• Tidak ada hasil yang ditemukan

Berkhas Kliping Maret 2008 Agraria-Maret 2008

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Berkhas Kliping Maret 2008 Agraria-Maret 2008"

Copied!
139
0
0

Teks penuh

(1)

VOLUME VI MARET 2008

(2)

Berkhas merupakan salah satu media Akatiga yang menyajikan kumpulan berita dari

berbagai macam surat kabar, majalah, serta sumber berita lainnya. Jika pada awal

penerbitannya kliping yang ditampilkan di Berkhas dilakukan secara konvensional, maka

saat ini kliping dilakukan secara elektronik, yaitu dengan men-

download

berita dari

situs-situs suratkabar, majalah, serta situs-situs berita lainnya.

Bertujuan untuk menginformasikan isu aktual yang beredar di Indonesia, Berkhas

diharapkan dapat memberi kemudahan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dalam

pencarian data atas isu-isu tertentu. Berkhas yang diterbitkan sebulan sekali ini setiap

penerbitannya terdiri dari isu Agraria, Buruh, dan Usaha Kecil.

(3)

D a ft a r I si

Lahan Pertanian Alih Fungsi 111.000 Ha Per Tahun --- 1

Lahan Pertanian Belum Menjadi Prioritas --- 2

Pemerintah Tak Mampu Stabilkan Harga Pangan --- 3

Bulog Tampung Gabah Kering Petani

---

4

Revitalisasi Pertanian Empat BUMN Disinergikan --- 5

Petani Bingung Mencari Urea --- 6

Harga Pangan, Inflasi, dan Swasembada --- 8

Panen Raya, Harga Gabah Anjlok--- 11

Liberalisasi Tanaman Pangan --- 13

Cadangan Pangan RI Kritis--- 15

Belajar Ketahanan Pangan dari Cirendeu --- 17

Lindungi Kepentingan Petani --- 19

Enam Langkah Capai Ketahanan Pangan --- 20

HPP Gabah Tetap --- 21

Involusi Petani Padi di "Tanah Sebrang" --- 22

Liberalisasi Tanaman Pangan Jangan Korbankan Petani --- 24

Masa Tanam Pascapanen Terancam Hama

---

25

Gubernur DIY: Petani Harus Bermental Kuat --- 27

Wereng Serang Petani Tangerang --- 28

Harga Gabah Terperosok --- 29

Petani Rugi Akibat KUT Diselewengkan --- 31

Petani Keluhkan Serangan Hama Wereng --- 32

Pulau Terpencil Rawan Pangan--- 34

"Yarnen" Terus Melilit Petani --- 35

165 Kasus Tanah Terkait Pidana

---

37

Mayoritas daerah tak laporkan KUT --- 38

Harga Gabah Tak Sebanding dengan Biaya Produksi--- 40

Produksi Beras Tidak Akan Mencapai Target --- 42

Keadilan Sosial untuk Petani Kita--- 43

(4)

Petani Sawit Dapat Subsidi Kecambah --- 47

"Ketidakberdayaan" Institusi Pertanian --- 48

Konversi Lahan Pertanian 8.000 Ha/Tahun --- 51

Petani Minta Kenaikan Harga Gabah Kering --- 53

Bulog: Pemerintah Harus Mewaspadai Penyelundupan Beras ke Luar Negeri --- 54

Paket Fiskal vs Krisis Pangan

---

55

Sulsel Tak Khawatir Krisis Beras --- 58

Harga benih sawit diperkirakan melonjak--- 59

Kalangan petani jarak di Jawa Tengah cemas --- 61

Bulog Yogyakarta Beli Gabah Petani --- 62

Petani Memanen Padi Lebih Awal --- 63

644 Hektar Tanaman Padi dan Jagung di TTS Gagal Panen--- 64

Petani Belum Menikmati Hasil --- 65

26.000 Ha Lahan Kritis di Bengkulu Direhabilitasi --- 67

Bulog Diminta Abaikan Mutu Gabah --- 68

Meratapi Nasib Petani --- 70

Bupati Karawang Jamin Tak Ada Konversi Lahan Pertanian --- 73

Pasar Tani Soropadan untuk Berdayakan Petani

---

74

Jalan Terjal Menuju Swasembada Pangan --- 75

Harga Gabah Terus Merosot akibat Hujan --- 76

Ekonomi Politik Kedaulatan Pangan --- 77

Mengubah Minda Pertanian --- 79

Serangan Hama Wereng Meluas --- 81

Lahan Pertanian Terus Menyusut --- 82

Serangan Wereng Mengganas --- 84

Kartel Kuasai Pangan Indonesia

---

86

Kegagalan Instrumen Perlindungan Petani --- 89

Lahan Petani Jateng Diserang Pengganggu Tanaman--- 92

Pangan dan Gejolak Politik --- 93

Pupuk di Bengkulu Langka, Harga Meningkat --- 94

Tasikmalaya Menjadi Lumbung Padi Organik --- 95

Kredit Petani Kecil Belum Terkonsep --- 96

(5)

Produksi Beras 2008 Diproyeksikan Surplus ---100

Pemerintah Bangun 17 Pasar Tani ---101

Politik Pangan Butuh Perhatian ---102

HKTI Terus Merintis Distribusi Pupuk Bersubsidi ---103

Petani Belum Nikmati Hasil Panen ---104

Tanam Padi Organik Mulai Diminati ---105

Membongkar Hegemoni Beras ---106

Pupuk Bersubsidi di Bengkulu Menghilang ---108

Harga Gabah Anjlok ---109

Panen Masal Petani Lele---110

Pupuk Bersubsidi Langka ---111

Harga Beras Global Cetak Rekor ---112

Gabah Terlambat Diserap, Harga Beras Anjlok ---114

'Pasokan Beras Dalam Negeri Diamankan Dulu' ---115

Ekspor Beras Dicegah ---116

Target Produksi Gabah Sulit Tercapai ---118

Petani Keluhkan Mahalnya Harga Pupuk---120

Beras Rawan Diselundupkan ---121

Harga Beras Lokal tidak Terpengaruh ---123

Ekspor Beras tidak Dilarang ---125

Petani Padi Organik Menikmati Harga Tinggi ---127

Ekstensifikasi Lahan Antisipasi Inflasi Pangan---129

Harga Padi Anjlok, Petani Sedih ---130

Belum Ada Insentif bagi Ekspor Beras ---132

(6)

Suara Pembaruan Sabtu, 01 Maret 2008

La h a n Pe r t a n ia n Alih Fu n gsi 1 1 1 .0 0 0 H a Pe r Ta h u n

[JAKARTA] Kesadaran bangsa ini untuk menjaga keberlangsungan lahan pertanian sangat rendah. Sementara, krisis pangan terus mengancam karena menurunnya kapasitas produksi pangan akibat alih fungsi lahan yang sulit dihentikan.

Luas lahan pertanian pangan beririgasi teknis yang tersisa hanya 6,5 juta hektare (Ha), sementara setiap tahun 110 ribu hektare beralih fungsi. Demikian disampaikan Direktur Jenderal Pengelolaan lahan dan air (PLA) Departemen Pertanian, Hilman Manan di Jakarta, Sabtu (1/3).

Dengan laju penduduk 1,3 persen per tahun, maka hingga 2010 saja kebutuhan beras nasional mencapai 32,5 juta ton. Untuk memenuhi kebutuhan konsumsi tersebut dibutuhkan lahan beririgasi teknis seluas 9,9 juta hektare.

Tahun 2028 kebutuhan lahan beririgasi teknis meningkat menjadi 12 juta hektare. Hal tersebut menjadi sebuah ironi jika dikaitkan dengan rendah kepedulian masyarakat dan pemerintah daerah akan lahan pertanian. Pemda cenderung mengabaikan upaya mempertahankan areal pertanian demi alasan mengejar pendapatan daerah. Di sisi lain, pemilik lahan menjual lahannya karena usaha pertanian dianggap tak lagi prospektif, ujar Hilman.

Upaya mengkampanyekan perlindungan ibarat membentur tembok ketidakpedulian bangsa ini, ujar Direktur Pengelolaan Lahan, Suhartanto. Upaya perlindungan lahan pertanian melalui undang-undang lahan abadi, terbentur berlarut-larutnya pembahasan di DPR.

"Seharusnya UU lahan abadi selesai pertengahan tahun lalu, tapi hingga kini belum rampung dibahas di DPR," ujarnya.

Tekanan terhadap upaya mempertahankan lahan pertanian juga terjadi akibat menurunnya luas kepemilikan lahan per rumah tangga petani. Jumlah petani gurem dengan luas lahan hanya 0,34 hektare meningkat menjadi sekitar 14 juta petani. Hal ini dapat memicu konversi lahan karena petani terpaksa berganti profesi.

(7)

Kompas Senin, 03 Maret 2008

La h a n Pe r t a n ia n Be lu m M e n j a di Pr ior it a s

Pe m ba h a sa n RU U PLPB Se la lu Te r t u n da

Jakarta, Kompas - Lahan pertanian, terutama untuk tanaman pangan, terus menyempit. Padahal, kebutuhan pangan terus meningkat. Penyempitan lahan pertanian itu akibat ”penjarahan” terencana oleh pemerintah daerah ataupun pelaku usaha. Hingga kini penyelamatan lahan pertanian belum menjadi prioritas.

Hal itu ditegaskan Direktur Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air Departemen Pertanian Hilman Manan. Ia mengatakan, peran lahan sebagai basis produksi pertanian tidak tergantikan.

”Ketersediaan lahan adalah syarat mutlak mewujudkan ketahanan pangan nasional,” tegas Hilman, akhir pekan lalu.

Namun, yang terjadi lahan pertanian terus menyempit. Tahun 1999-2002, konversi lahan pertanian ke nonpertanian 110.000 hektar. Berdasarkan data Badan Pertanahan Nasional, tiap tahun sawah beririgasi berkurang 35.000 hektar. Padahal, kebutuhan beras penduduk Indonesia tahun 2030 diperkirakan 59 juta ton. Adapun kebutuhan beras tahun 2007 hanya 32,96 juta ton.

Direktur Pengelolaan Lahan Pertanian Suhartanto mengingatkan agar waspada terhadap masalah ketahanan pangan. Kebutuhan komoditas pangan dunia terus meningkat. Ditambah menipisnya cadangan minyak berbasis fosil, bahan bakar nabati berbasis komoditas biji-bijian jadi pilihan. ”Ketahanan pangan bangsa lemah. Komoditas pangan utama seperti beras, jagung, dan kedelai masih impor,” ujarnya.

Produksi pangan melimpah saja belum menjamin rakyat Indonesia dapat mengakses pangan. Ini karena harga pangan pokok terus membubung, mengikuti hukum pasar. ”Kerja pemerintah akan ringan jika produksi pangan melimpah,” katanya di Jakarta.

Sebaliknya, jika produksi kurang dan bergantung impor, Indonesia jadi bulan-bulanan pasar global. ”Agar produksi melimpah, diperlukan lahan yang luas. Ini malah sawah dikonversi untuk tujuan lain,” kata Suhartanto.

Ketua Dewan Pertimbangan Organisasi Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Siswono Yudo Husodo mengatakan, Indonesia telah masuk perangkap pangan dunia. Ketika harga kedelai naik, misalnya, pemerintah tak bisa menahannya.

Jebakan pangan global makin kuat mengimpit kalau tidak diantisipasi, yaitu dengan meningkatkan produksi pangan dengan memberi jaminan pasar.

Pembahasan tertunda

Mengatasi masalah lahan, Deptan menyiapkan naskah akademis RUU Perlindungan Lahan Pertanian Abadi, yang diganti menjadi RUU Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan (PLPB). Namun, pembahasannya di DPR selalu tertunda. ”Mungkin setelah RUU Pemilu, baru RUU PLPB. Diharapkan pertengahan 2008 pembahasan selesai,” kata Hilman.

(8)

Suara Pembaruan Senin, 03 Maret 2008

Pe m e r in t a h Ta k M a m pu St a bilk a n H a r ga Pa n ga n

[JAKARTA] Meski kenaikan harga bahan baku pangan diprediksi baru akan naik kuartal II tahun 2008, sejumlah harga bahan baku pangan di pasaran terus melonjak. Tepung terigu misalnya. Kenaikannya sangat mencolok. Demikian dikatakan Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI) Thomas Dharmawan ketika dihubungi SP, akhir pekan lalu.

Dibanding harga bahan baku pangan lainnya, kenaikan harga tepung terigu paling kentara. Awal tahun 2007 lalu harga tepung terigu berada di kisaran dari Rp. 4.000/kg, kini berkisar antara Rp 7.500 - Rp. 8.000/kg di tahun 2008.

Menurut Ketua Umum Asosiasi Tepung Terigu Indonesia (Aptindo) Franky Welirang, seperti dituturkan Thomas, lonjakan tinggi harga tepung terigu, salah satunya dipicu negara-negara yang mengurangi ekspornya seperti Tiongkok, Rusia, Yordania. Hal itu, lanjut Thomas, mengakibatkan harga tepung terigu naik dua hingga tiga kali dalam periode satu bulan.

"Jika sudah begini, kasihan UKM-UKM (usaha kecil dan menengah) yang menjual produk makanan. Mereka tidak bisa menaikkan harga terlalu tinggi, karena kalau sudah naik, sulit untuk turun lagi. Mereka lebih hati-hati karena ada sistem distribusi," ujar Thomas.

Sekretaris Jenderal Aptindo Ratna Sari Loppies mengatakan, posisi pemerintah yang lemah menjadi penyebab meroketnya harga tepung terigu di pasaran nasional. Ironis, lanjut Ratna, meski 90 persen minyak sawit mentah (CPO) dapat dihasilkan dalam negeri, pemerintah tetap tidak mampu mengatasi persoalan tingginya harga CPO.

Menurut dia, hal ini membuktikan, pemerintah tidak mampu mengontrol kebutuhan dalam negeri dan menstabilkan harga pangan. Walaupun demikian, Ratna masih menilai keadaan ini jauh lebih baik dibanding harga gandum yang melangit hingga 200 persen.

"Ke depan pemerintah harus mempunyai perencanaan, jangan cuma memberi kebijakan yang menurunkan harga untuk sementara waktu. Pemerintah kan ada proteksi," katanya.

Masih Dibahas

Sementara itu, Anggota Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Hasto Kristianto mengatakan, terkait peraturan presiden soal stabilisasi pangan, subsidi telah diberikan untuk beras dan minyak goreng. Saat ini, lanjut Hasto, yang masih dalam pembahasan, yakni soal subsidi kedelai.

"Subsidi beras dan minyak goreng sudah. Saat ini memang kedelai yang baru akan diusulkan dalam APBN (anggaran pendapatan dan belanja negara) perubahan. Pembahasan akan dilakukan awal Maret," ujar Hasto .

Pembahasan subsidi kedelai dalam APBN perubahan nanti, sambung Hasto, usulan yang akan datang seperti pemberian kupon seharga Rp. 1.000 untuk pembelian kedelai per kilogramnya. Jadi, setiap kedelai yang dijual seharga Rp. 6.800/kg akan dipotong Rp 1.000 menjadi Rp 5.800/kg dengan kupon.

(9)

Jurnal Nasional Selasa, 04 Maret 2008

Ek on om i M ik r o/ Se k t or Riil SUM ED AN G | Se la sa , 0 4 M a r 2 0 0 8

Bu log Ta m pu n g Ga ba h Ke r in g Pe t a n i

by : Antarini Vellandrie

PERUM Bulog siap menampung berapa pun gabah kering giling yang dijual petani. Syaratnya, kadar air tak lebih 14 persen dan patahan di bawah 20 persen.

Direktur Utama Perum Bulog, Mustafa Abubakar dalam acara panen uji coba sistem usaha agribisnis pangan dan energi di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, Kamis pekan lalu mengatakan, selama kadar air dan patahan memenuhi syarat, Bulog bersedia membeli berapa pun banyaknya.

"Kita harus memacu produksi gabah sebanyak-banyaknya. Peran Bulog menjamin hasil panen petani dapat dibeli dengan harga layak. Kami akan beli berapa pun jumlah gabah kering giling yang dijual petani," katanya.

Dia berharap, petani dapat menjual padi dalam keadaan kering giling hingga harganya bagus. Petani, katanya, bisa menggunakan alat pengering berbahan bakar sekam. Jika petani dapat menjual gabah kering giling, Bulog wajib membeli harga minimal Rp2.000. “Kalau perlu dapat kami beli dengan harga Rp2.600," ujarnya.

Saat ini, fenomena dunia dalam siklus 100 tahunan terakhir menunjukkan harga pangan meroket tanpa batas. "Harga pangan dunia kian tinggi. Ini menjadi sangat mengkhawatirkan. Apalagi buat Indonesia yang masih mengandalkan impor. Sebut saja jagung dan kedelai yang menembus rekor harga tertinggi," ucap Mustafa.

Indonesia harus berusaha mampu mandiri, tidak mengandalkan impor. Kenaikan harga pangan dunia saat ini bisa dimanfaatkan sebagai momentum meningkatkan produktivitas pangan dalam negeri. Karena itu, program diversifikasi pangan harus diterapkan, mengingat harga beras mencapai angka US$570 per ton.

(10)

Jurnal Nasional Selasa, 04 Maret 2008

BU M N da n Kor por a t Su m e da n g | Se n in , 0 3 M a r 2 0 0 8

Re v it a lisa si Pe r t a n ia n Em pa t BU M N D isin e r gik a n

by : Antarini Vellandrie

KEMENTERIAN Negara BUMN menyinergikan empat BUMN untuk mendukung program revitalisasi pertanian. Melalui PT Pupuk Kujang, PT Sang Hyang Seri (SHS), PT Pertani, dan Perum Jasa Tirta (PJT) II, Kementerian Negara BUMN mengembangkan konsep Badan Usaha Milik Petani (BUMP) yang memadukan manajemen koperasi dan perseroan terbatas untuk mengelola hasil pertanian, sejak mulai tanam hingga pemasaran. Untuk merevitalisasi pertanian kami membentuk lembaga komersil yang berkelanjutan (korporasi), yang merupakan gabungan antara koperasi dan perseroan bernama BUMP,” kata Deputi Menneg BUMN Bidang Usaha Agro Industri, Kehutanan, Kertas, Percetakan, dan Penerbitan, Agus Pakpahan, di Sumedang, Jawa Barat, akhir pekan lalu.

Menurut Agus, BUMP dibentuk sebagai upaya revitalisasi pertanian melalui peningkatan pendapatan petani, peningkatan produksi beras, sumber energi, bahan baku industri, penyerapan tenaga kerja baru, ketahanan pangan dan energi, serta peningkatan nilai tambah BUMN sektor agroindustri. Badan tersebut bergerak dalam ruang lingkung penyediaan agriinput, kegiatan budidaya tanaman, penanganan pascapanen, pengolahan hasil, dan pemasaran.

Dia menjelaskan konsep BUMP dikembangkan karena selama ini koperasi dinilai lemah dalam mengakses permodalan, sehingga lamban untuk berkembang. Sedangkan perseroan sebaliknya, mudah dalam mengakses modal dan bekerja sama dengan badan usaha lainnya. Sebagai salah satu usaha BUMN, perbankan diharapkan dapat masuk sebagai sumber pendanaan BUMP. “Koperasi di Indonesia berbeda dengan koperasi di Jepang atau Amerika. Koperasi kita tidak dapat mengembangkan modal dengan cepat, sehingga kita gabungkan saja dengan konsep perseroan. Dengan perpaduan ini diharapkan BUMP mampu mengakses kapital dan bekerja sama dengan unit usaha lainnya untuk mengembangkan usahanya,” kata Agus.

BUMP merupakan konsep hasil Kesepahaman Bersama empat BUMN tersebut yang ditanda tangani pada 12 Juli 2007 berdasarkan instruksi Menneg BUMN No Kep 109/M-BUMN/2005 tanggal 4 Juni 2002 tentang Sinergi Antar-BUMN.

Menurut Agus, semangat BUMP adalah semangat koperasi, karena anggota BUMP ribuan petani. Sedangkan modal dan bentuk kerja sama menggunakan semangat perseroan

Dia mengatakan, BUMP merupakan wujud kelembagaan yang diharapkan bisa menangani tiga hal yaitu inovasi teknologi dalam kaitannya untuk peningkatan produktivitas, inovasi kelembagaan untuk menekan biaya, dan mengatasi masalah-masalah pertanian yang timbul kemudian atau second generation problems.

(11)

Kompas Selasa, 04 Maret 2008

Pe t a n i Bin gu n g M e n ca r i U r e a

Ju a l Pon sk a di At a s H ET, D ist r ibu t or da n Kios Ke n a Sa n k si

Selasa, 4 Maret 2008 | 02:38 WIB

Magelang, Kompas - Petani di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, saat ini bingung mencari urea. Ketika terdesak kebutuhan, seperti saat musim tanam padi sekarang, jenis pupuk ini justru sulit dicari di tingkat pengecer.

Anwari, petani Desa Adikarto, Kecamatan Muntilan, Senin (3/3), mengatakan, dua minggu ini ia sudah beberapa kali mendatangi dua pengecer resmi di sekitar desanya, tetapi tidak pernah mendapatkan jatah urea.

”Padahal, minggu depan, saya sudah berencana untuk mulai menebar benih padi,” kata Anwari.

Pemupukan pertama menggunakan urea biasa dia lakukan setelah padi berumur seminggu.

Kondisi serupa dialami Karsindi, petani Desa Sukorini, Muntilan. Di kios pengecer dekat rumahnya, dia hanya dapat membeli lima kilogram urea.

Selain langka, sejak dua minggu lalu harga urea mulai naik. ”Jika biasanya sekitar Rp 62.000 hingga Rp 63.000 per sak, sekarang harga urea 66.000 per sak,” ujar Suparjo, petani lain.

Tanpa alasan jelas, pasokan urea di tingkat pengecer pun mulai dikurangi. Huda, pemilik kios sarana pertanian Sahabat Tani di Mungkid, menyebutkan, jatah urea yang sebelumnya diterima dari distributor 7,5 ton hingga 15 ton per minggu kini berkurang menjadi dua ton per minggu.

”Karena permintaan saat ini tinggi, jatah dua ton urea itu habis terjual dalam waktu setengah hari,” ucap Huda

Sementara itu, sehubungan dengan penjualan pupuk Ponska di Sukabumi, Jawa Barat, yang di atas harga eceran tertinggi (HET) (Kompas, Senin 3/3), PT Petrokimia Gresik memberi sanksi kepada satu distributor dan satu kios resmi di daerah itu.

Hariyono dari Biro Humas PT Petrokimia, Senin, menjelaskan, status distributor perusahaan itu dicabut, sedangkan kios yang menjual pupuk Ponska di atas HET dicabut sebagai kios resmi pupuk bersubsidi.

Pekerjaan sampingan

Di Kabupaten Bandung, Jawa Barat, sebagian petani memilih pekerjaan sampingan karena keuntungannya lebih besar ketimbang menggarap sawah. Apalagi harga penjualan gabah kering panen (GKP) tidak seimbang dengan harga beras dan kebutuhan lain.

Didi, petani di Desa Pangauban, Kecamatan Katapang, Senin, menyatakan, keuntungan pekerjaan sampingan sebagai tukang kayu lebih besar. Dalam satu hari, dia bisa mendapat bayaran Rp 60.000.

(12)

Kompas Selasa, 04 Maret 2008

(13)

Suara Pemabruan Selasa, 04 Maret 2008

H a r ga Pa n ga n , I n fla si, da n Sw a se m ba da

Oleh Viktor Siagian

Sudah hampir tiga tahun ini harga-harga kebutuhan pokok melonjak naik. Harga beras, minyak goreng misalnya sudah naik lebih dari 100 persen dibandingkan dengan tiga tahun yang lalu, harga gula, terigu naik hampir 75 persen. Tindakan pemerintah untuk menurunkan harga terlihat tidak serius. Di satu pihak untuk meningkatkan produksi pemerintah menerapkan strategi harga pangan tinggi untuk merangsang petani meningkatkan produksi.

Strategi ini memang berhasil, produksi pertanian yang memiliki harga jual tinggi hampir semuanya naik signifikan. Sebut saja padi, jagung, gula. Tapi di pihak lain strategi ini merugikan konsumen, karena daya beli masyarakat menjadi lemah, laju inflasi meningkat. Sebagian besar pendapatan masyarakat dibelanjakan untuk membiayai konsumsi bahan pangan pokok sehingga untuk bahan sekunder menjadi berkurang. Apalagi pada sebulan terakhir ini, harga bahan pangan pokok naik secara tajam, masyarakat mulai kewalahan. Sebagian sudah mengkonversi dari beras ke non beras.

Paket stablisasi harga pangan yang dikeluarkan pemerintah pada 1 Februari 2008 tidak menyentuh pokok masalah. Strategi mempertahankan harga tinggi masih tetap di pertahankan. Sebagai contoh, beras hanya diturunkan bea masuk (BM) Rp 100/kg dari Rp 550/kg menjadi Rp 450/kg, artinya harga hanya turun Rp 100/kg. Tidak ada disebutkan akan mengimpor beras sampai harga turun pada level tertentu. Pemerintah justru akan mempertahankan harga tinggi ini. Bagi masyarakat miskin yang tidak mampu membeli pangan, pemerintah menambah jatah beras untuk orang miskin (raskin) dari 10 kg menjadi 15 kg/bulan selama 10 bulan per tahun. Masyarakat kelas menengah ke atas harus membeli beras dengan harga tinggi untuk menolong petani.

Cara ini jelas salah, karena membedakan harga bahan pangan pokok berdasarkan kelas masyarakat adalah melanggar hak azasi manusia. Bukankah UU Pangan No. 7 Tahun 2006 jelas-jelas menyebutkan setiap warga negara berhak mendapatkan pangan yang terjangkau dan tersedia?

Paket Kebijakan Pangan 1 Februari menurut rumor sebelumnya akan menetapkan harga batas atas (ceiling price) untuk bahan pangan (SP 31 Januari 2008), tapi kenyataannya yang dihapus hanya BM dan pertanggungan PPN terigu Rp 1,2 triliun.

Berpihak Pada Produsen

Hanya sayang pemerintah tidak menyebutkan untuk memproduksi sendiri biji gandum sehingga mengurangi ketergantungan akan impor. Untuk kedelai pemerintah hanya menghapus BM 10 persen dan pemberian subsidi bagi pengrajin tahu dan tempe Rp 1000/kg selama 6 bulan, dan penurunan tarif PPh impor dari 2,5 persen menjadi 0,5 persen. Tidak menyebutkan secara jelas akan mengimpor sampai harga turun pada level tertentu. Jadi kecenderungannya lebih berpihak pada produsen, sedangkan konsumen diabaikan. Dengan demikian sangat pesismis bahwa harga pangan tersebut akan turun signifikan dan masyarakat harus menerima harga pangan tinggi.

(14)

Suara Pembaruan Selasa, 04 Maret 2008

Tentunya karena daya beli masyarakat yang semakin lemah menyebabkan pengangguran meningkat yang selanjutnya meningkatkan kemiskinan. Apalagi harga BBM akan naik pada bulan Mei 2008 ini, mungkin juga tarif listrik, sebagai sesuatu yang tidak dapat dihindari. Maka harga-harga barang akan ikut naik, sehingga akan menambah kemiskinan yang jumlahnya sudah 37,17 juta orang (BPS, 2007).

Bagaimana seharusnya tindakan pemerintah agar lebih bermanfaat bagi masyarakat? Tentunya mengimpor komoditi yang persediaannya sedikit di pasar, seperti beras. Untuk kedelai karena kenaikan harga disebabkan naiknya harga dunia maka pemerintah harus mencari sumber impor dari negara lain yang lebih murah, seperti Brazil, Argentina, Australia. Jika harga tersebut adalah harga keseimbangan internasional maka pemerintah dapat menetapkan harga atap atau mensubsidi harga jual kepada konsumen, misalnya Rp 5.000/kg. Harga atap adalah yang paling optimal karena produsen dan konsumen sama-sama diuntungkan. Demikian juga untuk terigu cara ini adalah yang paling rasional, bukan hanya membela importir melalui pertanggungan PPN terigu. Saat ini harga mie instan sudah naik 20 - 25 persen.

Untuk jangka menengah dan panjang, pemerintah harus berpacu untuk mencapai swasembada pangan. Seluruh pangan yang saat ini masih diimpor harus ditargetkan dalam jangka waktu tertentu untuk swasembada. Karena apa? Karena mulai saat ini sampai yang akan datang manusia akan berkompetisi memperebutkan pangan dengan kendaraan bermotor, pabrik dan industri lainnya. Hampir seluruh pangan nabati dapat diubah menjadi bio fuel, kondisi ini memang sedang berlangsung dengan trend yang meningkat tajam. Berarti diprediksi harga pangan akan meningkat terus, kecuali harga BBM berbasis fosil dapat turun ke harga US$ 50/barrel. Tapi dari pernyataan empat negara anggota OPEC yang akan membatasi produksi minyak bumi sehingga harga tidak mencapai level di bawah US$ 80/barel.

Situasi ini dapat menjadi peluang bagi pemerintah untuk mendorong petani padi, kedelai, terigu, tebu agar lebih giat menanam komoditi tersebut. Dukungan teknologi seperti penggunaan benih unggul dan bersertifikat, teknologi budidaya, pupuk, herbisida dan pestisida yang murah dan jaminan harga sangat diperlukan.

Lahan Kering

(15)

Suara Pembaruan Selasa, 04 Maret 2008

Hal yang sama juga berlaku pada tanaman gandum yang disebagian wilayah Indonesia masih cocok untuk dibudidayakan, yakni daerah dengan topografi lebih dari 800 m di atas permukaan laut (dpl). Terdapat 2 juta ha lahan yang sesuai dan tersedia untuk tanaman ini (Hafsah Jafar, 2002). Karena gandum merupakan tanaman baru maka peranan pemerintah sebagai penjamin harga, penampung produksi, dan penyedia teknologi budidaya sangat diperlukan. Tanpa itu kita tidak akan dapat berswasembada gandum. Saat ini Indonesia merupakan negara pengimpor gandum keenam terbesar di dunia dengan total impor 3,9 juta ton. Dengan harga US$ 500/ton, nilai impor gandum ditaksir sebesar US$ 1,95 miliar dolar. Setidaknya kita harus bisa mengurangi jumlah impor ini.

Di atas semua itu kita jangan lupa bahwa kita memiliki sumber pangan lain yang cukup tersedia seperti sagu, ubi kayu, ubi jalar, talas, yang bisa kita tingkatkan konsumsinya melalui pengolahan pangan lokal. Penganan seperti getuk, tiwul, ubi jalar goreng atau ubi rebus, ongol-ongol dari sagu perlu digalakkan melalui sosialisasi sehingga dapat mengurangi konsumsi beras.

(16)

Suara Pembaruan Selasa, 04 Maret 2008

Pa n e n Ra y a , H a r ga Ga ba h An j lok

[JAKARTA] Memasuki masa panen raya Maret ini, harga gabah di sejumlah daerah, mulai anjlok. Di Bogor dan Sukabumi misalnya, harga gabah di tingkat petani anjlok menjadi sekitar Rp 1.800/kg, padahal sebelumnya harganya mencapai Rp 2.300/kg.

Para petani pun berharap, pemerintah segera merevisi harga pokok pembelian gabah agar harga gabah tidak terus anjlok. "Dibandingkan harga gabah pada saat panen tahun lalu pun, harga gabah saat ini lebih. Tahun lalu, harga gabah masih Rp 2.000 per kg. Padahal panen raya baru mau dimulai. Kami khawatir, saat panen raya serentak di berbagai daerah harganya lebih jatuh lagi," kata Husna, seorang petani di Sukamakmur, Kabupaten Bogor.

Harga jual gabah, yang hanya Rp 1.800 per kg ini sangat merugikannya. Pasalnya, harga pupuk tahun ini lebih mahal dibandingkan tahun lalu.

Selain itu, ongkos produksi juga semakin berat dengan naiknya harga obat-obatan. Ditambah lagi naiknya upah bagi buruh tani.

Menurut Husna, petani baru untung ketika harga gabah kering panen Rp 2.200 per kg.

Kondisi yang sama terjadi di Kota maupun di Kabupaten Sukabumi. Wawat, petani yang memiliki lahan di Kampung Lio, Kecamatan Citamiang, Kota Sukabumi menuturukan, harga gabah basah saat ini mencapai Rp 1.800/kg, padahal sebelumnya harga gabah basah masih cukup tinggi, yakni Rp 2.400/kg.

Turunnya harga gabah disebakan kadar air dalam gabah cukup tinggi dan rendaman yang rendah, sehingga kualitas gabah menjadi berkurang. "Para tengkulak tidak mau membeli bila harga gabah dijual Rp 2.000/kg, sehingga kami mau tidak mau menjualnya," katanya. Dia mengaku rugi dengan turunnya harga gabah.

Hal itu dibenarkan salah seorang tengkulak di Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Bogor, Tolib (42). Ia mengaku tidak bisa membeli harga gabah dari tingkat petani di atas Rp 1.800/kg, pasalnya kualitas gabah di tingkat petani saat ini jelek, karena kadar air dalam gabah cukup tinggi.

"Jika kadar air dalam gabah semakin tinggi, harga gabah semakin turun. Kami juga kesulitan mengeringkan gabah di tempat penggilingan dengan cuaca hujan saat ini," katanya.

Dia menambahkan, pihaknya menggunakan pengering untuk mengeringkan gabah yang basah. Menurut dia, pengering yang dimiliki para penggiling padi sangat terbatas, sehingga bila kadar air dalam gabah sangat tinggi maka akan sulit sekali mengeringkannya.

Sesuaikan Harga

Sementara itu, sejumlah organisasi tani mendesak pemerintah menyesuaikan harga patokan pembelian (HPP) pemerintah untuk gabah kering panen sekitar 30 persen menjadi Rp 2.600/kg dari harga patokan saat ini Rp 2.000/kg, demi meningkatkan margin keuntungan petani.

Ketua Wahana Masyarakat Tani dan Nelayan Indonesia (Wamti), Agusdin Pulungan menilai, penyesuaian itu mendesak dilakukan karena naiknya biaya produksi, sehingga mengurangi pendapatan petani Rp 310.208 per bulan setiap musim tanam, yang berlangsung setiap empat bulan.

(17)

Suara Pembaruan Selasa, 04 Maret 2008

Dia menyebutkan, dengan HPP GKP Rp 2.600/kg, petani akan mendapatkan pendapatan ekstra untuk mencukupi kebutuhan hidup yang tinggi akibat kenaikan bahan pangan rata-rata 17 persen. Dengan menaikkan HPP GKP menjadi Rp 2.600/kg, pendapatan hasil usaha yang diperoleh petani padi setiap lahan seluas 0,3 ha bisa bertambah menjadi Rp 109.483 per bulan setiap musim tanam.

Menjawab desakan tersebut, Menteri Anton Apriyantono menilai harga patokan pembelian (HPP) gabah oleh pemerintah yang ditetapkan dalam Inpres No 3/2007 tentang Perberasan dinilai masih layak, karena itu pemerintah belum akan mengubah kebijakan itu.

"Boleh-boleh saja HPP gabah petani dinaikkan. Tetapi perlu dikaji ulang, karena hal itu menyangkut kemampuan daya beli masyarakat. Apalagi 75 persen pendapatan rakyat miskin untuk membeli beras," ujar Mentan Anton Apriyantono.

(18)

Kompas Rabu, 05 Maret 2008

Libe r a lisa si Ta n a m a n Pa n ga n

Te k n ik Bu dida y a Pe t a n i Ke cil D idor on g k e " Cor por a t e

Fa r m in g"

Jakarta, Kompas - Departemen Pertanian tengah menyusun kerangka kebijakan untuk mendorong investasi seluas-luasnya pada subsektor tanaman pangan, yang selama ini menjadi basis usaha petani kecil. Selain mendongkrak produksi, juga memanfaatkan momentum gejolak pangan dunia agar bisa menjadi eksportir.

Direktur Jenderal Tanaman Pangan Departemen Pertanian Sutarto Alimoeso, Selasa (4/2) di Jakarta, mengungkapkan, peningkatan permintaan komoditas pangan dunia harus bisa dimanfaatkan sebaik-baiknya.

”Produksi tanaman pangan seperti beras, jagung, dan kedelai harus ditingkatkan. Tidak cuma itu, tingginya harga komoditas pangan dunia juga bisa dijadikan peluang ekspor,” katanya.

Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Djoko Said Damardjati menjelaskan, selama ini ada pembatasan investasi untuk subsektor tanaman pangan. Itu karena subsektor tersebut menjadi tumpuan hidup petani kecil dengan kepemilikan lahan kurang dari 3.000 meter persegi, setidaknya di Pulau Jawa. ”Untuk menghindari ’benturan’, saat ini pemerintah tengah menata ulang pemanfaatan hak guna usaha (HGU) tanaman pangan,” katanya.

”Kalau saya memahami subsektor tanaman pangan untuk skala kecil masuk dalam daftar negatif investasi, karena itu seakan-akan tidak ada penerbitan HGU untuk tanaman pangan,” katanya.

Dalam Lampiran II Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2007 disebutkan komoditas tanaman pangan masuk dalam kategori bidang usaha dengan kepemilikan asing dibatasi. Budidaya padi, jagung, ubi kayu, dan jenis tanaman pangan lain dengan luas lebih dari 25.000 hektar kepemilikan asing maksimal 95 persen.

Menurut Djoko, meskipun ada peluang investasi di komoditas tanaman pangan dibuka waktu itu, belum banyak investor yang tertarik. Baru setelah terjadi lonjakan harga pangan dunia berbasis biji-bijian, banyak investor yang mulai tertarik membudidayakan padi, jagung, kedelai, dan ubi kayu.

Redefinisi

Djoko menjelaskan, saat ini Deptan tengah menata ulang sekaligus meredefinisi pemanfaatan HGU. ”Kalau sebelumnya pemberian HGU berbasis komoditas, ke depan akan diselaraskan dan berbasis pada sistem budidaya,” katanya.

Misalnya saja untuk komoditas padi, jagung, dan kedelai. Investor nasional maupun asing boleh masuk asal mereka membudidayakan tanaman pangan itu dengan luas minimal 5.000 hektar.

Dengan begitu, budidaya padi, jagung, dan kedelai untuk lahan lebih dari 5.000 hektar tidak masuk dalam kategori tanaman pangan, tetapi masuk dalam subsektor perkebunan. ”Tetapi formulanya yang tepat sedang kami bahas dan dikaji ulang, selanjutnya akan diusulkan dalam peraturan presiden,” katanya.

(19)

Kompas Rabu, 05 Maret 2008

(20)

Pikiran Rakyat Rabu, 05 Maret 2008

Ca da n ga n Pa n ga n RI Kr it is

Ba n k D u n ia , " Bisa Ja di M a sa la h Se r iu s"

JAKARTA, (PR).-

Bank Dunia memperingatkan bahwa cadangan pangan Indonesia berada dalam titik terendah sehingga bisa menjadi masalah serius jika tidak diatasi sejak awal. "Cadangan pangan berada di titik terendah itu terjadi di seluruh dunia, saya sudah bilang pada Juni 2007 lalu, itu menjadi peringatan untuk kita," ujar Deputi Menko Perekonomian Bayu Krisnamurthi di Jakarta, Selasa (4/3).

Ia menyebutkan, cadangan pangan dunia turun hampir separuh yang kemudian menyebabkan kenaikan harga pangan pada saat ini. Menurut dia, kenaikan harga pangan dunia juga diperparah dengan kondisi pasar keuangan dunia (pasar uang dan pasar modal) yang tidak terlalu menggembirakan karena suku bunga global (khususnya) di AS yang sangat rendah.

Dengan kondisi seperti itu, saat ini banyak sekali investor yang beralih ke pasar komoditas sehingga yang banyak bergerak adalah paper market (bursa berjangka) dari komoditas.

"Ini menurut saya adalah situasi baru yang terjadi dalam 20 tahun terakhir. Ini saya kira harus direspons seluruh pengambil kebijakan di dunia termasuk Indonesia. Kita belum memutuskan apa yang akan kita lakukan untuk meredam dampak negatif dari fluktuasi yang diakibatkan oleh spekulasi dan bergeraknya bursa berjangka dari komoditas. Ini yang sedang kita cari bersama-sama," katanya.

Menurut dia, dalam waktu tidak terlalu lama jika harga minyak kelapa sawit (CPO) dan kedelai terus naik maka konsumennya tidak akan kuat membeli. "Ini yang jadi problem bagi semua dan saya kira ini akan direspons oleh semua," katanya.

Sementara itu, Ketua Litbang Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Jabar Prof. H. Maman Haeruman mengatakan bahwa penilaian dari Bank Dunia itu perlu diperhatikan. Ini setidaknya bagi daerah Jabar, di mana langkah pemerintah daerah untuk mengoptimalkan potensi ketahanan pangan terindikasi belum jelas dari waktu ke waktu.

Jalan pintas

Ia mencontohkan, selama ini Pemprov Jabar terkesan belum seimbang dalam menyosialisasikan ketahanan pangan karena masih terfokus kepada produksi beras. Padahal, sumber pangan diketahui ada pula dari jagung, kedelai, dan sejumlah jenis tanaman palawija lainnya.

"Kondisi demikian diperparah dengan sikap pemerintah pusat yang cenderung masih memilih jalan pintas untuk memenuhi kebutuhan pangan. Akibatnya, ketergantungan pangan dari produk impor masih besar, terutama beras, jagung, dan kedelai," ujar Maman.

Di lain pihak, katanya, adalah alih fungsi lahan yang sangat tinggi terjadi sehingga areal pertanian dan sumber cadangan air cepat menyusut setiap tahun. Ini menunjukkan adanya indikasi minimnya koordinasi antarlembaga terkait, antara bidang pertanian, permukiman, industri dan perdagangan, dll.

(21)

Pikiran Rakyat Rabu, 05 Maret 2008

(22)

Republika Rabu, 05 Maret 2008

Be la j a r Ke t a h a n a n Pa n ga n da r i Cir e n de u

Leuwigajah tak hanya menyimpan cerita tragis soal longsornya gunungan sampah pada 21 Februari 2005. Cirendeu, salah satu desa di dekat TPA Leuwigajah, yang selamat dari tragedi itu, punya cerita memikat tentang ketahanan pangan.

Jauh sebelum Peraturan Pemerintah (PP) No 68/2002 tentang Ketahanan Pangan disahkan, ketahanan pangan sudah menjadi tradisi di desa yang terletak di Cimahi, Jawa Barat, ini. Saat Orde Baru pada 1995 mencapai swasembada beras dan kemudian menyeragamkan makanan pokok, orang Cirendeu cuek saja.

Mereka tetap setia pada singkong, yang diolah sedemikian rupa sehingga saat dihidangkan di atas meja makan, nyaris tak ada bedanya dengan nasi dari beras. Makanan khas tersebut bernama rasi. Rasi merupakan akronim dari beras singkong.

Mulanya, warga Cirendeu mengonsumsi beras, seperti daerah-daerah lainnya di Indonesia. Tapi, sejak 1924, mereka beralih ke singkong. Bukan karena tak bisa menanam padi atau tak punya uang, mereka --berangkat dari kearifan lokal mencoba hidup lebih realistis. ''Para pendahulu kami tahu bahwa di masa depan manusia akan semakin banyak, sedangkan lahan untuk sawah akan semakin sedikit,'' ujar Ketua Forum Cirendeu Pojok, Asep Abbas, pekan lalu.

Kesadaran tersebut, kata Asep, semakin menguat menyusul terjadinya kelaparan di desa itu. Saat itu, tutur Asep, Belanda yang menguasai wilayah Jawa Barat, merampas hasil bumi termasuk beras di desa yang dihuni 60 kepala keluarga (KK) itu. Bingung melihat persoalan itu, sesepuh Cirendeu, Haji Nur Ali, kemudian bertanya kepada seorang tokoh bernama Pangeran Madrais. Petunjuknya ternyata sederhana, kalau tak adanya beras membuat masyarakat di sana kelaparan, ya berhenti mengonsumsi beras.

Pesan sederhana yang diperoleh dengan cara berguru itu, kemudian disampaikan Haji Nur Ali kepada warga Cirendeu. Sebagai gantinya, masyarakat diminta mengonsumsi singkong. ''Mulanya masyarakat tak biasa. Bingung,'' kata tokoh masyarakat Cirendeu, Emen Sunarya. Tapi, kelapangan hati untuk mematuhi pesan sesepuh, membuat masyarakat Cirendeu mengonsumsi umbi bernama latin Manihot utilisima itu. Bila mulanya mereka hanya merebus, belakangan mereka menemukan keterampilan untuk membuat singkong tampil mirip nasi.

Rasi dibuat dengan cara memarut singkong. Parutan diperas, kemudian airnya mereka diamkan semalam. Selanjutnya aci-nya dipisahkan untuk dijual lagi sebagai kanji dan gaplek. Ampasnya yang masih menyisakan sedikit sari singkonglah yang dijadikan rasi. Setelah ampas itu dikeringkan, kemudian ditumbuk sampai halus. Dalam kondisi seperti ini, rasi bisa disimpan sampai tiga tahun. Saat hendak dihidangkan, tinggal dicampur air dingin sehingga membentuk gumpalan-gumpalan mirip butiran beras, lalu dikukus 10 menit.

Tapi, bergizikah rasi yang sudah dikeluarkan sari patinya itu? Laboratorium Institut Teknologi Pangan Institut Pertanian Bogor telah menelitinya. Hasilnya, setiap 100 gram rasi, ada energi 359 kkal, protein 1,4 gram, lemak 0,9 gram, dan karbohidrat 86,5 gram.

(23)

Republika Rabu, 05 Maret 2008

Data di atas memperlihatkan betapa kandungan gizi rasi tak inferior dibanding beras dan terigu yang diimpor jauh-jauh dari Amerika. Bukti bahwa rasi bergizi, bisa dilihat nyata di sana. Tak ada gizi buruk, tak perlu mengedrop beras miskin (raskin). ''Saya pernah ke Cirendeu, tak ada yang kekurangan gizi. Indikasinya gampang. Anak-anak usia lima tahun matanya bening-bening. Usia mereka juga panjang-panjang,'' kata Kepala Badan Ketahanan Pangan Departemen Pertanian, Kaman Nainggolan (Republika, 21/10/2007).

Mengonsumsi rasi, menurut Emen Sunarya, juga membuat hemat. Saat ini, harga satu kilogram rasi hanya Rp 3.000. Beras telah mencapai Rp 5.000 per kilogram. Lebih hemat lagi, karena mengonsumsi rasi tak perlu sebanyak nasi. ''Sedikit juga sudah bikin kenyang,'' kata Emen. Emen mengatakan, kekuatan tubuh orang yang mengonsumsi nasi tak perlu diragukan. ''Orang Cirendeu dengan berat 50 kilogram dapat memikul beban satu kuintal,'' ujar pria berusia 71 tahun itu, bangga.

Rokhayah (46 tahun), istri ketua RW 10 Cirendeu, mengatakan masyarakat Cirendeu yang mengonsumsi rasi juga tak ada yang terkena penyakit berat. ''Makanya orang sini banyak yang umurnya panjang,'' kata wanita yang sejak masih bayi mengaku sering diberi makan bubur singkong itu.

Memakan singkong tak hanya dilakukan warga Cirendeu. Warga sekitar pun ikut mencontohnya. Di setiap acara kumpul-kumpul antarwarga desa, ada dua jenis nasi yang selalu terhidang di atas meja, yaitu nasi dari beras dan rasi made in Cirendeu. Kalau rasi bergizi, dan bahan bakunya mudah didapat, mengapa harus selalu bergantung pada beras? mj01

(24)

Suara Pembaruan Rabu, 05 Maret 2008

Lin du n gi Ke pe n t in ga n Pe t a n i

Harga bahan pangan memang sangat dilematis. Pada saat harga beras naik, konsumen yang masih memiliki penghasilan kecil menjerit. Biaya hidup keluarga bertambah sedangkan penghasilan tetap. Yang diuntungkan dengan kenaikan harga tersebut adalah petani sebagai produsen karena harga produk yang dihasilkan naik.

Di sisi lain, pada saat panen raya, harga gabah anjlok. Maka petani yang menjerit karena harga yang diterima tidak seimbang dengan biaya produksi yang harus dikeluarkan. Harga gabah turun berarti harga beras juga seharusnya turun. Maka yang diuntungkan adalah konsumen.

Dengan demikian, sebenarnya petani bisa menabung saat harga beras naik tinggi dan tabungan itu bisa dipakai pada saat harga gabah anjlok. Sedangkan konsumen harus membeli beras agak mahal saat harga beras naik, tetapi dia juga bisa sedikit lega pada saat harga beras turun karena panen raya. Namun, kenyataan yang terjadi tidaklah demikian. Harga beras yang meningkat belum tentu dinikmati oleh petani. Demikian pula pada saat harga gabah anjlok, belum tentu konsumen menikmati penurunan harga beras. Bahkan, kalaupun turun, sangat sedikit.

Keanehan lain yang kita lihat dalam persoalan harga gabah adalah kerugian yang harus ditanggung oleh para petani. Coba kita perhatikan. Saat panen raya seperti sekarang ini harga gabah di tingkat petani turun 20 persen, dari Rp 2.300/kg menjadi sekitar Rp 1.800/kg. Walaupun harga turun, petani tetap menjual gabah tersebut dan tidak menyimpannya hingga harga membaik. Alasannya, mereka tidak punya tempat untuk menyimpan gabah dan terdesak oleh kebutuhan keluarga. Memang sebagian petani menyimpan gabah dan mengolahnya menjadi beras, untuk dikonsumsi sendiri. Tetapi itu akan habis dalam waktu singkat.

Nah, pada saat keluarga petani ini sudah kehabisan beras hasil sawahnya, mereka harus membeli beras dari pedagang beras. Jangan heran bila mereka harus membeli beras yang harganya sudah di atas Rp 4.500/kg. Jika kita hitung, gabah 10 kg jika diolah akan menjadi 6,5 kg beras. Berarti, bila petani menjual 10 kg gabah seharga Rp 18.000, maka dia akan membeli kembali gabah itu dalam bentuk beras sebanyak 6,5 kg seharga Rp 29.250. Jadi, dia harus kehilangan Rp 11.250. Kerugian ini merupakan keuntungan para pedagang setelah dikurangi biaya distribusi.

Kerugian petani akan semakin bertambah bila beras impor dengan harga yang lebih rendah masuk ke pasar tradisional. Karena pedagang akan menghargai gabah petani dengan lebih rendah lagi. Yang menjadi persoalan, kekuatan petani sangat lemah untuk menyuarakan kepentingannya. Hanya pada saat menjelang pemilu saja jeritan mereka digunakan untuk kampanye. Tetapi pada saat orang yang dipilihnya sudah duduk di kursi DPR/DPRD atau di pemerintahan, nasib mereka tetap terabaikan.

(25)

Jurnal Nasional Kamis, 06 MAret 2008

En a m La n gk a h Ca pa i Ke t a h a n a n Pa n ga n ( 2 )

by : Sapariah

KRISIS pangan yang terjadi di Indonesia, seperti awal tahun ini menunjukkan pasar bebas tidak berlaku bagi keselamatan umat manusia terutama masalah pangan. Sejak perdagangan bebas dipromosikan World Trade Organization (WTO), angka kelaparan di dunia makin meningkat. Dari 800 juta jiwa tahun 1996, naik menjadi 853 juta jiwa tahun lalu.

Ketua Umum SPI, Henry Saragih mengatakan, Serikat Petani Indonesia (SPI) dan International La Via Campesina dengan tegas menyatakan WTO keluar dari pertanian, dari 1996 hingga kini. Dalam jangka panjang, katanya, petani menuntut dilaksanakan pembaruan agraria dalam kebijakan agraria dan pertanian.

Untuk jangka pendek dan menengah, masalah krisis pangan sebenarnya terkait dengan tiga hal, yakni produksi pangan, luasan lahan, dan tata niaga. Dengan memerhatikan ketiga hal ini, ucap Saragih, petani menuntut solusi jangka pendek kepada pemerintah.

Pertama, mematok harga dasar pangan yang menguntungkan petani dan konsumen. “Harga tak boleh tergantung internasional karena tak berkorelasi langsung dengan ongkos produksi dan keuntungan. Harga harus sesuai ongkos produksi dan keuntungan petani serta kemampuan konsumen,” katanya.

(26)

Jurnal Nasional Kamis, 06 Maret 2008

H PP Ga ba h Te t a p

by : Yogyo Susaptoyono

PEMERINTAH tak akan mengubah harga pokok pembelian (HPP) gabah kering giling (GKG) yang ditetapkan Rp2.000 per kilogram(kg) karena dinilai sudah ideal. Jika HPP gabah dinaikkan khawatir memicu kenaikan harga beras di pasaran.

Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Ardiansyah Parman, mengatakan, tahun ini pemerintah mempertahankan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) gabah dan beras dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 13/2007 karena dinilai sudah ideal bagi petani. Selain itu, kenaikan HPP akan mendorong naiknya harga beras yang bisa memberatkan konsumen.

Dalam Inpres itu disebutkan harga GKP (gabah kering panen) Rp2.000 per kg, GKG (gabah kering giling) Rp2.575 per kg, dan beras Rp4.000 kg. "HPP hanya patokan bagi Bulog membeli beras atau gabah petani ketika harga di lapangan anjlok. Namun, bukan berarti petani harus menjual beras mengikuti HPP," katanya belum lama ini.

Ardiansyah mengatakan, harga di tingkat petani sudah bagus. Kemungkinan, harga beras kurang bagus bagi orang miskin. Untuk itulah, ada program beras miskin (raskin) yang jatahnya diperbesar dari 10 kg menjadi 15 kg per rumah tangga miskin (RTM).

Kalangan petani meminta pemerintah menaikkan harga pembelian pemerintah (HPP) gabah, karena meskipun terjadi kenaikan harga beras di pasaran namun mereka tidak bisa menikmati keuntungan, sedang beban hidup makin besar.

Ketua Wahana Masyarakat Tani dan Nelayan Indonesia, Agusdin Pulungan, menilai, harga pembelian pemerintah (HPP) gabah kering panen (GKP) yang saat ini ditetapkan Rp2.000 per kilogram (kg) sudah tidak sesuai biaya produksi, hingga perlu dinaikkan menjadi Rp2.600 per kg. "Petani kita rata-rata hanya memiliki lahan di bawah satu hektare (ha). Bahkan, kalau di Jawa rata-rata 0,25 ha sampai 0,3 ha mereka akan rugi jika hasil panen mereka tidak dihargai lebih," katanya.

Menurut Agusdin, kenaikan biaya usaha tani seperti pupuk, tenaga kerja, obat-obatan, sewa lahan maupun biaya hidup rumah tangga petani saat ini, membutuhkan penyesuaian HPP.

Menteri Pertanian Anton Apriyantono juga menegaskan, HPP gabah yang ditetapkan dalam Instruksi Presiden (Inpres) No 3 Tahun 2007 masih layak diterapkan. Artinya, pemerintah sampai saat ini belum berencana mengubah Instruksi Presiden itu.

Anton menilai, usulan menaikkan HPP gabah petani, tak ada masalah. Namun, tetapi perlu dikaji ulang karena menyangkut kemampuan daya beli masyarakat. "Daya beli masyarakat masih rendah, HPP yang ada dimaksudkan agar masyarakat mendapatkan komoditas pangan dengan harga terjangkau.”

(27)

Kompas Kamis, 06 Maret 2008

Pe m ba n gu n a n

I n v olu si Pe t a n i Pa di di " Ta n a h Se br a n g"

ANDREAS MARYOTO

Tesis antropolog Clifford Geertz yang menyatakan terjadinya kemerosotan petani sepertinya tidak hanya terjadi di Pulau Jawa. Perubahan-perubahan sosial ekonomi dan juga lingkungan telah mengakibatkan petani padi di ”Tanah Sebrang”, istilah luar Jawa yang dipakai peneliti sosial Patrice Levang, pun sepertinya memiliki kondisi yang sama. Involusi petani padi tengah terjadi di sawah-sawah di luar Jawa.

Sutrisno warga Desa Medangara, Kecamatan Karangbaru, Kabupaten Aceh Tamiang, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, pelan-pelan menarik karung berisi padi yang baru saja dipanen. Ia mengumpulkan ikatan-ikatan padi yang baru saja dipanen. Ia tampak lesu. Wajahnya tak bersemangat ketika diajak berbincang.

”Panen kali ini tak banyak. Air kurang,” katanya, didampingi istrinya. Ia yang biasanya bisa memanen hingga 35 kaleng (satu kaleng sekitar 12 kilogram) dari dua petak tanah kini hanya mendapat sekitar 25 kaleng. Hujan sudah tidak turun lagi sejak awal Januari lalu. Akibatnya, padi tumbuh tidak normal hingga panen jauh dari harapan. Batang padi tidak menguning, tetapi berwarna coklat.

Sutrisno, anak seorang petani asal Kabupaten Nganjuk yang ikut program kolonisasi tahun 1926, mengaku semula bisa menghidupi keluarga dari bertani. Namun, sejak sembilan tahun lalu ia harus membanting tulang mencari pekerjaan lain sebagai pengemudi becak motor. Hasil panen tidak lagi bisa digunakan untuk menghidupi istri dan ketiga anaknya.

”Dari becak sehari mendapat Rp 30.000. Uang ini tak cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Untuk biaya kendaraan anak-anak ke sekolah Rp 10.000. Belum lagi untuk beli minyak (maksudnya bensin). Sisanya untuk jajan anak-anak. Habis,” katanya.

Untuk kebutuhan beras, ia memilih hasil panen disimpan dan digunakan untuk keperluan sehari-hari. Beberapa tahun lalu ia bisa mencukupi kebutuhan pangan ini hingga panen berikutnya. Kali ini ia sudah menghitung panen tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan hingga musim berikutnya. Ia tertegun saat ditanya bagaimana jika kelak beras simpanan habis.

Ia mengaku beban hidup makin bertambah karena dua anaknya makin besar dan kini sekolah di SMP. Satu anaknya tak melanjutkan sekolah setelah lulus SMP. Anaknya nomor satu ini memilih kerja di bengkel. Ia kembali bingung mengenai nasib kedua anaknya kelak setelah lulus SMP.

Jauh dari harapan

Nurhayati, petani lainnya di Desa Leubok Punti, Kecamatan Aceh Tamiang, juga menuturkan hal yang sama. Panen dari lahan sekitar tujuh rante (satu rante sekitar 400 meter persegi) kali ini jauh dari harapan. Satu rante yang biasanya menghasilkan 14 kaleng kali ini paling banyak menghasilkan 10 kaleng. Air menjadi penyebab. Belakangan panen yang tidak bagus sering terjadi.

(28)

Kompas Kamis, 06 Maret 2008

Tahar, petani Desa Kolam Gebang, Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara, tidak jauh beda. Ia yang memiliki sawah 12 rante mengatakan, panen kali ini tidak bagus. Ia yakin hasil panen kali ini hanya bisa digunakan paling lama enam bulan.

”Ya, belilah, tak ada lagi,” kata Tahar mengungkapkan tak ada jalan lain selain membeli beras bila kelak simpanan beras habis. Ia mengaku menanam pisang dan tanaman lain untuk mencukupi kebutuhan setelah simpanan beras habis.

Persoalan petani di luar Jawa makin menampakkan masalah yang sangat rumit yang tidak beda dengan petani di Jawa. Kebijakan pemerintah yang tidak memberi insentif kepada usaha tani juga menjadi penyebab. Subsidi yang tidak sampai ke tangan petani dan juga kebijakan impor beras.

Sedikit saja harga beras naik, pemerintah selalu mengendalikan hingga petani selalu tertekan pada harga yang tidak pernah menguntungkan mereka. Tidak mengherankan jika petani lari dari sawah. Anak Sutrisno memilih bekerja di bengkel, bukan meneruskan usaha tani bapaknya karena usaha tani padi memang tidak menarik.

Akibatnya, lahan petani yang dulu luas pun kini menjadi sempit. Peralihan fungsi lahan mudah didapat di jalan-jalaan di Kabupaten Aceh Tamiang dan Kabupaten Langkat yang termasuk sentra beras di wilayah itu. Areal sawah sudah berdampingan dengan permukiman warga. Mudah dibayangkan, setelah Sutrisno dan petani lain tanah akan terbagi ke anak cucu mereka hingga habis.

Masalah makin bertambah. Iklim makin tidak bersahabat. Di Desa Leubok Punti terdapat saluran irigasi yang kering kerontang. Musim hujan yang tidak menentu sebagai akibat perubahan ikim global telah dirasakan petani sehingga tanaman mereka tak bisa tumbuh normal, seperti yang dialami saat ini.

Fenomena

Guru Besar Ekonomi Pertanian Universitas Lampung Prof Bustanul Arifin mengatakan, fenomena seperti itu terjadi juga di Lampung. Pertanian kecil yang dikelola rakyat di luar Jawa makin subsisten. ”Proses pemiskinan tengah terjadi. Kalau dibiarkan, memang cenderung involutif,” katanya. Kecenderungan yang mengarah ke kemerosotan usaha tani padi.

Citra petani padi dengan berbagai kesengsaraan, yang semula hanya diramalkan terjadi di Pulau Jawa, kini mendekati kenyataan di luar Jawa.

(29)

Kompas Kamis, 06 Maret 2008

Libe r a lisa si Ta n a m a n Pa n ga n Ja n ga n Kor ba n k a n

Pe t a n i

Cirebon, Kompas - Rencana pemerintah meliberalisasi sub-sektor tanaman pangan jangan sampai mengorbankan petani kecil. Apalagi jika liberalisasi itu hanya memunculkan kartel- kartel di bidang pangan.

Berdasarkan pengamatan Kompas di sentra-sentra produksi tanaman pangan seperti di Subang, Karawang, Indramayu, dan Cirebon, Rabu (5/3), sebagian besar warga di sentra produksi pangan nasional itu sekarang tak memiliki lahan lagi.

Mereka hanya menjadi petani penggarap, atau buruh tani. Keuntungan sebagai petani penggarap kecil, karena hasil panen harus dipotong untuk biaya produksi, termasuk biaya sewa lahan yang terus naik.

Tangin (52), warga Jimpret, Widasari, Kabupaten Indramayu, mengungkapkan, biaya sewa lahan sawah per bahu di daerahnya 25 kuintal gabah kering giling (GKG). Dengan asumsi harga GKG Rp 2.000 per kilogram saja, biaya sewa sawah 25 kuintal ekuivalen dengan Rp 5 juta.

Belum lagi biaya pengolahan lahan Rp 300.000 per bahu, biaya buruh tani Rp 300.000, dan biaya pembelian pupuk dan obat-obatan sekitar Rp 500.000. Pengeluaran sebesar itu belum menghitung biaya pembelian benih dan panen. ”Pendapatan kami per hektar tak lebih dari Rp 800.000 per bulan,” katanya.

Petani lain di Cirebon, Subang, dan Karawang juga menyatakan hal yang sama. Mereka mengatakan, kalau petani kecil dan petani penggarap harus bersaing dengan investor besar pasti kalah.

Berdasarkan data survei sosial ekonomi nasional tahun 1993, jumlah petani gurem dengan kepemilikan lahan kurang dari 0,34 hektar sebanyak 10,8 juta rumah tangga petani.

Sepuluh tahun kemudian jumlah petani gurem naik lagi menjadi 13,7 juta rumah tangga petani. Sejak tahun 2003, biaya hidup makin berat.

Harga kebutuhan pokok meningkat akibat dampak kenaikan harga minyak mentah dunia. Hal itu menyebabkan banyak petani gurem kehilangan lahan dan menjadi petani penggarap, sementara jumlah petani gurem makin besar.

Dirjen Tanaman Pangan Departemen Pertanian Sutarto Alimoeso mengatakan, fokus pengembangan budidaya pertanian dengan sistem farming yang mengandalkan investor akan dilakukan di luar Pulau Jawa.

(30)

Pikiran Rakyat Kamis, 06 Maret 2008

Pr odu k si Ga ba h M e r osot 1 8 %

M a sa Ta n a m Pa sca pa n e n Te r a n ca m H a m a

BANDUNG, (PR).-

Penurunan produksi sampai 18% per hektare mewarnai awal musim panen tahun 2008 pada sejumlah wilayah di pantura Jabar akibat kondisi kekeringan daun yang terjadi di sejumlah areal produksi. Kondisi itu membuat harga gabah tetap tinggi. Saat ini harga gabah kering pungut (GKP) masih sekitar Rp 2.500,00/kg dibandingkan dengan harga pemerintah Rp 2.000,00/kg.

Ketua Unit Pelayanan Jasa Alsintan (UPJA) Jabar, Sumardjo, di Bandung, Rabu (5/3) mengatakan, kondisi tersebut disebabkan ketidakseimbangan cara dan waktu pemupukan oleh petani. Ini dilakukan pada situasi cuaca setempat, pada awal penanaman yang saat itu tidak normal.

"Di tengah situasi hujan deras yang diselingi cuaca terik pada awal penanaman, para petani menggenjot penggunaan pupuk urea sehingga tanaman kelebihan unsur nitrogen. Apalagi, banyaknya petani yang memupuk secara tidak tepat waktu dan dosis, sehingga menurunkan kualitas dan produktivitas tanaman sampai 18 persen per hektare," kata Sumardjo, yang juga menjadi Ketua Kontak Tani dan Nelayan Andalan (KTNA) Indramayu.

Soal harga GKP, menurut Sumardjo, harga tersebut sebenarnya sudah menurun dari semula Rp 2.800,00/kg. Ini disebabkan pula, banyak petani yang sabar menjual gabahnya sampai mencapai kekeringan yang ditetapkan penggilingan. "Sehingga, harga yang dijual petani bisa diterima dengan harga relatif tinggi," ujarnya.

Tetapi, lanjutnya, harga gabah itu akan terus menurun sejalan dengan musim panen raya yang mulai terjadi pada dua pekan mendatang. Namun, diduga jika harganya mengacu kepada harga sekarang dengan selisih masa panen, harganya masih akan di atas patokan pemerintah Rp 2.000,00/kg.

Disebutkan pula, masa panen raya mendatang diperkirakan akan berlangsung pada situasi cuaca sedang di pantura sehingga memungkinkan para petani memperoleh kualitas gabah yang baik. Namun, diperkirakan pula akan banyak petani langsung mengolah kembali lahannya, memanfaatkan musim hujan yang masih ada.

Serangan hama

Masa istirahat lahan yang diperkirakan kali ini relatif pendek, diduga akan membuat musim tanam padi pascapanen raya mendatang, terancam mengalami peningkatan serangan hama. Kendati pertengahan Maret menghadapi panen raya, umumnya panen padi terjadi secara simultan alias bertahap sehingga risiko penularan hama lebih besar.

Gambaran serupa dilontarkan Kepala Cabang Pemasaran Subang PT Pertani, Mardiyanto, yang mengatakan, gelagat akan meningkatnya intensitas serangan hama juga terindikasi terjadi di Subang, Purwakarta, dan Sumedang. Ini terlihat dari bertambahnya pembelian pestisida dan obat-obatan tanaman oleh petani di sekitar Subang, Purwakarta, dan Sumedang.

(31)

Pikiran Rakyat Kamis, 06 Maret 2008

(32)

Jurnal Nasional Sabtu, 08 Maret 2008

Gu be r n u r D I Y: Pe t a n i H a r u s Be r m e n t a l Ku a t

Nusantara | Gunungkidul | Sabtu, 08 Mar 2008 17:33:58 WIB

Gubernur Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Sri Sultan Hamengku Buwono X berharap petani harus memiliki kemauan membangun mentalitas yang kuat dan moral yang baik, serta tidak mudah mengeluh.

"Kita sebagai manusia harus memiliki kemauan membangun mentalitas yang kuat untuk meningkatkan kesejahteraan, dan tidak menggantungkan hidup pada orang lain," kata Sultan HB X pada panen raya padi di Desa Sidorejo, Kecamatan Ponjong, Kabupaten Gunungkidul, DIY, hari ini.

Pada panen raya padi yang juga dihadiri staf ahli Menteri Pertanian, Mathur Riyadhi MA ini, Sri Sultan mengingatkan meskipun pemerintah tetap memberi bantuan, tetapi petani perlu menjaga mental dari kemungkinan tergantung pada orang lain.

"Bagaimana pun kita orang Jawa mempunyai filosofi ‘kehilangan harta sama dengan tidak kehilangan apa-apa, kehilangan nyawa sama dengan kehilangan separuh. Tetapi, kehilangan kehormatan, martabat dan harga diri, sama dengan kehilangan segalanya‘ ," katanya.

"Siapa pun yang membantu kita, baik dari pemerintah maupun swasta, tetap memiliki keterbatasan, sehingga tidak bisa memenuhi kebutuhan kita," katanya.

Menurut dia tidak ada pilihan, kecuali petani sendiri yang harus memperbaiki nasibnya. "Dengan kemampuan ini diharapkan masyarakat Gunungkidul dapat lebih maju, lebih makmur dan lebih sejahtera serta bermanfaat bagi semua," kata Sultan.

(33)

Jurnal Nasional Sabtu, 08 Maret 2008

W e r e n g Se r a n g Pe t a n i Ta n ge r a n g

by : Jan Prince Permata

Sejumlah lahan padi di wilayah pantai utara (Pantura) Kabupaten Tangerang terancam puso karena hama wereng. Kondisi ini mengakibatkan panen raya pada April mendatang terancam gagal.

Kosasih (30) petani di Kecamatan Sukadiri, Tangerang kepada Jurnal Nasional mengungkapkan, lahan pertaniannya terkena hama wereng cokelat. Dirinya sama sekali tak menyangka, lahan pertaniannya terkena hama wereng. Seminggu yang lalu ketika dicek, tanaman padinya sudah mulai menguning.

”Saya kaget, ditemukan puluhan wereng hinggap di batang padi,” tuturnya Jumat (7/3) kemarin.

Saat itu juga, dia melaporkan kasus ini kepada petugas pemantau lapangan (PPL) pertanian di Kecamatan Sukadiri. Petugas langsung menuju lokasi yang terkena hama wereng. Kosasih mengatakan, sekitar 1 hektare lahan padinya terkena hama wereng jenis wereng batang cokelat.

Kepala Seksi Produksi Padi, Dinas Pertanian Kabupaten Tangerang, Omar Wiharjana, mengakui jika saat ini areal pesawahan sedang rentan terkena hama. “Ada peralihan musim,” kata Omar.

Kendati demikian, penurunan itu masih dalam kategori wajar. “Penurunan hasil panen sebesar 5-10 persen akibat serangan hama masih terbilang normal,” katanya. Selain akibat perubahan musim, lanjut Omar, hama juga bisa disebabkan oleh benih dan cara petani memelihara padi.

(34)

Kompas Sabtu, 08 Maret 2008

H a r ga Ga ba h Te r pe r osok

Bu log D im in t a Se ge r a Tu r u n Ta n ga n

Hermas E Prabowo dan Haryo Damardono

Rembang, Kompas - Panen padi pada musim tanam rendeng kali ini menebar kepedihan bagi petani. Gabah banyak yang rusak akibat gagal penyerbukan. Kadar hampa gabah tinggi dan harganya pun terperosok jatuh. Meski demikian, Perum Bulog tidak kunjung datang membeli gabah petani.

Kondisi ini menimpa petani di Jawa Tengah, seperti di Demak, Grobogan, Blora, Pati, Kudus, dan Rembang, selain itu juga menimpa sebagian petani di wilayah Jawa Timur, terutama di wilayah utara. Sementara itu, kualitas gabah di Jawa Barat umumnya menggembirakan.

Dari penelusuran Kompas sejak Rabu (5/3) hingga Jumat, meski luasan panen meningkat dibandingkan dengan tahun lalu, kualitas gabah pada panen di dua provinsi sentra produksi beras ini buruk. Banyak kadar hampa pada gabah, butir kuning, butir patah, dan mengapur.

”Kelihatannya saya panen banyak, tetapi nyatanya cuma 4-5 ton gabah kering giling (GKG),” ujar Pardi, petani warga Desa Botorejo, Demak, Jateng.

Gabah yang dijemur Pardi banyak yang memutih. Gabah-gabah itu tidak ada isinya. Kalaupun ada, hanya sebagian. Padahal, normalnya, Pardi biasa panen hingga 6 ton GKG per bahu (setara 0,7 hektar).

Di Purwodadi, Grobogan, kualitas gabah juga buruk. Meskipun ada panen di sejumlah wilayah yang masih bagus, umumnya tidak memuaskan. ”Kalau musimnya hujan-angin seperti kemarin, sulit dapat gabah bagus,” katanya.

Pada musim tanam rendeng Oktober-Desember 2007, luas area tanam padi berdasarkan perhitungan Departemen Pertanian mencapai 4.347.833 hektar (ha), naik dibandingkan tahun 2006 yang hanya 3.359.124 ha. Namun, jika dibandingkan dalam kondisi normal, luas tanam masih lebih sempit sekitar 400.000 ha.

Serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) padi, seperti tikus, penggerek batang, tungro, dan kresek, pada Januari-Februari 2008 secara nasional hanya sebanyak 4.097 ha. Itu serangan OPT hingga Februari, padahal dalam rata-rata lima tahun sekitar 248.890 ha.

Luas area tanaman padi yang terkena banjir musim hujan pada periode Oktober-Februari mencapai 127.557 ha, sedangkan yang puso mencapai 50.000 ha.

Ketua Umum Kontak Tani Nelayan Andalan Winarno Tohir mengatakan, kualitas gabah terparah memang di wilayah Jateng bagian tengah dan utara, sedangkan Jateng bagian selatan, seperti di Sragen, umumnya bagus.

Harga beras di Sragen mencapai Rp 4.800 per kg, sementara di Jateng beras hanya dihargai Rp 3.600 per kg atau lebih rendah Rp 400 dibandingkan harga pada Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 3 Tahun 2007.

Pukulan telak

(35)

Kompas Sabtu, 08 Maret 2008

Bagi petani penggarap maupun petani kecil dengan kepemilikan lahan kurang dari 0,37 ha per rumah tangga petani, buruknya kualitas gabah merupakan pukulan telak. Pasalnya, harga gabah kering panen mereka jadi anjlok.

Sementara itu, Ketua Dewan Pertimbangan Organisasi Himpunan Kerukunan Tani Indonesia Siswono Yudho Husodo mengatakan, buruknya kualitas gabah utamanya bukan karena alam. ”Informasi yang saya himpun, malah disebabkan kurangnya pemberian pupuk,” ujarnya.

Di Demak dan Grobogan, saat ini harga gabah kering panen (GKP) di tingkat petani Rp 1.400 per kilogram, sedangkan harga GKG tak lebih dari Rp 2.200. Padahal, berdasarkan Inpres No 3/2007 tentang Kebijakan Perberasan Nasional disebutkan, harga GKP Rp 2.000 per kg, GKG Rp 2.575, dan beras Rp 4.000.

Harga tersebut didasarkan atas dua kategori, baik untuk gabah maupun beras. Untuk GKP, kadar air maksimum 25 persen dan kadar hampa maksimum 10 persen. Untuk GKG, kadar air maksimum 14 persen dan kadar hampa 3 persen. Untuk beras, kadar air maksimum 14 persen dan butir patah maksimum 20 persen.

Petani tidak tahu berapa persentase kadar air dan kadar hampa gabahnya karena mereka tidak memiliki sarana pengukur kadar air dan kadar hampa. Mereka hanya percaya kepada tengkulak dan pengusaha penggilingan beras yang kerap menetapkan harga secara sepihak.

Para petani berharap Bulog bisa membeli gabah langsung dari mereka. Pasalnya, kalau dibeli tengkulak, marjin keuntungan lebih banyak dinikmati tengkulak. Namun, hingga saat ini Bulog tak kunjung membeli gabah petani.

”Bulog lebih senang membeli lewat tengkulak atau penggilingan. Padahal, kami sangat berharap Bulog mau membeli,” kata sejumlah petani.

Petani mengatakan, para tengkulak saat panen raya kali ini kerap membeli gabah Rp 200 lebih rendah dibandingkan harga Bulog maupun harga gabah berdasar tabel rafaksi. Keuntungan Rp 200 per kilogram yang ”terambil” para tengkulak amat merugikan petani. Padahal, itu akibat kemalasan Bulog menyelamatkan nasib petani.

Di Surabaya, Menteri Pertanian Anton Apriyantono mengatakan, Bulog seharusnya membeli hasil panen petani sesuai plafon harga yang ditetapkan. Maka, Bulog yang belum melakukan pembelian hasil panen petani di berbagai daerah itu harus dituntut. ”Karena perintah dari pemerintah sudah jelas,” ungkapnya.

Menjadi persoalan karena unit pengadaan dari Perum Bulog Divre Jatim baru di sebagian wilayah, di antaranya bagian utara Madiun. Padahal, panen petani di Madiun sudah berlangsung awal Februari.

(36)

Pikiran Rakyat Sabtu, 08 Maret 2008

Pe t a n i Ru gi Ak iba t KU T D ise le w e n gk a n

SUMBER, (PR).-

Rencana pemerintah memutihkan tunggakan kredit usaha tani (KUT) dipertanyakan para petani di Kab. Cirebon. Petani meminta tunggakan yang disebabkan penyelewengan tidak dimasukkan dalam paket pemutihan.

Sebaliknya, petani mendesak pemerintah bertindak tegas. Para penyeleweng yang telah menilap uang negara lewat KUT, dituntut untuk ditindak tegas secara hukum.

"Petani dirugikan, gara-gara banyak penyelewengan, kredit untuk petani jadi dihilangkan. Dalam kasus KUT, petani menjadi korban," tutur Wakil Ketua KTNA (Kontak Tani dan Nelayan Andalan) Cirebon, Soleh Buchori, Kamis (6/3).

KTNA banyak menerima keluhan dari petani terkait rencana pemutihan KUT oleh pemerintah. Mereka meminta pemerintah selektif, tunggakan KUT yang diputihkan hanya diperuntukkan bagi penerima kredit yang benar-benar petani.

"KUT di tahun 1999 lalu terkesan jor-joran. Banyak unsur nonpetani yang ikut-ikutan mengajukan KUT sehingga banyak penyelewengan. Ini pangkal hapusnya program KUT, padahal sebelumnya, selama bertahun-tahun KUT telah banyak menolong petani," tutur dia.

Soal pemutihan, Soleh meminta pemerintah selektif. Penghapusan tunggakan hanya diperuntukkan bagi petani yang mengalami gagal panen akibat bencana alam dan ketidakstabilan harga.

"Contohnya petani bawang Cirebon. Saat itu panen berhasil, namun harus menelan kerugian besar karena harga jatuh. Untuk yang bencana alam dan ketidakstabilan harga ini justru yang mesti diputihkan. Bukan petani berdasi yang memperoleh KUT hanya untuk akal-akalan," ujar dia.

(37)

Republika Sabtu, 08 Maret 2008

Pe t a n i Ke lu h k a n Se r a n ga n H a m a W e r e n g

Se r a n ga n h a m a w e r e n g m e m bu a t bu lir pa di m e n j a di k oson g.

TANGERANG -- Hasil produksi padi di wilayah Pantuan Kabupaten Tengerang dipastikan anjlok. Serangan hama wereng rendahnya pasokan air yang dikeluhkan petani saat ini menjadi penyebab menurunnya hasil panen. ''Akibat hama wereng, padi jadi kosong dan hampa,'' kata Eni (55 tahun), petani di Kecamatan Sepatan, Jumat, (7/3).

Meski demikian Eni mengaku tak tahu pasti besarnya penurunan hasil panen. Namun, dia memperkirakan jumlahnya tidak sampai 50 persen. Buntut serangan hama ini, pendapatan petani menjadi berkurang. Menurutnya kondisi serupam hampir dialami sebagian besar petani di Kecamatan Sepatan.

Berdasarkan pantauan, areal persawahan di kawasan pantura Kabupaten Tangerang sudah memasuki masa panen. Lahan padi tampak menguning. Sejumlah petani di di lahan padi itu sudah mulai memotong tanaman padinya untuk dipanen. Panen kali ini merupakan panen pertama pada 2008.

Hama wereng yang menyerang areal pesawahan, kata Eni, mulai terlihat oleh petani sejak beberapa pekan yang lalu. Hal itu diperparah oleh rendahnya kualitas yang mengaliri pesawahan. ''Airnya kurang bagus karena kondisi cuaca berubah-ubah,'' kata Eni.

Kondisi yang sama dialami pula oleh Lukman (65). Petani di Kecamatan Sukadiri ini mengeluh karena batang padinya habis digerogoti hama wereng. ''Padi jadi kecil dan kosong karena batangnya terserang hama.'' Maksudnya, pertumbuhan padi terganggu karena batangnya diserang hama.

Hal tersebut menyebabkan Lukman dan petani lain di Kecamatan Sukadiri melakukan pemanenan lebih awal. Seharusnya, Lukman memanen padi satu bulan lagi. ''Sekarang harus dipanen supaya padi tidak habis oleh hama,'' kata Lukman. Pemanenan lebih awal menyebabkan hasil panen menurun hingga 50 persen.

Petani di kawasan pantura Kabupaten Tangerang menjual gabah hasil panen ke sejumlah kawasan penggilingan padi. Gabah petani dihargai Rp 3.000-3.500 per kilogram. Harga tersebut tergantung kondisi gabah. ''Gabah kering harganya lebih mahal dibanding gabah yang baru dipanen,'' kata Eni.

Kasi Produksi Padi, Dinas Pertanian Kabupaten Tangerang, Omar Wiharjana, mengatakan, pihaknya belum mendapat informasi resmi mengenai adanya petani yang gagal panen. ''Sebenarnya, kawasan pantura merupakan penghasil padi paling produktif,'' kata Omar.

Data di Dinas Pertanian, produksi padi di pantura (Kecamatan Sepatan, Pakuhaji, dan Sukadiri) lebih tinggi dibanding tempat lain. Namun, Omar tidak menampik jika saat ini areal persawahan sedang rentan terkena hama. ''Ada peralihan musim,'' kata Omar.

Mengenai penurunan hasil panen yang dialami petani, Omar menjelaskan, penurunan itu masih dalam kategori wajar. ''Penurunan hasil panen sebesar lima hingga 10 persen akibat serangan hama masih terbilang normal.'' katanya.

(38)

Republika Sabtu, 08 Maret 2008

Di Kecamatan Sukadiri terdapat 1.733 hektare lahan padi sasaran tanam. ''Musim kemarau turun menjadi 1.680 hektare.'' Rata-rata produktivitas lahan padi di Kabupaten Tangerang yaitu sebanyak 6,7 ton per hektare dalam satu tahun. Panen terjadi sebanyak dua kali dalam setahun.

Fakta Angka 6,7 Ton

(39)

Suara Pembaruan Sabtu, 08 Maret 2008

Pu la u Te r pe n cil Ra w a n Pa n ga n

Indonesia adalah negara kepulauan terbesar dengan jumlah pulau mencapai 17.504, tersebar dari Sabang sampai Merauke. Perdebatan soal jumlah pulau memang sempat mencuat, bertambah atau berkurang, yang jelas masih yang terbanyak di dunia. Namun, yang terpenting bagaimana kita menyikapi, memperhatikan, dan terutama melindungi sesama warga negara yang hidup di pulau-pulau kecil nan terpencil.

Pejabat boleh sibuk menghitung- hitung jumlah pulau, memberikan nama dan mengidentifikasi, namun yang lebih penting adalah bagaimana memberi data dan informasi di mana pulau yang memerlukan perhatian ekstra, sebelum bencana kemanusiaan melanda, yakni kurang pangan dan kelaparan. Terutama di saat paceklik, ketika ombak besar tak bisa lagi dilawan perahu-perahu kecil milik nelayan.

Kita kerap mendengar kejadian memilukan, yakni rawan pangan dan kurang gizi di kota-kota yang tak jauh dari Jakarta, atau dari ibu kota provinsi, di mana para pejabatnya bergelimang kemewahan. Rakyat yang tak punya daya beli harus berjibaku menghadapi hidup yang semakin sulit, terpaksa makan nasi aking yang tak layak dikonsumsi, menderita berbagai penyakit, atau meninggal dengan tubuh kurus kering seperti kejadian di Sulsel.

Apalagi di pulau kecil nun jauh terpencil, nasib mereka lebih tidak pasti. Pelayanan pendidikan, kesehatan, dan kedaruratan nyaris terbengkalai. Mereka berjuang mendapatkan makanan, terutama beras yang menjadi makanan pokok. Mengarungi lautan luas untuk menjual hasil laut dan membeli kebutuhan pokok biasa dilakukan saat cuaca bagus. Biasanya mereka manggunakan kapal reguler atau non-reguler.

Namun, kapal reguler jarang melayani pulau-pulau kecil, sehingga warga harus berestafet antarpulau menggunakan perahu kecil. Jika ombak besar dan badai menerjang, tak ada perahu yang mau bergerak, atau menghadapi risiko tenggelam dan hilang ditelan laut yang sangat luas. Komoditas yang tak tahan lama terpaksa dibuang. Ikan yang akan dijual cepat membusuk karena ta

Referensi

Dokumen terkait

Oleh karena itu, bahan ajar yang menyajikan materi fisika terintegrasi dengan aktivitas kecakapan hidup sangat penting untuk membekali siswa sekolah menengah dalam

U nsur-unsur yang perlu dievaluasi adalah hal-hal yang pokok atau penting, dengan ketentuan harga satuan penaw aran yang nilainya lebih besar dari 110% (seratus sepuluh perseratus)

(3) penggunaan properti sebagai pendukung beksan menurut pendapat siswa bahwa properti yang agak sulit digunakan adalah properti tombak yang membutuhkan kekuatan, (4) irama

Kanopi/Atap Pasar Atas belanja modal PL 80.000.000 1 paket Kota Cimahi APBD juli juli juli agustus. 28 Pengadaan

Tujuan penelitian ini adalah mengembangkan sumber belajar mandiri dalam bentuk buku pengayaan kimia SMA/MA kelas XII semester 2 materi senyawa benzena dan

1) Unsur-unsur yang perlu dievaluasi adalah hal-hal yang pokok atau penting, dengan ketentuan harga satuan penawaran yang nilainya lebih besar dari 110% (seratus sepuluh

Berdasarkan ukuran tiap Saron Demung laras pelog yang telah diamati, pada setiap pangkon yang memiliki wilahan 1 sampai 7 jika ditinjau dengan mengamati besarnya lebar tiap wilahan

Dari persamaan antara latihan sepakbola dan latihan wushu yang mampu mengembangkan dan meningkatkan kekuatan, kelincahan, daya tahan, keseimbangan dan kelentukan