• Tidak ada hasil yang ditemukan

T1 712011048 Full text

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "T1 712011048 Full text"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

i

Kajian Sosio-Teologis Terhadap Nilai-Nilai Luhur Yang Terkandung Dalam Tradisi Makan Sirih-Pinang Di GKS Jemaat Waingapu

Oleh:

METVENSIUS ISHAK 712011048

TUGAS AKHIR

Diajukan kepada program Studi: Teologi, Fakultas: Teologi guna memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana

Sains Teologi (S.Si-Teol)

Program Studi Teologi

FAKULTAS TEOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA

(2)

ii

LEMBAR PENGESAHAN

Kajian Sosio-Teologis Terhadap Nilai-Nilai Luhur Yang Terkandung Dalam Tradisi Makan Sirih-Pinang Di GKS Jemaat Waingapu.

oleh:

METVENSIUS ISHAK 712011048

TUGAS AKHIR

Diajukan kepada program Studi: Teologi, Fakultas: Teologi guna memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana

Sains Teologi (S.Si-Teol) Disetujui oleh,

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. David Samiyono. Pdt. Dr. Ebenhaizer I. Nuban Timo

Diketahui oleh, Disahkan oleh,

Ketua Program Studi Dekan

Pdt. Izak Y.M. Lattu, Ph.D Pdt. Dr. Retnowati, M.Si

Fakultas Teologi

Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga

(3)

PerpustakaanUniversitas

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Metvensius Ishak

NIM : 712011048 Email : [email protected] Fakultas : Teologi Program Studi : Teologi

Judul tugas akhir : Kajian Sosio-Teologis Terhadap Nilai-Nilai Luhur Yang Terkandung Dalam Tradisi Makan Sirih-Pinang Di GKS Jemaat Waingapu.

Pembimbing : 1. Dr. David Samiyono

2. Pdt. Dr. Ebenhaizer I. Nuban Timo Dengan ini menyatakan bahwa:

1. Hasil karya yang saya serahkan ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk mendapatkan gelar kesarjanaan baik di Universitas Kristen Satya Wacana maupun di institusi pendidikan lainnya.

2. Hasil karya saya ini bukan saduran/terjemahan melainkan merupakan gagasan, rumusan, dan hasil pelaksanaan penelitian/implementasi saya sendiri, tanpa bantuan pihak lain, kecuali arahan pembimbing akademik dan narasumber penelitian.

3. Hasil karya saya ini merupakan hasil revisi terakhir setelah diujikan yang telah diketahui dan disetujui oleh pembimbing.

4. Dalam karya saya ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau dipublikasikan orang lain, kecuali yang digunakan sebagai acuan dalam naskah dengan menyebutkan nama pengarang dan dicantumkan dalam daftar pustaka.

Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya. Apabila di kemudian hari terbukti ada penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang telah diperoleh karena karya saya ini, serta sanksi lain yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Kristen Satya Wacana.

Salatiga, 03 Febuari 2017

(4)

PerpustakaanUniversitas

iv

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

Jl. Diponegoro 52 – 60 Salatiga 50711 Jawa Tengah, Indonesia Telp. 0298 – 321212, Fax. 0298 321433 Email: [email protected] ; http://library.uksw.edu

PERNYATAAN PERSETUJUAN AKSES

Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Metvensius Ishak

NIM : 712011048 Email : [email protected] Fakultas : Teologi Program Studi: Teologi

Judul tugas akhir : Kajian Sosio-Teologis Terhadap Nilai-Nilai Luhur Yang Terkandung Dalam Tradisi Makan Sirih-Pinang Di GKS Jemaat Waingapu

Dengan ini saya menyerahkan hak non-eksklusif* kepada Perpustakaan Universitas – Universitas Kristen Satya Wacana untuk menyimpan, mengatur akses serta melakukan pengelolaan terhadap karya saya ini dengan mengacu pada ketentuan akses tugas akhir elektronik sebagai berikut (beri tanda pada kotak yang sesuai):

a. Saya mengijinkan karya tersebut diunggah ke dalam aplikasi Repositori PerpustakaanUniversitas, dan/atau portal GARUDA

b. Saya tidak mengijinkan karya tersebut diunggah ke dalam aplikasi Repositori Perpustakaan Universitas, dan/atau portal GARUDA**

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Salatiga, 03 Febuari 2017

Metvensius Ishak Mengetahui,

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. David Samiyono PPdt. Dr. Ebenhaizer I. Nuban Timo

* Hak yang tidak terbatashanya bagi satu pihak saja. Pengajar, peneliti, dan mahasiswa yang

menyerahkan hak non-ekslusif kepada Repositori Perpustakaan Universitas saat mengumpulkan hasil karya mereka masih memiliki hak copyright atas karya tersebut.

(5)

i

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademika Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Metvensius Ishak NIM : 712011048 Program Studi : Teologi Fakultas : Teologi Jenis Karya : Jurnal

demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada UKSW hak bebas royalti non-eksklusif (non-exclusive royalty free right) atas karya ilmiah saya berjudul: Kajian Sosio-Teologis Terhadap Nilai-Nilai Luhur Yang Terkandung Dalam Tradisi Makan Sirih-Pinang Di GKS Jemaat Waingapu

beserta perangkat yang ada (jika perlu).

Dengan hak bebas royalti non-eksklusif ini, UKSW berhak menyimpan, mengalih media/mengalih formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data, merawat, dan mempublikasikan tugas akhir saya, selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Salatiga Pada tanggal: 03Febuari 2017 Yang menyatakan,

Metvensius Ishak

Mengetahui,

Pembimbing I Pembimbing II

(6)

ii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa, karena kasih dan anugerah-Nya yang begitu melimpah dalam kehidupan penulis. Secara khusus, penulis mengucapkan syukur karena tuntunan dan penyertaanNya yang tidak pernah berhenti bagi penulis selama penulis menjalani masa pendidikan di Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) hingga pada akhirnya penulis mampu menyelesaikan perkuliahan dan Tugas Akhir dengan baik.

Tugas Akhir ini ditulis untuk memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Sains dalam bidang Teologi (S.Si.Teol). Tugas Akhir ini disusun dengan harapan karya tulis ini dapat membantu masyarakat Sumba Jemaat kota Waingapu, warga Gereja dan warga jemaat GKS Waingapu secara khusus yang mana menjadi tempat penelitian penulis, untuk lebih memahami dan memaknai nilai-nilai yang terkandung dalam tradidi makan sirih pinang bersama dan menyuguhkan sirih pinang antara sesama, sirih pinang mempunyai banyak nilai positif bagi masyarakat Sumba yang khususnya untuk Jemaat Waingapu. Penulis juga berharap Tugas Akhir ini dapat berguna di kemudian hari guna referensi atau sekedar menambah pengetahuan bagi masyarakat dalam memakan, menyuguhkan dan memahami sirih pinang. Dalam seluruh rangkaian tulisan ini, penulis menyadari bahwa tulisan ini jauh dari kesempurnaan sehingga diperlukan kritik dan saran agar tulisan ini juga dapat terus dikembangkan menjadi lebih baik.

(7)

iii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

PERNYATAAN TIDAK PLAGIAT ... iii

PERNYATAAN PERSETUJUAN AKSES ... iv

PERNYATAAN BEBAS ROYALTI DAN PUBLIKASI ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... vii

UCAPAN TERIMA KASIH ... ix

MOTTO ... xiii

ABSTRAK ... xiv

1. Pendahuluan ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

2. Sirih pinang dan Simbol ... 8

2.1 Simbol Antropologi Sosial... 11

3. Hasil Penilitian...13

3.1 Gambaran Tempat Penelitian ... 13

3.2 Latar Belakang Sirih Pinang ... 14

3.3 Makna Sirih Pinang Sebagai Simbol...16

4. Analisa. 4.1. Sirih Pinang Sebagai Simbol... 19

5. Kesimpulan dan Saran ... 23

(8)

iv

UCAPAN TERIMA KASIH

Dalam proses penulisan Tugas Akhir ini penulis banyak mendapatkan bantuan baik dalam bentuk kritik, saran serta bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Tuhan Yesus Kristus yang oleh karena kasihNya selalu menolong penulis dalam menjalani studi di Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana.

2. Dr.David Samiyono dan Pdt. Dr. Ebenhaizer I. Nuban Timo yang telah menjadi dosen pembimbing penulis selama masa penulisan Tugas Akhir ini. Terima kasih atas waktu, motivasi, saran dan kritik yang diberikan kepada penulis. Mohon maaf jika ada perilaku yang kurang berkenan selama masa bimbingan.

3. Seluruh Dosen dan Staff Fakultas Teologi. Terima kasih sudah membagi ilmu pengetahuan kepada penulis, mendukung dan memotivasi penulis untuk terus belajar agar penulis dapat terus berkembang. Buat Bu Budi yang selalu setia membantu segala keperluan mahasiswa dan tidak bosan untuk menerima kami dikantornya terima kasih banyak Bu.

4. Jemaat GKS Waingapu. Pak Pdt. Adi, Majelis jemaat Pak Oktavianus Mbau, Pak Obed Maku Hinggi Ranja semua responden dan teman-teman Pemuda. Terima Kasih atas bantuannya bagi saya selama masa penelitian. Buat Om Alex yang setia menemani selama masa penelitian, Terima Kasih bro. Tuhan memberkati kita semua 

5. Untuk ke dua orang tehebat dan tersayang yang saya miliki saat ini terima kasih untuk Cinta dan pengorbanan selama saya kuliah. Untuk Bapa dan Mama terima kasih untuk semua-semuanya hanya Tuhan yang dapat membalas kebaikan Bapa dan mama. Lovu u :* Terima Kasih juga saya ucapkan kepada K. Aten, K.Jimmy, K, Dian, Adik Rio, K. Marlin, K. Obed, K. Yanti, dan Indah yang sudah mendukung saya selama kuliah baik secara ekonomi maupun Doa. Terima kasih banyak dan Tuhan memberkati kita Semua.

6. Untuk teman-teman angkatan Teol-11 terima kasih, keluarga Poltas semua Chantri, om umbu, Nijer, Bapa flow, mama Flow, Rian, Edwin, Ogant, Mario, Mardy, Risky, Masen, Elga, Rian, Beril, dan Ama tana Jek. Terima kasih untuk kebersamaan kita semua.Tuhan Yesusmemberkati.

(9)

v

(10)

vi

MOTTo

Jika Tuhan sudah menuntun mu sampai sejauh ini maka mintalah

agar Tuhan selalu menuntun mu ketika kamu di tempatkan

dimana kamu berada dengan segala pekerjaan mu. Tuhan selalu

ada dan tidak pernah tetidur bagi orang yang selalu bekerja

keras dan mengandalkan Tuhan.

Roma 8:28

Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala

sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang

mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan

rencana Allah.

Nyanyian : Bagaikan Bejana siap di bentuk demikian

(11)

vii

Kajian Sosio – Teologis Terhadap Nilai – Nilai Luhur yang Terkandung Dalam Tradisi Makan Sirih - Pinang di GKS Jemaat Waingapu.

Metvensius Ishak1,Dr. David Samiyono2,Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo3

Fakultas Teologi

Universitas Kristen Satya Wacana Jln. Diponegoro 53-60 Salatiga 1)

[email protected]

Abstrak

Tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan pandangan jemaat GKS Waingapu mengenai nilai-nilai luhur yang terkandung dalam makan sirih pinang bersama dan saling menyuguhkan sirih pinang yang terjadi dan dialami oleh jemaat GKS Waingapu terkhususnya bagi generasi selanjutnya yang akan meneruskan nilai-nilai luhur dalam makan sirih pinang untuk kehidupan sehari-hari dan menggunakan sirih pinang sebagai alat pemersatu dan tanda penghormatan dengan kemajemukan jemaat Waingapu yang ada. Untuk itu tujuan tersebut dimaksudkan untuk menjawab rumusan masalah yaitu apa pandangan Jemaat GKS Waingapu tentang nilai-nilai luhur dalam menyuguhkan sirih pinang, serta pandangan jemaat Waingapu yang tidak membedakan status sosial ketika saling menyuguhkan dan memakan sirih pinang besama. Penelitian ini memberi suatu pemahaman baru bagi jemaat GKS Waingapu yang mana di dalam sirih pinang memiliki suatu tanda kasih terhadap sesama baik itu dalam jemaat Waingapu dan juga diluar konteks gereja. Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode kualitatif, sehingga dapat memperoleh informasi secara mendalam lewat wawancara yang dilakukan kepada jemaat GKS Waingapu khususnya bagi mereka yang secara langsung mengalami makan sirih pinang bersama dan menyuguhkan sirih pinang bagi sesama. Dengan demikian, penulis dapat mencapai tujuan yang dimaksudkan di atas.

Kata Kunci: Sirih pinang, simbol dalam Budaya, Nilai-nilai dan GKS Jemaat Waingapu.

1

Mahasiswa Fakultas Teologi

(12)

1

1. Pendahuluan

1.1.Latar belakang masalah.

Kata “Sirih” dalam kamus bahasa Indonesia ialah sejenis tumbuhan yang memanjat dengan akarnya; buah atau daunnya dimakan (dikunyah) bersama-sama dengan gambir, pinang, kapur bagi orang pemakan sirih pinang.4 Kata “Pinang”, dalam kamus bahasa Indonesia adalah sejenis tumbuhan bangsa palm berbatang lurus dan berakar serabut, tinggi nya sampai 30 meter, buahnya kecil sedikit dari telur ayam berkulit sabut dan dagingnya dimakan dengan kawan sirih.5

Menurut pengamatan saya kebiasaan tradisi makan sirih pinang di Indonesia telah merasuk di berbagai wilaya seperti, Jawa, Kalimantan hingga Papua dan Nusa Tenggara Timur. Manfaat sirih pinang bagi masyarakat Indonesia sangat baik untuk kesehatan karena bisa digunakan sebagai obat herbal dalam menyembuhkan penyakit dalam dan penyakit kulit. Sirih pinang tidak hanya dipakai untuk kesehatan dalam menyembuhkan berbagai penyakit akan tetapi sirih pinang juga mempunyai manfaat lain untuk masyarakat Nusa tenggara Timur dan khususnya dimasyarakat Sumba Timur. Sirih pinang di sini secara umum dimakan hanya untuk menjadi kebiasaan atau menghargai orang yang memberi dan dipakai untuk kesehatan, akan tetapi secara khusus sirih pinang sering dipakai dalam berbagai upacara adat dan sebagai simbol-simbol kedamaian karena di dalam memakan sirih pinang sebenarnya ada nilai-nilai yang tertanam dalam masyarakat Nusa Tenggara Timur yang lebih khususnya di Sumba Timur. Nusa Tenggara Timur banyak memiliki suku, bahasa, dan adat istiadat yang berbeda-beda.6

Sirih Pinang dalam masyarakat Nusa Tenggara Timur banyak digunakan dalam berbagai hal, baik itu upacara adat, sebagai salah satu prasyarat mas kawin, sebagai suguhan untuk tamu, upacara kelahiran, ritual adat, dst.

Contohnya dalam masyarakat Sabu yang menggunakan sirih pinang sebagai salah satumas kawin. Pada waktu kunjungan pihak lelaki membawa sirih pinang atau rukenana sebagai

4J. S. Badudu, Sultan Mohammad Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pustaka Sinar

Harapan, 2001), hal 1334

5J. S. Badudu, Sultan Mohammad Zain,.. Kamus Umum Bahasa Indonesia hal 1603 6

DepertemenPendidikan Dan Kebudayaan Pusat Penilitian Sejarah Dan Budaya Proyek

(13)

2

lambang peminangan.7Tidak hanya dimasyarakat Sabu yang menggunakan sirih pinang, masyarakat Timor menggunakan sirih pinang untuk upacara adat dalam pertanian disawah waktu padi akan panen. Dukun mnane akan memeriksa sekeliling sawah kemudian memilih bulir-bulir padi yang dianggap mengandug smanaf jiwa. Pada upacara ini disajikan sirih pinang, kemudian setiap orang berjalan keliling dengan memercikan air sirih pinang pada padi yag akan dipanen, maksud pemercikan air supaya dewa padi tidak lari.8

Selain masyarakat Sabu dan Timor, sirih pinang juga digunakan oleh masyarakat Rote dalam upacara penguburan. Di dekat mayat diberi saji-sajian seperti sirih pinang dan makanan yang mana menurut kepercayaan masyarakat, rohpun masih perlu makan dan minum.9 Sirih pinang sangatlah penting dalam kehidupan masyarakat Nusa Tenggara Timur, dan hal ini terlihat dari sejak proses kehamilan, calon bayipun sudah diperkenalkan dengan sirih pinang.10

Pulau Sumba termasuk salah satu pulau dalam gugusan pulau-pulau yang dalam pembagian dulu disebut Sunda kecil11. Pulau Sumba dibagi menjadi empat kabupaten dan saya lebih fokus pada Sumba Timur. Wilayah Sumba Timur yang berada di bagian timur, tempat matahari terbit sehingga disebut “Pahunga Lodu.”12 Masyarakat Sumba Timur dalam kehidupan sehari-hari sering membawa sirih pinang baik untuk pria dan juga wanita, sebutan untuk pria dalam masyarakat Sumba biasa disebut dengan Umbu dan sebutan untuk wanita adalah Rambu.

Masyarakat Sumba adalah orang yang selalu hidup bergotong royong, hidup bersama, tolong menolong.13 Masyarakat Sumba percaya dengan tolong menolong dapat membangun rasa persaudaraan dan lebih membantu dalam status ekonomi ketika adanya upacara adat baik itu kematian atau perkawinan dll. Salah satu kebudayaan Sumba yang paling menarik dari berbagai macam ciri khas yang ada di Pulau Sumba ialah sirih pinang sebagai suguhan.

7Nico L. Kana, Dunia Orang Sawu,(Jakarta :Sinar Harapan, 1983), hal 52 8

DepertemenPendidikan Dan Kebudayaan Pusat Penilitian Sejarah Dan Budaya Proyek

PenilitianSejarah Dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Adat istiadat Daerah Nusa Tenggara Timur , (Jakarta : 1981) hal 40

9DepertemenPendidikan Dan Kebudayaan Pusat Penilitian Sejarah Dan Budaya Proyek

PenilitianSejarah Dan Pencatatan Kebudayaan Daerah,... hal 103.

10DepertemenPendidikan Dan Kebudayaan Pusat Penilitian Sejarah Dan Budaya Proyek

PenilitianSejarah Dan Pencatatan Kebudayaan Daerah,... hal 89.

11Oe.H.Kapita, Sumba di dalam jangkuan Jaman, (Jakarta :BPK Gunung Mulai,1976),hal 12 12

Umbu Pura Wora, Sejarah, Musyawarah dan Adat Istiadat Sumba Timur, (Kupang: Pemerintah Daerah Kabupaten Sumba Timur, 2007), hal 18.

(14)

3

Jika bertamu dan tidak disuguhi tempat sirih pinang maka dianggap tidak sopan atau barangkali sedang marah.14 Sirih pinang merupakan salah satu sajian khusus untuk masyarakat Sumba baik dalam upacara adat, kematian, perkawinan, dan lain sebagainya. Nampak sekali peranan sirih pinang dalam kehidupan masyarakat Sumba yang selalu menggunakan sirih pinang dalam segala hal. Untuk itu perlu di pisahkan khusus anggaran sirih pinang dalam kehidupan orang Sumba .15

Sirih pinang sangat penting peranannya dalam kehidupan orang Sumba, bahkan secara relatif dapat menggeser peranan bahan makanan.16 Masyarakat Sumba sering memakan sirih pinang dan membawa karena dengan sirih pinang juga dapat membangun komunikasi antara satu dengan yang lain dan ada nilai-nilai positif yang dibangun melalui sirih pinang, seperti dalam masyarakat sumba yang sering membedakan Raja dan Hamba, melalui sirih pinang ini tidak lagi dibedakan kasta karena mereka memakan sirih pinang dari tempat yang sama yaitu mbola (tempat menaruh sirih pinang). Sirih pinang juga tanpa disadari oleh masyarakat Sumba telah mempersatukan kaum bangsawan dan kaum rendahan, di sini nampak nilai solidaritas ada dan berkuasa ditengah-tengah masyarakat.17 Nilai solidaritas ini muncul ketika masyarakat Sumba bekerja sama dalam suatu pekerjaan adat, tidak terlihat lagi status tinggi rendahnya seseorang atau dengan kata lain status sosial. Ketika adanya perkelahian antara orang sumba dengan orang Sumba atau dengan suku lain dan ingin melakukan perdamaian antara kedua belah pihak, yang disuguhkan terlebih dahulu ialah sirih pinang, begitu juga dalam ritual adat sumba. ketika ingin melihat hasil panen baik atau tidak selalu memotong ayam dan menggunakan sirih pinang untuk di beri kepada kepercayaan masyarakat Sumba Marapu, kepercayaan kepada arwah para leluhur.18

Seperti yang sudah saya katakan bahwa sirih pinang adalah salah satu hal yang penting, sebab masyarakat Sumba mengangagap bahwa sirih pinang lebih penting dari pada makanan sehari-hari.

14Umbu Pura Wora, Sejarah, Musyawarah dan Adat Istiadat Sumba Timur ,.., hal 316. 15 Umbu Pura Wora, Sejarah, Musyawarah dan Adat Istiadat Sumba Timur,.. hal 315 16Umbu Pura Wora, Sejarah, Musyawarah dan Adat Istiadat Sumba Timur ,.., hal hal 316. 17

Takdir Alisjahbana, Perkembangan Sejarah Kebudayaan Indonesia di Lihat dari Jurusan Nilai-Nilai, (Jakarta: 1977), hal 14.

(15)

4

Menurut masyarakat Sumba memakan sirih pinang juga dianggap sebagai menghargai orang yang memberi karena sirih pinang memberi ketenangan atau kesejukan dan rasa damai antara sesama. Berdasarkan hal tersebut sirih-pinang berperan sebagai alat pergaulan sehari-hari.19

Kepecayaan asli suku Sumba disebut marapu, kepercayaan terhadap Dewa atau Ilah yang tertinggi, awah nenek moyang, makluk-makluk halus (roh-roh) dan kekuatan sakti. Kata marapu bagi masyarakat Sumba berarti suci, mulia, sakti sehingga harus dihormati dan tidak diperlakukan dengan sembarang.20Orang Sumba tidak menganut agama resmi yang ada di Indonesia, akan tetapi dengan seiring berjalanannya waktu masyarakat Sumba mengalami perubahan oleh para Zending dalam mengenal Injil. Pada tanggal 19 Nopember tahun 1907 bisa dikatakan pada hari itulah pos pekabaran Injil para Zending diirikan pertama kali untuk masyarakat Sumba.21

Injil yang awalnya diperkenalkan oleh para Zending mendapat penolakan oleh raja-raja yang ada di Sumba karena mereka berpikir para Zending akan menguasai pulau Sumba.22 Para Zending dalam memperkenalkan Injil juga membangun rumah sakit dan sekolah agar masyarakat Sumba lebih maju. Melihat hal ini raja-raja Sumba yang awalnya menolak pada akhirnya menerima para Zending dan bahkan membantu para Zending dalam bidang kesehatan, pendidikan, dan khususnya dalam pekabaran Injil di Sumba.

Melalui kedekatan dalam bidang kesehatan dan pendidikan, para Zending sudah mengenal budaya Sumba dan memanfaatkan hal ini untuk pekabaran injil. Pada umumnya, orang Sumba akan mengundang seseorang yang lewat di dekat rumah mereka untuk singgah makan sirih pinang sebentar. Penolakan terhadap ajakan makan sirih pinang adalah suatu sikap penghinaan terhadap orang Sumba karena melanggar tata krama. Guru Injil tidak ingin melukai hati sesamanya yang dapat mengakibatkan kehilangan komunikasi dan tertutupnya jalan bagi pemberitaan Injil.23 Oleh karena itu kesempatan ini dimanfaatkan untuk becakap-cakap tentang Injil Kistus.

19 Umbu Pura Wora, Sejarah, Musyawarah dan Adat Istiadat Sumba Timur, (Kupang: Pemerintah

Daerah Kabupaten Sumba Timur, 2007), hal 316.

20Yanuaius L. Wara. Tri Widiarto. Wahyu Purwiyastuti, Tradisi Belis Dalam Upacara Perkawinan

Dan Perubahan Sosial, Budaya, Ekonomi, Masyarakat Sumba Barat Daya, (Salatiga : Widya Sari Press Salatiga, 2015), hal 30.

21

Oe.H.Kapita, Sumba di dalam jangkuan Jaman, (Jakarta :BPK Gunung Mulai,1976),hal 47.

(16)

5

Seperti yang telah saya jelaskan tentang masuknya Injil di Sumba, dengan melihat bahwa sirih pinang juga digunakan untuk pekabaran injil awal dalam masyarakat Sumba ternyata hal ini juga dilakukan hingga sekarang di GKS Jemaat Waingapu.

Berdasarkan latar belakang diatas yang telah saya jelaskan, saya terdorong untuk mengambil judul tentang : Kajian Sosio – Teologis Terhadap Nilai – Nilai Luhur yang Terkandung Dalam Tradisi Makan Sirih - Pinang di GKS Jemaat Waingapu.

Rumusan Masalah

Berdasakan latar belakang yang telah dijelaskan diatas, maka peneliti merumuskan pertanyaan permasalahan yaitu, apa saja nilai-nilai luhur dalam saling menyuguhkan sirih pinang bagi suku Sumba khususnya di GKS Jemaat Waingapu.

1.3.Tujuan Penilitian

Berdasarkan rumusan masalah yang ingin diteliti maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah, Mendeskripsikan secara Sosio-Teologis terhadap nilai-nilai luhur yang terkandung dalam makan sirih pinang di GKS Jemaat Waingapu.

1.4.Manfaat Penlitian

Penilitian ini memberi suatu pemahaman baru tentang nilai kasih yang terkandung dalam budaya makan sirih pinang bagi masyarakat Sumba khususnya di GKS jemaat Waingapu yang selama ini menggunakan sirih pinang sebagai suguhan awal untuk para tamu maupun kerabat yang datang agar lebih menjunjung nilai kekristenandengan melihat sirih pinang sebagai simbol pemersatu, seperti yang diajarkan oleh Yesus Kristus.

1.5.Metode Penelitian.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian Tugas Akhiryaitu penelitian deskriptif, bertujuan mendeskripsikan atau menjelaskan suatu hal secara sistematis, faktual serta akurat mengenai fakta-fakta tertentu yang ada dilapangan. Dalam menentukan metode penelitian, maka peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif.24

24

(17)

6

Pendekatan deskriptif adalah pendekatan yang bertujuan untuk menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, gejala, ataupun kelompok tertentu untuk menentukan penyebab suatu frekuensi adanya hubungan tertentu antara suatu gejala dengan gejala lainnya dalam masyarakat. 25

Metode yang dipakai untuk mengumpulkan data yakni pengumpulan data primermerupakan pengumpulan data dari lapangan tempat dimana peneliti melakukan peniltian.26Metode ini dilakukan dengan wawancara yang bertujuan untuk mendapatkan keterangan masalah yang diteliti dengan percakapan tatap muka, guna mendapatkan informasi yang lebih akurat dan terperinci untuk memperkuat data tentang obyek yang diteliti bagi penulis.

Penulis juga melakukan Observasi dalam rangka mendapatkan gambaran tentang sirih pinang di GKS jemaat Waingapu dengan cara identifikasikan tentang situasi dan kondisi wilayah penelitian. Gambaran secara umum tersebut meliputi berbagai informasi tentang sirih pinang, untuk itu perlu dilakukan pengambilan data, rekaman, informen, jurnal, wawancara, bergaul dengan GKS jemaat Waingapu dan mengikuti kegiatan yang ada.

1.6. Lokasi Penilitian

Berdasarkan hasil yang telah dipaparkan diatas maka lokasi penilitian yang akan diteliti oleh Peniliti adalah Kabupaten Sumba Timur khususnya di GKS jemaat Waingapu.

1.7.SistematikaPenulisan

Agar penelitian ini terarah sesuai dengan tujuan yang ditetapkan, maka disusunlah sistematika penulisan yang menjadi rangkaian penulisan dari bagian pertama sampai kelima yang mempunyai pokok masing-masing, tetapi menjadi satu bagian besar yang saling melengkapi.

Penulis akan membagi tulisan ini ke dalam lima bagian, yakni sebagai berikut:

Bagian 1 : Pendahuluan (latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan).

25

D. Engel, Metodologi Penelitian Sosial dan Teologi Kristen, (Salatiga: Widya Sari, 2005), 20-21.

26 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010),

(18)

7

Bagian 2 : Landasan Teori (Sirih pinang sebagai simbol. Simbol rasa persaudaraan, perdamaian, solidaritas, penerimaan, penghormatan dan kekerabatan.

Bagian 3 : Hasil Penelitian (data hasil penelitian yang ditemukan selama penelitian di lapangan).

Bagian 4 : Analisa (analisa terhadap hasil penelitian dengan menggunakan teori yang ada dalam bagian 2).

Bagian 5 : Penutup (kesimpulan akhir dari pengolahan data hasil penelitian)

(19)

8

II. LandasanTeori

Simbol berdasarkan dengan asal katanya yaitu, kata simbol berasal dari bahasa Yunani symbolon dari kata symballo yang berarti menarik kesimpulan, memiliki arti dan atau memberi kesan.27 Menurut pemahaan dari Herusatoto, Simbol atau lambang merupakan sesuatu hal atau keadaan yang merupakan pengantar pemahaman tehadap objek.28 Menurut Landmann, bahwa setiap karya manusia dilaksanakan dengan sesuatu tujuan, yaitu bahwa setiap benda alam disekitarnya yang disentuh dan dikerjakan oleh manusia mengandung dalam dirinya suatu nilai.29 Oleh karena itu, setiap sesuatu (termasuk sirih-pinang) menandakan nilai tertentu didalamnya. Simbol yang berupa benda, keadaan, atau hal sendiri sebenarnya bebas terlepas dari tindakan manusia, tetapi sebaliknya tindakan manusia harus selalu mempergunakan simbol-simbol sebagai media penghantar dalam komunikasi antar sesamanya.30 Berdasarkan etimoligi simbol maka penulis akan membagi dalam beberapa bentuk teori simbol yaitu, simbol dalam perspektif Filsaat-Teologi, simbol dalam perspektif Antropologi Sosial.

Simbol Filsafat-Teologi

Pembahasan simbol dalam filsafat-teologi dibagi menurut empat para ahli yang mengemukan pemikirannya, simbol menurut Tillich merupakan kategori sentral dari ajarannya tentang Allah. Ada ciri-ciri mendasar dari sebuah simbol yang ditunjukkan oleh Tillich dalam tulisan-tulisannya. Pertama, Tillich dengan jelas membedakan antara simbol dan tanda. Baginya, masing-masing baik simbol dan tanda menunjuk kepada sesuatu yang lain diluar dirinya sendiri. Namun sebuah tanda bersifat bermakna tunggal dan dapat diganti karena tidak mempunyai hubungan intrinsik dengan apa yang ditunjuknya, sedangkan simbol sungguh-sungguh mengambil bagian dalam realitas yang ditunjuknya dan yang sampai ditingkat tertentu diwakilinya. Simbol berfungsi tidak secara mandiri tetapi karena kekuatan dari apa yang ditunjuknya.31 Pandangan mengenai hubungan Allah dengan tatanan alami dan tentang masuknya Roh Suci kedalam roh manusia dilihat oleh Tillich sebagai sesuatu yang sangat menentukan penafsiran atas fungsi simbol dalam menjadi perantara kehadiran spiritual.

27

Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: PT Gramedia, 2000), 1007

28 Budiono Herusatoto, Simbolisme Jawa, (Yogyakarta: Ombak, 2008),hal 18. 29 Budiono Herusatoto, Simbolisme Jawa, hal 14.

30 Budiono Herusatoto, Simbolisme Jawa, (Yogyakarta: Ombak, 2008), hal 32.

(20)

9

Kedua, membukakan kepada manusia adanya tingkat-tingkat realitas yang tidak dapat dimengerti dengan cara lain. Hal ini secara khusus berlaku untuk simbol-simbol seni. Simbol-simbol seni dipandang dapat membukakan roh manusia kepada dimensi pengalaman estetis dan membukakan realitas kepada dimensi makna intrinsiknya. Sedangkan, simbol-simbol keagamaan menjadi medium realitas tertinggi melalui barang-barang, orang-orang, peristiwa-peristiwa yang sebagai medium menerima sifat “kudus”. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa simbol-simbol berfungsi juga untuk “membukakan” roh manusia kepada pandangan -pandangan yang lebih tentang “Yang Kudus” dalam dimensi transendennya.32

Ketiga,

membuka dimensi-dimensi roh batiniah manusia sehingga terwujudlah suatu korespondensi atau korelasi dengan segi-segi realitas tertinggi. Dalam fungsi ini, simbol memperluas penglihatan tentang realitas transenden dan juga simbol memperluas roh manusia untuk memampukannya ditangkap oleh penglihatan itu dan dengan demikian berkembanglah pengertian rohani. Keempat, simbol muncul dari kegelapan dan hidup oleh karena hubungannya dengan suatu kebudayaan khusus. Menurut Tillich, jika simbol tidak lagi membangkitkan respons maka simbol itu dianggap mati. Tillich juga yakin bahwa beberapa simbol yang mati tidak dapat dihidupkan kembali.33

Jadi dari pemahaman Tillich, kita dapat melihat bahwa yang menjadi pembeda suatu simbol keagamaan, yaitu bahwa simbol keagamaan merupakan representasi dari sesuatu yang sama sekali ada di luar konseptual. Simbol keagamaan menunjuk kepada realitas tertinggi yang tersirat dalam tindak keagamaan, dari apa yang menyangkut kita pada akhirnya. Dengan demikian, definisi simbol keagamaan tergantung pada definisi agama itu sendiri. Selanjutnya menurut Lonergen, simbol adalah ungkapan tertinggi atau perekam perasaan sehingga tugas penafsiran tidak pernah selesai.34 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa keberadaan sebuah simbol mewakili sesuatu yang kemungkinan tidak bisa dimengerti dengan logika. Ini juga berkaitan dengan pemahaman manusia tentang yang transenden yang mana dalam praktek kehidupan masyarakat menggunakan simbol-simbol agar dapat memahami yang transenden tersebut.

32 F. W. Dillistone, The Power Of Symbols (Yogyakarta: Kanisius, 2002), 125. 33

F. W. Dillistone, The Power Of Symbols, 125.

34

(21)

10

Mircea Eliade yang mana mengarahkan pandangannya kepada sejumlah besar barang dan peristiwa khusus dalam menghubungkan manusia dengan yang Ilahi dan secara khusus menekankan arti hierofani, yaitu manifestasi dari yang kudus dalam konteks dunia sekuler. Manifestasi-manifestasi itu selalu diwujudkan dan di kemudian hari dikenang melalui simbol-simbol. Bagi Eliade, manusia menanggapi hierofani-hierofani melalui bentuk-bentuk simbolis, tidak sekedar dengan berusaha menghasilkan suatu refleksi atau cerminan dari apa yang sudah dilihat atau didengar tetapi dengan menghubungkan dirinya pada apa yang menciptakan manifestasi itu melalui tanggapan timbal balik.35 Dengan kata lain, kegiatan simbolis ini tidak bersifat univok, melainkan bersifat multivalen (banyak sisi), mengungkapkan segi-segi barang suci yang bervariasi, bahkan tampaknya bertentangan. Eliade dalam bukunya, Patterns In Comparative Religion, sebagaimana dikutip oleh Dillistone, mengatakan bahwa fungsi sejati sebuah simbol tetap tidak berubah, yakni mengubah suatu barang atau tindakan menjadi sesuatu yang lain daripada yang kelihatan dari barang atau tindakan itu di mata pengalaman profan.36

Uraian terakhir mengenai simbolisme dalam perspektif filsafat dan teologi adalah pandangan dari Ernest Gombrich yang dikonsentrasikan pada tempat simbol dalam sejarah kesenian Eropa. Dalam menafsirkan karya-karya seni, Gombrich menggunakan tiga kata kunci yang dapat mewakilinya, yaitu representasi, simbolisasi, dan ekspresi. Sebuah gambar menurut Gombrich, tentu saja dapat dimaksudkan untuk merepresentasikan (menggambarkan) suatu pemandangan alam, seorang manusia, suatu keadaaan sosial, atau semacam konfigurasi abstrak. Gambar itu juga dimaksudkan untuk menyimbolkan suatu realitas jauh di balik dirinya sendiri. Selanjutnya, sepanjang gambaran itu adalah ciptaan seorang seniman khusus, tidak boleh tidak gambar itu sampai tingkat tertentu mengungkapkan perasaan, sikap, keyakinan subjektifnya sendiri.37 kemudian bagi agama Kristen Protestan yang banyak menggunakan simbol seperti ikan dalam bahasa Yunani

ichthus.

35 Mircea Eliade, The Secret and The Profane: The Nature Religions, terjemahan Nuwanto, (Yogyakarta:

Fajar Pustaka Baru, 2002), 191.

36

Mircea Eliade, The Secret and The Profane: The Nature Religions, 191.

37

(22)

11

Simbol ini digunakan oleh orang-orang percaya pada masa penganiayaan sebagai suatu tanda rahasia dari iman mereka, ikan adalah simbol kuno orang Kristen yang dikenal dari katakombe-katakombe di Roma pada abad pertama.38

Simbol-simbol dalam agama kristen tidak hanya satu tetapi banyak dan memiliki makna dan nilai-nilai tersendiri. Lembu adalah sebuah simbol kekuatan, pelayanan, dan kesabaran. Lonceng adalah simbol simbol panggilan untuk beribadah dan proklamasi Injil kepada dunia.39

Simbol Antropologi Sosial

Pada bagian ini penulis akan menguraikan beberapa teori simbolisme dalam perspektif antropologi sosial. Teori-teori yang dikemukakan berdasarkan pada pandangan ahli antropologi sosial tentang simbolisme, antara lain: Raymond Firth, Mary Douglas, Viktor Turner, dan Clifford Geertz.

Pandangan pertama adalah pandangan dari Raymond Firth. Menurut Firth, sebuah simbol dapat menjadi sarana untuk menegakkan tatanan sosial atau penggugah kepatuhan-kepatuhan sosial, selain itu sebuah simbol kadang-kadang dapat memenuhi suatu fungsi yang lebih bersifat privat dan individual, meskipun tidak mudah mengakui adanya nilai dalam sebuah simbol yang tidak mempunyai suatu acuan kepada pengalaman sosial yang lebih luas.40 Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa simbol memiliki peran ganda dalam kehidupan masyarakat. Hal ini juga berkaitan dengan pandangan dari Mary Douglas yang mana ia sangat yakin bahwa simbol-simbol tidak hanya memiliki fungsi untuk menata masyarakat tetapi juga mengungkapkan kosmologinya. Dalam bukunya Natural Symbol: Explorations in Cosmology, Mary Douglas melihat bahwa tubuh jasmani dapat mempunyai makna universal hanya sebagai sistem yang menjawab sistem sosial dengan mengungkapkannya sebagai sebuah sistem. Artinya, apa yang disimbolkannya secara alami adalah hubungan bagian-bagian sebuah organisme (individu) dengan keseluruhan (masyarakat).

38 Widdwissoeli M. Saleh, Hari Raya Dan Simbol Gerejawi, (Yogyakata: Taman Pustaka Kristen 2008), hal 77. 39 Widdwissoeli M. Saleh, Hari Raya Dan Simbol Gerejawi, hal 80.

40

(23)

12

Individu dan masyarakat dipahami sebagai dua tubuh yang kadang-kadang begitu dekat sehingga hampir menjadi satu, namun biasanya terpisah jauh. Ketegangan antara kedua itulah yang dipandang oleh Douglas memungkinkan adanya pengembangan makna-makna.41

Pandangan ketiga adalah Victor Turner yang dalam bukunya yang berjudul “The Forest of Symbols and The Ritual Process”, membicarakan fungsi simbol dalam mengatur kehidupan sosial. Pemahaman dari Turner tentang simbolisme adalah bahwa simbol-simbol yang dominan menduduki tempat yang signifikan dalam sistem sosial manapun. Sebab, makna simbol pada umumnya tidak berubah dari zaman ke zaman dan merupakan kristalisasi pola aliran tata cara yang dipimpinnya. Walaupun demikian, simbol-simbol itu mempengaruhi sistem-sistem sosial dan maknanya harus diturunkan dari konteks khusus berlangsungnya simbol-simbol itu. Dualitas dalam mengatur kelompok-kelompok sosial yang ia temukan disimbolkan dengan cara yang berarti oleh praktek-praktek ritual suku-suku yang membawa makna rangkap. Di satu pihak, ada penggambaran tatanan tetap secara simbolis: tempat yang keramat atau kuil, penataan terus menerus atas upacara yang berkaitan dengan kelahiran, masa puber dan kematian atau dengan siklus penanggalan, perayaan gerakan-gerakan benda-benda langit. Di lain pihak, ada tata cara simbolis yang harus dilaksanakan ketika suatu peristiwa krisis hampir terjadi: suatu perjalanan ekspedisi berburu, perjumpaan dengan suku lain.42

Pandangan ahli yang terakhir adalah Clifford Geertz. Geertz mengajukan definisi simbol demikian: “setiap objek, tindakan, peristiwa, sifat atau hubungan yang dapat berperan sebagai wahana suatu konsepsi, dan konsepsi ini adalah „makna‟ simbol. Jadi, penafsiran kebudayaan pada dasarnya adalah penafsiran simbol-simbol, sebab simbol-simbol bersifat teraba, tercerap, umum dan konkret. Simbol- simbol keagamaan adalah simbol-simbol yang mensistensiskan dan mengintegrasikan “dunia sebagaimana dihayati dan dunia sebagaimana dibayangkan dan simbol-simbol ini berguna untuk menghasilkan dan memperkuat keyakinan keagamaan”.43

Setelah membaca pandangan-pandangan ahli dari beberapa sumber-sumber yang ada tentang simbol sampailah penulis pada pemahaman tentang simbol bahwa kedekatan manusia dengan simbol sangatlah dekat sekali karena bisa dilihat dan dirasakan oleh benda-benda

41

Mary Douglas, Natural Symbols: Explorations in Cosmology (London: Penguin Books, 1973), 112-113.

42 F. W. Dillistone, The Power Of Symbols (Yogyakarta: Kanisius, 2002), 111-112. 43

(24)

13

yang ada disekitar manusia dalam kehidupan sehari-hari. Dengan ini penulis berpendapat bahwa manusia sendirilah yang menciptakan simbol itu sendiri dan menjadikan simbol sebagai sesuatu yang khas untuk setiap masing-masing kelompok guna mengkomunikasikan suatu hal baik itu antara sesama dan juga untuk alam, telebih khususnya kepada sang pencipta.

III. Hasil penilitian

3.1. Gambaaran tempat penilitian.

Pulau Sumba terletak pada jalur antara sebagai penghubung jalur dalam vulkanis yaitu palau Flores dan Alor Pantar dan jalur luar yang non vulkanis yakni pulau Timor. Pulau Sumba topogafinya terdiri dari empat unit yakni terputus-putus, dengan dataran tinggi dan daerah pegunungan.44 Pulau Sumba juga temasuk salah satu pulau dalam gugusan pulau-pulau yang ada didalam pembagian dulu disebut Sunda Kecil : Bali, Lombok, Sumbawa, Sumba, Flores, dan Timor; dalam pembagian sekarang termasuk salah satu pulau dalam gugusan pulau-pulau : NUSA TENGGARA, suatu nama yang baru untuk menggantikan nama Sunda kecil, sesuai dengan usul Prof. Mr. Mohammad Yamin dalam tahun1954 sebagai Menteri P.P. dan K.45 Dulu kala pulau Sumba tekenal pula dengan nama: Pulau Cendana atau dengan bahasa Inggeris : Sandelwood Island dan dengan bahasa asing Belanda : Sandelhout Eiland. Nama itu sudah terkenal sejak lama, karena dalam peta Pigafetta dalam tahun 1522 telah tecantum nama pulau Chendan, yang tentu tak lain dari pada pulau Cendana itu. Nama pulau ini menurut suku-bangsa Sumba sendiri disebut “Tana Humba” tanah asli.46

Gereja Kristen Sumba Jemaat Waingapu pada awalnya berdiri masih merupakan bangunan darurat yang berada di belakang gereja pada saat itu. Gedung lama dibongkar pada tahun 1973 sedangkan gereja baru diresmikan pada tahun 1974. Bangunan gereja Waingapu dirancang oleh sesorang kebangsaan Belanda yang bernama Winiya sehinggga gedung berbentuk W. Tiang diluarnya yang berjumlah 6 menggambarkan bahwa 6 hari lamanya manusia bekerja memenuhi kebutuhan dan dalam gedung hanya ada satu tiang yang menandakan hari sabat dan manusia diingatkan untuk beribadah dan menguduskan Tuhan.47

44DepertemenPendidikan Dan Kebudayaan Pusat Penilitian Sejarah Dan Budaya Proyek

PenilitianSejarah Dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Adat istiadat Daerah Nusa Tenggara Timur , (Jakarta: 1981), hal 9

45

Oe.H.Kapita, Sumba di dalam jangkuan Jaman, (Jakarta :BPK Gunung Mulai,1976),hal 11.

46 Oe.H.Kapita, Sumba di dalam jangkuan Jaman, hal 12.

(25)

14

GKS Jemaat Waingapu memiliki 2 Cabang dan 1 pos pelayanan yang terletak dekat dengan gereja besar, jumlah KK dalam jemaat Waingapu kurang lebih lima ribu dan terbagi atas banyak suku baik itu suku Sumba, Sabu, Alor, Timor, Rote, Flores, Batak, Jawa, dan lain sebagainya.

GKS Jemaat Waingapu juga sangat strategis letaknya karena berada di tengah-tengah Kota Waingapu sendiri dan memiliki jemaat yang berprofesi sebagian besar peagawai Negeri 75% , Swasta 5% , Pengusaha 5% , Pedagang 10% , dan 5 % Buruh. GKS jemaat Waingapu juga sebagai salah satu pendukung UKSW, UNKRIS, STT Lewa, dan masih ada beberapa perguruan tinggi yang didukung oleh GKS dan Khususnya GKS jemaat Waingapu. GKS jemaat Waingapu memiliki lima orang pendeta yang terbagi dari tiga orang pria dan dua orang wanita diantaranya Pdt. Johny Umbu Lado, Pdt. Yulias Djara, Pdt. Herlina Ratu Kenya, Pdt. Helena Ina Mila Ate, dan Pdt. Umbu Reku. 48

GKS jemaat Waingapu selalu menjalankan program-program yang sudah ada secara bersama-sama baik itu ibadah pemahaman Alkitab di setiap rumah tangga, menjadi tuan rumah dalam olahraga volly antara umat beragama dan masih banyak lagi yang dilakukan untuk bakti sosial yang sering dilakukan dalam sebulan sekali. Kegiatan-kegiatan seperti ini dilakukan untuk mempererat hubungan antara sesama demi kemuliaan nama Tuhan.49

3.2. Latar belakang sejarah sirih pinang.

Masyarakat Sumba percaya bahwa sirih pinang sudah ada sejak dahulu kala atau sejak nenek moyang orang Sumba sudah makan sirih pinang dan sudah saling menyuguhkan sirih pinang. Bagi masyarakat Sumba sirih pinang adalah budaya milik mereka, orang Sumba yang ada harus mempetahankan budaya ini dan tetap melakukan hal makan sirih pinang agar anak dan cucu bisa meneruskan kegenerasi-generasi yang selanjutnya. Awalnya masyarakat Sumba memakan sirih pinang hanya sebagai penghilang rasa ngantuk atau untuk membuat seseorang tetap semangat dalam bekerja, hal ini karena mulut selalu mengunyah atau selalu bergerak.50 Sirih pinang bagi masyarakat Sumba sangat membantu bagi orang yang suka bekerja, akan tetapi hal ini bisa membuat orang ketagihan atau ketergantungan terhadap sirih pinang seperti yang di katakan oleh Umbu Pura Woha dalam buku sejarah, musyawarah dan adat istiadat Sumba Timur yang mengatakan bahwa sirih pinang mengandung alkohlik.

48 Wawancara dengan Pdt. Umbu Reku ( 19 Desember 2016), dikantor GKS Waingapu. 49

Wawancara dengan Majelis Jemaat Agus Mage ( 19 Desember 2016), dirumah Narasumber.

50 Wawancara dengan Jemaat, Bapak Umbu Rihi Landuniki ( 20 Desember 2016), di rumah

(26)

15

Sirih pinang biasanya dikonsumsi oleh kaum dewasa baik itu pria maupun wanita, akan tetapi hal ini tidak membatasi untuk pemuda dan juga remaja, bahkan ada anak kecil yang masih berumur 12 tahun atau 13 tahun sudah memakan sirih pinang, hal ini biasanya terjadi di kampung atau pedalaman.

Sirih pinang tidak hanya dimakan pada saat di rumah akan tetapi bisa dimakan juga pada tempat umum serta dalam acara adat dan bahkan sirih pinang dijual di mana-mana yang artinya tidak sulit untuk menemukan sirih pinang ketika masyarakat Sumba ingin makan sirih pinang. Sirih pinang banyak dijual khususnya di pasar, akan tetapi karena kebutuhan masyarakat Sumba yang terlalu banyak maka sirih pinang tidak hanya dijual pada pasar saja akan tetapi sirih pinang juga dijual dalam kios-kios kecil dan terjual juga di pinggiran jalan.

Masyarakat Sumba percaya dengan makan sirih pinang dan menyadurkan sirih pinang kepada sesama itu artinya mau berbagi dengan sesama karena belum tentu ada suku lain yang menggunakan sirih pinang sebagai sajian awal pembuka untuk sesama, di sini masyarakat Sumba tetap mempertahankan ciri khas atau budaya yang sudah ada sejak dulu kala dan menjadi turun temurun untuk ke generasi selanjutnya.51 Sekalipun ada suku lain yang sama dalam sajian pembuka menyodorkan sirih pinang belum tentu maksud dan tujuan nya sama dari pada suku sumba sendiri, sebab suku Sumba sendiri dalam memberi atau menyodorkan sirih pinang bagi tamu yang datang ke rumah dengan tempat sirih pinang atau mbola, entah ada dan tidak adanya sirih pinang dalam tempat sirih pinang itu tetap akan disodorkan karena itu sudah menjadi suatu penghargaan atau penghormatan masyarakat Sumba bagi tamu yang datang berkunjung kerumah.52

Oleh karena itu mengapa sirih pinang selalu dipakai masyarakat Sumba dan di bawa kemana-mana agar bisa saling memberi dengan tidak melihat perbedaan kepada siapa harus dibagikan, ini yang menjadi ciri khas masyarakat Sumba dan menjadi simbol sebagai pemersatu karena tidak hanya suku Sumba yang melakukan hal demikian.

51 Wawancara dengan Jemaat dan tua adat. Ibu Yuli Mehang dan Ibu Rambu katerina ( 16 Desember

2016), di rumah masing-masing Narasumber.

52 Wawancara dengan majelis jemaat, Bapak Obed Maku Hinggiranja ( 21 Desember), di rumah

(27)

16

Suku lain yang ada di Sumba pun telah terkontaminasi dan melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan oleh masyarakat Sumba dengan cara menyodorkan sirih pinang sebagai suguhan awal kepada tamu yang datang. 53

Masyarakat yang melakukan demikian ada memang yang menghargai budaya Sumba dan ada juga suku lain yang melakukan hal demikian karena suka memakan sirih pinang, dan ada juga yang memang sudah melakukan hal demikian dari suku asalnya dan sangat tepat ketika berada di Sumba. 54

3.3. Makna Sirih pinang sebagai Simbol di GKS Jemaat Waingapu.

Masyarakat Sumba Khususnya di jemaat waingapu mengartikan sirih pinang sebagai lambang atau simbol pemersatu, sebab tidak hanya suku Sumba yang ada di dalam jemaat Waingapu akan tetapi jemaatnya terdiri dari banyak suku yang ada di Indonesia. Jemaat Waingapu sendiri selalu menyediakan sirih pinang dalam ibadah rumah tangga, acara syukuran sidi, acara pentahbisan majelis jemaat, dan masih banyak lagi. Akan tetapi yang menarik di sini di mana acara tersebut berlangsung baik itu suku Sumba asli atau bukan suku Sumba tetap sirih pinang selalu disedikan, ini pertanda bahwa sirih pinang selalu dipakai untuk mempersatukan jemaat Waingapu baik itu orang Sumba maupun orang yang bukan suku Sumba.55

Ada banyak simbol yang sering digunakan oleh jemaat Waingapu baik itu di gereja dan juga di dalam rumah jemaat, simbol-simbol yang sering dipakai dalam gereja jemaat Waingapu antara lain; salib, gambar Tuhan Yesus, kain sesuai dengan hari atau bulan dalam kelender gerejawi, lilin, dan lain sebagainya. Hal ini juga membuat jemaat Waingapu selalu mengingat akan Tuhan dan memperingati hari-hari besar umat Kristen. Sirih pinang sebagai simbol pemersatu masyarakat Sumba khusunya di jemaat Waingapu, akan tetapi sirih pinang tidak termasuk di dalam agama hanya digunakan sebagai alat untuk pendekatan antara majelis dengan jemaat dan pendeta dengan majelis atau dengan jemaat, hal-hal seperti ini yang baik karena dapat menggunakan sirih pinang suatu alat untuk melakukan pendekatan

53 Wawancara dengan Jemaat, Bapak. Umbu Windi dan Kepala Desa Watupuda, Bapak Umbu Tay

Rawambaku ( 24 Desember ), dirumah masing-masing narasumber.

54

Wawancara dengan jemaat, Bapak David Bano (22 Desember 2016), dirumah narasumber

55 Wawancara dengan Bapak majelis Oktavianus Mbau dan Ibu Yuliana Mage ( 18 Desember 2016),

(28)

17

antara sesama sehingga sirih pinang dianggap sebagai simbol pemersatu masyarakat Sumba khususnya di jemaat Waingapu.56

Sirih pinang sangat banyak memiliki arti dan nilai tersendiri bagi jemaat Waingapu karena makna sirih pinang sendiri sangat luas dan dapat digunakan pada acara apa saja, sirih pinang juga dapat digunakan pada saat santai dengan keluarga atau saaat sendiri. Sirih pinang bagi jemaat Waingapu mampu memberi sesuatu nilai positif selain sebagai pemersatu, contohnya; Sirih pinang sebagai tanda kasih kepada sesama karena dengan memberi kepada sesama itu artinya kita mau berbagi dengan apa yang kita punya dan nilai kasih sendiri diajarkan dalam agama Kristen. Sirih pinang sering disuguhkan terlebih dahulu karena melambangkan tanda penghormatan kepada sesama, baik itu sesama orang Sumba dalam jemaat Waingapu dan juga suku lain yang ada didalam jemaat Waingapu itu sendiri.57

Jemaat GKS Waingapu menganggap sirih pinang sebagai lambang atau simbol kedamaian di antara sesama karena dengan saling menyuguhkan sririh pinang dan memakan siihp pinang bersama ada suatu keharmonisan yang terjadi dan mempererat hubungan persaudaraan antara satudengan yang lain karena sudah saling berbagi dan mau mengambil sirih pinang dari tempat yang sama. Jemaat Waingapu juga menghargai dan menghormati sesama dengan memberi sirih pinang dan orang yang menerima sirih pinang tesebut juga merasa dihargai dan dihormati karena diberi sirih pinang sehingga jemaat Waingapu sendiri juga menganggap sirih pinang sebagai lambang solidaritas yang mampu memberi suatu kenyamanan diantara jemaat yang sangat beragam suku. Sekalipun ada banyak jemaat yang tidak memakan sirih pinang tetap akan disodorkan oleh jemaat yang lain, terserah jemaat tersebut menolak atau mengambil sirih pinang yang diberikan, akan tetapi biasanya sirih diambil sekalipun tidak dimakan ketika disodorkan, karena seperti diatas yang telah saya jelaskan bahwa sirih pinang sebagai tanda penghormatan.58

Sirih pinang sering digunakan dalam upacara formal maupun nonformal yang artinya sirih pinang memiliki banyak fungsi bagi masyarakat Sumba khususnya di jemaat Waingapu yang melihat sirih pinang sebagai suatu alat kominikasi baik itu pejabat tinggi dengan staf biasa atau seorang raja dengan hambanya, ketika mengambil dan memakan sirih pinang yang sama dari suatau tempat maka dari situlah dapat dilihat dan rasakan bahwa tidak perbedaan

56 Wawancara dengan Pdt. Umbu Reku dan majelis Jemaat Bapak Obed Maku Hinggiranja ( 29

Desember 2016), di Kantor GKS Waingapu.

(29)

18

diantara sesama. Sirih pinang ketika dimakan besama antaa satu dengan yang lain maka ada suatu hubungan komunikasi yang terjadi karena kebiasaan jemaat Waingapu ketika makan sirih pinang bersama selalu bercerita dan bercengkrama.59

Penulis di sini dapat memastikan bahwa sirih pinang sangat banyak nilai-nilai luhur yang terkandung didalamnya karena dapat memberi nilai positif bagi jemaat waingapu dan khusunya bagi suku lain yang ada didalam jemaat Waingapu, dapat di simpulkan bahwa nilai-nilai luhur yang terkandung dalam makan sirih pinang perlu diteruskan untuk generasi berikutnya karena dengan memakan sirih pinang bersama, banyak manfaat yang didapatkan, tidak ada lagi yang namanya membedakan status sosial, sebab dengan memakan sirih pinang bersama itu artinya semua sama dan penulis melihat di sini bahwa dengan makan sirih pinang bersama sebenarnya lebih kepada penerimaan dan menghargai antara sesama makhluk ciptaan Tuhan.

IV. Analisa

Pada bagian ini penulis akan menjelaskan tentang sirih pinang dalam kehidupan masyarakat Sumba khusus nya bagi jemaat Waingapu. Sirih pinang mempunyai peranan penting bagi masyarakat sumba, sirih pinang merupakan sebagai tanda kekerabatan, kekeluargaan, kedamaian, kehormatan, komunikasi dan penerimaan bagi masyarakat Sumba. Setiap orang yang datang berkunjung terlebih dahulu harus disodorkan tempat sirih pinang

mbola pahapa.60 Untuk makan sirih, perlu ada tiga unsur yang disiapkan yaitu siri, pinang,

Sirih pinang juga digunakan sebagai undangan oleh masyarakat Sumba Khususnya di Waingapu yang mana ketika sesorang ingin mengundang orang lain maka yang pertama akan dilakukan dalam pembiciraan ialah makan sirih pinang bersama, tidak hanya sampai disitu akan tetapi sirih pinang juga menjadi bagian penting dalam adat sebagai salah satu mas

59 Wawancaa dengan Pdt. Umbu Reku (29 Desember 2016), di Kantor GKS Waingapu. 60

Umbu Pura Wora, Sejarah, Musyawarah dan Adat Istiadat Sumba Timur, (Kupang: Pemerintah Daerah Kabupaten Sumba Timur, 2007), hal 315.

(30)

19

kawin, hal ini yang membuat sirih pinang mendapat tempat bagi masyarakat Sumba khususnya bagi jemaat Waingapu.

Pada dasarnya sirih pinang sudah memiliki nilai-nilai luhur bagi masyarakat jemaat Waingapu yang mana bisa dilihat pada acara perkawinan, syukuran dan acara lainnya sirih pinang hadir sebagai simbol pemersatu bagi keluarga yang hadir dan juga bagi para undangan yang hadir.

Sirih pinang sebagai Simbol

Sirih pinang dalam konteks jemaat GKS Waingapu sangat memiliki makna dan peran yang banyak karena tidak hanya sebagai satu akan tetapi lebih dari pada satu, sirih pinang menjadi simbol yang sangat luas bagi GKS jemaat Waingapu karena dilihat dari berbagai pandangan. Adapun pandangan mengenai simbol menurut Erwin Goodenough yang dikutip oleh F.W Dillistone dalam bukunya yang mengatakan bahwa simbol mempunyai maknanya sendiri atau nilainya sendiri dan simbol pun memiliki kekuatannya sendiri untuk menggerakkan kita. Simbol mampu mewakili, menggambarkan, mengisyaratkan, menandakan, menyelubungi, menyampaikan, menggugah, mengungkapkan dan mengingatkan pada suatu objek.62 Dengan demikian sirih pinang ada dan hadir dibalik kehidupan GKS Jemaat Waingapu yang selalu menggunakan sirih pinang sebagai simbol dalam kehidupan sehari-hari.

Sirih pinang memiliki acuan budaya sehingga masyarakat Sumba terkhususnya jemaat Waingapu selalu menggunakan sirih pinang dalam kehidupan sehari-hari yang mana simbol itu sendiri selalu dapat dilihat, dirasakan, selalu mengalami suatu perubahan seperti yang dikatakan oleh, Budiono Herusatoto semua simbol dan tanda yang dijumpai dalam satu generasi ke generasi yang lain tidak hanya berdiri tegak tanpa perubahan melainkan harus selalu ditafsirkan kembali menjadi kaidah-kaidah yang baru. 63 Teori Budiono ini bertolak belakang dengan Eliade yang mana pada teori Eliade mengatakan bahwa simbol tidak akan ada mengalami peubahan, akan tetapi teori dari para ahli yang lain seperti Marry Douglas, Bernard Lonergan, Raymond Firth, bahwa perubahan pada simbol mengalami pergeseran dari ke generasi. Sirih pinang sudah ada sejak dahulu dan sudah digunakan oleh jemaat

62

F.W. Dillistone, The Power of Symbols, SCM Press Ltd.,London 1986, ter. A. Widyamarta (Yogyakarta: Kanisius, 2002), hal 18

(31)

20

Waingapu.64 Sirih pinang yang penulis lihat di sini juga ketika melakukan penilitian mengalami pergeseran makna dari yang kebiasaan hanya memakan sirih pinang sebagai penyemangat berubah menjadi suatu simbol pemersatu dan penerimaan.

Penulis melihat perbedaan menjadi sesuatu yang menarik karena tergantung dilihat dari sudut pandang yang mana akan untuk digunakan. Penulis di sini melihat bahwa sirih pinang sendiri mengalami perubahan-perubahan yang tidak terpaku dengan satu arti atau satu makna saja melainkan sirih pinang menjadi simbol yang artinya banyak dalam kehidupan jemaat Waingapu dan menjadi peran ganda seperti yang dikatakan oleh Paul Tillich. Nilai-nilai positif dari sirih pinang inilah yang selalu di pertahankan oleh jemaat Waingapu karena sebuah lambang dan simbol makna dari sebuah citra.65

Berdasarkan hasil studi teoritis, dan hasil lapangan yang dilakukan dalam penelitian ini penulis menemukan beberapa fakta yang menarik dari hasil wawancara tentang nilai-nilai yang terkandung dalam sirih pinang dan beberapa teori yang penulis gunakan. Adapun bebeapa hal yang penulis temukan yaitu Pertama menurut F.D. Welem penolakan terhadap ajakan makan sirih pinang adalah suatu sikap penghinaan terhadap orang Sumba karena melanggar tata krama.66 Masyarakat Sumba pada umumnya membangun kekerabatan dan saling menghargai melalui sirih pinang karena tanpa disadari atau tidak disadari melalui sirih pinang ada suatu komunikasi yang terjadi dan melalui sirih pinang ada rasa kekeluargaan yang terjalin baik sesama orang Sumba atau dengan suku lain yang ada di Sumba khusunya di jemaat Waingapu.

Kedua Sirih pinang sebagai simbol lambang cinta kasih yang terjadi secara spontan dan jemaat GKS Waingapu sendiri lupa akan hal ini hanya lebih berfokus pada komunikasi saja dan sebagai penghormatan. Di sini penulis melihat bahwa ketika sesorang menyodorkan sirih pinang kepada sesama artinya disitu terjadi cinta kasih kepada sesama dan mau untuk berbagi, karena jika tidak ada nilai-nilai luhur pada sirih pinang maka tidak akan ada yang namanya saling memberi dan saling menyuguhkan sirih pinang antara satu dengan yang lain. Jemaat waingapu sendiri juga menggunakan sirih pinang sebagai simbol solidaritas, akan tetapi jemaat GKS Waingapu belum melihat nilai-nilai makan sirih bersama lebih mendalam.

64

Wawancara dengan Jemaat Ibu Yuli Mehang,(16 Desember), dirumah narasumber.

65 Perhimpunan Sekolah-Sekolah Theologia Di Indonesia, hal 13.

(32)

21

Ketiga Setelah penulis mengamati selama dilapangan dan melihat beberpa pandangan-pandangan dari para teolog juga sumber yang ada maka penulis dapat memastikan sirih pinang sebagai suatu simbol penerimaan bagi masyarakat Sumba khususnya jemaat Waingapu yang telah menggunakan sirih pinang sebagai alat untuk membangun suatu hubungan baik diantara sesama.

Nilai-nilai yang ada didalam sirih pinang sangat membantu jemaat GKS Waingapu untuk berbagi dengan membangun komunikasi dan tali silahturami yang baik, entah itu jemaat Waingapu itu sendiri juga dengan orang lain yang berbeda agama. Karena dengan sirih pinang yang ada dan sering digunakan oleh jemaat Waingapu dalam kehidupan sehari-hari ada relasi yang terjadi dan itu menjadi suatu nilai yang kadang tidak disadari oleh jemaat GKS Waingapu. Nilai-nilai yang ada didalam sirih pinang sangat banyak dan perlu di gali lebih luas atau lebih dalam lagi sehingga nilai-nilai tersebut bisa bertahan untuk generasi berikutnya, seperti suatu simbol yang selalu berubah-ubah makna karena sesuai dengan perubahan waktu dan kesepakatan bersama yang ditandai dalam suatu simbol tersebut maka sirih pinangpun juga harus demikian dan tidak hanya ada pada suatu makna karena makna dai pada sirih pinang itu sendiri sangat luas dan kaya akan makna.

Empat, sirih pinang sebagai alat pemersatu dalam kehidupan masyaakat Sumba khususnya jemaat Waingapu. Sirih pinang dalam kehidupan jemaat Waingapu selalu digunakan dalam kehidupan sehari-hari sebagai alat pergaulan, namun sirih pinang juga mempunyai nilai yang mempersatukan jemaat Waingapu karena seperti yang penulis katakan bahwa jemaat Waingapu bukan terdiri dari masyarakat Sumba saja akan tetapi terdiri dari begitu banyak suku, untuk itulah sirih pinang digunakan sebagai alat atau simbol yang mempersatukan jemaat Waingapu yang sangat beraneka ragam. Penyajian sirih pinang yang akan di suguhkan kepada tamu ialah kelima cupu berisi : siih,pinang, gambir, kapur, dan tembakau.67

Lima, sirih pinang sebagai simbol perdamaian yang mana dalam masyarakat Sumba selalu menggunakan sirih pinang dalam adat upacara apa saja, hal ini juga yang digunakan oleh jemaat GKS Waingapu. Secara ritual adat Sumba Timur sirih pinang selalu di gunakan oleh para rato tua adat untuk berdamai dengan alam, berdamai dengan roh leluhur, dan masyarakat Sumba juga menggunakan sirih untuk berdamai dengan sesama ketika melakukan

67 Proyek Penilitian Dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan,

(33)

22

suatu masalah. Hal ini yang menarik karena sirih pinang digunakan oleh jemaat Waingapu untuk berdamai dengan sesama ketika membuat suatu kesalahan baik itu lewat perkataan dan secara fisik atau perkelahian. Sirih pinang di gunakan sebagai alat perdamaian karena masyarakat Sumba percaya bahwa ketika memakan dan menyuguhkan sirih pinang bersama ada kedamaian dan ketentraman juga kesejukan yang membuat suatu suasana yang panas akan berubah menjadi dingin, atau dengan kata lain ketika sesorang yang sedang marah bisa tersenyum ketika disodorkan sirih pinang karena ketika menyodorkan sirih pinang ada tanda penghormatan dan menghargai sesama. Sirih pinang juga dapat menganganti makanan pokok seperti kebiasaan masyarakat Sumba khusunya jemaaat di GKS Waingapu selalu mengatakan lebih baik tidak makan nasi dari pada tidak makan sirih pinang.68

Enam sirih pinang sebagai simbol identitas suautu daerah yang mana menunjukan ciri khas suatu budaya itu sendiri. Menurut adat istiadat daerah Nusa Tenggara Timur pada umumnya jalannya upacara pada upacara adat di Nusa Tenggara Timur, sirih pinang dengan tembakau digunakan sebagai persembahan/sajian.69 Sirih pinang bagi masyarakaat Nusa Tenggara Timur dipakai untuk keperluan adat sebagai simbol untuk mempersatukan orang-orang yang ada pada upacara adat baik itu di kematian dan perkawinan, sirih pinang juga sering dipakai oleh tua-tua adat untuk melihat baik dan tidak nya segala sesuatu yang terjadi kedepan entah itu kelahiran, waktu acara panen padi di sawah dan lain-lain. Bagi masyarakat Sumba khusunya jemaat Waingapu menggunakan sirih pinang dalam acara adat agar tidak membeda-bedakan status dari pada orang mampu dan orang yang tidak mampu, dengan kata lain tidak membedakan miskin dan kaya semua sama.

Tujuh sirih pinang sebagai tanda kedewasaan seseorang dalam cara berpikir untuk menghargai sesama, karena ketika seseorang memakan dan menyodorkan sirih pinang kepada sesama itu artinya sesorang sudah bisa menghargai, menghormati, menerima, dan mengasihi orang lain dengan apa yang ia miliki, jelas disini bahwa sirih pinang tidak hanya untuk sekedar makan dan menyodorkan kepada sesama, akan tetapi sirih pinang juga memiliki banyak nilai-nilai positif bagi masyarakat Sumba khususnya jemaat GKS Waingapu. Sirih pinang juga digunakan sebagai oleh-oleh atau cinderamata bagi orang yang ada diluar pulau Sumba.

68 Umbu Pura Wora, Sejarah, Musyawarah dan Adat Istiadat Sumba Timur, (Kupang: Pemerintah

Daerah Kabupaten Sumba Timur, 2007), hal 314.

69

DepertemenPendidikan Dan Kebudayaan Pusat Penilitian Sejarah Dan Budaya Proyek

(34)

23

Pada akhirnya penulis melihat bahwa sirih pinang sebuah sajian tradisional bagi masyarakat Sumba khususnya jemaat Waingapu yang mana sirih pinang dipakai sebagai alat dalam kehidupan sehari-hari karena memiliki nilai-nilai luhur yang dapat mempersatukan sesama diantara keberagaman yang ada di konteks jemaat waingapu dan sebagai simbol pemersatu, penerimaan, penghormatan, tanda kasih, komunikasi, tidak membedakan lagi status sosial yang ada, dan sebagai simbol cinta kasih yang dibangun lewat sirih pinang. V. Kesimpulan dan Saran.

Berdasarkan hasil analisa data teoritis dan penelitian di lapangan, penulis dapat memberikan kesimpulan sebagai berikut.

Kehidupan jemaat GKS Waingapu sangat kuat dipengaruhi oleh budaya karena memiliki nilai-nilai luhur yang sangat tinggi, begitu juga dengan relasi sosial antara sesama dan pola pikir tradisional juga sudah terbawa dalam pertemuan antara sesama dengan kehidupan modern saat ini. Hal ini terbukti dengan adanya sirih pinang sebagai makanan khas dari budaya tradisional yang masih ada dan sangat kuat nilai-nilai yang ada dalam makan sirih pinang bersama sehingga dipertahankan sampai saat ini.

Penghayatan akan iman Kristen dan sikap terhadap sirih pinang sebagai simbol yang mempersatukan dan tanda penghormatan menunjukkan bahwa iman Kristen itu berinteraksi dengan relasi sosial dan budaya sehingga kita tidak dapat menolak budaya yang ada di tengah-tengah kehidupan kekristenan, karena kekristenan adalah bagian dari budaya itu sendiri. Hal ini diperjelas dengan sebuah kebiasaan, ketika sebelum ibadah rumah tangga dimulai atau acaran syukuran dimulai pasti sirih pinang selalu disuguhkan terlebih dahulu karena di sisi lain bisa saja sirih pinang disuguhkan untuk para tamu sebagai tanda awal pembicaraan penghargaan, penerimaan, penghormatan dan sebagai tanda bahwa tuan rumah menerima tamu yang datang dengan kasih kepada sesama seperti yang diajarkan dalam agama Kristen.

(35)

24

(36)

25

Daftar Pustaka

Alisjahbana, T.Perkembangan Sejarah Kebudayaan Indonesia di Lihat dari Jurusan Nilai-Nilai,Jakarta: 1977.

Arikunto, S. Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktik,Rineka Cipta, Jakarta 2010. Badudu, J.S dan Zain S.M. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

2001

Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta: PT. Gramedia, 2000.

DepertemenPendidikan Dan Kebudayaan Pusat Penilitian Sejarah Dan Budaya Proyek PenilitianSejarah Dan Pencatatan Kebudayaan Daerah.Adat istiadat Daerah Nusa Tenggara Timur , Jakarta. 1981

Dillistone. F. W. The Power Of Symbols. Yogyakarta: Kanisius, 2002.

D, F, Wellem. Injil dan Marapu, Gunung Mulia, Jakarta. 2004

Eliade, Mircea. The Secret and The Profane: The Nature Religions. Terjemahan Nuwanto, Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002.

Engel, J, D. Metodologi Penelitian Sosial dan Teologi Kristen,Widya Sari, Salatiga. 2005 Firth, Raymond. Symbols: Public and Private. Allen and Unwin, 1973.

Herusatoto, Budiono. Simbolisme Jawa. Yogyakarta: Ombak, 2008.

Kana, L, Nico.Dunia Orang Sawu,Sinar Harapan, Jakarta. 1983.

Kapita, Oe, H. Sumba di dalam jangkuan Jaman, BPK Gunung Mulai, Jakarta. 1976 Lonergen, Bernard. Method In Theology. Darton: Longman and Todd, 1972.

(37)

26

Perhimpunan Sekolah-Sekolah Theologia Di Indonesia, Bertheologia dengan lambang-lambang dan citra-citra rakyat, Salatiga, Juni 1992.

Proyek Penilitian Dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Adat Isiadat Daerah Bengkulu. 1977.

Saleh, Widdwissoeli M. Hari Raya Dan Simbol Gerejawi. Yogyakarta:Taman Pustaka Kristen. 2008

Wara, L, Yanuarius. Widiarto, T. Purwiyastuti, W. Tradisi Belis Dalam Upacara Perkawinan Dan Perubahan Sosial, Budaya, Ekonomi, Masyarakat Sumba Barat Daya, Widya Sari Press, Salatiga. 2005

Referensi

Dokumen terkait

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sains Terapan. Disusun

Tugas Akhir ini disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar sarjana pada Program Studi Teknik Informatika Fakultas Teknologi Industri

Tugas Akhir ini disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana pada Fakultas Teknologi Industri, Program Studi Teknik Informatika,

PELABELAN  −      γ     PADA   PATH   DAN   CYCLE   oleh Priyanto M.0101012 SKRIPSI

Tugas akhir ini disusun untuk melengkapi persyaratan utama yang harus dipenuhi untuk menempuh ujian sarjana sebagai suatu proses dalam mendapatkan gelar Sarjana Teknik pada

Tugas akhir ini disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Musik dari Fakultas Seni Pertunjukan Universitas Kristen Satya Wacana!. Penulisan tugas

Laporan Tugas Akhir ini disusun dan diajukan untuk memenuhi sebagian dari persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana Teknik Elektro pada Program Studi Teknik Elektro di

LAPORAN TUGAS AKHIR PERENCANAAN NORMALISASI BATANG PINAMANG JORONG TALAGO KABUPATEN LIMA PULUH KOTA Ditulis untuk memenuhi sebagian persyaratan akademik guna memperoleh gelar Sarjana