• Tidak ada hasil yang ditemukan

BOOK Mediamorfosa Mubarok Otonomi Individu Jurnalis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "BOOK Mediamorfosa Mubarok Otonomi Individu Jurnalis"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Keputusan Etis Peliputan Bencana

Mubarok Prodi Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Sultan Agung Semarang

mubarok@unissula.ac.id

Pendahuluan

Indonesia adalah negara dengan potensi kekayaan alam melimpah yang terkandung di perut bumi, lautan, maupun potensi lainnya. Letak Indonesia secara geograis dalam perlintasan pelayaran internasional menjadikan keuntungan tersendiri secara geopolitik. Demikian halnya keberadaan ring of ire berupa deretan gunung api yang masih aktif memberikan berkah sekaligus menjadikan kita untuk selalu waspada akan hadirnya bencana. Gempa bumi menjadi bencana yang sering terjadi di negara ini. Tanah longsor juga akrab terjadi ketika musim penghujan. Letusan gunung berapi seperti gunung Merapi dan Sinabung rutin terjadi dalam periode tertentu.

Dalam konteks inilah kajian komunikasi kebencanaan menjadi penting untuk dikembangkan di negara ini. Bencana bagi sebagian penduduk justru seringkali dinikmati sebagai magnitude peristiwa yang mengundang berbagai media massa untuk meliputnya. Televisi, radio, media cetak dan siber berlomba untuk memberitakan peristiwa bencana. Ilustrasi berikut menggambarkan bagaimana ritme kerja media dan dinamisasi pergolakan etis dalam peliputan bencana.

(2)

pesan pendek (SMS) diterima dari korban yang masih tertimbun reruntuhan hotel Ambacang. Di tempat bencana juga terdengar tanda  ketokan dari korban yang masih hidup. Tim penyelamat memperkirakan setidaknya ada delapan orang yang masih hidup tertimbun reruntuhan hotel Ambacang.

Setelah gempa, saluran telpon terputus tetapi hubungan lewat SMS masih berhasil. Seorang lelaki dan perempuan berhasil diselamatkan dari timbunan puing-puing rumah mereka setelah mengirim SMS meminta bantuan. Keluarga yang menerima SMS kemudian meminta tim penyelamat untuk menghentikan pencarian memakai alat berat karena khawatir justru akan melukai para korban. Alat berat dihentikan selanjutnya pencarian dilakukan secara manual hingga korban ditemukan. Dari layar kaca penonton memantau proses evakuasi tersebut layaknya drama yang berakhir mengharukan.

Di tempat lain sekelompok tim penyelamat memberikan telepon genggam kepada korban yang masih terjebak reruntuhan bangunan. Meskipun lokasi telah ditemukan namun tidak mudah untuk mengavakuasi korban. Reruntuhan bangunan yang menutup akses masuk membuat proses evakuasi mengalami kendala. Melalui telepon genggam tim penyelamat bisa berkomunikasi dengan korban, memberikan semangat agar tetap sabar dan meyakinkan bahwa bantuan akan segera datang. Demikian sekelumit kisah takjub dibalik proses evakuasi korban gempa di Padang. Kejadian yang hampir serupa juga terjadi di Yogyakarta, ketika beberapa korban gempa yang tertimbun reruntuhan berhasil mengirim pesan singkat ke keluarganya sehingga proses evakuasi bisa dilakukan. Gempa berkekuatan 5,9 skala richter mengguncang Yogyakarta dan sebagian Jawa Tengah.

(3)

bahkan rekaman gambar tentang kondisi korban yang sedang payah menjadi berita utama di berbagai media.

Seolah para jurnalis tidak peduli apakah kondisi korban dalam keadaan siap untuk menerima serentetan pertanyaan, apakah korban dalam kondisi isik yang memungkinkan untuk diwawancarai, bagaimana dengan kondisi psikologisnya serta kondisi lain bagi korban yang baru saja diselamatkan. Warawan tetap berkerumun menyodorkan kamera, rekaman, bahkan menutup jalan keluar bagi proses evakuasi sehingga korban semakin lama untuk dikeluarkan.

Praktek seperti ini seolah kelaziman yang dilakukan oleh wartawan ketika meliput sebuah bencana atau proses penyelamatan yang memiliki unsur dramatisasi. Tahun 2004 lalu sebuah pesawat dari maskapai LION Air terjatuh di Solo, diantara penumpang maskapai tersebut ada seorang penumpang yang merupakan wartawan stasiun televisi. Ketika pesawat terjatuh ia menjadi bagian dari korban yang selamat dan mampu untuk memberikan pertolongan kepada penumpang lainnya. Satu hal yang menarik adalah keputusan pertama yang dia pilih antara menyelamatkan korban lainnya atau dia mengambil gambar dari peristiwa tersebut.

Ada sebuah kecelakaan pesawat terbang, memakan korban cukup banyak, dia adalah bagian dari korban, dia seorang wartawan yang pertama kali berada di lokasi. Berita yang dia laporkan tentu akan menjadi berita utama di stasiun televisi dan atas nama aktualitas maka semua unsur itu terpenuhi. Keputusan pertama yang dia pilih adalah tetap mengambil gambar peristiwa tersebut, kemudian baru berikir untuk menolong korban lainnya. Beberapa saat kemudian hasil rekamannya telah tampil di televisi dan mendapat apresiasi dari banyak pihak. Sosoknya menjadi bintang tamu di berbagai acara talkshow guna membeberkan kesaksian atas jatuhnya pesawat tersebut.

(4)

mengambil gambar terlebih dahulu atau memutuskan menolong korban.

Kejadian yang hampir serupa akan banyak dijumpai oleh seorang wartawan misalnya ketika menghaapi kecelakaan, korban penganiayaan, pertarungan antar warga atau kondisi darurat lain yang memungkinkan otonomi individualnya secara etis mampu membuat keputusan yang benar. Ada semacam nilai-nilai yang telah terinternalisasi dalam dirinya sehingga dia mengambil keputusan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.

Permasalahan

Berita yang hadir di media berasal dari formulasi kerja berjenjang dimulai dari wartawan di lapangan sampai dengan pemimpin redaksi. Dalam mengambil keputusan untuk meliput suatu peristiwa tertentu, para jurnalis dihadapkan pada persoalan-persoalan etis yang melingkupinya. Dalam peristiwa musibah baik dalam bentuk bencana alam maupun kecelakaan transaportasi ada pertanyaan etis yang harus dijawab oleh segenap jurnalis ketika meliput peristiwa tersebut.

Proses pengambilan keputusan etis ternyata melibatkan banyak pertentangan baik dari personal individu maupun lingkungan eksternalnya.Ada pertentangan antara kepentingan ekonomi politik dari industri media dengan keputusan etis yang harus diambil ketika berhadapan dengan peristiwa tersebut. Berhdapan dengan kenyataan bahwa suatu peristiwa layak dan menarik untuk diberitakan tidak hanya berbicara masalah aktualitas sebuah pemberitaan melainkan bagaimana keputusan etis memiliki otonomi pada individu seseorang. Meski ketika berhadapan dengan suatu realitas individu berpotensi untuk memiliki otonomi etis yang luas namun kenyatannya tidaklah semudah yang dibayangkan. Begitu kuat konstrain yang menghalangi atau setidaknya mempengaruhi keputusan dan otonomi etis individu.

(5)

Kajian Pustaka

Etika secara bahasa berasal dari kata Yunani ethos dalam bentuk tunggal memiliki sejumlah arti: tempat tinggal yang biasa; padang rumput, kandang; kebiasaan, adat; akhlak, watak; perasaan, sikap, cara berpikir. Dalam bentuk jamak (ta etha) berarti: adat kebiasaan. Dari asal-usul kata-kata ini, “etika” berarti: ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan1

. Etika berkaitan dengan persoalan bagaimana kita seharusnya memberi makna terhadap kehidupan kita2

. Kata yang cukup dekat dengan “etika” adalah “moral”, yang berasal dari bahasa Latin mos (jamak: mores), yang juga bermakna: kebiasaan, adat.

1. Teleology

Etika teleologi memperhatikan hasil perbuatan. Teleology berasal dari kata Yunani telos [tujuan, akhir] dan logos [wacana atau doktrin]). Memiliki pemikiran yang sama dengan teori etika konsekuensi. Konsekuensi dari tindakan yang dilakukan menjadi perhitungan yang harus diutamakan.

Bersifat teleologis (terarah pada tujuan). Teleologi menganjurkan keputusan etis didasarkan pada akibat yang ditimbulkannya dan memberikan kriteria substantif seperti kesenangan atau kebahagiaan.

he greatest good for society dideinisikan sebagai manfaat untuk semua orang3

. Menurut kodratnya tingkah laku manusia terarah pada kebahagiaan, maka suatu perbuatan dapat dinilai baik atau buruk sejauh dapat meningkatkan atau mengurangi kebahagiaan sebanyak mungkin orang. Bentham mengajukan prinsip tersebut menjadi norma untuk tindakan-tindakan pribadi maupun pemerintah4

. he journalistic hedonist menegaskan bahwa kebenaran atau kesalahan dari suatu tindakan jurnalistik tergantung pada kenikmatan atau ketidaknikmatan yang diperolehnya.

Jika jurnalis mendapatkan kenikmatan dari aktivitas yang dilakukannya, maka ia telah melakukan hal yang benar.

1 Bertens, 2007:4

2 Jaksa & Pritchard, 1994: 3

3 Penulis banyak terbantu untuk memahami etika deontology dan teleology dari

artikel berjudul “Menghukum mati pelaku korupsi”, karya Triyono Lukmantoro yang dimuat Koran Wawasan 20/9/2008.

(6)

Konsekuansialistis baik-tidaknya perbuatan dianggap tergantung pada konsekuensinya. Seperti dalam situation ethics, wartawan dapat menyimpulkan bahwa pengumpulan informasi penting secara “tersembunyi” akan lebih menguntungkan banyak orang daripada merugikan mereka. Contoh: penggunaan alat perekam tersembunyi untuk mendokumentasikan praktik-praktik berbahaya.

2. Deontology

Deontology berasal dari kata Yunani deon (keharusan, kewajiban), yang dapat diartikan “teori tentang kewajiban. Deon secara hariah dapat diartikan apa yang harus dilakukan (kewajiban)5

. Deontologi menyatakan bahwa sistem ini tidak menyoroti tujuan yang dipilih bagi perbuatan atau keputusan kita, melainkan semata-mata wajib tidaknya perbuatan dan keputusan tersebut. Kehendak baik terwujud dalam pelaksanaan kewajiban yang tanpa pamrih. Perspektif deontology memperhatikan syarat dan proses yang memungkinkan untuk mencari kebaikan atau keutamaan. Nilai moral suatu tindakan mendasarkan pada suatu prinsip yang mengkondisikan tanpa mempedulikan apapun konsekuensinya6

.

Di sini maksud si pelaku dalam melaksanakan suatu perbuatanlah yang dinilai secara etis. Sistem ini tidak menyoroti tujuan yang dipilih bagi perbuatan atau keputusan manusia melainkan semata-mata wajib tidaknya perbuatan dan keputusan tersebut dilakukan. Contoh: wartawan seharusnya menghindari kecurangan dalam menjalankan aktivitasnya agar peristiwa yang disampaikan “bermanfaat” untuk kepentingan publik.

Menurut Kant (1724-1804), yang disebut baik dalam arti sesungguhnya hanyalah kehendak yang baik. Kehendak menjadi baik, jika bertindak karena kewajiban. Belum cukup suatu perbuatan dilakukan sesuai dengan kewajiban, seharusnya perbuatan dilakukan berdasarkan kewajiban. Kehendak menjadi baik jika bertindak karena kewajiban. Imanuel Kant juga mengajukan konsep imperative kategoris dan hipotesis. Imperatif kategoris: imperatif (perintah) yang mewajibkan begitu saja, tanpa syarat. Imperatif hipotetis selalu melibatkan sebuah syarat: “kalau engkau ingin mencapai suatu tujuan, maka engkau

(7)

harus menghendaki juga sarana-sarana yang menuju ke tujuan itu. Jika hukum moral harus dipahami sebagai imperatif kategoris, maka dalam bertindak secara moral kehendak harus otonom dan bukan heteronom. Kehendak bersifat otonom bila menentukan dirinya sendiri, bersifat heteronom jika membiarkan diri ditentukan oleh faktor luar (kecenderungan atau emosi). Pandangan William David Ross (1William David Ross (1877-1971) menerima teori deontologi, tapi ia menambahkan nuansa yang penting7.

3. Otonomi individu dalam kerangka teleology dan deontology

Dari kedua pandangan etika tersebut nampak bahwa sumber keputusan etis ada pada individu sang jurnalis. Keputusan untuk tetap meliput berita dalam kondisi bencana dan kecelakaan merupakan pilihan yang diambilnya. Pertanyaannya benarkah individu jurnalis memiliki kemampuan untuk membuat keputusan etis secara otonom? Seberapa pentingkah otonomi individu bagi praktisi media dalam mengambil keputusan etis?

Carol Reuss mengajukan argument bahwa nilai-nilai individual dari pekerja media menjadi kekuatan yang potensial dalam pengambilan keputusan etis terkait dengan isi media. Nilai-nilai individual dari praktisi media membentuk keputusan etis mereka dan isi dari media. Media tidak dapat dikatakan sebagai etis atau tidak etis karena isi media merupakan hasil dari keputusan yang diambil oleh pekerja media. Konten media tidak bisa disebut sebagai sesuatu yang tidak etis atau etis karena konten tersebut merupakan hasil keputusan etis pembuatnya, jadi para pekerja media yang sepantasnya mendapat penilaian etis. Keputusan kolektif yang dibuat oleh jurnalis merupakan hasil dari nilai individual yang diyakini8

. Pandangan lain yang juga menarik untuk membahas otonomi individu dikemukakan oleh David Gordon. Ia menyatakan bahwa kekuatan social, ekonomi, dan politik menjadi penghalang yang berpengaruh pada otonomi individual dalam mengambil keputusan etis. Tekanan pemerintah dan kekuatan politik menjadi factor yang lebih penting dari keputusan individu dan nilai-nilai yang mereka anut.

7 Uraian tentang konsep etika deontology banyak penulis ambil dari buku Etika,

karya K Bertens,

8 Tulisan mengenai otonomi individu dalam megambil keputusan etis dapat dibaca

(8)

Pandangan Reuss dan Gordon mendapat komentar dari Merril yang memberikan catatan terhadap kedua pendapat tersebut. David Gordon menurut Merril memberikan argument yang benar ketika menyatakan bahwa keputusan etis dalam media sangat dipengaruhi oleh kekuatan yang beroperasi dalam masyarakat yang lebih luas. Pernyataan bahwa individu mampu membat keputusan etis berdasar nlai-nilai etis mereka sesungguhnya terlalu menyederhanakan persoalan.

Pendapat Carol Reuss yang meletakkan penekanan penting pada moral dan nilai-nilai individu dalam pengambilan keputusan etis tidak sepenuhnya keliru. Menurutnya apa yang diungkapkan Reuss bukanlah suatu yang naïf larena seorang jurnalis sesungguhnya bersifat individuals dan kelompok. Pertanyaan tentang premis etis, memberikan solusi atas permasalahan etis dan mengambil tanggungjawab tentang tindakan etis. Hasil studi dari David Weaver and G. Cleveland Wilhoit mengindikasikan bahwa otonomi nilai dari jurnalis semakin sulit ditemukan di dalam kerja media yang kompleks. Penggunaan teknolog yang semakin rumit dan rutinitas kerja media yang kompleks membuat otonomi individu menjadi semakin sulit dilakukan.

Libois mengajukan tiga prinsip utama deontology jurnalisme yaitu: pertama, hormat dan perlindungan atas hak warga negara akan informasi dan sarana-sarana yang perlu untuk mendapatkannya. Kedua, hormat dan perlindungan atas hak individual lain dari warga negara. Termasuk di dalamnya hak akan martabat dan kehormatan, hak keseahatan isik dan mental, hak konsumen, dan hak jawab. Ketiga, ajakan untuk menjaga harmoni masyarakat. Di dalamnya termasuk larangan untuk melakukan provokasi atau dorongan yang akan membangkitkan kebencian atau ajakan pada pembangkangan sipil. Dimensi subyek dalam etika komunikasi menurut menjadi penting dan dia mengelaborasi tiga prinsip yang termuat dalam dimensi subyek etika komunikasi. Ketiganya adalah (a) hormat dan perlindungan atas hak warga negara akan komunikasi dan sarana yang perlu untuk mendapatkannya; (b) hormat dan perlindungan atas hak individual lain dari warga negara; dan (c) menjaga harmoni masyarakat. Ketiganya adalah prinsip deontologi jurnalisme yang dianggap penting untuk mempertajam makna tanggung jawab9.

(9)

Pembahasan

Pada makalah ini penulis akan menguraikan otonomi individu dalam mengambil keputusan etis dari perspektif etika teleologi dan deontologi. Persepekti etika tersebut akan digunakan untuk menganalisa berbagai persoalan etis yang dihadapi oleh seorang jurnalis ketika meliput berita. Penulis menggunanakan contoh kasus terkait berita bencana atau peristiwa tragis lainnya sebagaimana terungkap dalam pendahuluan untuk menjabarkan persepektif etika tersebut kaitannya dengan otonomi individu.

Kembali pada contoh kasus yang penulis ungkapkan di latar belakang. Ketika para jurnalis memilih untuk tetap meliput para korban bencana di Padang yang baru saja diselamatkan sesungguhnya telah terjadi keputusan etis yang diambil oleh jurnalis tersebut. Dalam pandangan teleologis keputusan tersebut memiliki konsekuensi yang berpotensi untuk menyenangkan kelompok besar pemirsa televise dan keluarga korban yang mengikuti proses evakuasi. Dalam sudut pandang teleology keputusan untuk tetap meliput para korban tersebut harus dilihat dari aspek tujuannya.

Para jurnalis bermaksud memberikan informasi tercepat, terlengkap, dan membantu para keluarga korban di rumah agar mengetahui proses evakuasi tersebut. Dilihat dari aspek tujuan ini, tindakan para jurnalis tersebut secara etis benar, karena membawa kebahagiaan dan manfaat bagi kelompok besar pemirsa dan keluarga korban. Pemirsa di rumah merasa senang dan puas karena mendapatkan informasi cepat, lengkap, terkini dan langsung. Secara umum audiens media menghendaki hadirnya informasi yang cepat, akurat, langsung dan terkini. Dengan memberikan informasi tersebut seorang jurnalis telah melakukan tugasnya dengan benar.

(10)

Kaitanya dengan liputan bencana atau pilihan seorang jurnalis untuk terlebih dahulu meliput para korban jatuhnya pesawat sebelum menolong mereka dapat dilihat sebagai sebuah kekeliruan etis. Semestinya para jurnalis menghormati hak-hak individu para korban tersebut tersebut termasuk hak untuk mendapatkan pertolongan. Keinginan untuk memberikan informasi yang terbaik, tercepat, terakurat, dan terkini kepada semua orang sehingga kondisi bencana atau kecelakaan dapat segera ditangani sesungguhnya keinginan yang baik. Meski demikian keinginan yang baik tersebut hanya bisa dikatakan baik jika dilakukan dengan baik pula. Hasil informasi yang akurat, cepat, terkini dan membahagiakan pemiersa tidak bisa menjadi ukuran etis bahwa perbuatan jurnalis tersebut baik.

Para korban bencana dan kecelakaan hanya dapat dan boleh diberitakan sesuai kadar keadaannya. Atas nama semua standar nilai berita tidak berarti menghilangkan etika dalam memperolehnya. Ketika para korban dalam keadaan payah dan membutuhkan pertolongan maka memilih untuk memperoleh berita terbaik dengan memberitakan begitu saja kondisi para korban merupakan keputusan etis yang keliru.

Berikut gambaran bagaimana faktor intrinsik dalam diri komunikator bisa mempengaruhi isi media. Karakteristik komunikator (gender, etnik, orientasi seksual), latar belakang dan pengalaman (seperti perkembangan religiusitas dan status sosial ekonomi keluarga) tidak hanya membentuk sikap personal, nilai-nilai dan kepercayaan tetapi juga mempengaruhi latar belakang profesional dan pengalaman komunikator. Pengalaman-pengalaman profesional ini kemudian membentuk peran profesional dan etika dari komunikator. Kemudian peran profesional dan etika dari komunikator memiliki efek langsung pada isi media. Efek dari sikap personal, nilai-nilai dan kepercayaan pada isi media massa terjadi secara tidak langsung10

.

Dalam peliputan bencana dan kecelakaan transportasi, otonomi individu dalam mengambil keputusan etis ternyata tidak berdiri sendiri. Ketika sang jurnalis memutuskan untuk tetap meliput para korban bencana meskipun dalam kondisi payah, apakah ia memiliki kekuatan otonom untuk mengambil keputusan tersebut?. Marilah kita cermati dari rutinitas kerja media dalam proses peliputan bencana seperti

(11)

kejadian gempa di Padang. Seorang jurnalis yang ditugaskan untuk meliput berita di Padang berangkat berdasar penugasan yang dilakukan oleh redaksi. Dia tidak berhadapan dengan realitas yang dijumpai begitu saja. Ada proses terstruktur dan terencana yan dilakukan oleh media sebelum menugaskan sang jurnalis untuk meliput. Ada rencana kerja yang telah disusun, ada target berita yang harus diperoleh, ada tuntutan eksklusiitas dan akurasi yang harus dijawab oleh sang jurnalis.

Tuntutan lain adalah adanya siaran langsung yang mengharuskan sang jurnalis memberikan gambaran real time yang sedramatis mungkin sehingga tayangan televisi akan dilihat banyak pemirsa. Ada kompetisi antar stasiun televisi yang mengharuskan sang jurnalis berlomba-lomba untuk memperoleh berita terbaik, tercepat, terakurat. Di sini nampak bahwa otonomi individu ternyata sulit dilakukan mengingat sang jurnalis juga menghadapi banyak tekanan kepentingan baik secara sosial, ekonomi dan politik yang melingkupinya. Secara individu dia bisa memilih untuk tidak mewawancarai korban yang sedang dalam kondisi payah, namun telepon dari redaksi tentu akan mengharuskan dia untuk melakukan hal tersebut. Kondisi ini sejalan dengan pendapat David Gordon yang menyatakan bahwa kekuatan social, ekonomi, dan politik menjadi penghalang yang berpengaruh pada otonomi individual dalam mengambil keputusan etis.

Beda halnya dengan kasus kedua ketika sang jurnalis kebetulan ada di dalam pesawat Lion Air. Apakah dia lebih otonom?. Ia berangkat ke Solo dalam rangka untuk meliput acara lain sehingga tidak menyengaja untuk menghadapai liputan kecelakaan. Pada kondisi tersebut sebenarnya ia memiliki potensi otonomi individu lebih kuat karena penugasan liputannya tidak terkait dengan kecelakaan tersebut. Apabila dia memutuskan untuk tidak meliput kejadian tersebut sesungguhnya redaksi bisa memaklumi karena dia sendiri menjadi korban dari kecelakaan tersebut.

(12)

bekerja secara tidak sadar telah terinternalisasi dan menjadi nilai-nilai individual baru yang mempengaruhi keputusan etisnya.

Kekuatan tersebut menuntunnya untuk memperoleh berita tercepat, terkini, terakurat dalam kondisi apapun. Seolah selama nafas masih dimiliki maka kewajiban untuk memperioleh berita tersebut tetap harus dilaksanakan. Meski tidak ada pengawasan secara langsung dari redaksi mekanisme kerja individualnya telah menuntun untuk mengambil keputusan etis tersebut.

Penutup

Teleologi menganjurkan keputusan etis didasarkan pada akibat yang ditimbulkannya dan memberikan kriteria substantif seperti kesenangan atau kebahagiaan. he greatest good for society dideinisikan sebagai manfaat untuk semua orang. Menurut kodratnya tingkah laku manusia terarah pada kebahagiaan, maka suatu perbuatan dapat dinilai baik atau buruk sejauh dapat meningkatkan atau mengurangi kebahagiaan sebanyak mungkin orang. Bentham mengajukan prinsip tersebut menjadi norma untuk tindakan-tindakan pribadi maupun pemerintah. he journalistic hedonist menegaskan bahwa kebenaran atau kesalahan dari suatu tindakan jurnalistik tergantung pada kenikmatan atau ketidaknikmatan yang diperolehnya. Deontologi menyatakan bahwa sistem ini tidak menyoroti tujuan yang dipilih bagi perbuatan atau keputusan kita, melainkan semata-mata wajib tidaknya perbuatan dan keputusan tersebut. Kehendak baik terwujud dalam pelaksanaan kewajiban yang tanpa pamrih.

(13)

Datar Pustaka

Bertens, K (2007). Etika. Jakarta, Gramedia

Haryatmoko (2007). Etika Komunikasi: Manipulasi Media, Kekerasan dan Pornograi. Yogyakarta, Kanisius

Gordon, David, Reuss, Carl, Merril, Jhon C (1996). Controversies in Media Ethics. New York, Longman Publish

Referensi

Dokumen terkait

Secara konsep produk ini sudah sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ada dalam akad murabahah. Dalam aplikasinya memang belum semua ketentuan-ketentuan yang ada sudah

For example, several publications on environmental and natural resources conlict enumerate a variety of causes to the conlicts – such as plurality of state

NARA REBRISAT B 111 13 392 Pada FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2017.. 1745/Pid.Sus/2016/PN.MKS) dibimbing oleh Bapak Slamet Sampurno selaku Pembimbing I

Wawancara digunakan sebagai teknik pengumpulan data apabila peneliti ingin melakukan studi pendahuluan untuk menemukan permasalahan yang harus diteliti, dan juga apabila

Saya sering mende- ngar dia mengatakan bahwa, selain mengundang orang untuk kembali, kita juga perlu memberikan kepada mereka sesuatu yang berarti untuk dila- kukan.. Itu

Oleh karena itu, dilakukan identifikasi postur kerja saat melakukan proses pengisian bahan tambahan tepung berupa vitamin zat additive ke mesin feeder additive

Hasil kerja karyawan tercerminkan dari tinggi rendahnya Kinerja Karyawan Tetap secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang karyawan dalam melaksanakan

Bedasararkan data hasil wawancara awal dengan pengguna saluran air PDAM Tirta Intan Garut yang di ambil dari 25 pengguna mengatakan ketidak puasanya dikarenakan kurangnya