• Tidak ada hasil yang ditemukan

Berkhas Kliping Juli 2008 Agraria-Juli 2008

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Berkhas Kliping Juli 2008 Agraria-Juli 2008"

Copied!
69
0
0

Teks penuh

(1)

VOLUME VI JULI 2008

(2)

Berkhas merupakan salah satu media Akatiga yang menyajikan kumpulan berita dari berbagai macam surat kabar, majalah, serta sumber berita lainnya. Jika pada awal penerbitannya kliping yang ditampilkan di Berkhas dilakukan secara konvensional, maka saat ini kliping dilakukan secara elektronik, yaitu dengan men-download berita dari situs-situs suratkabar, majalah, serta situs-situs berita lainnya.

Bertujuan untuk menginformasikan isu aktual yang beredar di Indonesia, Berkhas diharapkan dapat memberi kemudahan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dalam pencarian data atas isu-isu tertentu. Berkhas yang diterbitkan sebulan sekali ini setiap penerbitannya terdiri dari isu Agraria, Buruh, dan Usaha Kecil.

(3)

D a f t a r I si

Panen Mulai Dongkrak Pengadaan Beras --- 1

Bulog Targetkan Serap 235.000 Ton Gabah Petani--- 2

Produksi padi 2008 diprediksi naik 4,76% --- 3

Nilai Tukar Petani Sulut Rendah --- 5

Petani Blora Mencoba Tanam Semangka --- 6

Stok Beras Nasional Aman untuk Enam Bulan --- 7

4.000 Hektar Tanaman Padi di Indramayu Puso --- 8

Petani Menanam meski Kekeringan --- 9

Strategi Pangan Vietnam--- 10

Petani Diimbau Tak Spekulasi Menanam Padi --- 12

Buruh Tani Menganggur --- 13

Masihkah Kita Surplus Beras? --- 14

Petani Diharapkan Menanam Palawija --- 16

Petani Butuh Pendampingan untuk Akses Kredit Bank --- 17

Pertanian Belum Berbasis Desa --- 18

Tanaman Padi Tak Berbuah Sempurna --- 19

20.630 Ha Sawah di Jatim Kekeringan--- 20

Pupuk Akan Tetap Langka--- 22

Spekulan Memburu Pupuk Bersubsidi --- 24

Tingkatkan Pengawasan Penyaluran Pupuk --- 25

Jelang Panen Petani Melepas Stok Tembakau --- 27

Ke Mana Arah Kebijakan Pangan Kita?--- 28

Kekeringan Belum Pengaruhi Produksi Padi --- 31

Jangan sampai Kebablasan --- 32

Rezim Pertanian Remukkan Petani --- 35

Yang Menanam, yang Sengsara --- 38

5.000 Ha Sawah di Cirebon Terancam Puso --- 40

11.000 Ha Sawah di Karawang Kekeringan --- 41

Perkebunan Minati Pupuk Organik --- 42

Pengadaan Beras Bulog Baru 56 Persen --- 43

Petani Lapor 35 Hektar Ditanami Ekaliptus --- 44

(4)

Kekeringan Meluas, Produksi Gabah Baru 35 Persen --- 46

Harga Pupuk Melonjak, Panen Padi Bisa Gagal --- 47

Panen Padi di Bantul Membaik --- 48

Presiden Akui Tak Ada Pembangunan Irigasi Baru --- 49

Subsidi Pertanian Dirombak --- 50

Pemerintah Prioritaskan Ketahanan Pangan --- 52

Air Irigasi Makin Mengecil --- 54

Infrastruktur Pengairan Rusak --- 55

Petani Bali Terancam Gagal Panen --- 57

Petani Bentuk Kelompok --- 58

Petani Terancam Gagal Panen --- 59

Subsidi Sebaiknya Ditujukan untuk Petani Kecil--- 61

Penuhi Standar dan Sertifikasi Uni Eropa --- 62

Rp 9 Triliun Perbaiki Irigasi --- 63

(5)

Berkhas 1 Volume VI Juli 2008

Kompas Selasa, 01 Juli 2008

Pa n e n M u la i D on g k r a k Pe n g a d a a n Be r a s

Selasa, 1 Juli 2008 | 01:35 WIB

Indramayu, Kompas - Kegiatan panen padi secara sporadis di sejumlah kecamatan di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, dalam pekan-pekan ini, setidaknya menormalkan penyerapan beras Bulog di daerah itu.

Berdasarkan pantauan Kompas, Senin (30/6), petani di beberapa kecamatan, seperti Kroya, Haurgeulis, Anjatan, Kandanghaur, dan Gantar, walaupun belum masuk panen raya musim gadu, panen penyerapan beras di Perum Bulog Subdivisi Regional Indramayu mencapai 750 ton per hari, dengan harga beli di atas harga pembelian pemerintah atau non-HPP, yaitu Rp 4.650 per kilogram.

Kepala Bulog Subdivisi Regional Indramayu Surasno mengakui, penyerapan ini menunjukkan perbaikan dibandingkan dengan dua pekan lalu ketika pengadaan per hari hanya 500 ton.

”Per 30 Juni ini kontrak pengadaan beras dengan harga non-HPP sudah 18.794 ton, sedangkan yang telah terealisasi dan masuk gudang Bulog sebanyak 16.414 ton,” katanya.

Surasno menambahkan, rata-rata pengadaan beras dari mitra Bulog di wilayah Indramayu sebanyak 750 ton per hari. Biasanya, pada musim rendeng, penyerapan per hari berkisar 900 hingga 1.000 ton per hari.

Tingginya penyerapan beras di Indramayu didukung pula oleh beberapa hal, di antaranya harga beras non-HPP yang lebih tinggi Rp 350 per kg dibandingkan dengan harga beras HPP pada tahun 2008, yaitu Rp 4.300 per kg.

Sementara itu, sejumlah pedagang beras di Kota Bandung mengeluhkan tingginya harga beras yang berkisar Rp 4.800 hingga Rp 6.100 per kilogram. Akibatnya, para pembeli mengurangi konsumsi beras dan omzet pedagang pun turun hingga 80 persen.

Sejak kenaikan harga bahan bakar minyak, harga beras yang awalnya berkisar Rp 4.200 sampai Rp 5.100 per kilogram melambung menjadi Rp 4.800 sampai Rp 6.100 per kilogram. ”Karena harga tinggi, konsumen mengurangi volume pembelian mereka,” kata Usep Iskandar, pedagang beras di Pasar Ujung Berung, Bandung.

Menurut Usep, harga beras kualitas tiga mencapai Rp 4.800 per kilogram, harga beras kualitas dua Rp 5.200 per kilogram, beras kualitas pertama Rp 5.800 per kilogram, dan harga beras kualitas super mencapai Rp 6.100 per kilogram. ”Kalau harga beras tinggi seperti ini, dagangan kami jadi sepi karena pembeli terbebani,” tuturnya.

(6)

Suara Pembaruan Selasa, 01 Juli 2008

Bu log Ta r g e t k a n Se r a p 2 3 5 .0 0 0 Ton Ga b a h Pe t a n i

[JAKARTA] Perum Bulog menargetkan Unit Pelaksana Teknis Penggilingan Gabah dan Beras (UPTPGB) milik BUMN tersebut mampu menyerap gabah petani sebanyak 235.000 ton gabah kering giling (GKG) pada 2009. Penyerapan sebanyak itu merupakan 25 persen dari kapasitas giling UPTGB sebanyak 943.200 ton selam 5 tahun ke depan.

Demikian dikatakan Dirut Perum Bulog, Mustafa Abubakar di Jakarta, Senin (30/6). Menurut Mustafa, hal itu sekaligus untuk meningkatkan pengadaan gabah dalam negeri. Ditambahkannya, untuk mencapai sasaran tersebut maka mulai 2009 perusahaan menargetkan setiap UPTGB di daerah produsen dapat menyerap gabah untuk mencapai kapasitas gilingnya sebesar 7.200 ton per tahun.

Secara bertahap, tambahnya, penyerapan gabah petani oleh UPTPGB akan dinaikkan per tahun guna mencapai kapasitas optimalnya di tahun 2013.

Untuk mencapai target tersebut UPTPGB akan bekerjasama dan mengoptimalkan peran wadah atau lembaga ekonomi petani berupa Koperasi Tani, KUD atau Gapoktan untuk menghimpun gabah petani dijual ke Bulog melalui UPTPGB.

Menyinggung pengadaan gabah/beras melalui UPTPGB pada 2008, Mustafa mengatakan, hingga Februari masih sebesar 25,8 ton namun pada Juni telah mencapai 20.218 ton.

Menanggapi kecilnya pemasukan gabah/beras melalui penggilingan milik Bulog, dikatakannya, hal itu disebabkan harga gabah di tingkat produsen sudah sangat tinggi melebihi Harga Pembelian Pemerintah (HPP) sebesar Rp 2.840/kg.

Dia mencontohkan, di Jawa Barat harga GKG di tingkat petani rata-rata bulan Mei 2008 mencapai Rp 2.972/kg.

(7)

Berkhas 3 Volume VI Juli 2008

Bisnis I ndonesia Rabu, 02 Juli 2008

Pr od u k si p a d i 2 0 0 8 d ip r e d ik si n a ik 4 ,7 6 %

JAKARTA: Produksi padi Indonesia pada 2008 diproyeksi naik 4,76% atau 2,72 juta ton menjadi 59,88 juta ton gabah kering giling dibandingkan dengan 2007 karena ada perluasan areal panen dan peningkatan produktivitas.

Hal itu terungkap dalam angka ramalan (Aram) II tahun ini yang diungkapkan Badan Pusat Statistik di Jakarta, kemarin. Proyeksi tersebut menyangkut produksi tiga komoditas pangan utama, yaitu padi, jagung, dan kedelai.

Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Ali Rosidi menuturkan kenaikan produksi itu diperkirakan disumbang oleh sentra penghasil padi di Indonesia yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat, Jawa Barat, Sumatra Selatan, Kalimantan Barat dan Sulawesi Tengah.

Aram II produksi padi 2008 diperkirakan 59,88 juta ton gabah kering giling [GKG]. Dibandingkan dengan produksi 2007, terjadi kenaikan 2,72 juta ton atau sekitar 4,76%. "Ini karena ada peningkatan luas panen," katanya di Jakarta, kemarin.

Produksi padi pada 2007, diketahui 57,16 juta ton GKG. Angka ini naik 4,96% dibandingkan dengan produksi tahun sebelumnya karena peningkatan luas areal panen sekitar 361.210 ha dan peningkatan produktivitas 0,85 kuintal per ha.

Ali menambahkan dalam catatan Aram II tahun ini, tingkat produktivitas padi di dalam negeri bertambah 1,3 kuintal per ha atau sekitar 2,76% dibandingkan dengan tahun lalu, sehingga menambah volume panen padi tahun ini.

Untuk jagung, Aram II mencatat proyeksi produksi 2008 mencapai 14,85 juta ton pipilan kering. Dibandingkan dengan angka tetap produksi 2007, terjadi kenaikan 1,57 juta ton atau 11,79%."

Luas panen

Kenaikan produksi jagung, katanya, terjadi karena peningkatan luas panen sekitar 178.670 ha atau sekitar 4,92% dibandingkan dengan luas panen tahun lalu plus perbaikan tingkat produktivitas sebesar 2,4 kuintal per ha.

Peningkatan produksi ini, ujar Ali, tercapai di beberapa daerah penghasil jagung utama yaitu Lampung, Jawa Timur, Sumatra Utara, Jawa Tengah, dan Nusa Tenggara Timur.

Sementara produksi kedelai, BPS mencatat, pada Aram II 2008 diperkirakan mencapai 723.540 ton biji kering. Angka itu memperlihatkan kenaikan volume panen 22,11% atau 131.000 ton dibandingkan dengan tahun lalu.

Penambahan itu disebabkan luas panen kedelai tahun ini, diperkirakan bertambah 90.300 ha atau naik 19,67% dibandingkan dengan luas areal panen tahun lalu. Kemudian karena tingkat produktivitas kedelai 2008 diperkirakan naik 0,26 kuintal per ha dibandingkan dengan tahun lalu.

(8)

Bisnis I ndonesia Rabu, 02 Juli 2008

Untuk tahun ini, produksi kedelai akan membaik karena kenaikan produksi 2008 akan disumbang dari volume panen sejumlah areal lahan khususnya di Nusa Tenggara Barat, Jawa Barat, Nanggroe Aceh Darussalam, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Jambi, Jawa Timur dan Sumatra Utara. (aprika.hernanda@bisnis.co.id)

(9)

Berkhas 5 Volume VI Juli 2008

Jurnal Nasional Rabu, 02 Juli 2008

Ekonomi - Keuangan - Bisnis Even manado | Rabu, 02 Jul 2008

N ila i Tu k a r Pe t a n i Su lu t Re n d a h

by : Sapariah

NILAI Tukar Petani (NTP) Sulawesi Utara (Sulut) hingga Mei 2008 sangat rendah. Angka indeks hanya 99,29, pertanda kehidupan ekonomi petani di daerah itu kurang sejahtera, bahkan berpotensi miskin.

"Dengan NTP 99,29 atau tidak mencapai angka standar 100, berarti pendapatan yang diterima petani tidak mampu lagi membayar seluruh komponen biaya hidup seorang petani," kata Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Sulut, Jasa Bangun di Manado, Selasa (1/7), seperti dikutip dari Antara.

Pendapatan atau indeks harga yang diterima Mei 2008 terjadi penurunan 1,22 persen, indeks harga yang dibayarkan petani justru terjadi kenaikan 1,26 persen. Keadaan ini menyebabkan NTP turun ke posisi 99,29 atau turun 2,45 persen dibandingkan sebelumnya 101,79 persen.

Tren indeks harga yang diterima petani berfluktuasi, dan dalam dua bulan terakhir cenderung menurun. Padahal, indeks harga yang dibayar petani dari bulan ke bulan makin meningkat. “Inilah yang menyebabkan NTP makin turun. Dapat dipastikan daya beli petani makin lemah,” ucap dia.

Dari lima sektor yang disurvei guna penghitungan NTP, terendah sektor holtikultura 88,03, disusul tanaman pangan 95,51, peternakan 99,73. Sementara usaha pertanian cukup baik karena NTP di atas 100, perkebunan rakyat 107,21 dan perikanan 103,27.

(10)

Kompas Kamis, 03 Juli 2008

PERTAN I AN

Pe t a n i Blor a M e n cob a Ta n a m Se m a n g k a

Kamis, 3 Juli 2008 | 03:00 WIB

BLORA, KOMPAS - Guna meningkatkan penghasilan petani pada musim kemarau, sejumlah petani di Kabupaten Blora, Jawa Tengah, menguji coba tanaman semangka.

Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Blora Adi Purwanto, Rabu (2/7), mengatakan, pembudidayaan semangka dilakukan di Desa Ngilen dan Muraharjo, Kecamatan Kunduran, dengan luas lahan sekitar 6 hektar. Budidaya tersebut merupakan inisiatif para petani sendiri.

”Mereka tidak mendapat bantuan modal dari pemerintah, melainkan menggunakan modal sendiri. Namun, pemerintah akan berupaya membantu pengembangan budidaya itu, terutama untuk mengatasi kekurangan air,” katanya.

Adi mengemukakan, sejak 2004 Pemerintah Kabupaten Blora menggalakkan program Komite Investasi Desa (KID). Salah satu program itu adalah penyediaan infrastruktur pengairan, seperti pembuatan embung, saluran irigasi gelontoran, dan bendung-bendung kecil di sungai maupun anak sungai.

Pada tahun ini, dana pengembangan KID sebesar Rp 6,93 miliar. Dana tersebut akan digulirkan untuk 60 KID. Setiap desa memperoleh Rp 115.550.000.

Secara terpisah, petani semangka Dukuh Brengus, Desa Muraharjo, Joko Priyanto (24), mengatakan, uji coba budidaya semangka baru dilakukan tahun ini. Budidaya tersebut dilakukan di lahan sekitar satu hektar yang semula digunakan untuk menanam jagung.

”Hasilnya sangat bagus. Berat sebuah semangka rata-rata 6 kilogram. Ketika berusia 45 hari, semangka-semangka itu sudah ditebas pedagang Demak sebesar Rp 27 juta,” kata Joko.

Keuntungan bersih yang didapat dari budidaya semangka Rp 12 juta. Keuntungan itu lebih tinggi ketimbang menanam jagung. Sekali panen jagung pendapatan kotor yang diterima Rp 5 juta.

(11)

Berkhas 7 Volume VI Juli 2008

Kompas Kamis, 03 Juli 2008

Ke t a h a n a n Pa n g a n

St ok Be r a s N a sion a l Am a n u n t u k En a m Bu la n

Kamis, 3 Juli 2008 | 03:00 WIB

Jakarta, Kompas - Stok beras Perum Bulog sampai saat ini sebanyak 1,85 juta ton atau setara untuk kebutuhan nasional selama enam bulan ke depan. Realisasi penyerapan beras domestik pun telah mencapai 1,9 juta ton dari target 3,8 juta ton untuk tahun 2008.

”Sampai sekarang kami terus menyerap beras domestik lewat tiga jalur,” kata Direktur Utama Perum Bulog Mustafa Abubakar, Rabu (2/7) di Jakarta.

Tiga jalur penyerapan beras itu adalah lewat mekanisme penyerapan sesuai harga pembelian pemerintah (HPP) yang ditargetkan 2,7 juta ton untuk kebutuhan raskin. Ada juga penyerapan sesuai harga pasar sebanyak 1 juta ton dan melalui program khusus penguatan cadangan beras nasional sebanyak 1,5 juta ton.

Menurut Direktur Jenderal Tanaman Pangan Departemen Pertanian Sutarto Alimoeso, pada bulan Juli masih ada 1 juta hektar sawah yang akan panen. Begitu pula pada bulan Agustus.

Saat panen itu akan dioptimalkan untuk menyerap produksi beras nasional. Musim paceklik diperkirakan terjadi Oktober-Januari 2009. ”Semoga tidak ada banjir, kemarau panjang, atau hama dalam setengah tahun terakhir ini. Kalau ini terjadi, Indonesia bisa swasembada,” kata Mustafa.

Kerja sama

Untuk penyerapan beras melalui program khusus, Bulog bekerja sama dengan Departemen Kehutanan, Departemen Pertanian, Perum Bulog, Perum Perhutani, PT Inhutani, PT Pupuk Sriwijaya, PT Petrokimia Gresik, PT Pupuk Kujang, PT Pupuk Kaltim, PT Pertani, PT Sang Hyang Seri, Bank BRI, Bank Bukopin, dan Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA).

Pemimpin 14 lembaga itu telah menandatangani nota kesepahaman kerja sama di Gedung Bulog, kemarin. Kerja sama dilaksanakan dalam bentuk program Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman dan Sumber Daya Terpadu seluas 500.000 hektar, Gerakan Penanganan Pasca Panen dan Pemasaran Gabah atau Beras (GP4GB) 300.000 hektar, Kredit Program Pasca Panen (KP3) 200.000 hektar, dan Cadangan Beras Hutan Nasional 60.000 hektar.

Dalam kerja sama ini, BUMN produsen sarana produksi pertanian menjamin ketersediaan pupuk, benih unggul, dan lainnya. Perbankan menyediakan kredit modal kerja petani. KTNA membina 300 koperasi petani penerima kredit bersuku bunga rendah dari Bukopin, dan Bulog menyerap hasil panen.

(12)

Kompas Sabtu, 05 Juli 2008

4 .0 0 0 H e k t a r Ta n a m a n Pa d i d i I n d r a m a y u Pu so

Sabtu, 5 Juli 2008 | 00:51 WIB

Indramayu, Kompas - Hingga akhir Juni 2008, sebanyak 26.078 hektar atau 30 persen dari luas tanam pada musim gadu di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, kekeringan. Bahkan, 4.014 ha di antaranya mengalami puso atau gagal panen.

Kepala Subdinas Tanaman Pangan Dinas Pertanian dan Peternakan Indramayu Toto Kusmarwanto, Jumat (4/7), mengatakan, luas lahan yang puso itu meningkat jika dibandingkan dengan kondisi dua pekan lalu yang 1.078 hektar (ha).

Kondisi terparah terjadi di daerah yang pada tahun-tahun sebelumnya tidak pernah mengalami puso, yaitu di Kecamatan Kroya. Luas lahan yang puso 1.206 ha dari 2.548 ha lahan yang mengalami kekeringan. ”Semua sawah di Kroya mengalami kekeringan meski intensitasnya beda-beda,” kata Toto.

Pada musim gadu atau musim tanam kedua, luas tanaman padi di Indramayu mencapai 87.594 ha. Kekeringan terparah terjadi di Kecamatan Kandanghaur (2.938 ha), Losarang (2.833 ha), dan Terisi (2.324 ha).

Menurut Toto, selain musim kemarau yang datang lebih awal, mundurnya masa tanam yang dilakukan petani mengakibatkan banyak lahan yang puso. Adapun di Kabupaten Cirebon belum terjadi puso meskipun luas lahan yang kekeringan sudah 1.426 ha.

Kekeringan juga menyebabkan kenaikan harga beras, seperti yang terjadi di Kota Sukabumi, Jawa Barat. Harga beras di kota itu rata-rata naik sekitar Rp 200 per kilogram (kg). Harga beras kualitas paling rendah naik menjadi Rp 4.900 per kg dari sebelumnya Rp 4.700.

Di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, sebagian tanaman padi lolos dari bencana kekeringan. Namun, petani kesulitan mendapatkan pupuk dalam beberapa bulan ini sehingga berpengaruh pada turunnya produksi padi.

Buang (57), petani di Desa Sambirejo, Kecamatan Binjai, Kabupaten Langkat, Sumut, yang ditemui sedang memanen padi di sawahnya, Jumat, mengatakan, produksi padi menurun. Jika sebelumnya satu rante (seperempat hektar) mampu menghasilkan sekitar 450 kg gabah kering panen (GKP), kini hanya menghasilkan sekitar 300 kg GKP akibat pupuk langka.

(13)

Berkhas 9 Volume VI Juli 2008

Kompas Sabtu, 05 Juli 2008

Pe t a n i M e n a n a m m e sk i Ke k e r in g a n

Ke m a r a u Ak a n M u n d u r h in g g a Ok t ob e r

Sabtu, 5 Juli 2008 | 01:17 WIB

Jambi, Kompas - Petani di Kecamatan Kumpeh Ulu, Kabupaten Muaro Jambi, memilih tetap menanam padi sepanjang musim kemarau dalam kondisi lahan yang kian mengering. Kondisi tersebut diperkirakan akan menyebabkan hasil panen tak maksimal, padahal petani butuh stok beras untuk kebutuhan hingga akhir tahun.

Darus (50), petani di Desa Pudak, Kumpeh Ulu, telah menanam padi sejak pertengahan musim kemarau, yaitu sekitar satu setengah bulan lalu. Padinya diperkirakan akan dapat dipanen pada Agustus mendatang.

”Mudah-mudahan bisa tetap dipanen. Walau hasilnya mungkin tak sebanyak kondisi cuaca normal, yang penting tetap bisa dipanen,” tuturnya, Jumat (4/7).

Saat ini kondisi lahan padi milik Darus dan petani lain di sana makin mengering, sementara tidak ada sungai sebagai sumber irigasi. Para petani memanfaatkan air dari parit-parit kecil sisa tadah hujan.

Menurut Darus, ia dan petani setempat tetap menanam padi demi memenuhi kebutuhan makan sehari-hari. Persediaan beras dari hasil panen terdahulu diperkirakan tersisa untuk dua bulan mendatang sehingga Darus harus mengupayakan produksi beras lagi.

”Kalau beli beras di pasar, kan, harganya sudah sangat mahal. Kami tidak mampu. Jadi lebih baik tanam dan panen untuk makan sendiri saja,” ujarnya. Selain menanam padi, petani setempat juga menanam kacang panjang dan timun yang hasil panennya untuk dijual.

Hal senada diutarakan Topan, petani setempat lainnya. Meski khawatir hasil panen menurun, ia tetap menunggui padinya sepanjang hari dari serangan hama burung, kera, ataupun babi. ”Bulir padinya sudah keluar sehingga jadi incaran hama, terutama burung,” tuturnya.

Kemarau panjang

Berdasarkan ramalan Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Jambi, masa musim kemarau tahun ini akan lebih panjang. Bila tahun lalu berakhir September, tahun ini musim kemarau akan mundur hingga Oktober.

(14)

Kompas Sabtu, 05 Juli 2008

St r a t e g i Pa n g a n V ie t n a m

Sabtu, 5 Juli 2008 | 03:00 WIB

Aiyub Mohsin

Vietnam adalah satu dari sedikit negara yang tetap bertahan sebagai pengekspor beras (pangan) hingga kini. Namun, belakangan Vietnam mulai membatasi ekspor beras guna menjaga ketahanan pangan di dalam negeri pada saat kritis pangan melanda dunia sejak awal tahun 2008.

Vietnam sebenarnya belum lama masuk kelompok pengekspor beras. Bahkan, dalam sejarahnya, negeri yang pernah tercabik-cabik perang ini pernah mengalami kekurangan pangan (1985-1986) yang begitu dahsyat. Akibatnya, mereka harus mengimpor beras 1 juta ton. Namun, dengan kebijakan yang komprehensif disertai strategi yang tepat dan andal, Vietnam berangsur-angsur menjadi salah satu negara pengekspor beras terkemuka.

Adapun kebijakan yang dimaksud adalah Kebijakan Doi Moi, yang berarti renovasi yang ditetapkan Kongres Nasional Partai Komunis Vietnam (PKV) pada 15-18 Desember 1986 dan mulai diterapkan pada tahun 1987. PKV adalah satu-satunya partai politik di Vietnam.

Kebijakan Doi Moi

Pada intinya, kebijakan Doi Moi meliputi, pertama, perubahan sistem ekonomi dari perencanaan terpusat menjadi ekonomi pasar (market force) yang berorientasi sosialis.

Kedua, mengakui kepemilik- an oleh swasta, yang sebelum- nya hanya satu, yaitu oleh negara. Dalam perkembangan- nya bahkan mengakui kepemilikan aset-aset ekonomi oleh pihak asing dengan disetujuinya Undang-Undang PMA Tahun 1087.

Ketiga, restrukturisasi BUMN dan Koperasi. Keempat, mengembangkan hubungan ekonomi internasional.

Dalam kerangka Doi Moi, Pemerintah Vietnam membuat Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita ) periode 1987- 1991 dengan program utama meningkatkan produksi pangan dan bahan konsumsi lain dengan sasaran pemenuhan kebutuhan domestik dan mulai mengekspor.

Untuk pertumbuhan ekonomi (GDP) ditargetkan 6-7 persen per tahun. Kini Vietnam memasuki Repelita V periode 2005–2010 dengan target pertumbuhan ekonomi pada tahun 2010 mencapai 13,4 persen dan sektor pertanian berkembang antara 16 sampai 17 persen. Adapun sektor industri dan jasa diharapkan mencapai di atas 40 persen dari GDP.

Dengan kebijakan Doi Moi yang antara lain mengizinkan petani berproduksi sebanyak mungkin (sebelumnya dibatasi dan ditentukan oleh pemerintah), pada tahun 1989 untuk pertama kali, setelah kebutuhan dalam negeri terpenuhi, Vietnam mengekspor beras sebanyak 1 juta ton.

Selanjutnya, beras merupakan komoditas utama ekspor nonmigas. Tahun 2000 lalu Vietnam telah mengekspor 3,5 juta ton beras, disusul pada tahun 2005 mengekspor 4,5 juta ton beras.

Terkait ekspor beras dan dalam hubungan bilateral Indonesia-Vietnam, tahun 1998 saat Indonesia dilanda krisis, Vietnam membalas budi baik Indonesia yang pernah menolongnya pada tahun 1986 dengan memberi beras kepada Indonesia 10.000 ton dan meminjami 100.000 ton tanpa bunga selama satu tahun.

(15)

Berkhas 11 Volume VI Juli 2008

Kompas Sabtu, 05 Juli 2008

Kebijakan dan strategi

Keberhasilan Vietnam dalam meningkatkan produksi dan ekspor beras tidak terlepas dari kebijakan pemerintah dalam sektor pertanian. Kebijakan itu, pertama, memberi kesempatan seluas mungkin kepada petani untuk menggunakan/memanfaatkan tanah sebaik mungkin (menurut konstitusi Vietnam, hanya negara yang berhak memiliki tanah) dalam berproduksi tanaman pangan.

Kedua, mengembangkan ekonomi pedesaan dan ekonomi rumah tangga.

Ketiga, memberikan pelayanan yang luas kepada petani, dalam bentuk antara lain pengadaan kredit pedesaan.

Keempat, meliberalisasi perdagangan, terkait beras, yaitu menghapus kuota ekspor beras dan impor pupuk.

Sementara itu, strategi yang dilakukan Vietnam dalam pembangunan beras mencakup, pertama, rehabilitasi dan peningkatan struktur dan sistem irigasi. Saat ini hampir 90 persen lahan sawah padi telah diairi dengan sistem irigasi.

Kedua, pengembangan varietas unggul. Melalui lembaga Iptek dan Bank of Agriculture Micro Biological Genes telah dikembangkan sejumlah jenis bibit padi yang unggul, termasuk jenis varietas padi unggul hibrida.

Ketiga, menyediakan lahan pertanian untuk petani miskin tanpa dipungut sewa, bahkan menyediakan pinjaman dana untuk berproduksi.

Keempat, menjamin tingkat kentungan bagi petani beras dengan membeli semua beras yang dijual jika harganya di bawah harga yang ditetapkan (floor price) dan pemerintah menarik dukungannya jika harga beras sudah mencapai harga tertinggi yang ditetapkan (ceiling price).

Kelima, memberi kesempatan kepada semua perusahaan— BUMN, koperasi, dan Swasta— yang memegang izin perdagangan komoditas pangan atau pertanian dapat mengekspor beras dan mengimpor pupuk

Keenam, mendorong perusahaan swasta dan BUMN untuk mengadakan kontrak dengan petani, dengan ketentuan perusahaan wajib menyediakan modal, bahan baku (bibit), serta bantuan teknik kepada petani produsen dan membeli semua produksi hasil pertanian. Sebaliknya, petani yang terikat kontrak wajib menjual produknya dengan harga yang disepakati.

Ketujuh, mendirikan Kantor Pertanian dan Perdagangan (Agriculture and Trade Office) di negara–negara yang mempunyai potensi besar dalam membeli beras Vietnam.

Dengan berpegang pada kebijakan nasional, khususnya kebijakan dan strategi peningkatan dan ekspor beras, Vietnam kini menjadi negara pengekspor beras terbesar kedua setelah Thailand. Semua keputusan itu dilaksanakan secara konsisten, efektif, dan efisien serta didukung sepenuhnya oleh seluruh lembaga pemerintah dan rakyat.

(16)

Suara Pembaruan Sabtu, 05 Juli 2008

Pe t a n i D iim b a u Ta k Sp e k u la si M e n a n a m Pa d i

[JAKARTA] Pada musim kemarau ini, diingatkan agar para petani tidak berspekulasi menanam padi, jika persediaan airnya tidak cukup hingga tanaman dipanen. Pada musim kemarau seperti saat ini, petani sebaiknya beralih menanam jagung atau kedelai karena dinilai jauh lebih menguntungkan.

Direktur Jenderal Tanaman Pangan, Soetarto Alimoeso, kepada SP, Sabtu (5/7) menanyakan, produktivitas tanaman padi turun selama musim gadu ini.

"Meskipun pada awal tanam padi masih ada air, jika persediaannya tidak memadai hingga panen, petani jangan memaksakan diri dan spekulasi menanam padi untuk menghindari gagal panen akibat kekeringan pada musim kemarau ini," tegas Soetarto.

Dikatakan, pada musim kemarau ini, petani diharapkan disiplin dengan pola tanam dan mematuhi peraturan atau kesepakatan penentuan pola tanam, memilih tanaman yang tidak banyak membutuhkan air atau tahan kering, seperti palawija dan hortikultura jenis sayuran. Melalui berbagai upaya menghindari tanaman kekeringan tersebut, kata dia, kerugian akibat tanaman yang kekeringan pada musim kemarau ini diharapkan dapat ditekan seminimal mungkin, karena telah diantisipasi sebelumnya.

Guna menyelamatkan tanaman padi yang terancam kekeringan akibat kemarau ini, petani dapat melakukan pompanisasi dengan memanfaatkan air permukaan, memanfaatkan embung, sumur pantek, dan fasilitas lain penampung air lainnya.

Turun

Sementara itu, Kepala Bidang Statistik Distribusi, Badan Pusat Statistik Jabar, Achmad Kurjatin melaporkan, nilai tukar petani (NTP) tanaman pangan di Jawa Barat menunjukkan terjadi penurunan akibat kenaikan harga bahan bakar minyak. Angka NTP tanaman pangan pada April dan Mei 2008 masing-masing 85,70 dan 88,65 poin.

Achmad mengatakan, jika angka nilai tukar petani kurang dari 100 poin, itu berarti petani mengalami penurunan daya beli.

Daya beli mereka meningkat bila angkanya lebih dari itu, karena kenaikan harga produksi lebih besar daripada kenaikan harga input produksi dan konsumsi rumah tangganya.

"Jadi, cukup untuk makan, produksi, dan punya kelebihan. Kalau kurang, artinya petani mengalami defisit atau penurunan daya beli," katanya.

(17)

Berkhas 13 Volume VI Juli 2008

Kompas Senin, 07 Juli 2008

Ke k e r in g a n

Bu r u h Ta n i M e n g a n g g u r

Senin, 7 Juli 2008 | 01:22 WIB

Cirebon, Kompas - Gara-gara sebagian tanaman padi gagal panen, sejumlah buruh tani di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, kehilangan penghasilan. Mereka terpaksa menganggur karena tidak dapat lagi menjadi buruh tani. Padahal, upah dari pekerjaan tersebut selama ini menjadi sebagian dari sumber nafkah mereka.

Partaji (32), warga Desa Dukuh, Kecamatan Kapetakan, yang biasanya bekerja sebagai buruh tani, kini tidak mempunyai pekerjaan lagi. Belum ada pemilik sawah yang memanggilnya untuk bekerja. ”Biasanya kami melakukan kerja borongan, seperti menanam hingga panen sawah. Sekarang sepi, tak ada yang memanggil kami untuk bekerja di sawah atau panen,” ujarnya.

Biasanya Partaji bekerja dengan sistem borongan. Untuk mengerjakan sawah satu bahu (0,74 hektar) butuh 4-7 orang dengan bayaran sekitar Rp 350.000. Adapun untuk panen, mereka mendapatkan upah seperlima dari hasil panen. Gabah hasil panen itulah yang kemudian disimpan untuk cadangan makanan sehari-hari.

Jika kini tak ada lagi panen, para buruh seperti Partaji tak mempunyai cadangan makanan dan memilih makanan alternatif lain, seperti singkong, ubi, dan nasi aking.

Saat ini, misalnya, sekitar 20 hektar tanaman padi di Kabupaten Cirebon puso karena kekeringan. Hamparan padi yang puso terlihat di Kecamatan Kapetakan, sebagian Kecamatan Gegesik, dan Suranenggala. Tanaman padi yang gagal panen ada yang masih berbentuk persemaian, ada pula yang sudah berumur dua bulanan.

Menurut Cariman (47), petani di Desa Suranenggala Kidul, Kapetakan, sebagian petani sudah meninggalkan sawah mereka karena tak bisa diselamatkan lagi. Hanya beberapa petani yang tetap mengusahakan air agar padi miliknya yang sudah berusia dua bulanan dapat diselamatkan.

(18)

Kompas Senin, 07 Juli 2008

Pa n g a n

M a sih k a h Kit a Su r p lu s Be r a s?

Senin, 7 Juli 2008 | 03:00 WIB

Her Suganda

Pertanyaan di atas patut disimak, terutama setelah Dirjen Tanaman Pangan Departemen Pertanian Sutarto Alimoeso mengemukakan kepada pers, sekitar 100.000 hektar areal persawahan musim tanam 2007-2008 yang berlangsung selama periode Oktober-Maret mengalami puso dan gagal panen.

Pernyataan ini mengejutkan mengingat pengaruhnya tidak kecil terhadap produksi beras nasional. Dengan perkiraan tiap hektar menghasilkan lima ton gabah kering giling (GKG), maka kehilangan akibat puso dan gagal panen mencapai 500.000 ton, atau setara 325.000 ton beras.

Kehilangan akibat gagal panen masih akan terjadi mengingat selama ini kita mengenal dua musim tanam. Selain musim tanam (MT) 2007-2008 yang biasa juga disebut tanaman padi rendeng, sistem pertanian di sebagian besar wilayah Indonesia berlangsung tanaman padi gadu. Tanaman padi rendeng berlangsung pada musim hujan dan tanaman padi gadu berlangsung pada musim kemarau. Kedua musim tanam itu mengandung implikasi berbeda.

Produksi tanaman padi rendeng lebih tinggi dibanding tanaman padi gadu. Pada tanaman padi rendeng, kebutuhan air masih memadai atau berlebih karena curah hujan masih cukup tinggi. Sebaliknya, tanaman padi gadu sangat tergantung pada sumber-sumber pengairan setempat, baik waduk maupun bendungan. Namun, kemampuan sumber-sumber pengairan itu selama sepuluh tahun terakhir ini perlu dipertanyakan mengingat kerusakan lingkungan yang dialami daerah-daerah aliran sungai. Keadaan ini diperlihatkan dengan fluktuasi debit air sejumlah sungai-sungai besar di Pulau Jawa pada musim hujan dan musim kemarau yang sangat mencolok.

Selama ini kita bukan hanya tidak berhasil mengendalikan penjarahan hutan, tetapi penghijauan yang dilakukan selama ini belum memperlihatkan hasilnya. Di Pulau Jawa setidaknya terdapat tujuh daerah aliran sungai (DAS) yang menjadi sumber pengairan dan irigasi, seperti DAS Ciliwung, Citarum, Cimanuk, Citanduy, Bengawan Solo, dan DAS Brantas termasuk dalam kondisi kritis.

Kemerosotan lingkungan

Pulau Jawa merupakan contoh menarik karena posisinya yang strategis. Pertama, jumlah penduduknya yang padat. Kedua, merupakan penghasil beras terbesar dibanding produksi beras dari pulau-pulau lainnya sehingga sekaligus menjadi penyangga produksi beras nasional. Produksi padi Pulau Jawa sekitar 56 persen dari produksi padi nasional (Surono, 2001).

Namun sayangnya, kemerosotan lingkungan yang dialami sumber-sumber pengairan memperlihatkan kecenderungan yang terus meningkat. Fenomena alam seperti banjir dan kekeringan lebih sering terjadi, baik intensitas maupun frekuensinya. Kedua hal itu akan sangat memengaruhi produksi beras.

(19)

Berkhas 15 Volume VI Juli 2008

Kompas Senin, 07 Juli 2008

Secara makro, terjadinya penurunan produksi karena gagal panen sering kali dikategorikan kecil jika dibanding dengan produksi beras nasional. Namun, secara populasi, pengaruhnya sangat luas. Sebagian besar petani kita terdiri dari petani gurem dengan pemilikan kurang dari 0,2 hektar. Sebagian lagi terdiri dari buruh tani. Pada musim panen, mereka menjadi produsen beras. Tetapi setelah itu berubah menjadi konsumen.

Dampak kegagalan panen pada tahun ini perlu dicermati sedini mungkin. Tidak lama lagi kita akan menghadapi dua agenda penting. Selain pemilihan umum untuk DPR, DPD, dan DPRD yang akan berlangsung pada April 2009 mendatang, masih dilanjutkan dengan pemilihan presiden. Perhatian para menteri dan kalangan politisi akan lebih terpokus pada pemenangan partainya.

Berdasarkan pengalaman selama ini, harga beras bisa menjadi peluru politik terhadap rezim yang berkuasa mengingat beras memiliki fungsi strategis. Beras merupakan bahan makanan pokok penduduk Indonesia. Bahkan, sebagian besar masyarakat tidak bisa menggantikan bahan makanan pokoknya walaupun bahan makanan pengganti memiliki kandungan gizi yang lebih tinggi. Mereka menyatakan, belum makan jika belum makan nasi. Jangankan memakan roti, memakan nasi goreng, apalagi ketupat yang terbuat dari beras saja masih dianggap belum makan. Selain itu, beras sering dijadikan tolok ukur tingkat pendapatan atau upah. Di kalangan masyarakat bawah, kita masih sering mendengar upah yang diterima hanya cukup untuk sekian liter atau sekian kilo beras.

Tingginya harga beras, baik karena pengaruh kenaikan harga BBM maupun karena produksi yang berkurang, akan mengakibatkan tidak terjangkau oleh sebagian besar rakyat berpenghasilan rendah. Karena itu, ketahanan pangan tidak hanya ditentukan oleh seberapa besar ketersediaannya, tetapi juga dipengaruhi pula oleh sejauh mana kemampuan daya beli masyarakat.

(20)

Pikiran Rakyat Senin, 07 Juli 2008

Pe t a n i D ih a r a p k a n M e n a n a m Pa la w ij a

Senin, 07 Juli 2008 , 11:44:00

BANDUNG, (PRLM).- Memasuki puncak musim kemarau yang berbarengan dengan musim tanam, Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan mengimbau kepada petani agar menanam palawija daripada menanam padi.

Imbauan itu ditujukan terutama bagi petani di daerah minim air. Heryawan mengatakan itu seusai memimpin apel pagi di Dinas Pengendalian Sumber Daya Air (PSDA), Jln. Braga, Kota Bandung, Senin (6/7).

(21)

Berkhas 17 Volume VI Juli 2008

Kompas Selasa, 08 Juli 2008

KRED I T PERTAN I AN

Pe t a n i Bu t u h Pe n d a m p in g a n u n t u k Ak se s Kr e d it

Ba n k

Selasa, 8 Juli 2008 | 03:00 WIB

BANDUNG, KOMPAS - Penyaluran kredit pada sektor pertanian sering kali terkendala permasalahan kepemilikan lahan, kredit macet, dan ketidakjelasan jaminan pasar.

Untuk mengatasi hal itu, dibutuhkan pendampingan dan bimbingan khusus kepada petani agar akses mereka ke kredit perbankan semakin lancar.

Demikian diungkapkan Kepala Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (KUKM) Jawa Barat Mustopa Djamaludin, Senin (7/7) di Bandung.

”Melalui pendampingan dan bimbingan yang jelas, petani memiliki kepastian jaminan harga dan pasar sehingga perbankan tidak akan ragu-ragu mengucurkan kredit,” ucapnya.

Menurut Mustopa, jaminan pada sektor pertanian salah satunya tampak pada tanaman tebu yang telah dijamin oleh para produsen gula. Karena memiliki kepastian pasar, pengucuran kredit pada sektor tebu lancar.

Supervisor Kredit Program BRI Kantor Wilayah Bandung N Priyanto mengatakan, sebenarnya banyak petani yang membutuhkan pinjaman kredit. Namun, beberapa jenis tanaman dalam KKPE yang ditawarkan pemerintah belum memiliki jaminan pasar yang jelas, misalnya ubi kayu, ubi jalar, dan sorgum.

Kepala Dinas Perkebunan Jawa Barat A Herdiwan mengatakan, ”Petani yang menggunakan kebun jarahan tentu saja tak layak untuk mendapatkan pinjaman kredit. Kami masih melakukan pendekatan dan sosialisasi kepada masyarakat yang melakukan penjarahan.”

(22)

Suara Pembaruan Selasa, 08 Juli 2008

Pe r t a n ia n Be lu m Be r b a sis D e sa

[JAKARTA] Menteri Pertanian, Anton Apriyantono mengakui, selama ini program pembangunan, khususnya pertanian, belum berbasis pada wilayah atau desa, namun berbasis proyek.

Menurut menteri di Jakarta, Selasa (7/7), kecenderungan pembangunan saat ini terpotong-potong berdasarkan komoditas, seperti hortikultura, perkebunan, tanaman pangan, atau peternakan.

"Pembangunan mestinya berawal dari desa, terutama daerah miskin, namun memiliki potensi pertanian dan harus dilakukan secara terintegrasi (terpadu)," katanya.

Salah satu upaya pembangunan berbasis wilayah atau desa yang dilakukan Deptan, yakni melalui program Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan (PUAP). Program PUAP yang dilaksanakan mulai tahun 2008, rencananya menjangkau 10.000 desa per tahun.

Setiap desa akan mendapatkan dana Rp 100 juta untuk mengembangkan kegiatan usaha agribisnis melalui Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan). "Nantinya, diharapkan menjangkau seluruh desa di Indonesia yang berjumlah 70.000 itu," katanya.

Pada tahun ini, pemerintah telah mengalokasikan anggaran Rp 1 triliun untuk kegiatan PUAP yang akan disalurkan kepada 10.000 Gapoktan di 33 provinsi, 388 kabupaten/kota atau 1.834 kecamatan.

Menurut dia, 10.000 desa PUAP berasal dari program lanjutan Deptan untuk 2.000 desa, usulan dari kabupaten/kota 6.113 desa, dan aspirasi masyarakat 1.888 desa.

Menanggapi penilaian bahwa program PUAP merupakan kegiatan berbau politik menjelang 2009, Anton menegaskan, ide pelaksanaan program tersebut didasarkan pada Gramen Bank yang dikembangkan di Pakistan dalam membantu petani.

(23)

Berkhas 19 Volume VI Juli 2008

Kompas Rabu, 09 Juli 2008

Ra w a n Pa n g a n M e n g in t a i

Ta n a m a n Pa d i Ta k Be r b u a h Se m p u r n a

Rabu, 9 Juli 2008 | 01:30 WIB

Palembang, Kompas - Rawan pangan mengancam Kabupaten Ogan Komering Ilir dan Ogan Ilir yang selama ini merupakan sentra beras Provinsi Sumatera Selatan. Kondisi ini terjadi setelah sekitar 400 hektar tanaman padi di sawah lebak dan sawah pasang surut puso akibat kekurangan air pada puncak kemarau.

Pemerintah Provinsi Sumsel sudah menyiapkan stok penyangga beras sebanyak 200 ton. Jika masih kurang, stok itu bisa ditambah dengan stok penyangga milik pemerintah kabupaten/kota masing-masing sebanyak 100 ton.

Demikian salah satu penekanan dari rapat koordinasi menghadapi dampak kemarau bertempat di Dinas Kesejahteraan Sosial Provinsi Sumsel, Selasa (8/7) di Palembang.

Menurut pantauan Kompas, salah satu kawasan pertanian lebak dan pasang surut yang puso terhampar di sepanjang ruas jalur lintas tengah dari Kota Palembang ke Inderalaya, Ogan Ilir.

Tanaman padi yang rata-rata berusia dua bulan di kawasan itu tak bisa tumbuh sempurna karena kekurangan air. Sebagian besar kawasan itu bahkan sudah ditinggalkan petani. Itu terlihat dari tumbuhnya rumput liar dan ilalang di sela-sela tanaman padi.

Wantjik (34), warga Desa Ibul Besar, Pemulutan, Ogan Ilir, termasuk seorang petani yang sawahnya mengalami puso. Dia mengalami gagal panen setelah tanaman padi seluas 3 ha tidak berbuah sempurna.

Kepala Seksi Bencana Sosial Dinas Kesejahteraan Sosial Provinsi Sumsel Anshori menambahkan, gagal panen akibat kekeringan ini sudah dilaporkan sejak dua hari lalu. Gagal panen yang paling parah saat ini terjadi di Kabupaten Ogan Komering Ilir dan Ogan Ilir. Ada lebih dari 400 ha lahan sawah jenis irigasi, lebak, dan pasang surut yang puso.

Membabat padi

Sementara itu, lebih dari 150 ha sawah tadah hujan di Desa Nusadadi, Kecamatan Sumpiuh, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, kekeringan dan puso. Karena tak ada harapan untuk panen, sejumlah petani membabat tanaman padi yang berusia 30 hari untuk pakan ternak.

”Sudah tak ada harapan hidup lagi untuk padi ini. Mau buat apa lagi. Potong saja untuk pakan ternak,” ujar Sugiyono (30), petani dari Desa Pringtutul, Kecamatan Rowokele, Kabupaten Kebumen.

(24)

Suara Pembaruan Kamis, 10 Juli 2008

2 0 .6 3 0 H a Sa w a h d i Ja t im Ke k e r in g a n

[SURABAYA] Memasuki puncak musim kemarau Juli-Agustus ini, sebanyak 21 dari 33 lahan persawahan di wilayah kota dan kabupaten di Jawa Timur (Jatim) dilanda kekeringan. Walaupun wilayah kekeringan kali ini belum selesai didata, namun diperkirakan relatif hampir sama dengan tahun lalu, yakni 20.630 hektare (ha).

Kepala Dinas Pekerjaan Umum (PU) Pengairan Jatim, Mustofa Chamal Basya mengatakan, daerah-daerah yang sedang mengalami kekeringan meliputi sebagian wilayah Kabupaten Malang, Kediri, Blitar, Tulungagung, Trenggalek, Pacitan, Ponorogo, Nganjuk, Gresik dan masih banyak lagi. Laporan menyeluruh belum selesai.

Kalau tahun 2007 di Jember mencapai 15.433 ha, Lumajang 2.175 ha, di Bojonegoro 9.132 ha, di Situbondo 2.557 ha serta di Pasuruan 1.946 ha, maka di musim kemarau 2008 kali ini, menurut Mustofa rata-rata sudah melebihi separuhnya. Sedangkan di daerah persawahan tadah hujan seperti di Trenggalek, Ponorogo, Pacitan, Magetan, rata-rata mencapai ratusan ha.

"Kekeringan musim kemarau tahun lalu yang melanda 18 wilayah kecamatan di Kabupaten Gresik, tidak kurang dari 32.000 ha. Kali ini areal kekeringan masih berkisar 13.000 ha," katanya.

Kepala Dinas Pengairan Kabupaten Kediri, Efendi menambahkan, setidaknya sudah 1.884 ha lahan persawahan tadah hujan tidak dapat ditanami, karena berubah menjadi hamparan 'tanah matang' tegalan. Kekeringan yang melanda Kabupaten Kediri tidak kurang mencapai 5.422 ha dari total lahan seluas 9.597 ha.

Kekeringan dan perubahan pola tanam ke palawija, memberikan dampak volume produksi gabah pada musim panen hanya 105.352 ton, padahal sebelumnya mampu menghasilkan 178.516 ton.

"Mungkin seperti waktu-waktu sebelumnya, pemerintah dapat mengupayakan program hujan buatan, sehingga kalau pun volume panenan menurun, tidak sampai terancam puso," katanya.

Meluas

Kepala Sub Bagian Umum dan Kepegawaian, Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Jawa Tengah (Jateng), Aman Pranoto mengatakan, wilayah kekeringan di Jateng terus meluas. Secara kumulatif, sejak Januari hingga Juni 2008, tanaman padi yang kekeringan akibat kemarau mencapai 26.435,9 ha, di mana 6.867 ha di antaranya dinyatakan puso.

Berdasarkan data dari Balai Perlindungan Tanaman Pangan dan Hortikultura (BPTPH) Jateng, pada Juni lalu, tanaman padi yang kekeringan seluas 11.438 ha, dengan 2.463 ha di antaranya dinyatakan puso. Kerugian belum dihitung, namun diperkirakan mencapai miliaran rupiah.

Sementara itu, Kepala Bidang Tanaman Pangan Dinas Pertanian dan Peternakan (Distanak) Kabupaten Serang, Banten, Endang Kurnia menjelaskan, usia tanaman padi yang terkena kekeringan di wilayah Serang, antara 1-60 hari. Ia memprediksikan kekeringan akan meluas jika musim kemarau berlangsung lama.

(25)

Berkhas 21 Volume VI Juli 2008

Suara Pembaruan Kamis, 10 Juli 2008

Selain menimpa daerah di Kecamatan Padarincang, kekeringan juga dialami daerah lain, seperti Kecamatan Cikande, Kramatwatu, Tirtayasa, Carenang, Binuang, dan Tunjungteja.

Petani Desa Batukuwung, Kecamatan Padarincang, Abdullah menjelaskan, biasanya para petani di musim kemarau seperti ini mulai menggunakan pompa air untuk mengairi sawah.

(26)

Suara Pembaruan Kamis, 10 Juli 2008

Pu p u k Ak a n Te t a p La n g k a

Pengantar

Belakangan ini terjadi kelangkaan pupuk urea bersubsidi di berbagai daerah di Indonesia. Petani mengeluh pupuk langka, padahal kemampuan produksi pabrik pupuk yang ada, sebenarnya melampaui kebutuhan dalam negeri. Bahkan jika diizinkan, mereka mampu mengekspor untuk menambah devisa negara. Wartawan SP Mansyur Barus menulis laporan tentang penyebab terjadinya kelangkaan pupuk bersubsidi ini dan cara untuk mengatasinya.

dok sp

Pabrik PT Pupuk Sriwijaya Palembang yang merupakan pabrik terbesar penghasil pupuk urea di Indonesia.

Cerita pupuk langka hampir terjadi setiap tahun di negeri ini. Padahal, menurut data 2007, industri pupuk yang ada mampu memproduksi hampir 8 juta ton pupuk berbagai jenis, yaitu urea, ZA, TSP/SP36 dan NPK. Khusus untuk urea, industri pupuk nasional mampu memproduksi 7 juta ton, sementara kebutuhan dalam negeri sekitar 5,8 juta ton.

Guna membantu petani, tahun ini pemerintah menyediakan subsidi Rp 14,7 triliun agar harga pupuk tidak terlalu mahal, disesuaikan dengan kemampuan petani. Untuk itu, setiap tahun pemerintah menetapkan jumlah pupuk bersubsidi yang disalurkan kepada petani dengan harga khusus tersebut. Pabrik pupuk menyalurkan pupuk urea dengan harga yang telah ditetapkan pemerintah, sementara selisih biaya produksi dengan harga jual dibayar pemerintah kepada pabrik pupuk dalam bentuk subsidi.

Namun, karena terbatasnya dana pemerintah, jumlah pupuk bersubsidi yang disalurkan kepada petani jumlahnya terbatas, belum mencukupi kebutuhan petani. Sebagai gambaran, berdasarkan survei yang dilakukan Dinas Pertanian di seluruh Indonesia, kebutuhan petani terhadap pupuk bersubsidi sebanyak 5,8 juta ton, namun yang disediakan pemerintah hanya 4,3 juta ton.

Berbagai alasan dikemukakan untuk membatasi jumlah pupuk bersubsidi tersebut, seperti petani terlalu boros menggunakan pupuk urea, dana kurang, dan sebagainya. Tetapi, faktanya terjadi kelangkaan pupuk setiap tahun. Tentu saja pabrik pupuk yang ada tidak bisa semena-mena mengucurkan produksinya untuk menutupi kekurangan pasokan pupuk bersubsidi, karena mereka akan rugi.

Menaikkan Harga

Untuk meningkatkan pasokan jumlah pupuk bersubsidi tanpa harus menaikkan subsidi yang ditanggung pemerintah, sebenarnya bisa dilakukan dengan menaikkan harga jual pupuk bersubsidi. Namun, menjelang pemilihan umum seperti sekarang ini, opsi menaikkan harga sangat besar risikonya bagi pemerintah, yang masih berkeinginan terpilih kembali dalam Pilpres 2009.

Kenaikan harga jual pupuk, secara hitungan ekonomi tidak akan terlalu memberatkan petani. Namun, disadari bahwa dampak politisnya sangat besar. Pemerintah tentu khawatir jika harga pupuk dinaikkan, petani padi yang merupakan 70 persen dari seluruh rakyat Indonesia menilai pemerintah tidak memihak mereka.

(27)

Berkhas 23 Volume VI Juli 2008

Suara Pembaruan Kamis, 10 Juli 2008

Dengan demikian, dapat dikatakan terjadinya kelangkaan pupuk bersubsidi ini masih akan sulit diatasi. Bahkan kemungkinan akan semakin parah akibat perbedaan harga yang sangat besar antara pupuk bersubsidi dengan yang nonsubsidi. Perbedaan harga yang sangat tinggi ini sangat rawan terhadap beralihnya fungsi pupuk bersubsidi. Para pedagang akan berupaya dengan segala cara mendapatkan pupuk bersubsidi, untuk kemudian dijual kepada perkebunan besar yang tidak mendapat jatah pupuk bersubsidi.

Sebagai gambaran, jika harga eceran pupuk urea bersubsidi Rp 1.200 per kg, harga pupuk urea nonsubsidi Rp 3.600 per kg. Oleh karenanya, jika ada yang mendapat pupuk urea bersubsidi sudah terbayang besarnya keuntungan yang diperoleh jika pupuk itu dijual ke perkebunan atau bahkan diekspor secara ilegal.

Bisa kita bayangkan karena iming-iming keuntungan besar yang diembuskan para pedagang, semua petani akan menebus jatah pupuknya, bukan untuk digunakan tetapi langsung dijual ke para pedagang yang sudah menunggu. Akibatnya, permintaan pupuk meningkat, dan karena semua petani menebus jatahnya, kelangkaan akan terjadi mengingat terbatasnya jumlah subsidi yang disiapkan pemerintah.

Petani Boros

Faktor lainnya adalah sikap petani yang boros menggunakan pupuk. Sebagai gambaran, untuk satu hektare (ha) tanaman padi, sebenarnya hanya dibutuhkan 250 kg pupuk urea. Namun, karena petani sudah terbiasa boros menggunakan pupuk, mereka menghabiskan 300 kg pupuk urea per ha tanaman padi.

Dengan demikian, untuk satu juta ha tanaman padi, terjadi pemborosan pupuk sebanyak 50.000 ton. Artinya, banyak sekali pupuk yang terbuang sia-sia, tanpa diimbangi kenaikan produksi padi. Padahal pupuk yang digunakan itu bersubsidi.

Pertanyaannya sekarang, mengapa petani kita boros menggunakan pupuk? Sebenarnya, pemborosan ini bisa dihindari dengan meningkatkan penyuluhan. Tapi kenyataannya, petugas penyuluh pertanian yang ada jumlahnya sangat sedikit, sehingga tidak dapat secara efektif melakukan pendekatan kepada petani yang jumlahnya sangat banyak. Akibatnya, penyadaran agar petani tidak boros sulit dilakukan.

(28)

Suara Pembaruan Kamis, 10 Juli 2008

Sp e k u la n M e m b u r u Pu p u k Be r su b sid i

Ada berita bahwa polisi Jawa Barat berhasil menemukan sekitar 500.000 ton pupuk bersubsidi di tangan spekulan, selama periode Februari hingga Juni 2008. "Spekulan menghabiskan pupuk yang dijual, kemudian menjualnya dengan harga yang lebih mahal," kata Gubernur Jawa Barat Ahmad Heriawan, di Bandung baru-baru ini.

Juru bicara Kepolisian Daerah Jawa Barat, Komisaris Besar Dade Achmad memaparkan, temuan tersebut, antara lain berasal dari sekitar pantai utara Jawa Barat, Kabupaten Bogor, Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Garut.

Pupuk bersubsidi yang seharusnya untuk para petani itu, tambah Dade, diganti labelnya oleh spekulan. Mereka kemudian, menjualnya dengan harga lebih tinggi dari harga eceran tertinggi, seperti untuk urea Rp 1.200 per kg dan pupuk nitrogen, fosfor dan kalium (NPK) Rp 1.800 per kg. "Mereka jual dengan harga Rp 6.000 sampai Rp 7.000 per kg," ungkap Dade.

Para spekulan itu tidak memiliki perkebunan. Mereka hanya mengumpulkan, kemudian mengganti kemasannya, lantas menjual kembali. "Mereka memperoleh keuntungan yang sangat besar," kata Dede.

(29)

Berkhas 25 Volume VI Juli 2008

Suara Pembaruan Kamis, 10 Juli 2008

Tin g k a t k a n Pe n g a w a sa n Pe n y a lu r a n Pu p u k

dok sp

Pupuk bersubsidi sedang diangkut dari gudang untuk disalurkan ke petani.

Berbagai bukti menunjukkan lemahnya pengawasan penyaluran, mengakibatkan pupuk bersubsidi tidak sampai ke tangan petani yang membutuhkannya, tetapi bisa dijual ke industri pertanian seperti perkebunan besar, bahkan tidak jarang yang diekspor ke berbagai negara secara ilegal. Karena alasan itulah, mulai Juli 2008, pemerintah menetapkan sistem penyaluran secara tertutup.

Selama ini, penyaluran pupuk bersubsidi dilakukan dengan memanfaatkan kios-kios pertanian atau pengecer yang disebut lini IV. Kios pertanian lini IV ini yang menjual pupuk ke petani.

Dalam keadaan terdapat selisih harga pupuk bersubsidi dengan harga pupuk nonsubsidi sangat tinggi, bahkan hingga tiga kali lipat, mengakibatkan banyak orang yang mengaku petani membeli pupuk di lini IV tersebut. Artinya tidak ada pengawasan yang ketat di kios pertanian.

Akhirnya petani tidak mendapat pupuk yang selama ini menjadi jatahnya, karena semua dibeli para pengumpul atau pedagang perantara. Pupuk yang telah terkumpul di pedagang perantara, lantas dijual kembali dengan harga yang tentunya jauh lebih tinggi dari harga resmi di kios pertanian. Inilah yang disebut sebagai pedagang dadakan, karena mereka sebenarnya tidak terdaftar dan mendapat jatah dari distributor pupuk bersubsidi, namun peran mereka sangat besar terhadap kelangkaan pupuk.

Sistem Tertutup

Sekarang pemerintah menerapkan sistem tertutup untuk menyalurkan pupuk bersubsidi ini. Untuk itu, mulai Juli 2008, kios penyalur lini IV tersebut akan mendata setiap petani yang membeli pupuk. Yang didata tentu saja nama dan alamat serta berapa kebutuhan pupuknya. Data ini nantinya digunakan untuk menentukan besarnya jatah pupuk bersubsidi suatu daerah.

Data petani pembeli pupuk itu juga digunakan untuk mengontrol penjualan pupuk di lini IV. Hanya petani yang terdaftar yang boleh membeli pupuk.

(30)

Suara Pembaruan Kamis, 10 Juli 2008

Seperti diketahui, akibat disparitas harga yang sangat lebar antara pupuk bersubsidi dan nonsubsidi, ada kemungkinan petani menjual pupuk jatahnya karena langsung memperoleh keuntungan yang besar. Sebagai contoh, harga pupuk urea bersubsidi adalah Rp 1.200 per kg, sementara yang nonsubsidi bisa mencapai Rp 3.600 per kg. Jika seorang petani mendapat jatah 300 kg pupuk bersubsidi dan dijual dengan harga Rp 3.000 per kg, dia langsung mendapat keuntungan Rp 540.000. Suatu keuntungan yang sangat besar karena dengan modal Rp 360.000 bisa mendapat keuntungan Rp 540.000. Sangat menggiurkan.

Untuk kasus petani menjual pupuk jatahnya ini sulit diawasi. Meski demikian, melalui pengaturan wilayah penyaluran yang menjadi tanggung jawab pabrik pupuk, aparat keamanan dapat segera menangkap jika ada pupuk bersubsidi yang dijual di luar wilayah penjualannya.

(31)

Berkhas 27 Volume VI Juli 2008

Kompas Jumat, 11 Juli 2008

Je la n g Pa n e n Pe t a n i M e le p a s St ok Te m b a k a u

Jumat, 11 Juli 2008 | 01:29 WIB

Semarang, Kompas - Menyongsong panen tembakau awal Agustus 2008, petani tembakau secara bertahap mulai melepas stok tembakau rajangan yang selama setahun terakhir tersimpan di rumah dan di gudang di sejumlah desa di Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah.

Harga tembakau simpanan berupa rajangan tembakau kering banyak diminati pembeli pabrikan, yakni pembeli utusan sejumlah pabrik rokok besar di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Petani tembakau Desa Tembarak, Kecamatan Tembarak, Temanggung, Komarudin, Kamis (10/7), mengemukakan, petani menengah biasanya masih menyimpan stok tembakau 500- 1.000 keranjang. Satu keranjang berisi 60-80 kilogram tembakau kering. Stok tembakau tersebut hasil panen 2005-2007.

”Saya masih menyimpan 400 keranjang tembakau panen 2007. Dua hari lalu sudah didatangi pembeli utusan pabrik rokok di Kudus. Mereka baru menawar tembakau saya Rp 65.000 per kilogram, tetapi saya minta dibeli Rp 75.000 per kilogram,” kata Komarudin.

Petani lain di Desa Limbangan, Kecamatan Selomampang, Edi Suranto, menuturkan bahwa harga tembakau rajangan stok petani biasanya bervariasi dan tergantung dari kualitasnya. Tembakau kualitas bagus jenis totol E bisa mencapai Rp 90.000 per kilogram, tetapi biasanya sedikit petani yang memilikinya. Untuk tembakau kualitas rendah, yakni totol A, paling tinggi Rp 10.000 per kg.

Suranto mengatakan, pihaknya menyimpan 650 keranjang tembakau sisa panen 2006-2007. Sejumlah pedagang pabrikan sudah melakukan survei, termasuk dirinya juga sudah membawa contoh tembakau ke pabrikan di Temanggung.

”Tembakau saya dihargai Rp 60.000-Rp 70.000 per kilogram, tetapi mereka meminta saya untuk bersabar hingga pekan depan. Pekan depan, semua sisa stok tembakau akan dibeli,” kata Suranto.

Ia menjelaskan, penjualan stok tembakau dilakukan petani karena setiap akan panen mereka perlu mengosongkan gudangnya.

Gudang disiapkan menampung panen tembakau yang dijadwalkan awal Agustus 2008. Sebulan sebelum panen terjadi, pabrikan sendiri juga banyak melakukan pembelian tembakau stok milik petani.

(32)

Kompas Jumat, 11 Juli 2008

KI LAS BALI K

Ke M a n a Ar a h Ke b ij a k a n Pa n g a n Kit a ?

Jumat, 11 Juli 2008 | 03:00 WIB

"…krisis pangan seharusnya mengingatkan kita pada apa yang paling fundamental: sebelum kita bercita-cita apa pun, perut harus kenyang. Mana mungkin kita pintar bila perut kita lapar? Mana mungkin kita bersatu bila perut kita keroncongan?… Manusia memang tidak hanya hidup dari perut. Ya, kritik itu tepat buat mereka yang sudah kenyang dan tak berkekurangan. Tapi, kritik itu sama sekali tak berlaku bagi mereka yang lapar.…"

("Tanda-tanda Zaman", Basis edisi Mei-Juni 2008)

Persoalan pangan adalah persoalan hidup mati bangsa Indonesia. Itulah pesan sekaligus peringatan yang disampaikan oleh Presiden RI pertama, Soekarno, ketika meletakkan batu pertama pembangunan Kampus Institut Pertanian Bogor pada 27 April 1952.

Meski bangsa ini ketika itu baru seumur jagung, baru berusia tujuh tahun, tapi kesadaran akan pentingnya meletakkan dasar pembangunan di bidang pertanian sudah sejak awal dimunculkan. Masih di tengah suasana pergolakan, Soekarno sebagai pemimpin bangsa yang baru merdeka melihat bahwa ketersediaan pangan bagi rakyat adalah sebuah keniscayaan.

Sebagai langkah awal adalah dengan terlebih dahulu mendidik orang-orang yang akan membebaskan rakyat dari persoalan pangan. Pembangunan Kampus IPB di Baranangsiang, Bogor, adalah salah satu jawabannya.

Pada saat hampir bersamaan, pemerintah membangun Waduk Jatiluhur, membenahi infrastruktur jalan dan jembatan, serta merancang pendirian pabrik-pabrik pupuk. Produksi benih unggul juga diperbanyak dengan menambah balai benih dan kebun bibit. Pemerintahan awal republik ini juga tidak lupa meningkatkan pengetahuan masyarakat akan pertanian dengan mendirikan Balai Pendidikan Masyarakat Desa.

Menurut seorang panelis dalam diskusi terbatas tentang kedaulatan pangan yang diselenggarakan oleh harian Kompas, akhir Juni lalu, apa yang digagas Bung Karno tersebut menunjukkan adanya visi yang jelas terkait upaya penanggulangan masalah pangan. Ini juga menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kerangka pemikiran pemimpin nasional. Sebuah obsesi untuk menciptakan kemandirian penyediaan pangan bagi rakyat.

”Kalau kita baca literatur-literatur yang ada, keinginan pemerintah pada masa lalu untuk mengembangkan pangan atas usaha sendiri itu luar biasa. Institusi-institusi penelitian yang ada di Bogor, sebagian juga ada di Jawa Timur, itu sebagian berdiri pada saat Bung Karno masih ada dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kebijakan pemerintah kita terdahulu,” ujarnya.

Pertama-tama, tentu saja, adalah niat. Dan, niat itu menjadi lapis dasar dari visi dan tekad yang kemudian diterjemahkan dalam konsep kebijakan nasional. Namun, yang tak kalah penting adalah bagaimana semua rencana itu bisa berjalan di tingkat praksis. Bukan sekadar diwacanakan!

(33)

Berkhas 29 Volume VI Juli 2008

Kompas Jumat, 11 Juli 2008

Pemerintah pada masa itu tak hanya merumuskan dengan baik langkah dan strategi untuk menciptakan ketahanan pangan, tapi juga melaksanakannya secara konsisten. Bahwa muncul di sana-sini pemaksaaan-pemaksaan terhadap petani, semisal dalam hal keharusan menanam padi dan penggunaan benih unggul, hal itu adalah sisi lain yang harus diakui memang terjadi.

Akan tetapi, kata sang panelis, ekses semacam itu adalah soal lain. Yang ingin ia tekankan terutama menyangkut adanya semacam keinginan kuat dari pemerintah untuk mengimplementasikan kebijakan yang sudah mereka susun.

Apalagi, keberhasilan memproduksi padi juga diikuti kebijakan-kebijakan lain. Sadar bahwa kalau rakyat hanya makan nasi tidak cukup asupan gizinya, ditempuh juga kebijakan untuk meningkatkan produksi susu, daging, ayam, dan lain sebagainya. Program bimbingan massal (bimas) yang diikuti pola intensifikasi massal (inmas) menjadi begitu populer pada awal pemerintahan Orde Baru.

Krisis pangan memang beberapa kali sempat terjadi, seperti pada 1972-1973, tetapi selalu ada jalan keluar. Muncul apa yang kemudian dikenal sebagai koperasi unit desa (KUD), penguatan Badan Urusan Logistik (Bulog) sebagai penyangga ketersediaan pangan, hingga diterapkannya langkah-langkah khusus dengan pengendalian terpusat dan langsung oleh presiden melalui lembaga Sesdalobang.

Hasilnya, pada tahun 1984 Indonesia untuk pertama kali meraih prestasi sebagai negara yang mampu berswasembada beras. Bahkan, program bimas pernah diadopsi Organisasi Pangan Dunia (FAO) menjadi salah satu percontohan untuk berbagai kawasan yang kekurangan pangan. Petani dan penyuluh pertanian Indonesia pun pernah diminta melatih petani dan mengembangkan pusat pelatihan pertanian di Afrika. Juga di Fiji, Vanuatu, dan kepulauan sekitarnya.

Tentu saja ini bukan sekadar kisah romantisme masa lalu. Runtuhnya rezim Orde Baru dengan Soeharto pilar utamanya, kemudian lahir apa yang dikenal sebagai era Reformasi, ternyata ikut meruntuhkan fondasi dasar ketahanan pangan—terutama beras—bangsa ini. Meski pemerintah masa lampau belum berhasil mengangkat kesejahteraan petani hingga ”berdaulat” atas diri dan usahanya sendiri, setidaknya dalam skala nasional persoalan ketersediaan pangan, khususnya beras, tidak menimbulkan gejolak seperti sekarang.

Pemerintah pada tahun 1999 bahkan harus mengimpor beras hingga 5 juta ton. Sementara itu, pada tahun berikut, tercatat sedikitnya empat juga beras impor membanjiri pasar dalam negeri. Pada saat bersamaan, impor bahan pangan lain, seperti jagung, gula, kedelai, dan gandum, juga meningkat.

Upaya perbaikan sistem produksi dan distribusi memang sempat memberi harapan. Pembentukan Dewan Ketahanan Pangan yang beranggotakan menteri-menteri terkait ternyata cukup efektif. Produksi pangan, khususnya beras, bisa ditingkatkan sehingga pada tahun 2003/2004 pemerintah menerapkan larangan impor beras.

Akan tetapi, sejak akhir 2005—seiring pergantian tampuk pemerintahan di negeri ini—keran impor beras dibuka kembali hingga hari ini. Harga beras pun jatuh dan petani sebagai produsen terkena imbasnya.

(34)

Kompas Jumat, 11 Juli 2008

Hanya, diingatkan bahwa kompleksitas permasalahan hari ini dan ke depan tentu berbeda tantangannya dibandingkan dengan masa lampau. Kenyataan ini tentu menuntut konsep dan strategi tersendiri, sesuai skala persoalan dan tantangan baru yang dihadapi. Jumlah penduduk yang terus membengkak, ancaman perubahan iklim yang ikut memengaruhi produktivitas pertanian, alih-fungsi lahan-lahan pertanian yang cenderung kian meningkat dalam 10 tahun terakhir, dan aspek-aspek nonteknis harus menjadi pertimbangan.

Menyikapi berbagai persoalan itu, panelis lain mengingatkan, ”Barangkali masih perlu untuk dilihat sebetulnya mau ke mana arah pertanian kita. Mau bergulat saja dengan isu pangan atau pada saat yang sama juga memberi perhatian yang besar kepada isu pertanian lain, yang sebetulnya potensial untuk meningkatkan ekonomi masyarakat.”

Sisi lain yang juga disorot para panelis ke depan adalah perlunya upaya mengembangkan sektor pertanian dilihat dan dikaitkan dengan penataan sumber daya lingkungan hidup. Artinya, pembangunan pertanian tak seharusnya dilihat dari aspek ekonomi semata. Konflik perebutan air antara petani dan investor yang memproduksi air minum, pendangkalan sejumlah waduk untuk irigasi, serta penataan daerah tangkapan air di hulu-hulu sungai mesti dijadikan satu paket dalam kebijakan pertanian.

Tak bisa dimungkiri, masalah pangan memang membutuhkan perhatian ekstra dari pemerintah. Kalau kita masih ingin survive di bidang pangan, kata seorang panelis, pertama-tama yang harus dilakukan adalah dengan merumuskan kembali kebijakan yang kuat di bidang pembangunan pangan. Kebijakan pangan yang kuat itu harus lahir dari pemimpin yang punya visi jauh ke depan, mengingat kebijakan pangan tak menyangkut soal pangan semata. Ia memiliki keterkaitan yang kuat dengan sektor-sektor lain.

”Persoalan pangan juga ada hubungan langsung dengan kemiskinan. Kalau persoalan kemiskinan tidak diatasi, persoalan pangan pun akan menjadi bagian yang tak pernah terselesaikan,” kata seorang panelis.

Alhasil, sebagaimana diingat budayawan Sindhunata dalam kolom ”Tanda-tanda Zaman” di majalah dwibulanan Basis, sebagaimana dikutip pada awal tulisan ini, krisis pangan yang terjadi sekarang seharusnya mengingatkan kita pada apa yang fundamental. Katanya, akhir-akhir ini kita banyak diributkan oleh tetek-bengek persoalan yang mencabik-cabik kita sebagai bangsa. Tapi, kita seperti lupa pada yang fundamental, yakni (tuntutan) perut.

(35)

Berkhas 31 Volume VI Juli 2008

Kompas Jumat, 11 Juli 2008

Ke k e r in g a n Be lu m Pe n g a r u h i Pr od u k si Pa d i

Jumat, 11 Juli 2008 | 01:30 WIB

Subang, Kompas - Menteri Pertanian Anton Apriyantono menyatakan, kekeringan yang terjadi tahun ini belum memengaruhi produksi padi. Sampai akhir Juni 2008, luas areal puso hanya mencapai sekitar 60.000 hektar dari 100.000 hektar yang mengalami kekeringan.

Berdasarkan perkiraan angka ramalan II, produksi padi tahun ini mencapai 59,8 juta ton gabah kering giling (GKG). Angka itu mendekati target produksi 61 juta ton GKG.

”Jika tak ada perubahan iklim secara ekstrem, target produksi akan tercapai. Cuaca yang terjadi sampai sekarang masih relatif normal,” ujar Anton seusai peletakan batu pertama pembangunan Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner (BPPV) di Desa Dangdeur, Kabupaten Subang, Jawa Barat, Kamis (10/7).

Indikasi normal antara lain dari luas kekeringan yang lebih rendah dibandingkan dengan rata- rata lima tahun. Menurut dia, serangan hama juga tidak separah tahun-tahun lalu sehingga target produksi diharapkan tercapai.

Kepala Dinas Pertanian, Kehutanan, dan Perkebunan Kabupaten Karawang Didy Sarbini HS mengungkapkan hal senada. Pasokan air yang relatif terjamin tahun ini membuat belasan ribu hektar sawah yang biasanya kering di pesisir utara Karawang bisa ditanami untuk kedua kalinya tahun ini.

Wabah diare

Kekeringan yang terjadi di beberapa wilayah di Bandung Barat berpotensi menjadi pemicu munculnya wabah diare. Alasannya, warga memanfaatkan air sungai untuk keperluan setiap hari setelah air sumur warga mengering sejak awal Juni 2008.

Hal ini disampaikan Kepala Dinas Kesehatan dan Sosial Kabupaten Bandung Barat Dodo Suhendar, Kamis. ”Kami minta masyarakat mewaspadai ancaman diare karena air sungai yang dimanfaatkan warga tak diketahui tingkat kebersihannya,” katanya.

Menurut Dodo, diare merupakan wabah yang muncul setiap musim kemarau. Dinas kesehatan pun tidak dapat berbuat banyak untuk mencegahnya karena kekeringan merupakan bencana yang dipengaruhi faktor alam.

”Dinas kesehatan bekerja sama dengan puskesmas hanya bisa melakukan pencegahan dengan membagikan kaporit atau pensteril air,” kata Dodo. Upaya itu akan dibarengi dengan penyebaran edaran yang berisi tentang cara mensterilkan air minum.

Saat ini, Dinas Kesehatan dan Sosial Bandung Barat juga sedang menentukan beberapa titik daerah yang akan dibangun tempat penampungan air.

”Jika menemukan gejala wabah diare, kami minta bantuan aktif dari masyarakat dan media untuk menyampaikan kepada kami atau puskesmas setempat,” ujar Dodo.

Camat Batu Jajar, Bandung Barat, Dadan Sumarwan mengaku belum mendapat laporan mengenai gejala penyakit diare akibat kekeringan. Oleh karena itu, belum ada tindakan antisipasi wabah diare yang dilakukan di tingkat kecamatan.

(36)

Kompas Jumat, 11 Juli 2008

KORPORASI PERTAN I AN

Ja n g a n sa m p a i Ke b a b la sa n

Jumat, 11 Juli 2008 | 03:00 WIB

Oleh Khairina

The business of business is business (Milton Friedman, penerima Nobel Ekonomi tahun 1976)

Ini memang era corporate social responsibility (CSR) alias tanggung jawab sosial perusahaan. Perusahaan-perusahaan besar berlomba-lomba melakukan ”sesuatu” untuk masyarakat sekitarnya. Berbagai bidang dirambah, mulai dari sektor lingkungan, pendidikan, hingga pertanian. Diawali oleh CSR, beberapa perusahaan akhirnya malah menemukan ladang bisnis baru.

Seorang pengusaha terkenal yang menjadi panelis dalam diskusi kedaulatan pangan di Kompas, akhir Juni lalu, mengaku terjun ke bisnis pertanian diawali oleh program CSR bidang penghijauan. Awalnya, ia hanya membuka pembibitan di lahan menganggur seluas 4-5 hektar, yang tadinya akan dibangun pabrik semen. Bekerja sama dengan seorang mantan pejabat yang peduli lingkungan, ia juga terlibat aktif dalam produksi dan pemasaran beras organik.

Kini sang pengusaha tertarik dengan energi alternatif atau biodiesel. Ia tertarik untuk mengembangkan pertanian pangan penghasil etanol, seperti jagung, singkong, dan tebu. Tidak tanggung-tanggung, panelis itu mengaku sampai melakukan studi banding ke Brasil.

”Di Brasil itu kalau ditonjolkan pertanian, ya benar-benar pertanian. Dagingnya sekarang nomor satu di dunia. Itu karena didukung oleh produksi jagung yang nomor satu. Gula juga mereka nomor satu, sekarang kedelai juga nomor satu, menyusul Amerika Serikat,” ujarnya gemas.

Ia lebih gemas lagi begitu mendengar anjuran seorang menteri di negeri ini agar dia berinvestasi di Brasil. Alasan sang menteri, tanah di Brasil sudah jelas subur dan negara Amerika Latin itu lebih siap menerima investor dalam bidang pertanian.

”Masak menteri malah ngomong seperti itu. Akhirnya saya buat perbandingan antara Merauke dan Brasil. Saya juga mengundang Bupati Merauke untuk menjelaskan apa permasalahan yang ada di sana,” katanya.

Di Merauke, ungkap sang panelis, ternyata banyak masalah, mulai dari infrastruktur, irigasi, sampai masalah hama dan malaria yang tak kunjung usai. Namun, daerah itu terbuka untuk ekstensifikasi. Ia akhirnya mengenalkan padi dengan sistem intensifikasi padi di Merauke. Ia bahkan menemukan satu transmigran asal Jawa yang cukup berhasil memiliki 330 hektar lahan pertanian di Merauke.

Di luar Jawa, kata panelis itu, memang harus dikembangkan pola korporasi pertanian. Namun, harus dipikirkan bagaimana agar komoditas pangan bertambah, kesempatan kerja terbuka, dan keadilan untuk seluruh masyarakat. Sebagai pebisnis, ia mengaku melihat peluang sangat besar di bidang pertanian, apalagi dengan harga pangan dunia yang meroket tinggi.

(37)

Berkhas 33 Volume VI Juli 2008

Kompas Jumat, 11 Juli 2008

Korporasi pertanian memang sudah merasuk sedemikian dalam. Beberapa memang menguntungkan petani, kendati pada banyak kasus, petani justru menjadi pihak yang paling terpinggirkan.

V Indra Cahyanta, Ketua Kelompok Tani Ngudi Mulyo, Sabrang, Sumber Mulyo, Bambanglipuro, Bantul, Yogyakarta, mengaku sangat dibantu oleh sebuah perusahaan. Ratusan petani di daerah itu, yang tadinya hanya bertanam padi dan palawija, dibina untuk menanam kedelai hitam. Mereka diberi bibit unggul gratis, diberikan pelatihan agar hasil panennya sesuai dengan standar perusahaan, dan hasilnya lalu ditampung oleh perusahaan itu.

Ia mengaku, sejak dibina oleh perusahaan itu—yang bekerja sama dengan Universitas Gadjah Mada (UGM)—pendapatan petani meningkat. ”Hasil panen kami tertampung. Kami juga menentukan harga jual karena di awal kerja sama kami menandatangani perjanjian dengan perusahaan terkait harga jual,” katanya.

Kendati pun demikian, ia mengaku, pendapatannya sebagai petani kecil—yang memiliki lahan hanya 1.000 meter—sebenarnya tidak mencukupi. Sebagai gambaran, apabila dirata-ratakan per bulan, sebenarnya penghasilan bersih petani hanya Rp 50.000 rupiah.

”Itu pun hasilnya sudah lumayan dibandingkan dengan sebelum menjadi petani kedelai hitam,” tuturnya.

Dengan penghasilan sangat minim, Indra terpaksa mengandalkan sumber penghasilan lain. Di luar kegiatannya sebagai petani, Indra adalah sopir perjalanan. ”Petani yang lain juga rata-rata punya pekerjaan lain di luar bertani,” ujarnya.

Belum sejahtera

Menurut Ketua Umum Serikat Petani Indonesia Henry Saragih, sampai sekarang belum ada satu pun kasus dengan masuknya korporasi, petani menjadi sejahtera. Ia mencontohkan masuknya perusahaan agrobisnis dalam perkebunan sawit. Petani kecil dan masyarakat adat terpinggirkan karena tanahnya diambil alih oleh perusahaan.

Konflik tanah banyak terjadi di perkebunan sawit. Sementara itu, beberapa waktu yang lalu rakyat kesulitan membeli minyak goreng karena harganya meningkat. Perusahaan semakin senang dengan peningkatan harga karena pendapatan meningkat, sedangkan rakyat yang kelaparan.

”Ini sebenarnya sudah cerita lama dalam sejarah pertanian akibat dari pola inti plasma (nucleus-smallholder) sebagai salah satu bentuk agrobisnis melalui contract farming,” ujar Henry.

Dengan masuknya korporasi, kata Henry, peningkatan produksi memang terjadi, tetapi jutaan kaum tani dirugikan. Jadi, surplus ekonomi pertanian dan pangan yang dulunya meskipun kecil dapat dinikmati oleh petani, kini setelah masuknya perusahaan ke sektor pertanian menjadi milik perusahaan.

(38)

Kompas Jumat, 11 Juli 2008

Guru besar Teknologi Pertanian UGM Mohammad Maksum berpendapat, investasi apa pun dalam bidang pertanian sebaiknya mempertimbangkan baik buruknya bagi petani. Selama ini, kata Maksum, petani lebih sering menjadi golongan yang terpinggirkan.

Kedaulatan atas tanah petani sangat tidak terjamin, demikian juga dengan kedaulatan akan hak ekonomi dan hak sosial. Tanah pertanian banyak digusur dengan alasan pembangunan. Petani tidak bebas menentukan hak ekonomi mereka, misalnya pupuk bersubsidi yang dikorupsi dan dalam beberapa kasus hak mereka untuk menerima beras miskin pun, misalnya, dirampas pula.

(39)

Berkhas 35 Volume VI Juli 2008

Kompas Jumat, 11 Juli 2008

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara efektivitas komunikasi orangtua dan remaja dengan tingkat kesepian pada siswa SMAN di kota Semarang..

minuman tamu belanja barang PL 85.000.000 1 paket Kota Cimahi APBD.

(3) penggunaan properti sebagai pendukung beksan menurut pendapat siswa bahwa properti yang agak sulit digunakan adalah properti tombak yang membutuhkan kekuatan, (4) irama

Kanopi/Atap Pasar Atas belanja modal PL 80.000.000 1 paket Kota Cimahi APBD juli juli juli agustus. 28 Pengadaan

Pada alat musik petik yaitu gitar, senar merupakan suatu bagian sumber getar yang jenis dan ukurannya diproduksi secara tetap, sehingga perlu dikaji secara fisis

[r]

[r]

Model Pembelajaran Terpadu: Konsep, Strategi, dan Implementasinya dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta: