• Tidak ada hasil yang ditemukan

EKSISTENSI TATA RUANG KERATON KASUNANAN SURAKARTA HADININGRAT TAHUN 2008

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "EKSISTENSI TATA RUANG KERATON KASUNANAN SURAKARTA HADININGRAT TAHUN 2008"

Copied!
86
0
0

Teks penuh

(1)

EKSISTENSI TATA RUANG KERATON KASUNANAN

SURAKARTA HADININGRAT

TAHUN 2008

Skripsi

Oleh :

DODIT WAHYUDI MULYANTO

NIM K5404026

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

(2)

ABSTRAK

Dodit Wahyudi Mulyanto. EKSISTENSI TATA RUANG KERATON KASUNANAN SURAKARTA HADININGRAT TAHUN 2008. Skripsi. Surakarta : Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret, Juni 2009.

Tujuan penelitian ini adalah untuk : (1) mengetahui karakteristik tata ruang Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan (2) mengetahui penyimpangan tata ruang eksisting saat ini terhadap konsep konsentris.

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif spasial yaitu dengan menggunakan analisis Sistem Informasi Geografis (SIG). Penelitian ini memanfaatkan teknologi SIG untuk mengolah, dan menganalisi data, baik spasial maupun non spasial. Untuk keperluan tersebut, dibutuhkan sumber data berupa peta digital, peta analog, data lain yang berupa tabrl, grafik dan foto. Teknik analisis data dengan menggunakan teknik interpretasi citra dimaksudkan sebagai alat atau cara khusus untuk melaksanakan metode penginderaan jauh dan overlay peta penggunaan lahan hasil intpreetasi citra ditumpansusunkan dengan denah susunan Kosmis Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat.

(3)

ABSTRACT

Dodit Wahyudi Mulyanto. SPACE EXSISTENCE OF KERATON KASUNANAN SURAKARTA HADININGRAT AT 2008. Thesis, Surakarta : Teacher Training and Education Faculty, Sebelas Maret University, June 2009.

The purpose of this research are: (1) to know the space character of Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, (2) to know the existing space deviation at this time to consentris concept.

This research uses spatial description method with Geographical Information System (GIS) technique. This research exploited GIS technology to processing and data analysis. Spasial and nonspasial analysis used to getting information about deviation in Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. This research needs some data such as: digital map, analog map, citra and another data like table, graphic and photo. The data analysis is overlay technique with GIS application (Geographical Information System).

(4)

BAB I

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Masalah

Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat berada di Kota Surakarta, kota

yang mendapat julukan Kota Bengawan, karena site-nya yang berada di tepi

Bengawan Solo. Wilayahnya merupakan dataran rendah di antara vulkan-vulkan

(intermountain plain)

Merapi, Merbabu di sebelah barat, dan Lawu di sebelah

timur. Di sebelah selatan terdapat beberapa sesar

(fault)

yang umumnya berupa

sesar turun dengan pola

anthetetic fault block

(Bemmelen, 1949 dalam Hendro,

2001 : 56). Sesar dari arah Gunung Lawu memotong Bengawan Solo hingga jatuh

di sebelah utara kota, maka perencanaan bangunan di wilayah jalur sesar ini

memerlukan pertimbangan tersendiri. Dilihat dari kemampuan lahannya, dengan

menggunakan parameter bentuk lahan, tanah, dan hidrologi kota ini masuk 5

kategori yang memberikan rekomendasi kesesuaian lahan untuk kompleks

bangunan atau gedung, perumahan, kawasan lindung dan rekreasi. Permukaan

medan topografi pada umumnya menunjukan konfigurasi hampir rata (Partoso

Hadi dalam Hendro, 2001 : 57) .

Berikut adalah sejarah singkat perpindahan Keraton Kasunanan Kartasura ke

desa Sala. Pada Tahun 1742 terjadi pemberontakan orang-orang Cina melawan

kekuasaan Susuhunan Paku Buwono II yang bertakhta di Kartasura (dikenal

dengan Geger Pacinan). Begitu hebatnya pemberontakan ini, sehingga Keraton

Kartasura hancur dan PB II menyingkir ke Ponorogo, Jawa Timur. Berkat bantuan

VOC, pemberontakan dapat ditumpas dan Kartasura dapar direbut kembali,

namun bangunan Keraton Kartasura sudah hancur. Kemudian dibangunlah

keraton baru di desa Sala pada 1745 (Ratna 1999:7).

(5)

Mangkunegaran (dibawah Mangkunegara). Kedua daerah Swaparaja ini dikuasai

oleh seorang gubernur Hindia Belanda (Budiharjo 1997).

Pada bulan Oktober tahun 1945, setelah proklamasi kemerdekaan

Republik Indonesia terbentuk gerakan Swapraja/anti monarki/anti feodal di

Surakarta, yang salah satu pimpinannya adalah Tan Malaka, tokoh Partai

Komunis Indonesia (PKI). Tujuan gerakan ini adalah pembubaran DIS, dan

penghapusan Mangkunegara dan Susuhunan. Motif lain adalah perampasan

tanah-tanah pertanian yang dikuasai Mangkunegara dan Susuhunan untuk

dibagi-bagikan dalam rangka kegiatan Landreform oleh gerakan komunis. Pada tanggal

17 Oktober 1945,

Wisir

(penasihat raja) Susuhunan, KRMH Sosrodiningrat

diculik dan dibunuh oleh gerakan Swapraja. Hal ini diikuti oleh pencopotan

bupati-bupati di wilayah Surakarta yang merupakan kerabat Mangkunegara dan

Susuhunan. Sejak saat itu Mangkunegara dan Susuhunan berubah menjadi suatu

keluarga atau trah biasa dan keraton berubah fungsi sebagai tempat

pengembangan seni dan budaya Jawa (http://www.wisatasolo.com).

Gerakan Swapraja berpengaruh hingga saat ini, Keraton Kasunanan

Surakarta Hadiningrat tidak lagi memiliki kekuasaan terhadap wilayahnya

maupun dirinya sendiri. Hal ini memicu penyimpangan-penyimpangan yang

berupa alih fungsi bangunan di dalam keraton yang dilakukan oleh individu,

golongan maupun instansi. Hal tersebut dapat diketahui dari bangunan-bangunan

yang dahulunya merupakan milik Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat

untuk saat ini menjadi milik perorangan dan juga beberapa bangunan digunakan

untuk instansi pemerintah (http://www.tempouiteraktif.com).

(6)

Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat memiliki kekhasan tata ruang

kota tersendiri yang wujud fisiknya masih dapat dilihat sampai saat ini. Struktur

tata ruang lama Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat juga masih ada,

bahkan benteng Baluwarti masih tetap berdiri.

Di Jawa, konsep mengenai raja dan kekuasaan dipengaruhi oleh konsep

spiritual yang berasal dari

kultur

India yaitu kepercayaan adanya kesejajaran

antara makrokosmos dan mikrokosmos yaitu antara jagat raya dan dunia manusia,

yang digambarkan dengan denah susunan Kosmis Keraton Kasunanan Surakarta

Hadiningrat yang meliputi: Kraton, Kuthanegara, Nagaragung, Mancanagara,

Pasisir dan Samudra. Kemudian dapat diketahui bahwa Keraton Kasunanan

Surakarta Hadiningrat menggunakan konsep konsentris (Damayanti 2005).

Konsep konsentris membagi Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat

menjadi enam lingkaran. Enam lingkaran tersebut sesuai dengan pembagian denah

susunan Kosmis yang telah disebutkan pada paragraf sebelumnya. Lingkaran

pertama, Kraton yaitu dalejm Ageng Prabasuyasa, kemudian halaman pasir

merupakan Kuthanegara Kedhaton dan sekitarnya, yang dikelilingi benteng

pertama dalam denah susunan kosmis, disebut juga Nagaragung. Lingkaran

kedua, wilayah di antara dua benteng, disebut dengan Baluwarti, yang disebut

juga Mancanagara. Ketiga, yaitu Paseban, yang terletak di halaman pintu masuk

kori Brajanala, disebut juga Pasisir. Dan keempat, Alun-alun Kidul dan Alun-alun

Lor, yang disebut juga Samudra. Berhubung jagat raya yang menurut kosmologi

Brahman atau Budhis berpusat di gunung Meru, maka kerajaan yang merupakan

jagat kecil harus memiliki Gunung Meru pada pusat kotanya, dan Meru dalam

jagat mikrokosmos tersebut adalah raja itu sendiri (Soeratman 1989:15).

(7)

Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat merupakan salah satu bangunan

yang sangat penting karena dari setiap jengkal tanah, bentuk bangunan, tumbuhan,

toponimi dalam tata ruangnya memberikan sumbangsih yang besar terhadap

identitas suatu kota. Alih fungsi bangunan yang bertempat pada posisi strategis

terhadap keraton perlu dipertanyakan kembali, untuk itu penelitian ini mengambil

judul

“EKSISTENSI TATA RUANG KERATON KASUNANAN

HADININGRAT TAHUN 2008”.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas dapat diidentifikasi

permasalahan yang timbul sebagai berikut :

1.

Pemerintah Kota Surakarta ingin menjadikan Kota Surakarta sebagai ikon

kebudayaan Jawa melalui Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat

sebagai salah satu asetnya dengan menggunakan

Brand name

Solo The

Spirit Of Java.

2.

Kebudayaan terdiri dari dua unsur, yaitu budaya fisik dan non fisik. Kedua

unsur kebudayaan tersebut telah mengalami pergeseran di Keraton

Kasunanan Surakarta Hadiningrat.

3.

Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat menggunakan konsep konsentris

pada tata ruangnya, namun saat ini terjadi perubahan.

4.

Sebagian bangunan di Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat

mengalami alih fungsi bangunan.

C. Pembatasan Masalah

Agar tidak terjadi penyimpangan dari persoalan pokok, penulis membatasi

hal-hal sebagai berikut :

1.

Kajian utama penelitian ini adalah Keraton Kasunanan Surakarta

Hadiningrat.

(8)

D. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian di atas, maka dirumuskan masalah

sebagai berikut :

1.

Bagaimanakah karakteristik tata ruang Keraton Kasunanan Surakarta

Hadiningrat ?

2.

Bagaimana penyimpangan tata ruang eksisting terhadap konsep konsentris?

E. Tujuan Penelitian

Pada penelitian ini tujuan yang ingin dicapai adalah :

1.

Untuk mengetahui karakteristik tata ruang Keraton Kasunanan Surakarta

Hadiningrat.

2.

Mengetahui penyimpangan tata ruang eksisting saat ini terhadap konsep

konsentris.

F. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Untuk menambah dan mengembangkan wawasan dan ilmu pengetahuan

serta lebih mendukung teori-teori yang ada sehubungan dengan ilmu geografi

khususnya geografi kesejarahan

(historycal geographic)

dan geografi perkotaan

(urban geographic).

2. Manfaat praktis

a.

Dapat memberikan kontribusi pemikiran dalam pengambilan kebijakan dan

pelaksanaan pembangunan tata ruang keraton serta permasalahan pelestarian

bangunan cagar budaya.

b.

Sebagai media penerapan ilmu pengetahuan yang didapat perkuliahan dalam

kenyataan di lapangan.

c.

Memberikan sumbangan tulisan bagi perpustakaan yang ada di UNS, baik

perpustakaan pusat, fakultas maupun perpustakaan program studi.

(9)

BAB II

LANDASAN TEORI

A.

Tinjauan Pustaka

1.

Kota Surakarta

Kerajaan tradisional Surakarta (Keraton Surakarta) dengan ibu kotanya

Sala merupakan penerus kerajaan Mataram yang didirikan oleh Susuhunan Paku

Buwono II (PB II) pada tahun 1746. Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat ini

sebagai pengganti Keraton Kartasura yang hancur akibat gerakan bersenjata

orang-orang Cina yang berhasil memberontak dan merebut Keraton Kartasura.

Desa Sala dipilih sebagai lokasi pendirian keraton. Desa sala kemudian

diganti menjadi Surakarta Hadiningrat Menurut ahli filologi Belanda, J. Brandes

dalam artikel yang berjudul “Yogyakarta” (1894) yang kemudian dikemukakan

kembali oleh Mr. R. Koesoemadi dalam buku “Soerakarta Adingrat 200 Jaar”

yang termuat dalam majalah kebudayaan “ Djawa” tahun 1939 (Ratna 1999),

nama Surakarta merupakan nama varian dari Jakarta yang pada masa lalu disebut

Jayakarta. Surakarta berasal dari gabungan kata

Sura

berarti berani dan

Karta

berarti sejahtera. Surakarta yang dipakai untuk nama keraton yang baru

dimaksudkan untuk

retisi

atau imbangan dari nama Jakarta atau Jayakarta

(Brandes dalam Ratna,1999:67). Sunan PB II mendambakan pusat kerajaan setara

dengan Jakarta yang berkembang dengan pesat terutama pada saat kompeni

Belanda (VOC) menjadikan Jakarta sebagai pusat pemerintahan. Berdasarkan

alasan tersebut, maka Sunan PB II tidak memakai nama Kartasura bagi keraton

yang berada di desa Sala tersebut.

Nama Sala tidak dipakai pada masa PB II, sebab menurut asal kata Sala

berasal dari perkataan

desa

dan

ala

yang menunjukan keadaan tidak baik dan

menunjukan ketidak-beruntungan. Selain itu, nama Surakarta tidak berbeda

dengan nama Salakarta yang disebut dalam

Serat Salasih Para Leluhur ing

Kadanurejan

Yogya

dan

Babad Mataram Salakarta

. Berdasarkan kedua sumber

(10)

baru bernama Salakarta, dan pada masa pemerintahan PB III diubah menjadi

Surakarta.(http://kabaresolo.com)

.

Luas ibukota kerajaan Surakarta (Kota Sala) adalah 24 kilometer persegi

dengan ukuran 6 kilometer, membentang dari arah barat ke timur, dan 4 kilometer

dari arah utara ke selatan. Kota ini berada di tanah dataran rendah sebelah barat

Bengawan Sala. Menurut astronomi, 110

o

46‟10” BT

- 110

o

51‟25” BT dan

7

o

32‟13” LS

- 7

o

35‟12” LS atau dalam koordinat UT

M terletak antara 474412

485510 mT dan antara 9168438

9160401 mU. Jarak terpanjang daerah ini dari

arah barat ke timur adalah 11,13 km dan dari utara ke selatan adalah 8,1 km

(dalam Peta Rupa Bumi Indonesia lembar 1403-343).

Luas wilayah eks Keresidenan Surakarta seluruhnya adalah 6.215

kilometer persegi. Dahulunya, separuh dari daerah itu adalah milik Kasunanan,

sedang separuh lainya masuk daerah Mangkunegaran. Secara administratif

Karesidenan Surakarta berbatasan dengan Karesidenan Yogyakarta (Nurhajarini

1999:11)

2.

Tata Ruang Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat

Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat tidak hanya ditujukan untuk

pusat politik dan kebudayaan, tetapi juga sebagai pusat

magis

bagi

kerajaan.Kerajaan merupakan

miniatur

dari jagat raya. Jagat raya menurut

kosmologi Brahman atau Budhis berpusat di Gunung Meru, sedangkan kerajaan

yang merupakan jagat kecil memiliki keraton sebagai sebagai pusatnya, dan pusat

kota tersebut akan menjadi pusat

magis

bagi kerajaan. Dengan demikian sebuah

kerajaan tidak lepas dari unsur-unsur yang melengkapinya. Bagaikan dunia kecil,

kerajaan merupakan gambaran alam semesta yang lengkap dengan zat

supranatural, dewa yang khalik dan umat manusia, serta alam beserta isinya.

Kosmologi ini diterapkan pada susunan penguasa atau raja sebagai titik

sentralnya.

Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat dibangun dengan menggunakan

konsep konsentris dan dibagi menjadi empat lingkaran. Lingkaran pertama

Kedhaton

dan sekitarnya yang dikelilingi benteng pertama. Lingkaran kedua,

(11)

terletak di halaman pintu masuk kori Brajanala. Dan keempat,

Alun-alun

di depan

paseban

.

Benda-benda yang terdapat di Keraton saat ini menunjukan filosofi jawa

yang sangat kuat. Cermin besar di kanan dan kiri

Kori Kemadungan

mengandung

makna introspeksi diri. Nama Kamandungan sendiri berasal dari kata

mandung

yang memiliki arti berhenti. Nama bangsal

Marcukundha

berasal dari kata

Marcu

yang berarti api dan

kundho

yang berarti wadah atau tempat, sehingga

Marcukundho melambangkan suatu doa atau harapan. Menara

Panggung Sangga

Buwana

adalah simbol

Lingga

dan

Kori Sri Manganti

di sebelah baratnya adalah

simbol

Yoni

. Simbol Lingga-Yoni dalam masyarakat Jawa dipercaya sebagai

suatu simbol kesuburan. Dalam upacara garebeg dikenal dengan adanya sedekah

raja yang berupa gunungan. Gunungan tersebut melambangkan sedekah yang

bergunung-gunung.

Sebelumnya perlu dijelaskan mengenai pengertian Karaton. Menurut

KRHT Wirodiningrat

Pangageng dalem

Sasono Wilopo, ada tujuh pengertian

(saptawedha) yang tercakup dalam istilah Karaton. Pertama, Karaton (Karaton)

berarti kerajaan. Kedua, Karaton berarti kekuasaan raja yang mengandung dua

aspek: kenegaraan (Staatsrechtelijk) dan magischreligieus. Ketiga, Karaton berarti

penjelmaan “

Wahyu nurbuwat

” dan oleh karena itu menjadi

pepunden

dalam

Kajawen. Keempat, Karaton berarti istana, kedaton “

Dhatulaya

” (rumah). Kelima,

bentuk bangunan Karaton yang unik dan khas mengandung makna simbolik yang

tinggi, yang menggambarkan perjalanan jiwa ke arah kesempurnaan. Keenam,

Karaton sebagai

Cultuur historische instelling

(lembaga sejarah kebudayaan)

menjadi sumber dan pemancar kebudayaan. Ketujuh, Karaton sebagai Badan

(juridische

instellingen), artinya Keraton mempunyai barang-barang hak milik

atau wilayah kekuasaan (

bezittingen)

sebagai sebuah dinasti. Hal itu tidak lepas

dari peninggalan berbagai warisan pusaka

(heritage)

berupa

tangible heritage

(12)

Secara umum pembagian keraton meliputi: Kompleks Alun-alun Lor,

Kompleks Sasana Sumewa, Kompleks Sitihinggil Lor, Kompleks Kamandungan

Lor, Kompleks Sri Manganti, Kompleks Kedhaton, Kompleks Kamagangan,

Kompleks Srimanganti Kidul dan Kemandungan Kidul, serta Kompleks

Sitihinggil Kidul dan Alun-alun Kidul. Kompleks Keraton Kasunanan Surakarta

Hadiningrat juga dikelilingi dengan

baluwarti

, sebuah dinding pertahanan dengan

tinggi sekitar tiga sampai lima meter dan tebal sekitar satu meter. Dinding ini

mengelilingi sebuah daerah dengan bentuk persegi panjang. Daerah itu berukuran

lebar sekitar lima ratus meter dan panjang sekitar tujuh ratus meter. Kompleks

keraton yang berada di dalam dinding adalah dari Kemandungan Lor sampai

Kemandungan Kidul. Kedua kompleks Sitihinggil dan Alun-alun tidak

dilingkungi tembok pertahanan.

a.

Kompleks Alun-alun Lor

Kompleks ini meliputi Gladhag, Pangurakan, Alun-alun utara, dan Masjid

Agung Surakarta. Gladhag yang sekarang dikenal dengan perempatan Gladhag di

Jalan Slamet Riyadi Surakarta, pada masa PB III digunakan sebagai tempat

mengikat binatang buruan yang ditangkap dari hutan. Alun-alun merupakan

tempat diselenggarakannya upacara-upacara kerajaan yang melibatkan rakyat.

Selain itu alun-alun menjadi tempat bertemunya raja dan rakyatnya. Di pinggir

alun-alun ditanami sejumlah pohon beringin. Di tengah-tengah alun alun terdapat

dua batang pohon beringin

(Ficus benjamina; Famili Moraceae)

yang diberi

pagar. Kedua batang pohon ini disebut

Waringin Sengkeran

(harifah: beringin

yang dikurung) yang diberi nama Dewodaru dan Joyodaru. Di sebelah barat

alun-alun utara berdiri Mesjid Ageng (Masjid Raya) Surakarta. Masjid raya tersebut

merupakan masjid resmi kerajaan dan didirikan oleh Susuhunan Pakubuwono III

(Sunan PB III) pada tahun 1750 (Kasunanan Surakarta merupakan kerajaan

Islam). Bangunan utamanya terdiri dari atas serambi dan masjid induk.

b.

Kompleks Sasana Sumewa dan kompleks Sitihinggil Lor

(13)

sejumlah meriam diantaranya di beri nama Kyai Pancawura atau Kyai Sapu Jagad.

Meriam ini dibuat pada masa pemerintahan Sultan Agung. Di sebelah selatan

Sasana Sumewa terdapat kompleks Sitihinggil. Sitihinggil merupakan suatu

kompleks yang dibangun di atas tanah yang lebih tinggi dari sekitarnya.

Kompleks ini memiliki dua gerbang, satu disebelah utara yang disebut dengan

Kori Wijil dan satu disebelah selatan yang disebut dengan Kori Renteng. Pada

tangga Sitihinggil sebelah utara terdapat sebuah batu yang digunakan sebagai

tempat pemenggalan kepala Trunajaya yang disebut dengan Selo Pamecat.

Bangunan utama di kompleks Sitihinggil adalah Sasana Sewayana yang

digunakan para pembesar dalam menghadiri upacara kerajaan. Selain itu terdapat

Bangsal Manguntur Tangkil, tempat tahta Susuhunan, dan Bangsal Witono,

tempat persemayaman Pusaka Kebesaran Kerajaan selama berlangsungnya

upacara. Bangsal yang terakhir ini memiliki suatu bangunan kecil di

tengah-tengahnya yang disebut dengan Krobongan Bale Manguneng, tempat

persemayaman pusaka keraton Kangjeng Nyai Setomi, sebuah meriam yang

dirampas oleh tentara Mataram dari VOC saat menyerbu Batavia. Sisi luar

timur-selatan-barat kompleks Sitihinggil merupakan jalan umum yang dapat dilalui oleh

masyarakat yang disebut dengan

Supit

Urang

(harfiah=capit udang).

c.

Kompleks Kemandungan Lor

(14)

Kamandungan Lor pula dapat dilihat sebuah menara megah yang disebut dengan

Panggung Sangga Buwana yang terletak di Kompleks Sri Manganti.

d.

Kompleks Sri Manganti

Untuk memasuki kompleks ini dari sisi utara harus melalui sebuah pintu

gerbang yang disebut dengan Kori Kamandungan. Di depan sisi kanan dan kiri

gerbang yang bernuansa warna biru dan putih tersebut terdapat dua arca. Di sisi

kanan dan kiri pintu besar ini terdapat cermin besar dan diatasnya terdapat suatu

hiasan yang terdiri dari senjata dan bendera yang ditengahnya terdapat lambang

kerajaan. Hiasan ini disebut dengan Bendero Gulo Klopo. Di halaman Sri

Manganti terdapat dua bangunan utama yaitu Bangsal Smarakatha disebelah

barat dan Bangsal Marcukundha di sebelah timur. Pada zamannya Bangsal

Smarakatha digunakan untuk menghadap para pegawai menengah ke atas dengan

pangkat Bupati Lebet ke atas. Komplek Sri Manganti mejadi tempat penerimaan

kenaikan pangkat para pejabat senior. Sekarang tempat tersebut digunakan untuk

latihan menari dan mendalang. Bangsal Marcukundha dahulunya digunakan

untuk menghadap para opsir prajurit, untuk kenaikan pangkat pegawai dan

pejabat yunior, serta tempat untuk menjatuhkan vonis hukuman bagi kerabat raja.

Sekarang tempat ini untuk menyimpan Krobongan Madirenggo, sebuah tempat

untuk upacara sunat/kitan para putra Susuhunan. Di sisi barat daya Bangsal

Marcukundha terdapat sebuah menara bersegi delapan yang disebut dengan

Panggung Sangga Buwana. Menara yang memiliki tinggi sekitar tiga puluhan

meter ini sebenarnya terletak di dua halaman sekaligus, halaman Sri Manganti

dan halaman Kedhaton. Namun demikian pintu utamanya terletak di halaman

Kedhaton.

e.

Kompleks Kedhaton

(15)

pintu. Halaman Sasono Pabasuyasa dialasi dengan pasir hitam dari pantai selatan

dan ditumbuhi oleh berbagai pohon langka antara lain 76 batang pohon Sawo

Kecik (

Manilkara kauki; Famili Sapotaceae

). Selain itu halaman ini juga dihiasi

dengan patung-patung bergaya eropa. Kompleks ini memiliki bangunan utama

diantaranya adalah Sasana Sewaka, Dalem Ageng Prabasuyasa, Sasana

Handrawina, dan Panggung Sangga Buwana. Sasana Sewaka merupakan

bangunan peninggalan pendapa istana Kartasura. Sasana Sewaka pernah

mengalami kebakaran di tahun 1985. Di bangunan ini pula Susuhunan bertahta

dalam upacara-upacara kebesaran kerajaan seperti garebeg dan ulang tahun raja.

Di sebelah barat Sasana ini terdapat Sasana Parasdya, sebuah peringgitan. Di

sebelah barat Sasana Parasdya terdapat Dalem Ageng Prabasuyasa. Dalem

Ageng Prabasuyasa merupakan bangunan inti dan terpenting dari seluruh

Keraton Surakarta Hadiningrat. Di tempat inilah disemayamkan pusaka-pusaka

dan juga tahta raja yang menjadi simbol kerajaan.

f.

Sasana Handrawina

(16)

g.

Sri Manganti Kidul dan Kemandungan Kidul

Dua kompleks berikutnya, Sri Manganti Kidul dan Kemandungan Kidul

hanyalah berupa halaman yang digunakan saat upacara pemakaman raja maupun

permaisuri. Kompleks terakhir, Sitihinggil kidul termasuk alun-alun kidul,

memiliki sebuah bangunan kecil. Kini kompleks ini digunakan untuk memelihara

pusaka keraton yang berupa kerbau albino yang disebut dengan Kyai Slamet.

3.

Tata Ruang Eksisting Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat

Kota adalah merupakan suatu karya seni sosial. Setiap kota terbentuk

secara

organik

dengan penampilan yang berbeda-beda, hasil ciptaan segenap

lapisan masyarakat,

sektor publik

atau pemerintah dan pihak swasta. Ketiganya

bergerak dengan prinsip kemitraan profesional. Bila pihak swasta terlalu perkasa,

yang terjadi adalah

Profitopolis

atau kota yang berwawasan komersial. Bila yang

terlalu dominan adalah pihak pemerintah, terbentuklah yang disebut dengan

Marxopolis

atau kota yang mengabdi pada kepentingan politik. Manakala

kekuatan itu bergabung dan masyarakat sekedar jadi penonton, maka

metropolis

yang mereka harapkan akan berubah menjadi

Miseropolis

atau kota yang

menyengsarakan, karena tidak memiliki tempat untuk masyarakat. Sedangkan tipe

kota yang paling ideal adalah

Humanopolis

atau kota yang manusiawi,

menyejahterakan, kota seharusnya memiliki jati diri dan karakter seperti

selayaknya manusia (Mangunwijaya:1992)

(17)

Kota-kota besar disegenap pelosok tanah air, saat ini semakin

berantakan, kehilangan jati dirinya masing-masing gerakan arsitektur modern

dengan gaya Internasional yang serba tunggal rupa, menyebabkan orang bergerak

dari satu kota besar ke kota besar lainya, tanpa merasa sudah berpindah tempat.

Dikatakan bahwa manusia bepergian dari kota A dan kemudian sampai dikota A,

singgah sebentar dikota A, dan kemudian sampai lagi di kota A. Orang Barat

mengatakan

“Don’t go there, there is no there

” (Budiharjo1997:86). Identitas

pada kota sangat penting.

Kota Solo terkenal sebagai pusat kebudayaan Jawa, warisan terbesar masa

lampau yang saat ini masih ada yaitu, keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat.

Keraton memiliki tata ruang tersendiri. Ketika awal dibangun, setiap jengkal

tanah, tumbuh-tumbuhan, tugu, ornamen ukir, arsitektur pendopo dan pintu

gerbangnya, memiliki nilai-nilai budaya yang harus dilestarikan.

Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat dikhususkan di dalam komplek

Baluwarti sudah tidak lagi ditinggali orang-orang yang berprofesi sebagai abdi

dalem yang sesuai dengan nama kampungnya, kampung Wirengan tidak lagi

digunakan sebagai tempat tinggal para penari dan kampung Tamtaman juga tidak

digunakan sebagai tempat tinggal prajurit Tamtaman. Dikarenakan penduduk

kampung tersebut lebih cenderung menekuni profesi diluar Abdi dalem.

Selain digunakan untuk permukiman komplek Baluwarti juga dipakai

untuk bentuk usaha lain misalnya wartel, toko kelontong, warung makan, rental

komputer, sekolah, sekertariat partai politik, pedagang kaki lima dan sebagainya.

Selain itu banyak rumah di dalam benteng baluwarti yang sudah dirubah

bentuknya dan di sesuaikan menurut bentuk usaha penghuninya.

4.

Penyimpangan

(18)

yang berbentuk joglo. Selebihnya merupakan gaya arsitektur modern Rumeda

(2006 : III-7) Budiharjo (1997 : 86). Padahal lahan yang digunankan untuk

mendirikan PGS masih termasuk dalam kawasan Lingkaran Kosmologi Konsep

Konsentris. Yang mengharuskan bangunan PGS hurus menyesuaikan fungsi serta

bentuknya, sedangkan bangunan PGS lebih mengarah post modern baik fungsi

serta bentukya, membudayakan belanja dengan gaya modern yang kurang

mendukung

eksistensi

Keraton

kasunanan

Surakarta

Hadinngrat.

menggungkapkan tentang penyeragaman kota-kota akibat merebaknya

shopping

malls

dan blok-blok apartemen yang nyaris tidak ada bedanya satu sama lain.

Inilah penyebab kota tidak memiliki Identitas. Sehingga kota budaya tidak

tercermin dengan adanya PGS.

5.

Penginderaan Jauh

Penginderaan jauh adalah alat untuk mengidentifikasi bangunan dai

sumber yang berupa citra foto maupun citra satelit yang diambil dari situs

Google Earth yang nantinya akan diaplikasikan dalam bentuk peta tematik

dengan menggunankan Sistem Informasi Geografi (SIG).

Unsur Interpretasi Citra

Prinsip pengenalan obyek pada citra mendasarkan atas penyidikan

karakteristiknya atau atributnya pada citra dan digunakan untuk mengenali

obyek yang disebut unsur interpretasi citra. Unsur interpretasi citra meliputi

-

Rona dan warna

Rona

(tone / colour tone / grey tone)

ialah tingkat kegelapan atau tingkat

kecerahan obyek pada citra.

-

Bentuk

Bentuk merupakan variabel kualitatif yang memberikan konfigurasi atau

kerangka pada suatu obyek (Lo, 1976). Bentuk merupakan atribut yang

jelas sehingga banyak obyek yang dapat dikenali berdasarkan bentuknya

saja.

(19)

Ukuran ialah atribut obyek yang antara lain berupa jarak, luas, tinggi,

lereng dan volume. Karena ukuran obyek pada citra merupakan fungsi

skala maka didalam memanfaatkan ukuran sebagai unsur interpretasi citra

harus dingat skalanya.

-

Tekstur

Tekstur ialah frekuesi perubahan rona pada citra (Lillesand dan Kiefer,

1979) atau pengulangan rona kelompok obyek yang terlalu kecil untuk

dibedakan secara individual (Estes dan Simonett, 1975)

-

Pola

Pola, tinggi dan bayangan pada dikelompokkan kedalam tingkat kerumitan

tersier. Tingkat kerumitannya setingkat lebih tinggi dari tingkat kerumitan

bentuk, ukuran dan tekstur sebagai unsur interpretasi citra

-

Bayangan

Bayangan bersifat menyembunyikan detail atau obyek yang berada di

daerah gelap. Obyek atau gejala yang terletak di daerah bayangan pada

umumnya tidak tampak sama sekali atau kadang samar-samar. Meskipun

demikian bayangan sering menjadi kunci pengenalan yang penting bagi

beberapa obyek yang justru lebih tampak dari bayangannya.

-

Situs

Situs bukan merupakan ciri obyek secara langsung, melainkan dalam

kaitannya dengan lingkungan sekitarnya. Menurut Estes dan Simonett

situs diartikan letak suatu obyek terhadap obyek lain.

-

Asosiasi

Asosiasi dapat diartikan sebagai keterkaitan antara obyek satu dengan

obyek yang lain. Karena adanya keterkaitan ini maka terlihatnya suatu

obyek pada citra sering merupakan petunjuk bagi adanya obyek lain.

-

Konvergensi bukti

(20)

6.

Penelitian yang Relevan

Konservasi Bangunan Kuno dan Bersejarah diSurakarta.

Eksistensi Tata Ruang Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat tahun 2008

Daerah Penelitian

Kota Surakarta Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat

Tujuan

Menggali khasanah bangunan kuno dan bersejarah yang dimiliki suatu daerah dan menggungkap seberapa jauh bangunan kuno layak untuk dilestarikan.

1. Untuk mengetahui tata ruang kota lama Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat.

Metode Deskriptif Deskriptif

Hasil

1. Lingkungan dan bangunan kuno dengan ragam arsitekturnya yang khas merupakan asset yang sangat berharga dalam bidang pariwisata, yang saat ini sedang digalakan 2. Peninggalan karya arsitektur kuno, baik yang

tradisional maupun peninggalan kolonial. 3. Merupakan rekaman sejarah dalam bentuk

(21)

7.

Kerangka Pemikiran

Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat merupakan warisan

budaya yang menjadi ciri khas kota Solo. Keraton menggunakan konsep

konsentris sebagai konsep dasar pada awal dibangun, berkenaan dengan hal

tersebut perlu diupayakan pemeliharaan keraton berupa pengaturan pendirian

bangunan modern baik di dalam maupun disekitarnya.

Tatakota lama Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat

diperlihatkan dengan cara ditumpang susunkan dengan penggunaan lahan saat

ini untuk mengetahui adanya pelanggaran terhadap Monumenten Ordonantie,

UU No. 5 Tahun 1992 tentang cagar Budaya dengan konsep konsentris yang

digunakan oleh tatakota Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat sejak awal

berdirinya.

(22)

Gambar .1 Diagram Kerangka Berfikir

Denah Kosmis Keraton Kasunanan

Surakarta Hadinngrat Peta eksisting Keraton

Kasunanan Surakarta Hadiningrat

Pola penyimpangan

Kebijakan yang berpengaruh Konsep Budhis

Dan

Konsentris

Overlay dengan SIG Keraton Ideal

Alih fungsi Bangunan Monumenten

Ordonantie

Dan

(23)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A.

Tempat dan Waktu Penelitian

1. Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di lingkungan Keraton Kasunanan Surakarta

Hadiningrat yang tepatnya berada di Kecamatan Pasar Kliwon. Pemilihan lokasi

penelitian ini didasarkan pada pesatnya pendirian bangunan modern di sekitar

keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat.

2. Waktu Penelitian

Waktu yang dilakukan untuk melakukan penelitian ini kurang lebih 8

bulan, yaitu dari pengajuan judul sampai penulisan laporan penelitian. Penelitian

ini dimulai bulan Desember 2007 sampai bulan Juni 2008. Untuk lebih jelasnya

waktu penelitian disajikan dalam tabel berikut ini.

No Kegiatan Waktu

Sept‟08 Nop‟08Okt- Jan‟08Des- Feb08

(24)

Bentuk penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif

adalah penelitian yang mengarahkan kegiatannya sebagai usaha untuk menjawab

pertanyaan tentang bagaimana dan mengapa ( Sutopo dalam Maryono, 1999: 20).

Sedangkan metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif.

Metode deskriptif menurut Nawawi dalam Maryono (1999: 99) adalah sebagai

prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau

melukiskan subyek-subyek penelitian pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta

yang tampak sebagaimana adanya. Metode deskriptif dalam penelitian ini

digunakan untuk menggambarkan secara sistematik karakteristik tata ruang

Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat beserta filosofinya. Metode penelitian

deskriptif merupakan istilah umum yang mencakup berbagai teknik kualitatif,

diantaranya

adalah

penyelidikan

yang

menuturkan,

menganalisis

dan

mengkalisifikasi, penyelidikan dengan teknik survey, dengan teknik interview,

angket, dan observasi.

1. Bentuk Penelitian

Bentuk penelitian yang digunakan adalah bentuk kualitatif sebagaimana

dikemukakan oleh Moleong (1994: 3) bahwa “Metode kualitatif sebagai prosedur

penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan

dari orang-

orang dan perilaku yang dapat diamati”. Berdasarkan pendapat tersebut

maka penelitian ini menggunakan analisis deskriptif kualitatif, yaitu menyajikan

data yang diperoleh ke dalam bentuk peta digital dengan teknik Sistem Informasi

Geografi (SIG).

2. Strategi Penelitian

(25)

Penyelidikan deskriptif yang berusaha mencari pemecahan melalui analisis

tentang perhubungan-perhubungan sebab akibat, yakni meneliti faktor-faktor

tertentu yang berhubungan dengan situasi atau fenomena yang diselidiki dan

membandingkan satu faktor dengan faktor lain, adalah penyelidikan yang bersifat

komparatif.

C. Sumber dan jenis data

Data yang dibutuhkan untuk melaksanakan penelitian ini adalah :

1. Data Primer

Mengumpulkan data primer dengan melakukan wawancara dengan pihak

Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan dinas-dinas terkait dengan

masalah-masalah tersebut untuk mendapatkan data-data seperti berikut:

Data inventaris bangunan milik Keraton

Data fungsional bangunan milik Keraton

Data lokasi absolut bangunan Keraton dari GPS.

2. Data sekunder

Data sekunder adalah data-data yang diperoleh dari instansi yang

berwenang dan dari hasil studi sebelumnya. Data sekunder yang diperlukan

antara lain :

1)

Peta Rupa Bumi Digital Indonesia skala 1:25.000 lembar 1408-343

Surakarta

2)

Citra IKONOS dari situs internet Google Earth

3)

Peta Penggunaan Tanah skala 1 : 10.000, Badan Pertanahan Nasional 1

meter.

4)

Peta Rupa Bumi lembar Surakarta skala 1 : 25.000 tahun 2003 Ci = 12,5

meter.

5)

Peta Topografi Detail skala 1 : 10.000, Dinas Pekerjaan Umum Ci = 1

meter.

(26)

D. Teknik Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan data yang dapat dipercaya dari beberapa sumber yang

telah dikumpulkan, maka diperlukan cara atau teknik tertentu dalam pengumpulan

data. Teknik yang digunakan untuk mendapatkan data antara lain:

1. Observasi lapangan untuk mengetahui :

a.

Kondisi dan lokasi bangunan Keraton.

b.

Mendokumentasikan bangunan Keraton dan bangunan modern di

sekitarnya.

2. Wawancara

Menurut Singarimbun dan Effendi (1989: 192 ), wawancara yaitu

mendapatkan informasi dengan cara bertanya secara langsung kepada

responden. Selanjutnya Moleong (1995: 135), menjelaskan bahwa wawancara

adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua

pihak, yaitu pewancara (

interviewer

) yang mengajukan pertanyaan dan yang

diwawancarai (

interviewer

) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu.

E. Teknik Analisis Data

1. Teknik interpretasi citra

Teknik interpretasi citra dimaksudkan sebagai alat atau cara khusus untuk

melaksanakan metode penginderaan jauh. Langkah pertama studi adalah

identifikasi tutupan lahan pada citra Ikonos untuk menafsirkan penggunaan

lahan di daerah studi. Hasil identifikasi berupa peta tentatif penggunaan lahan.

Langkah berikutnya adalah

groundsurvey

di daerah studi untuk memastikan

penggunaan lahan sebenarnya di lapangan. Langkah terakhir adalah koreksi

geometrik antara peta penggunaan lahan tentatif dengan peta rupa bumi

Indonesia lembar Surakarta.

2. Overlay Peta

(27)

BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. Deskripsi Lokasi Penelitian 1. Letak

a. Letak Astronomis

Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat terletak antara 110o49‟12” BT - 110o49‟48” BT dan 7o34‟12” LS - 7o34‟48” LS atau dalam koordinat UTM terletak antara 480475 – 481369 mT dan antara 9161763 – 9162988 mU. Jarak terpanjang kota ini dari arah barat ke timur adalah 0,84 Km dan dari utara ke selatan adalah 1,22 Km (dalam Peta Rupa Bumi Indonesia lembar 1403-343)..

b. Letak Administratif

Secara administrasi Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat berada di Kelurahan Baluwarti dan sebagian berada di Kelurahan Kauman dan Kelurahan Kedunglumbu. Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat berbatasan dengan 4 kelurahan yaitu :

- Sebelah Utara : Kelurahan Kauman dan Kelurahan Kedunglumbu

- Sebelah Timur : Kelurahan Kedunglumbu dan Kelurahan Pasarkliwon

- Sebelah Selatan : Kelurahan Gajahan dan Kelurahan Pasarkliwon

- Sebelah Barat : Kelurahan Gajahan

Administrasi Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat dipresentasikan Peta 1 di halaman 26.

c. Letak Geologis

(28)

aluvial (proses banjir). Batuan ini terdiri dari lempung, lumpur, lanau, pasir, kerikil, kerakal dan berangkal.

d. Letak Geomorfologis

Setiyarso (2009) mengidentifikasi medan Kota Surakarta menjadi tiga sistem medan yaitu sistem medan vulkanik, sistem medan fluvial dan sistem medan struktural. Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat berada pada sistem medan fluvial tepatnya berupa bentuklahan rawa belakang. Proses geomorfologi yang membentuk bentuklahan ini adalah proses banjir periodik. Hal ini diperkuat oleh data dari Babad Sala yang menyebutkan penggunaan lahan di lokasi pendirian keraton yang berupa lahan rawa.

2. Luas

Luas Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat adalah 1,24 Km2. Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat terbagi menjadi tiga kelurahan, yaitu Kelurahan Baluwarti, Kelurahan Kauman dan Kelurahan Kedunglumbu. Luas masing-masing kelurahan dan termasuk keraton dipresentasikan dalam Tabel 8.

Tabel 2. Luas Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat

No Kelurahan Luas (Km2)

1. Baluwarti 0,54

2. Kedunglumbu 0,21

2. Kauman 0,59

Jumlah 1,24

(29)
(30)

3. Curah Hujan

Data curah hujan diambil dari stasiun meteorologi Pabelan. Data curah hujan yang digunakan adalah data curah hujan periode1997-2007, yaitu :

Tabel 3. Curah Hujan Maksimum Bulanan Kota Surakarta Periode 1997-2007

No Bulan Curah hujan (mm)

Jumlah

(31)

1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007

Penentuan tipe curah hujan di lokasi penelitian berdasarkan metode Schmidt dan Ferguson. Klasifikasi tipe curah hujan berdasarkan metode ini adalah dengan berdasarkan pada perbandingan rata-rata jumlah bulan basah dan rata-rata jumlah Bulan kering. Kriteria untuk menentukan bulan basah dan kering berdasarkan klasifikasi dari Mohr yaitu :

1) Bulan basah yaitu suatu bulan yang curah hujannya lebih dari 100 mm. Pada bulan basah, curah hujan lebih besar dari penguapan yang terjadi.

2) Bulan lembab yaitu suatu bulan yang curah hujannya lebih besar dari 60 mm tetapi kurang dari 100 mm. Pada bulan ini, curah hujan kurang lebih sama dengan penguapan yang terjadi.

(32)

Penggolongan tipe curah hujan menurut Schmidt dan Ferguson berdasarkan pada nilai Q yaitu :

Rata-rata jumlah bulan kering

Rata-rata jumlah bulan basah

Berdasarkan besarnya nilai Q, tipe curah hujan di Indonesia dibagi menjadi 8 golongan yaitu :

Tabel 4. Klasifikasi Tipe Curah Hujan menurut Schmidt dan Ferguson

No. Tipe Nilai Sifat

1. A 0,000 ≤ Q < 0,143 Sangat basah (very wet)

2. B 0,143 ≤ Q < 0,333 Basah (wet)

3. C 0,333 ≤ Q < 0,600 Agak basah (fairly wet)

4. D 0,600 ≤ Q < 1,000 Sedang (fair)

5. E 1,000 ≤ Q < 1,670 Agak kering (fairly dry)

6. F 1,670 ≤ Q < 3,000 Kering (dry)

7. G 3,000 ≤ Q < 7,000 Sangat kering (very dry)

8. H 7,000 ≤ Q Luar biasa kering (extremely dry)

Sumber : Wisnubroto, 1983 : 75

Data curah hujan dari Stasiun Meteorologi Pabelan dipakai untuk mewakili curah hujan di lokasi penelitian (dipresentasikan pada Tabel 3). Berdasarkan Tabel 3 dapat diketahui jumlah curah hujan tertinggi adalah pada Tahun 1998 sebesar 1954 mm. Rata-rata curah hujan tertinggi adalah pada Bulan Desember yaitu sebesar 358,2 mm. Rata-rata curah hujan terendah adalah pada Bulan Agustus yaitu sebesar 25,1 mm. Jumlah bulan basah paling banyak berada pada Tahun 1998 yaitu sebanyak 10 bulan. Adapun jumlah bulan kering paling banyak pada Tahun 2002 dan 2003 yaitu sebanyak 7 bulan.

(33)

Penentuan tipe curah hujan menurut metode Schmidt-Ferguson dapat dihitung sebagai berikut :

%

100

4

,

7

9

,

4

X

Q

= 66,21 %

= 0,66

Dari hasil perhitungan tersebut dapat disimpulkan tipe curah hujan Kota Surakarta menurut Schmidt dan Ferguson termasuk curah hujan tipe D karena berada pada kisaran antara 0,600  Q < 1,000. Hasil perhitungan dipresentasikan pada Gambar 2.

Gambar 2. Tipe Curah Hujan Lokasi Penelitian

(34)

4. Tanah

Persebaran tanah di lokasi penelitian ditunjukkan oleh Peta Tanah Tinjau skala 1 : 250.000 yang disusun oleh Supraptoharjo dkk (1966) dalam Baiquni (1988 : 32). Berdasarkan Peta Tanah Tinjau tersebut, macam tanah di lokasi penelitian meliputi :

- Mediteran Coklat Tua

Tanah ini berada di bagian timur laut Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Bahan induknya adalah tuf vulkan intermediair dan berada pada fisiografi vulkan dan bukit lipatan.

- Aluvial Coklat Kekelabuan

Tanah ini berada di bagian tenggara Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Bahan induknya adalah endapan liat yang menempati fisiografi dataran. Tanah ini termasuk jenis tanah aluvial yang salah satu sifatnya tergantung dari asal tanah itu diendapkan sehingga kesuburannya ditentukan oleh keadaan bahan asalnya.

- Regosol Kelabu

(35)
(36)
(37)

5. Penduduk a. Kepadatan Penduduk

Data kependudukan diperoleh dari monografi dinamis tiga bulanan Kecamatan di Kota Surakarta. Monografi dinamis yang dipakai adalah monografi periode Januari - Maret 2008 dari masing-masing kecamatan. Data tersebut direkapitulasi sebagai berikut ini :

Tabel 5. Kependudukan Kota Surakarta Tahun 2008

Kelurahan

Laki-laki

Perempuan Jumlah KK

Luas (Km2)

Kepadatan (Jiwa/Km2)

a. Baluwarti 3.402 3.662 7.064 1.450 0,54 13.053

b. Kauman 1.742 1.665 3.407 729 0,21 18.245

c. Kedunglumbu 2.364 2.499 4.863 1.312 0,59 8.195

Jumlah 7.508 7.826 15.334 3.541 1,24 10.625

Sumber : Monografi dinamis Kecamatan Pasar Kliwon Tahun 2008 dan hasil perhitungan

(38)

kepadatan 18.245 Jiwa/Km2, kepadatan paling rendah berada pada kelurahan

Kedunglumbu dengan kepadatan 8.195 Jiwa/Km2. Unit kelurahan disajikan pada Tabel 5 kolom ketujuh.

b. Komposisi Penduduk

Komposisi penduduk adalah pengelompokan penduduk berdasarkan kriteria tertentu. Penduduk dapat diklasifikasikan berdasarkan kondisi biologis, sosial, ekonomis dan geografis sesuai dengan kebutuhan penggolongan. Dalam kajian ini penduduk akan diklasifikasikan berdasarkan jenis kelamin, pendidikan dan mata pencaharian yang nantinya dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam analisis penyesuaian diri terhadap bahaya banjir. Adapun klasifikasi tersebut adalah sebagai berikut ini :

1) Menurut Jenis Kelamin

Jenis kelamin merupakan karakteristik penduduk yang pokok. Struktur ini mempunyai pengaruh penting terhadap tingkah laku demografis maupun sosial ekonomi. Berdasarkan Tabel 6 dapat disajikan komposisi penduduk menurut jenis kelamin per kecamatan di Kota Surakarta yaitu sebagai berikut ini:

Tabel 6. Komposisi Penduduk menurut Jenis Kelamin

No Kelurahan Laki-laki Perempuan Jumlah Sex ratio

1. Baluwarti 3.402 3.662 7.064 92

2. Kedunglumbu 2.364 2.499 4.863 94

2. Kedunglumbu 1.742 1.665 3.407 94

Jumlah 5.766 6.161 11.927 93

(39)

2) Menurut Pendidikan

Tingkat pendidikan penduduk dapat menggambarkan kondisi sosial ekonomi dan budaya penduduk. Komposisi penduduk Kota Surakarta disajikan dalam tabel berikut ini :

Tabel 7. Komposisi Penduduk menurut Jenjang Pendidikan

No Pendidikan

Kelurahan

Baluwarti Kedunglumbu Kauman

1 Tamat Akademi

/perguruan tinggi 359 592 594

2 Tamat SLTA 2377 626 529

3 Tamat SLTP 1682 658 479

4 Tamat SD 1075 693 274

5 Tidak tamat SD 46 914 210

6 Belum tamat SD 750 714 357

7 Tidak sekolah 55 130 118

8 Lain-lain 0 0 0

Jumlah 6344 4327 2561

Sumber : Monografi dinamis Kecamatan Pasar Kliwon Tahun 2008

3) Menurut Mata Pencaharian

Mata pencaharian berbeda-beda antara penduduk satu dengan lainnya. Berdasarkan mata pencaharian dapat diidentifikasi kondisi ekonomi penduduk terutama terkait dengan besarnya pendapatan. Komposisi penduduk berdasarkan kriteria mata pencaharian disajikan dalam tabel berikut ini :

Tabel 8. Komposisi Penduduk menurut Jenis Pekerjaan

No Pekerjaan

Kelurahan

(40)

1 Petani 0 0 0

2 Buruh tani 0 0 0

3 Pengusaha 61 149 149

4 Buruh industri 546 154 201

5 Buruh bangunan 408 214 291

6 Pedagang 468 423 181

7 Pengangkutan 231 65 99

8 Pegawai negeri 728 9 139

9 Pensiunan 104 49 123

10 Lain-lain 3241 137 1546

Jumlah 5787 1200 2729

Sumber : Monografi dinamis Kecamatan Pasar Kliwon Tahun 2008

6. Perkembangan dan Fungsi Kota

Morfologi Kota Surakarta pada tahun 1500-2000 telah tumbuh membentuk berbagai formasi, yaitu memusat, mengelompok dan organik. Elemen „daging‟ telah tumbuh secara horisontal, vertikal dan interestisial. Sementara elemen „darah‟ telah berkembang dari orang pribumi (Jawa, Madura, Banjar) bertambah dengan orang-orang pendatang (Cina, Arab, India, Belanda), dengan mata pencaharian dari agricultural ke non-agricultural. Temuan penting lainnya adalah Kota Surakarta tersusun oleh tiga konsep yang berlainan yang saling tumpang tindih, yaitu konsep organik oleh masyarakat pribumi, konsep kolonial oleh masyarakat Belanda dan konsep kosmologi oleh masyarakat Keraton Jawa. (Prayitno 2007)

(41)

meninggalkan hiruk-pikuk kota tepian sungai yang pernah terjadi di Bengawan Solo. Pada tahun 2000, Kota Surakarta mengalami permasalah kota yang umumnya juga terjadi di kota-kota besar di Indonesia, yaitu permasalahan pada lingkungan alaminya, lingkungan buatannya dan lingkungan humannya. Sehingga diperlukan pengaturan pada cagar budaya yang sesuai dengan kondisi Kota Surakarta yang sangat spesifik.

Pembentukan Kota Surakarta diawali dengan pemindahan ibukota Kerajaan Mataram Islam dari Kartosuro ke Desa Sala sekitar tahun 1745 atau pada zaman pemerintahan Sultan Pakoe Boewono II. Perkembangan kota pada mulanya berorientasi pada Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Mangkunegaran.

Perkembangan selanjutnya terbentuk jaringan-jaringan jalan yang membuka hubungan dengan daerah lain seperti ke barat menuju Yogyakarta dan Semarang melalui Kartosuro, ke utara melalui Purwodadi, ke timur menuju Madiun dan ke selatan menuju Wonogiri. Jaringan jalan ini mempunyai peranan yang cukup penting terhadap perkembangan Kota Surakarta.

Keterbatasan ruang di bagian timur, selatan dan barat Kota Surakarta memaksa perkembangan Kota Surakarta ke arah bagian utara kota yang ditandai dengan berdirinya komplek perumnas dan komplek kampus pada wilayah yang berbukit-bukit tersebut (Baiquni, 1988 : 33).

Perkembangan Kota Surakarta tidak luput dengan fungsi dan peranan kota sebagai kota madya. Menurut Hary Subandriya (1986) dalam Baiquni (1988 : 33), peranan dan fungsi Kota Surakarta terhadap daerah sekitarnya adalah sebagai berikut ini :

- Sebagai pusat pengembangan budaya dan kepariwisataan Jawa Tengah bagian selatan.

- Sebagai kota pusat perdagangan dan industri.

- Sebagai daerah yang representatif bagi perkembangan penduduk.

- Sebagai kota transito bagi pengunjung dari Jawa Barat, Yogyakarta dan Jawa Timur. - Sebagai kota yang giat melaksanakan pembangunan.

- Sebagai kota pengembangan pendidikan.

(42)

perekonomian. Hal ini dimungkinkan karena struktur perekonomian daerah sekitar Kota Surakarta didominasi oleh kegiatan perekonomian primer (agraris), sedangkan struktur perekonomian Kota Surakarta didominasi oleh kegiatan perekonomian sekunder (industri) dan tersier (jasa).

Faktor utama yang menentukan dalam peningkatan hubungan ekonomis Kota Surakarta adalah terselenggaranya sistem pengangkutan darat yang membentuk jalur radial antara Kota Surakarta dengan kabupaten-kabupaten di sekitarnya (Bappeda, 1985 dalam Baiquni, 1988 : 34).

7. Pemerintahan

Ditinjau dari segi pemerintahanya, Kota Surakarta mengalami beberapa periode, mulai dari masa pemerintahan kolonial Belanda, masa penjajahan Jepang dan masa kemerdekaan atau periode pemerintahan republik Indonesia. Secara ringkas periode pemerintahan tersebut seperti berikut.

Periode pemerintahan kolonial Belanda. Solo merupakan derah swapraja yang terbagi menjadi dua bagian yaitu Swapraja Kasunanan (di bawah Paku Buwono) dan Swapraja Mangkunegaran (di bawah Mangkunegara). Kedua daerah Swaparaja ini dikuasai oleh seorang gubernur Hindia Belanda.

Periode Pemerintahan Kota Surakarta. Periode Pemerintahan Kota Surakarta dimulai dari saat terbentuknya dan berakhir sampai dengan ditetapkan Undang-undang No.16 tahun 1974 tentang pembentukan Haminte kota Surakarta, yang mulai berlaku pada tanggal 5 Juni 1947.

(43)

jabatan-jabatan tersebut satu demi satu secara berangsur-angsur dilepaskan sehingga akhirnya tinggal satu jabatan saja yaitu Walikota sebagai Kepala Daerah.

Periode Kota Besar Surakarta, Kota Besar Surakarta baru dikenal dan dipergunakan setelah UU No.20 tahun 1943 tentang Pemerintah daerah yang ditetapkan mulai berlaku pada tanggal 20 juni 1948 (akan tetapi karena adanya Clash II baru dijalankan tahun 1950). Pada pertengahan 1949 di Solo dibentuk pemerintahan Illegal yang kemudian disahkan oleh pemerintah pusat. Pemerintahan Illegal tersebut dikuasai oleh pelajar, Mahasiswa dan pemuda-pemuda pada umumnya. Hampir bersamaan dengan itu pula pemerintahan Kasunanan dan Mangkunegaran dengan bantuan dan perlindungan Belanda juga menyusun pemerintahan, akan tetapi dalam prakteknya tidak dapat berjalan karena kurang mendapat sambutan dari masyarakat.

Periode Kotapraja Surakarta. Periode ini berawal dari tertibnya Undang-undang No.1 tahun 1957 yang mulai berlaku pada tanggal 18 Januari 1957. Perubahan nama ini membawa banyak perubahan dalam bentuk, susunan kekuasaan, tugas dan kewajiban pemerintah daerah Kotapraja Surakarta. Berdasarkan hasil pemilihan umum, maka di kotapraja Surakarta dibentuk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah peralihan.

Periode Kotamadya Surakarta, periode ini dimulai dari adanya Undang-Undang No. 18 tahun 1965 tentang “Pokok-pokok Pemerintahan Daerah”, yang berlaku dari tanggal 1 September 1965 sampai sekarang. Dengan meletusnya pemberontakan PKI tahun 1965, karena daerah Surakarta secara rahasia dijadikan salah satu basisnya, maka Pemerintah Daerah Kotamadya Surakarta lumpuh selama beberapa waktu. Karena Walikota Kepala Daerah Otoemo Ramelan termasuk salah seorang tokoh PKI, akan tetapi dalam waktu yang relatif singkat keadaan semakin pulih. (Budiharjo Eko 1989)

8. Penggunaan Lahan

(44)
(45)

B. Hasil dan Pembahasan.

1. Karakteristik Tata Ruang Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat a. Susunan Ruang Keraton Kasunanan Surakarta Kedhaton

1) Kedhaton

Kedhaton adalah tempat tinggal raja beserta keluarganya yang dibagi menjadi dua yaitu tempat bersifat sangat pribadi dan tempat yang berfungsi utuk urusan administrai kerajaan. Kedhaton terletak pada koordinat 480694 mT dan 9162430 mU sampai dengan 480988 mT dan 9162510 mU. Bangunan-bangunan dalam Kedhaton memiliki nama sesuai dengan fungsinya. Bangunan-bangunan dalam Kedhaton adalah sebagai berikut :

Gambar 3. Letak Wilayah Kedhaton di dalam Benteng Baluwarti.

a) Dalem Ageng Prabasuyasa

(46)

kerajaan. Halaman Dalem Ageng Prabasuyasa dialasi dengan pasir hitam dari pantai selatan dan ditumbuhi oleh berbagai pohon langka antara lain 76 batang pohon Sawo Kecik (Manilkara kauki; Famili Sapotaceae). Selain itu halaman ini juga dihiasi dengan patung-patung bergaya eropa.

b) Sasana Parasdya

Sasana Parasdya adalah sebuah peringgitan. Peringgitan adalah tempat untuk melihat pertujukan wayang kulit khusus bagi keluarga raja. Menikmati pertunjukan wayang kulit sebenar dilihat dari bayangan atau siluet dari bentuk wayang dan akan terlihat bayangan yang bergerak dengan karakter masing-masing dari wayang dengan diiringi gamelan, akan terlihat semakin hidup. Rakyat hanya melihat bagian belakang pertunjukan.

c) Sasana sewaka

Sasana Sewaka merupakan bangunan peninggalan pendapa istana Kartasura. Tempat ini pernah mengalami sebuah kebakaran di tahun 1985. Di bangunan ini Susuhunan bertahta dalam upacara-upacara kebesaran kerajaan seperti garebeg dan ulang tahun raja.

d) Sasana handrawina

Sasana Handrawina digunakan sebagai tempat perjamuan makan resmi kerajaan. Kini bangunan ini biasa digunakan sebagi tempat seminar maupun gala dinner tamu asing yang datang ke Kota Surakarta.

e) Sasana Prabu

Sasana prabu merupakan kantor bagi raja. Ruangan ini bersifat tertutup untuk umum, sehingga informasi kondisi ruang sulit diperoleh.

f) Langen Katong

(47)

g) Bandengan

Kolam ikan terletak di dalam Kedaton yang digunakan untuk memelihara ikan kesayangan raja.

h) Masjid Pudyasana

Masjid Pudyasana merupakan masjid khusus keluarga raja. Masjid ini selain digunakan untuk sholat lima waktu, saat raja mangkat masjid tersebut digunakan untuk memandikan jenasah khusus bagi raja.

i) Panggung Sangga Buwana

Panggung Sangga Buwana merupakan menara yang digunakan sebagai tempat meditasi Raja sekaligus untuk mengawasi benteng Vastenberg milik VOC/Hindia Belanda yang berada tidak jauh dari istana. Bangunan ini memiliki lima lantai yang digunakan untuk melihat posisi bulan untuk menentukan awal suatu bulan. Di puncak atap teratas terdapat ornamen yang melambangkan tahun dibangunnya menara tertua di kota Surakarta.

(48)

j) Sasana Putra

Sasana Putra merupakan tempat tinggal para Putra Dalem pria yang sudah menggalami akhil balik, untuk dididik dan diperkenalkan olah-keprajuritan. Setelah dewasa dan siap menikah para putra raja tersebut diberi hak untuk memiliki sebuah tempat tinggal yang disebut Dalem Pangeran.

k) Kaputren

Kaputren terletak di sebelah barat Sasana Prabasuyasa. Sasana Prabasuyasa sebagai batas untuk membedakan pria dan wanita keraton. Sisi kedhaton dibagi dua tempat untuk pembedaan tersebut yaitu kaputren untuk tempat wanita dan kesatriyan untuk pria. Kaputren merupakan tempat yang diperuntukan bagi garwo ampeyan atau selir beserta putra-putrinya yang belum akhil balik. Jika sudah mengalami akhil balik, putra laki-laki sudah tidak diijinkan untuk tinggal di kaputren tetapi harus pindah ke tempat khusus pria yaitu kesatriyan. Bagi putri yang sudah mengalami akhil balik tetap diijinkan tinggal di kaputren sampai menunggu utuk dipinang.

2) Bangunan administrasi Keraton yang berada di dalam Kedhaton

Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat memiliki kantor administrasi untuk mengatur semua urusan seperti layaknya sebuah negara, nama-nama kantor administrasi tersebut sesuai fungsinya yaitu sebagai berikut :

a) Sidhikara

Sindhikara adalah kantor pengadilan untuk hukum perdata, selain itu juga digunakan untuk mengurus administrasi hak waris dari putra-putra raja.

b) Panti Pidana

Dari Bangsal Marcukundha disisi timur terdapat bangunan panjang yang membujur kearah selatan, bangunan tersebut digunakan untuk penjara bagi yang melanggar hukum keraton bangunan itu disebut Panti Pidana.

c) Sasana Wilapa

Sasana Wilapa digunakan untuk menghadap abdi dalem berpangkat Carik Sepuh yang bertugas mengkoreksi surat-surat administrasi Keraton.

(49)

Sasana Pustaka digunakan untuk menyimpan surat-surat administrasi bagi kerajaan.

e) Magangan

Magangan terletak pada koordinat 480962 mT dan 9162220 mU digunakan oleh para calon prajurit kerajaan untuk diseleksi dan nantinya akan mengabdi pada kerajaan. Di tempat ini terdapat sebuah pendapa di tengah-tengah halaman.

3) Sarana Pendidikan untuk kerabat dekat raja.

Pendidikan sangat diutamakan bagi para Sentana Dalem ( kerabat dekat raja) dikarenakan mereka adalah keturunan dan kerabat dekat raja, maka harus memiliki kecakapan intelektual dan ilmu pengetahuan yang memadai. Sekolah hanya diperuntukan khusus bagi Sentana Dalem. Lembaga pendidikan ini memiliki dua pemakaian yang berbeda yaitu sekolah khusus putri dan sekolah khusus putra.

a) PamardiPutri

Parmadi Putri terletak pada koordinat 480675 mT dan 9162330 mU berdiri pada bulan Januari tahun 1927 atas prakarsa pemerintahan kasunanan. Peruntukan awal bangunan untuk pendidikan HIS (Hollandsch Inlandsch School). Pamardi Putri terletak di sebelah timur dari lingkungan Kraton, tepatnya di Jalan Beteng Kalurahan Baluwarti Kecamatan Pasar Kliwon Surakarta dengan luas bangunan 1000 m2.

b) Sekolah Kesatriyan

(50)

3) Pintu Poros Utara-Selatan

Kedhaton memiliki dua pintu masuk yaitu dari arah selatan dan arah utara, Daliman (2001) menyebut Pintu Poros utara selatan. Pintu poros tersebut dilengkapi halaman dan bangunan sebagai berikut:

a) Poros selatan (1) Alun-alun Kidul

Alun-alun Kidul terletak pada koordinat 480708 mT dan 9161750 mU sampai dengan 480998 mT dan 9162050 mU. Alun-alun kidul memilik makna filosofis mengingatkan asal-usul manusia dan ke mana ia akan kembali. Konsep awang-uwung atau suasana serba kosong adalah simbol yang mengingatkan manusia untuk siap menghadapi kematian.

(2)

Siti Hinggil Kidul

Siti Hinggil terletak pada koordinat 480861 mT dan 9162010 mU sampai dengan 480940 mT dan 9162100 mU memiliki sebuah bangunan kecil. Kini kompleks ini digunakan untuk memelihara pusaka keraton yang berupa kerbau albino yang disebut dengan Kyai Slamet.

(3) Sri Manganti Kidul dan Kamandungan Kidul

Pintu selatan terdiri dari Sri Manganti Kidul dan Kemandungan Kidul. Sri Manganti Kidul dan Kemandungan Kidul terletak pada koordinat 480933 mT dan 9162170 mU berupa halaman yang digunakan saat upacara pemakaman raja maupun permaisuri. Di sisi kanan kiri komplek ini terdapat bangunan Kamstin yang tidak diketahui kegunaannya.

b) Poros utara (1) Alun-alun Lor

(51)

Ringin Kurung di tengah-tengah alun alun terdapat dua batang pohon beringin (Ficus benjamina; Famili Moraceae) yang diberi pagar. Kedua batang pohon ini disebut Waringin Sengkeran (harifah: beringin yang dikurung) yang diberi nama Dewodaru dan Joyodaru.

Di komplek alun-alun lor terdapat Masjid Agung. Masjid agung dalam denah kosmis sebagai Tanah Suci Mekah. Di sebelah barat Alun-alun Lor berdiri Mesjid Ageng (Masjid Raya) Surakarta. Masjid raya ini merupakan masjid resmi kerajaan dan didirikan oleh Susuhunan Pakubuwono III (Sunan PB III) pada tahun 1750 (Kasunanan Surakarta merupakan kerajaan Islam). Bangunan utamanya terdiri dari atas serambi dan masjid induk.

(2) Siti Hinggil Lor

Siti Hinggil Lor terletak pada koordinat 481050 mT dan 9162540 mU Dinamakan Siti Hinggil Lor karena dalam bahasa jawa siti berarti tanah hinggil berarti tinggi dan lor adalah arah utara. Sitihinggil Lor terletak pada bagian utara Komplek Kedhaton yaitu tempat raja beserta keluarganya tinggal. Sitihinggil Lor merupakan suatu komplek yang dibangun di atas tanah yang lebih tinggi dari sekitarnya. Komplek ini memiliki dua gerbang, satu disebelah utara yang disebut dengan Kori Wijil dan satu disebelah selatan yang disebut dengan Kori Renteng.

Pada tangga Sitihinggil sebelah utara terdapat sebuah batu yang digunakan sebagai tempat pemenggalan kepala Trunajaya yang disebut dengan Selo Pamecat. Trunajaya adalah pemberontak yang berasal dari Madura yang bekerja sama dengan Sunan Kuning untuk meruntuhkan keraton Kasunanan saat berada di Kartasura.

Gambar

Tabel 1. Waktu Penelitian
Tabel 2. Luas Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat
Tabel 3. Curah Hujan Maksimum Bulanan Kota Surakarta Periode 1997-2007
Gambar 2. Tipe Curah Hujan Lokasi Penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pada hari ini Kamis tanggal Tigapuluh Satu bulan Mei tahun Dua Ribu Duabelas dimulai pukul 07.00 WIB s/d pukul 08.00 WIB bertempat di Sekretariat DPRD

Indonesia dikenal sebagai negara agraris. Tidak hanya karena lebih dari setengah dari jumlah penduduk Indonesia bermata pencaharian sebagai petani, namun juga karena

Ausi iraganean bizkaieraz eta baita gipuzkeraz ere forma arrunta izan arren, hemen behin agertzen da, baina bada bigarren adibide bat non hitz bera dela dirudien: “bada

Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah bahwa ada hubungan positif antara persepsi terhadap BEMU dengan minat mahasiswa Unika Soegijapranata Semarang

Berdasarkan analisa dan hasil- hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa refraktori yang dibuat cukup memberi nilai guna lebih terhadap limbah (abu batubara dan pasir

Disamping harga yang mahal ini Joe pun harus menghadapi pandangan religious dan etik dari masyarakat terhadap transplantasi yang akan ia lakukan, karena kita sebagai makhluk

Keywords: Character Education, Culture, Nation degradation Pendidikan merupakan upaya yang dilakukan secara terencana dalam mengembangkan potensi peserta didik, agar

Bertolak dari tugas pokok Humas Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Jayapura diatas, pada penelitian ini juga ada hubungan Hubungan Masyarakat dengan publik