the applicable instruments. As long as the status of the area inhabited by the Baluwarti community is a Cultural Heritage Area (Surakarta Kasunanan Palace), so far the instruments governing land ownership in the area refer to the Cultural Heritage Act which is also reinforced by Presidential Decree No. 23 of 1988 concerning Status and Management of the Surakarta Kasunanan Palace which emphasizes that the Palace is the ruler of the Keraton area including the Baluwarti area, although on the one hand the UUPA gives space to increase the status of rights to right of ownership.

Keywords: Mastery status, self-employment, region cultural heritage

(9)

viii KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas berkah dan limpahan rahmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan tulisan skripsi dengan judul “ Penguasaan Tanah Oleh Masyarakat Baluwarti di Dalam Kawasan Keraton Surakarta Hadiningrat “ walaupun masih dengan kesempurnaan dan masih banyak kekurangan dalam tulisan ini. Shalawat menyertai salam atas junjungan Nabiullah Muhammad SAW yang telah mengantarkan umat muslim dari jaman kegelapan ke jaman yang terang benderang seperti saat ini. Skripsi ini disusun berdasarkan data-data hasil penelitian sebagai tugas akhir untuk memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1) dari Program Studi Ilmu Hukum Departemen Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.

Dengan kerendahan hati dan secara sadar penulis haturkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada Orang Tua Penulis yaitu Ibunda Sunarsi dan Ayahanda Purwanto Hadi P. beserta keluarga yang tak henti- hentinya memberikan doa, kasih sayang, semangat dan pelajaran hidup yang berharga bagi penulis.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini tidak dapat terselaikan tanpa bantuan moril maupun materil dari berbagai pihak, oleh karena itu penulis

(10)

ix ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan tulisan ini, terutama kepada :

1. Ibu Prof. Dr. Dwia Aries Tina Pulubuhu, M.A.. Selaku Rektor Universitas Hasanuddin dan jajarannya.

2. Ibu Prof. Dr. Farida Patittingi, S.H.,M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin dan jajarannya.

3. Bapak Dr. Winner Sitorus, S.H.,M.H., LLM. selaku ketua Departemen Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin dan jajarannya.

4. Ibu Prof. Dr. Andi Suryaman M.P ,S.H.,M.Hum, selaku Pembimbing I dan Ibu Dr. Sri Susyanti Nur, S.H., M.H., selaku Pembimbing II yang senantiasa meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan kepada penulis. Maaf jika penulis terkadang mengganggu dan terbilang lama menyelesaikan skripsi ini.

5. Bapak Prof. Dr. Aminuddin Salle, S.H.,M.H., Bapak Dr. Kahar Lahae, S.H.,M.H dan Bapak Ramli Rahim S.H.,M.H., selaku penguji.

6. Ibu Eka Merdekawati, S.H., M.H selaku Pembimbing Akademik penulis.

7. Bapak-bapak/ibu-ibu staf pengajar (Dosen) Fakultas Hukum Iniversitas Hasanuddin dan pegawai akademik Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin yang senantiasa memberikan bimbingan, arahan, serta bantuannya selama proses perkuliahan,

(11)

x 8. Semua Guru dari Sekolah Dasar sampai sekarang, terkhusus kepada Ayahanda Burhanuddin S.pd dan Drs. Jamaluddin selaku pembimbing dalam Satuan Pramuka dan telah memberikan banyak pelajaran hidup.

9. Kakanda M. Ainuddin Parampasi, S.H dan Mochammad Ilham Sardi Sufri, S.H yang telah memberikan bimbingan dalam menyelesaikan skripsi ini.

10. Keluarga Besar AMPUH UNHAS, HUMAN ILLUMINATION, UKM BASKET HUKUM UNHAS, dan UKM BASKET UNHAS.

11. Teman-teman KKN Gel.93 Posko RANGA, ENREKANG, Terima kasih telah menjadi keluarga baru penulis selama berada di lokasi KKN.

12. Teman-teman angkatan 2013 (ASAS), terima kasih atas perjuangan bersamanya selama menjadi keluarga mahasiswa FH.UH.

13. Keluarga Besar DL16 selaku keluarga seperjuangan dalam perantauan.

14. Teman dekat penulis dalam hal ini Hafsari Astra Dewi yang telah memberikan semangat dan nasehat dalam hidup penulis.

15. Teman-teman seperjuangan sekaligus sahabat dalam hal ini Bagas Julnizar S.H, M. Yunus Fadli, Djabal Nur, M. Yunus S, dan Akbar dondo, Kasma, dll, yang telah memberikan semangat dalam penelisan skripsi ini.

16. Teman-teman KAKATUA BASKETBALL terkhususnya Muh. Syamsul Wahyudi, M. Syukriadi, ayat hidayat, Rifani Arfandi, andi ranchman, dan Zulfadheli Jaya.

(12)

xi 17. Saudara-saudara yang telah menemani penulis dalam melakukan penelitian dalam hal ini Hafit Prasetyo, Mas isa, Mas Acil, Mas Cahyo, Mas Joko, Mas Jabrik dan Mas iwan.

18. Orang-orang yang menyepelekan, membenci ataupun menghujat penulis selama ini. Terima kasih, itu adalah modal besar bagi penulis untuk menjadi kuat.

19. Seluruh alam semesta beserta isinya yang penulis tak sempat menulisnya satu persatu.

Makassar, 28 November 2018

Penulis,

BUDI UTOMO

(13)

xii DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI... iii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv

HALAMAN PERSETUJUAN MENEMPUH UJIAN ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Permasalahan ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Kegunaan Penelitian ... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 10

A. Pengertian Tanah ... 10

B. Hak Penguasaan atas Tanah ... 11

1. Pengertian Penguasaan atas Tanah ... 11

2. Hak-Hak atas Tanah Menurut Hukum Tanah Nasional .. 15

a. Hak Bangsa ... 15

b. Hak Menguasai dari Negara atas Tanah... 17

c. Hak Ulayat ... 20

b. Hak Perseorangan ... 22

3. Macam-Macam Hak atas Tanah ... 23

a. Hak Milik ... 23

b. Hak Guna Usaha ... 24

c. Hak Guna Bangunan ... 25

(14)

xiii

d. Hak Pakai ... 25

e. Hak Sewa ... 26

4. Konsep Pemilikan dan Penguasaan Tanah Menurut Hukum Barat ... 27

5. Konsep Pemilikan dan Penguasaan Tanah Menurut Hukum Adat ... 28

6. Konsep Pemilikan dan Penguasaan Tanah Menurut Hukum Tanah Nasional (UUPA) ... 31

C. Konversi Hak atas Tanah ... 32

1. Prinsip-Prinsip Konversi Hak atas Tanah ... 34

a. Prinsip Nasionalitas ... 34

b. Prinsip pengakuan hak-hak tanah terdahulu ... 34

c. Prinsip Kepentingan Umum ... 35

d. Prinsip Penyesuaian Kepada Kepentingan Konversi 35

e. Prinsip Status Quo Hak-Hak atas Tanah Terdahulu . 36 2. Dasar Hukum Konversi Hak atas Tanah ... 36

3. Tujuan Konversi Hak atas Tanah ... 37

D Cagar Budaya ... 38

1. Pengertian ... 38

2. Jenis-jenis Cagar Budaya ... 39

3. Situs Cagar Budaya ... 39

4. Tata Cara Pendaftaran dan Penetapan Caga Budaya ... 40

5. Status Keraton Surakarta Hadiningrat sebagai Cagar Budaya ... 42

BAB III METODE PENELITIAN ... 44

A. Jenis Penelitian ... 44

B. Lokasi Penelitian ... 44

C. Populasi dan Sampel ... 44

1. Populasi ... 44

2. Sampel ... 44

3. Narasumber ... 45

(15)

xiv

D. Jenis dan Sumber Data ... 45

1. Data Primer ... 45

2. Data Sekunder ... 45

E. Metode Pengumpulan Data ... 46

1. Studi Lapangan ... 46

2. Studi Kepustakaan ... 47

F. Analisis Data ... 47

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 48

A. Gambaran Umum Lokasi ... 48

B. Eksistensi Penguasaan Tanah oleh Masyarakat Baluwarti di dalam Kawasan Keraton Surakarta Hadiningrat ... 50

1. Awal Mula Keberadaan Masyarakat Baluwarti ... 50

2. Perkembangan Masyarakat Baluwarti ... 50

C. Status Hukum Penguasaan Tanah oleh Masyarakat Baluwarti di dalam Kawasan Keraton Surakarta Hadiningrat ... 53

1. Pola Penguasaan dan Kepemilikan Tanah di Kawasan Keraton Surakarta Hadiningrat ... 53

2. Pembagian Tanah di Keraton Surakarta Hadiningrat ... 56

D. Implikasi Hukum Penguasaan Tanah oleh Masyarakat Baluwarti di dalam Kawasan Keraton Surakarta Hadiningrat ... 61

1. Perkembangan Pengaturan Pertanahan di Keraton Surakarta Hadiningrat ... 61

2. Instrumen Peraturan Pertanahan Bekas Swapraja di Keraton Surakarta Hadiningrat ... 62

3. Implikasi Hukum Penguasaan Tanah oleh Masyarakat Baluwarti di dalam Kawasan Keraton Surakarta Hadiningrat ... 74

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 76

(16)

xv A. Kesimpulan... 76 B. Saran . ... 77 DAFTAR PUSTAKA ... 78 LAMPIRAN

(17)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tanah merupakan modal dasar bagi berlangsungnya kehidupan manusia. Sebagai sebuah modal dasar, maka tanah memiliki dua fungsi yaitu fungsi produksi dan fungsi non produksi. Kebutuhan akan penggunaan tanah yang terbatas, pada sisi yang lain terdapat ledakan pertumbuhan penduduk.1

Tanah menjadi sangat penting ketika terdapat dua makna atas arti penting tanah. Tanah dapat diartikan sebagai nilai ekonomi, pada sisi yang lain tanah diartikan memiliki kegunaan ekonomi. Pada saat itulah memunculkan konflik tanah yang tampaknya tidak mudah untuk dipecahkan.

Hukum tanah muncul sebagai sebuah jawaban atas kepentingan manusia terhadap tanah. Hukum memberikan batas terhadap kepemilikan tanah. Tanah tidak dapat dilepaskan pengaturannya pada hubungan yang bersifat murni, akan tetapi tanah merupakan sebuah domein Negara.

Tanah merupakan sumber bagi pencapaian kemakmuran suatu bangsa, dan ketika berbicara bangsa maka Negara berperan secara aktif dalam

1 Rizko Kuniawan. Tesis. TANAH DI KERATON SURAKARTA, Fakultas Hukum Sosial dan Ilmu Politik, hlm 1

(18)

2 pengelolaan dan pemanfaatan tanah. Pasal 33 (3) UUD 1945 memberikan landasan yuridis atas penguasaan sumber daya alam, dimana salah satunya adalah tanah. Tanah harus digunakan untuk mencapai sebuah taraf kemakmuran bagi rakyat Indonesia, akan tetapi pada tataran praktik yang terjadi banyak muncul konflik tanah.

Konflik tanah tidak mudah untuk diselesaikan. Hal ini dapat dipahami mengingat menguasai tanah bukan sekedar penguasaan atas sebidang objek fisik berupa tanah, melainkan sebuah keyakinan bahwa tanah mengandung nilai religio magis2 yang kuat dalam kalangan masyarakat.

Masuknya investasi yang memandang bahwa tanah sebagai sebuah objek fisik bernilai ekonomi akan berhadapan dengan masyarakat yang masih memandang bahwa tanah tidak sekedar bernilai ekonomis tetapi mengandung nilai sakral, karena di tanah tersebut ia dilahirkan, orang tua dimakamkan, harga diri dimunculkan dalam bentuk penguasaan atas tanah.

Benturan makna atas tanah muncul ketika saling berhadapannya ipso jure versus ipso facto. Ipso jure yang berasal dari konsep hukum barat berhadapan dengan ipso facto yang berasal dari konsep hukum adat.

Secara yuridis (ipso jure) masyarakat dianggap sebagai pemilik yang sah atas tanah jika ia sebagai subjek hukum dapat membuktikannya dengan

2 Religio magis memiliki arti para warga persekutuan hukum (masyarakat) yang bersangkutan dan pikirannya masih kuat dipengaruhi oleh serba rohyang menciptakan gambaran bahwa segala sesuatu yang bersangkutan dengan pemanffaatan atau pendayagunaan tanah harus dilakukan secara hati-hati.

(19)

3 alat bukti hukum berupa surat sertipikat tanah. Tetapi secara ipso facto, masyarakat menganggap bahwa ia memiliki sebidang tanah tidak dibuktikan melalui ada atau tidak adanya surat bukti kepemilikan berupa sertipikat tanah, tetapi dari hubungan intensitas yang terjadi antara manusia dengan tanah, semakin intens hubungan dengan tanah, maka pengakuan atas kepemilikan tanah tersebut akan semakin kuat. Tidak heran jika di masyarakat seperti dilingkungan Keraton Surakarta tidak memiliki sertipikat tanah karena merasa telah memiliki tanah tersebut secara turun-temurun. Turun-temurun menempati sebidang tanah menjadi bukti pengakuan atas kepemilikan tanah. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 pasal 24 ayat 2 tentang Pendaftaran tanah disebutkan bahwa seseorang yang telah menguasai suatu tanah secara sah selama 20 tahun berturut-turut dengan Itikad baik tanpa adanya klaim dari pihak lain, berhak untuk mengajukan pengakuan hak pada kantor pertanahan setempat untuk mendapatkan hak.

Terjadinya konflik tanah diatas dapat kita sederhanakan penyebabnya yaitu adanya perbedaan pemahaman konsep kepemilikan dan adanya perbedaan makna penggunaan tanah, serta terdapatnya ketimpangan persediaan luas tanah apabila dibandingkan dengan laju pertumbuhan jumlah penduduk. Hal inilah yang terjadi di Keraton Surakarta, dimana terdapat perbedaan pandangan antara pihak Keraton selaku pemilik tanah dan masyarakat pendatang yang menghuni kawasan Keraton Surakarta.

(20)

4 Sebelum kemerdekaan Indonesia, pemerintahan yang ada di surakarta berbentuk kerajaan. Pada setiap daerah kerajaan tersebut, tanah dianggap milik raja. Sementara rakyat hanya memakainya (anggaduh). Untuk tanah-tanah yang dikuasai dan dipergunakan oleh rakyat, pihak Keraton menerbitkan peraturan-peraturan. Peraturan yang dikeluarkan oleh pihak Keraton dalam bentuk rijksblad (Rijksblad Surakarta, tahun 1938 no. 11) yang dalam bahasa jawa disebut “Layang Kabar Nagoro”.

Setelah kemerdekaan, tanah yang semula dianggap milik raja beralih menjadi tanah yang dikuasai oleh Negara. Pada daerah Surakarta, status tanah yang dikuasai atau yang berada dibawah wewenang dan hak Keraton atau bekas swapraja didasarkan pada peraturan perundangan yang dikeluarkan oleh pemerintah Republik Indonesia yang berupa Penetapan Pemerintah No. 16/SD/1948 yang berisi tentang pembekuan pemerintah Keraton Surakarta menjadi satu karesidenan.

Pembentukan Propinsi Jawa Tengah ditetapkan dengan Undang- Undang No. 10 Tahun 1950 tanggal 4 Juli 1950. Dalam undang-undang tersebut diawali dengan penghapusan Pemerintah Daerah Karesidenan Semarang, Pati, Pekalongan, Banyumas, Kedu, dan Surakarta, serta membubarkan DPRD karesidenan-karesidenan tersebut. Selanjutnya daerah-daerah bekas Karesidenan Semarang, Pati, Pekalongan, Banyumas, Kedu, dan Surakarta ditetapkan menjadi Propinsi Jawa

(21)

5 Tengah. Surakarta yang pada pembentukan propinsi Jawa Tengah pada sidang PPKI tanggal 19 Desember 1945 tidak termasuk dalam wilayah Propinsi Jawa Tengah, ternyata dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 1950 dimasukan sebagai bagian dari Propinsi Jawa Tengah.3

Dimasukannya wilayah Surakarta ke dalam Propinsi Jawa Tengah dapat dikatakan merupakan kecelakaan sejarah karena mengingkari Maklumat Presiden No. 1 Tahun 1946, serta Penetapan Pemerintah No.

16/SD Tahun 1946 tentang Pemerintah di Daerah Istimewa Surakarta dan Yogyakarta tanggal 15 Juli 1946, yang menyatakan bahwa pembentukan Karesidenan Surakarta hanya untuk sementara waktu saja sampai diterbitkannya undang-undang tentang pemerintahan di Kasunanan dan Mangkunegaran.4 Mulai saat itu tidak ada pemerintah Keraton Surakarta atau daerah swapraja, yang ada hanya penyebutan bekas swapraja.

Demikian pula tanah yang dulu dikuasai oleh Keraton Surakarta berubah menjadi tanah bekas swapraja termasuk komplek Baluwarti.

Komplek “Baluwarti” berasal dari bahasa Portugis “baluarte” yang berarti benteng, dalam bahasa Jawa artinya tembok istana. Baluwarti merupakan batas istana yang di bagian dalam terdapat istana dan tempat tinggal raja beserta keluarganya (sentana dalem) serta abdi dalem terdekat dengan raja. Dikaitkan dengan konsepsi kota Jawa masa lalu,

3 Imdat Mustagfirin, 2016, KEDUDUKAN KERATON SURAKARTA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1950 TENTANG PEMBENTUKAN PROVINSI JAWA TENGAH, JOM Fakultas Hukum, Vol. 3, hlm 8

4 Ibid.

(22)

6 Kampung Baluwarti dapat diartikan sebagai “kutha” Sala. Pengertian kutha dalam masyarakat Jawa bersifat simbolis, adalah suatu lingkungan pemukiman yang terletak di dalam tembok Benteng kediaman pemimpin daerah atau wilayah. Secara harafiah, kutha berarti daerah pemukiman yang dilindungi oleh dinding yang dibangun mengelilingi bentuk persegi (Wiryomartono, 1995). Komplek Baluwarti pada awalnya hanya didiami oleh para pangeran (putra dalem), kerabat Keraton (sentana dalem), dan para abdi dalem baik pria maupun wanita, tetapi pada perkembangan selanjutnya terjadi perubahan dengan banyaknya pendatang yang menjadi penduduk bukan menjadi abdi dalem Keraton dan tidak ada kaitannya sama sekali dengan Keraton (masyarakat pendatang).5

Permasalahan konflik tanah yang dikemukakan tersebut, konflik tanah di lingkungan Keraton Surakarta terjadi karena tidak adanya kepastian hukum atas tanah tersebut, sehingga antara masyarakat dan Keraton saling “mengklaim” kepemilikan tanah tersebut. Kepemilikan tanah inilah yang memunculkan konflik antara Keraton Surakarta dengan masyarakat pendatang di kawasan baluwarti. Inti permasalahannya adalah “sertipifikat tanah sebagai bukti kepemilikan yang sah” atas tanah di Baluwarti.

Secara adat dan budaya kawasan Baluwarti berada di dalam tembok Keraton Surakarta yang dimana pihak Keraton diberikan otonomi khusus untuk tetap memerintah, namun hanya sebatas kawasan didalam tembok

5 Dyah Rohma Wati, Belajar Dari Sejarah Kampung Wisata Baluwarti, sumber : http://dyahrohma.blogspot.co.id/2016/11/kampung-wis-ata-baluwarti.html, 2016, diakses 30 November 2017

(23)

7 Keraton Surakarta yang berarti mencangkup kawasan Baluwarti. Tapi pada kenyataannya kawasan Baluwarti termasuk dalam 51 kelurahan yang ada di kota Surakarta, sehingga faktual yang tersaji adalah dualisme kepemimpinan, yaitu Pemerintah dan Keraton. Dualisme inilah yang menyebabkan “kebingungan” bagi sebagian masyarakat Baluwarti, karena tanah yang mereka tempati ingin diupayakan menjadi hak milik karena masyarakat membayar pajak bumi dan bangunan kepada negara, akan tetapi bagi pihak Keraton tanah tersebut tetap bersifat magersari,6 sehingga masyarakat diharuskan membayar pajak pada Keraton. Hal inilah yang menjadi konflik Keraton dengan warga di Baluwarti.

Permasalahan ini menjadi menarik karena lingkungan Keraton yang bernama Baluwarti ini sengaja dibangun oleh Susuhunan Paku Buwono II sebagai kawasan tempat tinggal para putra raja, kerabat kerajaan, dan abdi dalem Keraton Surakarta, tapi seiring menyusutnya kekuasaan Keraton Surakarta, saat ini banyak rumah tinggal di lingkungan Keraton (Baluwarti) yang beralih kepemilikan kepada masyarakat pendatang.

6 Pengertian magersari menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah orang yang rumahnya menumpang di pekarangan orang lain.

(24)

8 B. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah eksistensi penguasaan tanah oleh masyarakat Baluwarti di dalam kawasan Keraton Surakarta hadiningrat ?

2. Bagaimanakah status hukum penguasaan tanah oleh masyarakat Baluwarti di dalam kawasan Keraton Surakarta Hadiningrat ?

3. Bagaimanakah implikasi hukum terhadap penguasaan tanah oleh masyarakat Baluwarti di dalam kawasan Keraton Surakarta Hadiningrat ?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui eksistensi penguasaan tanah oleh masyarakat Baluwarti di dalam kawasan Keraton Surakarta hadiningrat.

2.

3. Untuk mengetahui status hukum penguasaan tanah oleh masyarakat Baluwarti di dalam kawasan Keraton Surakarta Hadiningrat.

4. Untuk mengetahui implikasi hukum terhadap penguasaan tanah oleh masyarakat Baluwarti di dalam kawasan Keraton Surakarta Hadiningrat.

D. Kegunaan Penelitian

Pembahasan ini kemudian diharapkan untuk :

1. Menjadi bahan acuan dan referensi dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan, terutama yang berkaitan dengan Hukum terkhusus

(25)

9 Status Penguasaan Tanah oleh Masyarakat Baluwarti di dalam Keraton Surakarta Hadiningrat.

2. Menjadi bahan acuan atau perbandingan bagi yang akan melakukan penelitian lebih dalam mengenai Status Penguasaan Tanah oleh Masyarakat Baluwarti di dalam Keraton Surakarta Hadiningrat.

(26)

10 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Tanah

Sebutan tanah dalam bahasa kita dapat dipakai dalam berbagai arti.

Maka dalam penggunannya perlu diberi batasan, agar dapat diketahui dalam arti apa istilah tersebut digunakan. Dalam hukum tanah kata sebutan “tanah” dipakai dalam arti yuridis, sebagai suatu pengertian yang telah diberikan batasan resmi oleh UUPA. Dalam pasal 4 dinyatakan, bahwa atas dasar hak menguasai dari Negara…ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum.

Dengan demikian jelaslah, bahwa tanah dalam pengertian yuridis adalah permukaan bumi (Pasal 4 ayat 1). Sedangkan hak atas tanah adalah hak atas sebagian tertentu permukaan bumi, yang terbatas, berdimensi dua dengan ukuran panjang kali lebar. Tanah diberikan kepada dan dipunyai oleh orang dengan hak-hak yang telah diatur dalam UUPA, adalah untuk digunakan dan dimanfaatkan. Diberikannya dan dipunyainya tanah dengan hak-hak tesebut tidak akan bermakna jika penggunannya terbatas hanya pada tanah sebagi permukaan bumi saja.

Untuk keperluan apapun tidak bisa tidak, pasti diperlukan juga

(27)

11 pengguannya sebagian tubuh bumi yang ada dibawahnya dan arir serta ruang yang ada diatasnya. Dengan demikian, maka yang dipunyai dengan hak atas tanah tersebut adalah tanahnya, dalam arti sebagian tertentu dari permukaan bumi. Tetapi wewenang menggunakannya yang bersumber pada hak tersebut diperluas hingga meliputi juga penggunaan sebagian tubuh bumi yang ada dibawah tanah dan air serta ruang yang ada diatasnya.7

B. Hak Penguasaan atas Tanah

1. Pengertian Penguasaan atas Tanah

Penguasaan tanah mempunyai jangkauan pengertian yang lebih luas dari pada hak, yakni meliputi penguasaan yang didasarkan pada suatu hak maupun penguasaan yang didasarkan pada suatu kuasa pada kenyataan yang memberikan wewenang untuk melakukan perbuatan hukum sebagaimana layaknya seorang yang mempunyai hak.8 Penguasaan tanah tersebut ada yang dilandasi oleh suatu hak dan ada yang dilakukan berdasarkan bukti penguasaan fisik saja. Penguasaan fisik yang dilandasi oleh suatu hak disebut sebagai penguasaan yurisdis.

Pada pasal 2 ayat (1) UUPA menyatakan bahwa atas dasar ketentuan Pasal 33 Ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, bumi, air, ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan

7 Anilda, skripsi: ”ASPEK HUKUM PENGUASAAN TANAH PANTAI DEWATA OLEH MASYARAKAT DI KABUPATEN PINRANG”, (Makassar:Universitas Hasanuddin, 2015), Hlm 11

8 Ibid.

(28)

12 tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Penguasaan bumi, air, ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya oleh Negara dikenal dengan sebutan Hak Menguasai Negara. Pasal 2 ayat (2) UUPA menetapkan bahwa hak menguasai Negara memberi wewenang untuk :

a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa.

b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang- orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa.

c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang- orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa.

Menurut Van Vollenhoven sumber kekuasaan negara atas sumber daya alam (termasuk tanah) ialah Negara sebagai organisasi tertinggi dari bangsa yang diberi kekuasaan untuk mengatur segala-galanya dan Negara berdasarkan kedudukannya memiliki kewenangan untuk membuat peraturan hukum.9 Dalam UUPA dijelaskan bahwa pengertian “dikuasai”

bukan berarti “dimiliki” melainkan pengertian yang memberi wewenang kepada Negara sebagai organisasi kekuasaan dari bangsa Indonesia untuk melakukan wewenang sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 ayat

9 Farida Patittingi, 2012, Dimensi Hukum Pulau-Pulau Kecil di Indonesia.Rangkang Education, Yogyakarta, hlm. 87.

(29)

13 (2) UUPA tersebut. Dijelaskan lebih lanjut bahwa kekuasaan Negara mengenai tanah mencangkup tananh yang sudah dimiliki.

Kekuasaan Negara mengenai tanah yang sudah dimiliki atau sudah dipunyai oleh orang dengan suatu hak yang dibatasi oleh isi hak tersebut, artinya sampai seberapa Negara memberikan kekuasaan kepada yang mempunyai untuk menggunakan haknya, sampai disitulah batas kekuasaan Negara tersebut. Sedangkan kekuasaan Negara atas tanah yang tidak dipunyai dengan suatu hak oleh seseorang atau pihak lainnya adalah lebih luas dan penuh, artinya Negara dapat memberikan tanah kepada seseorang atau badan hukum dengan suatu hak menurut peruntukan dan keperluannya.10

Hak menguasai Negara tidak dapat dipindahkan kepada pihak lain, tetapi tanah Negara dapat diberikan dengan suatu ha katas tanah kepada seseorang dan badan hukum. Pemberian hak atas tanah ini bukan berarti melepaskan hak menguasai dari Negara terhadap tanah tersebut, akan tetapi kewenangan Negara menjadi terbatas sampai pada batas kewenangan yang merupakan isi dari hak yang diberikan, dan Negara wajib menghormati hak tersebut.

Adapun kekuasaan Negara yang dimaksudkan itu, mengenai semua bumi, air, dan ruang angkasa baik itu yang sudak dihaki oleh perorangan atau badan hukum, maupun tidak, termasuk tanah Negara. Tanah Negara

10 Irwan Soerodjo, 2002, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di Indonesia, Arkola, Surabaya, hlm. 106.

(30)

14 menurut Sumardjono adalah tanah-tanah yang dilekati dengan suatu hak yakni hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai atas tanah Negara, hak pengelolaan, serta tanah ulayat dan tanah wakaf, yang meliputi :11

1. Tanah-tanah yang diserahkan secara sukarela oleh pemiliknya.

2. Tanah-tanah yang berakhir jangka waktunya dan tidak diperpanjang.

3. Tanah-tanah yang pemegang haknya meninggal dunia tanpa ahli waris.

4. Tanah-tanah yang diterlantarkan.

5. Tanah-tanah yang diambil untuk kepentingan umum sesuai dengan tata cara pencabutan hak yang diatur dalam Undang-Undang No 20 Tahun 1961 tentang pencabutan ha katas tanah dan benda-benda yang diatasnya dan Keppres No 55 Tahun 1933 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

Seperti yang dijelaskan pada pasal 2 ayat (2) wewenang yang bersumber pada hak menguasai Negara tersebut digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat adil dan makmur.12

11 Farida Patittingi, Op.Cit., Hlm 91

12 Boedi Harsono, 2002, Hukum Agraria Indonesia: Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah, Djambatan, Jakarta, hlm. 6.

(31)

15 2. Hak-Hak atas Tanah Menurut Hukum Tanah Nasional

UUPA adalah landasan hukum bagi semua peraturan perundangan- undangan dibidang pertanahan. Salah satu tujuan dari UUPA adalah meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.

Dalam hal hak penguasaan atas tanah, terdapat hierarki penguasaan atas tanah yaitu: hak bangsa Indonesia atas tanah, hak menguasai Negara atas tanah, hak ulayat masyarakat hukum adat, dan hak perorangan.13 Adapun penjelasannya sebagai berikut :

a. Hak Bangsa

Hak ini merupakan hak penguasaan atas tanah yang tertinggi dan meliputi semua tanah yang ada dalam wilayah Negara, yang merupakan tanah bersama, bersifat abadi dan menjadi induk bagi hak-haki penguasaan yang lain atas tanah. Pengaturan ini termuat dalam Pasal 1 ayat (1)-(3) Undang-Undang Pokok Agraria.

Hak Bangsa mempunyai sifat komunalistik, artinya semua tanah yang ada dalam wilayah Negara Republik Indonesia merupakan tanah bersama rakyat Indonesia, yang telah bersatu sebagai Bangsa Indonesia.14 Selain itu juga mempunyai sifat religius, artinya seluruh tanah yang ada dalam wilayah Negara Republik Indonesia merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa.15 Hubungan antara bangsa Indonesia dengan tanah bersifat abadi,

13 Urip Santoso, 2005, Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah, Edisi Pertama, Predana Media Group, Jakarta, hlm. 75.

14 Lihat Pada Penjelasan Pasal 1 Ayat (1) Undang Undang Pokok Agraria

15 Lihat Pada Penjelasan Pasal 1 Ayat (1) Undang Undang Pokok Agraria

(32)

16 artinya selama rakyat Indonesia masih bersatu sebagai bangsa Indonesia dan selama tanah tersebut masih ada pula, dalam keadaan yang bagaimanapun tidak ada sesuatu kekuasaan yang akan dapat memutuskan atau meniadakan hubungan tersebut. Keterikatan bangsa Indonesia dengan tanahnya merupakan ikatan yang sangat kuat bahkan dalam UUPA Pasal 1 ayat (3) dinyatakan bahwa hubungan tersebut bersifat abadi. Hal ini bermakna bahwa selama rakyat Indonesia masih bersatu sebagai bangsa Indonesia dan selama tanah bersama tersebut masih ada pula, dalam keadaan bagaimanapun tidak ada sesuatu kekuasaan yang akan dapat memutuskan atau meniadakan hubungan tersebut.16

Budi Harsono mengatakan bahwa penguasaan Negara, yang disebutnya sebagai hak bangsa, merupakan hak ulayat yang ditinggikan kedudukannya pada tingkat supra masyarakat adat, yaitu tingkatan yang meliputi seluruh unsur wilayah. Hak bangsa sebagai lembaga hukum, tercipta pada saat diciptakannya hubungan hukum konkrit dengan tanah sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada Rakyat Indonesia.17

Hak bangsa mengandung dua unsur, yaitu unsur kepunyaan dan unsur tugas dan wewenang untuk mengatur dan memimpin penguasaan dan penggunaan tanah bersama yang dipunyainya.Hak bangsa atas tanah bersama tersebut bukan hak kepemilikan dalam arti yuiridis, maka

16 Muhammad Ilham Arisaputra, 2015, Reforma Agraria Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta Timur, hlm. 68.

17 Yance Arizona, 2014, Konstitusionalisme Agraria, Stpn Press, Yogyakarta, hlm .384.

(33)

17 dalam rangka hak bangsa ada hak milik perorangan atas tanah, tugas kewenangan untuk mengatur penguasaan dan memimpin penggunaan tanah bersama tersebut pelaksanaannya dilimpahkan kepada Negara.18

Hak penguasaan atas tanah oleh bangsa bukan merupakan hak pemilikan atas tanah. Hak bangsa merupakan penjelmaan dari hak ulayat masyarakat hukum adat dan karena itu merupakan hak bersama dari seluruh rakyat Indonesia.19 Subjek hak bangsa adalah seluruh rakyat Indonesia sepanjang bersatu sebagai bangsa Indonesia yaitu generasi- generasi terdahulu, sekarang dan generasi-generasi yang akan datang.20 b. Hak Menguasai dari Negara atas Tanah

Hak ini bersumber pada hak bangsa Indonesia atas tanah, yang hakikatnya merupakan penugasan pelaksanaan tugas kewenangan bangsa kepada Negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.21

Makna penguasaan Negara tidaklah boleh dipandang sebagai penguasaan fisik, karena Negara dalam hal penguasaannya diperuntukkan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat.

Rakyat secara kolektif memberikan mandat kepada Negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan

18 Boedi Harsono, 2005, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang- Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, hlm. 266.

19 Bambang Eko Supriadi, Hukum Agraria Kehutanan (Aspek Hukum Pertanahan Dalam Pengelolaan Hutan Negara), Edisi 1, Rajagrafindo Persada, Jakarta, hlm 49.

20 Boedi Harsono, Op.Cit., hlm. 267.

21 Lihat Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang Undang Pokok Agraria

(34)

18 (toezichthoundendaad) untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Hal ini juga sejalan dengan pendapat Sri Edi Swaswono yang menguraikan bahwa perkataan “dikuasai” tidak harus diartikan sebagai dimiliki. Pemerintah Negara bisa menguasai melalui peraturan dan kebijaksanaan ekonomi tanpa harus memiliki.22

Imam Soetikjo menyampaikan bahwa ada tiga kemungkinan alternatif mengenai konsep dasar hubungan Negara dengan tanah dalam perumusan UUPA. Pertama Negara sebagai subjek yang dapat dipersamakan dengan perorangan sehingga dengan demikian, hubungan antara Negara dengan tanah itu mempunyai sifat privaat rechtelijk, Negara sebagai pemilik. Hak Negara adalah hak dominium. Kedua, Negara sebagai subjek tidak diberikan kedudukan sebagai perseorangan, tetapi sebagai Negara, jadi sebagai badan kenegaraan, sebagai badan yang publiek rechtelijk. Hak Negara adalah hak dominium juga dan disamping itu dapat juga digunakan istilah hak piblique. Ketiga, Negara sebagai subjek, dalam arti tidak sebagai peseorangan dan tidak sebagai badan kenegaraan, akan tetapi Negara sebaga personifikasi rakyat seluruhnya, sehingga dalam konsep ini Negara tidak lepas dari rakyat, Negara hanya menjadi pendiri, menjadi pendukung daripada kesatuan-kesatuan rakyat.

Dalam kaitannya dalam bentuk ini, maka hak Negara dapat berupa hak communes, kalau Negara sebagai personifikasi yang memegang

22 Aminuddin Ilmar, 2012 , Hak Menguasai Negara Dalam Privatisasi Bumn, Cetakan 1, Kencana Media Group, Jakarta, hlm. 57.

(35)

19 kekuasaan atas tanah, dan hak emporium, apabila memegang kekuasaan tentang pemakaian tanah saja.23

Dalam peraturan perundang-undangan, wewenang penguasaan Negara terhadap tanah diatur dalam ketentuan Pasal 2 ayat (2) UUPA yaitu untuk :

a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;

b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang- orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;

c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang- orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

Menurut Oloan Sitorus, kewenangan Negara dalam bidang pertanahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA di atas merupakan pelimpahan tugas bangsa untuk mengatur penguasaan dan memimpin penggunaan tanah bersama yang merupakan kekayaan nasional. Pada prinsipnya, hak menguasai dari Negara adalah pelimpahan kewenangan publik, Konsekuensinya, kewenangan tersebut hanya bersifat publik semata.24

Dalam melaksanakan kewenangannya, Indra Perwira dan Asap Warlan Yusuf berpendapat bahwa kewenangan pemerintah harus sejalan dengan prinsip “Negara pengurus” dimana pemerintah selaku persionifikasi Negara berkewajiban untuk membangun kesejateraan rakyat. Namun, agar pemerintah tidak sehendak hati menafsirkan blanco

23 Yance Arizona, Op. Cit., hlm 328.

24 Urip Santoso, Op.Cit., hlm.78.

(36)

20 mandate Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 tersebut, maka kewenangan itu harus didasarkan pada prinsip hukum yang fundamental, yakni25:

a. asas tanggung jawab Negara (state liability);

b. asas legalitas, yang memberikan jaminan keadilan, kepastian, dan perlindungan;

c. asas keberlanjutan (sustainability) yang mengakui dan menyadari bahwa sumber daya itu bersifat terbatas dan adanya jaminan untuk dapat dinikmati oleh generasi kini dan yang akan datang;

d. asas menfaat baik secara ekonomi maupun social;

e. asas subsidiaritas, yakni pemberian kepercayaan dan kewenangan kepada sub unit pemerintah yang lebih rendah melalui system desentralisasi yang demokratis.

c. Hak Ulayat

Bentuk hukum penguasaan tanah pada masyarakat adat dikenal dengan istilah “hak ulayat”. Ini merupakan istilah yang digunakan secara formal, meskipun pada setiap etnik istilah yang digunakan berbeda-beda.

Dalam bahasa hukum maupun ilmiah, istilah “tanah ulayat” selalu digunakan untuk menyebut tanah-tanah yang dikuasai menurut hukum adat pada suatu etnik tertentu26. Hak ini diatur dalam PAsal 3 UUPA. Yang dimaksud hak ulayat masyarakat hukum adat adalah serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam lingkungan wilayahnya.

Kedudukan hak ulayat masyarakat hukum adat diatur dalam Pasal 3 UUPA, yaitu :

25 Muhammad Ilham Arisaputra, Op.Cit., hlm. 93.

26 Syahyuti, 2006, Nilai-Nilai Kearifan Pada Konsep Penguasaan Tanah Menurut Hukum Adat Di Indonesia, Forum Penelitian Agro Ekonomi, Volume 24 Nomor 1, hlm. 16.

(37)

21 Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan Pasal 2 pelaksanaan hak-hak ulayat dan pelaksanaan hak-hak serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, menurut kenyataannya masih ada harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.

Hak ulayat masyarakat hukum adat adalah serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam lingkungan wilayahnya27. Rusdi lubis mendefenisikan hak ulayat sebagai hak penguasaan tertinggi atas tanah dalam hukum adat yang meliputi suatu tanah yang termaksud dalam lingkungan wilayah suatu masyarakat hukum adat tertentu yang merupakan tanah kepunyaan bersama para warganya28.

Soedikno Mertokusumo menjelaskan bahwa hak ulayat merupakan hak dari masyarakat hukum adat yang berisi wewenang dan kewajiban untuk menguasasi, menggunakan dan memelihara kekayaan alam yang ada dalam lingkungan wilayah hak ulayat tersebut29. Hak ulayat masyarakat hukum adat dinyatakan masih ada apabila memenuhi 3 unsur, yaitu30:

a. Terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupan sehari-hari;

27 Urip Santoso 1, Op.Cit., hlm.79.

28 Suriyaman Mustari P, 2007, Dilema Hak Kolektif Eksistensi dan Realitas Sosialnya Pasca Uupa, Edisi Pertama, Pelita Pustaka, Jakarta, hlm. 101.

29 Urip Santoso 1, Op.Cit., hlm. 66.

30 Aminuddin Salle, Dkk, 2010, Bahan Ajar Hukum Agraria, As Publishing, Makassar, hlm. 101.

(38)

22 b. Terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari; dan

c. Terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh warga persekutuan hukum tersebut.

d. Hak Perorangan

Sebagaimana dalam lingkup Hak Ulayat yang memungkinkan masyarakatnya untuk menguasai tanah secara individual, dalam tingkatan Hak Bangsa pun di mungkinkan untuk menguasai dan menggunakan sebagian dari tanah bersama itu secara individual, dengan hak-hak yang bersifat pribadi.31 Hal ini di tegaskan dalam pasal 4 ayat (1) yang menyatakan bahwa :

Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum.

Hak-hak atas tanah yang diberikan tersebut memberikan kewenangan kepada yang bersangkutan untuk mempergunakannya dengan memperhatikan fungsi hak atas tanah yaitu fungsi sosial.32

Hak-hak atas tanah yang diberikan tersebut memberikan wewenang kepada yang bersangkutan untuk mempergunakannya, semuanya dengan memperhatikan akan fungsi hak atas tanah yang berfungsi sosial seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 6 UUPA. Penggunaan tanah tersebut harus disesuaikan dengan keadaannya dan sifat dari haknya, hingga

31 Boedi Harsono, Op. Cit., hlm. 233

32 Lihat Penjelasan Pasal Pasal 6 Undang Undang Pokok Agraria.

(39)

23 memberikan manfaat baik bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyainya maupun bermanfaat pula bagi masyarakat dan Negara.

Dari prinsip-prinsip dasar tersebut, maka lahirlah hak-hak atas tanah yang peruntukannya dibeda-bedakan pada jenis pemanfaatanya, serta pada pribadi-pribadi hukum yang akan menjadi pemiliknya. Macam- macam hak atas tanah dimuat dalam Pasal 16 Jo 53 UUPA, yaitu :

a. Hak milik

b. Hak guna usaha c. Hak guna banguna d. Hak pakai

e. Hak sewa

f. Hak membuka tanah

g. Hak memungut hasil hutan

h. Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut diatas yang akan ditetapkan dengan Undang-Undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 53.

3. Macam-macam Hak atas Tanah a. Hak Milik

Di dalam lingkungan masyarakat hukum adat sejak dahulu sudah dikenal hak milik atas tanah. Hak milik atas tanah ini dalam bahasa belanda disebut inlands bezitrecht, yang artinya pemiliknya berkuasa

(40)

24 penuh atas tanah seperti halnya ia menguasai rumah, ternak, atau lain- lain benda miliknya.33

Hak milik diatur dalam UUPA Pasal 20 yang menyebutkan bahwa hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat bahwa hak atas tanah tersebut mempunyai fungsi sosial. Menurut soemardjono, bahwa hak milik itu turun-temurun, terkuat dan terpenh, adalah sifat-sifat atau ciri-cirinya yang esensial yang membedakannya dengan ha katas tanah yang lain bukan definisinya.34

Hak milik, yang merupakan hak yang terpenuh dan paling kuat serta bersifat turun-temurun, yang hanya diberikan kepada warga Negara Indonesia tunggal,35 dengan pengecualian badan-badan hukum tertentu (PP No 38 Tahun 1963), yang pemanfaatannya dapat disesuaikan dengan peruntukan tanahnya di wilayah di mana tanah tersebut terletak.36

b. Hak Guna Usaha

Hak Guna Usaha, yang merupakan hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, untuk jangka waktu tertentu, yang dapat diberikan baik pada warga Negara Indonesia tunggal maupun Badan Hukum Indonesia (yang didirikan menurut Hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia).

33 Farida Patittingi, Op. Cit., hlm. 119.

34 Ibid., hlm. 120.

35 Bahwa yang dimaksud dengan warga Negara Indonesia tunggal adalah warga Negara Indonesia yang tidak mempunyai kewarganegaraan asing di samping kewarganegaraan Indonesia.

36 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2008, Hak-Hak atas Tanah, Kencana, Jakarta, hlm. 25.

(41)

25 c. Hak Guna Bangunan

Hak Guna Bangunan (selanjutnya disebut HGB) juga merupakan salah satu ha katas tanah yang disebut dalam Pasal 16 ayat (1) UUPA, dan diatur pokok-pokoknya dalam Pasal 35 sampai dengan Pasal 40 UUPA. Pasal 35 ayat (1) UUPA memberikan pengertian sebagai hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu tertentu.37

Hak Guna Bangunan, yang merupakan hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, untuk selama jangka waktu tertentu, yang dapat dimiliki baik pada warga Negara Indonesia tunggal maupun Badan Hukum Indonesia (yang didirikan menurut Hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia).38

d. Hak Pakai

Hak Pakai (selanjutnya disingkat HP) adalah hak untuk menggunakan dan/ atau memungut hasil dari tanah yang langsung dikuasai oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberian-nya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dengan perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengelolahan tanah ( Pasal 41 UUPA). Dengan demikian, pemegang HP berhak menguasai dan menggunakan tanah yang diberikan selama waktu tertentu untuk

37 Farida Patittingi, Op. Cit., hlm. 129.

38 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja., Loc. Cit.

(42)

26 keperluan pribadi atau usahanya serta untuk memindahkan hak tersebut kepada pihak lain dan membebaninya.39

Hak Pakai, merupakan hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah milik orang lain atau yang dikuasai langsung oleh Negara, yang bukan sewa-menyewa atau pengelolahan tanah, yang dapat diberikan baik pada warga Negara Indonesia tunggal maupun Badan Hukum Indonesia (yang didirikan menurut Hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia), orang asing yang berkedudukan di Indonesia, serta badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.40

e. Hak Sewa

Hak sewa selain disebutkan dalam Pasal 16 Ayat (1) sebagai salah satu Hak Atas Tanah, secara khusus Hak sewa diatur dalam Pasal 44, 45 dan 53 UUPA. Pada pasal 44 dan 45 UUPA khusus mengatur mengenai Hak Sewa untuk bangunan, sedangkan pada pasal 53 UUPA mengatur Hak Sewa tanah pertanian. Adapun penjelasan mengenai Hak sewa pertanian akan di jabarkan lebih lanjut pada poin ke 11.

Hak sewa atas tanah adalah hak yang memberi wewenang untuk menggunakan tanah milik pihak lain dengan kewajiban membayar uang

39 Farida Patittingi, Op. Cit., hlm. 133.

40 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja., Op. Cit, hlm. 26.

(43)

27 sewa pada tiap-tiap waktu tertentu.41 Pengaturan mengenai subyek atau pemegang Hak Sewa di atur pada pasal 45 UUPA, yang berbunyi:

Yang dapat menjadi pemegang hak sewa ialah : a. Warga negara Indonesia;

b. Orang asing yang berkedudukan di Indonesia;

b. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia;

c. badan hukum asing yang mempunyai perwalikan di Indonesia.

4. Konsep Pemilikan dan Penguasaan Tanah Menurut Hukum Barat Konsep penguasaan dan pemilikan tanah menurut hukum barat berlandaskan pada konsepsi yang liberal yang memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada individu guna memenuhi kebutuhan masing- masing. Keadaan itu menimbulkan faham individualistic yang ajarannya menekankan pada nilai utama pribadi, sehingga masyarakat hanyalah merupakan suatu sarana untuk mencapai tujuan-tujuan pribadi.

Individualism yang didasari konsepsi liberal seperti di Eropa Barat memandang hak milik atas tanah merupakan hak penguasaan tanah yang tertinggi yang disebut sebagai hak eigendom (Eigendom Recht).42

Menurut konsep hukum tanah barat, hak Eigendom atas tanah merupakan hak prima yang bersumber pada kedudukan manusia sebagai makhluk Tuhan, yang mempunyai hak untuk menikmati dan memiliki

41 Lihat Penjelasan Pasal 44 dan 45 Undang Undang Pokok Agraria

42 Farida Patittingi, Op. Cit., hlm. 87

(44)

28 kekayaan alam yang diciptakan Tuhan baginya. Selanjutnya dikemukakan, bahwa menurut Burgerlijk Wetboek (BW) hak Eigendom adalah hak yang paling sempurna. Dalam sistem hukum barat yang berkonsepsi individualistik, maka hak penguasaan atas tanah yang tertinggi adalah milik pribadi yang disebut hak eigendom.43

5. Konsep Pemilikan dan Penguasaan Tanah Menurut Hukum Adat Konsep tanah secara filosofis menurut hukum adat adalah benda berjiwa yang tidak boleh dipisahkan persekutuannya dengan manusia.

Tanah dan manusia, meskipun berbeda wujud dan jati diri, namun merupakan suatu kesatuan yang saling mempengaruhi dalam jalinan susunan keabadian tata alam (osmos), besar (macro osmos), dan kecil (mincro osmos).44 Oleh karena itu, maka tanah dipahamkan secara luas meliputi semua unsur bumi, air, udara, kekayaan alama, serta manusia sebagai pusat, maupun roj-roh di alam supra natural yang terjalin secara menyeluruh dan utuh. Dengan demikian, konsep tanah dalam hukum adat mencangkup unsur-unsur seperti dalam konsep sumber daya alam, yaitu meliputi lima unsur utama, yakni :45

1. Hubungan dengan permukaan bumi termasuk air 2. Hubungan dengan udara bahkan ruang angkasa 3. Hubungan dengan kekayaan alam dalam tubuh bumi 4. Hubungan dengan roh-roh (supranatural)

43 Ibid.

44 Farida Patittingi, Loc. Cit., hlm. 100.

45 Ibid.

(45)

29 5. Hubungan antara manusia sebagai pusat

Menurut hukum adat, pada dasarnya konsep penguasaan dan kepemilikan tanah dirumuskan sebagai konsepsi komunalistik religiuus yang memungkinkan penguasaan tanah secara individual, dengan hak- hak atas tanah yang bersifat peribadi sekaligus mengandung unsur kebersamaan. Sifat komunalistik menunjukan adanya hak bersama dari para anggota masyarakat hukum adat atas tanah, yang dalam kepustakaan hukum adat disebutsebagai hak ulayat. Keberadaan hak ulayat tetap dijamin pelaksanaannya dalam UUPA. Yaitu Pasal 3 UUPA menentukan bahwa :46

Dengan mengingat ketetntuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2, pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak serupa itu dari masyarakat- masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataan masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang dan peraturan-peraturan yang lebih tinggi.47

Pengakuan eksistensi hak ulayat oleh UUPA menurut Sumardjono merupakan hal yang wajar, karena hak ulayat beserta masyarakat hukum adat telah ada sebelum terbentuknya NKRI pada tanggal 17 Agustus

46 Ibid., 101

47 Ibid.,

(46)

30 1945. Namun pengakuan hak ulayat tersebut tetap dibatasi oleh eksistensi dan pelaksanaanya.48

Menurut Harsono, hak ulayat adalah hak dari suatu masyarakat hukum adat atas lingkungan tanah wilayahnya, yang memberi wewenang- wewenang tertentu kepada penguasa adat atau untuk mengatur dan memimpin penggunaan tanah bwilayah masyarakat hukum tersebut.49

Dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5 Tahun 1999, pada Pasal 2 ayat (2) disebutkan bahwa hak ulayat masyarakat hukum adat dianggap masih ada (eksis) apabila memenuhi tiga syarat,yakni :50

1. Terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan- ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

2. Terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidup sehari-hari.

3. Terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan, dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh warga persekutuan hukum tersebut.

48 Sumardjono Maria, S.W., 1993, “Hak ulayat dan pengakuannya oleh UUPA”, Dalam SKH Kompas, Tanggal 13 Mei, Jakarta

49 Farida Patittingi, Op. Cit., hlm. 102.

50 A. Suriyaman Mustari Pide, 2014, HUKUM ADAT DAHULU, KINI DAN AKAN DATANG, Kencana, Jakarta, hlm. 121.

(47)

31 Penguasaan tanah antara hak ulayat dengan hak individual mempunyai hubungan yang lentur dan fleksibel, yaitu semakin kuat hak individual atas tanah, maka akan semakin lemah daya berlakunya hak ulayat atas tanah tersebut. Sebaliknya, semakin lemah hak penguasaan individual maka semakin kuatlah daya berlakunya hak ulayat.51

Menurut Bigger Manan, dalam konteks penguasaan atau kepemilikan tanah oleh masyarakat persekutuan hukum adat, tidak jarang rakyat yang telah turun-temurun merasa mempunyai hak sebidang tanah dikalahkan karena alasana menduduki tanah Negara, dan ha katas tanah tersebut telah diserahkan kepada pemegang HGu atau HGB yang dibuktikan dengan sertipikat. Pejabat pemerintah tidak mau mempertimbangkan faktor-faktor sosiologis kultural mengenai hubungan rakyat dengan tanah.

Secara sosiologis mereka telah berada dan memperoleh manfaat atas tanah tersebut secara turun-temurun. Padahal menurut prinsip hukum adat yang diakui eksistensinya oleh UUPA, bahwa intensitas hubungan seeseorang dengan tanah, makin tebal haknya atas tanah tersebut, dan hak persekutuan hukum adat semakin lemah atas tanah tersebut.52

6. Konsep Pemilikan dan Penguasaan Tanah Menurut Hukum Tanah Nasional (UUPA)

Konsepsi yang mendasari hukum tanah nasional adalah konsep hukum adat, yaitu konsepsi yang komunalistik religious, yang

51 Farida Patittingi, Op. Cit., hlm. 105.

52 Ibid., hlm. 106.

(48)

32 memungkinkan penguasaan tanah secara individual dengan hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi sekaligus mengandung unsur kebersamaan.53 Konsep komunalistik religious ini ditunjukkan dalam Pasal 1 ayat (2) UUPA yang menyatakan bahwa :54

Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya adalah wilayah Republik Indonesia, sebagai karunia Tuhan Yang Maha esa, adalah bumi, air, ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.

Konsepsi hukum adat sebagai dasar dari hukum tanah nasioanal tersebut secarategas dinyatakan dalam Pasal 5 UUPA. Bahwa :

Hukum agrarian yang berlaku diatas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-Undnag ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.

Dengan demikian, konsep pemilikan hak atas tanah yang dianut oleh UUPA sebagai dasar hukum tanah nasional adalah konsep hukum adat.

C. Konversi Hak atas Tanah

Setelah keluarnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria, maka banyak perubahan yang terjadi dalam ketentuan hak-hak atas tanah. Salah satunya adalah diadakan konversi hak atas tanah oleh pemerintah. Konversi ha katas tanah adalah penyesuaian hak-hak atas tanah yang pernah tunduk kepada sistem

53 Ibid,, hlm. 110.

54 Ibid,, hlm. 111.

(49)

33 hukum yang lama. Dalam hal ini salah satunya sistem hukum lama termasuk hukum adat.

Dalam istilah diatas konversi tersebut diatas, dalam hukum agrarian dimaksudkan adalah penyesuaian, peralihan atau perubahan dari hak-hak atas tanah menurut sistem lama yakni hak-hak atas tanah yang pernah tunduk pada ketentuan KUH perdata maupun hak-hak atas tanah yang tunduk pada hukum adat.

Dasar hukum mengenai konversi tanah diatur dalam bagian kedua mengenai Ketentuan-Ketentuan Konversi Pasal I hingga Pasal IX UUPA. Secara garis besar, konversi hak atas tanah terbagi menjadi tiga jenis, yaitu:55

1. Konversi hak atas tanah yang berasal dari tanah hak barat

2. Konversi hak atas tanah yang berasal dari tanah bekas hak Indonesia 3. Konversi hak atas tanah yang berasal dari tanah bekas swapraja.

Sejak diberlakukannya UUPA pada tanggal 24 September Tahun 1960 itulah berlaku hak-hak atas tanah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 16 UUPA, khususnya Hak atas Tanah Primair, seperti Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai.56

55 Ali Achmad Chomzah, 2004, Hukum Agraria (Pertanahan Indonesia), Jilid 1, Prestasi Pustaka, Jakarta, hlm. 80.

56 Ibid., hlm. 83.

(50)

34 1. Prinsip-Prinsip Konversi Hak atas Tanah

Adapun konversi hak atas tanah harus memiliki prinsip sebagai berikut :57

a. prinsip Nasionalitas

b. prinsip pengakuan hak-hak atas tanah terdahulu c. prinsip kepentingan hukum

d. prinsip penyesuaian pada kepentingan konversi e. prinsip status Quo hak-hak atas tanah

Adapun penjelasannya : a. prinsip nasionalitas

Prinsip ini dapat dibaca/ ditemui dalam pasal 9, 21, 30, dan 36 UUPA.

Menurut pasal 9 bahwa warga Negara Indonesia dapat mempunyai hubungan sepenuhnya dengan bumi, air, dan ruang angkasa tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan, mereka mempunyai hak yang sama untuk memperoleh hak-hak atas tanah.

b. prinsip pengakuan hak-hak tanah terdahulu

Berlakunya UUPA terjadilah unfikasi hukum di bidang pertanahan.

Namun bukan berarti hak-hak atas tanah yang tunduk pada hukum yang lama, yakni hukum perdata barat dan hukum adat menjadi hilang bgeitu saja, terhadap tanah, yang tunduk pada sistem hukum lama masih diakui

57 Bachtiar, Konversi Hak atas Tanah di Indonesia menurut UU No. 5 Tahun 1960, Sumber:Http://www.google.co.id/amp/s/.bachtiarpropertydotcom.wordpress.com/20130/1 1/17/konversi-hak-atas-tanah-di-indonesia-menurut-uu-no-5-tahun-1960/amp/, Di Akses 7 November 2017

Referensi

Dokumen terkait

Dengan adanya virtual museum berbasis web yang mencangkup isi content pemodelan benda budaya di museum Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat diharapkan

Irsyad Mahlafi, L100090055, Rekonsiliasi Keraton dalam Konstruksi Media (Studi Analisis Framing pada Kasus Rekonsiliasi Keraton Kasunanan Surakarta dalam Surat Kabar Solopos

Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data dilakukan dengan (1) Observasi dokumentasi, yaitu mencermati pemberitaan tentang konflik Keraton Kasunanan Surakarta di SKH SOLOPOS

bangunan dalam Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Dalem Brotodiningratan pernah direncanakan sebagai hotel bintang lima, (namun tidak terjadi, karena menyalahi

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan: (1) faktor-faktor yang melatarbelakangi Keraton Kasunanan Surakarta dijadikan sebagai obyek wisata, diantaranya adalah

Disertasi yang berjudul: “IDEOLOGI TARI BEDHAYA KERATON KASUNANAN SURAKARTA DAN TARI BEDHAYAN DI SURAKARTA TAHUN 1990-2019” ini adalah karya penelitian saya sendiri dan

Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data dilakukan dengan (1) Observasi dokumentasi, yaitu mencermati pemberitaan tentang konflik Keraton Kasunanan Surakarta di SKH SOLOPOS

Masyarakat Baluwarti berharap konflik di dalam tubuh keraton segera berakhir dan pihak keraton bersedia membuka diri untuk bersama-sama mengembangkan pariwisata