• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peta penggunaan lahan hasil intepretasi citra ditumpangsusunkan dengan denah Susunan Kosmis Keraton Surakarta Berdasarkan peta-peta tersebut dan

HASIL PENELITIAN

A. Deskripsi Lokasi Penelitian 1 Letak

6. Perkembangan dan Fungsi Kota

Morfologi Kota Surakarta pada tahun 1500-2000 telah tumbuh membentuk berbagai formasi, yaitu memusat, mengelompok dan organik. Elemen „daging‟ telah tumbuh secara horisontal, vertikal dan interestisial. Sementara elemen „darah‟ telah berkembang dari orang-orang pribumi (Jawa, Madura, Banjar) bertambah dengan orang- orang pendatang (Cina, Arab, India, Belanda), dengan mata pencaharian dari agricultural ke non-agricultural. Temuan penting lainnya adalah Kota Surakarta tersusun oleh tiga konsep yang berlainan yang saling tumpang tindih, yaitu konsep organik oleh masyarakat pribumi, konsep kolonial oleh masyarakat Belanda dan konsep kosmologi oleh masyarakat Keraton Jawa. (Prayitno 2007)

Kota Surakarta pada tahun 1500-1750 masih berupa kota tepian sungai di Bengawan Solo, kemudian pada tahun 1750-1850 berkembang menjadi kota campuran antara kota perairan dan daratan. Sejak tahun 1850an, Kota Surakarta mulai meninggalkan lalulintas sungai dan berganti ke lalu lintas daratan, sehingga menjadi kota daratan. Apalagi sejak tahun 1900an, setelah dibangun teknologi baru pada sarana transportasi dan utilitas kota, yaitu jalur rel kereta api, jalur trem, jaringan listrik dan jaringan air bersih, maka Kota Surakarta benar-benar telah berubah ke kota daratan,

meninggalkan hiruk-pikuk kota tepian sungai yang pernah terjadi di Bengawan Solo. Pada tahun 2000, Kota Surakarta mengalami permasalah kota yang umumnya juga terjadi di kota-kota besar di Indonesia, yaitu permasalahan pada lingkungan alaminya, lingkungan buatannya dan lingkungan humannya. Sehingga diperlukan pengaturan pada cagar budaya yang sesuai dengan kondisi Kota Surakarta yang sangat spesifik.

Pembentukan Kota Surakarta diawali dengan pemindahan ibukota Kerajaan Mataram Islam dari Kartosuro ke Desa Sala sekitar tahun 1745 atau pada zaman pemerintahan Sultan Pakoe Boewono II. Perkembangan kota pada mulanya berorientasi pada Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Mangkunegaran.

Perkembangan selanjutnya terbentuk jaringan-jaringan jalan yang membuka hubungan dengan daerah lain seperti ke barat menuju Yogyakarta dan Semarang melalui Kartosuro, ke utara melalui Purwodadi, ke timur menuju Madiun dan ke selatan menuju Wonogiri. Jaringan jalan ini mempunyai peranan yang cukup penting terhadap perkembangan Kota Surakarta.

Keterbatasan ruang di bagian timur, selatan dan barat Kota Surakarta memaksa perkembangan Kota Surakarta ke arah bagian utara kota yang ditandai dengan berdirinya komplek perumnas dan komplek kampus pada wilayah yang berbukit-bukit tersebut (Baiquni, 1988 : 33).

Perkembangan Kota Surakarta tidak luput dengan fungsi dan peranan kota sebagai kota madya. Menurut Hary Subandriya (1986) dalam Baiquni (1988 : 33), peranan dan fungsi Kota Surakarta terhadap daerah sekitarnya adalah sebagai berikut ini :

- Sebagai pusat pengembangan budaya dan kepariwisataan Jawa Tengah bagian selatan.

- Sebagai kota pusat perdagangan dan industri.

- Sebagai daerah yang representatif bagi perkembangan penduduk.

- Sebagai kota transito bagi pengunjung dari Jawa Barat, Yogyakarta dan Jawa Timur. - Sebagai kota yang giat melaksanakan pembangunan.

- Sebagai kota pengembangan pendidikan.

Kegiatan-kegiatan tersebut tidak berdiri sendiri, namun terkait dengan daerah- daerah di sekitarnya yaitu Kabupaten Karanganyar, Boyolali, Sragen, Sukoharjo, Wonogiri dan Klaten. Kegiatan-kegiatan antar daerah tersebut terutama dalam bidang

perekonomian. Hal ini dimungkinkan karena struktur perekonomian daerah sekitar Kota Surakarta didominasi oleh kegiatan perekonomian primer (agraris), sedangkan struktur perekonomian Kota Surakarta didominasi oleh kegiatan perekonomian sekunder (industri) dan tersier (jasa).

Faktor utama yang menentukan dalam peningkatan hubungan ekonomis Kota Surakarta adalah terselenggaranya sistem pengangkutan darat yang membentuk jalur radial antara Kota Surakarta dengan kabupaten-kabupaten di sekitarnya (Bappeda, 1985 dalam Baiquni, 1988 : 34).

7. Pemerintahan

Ditinjau dari segi pemerintahanya, Kota Surakarta mengalami beberapa periode, mulai dari masa pemerintahan kolonial Belanda, masa penjajahan Jepang dan masa kemerdekaan atau periode pemerintahan republik Indonesia. Secara ringkas periode pemerintahan tersebut seperti berikut.

Periode pemerintahan kolonial Belanda. Solo merupakan derah swapraja yang terbagi menjadi dua bagian yaitu Swapraja Kasunanan (di bawah Paku Buwono) dan Swapraja Mangkunegaran (di bawah Mangkunegara). Kedua daerah Swaparaja ini dikuasai oleh seorang gubernur Hindia Belanda.

Periode Pemerintahan Kota Surakarta. Periode Pemerintahan Kota Surakarta dimulai dari saat terbentuknya dan berakhir sampai dengan ditetapkan Undang-undang No.16 tahun 1974 tentang pembentukan Haminte kota Surakarta, yang mulai berlaku pada tanggal 5 Juni 1947.

Periode Haminte Kota Surakarta. Kata Haminte kota berasal dari bahasa belanda “Stadsgemeente” (Stads = kota, Gemeente dibaca menjadi Haminte). Pada permulaan Haminte kota Surakarta mengambil alih dinas-dinas Kasunanan dan Mangkunegaran yang berada di wilayahnya. Berpedoman pada Stadsgemeenta Ordonantie, maka Walikota disamping sebagai alat pemerintahan pusat juga merupakan alat pemerintahan daerah sebagai alat pemerintah daerah, walikota menjabat sekaligus kepala Daerah, ketua merangkap Anggota Dewan Pemerintah Kota dan Dewan Kota. Hal tersebut dinilai tidak sesuai dengan perkembangan pemerintah daerah yang Demokratis, sehingga jabatan-

jabatan tersebut satu demi satu secara berangsur-angsur dilepaskan sehingga akhirnya tinggal satu jabatan saja yaitu Walikota sebagai Kepala Daerah.

Periode Kota Besar Surakarta, Kota Besar Surakarta baru dikenal dan dipergunakan setelah UU No.20 tahun 1943 tentang Pemerintah daerah yang ditetapkan mulai berlaku pada tanggal 20 juni 1948 (akan tetapi karena adanya Clash II baru dijalankan tahun 1950). Pada pertengahan 1949 di Solo dibentuk pemerintahan Illegal yang kemudian disahkan oleh pemerintah pusat. Pemerintahan Illegal tersebut dikuasai oleh pelajar, Mahasiswa dan pemuda-pemuda pada umumnya. Hampir bersamaan dengan itu pula pemerintahan Kasunanan dan Mangkunegaran dengan bantuan dan perlindungan Belanda juga menyusun pemerintahan, akan tetapi dalam prakteknya tidak dapat berjalan karena kurang mendapat sambutan dari masyarakat.

Periode Kotapraja Surakarta. Periode ini berawal dari tertibnya Undang-undang No.1 tahun 1957 yang mulai berlaku pada tanggal 18 Januari 1957. Perubahan nama ini membawa banyak perubahan dalam bentuk, susunan kekuasaan, tugas dan kewajiban pemerintah daerah Kotapraja Surakarta. Berdasarkan hasil pemilihan umum, maka di kotapraja Surakarta dibentuk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah peralihan.

Periode Kotamadya Surakarta, periode ini dimulai dari adanya Undang-Undang No. 18 tahun 1965 tentang “Pokok-pokok Pemerintahan Daerah”, yang berlaku dari tanggal 1 September 1965 sampai sekarang. Dengan meletusnya pemberontakan PKI tahun 1965, karena daerah Surakarta secara rahasia dijadikan salah satu basisnya, maka Pemerintah Daerah Kotamadya Surakarta lumpuh selama beberapa waktu. Karena Walikota Kepala Daerah Otoemo Ramelan termasuk salah seorang tokoh PKI, akan tetapi dalam waktu yang relatif singkat keadaan semakin pulih. (Budiharjo Eko 1989)

Dokumen terkait