• Tidak ada hasil yang ditemukan

KOMPETENSI MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENGADILI SENGKETA PEMILUKADA SEBELUM DAN SESUDAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2015 JO UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "KOMPETENSI MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENGADILI SENGKETA PEMILUKADA SEBELUM DAN SESUDAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2015 JO UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA."

Copied!
93
0
0

Teks penuh

(1)

Kompetensi Mahkamah Konstitusi dalam Mengadili Sengketa

Pemilukada Sebelum dan Sesudah berlakunya Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 2015

jo

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015

Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota

TESIS

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Megister dalam Program Studi Hukum Tata Negara Siyasah

Oleh

Dhofir Catur Bashori F 12213129

PASCASARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

(2)
(3)
(4)
(5)

ABSTRAK

Tesis yang berjudul Kompetensi Mahkamah Konstitusi dalam Mengadili Sengketa Pemilukada Sebelum dan Sesudah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 jo Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota”, merupakan hasil penelitian hukum normatif yang bertujuan untuk menjawab pertanyaan; Pertama, Bagaimana Prosedur Pemilihan Kepala Daerah berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah beserta Penyelesaian Sengketa Pemilukada berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004. Kedua, Bagaimana Kompetensi Mahkamah Konstitusi dalam mengadili sengketa Pemilukada setelah lahirnya UU Nomor 8 tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

Data dalam penelitian ini dihimpun dengan menggunakan teknik wawancara, telaah pustaka, dan dokumentasi. Selanjutnya data yang telah dihimpun tersebut dianalisis menggunakan metode analisis yuridis normativ yang menekankan pada metode deduktif sebagai pegangan utama. Dalam analisis yuridis normatif, mempergunakan bahan-bahan kepustakaan hukum dan undang-undang sebagai sumber data utama.

Hasil peneltian ini menyimpulkan bahwa pelaksanaan Pemilukada berdasarkan UU 32/2004 tentang Pemda menyatakan bahwa, penyelenggara Pemilukada adalah KPUD Propinsi/Kabupaten/Kota. Pelaksanaan Pemilukada melalui 2 tahapan, yakni tahapan Persiapan dan tahapan Pelakasanaan. Selain itu, dalam Undang-undang ini, kompetensi mengadili sengketa hasil pemilukada menjadi kompetensi Mahkamah Agung berdasarkan pasal Pasal 106 Undang-undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Kemudian komptensi mengadili sengketa Pemilukada dialihkan dari MA ke MK berdasarkan Pasal 236C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintah Daerah. Dan ditegaskan dengan Pasal 29 ayat (1) huruf e Undang-Undang No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Setelah berlakunya Undang-Undang No 8 Tahun 2015 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, komptensi mengadili sengketa Pemilukada dialihkan kepada Badan Peradilan Khusus. Hal ini berdasarkan Pasal Pasal 157 ayat (4) Undang-Undang No 8 Tahun 2015 tentang Gubernur, Bupati, dan Walikota. Akan tetapi selama belum terbentukanya Peradilan Khusus tersebut, penyelesaian sengketa Pemilukada masih menjadi kompetensi MK berdasarkan Pasal 157 ayat (6). Pembentukan Peradilan khusus tidak bisa dilepaskan dari banyaknya sengketa pemilukada yang masuk ke MK, sehingga menggangu tugas utama MK sebagai pengawal konstitusi.

Oleh sebab itu, badan peradilan khusus yang menangani sengketa Pemilukada harus segera dibentuk. Hal ini dimaksudkan agar Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi dapat fokus dengan tugas dan kewenangannya masing-masing sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Selain itu, peran lembaga-lembaga lainnya, seperti DKPP, BAWASLU, dan KPU harus dimaksimalkan guna meminimalisir terjadi kecurangan dalam pelaksanaan Pemilukada.

(6)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN TIM PENGUJI ... iv

ABSTRAK ...v

KATA PENGANTAR ... vi

TRANSLETASI ... ix

DAFTAR ISI ... xi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ...1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah ...14

C. Rumusan Masalah...16

D. Tujuan Penelitian ...17

E. Kegunaan Penelitian ...17

F. Kerangka Teoritik ...18

G. Penelitian Terdahulu...23

H. Metodologi Penelitian ...26

I. Sistematika Pembahasan ...30

BAB II KAJIAN TEORI KOMPETENSI DAN KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DAN MAHKAMAH AAGUNG, TATA URUTAN PERUNDANG-UNDANGAN, DAN PEMILIHAN KEPALA DAERAH DALAM ISLAM A. Teori Kompetensi ... ...32

B. Teori Kewenangan ...34

1. Kewenangan Mahkamah Konstitusi ...36

a. Pengujian Undang-Undang (Judcial Review) ...43

b. Sengketa Kewenangan Lembaga Negara ...45

(7)

Pelanggaran oleh Presidendan/atau Wakil Presiden ...50

e. Memutus sengketa Pemilu/Pemilukada ...51

2. Kewenangan Mahkamah Agung ...52

a. Menguji Undang-Undang dibawah Undang-undang ...53

b. Mengadili Pada Tingkat Kasasi ...54

c. Kewenangan lain yang diberikan oleh Undang-Undang ...56

C. Teori Hierarki Norma Hukum dan Tata Perundang-undangan...58

a. Teori Groundnorm ...59

b. Tata urutan Perundang-Undangan ...64

c. Asas-Asas Pembentukan Perundang-undangan ………69

D. Pemilihan Kepala Daerah atau Gubernur dalam Islam ...71

BAB III PEMBAHASAN PROSEDUR PELAKSANAAN PEMILUKADA DAN KOMPETENSI MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENGADILI SENGKETA PEMILUKADA A. Prosedur Pelaksanaan Pemilukada berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah dan Penyelesaian Sengketa Pemilukada berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004 ...74

1. Prosedur Pelaksanaan Pemilukada berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah ...74

a) Penyelenggara Pemilukada berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah ...75

b) Tatacara Dan Mekanisme Pilkada UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah ...77

2. Penyelesaian Sengketa Pemilukada berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004 Pemerintah Daerah ...85

a) Penyelesaian sengketa Pemilukada oleh Mahkamah Agung ...85

(8)

B. Kompetensi Mahkamah Konstitusi dalam mengadili sengketa Pemilukada setelah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015

Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota ...97 1. Ikhtisar Putusan MK No. 97/PUU-XI/2013 ...97 2. Kompetensi Mahkamah Konstitusi dalam mengadili

Sengketa Pemilukada berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Pemilihan

Gubernur, Bupati, Dan Walikota ... 114 BAB IV ANALISIS

A. Analisis Prosedur Pelaksanaan Pemilukada berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Penyelesaian Sengketa Pemilukada berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004 Pemerintah Daerah...131 1. Analisis terhadap Prosedur Pelaksanaan Pemilukada

berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintah Daerah ... ………….131 2. Analisis terhadap Penyelesaian Sengketa Pemilukada

Berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintah Daerah ... 135 a) Analisis terhadap Penyelesaian sengketa Pemilukada

Oleh Mahkamah Agung ... 135 b) Analisis terhadap Penyelesaian sengketa Pemilukada

Oleh Mahkamah Konstitusi ... 141 B. Analisis Kompetensi Mahkamah Konstitusi mengadili

Sengketa Pemilukada setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota ... ………...146 1. Analisis Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi

(9)

Mengadili Sengketa Pemilukada dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota ... 157 BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 169 B. Saran ... 171

DAFTAR PUSTAKA ………..173

(10)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI 1945) telah mengalami amandemen sebanyak 4 (empat) kali. Amandemen tersebut dilakukan pada tahun 1999, 2000, 2001, dan, 2002.

Perubahan tersebut merupakan cermin adanya perubahan kondisi sosial, perubahan cara berfikir, dan perubahan aspirasi dari seluruh bangsa Indonesia terkait dengan tatanan hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.1

Perubahan yang mendasar pasca adanya amandemen adalah tidak adanya lembaga Negara tertinggi. Semua lembaga Negara kedudukannya sejajar dan

berubah menjadi lembaga tinggi Negara. Sebelum adanya amandemen, lembaga Negara tertinggi diamanatkan kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat selanjutnya disebut MPR) yang menjadi penjelmaan suara rakyat yang

mempunyai kewenangan yang sangat besar.

Amademen ketiga mengakhiri posisi MPR sebagai parlemen tertinggi

yang memonopoli dan menjalankan kedaulatan rakyat. Amandemen ini menandai tamatnya doktrin supermasi MPR. Dalam penjelasan UUD NRI 1945, doktrin ini menyebutkan bahwa “MPR ialah penyelenggara negara

tertinggi dan dianggap sebagai penjelmaan rakyat yang memegang kedaulatan

rakyat. Dan bahwa MPR memegang kedaulatan negara, maka kekuasaannya

1

(11)

2

tidak terbatas”. Dengan adanya perubahan ketiga ini, mengalihkan kedaulatan

dari tangan MPR dan menegaskan bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.2

Amanden ketiga UUD NRI 1945 ini pula, dibidang kehakiman lahir lembaga baru yang kedudukannya sejajar dengan Mahkamah Agung (MA), yakni Mahkamah Konstitusi (MK). Sehingga kekuasaan kehakiman tidak

hanya dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dengan keempat badan peradilan yang ada dibawahnya, namun juga dilaksanakan oleh Mahkamah Konstitusi. Sebagaimana ditegaskan dalam pasal 24 ayat (2) UUD NRI 1945 (amandemen

ketiga), Kedudukan Makamah Konstitusi yaitu sederajat dengan Mahkamah Agung sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman. Rumusan pasal tersebut

secara lengkap berbunyi sebagai berikut:

“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung (MA) dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara (TUN), dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi (MK)”3

Mahkamah Konstitusi dalam konteks ketatanegaraan dikonstruksikan sebagai: Pertama, pengawal konstitusi yang berfungsi menegakkan keadilan konstitusional ditengah kehidupan masyarakat. Kedua, Mahkamah Konstitusi

bertugas mendorong dan menjamin agar konstitusi dihormati dan dilaksanakan

oleh semua komponen Negara secara konstisten dan bertanggung jawab.

2

Denny Indrayana, Amandemen UUD 1945 “Antara Mitos dan Pembongkaran”, (Jakarta; Mizan 2007), 275.

3

(12)

3

Ketiga, Mahkamah Konstitusi berperan sebagai penafsir agar spirit konstitusi

selalu hidup dan mewarnai keberlangsungan bernegara dan bermasyarakat.4

Kewenangan Mahkamah Konstitusi diatur dalam UUD NRI 1945 Pasal

24C Ayat (1) jo Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Kewenangan yang mengeklusifkan dan membedakan Mahkamah Konstitusi dengan lembaga lainnya. Kewenangan tersebut berupa:

1. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang untuk menguji Undang-undang terhadap UUD;

2. Memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD. Misalnya, usul pemberhentian presiden dan/atau wapres oleh DPR kepad MPR apabila presiden dan/atau wapres terbukti melakukan pelanggaran hukum sebagaimana yang ditur dalam Pasal 7A UUD 1945;

3. Memutus pembubaran partai politik. 4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilu.5

Berdasarkan kewenangan tersebut diatas, tampak bahwa peran dari Mahkamah Konstitusi sangat penting dalam system ketatanegaraan di

Indonesia. Adapun tentang sifat putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final, artinya bahwa putusan Mahkamah Konstitusi tersebut langsung

memperoleh kekuatan hukum tetap. Sehingga tidak ada peluang upaya hukum lagi yang dapat ditempuh terhadap putusan Mahkamah Konstitusi.6

4

Lihat pendapat Jimly Asshiddiqie dalam bukunya Mahkamah Konstitus, yang dikutip Titik Triwulan Tutik, “Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2010), 220. 5

Perkara perselisihan pemilu yang dimkasud disini adalah perbedaan pendapat dalam hasil perhitungan antara peserta pemilihan Umum dan penyelenggara pemilihan umum, baik karena kesengajaan maupun kelalaian, baik karena kesalahan teknis ataupun karena kesalahan yang bersifat administratif salam perhitungan hasil pemilihan umum. (Lihat; Jimly Ashiddiqie,

Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013, Cetakan V), 428. 6

(13)

4

Ide pembentukan Mahkamah Konstitusi yang tersendiri diluar dan

sederajat dengan Mahkamah Agung merupakan hal relatif baru di Indonesia. Meski demikian ide pengujian undang-undang sebagai mekanisme peradilan konstitusional (constitutional adjudication) untuk membanding, menilai, atau

menguji hasil kerja mekanisme demokrasi politik sudah sejak sebelum kemerdekaan diperdebatkan oleh “the founding leader” dalam sidang

BPUPKI, ketika naskah UUD NRI 1945 pertama kali disusun.7

Muhammad Yamin adalah orang yang pertama kali mengusulakan agar kepada Mahkamah Agung, yang awalnya disebut Balai Agung diberi

kewenangan untuk “membanding undang-undang”, demikian istilah yang

dipakai olehnya ketika itu. Kegiatan membanding undang-undang itu, menurut Yamin, dapat dilakukan dengan cara membandingkan setiap produk undang-undang dengan sistem norma, yaitu: (i) Undang-undang Dasar; (ii) hukum syari’at Islam; (iii) hukum adat.8

Usul dari Muhammad Yamin ini tidak diterima oleh anggota lainnya saat rapat BPUPKI. Soepomo menyampaikan keberatannya dengan dua alasan.

Pertama, UUD NRI 1945 dibangun menurut prinsip-prinsip yang tidak

didasarkan atas teori Trias Politika Montesquieu; Kedua, jumlah sarjana hukum pada masa awal kemerdekaan belum cukup untuk menjalankan tugas

membanding undang-undang seperti yang dimaksud oleh Yamin. Terlebih menurut Soepomo, untuk memberikan kewenangan membanding

undang-undang kepada Balai Agung (Mahkamah Agung) masih diperlukan studi yang mendalam mengenai berbagai Verfassungsgerichtshof atau Mahkamah

7

Jimly Ashiddiqie, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Buana Ilmu Populer, tt), 581.

8

(14)

5

Konstitusi seperti di Austria, Cekoslovakia, dan Jerman di masa Weimar yang

membutuhkn waktu tidak singkat untuk mempelajarinya.9

Menurut Mahfudz MD, Mahkamah Konstitusi dimunculkan sebagai

lembaga Negara dengan hak melakukan pengujian (judicial review atau

constitutional) Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar. Serta tugas

khusus lain yaitu forum previlegiatum atau peradilan yang khusus untuk

memutus pendapat DPR bahwa Presiden atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat menurut UUD. Dan juga memutus pendapat DPR bahwa Presiden telah melanggar hal-hal tertentu yang disebutkan didalam UUD

sehingga dapat diproses untuk diberhentikan.10

Kekuasaan kehakiman yang lahir terlebih dahulu sebelum lahirnya

Mahkamah Konstitusi adalah Mahkamah Agung. Tugas utama Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan adalah mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang yang

bertentangan dengan undang-undang, dan juga kewenangan lainnya yang diberikan oleh undang-undangg. Hal ini berdasarkan Pasal 24A Ayat (1) UUD

NRI 1945 yang berbunyi;

Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh

Undang-undang.11

9

Ibid., 582. 10

Moh Mahfudz MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, (Jakarta: Raja Persada Grafindo, 2011), 118.

11

(15)

6

Apabila kita bandingkan tugas dan kewenangan antara Mahkamah Agung

dan Mahkamah Konstitusi diatas, maka tampak sekali jika Jika kita perhatikan secara seksama tentang tugas dan kewenangan maka tampak sekali perbedaan diantara keduanya. Sehingga kelahiran Mahkamah Konstitusi tidak

mempengaruhi dan tidak menjadikan tugas dan wewenang Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi saling tumpang tindih. Meski demikian dalam

perkembangannya hingga saat ini, pelaksanaan tugas dan kewenangan antara Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi mengalami dinamika yang sangat dinamis, khususnya terkait dengan penyelesaian sengketa Pemilukada.

Masa awal penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah yang disingkat Pilkada (saat itu masih menggunakan termenologi Pilkada), kompetensi atau

kewenangan untuk menangani sengketa Pilkada diserahkan kepada Mahkamah Agung. Kewenangan yang diberikan oleh Undang-undang kepada

Mahkamah Agung dalam menyelesaikan sengketa Pilkada diamanatkan dalam Pasal 106 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah (selanjutnya disebut UU 32/2004 Tentang Pemda) yang berbunyi;

“Keberatan terhadap penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah hanya dapat diajukan oleh pasangan calon kepada Mahkamah Agung dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari setelah penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah”.

Pilkada dalam UU 32/2004 Tentang Pemda dikategorikan sebagai rezim hukum Pemerintahan Daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (4) UUD NRI 1945, bukan sebagai rezim hukum pemilihan umum yang diatur

(16)

7

Legislatif.12 Dalam Pasal 18 ayat (4) UUD NRI 1945 disebutkan bahwa,

gubernur, bupati, dan walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis. Pasal ini yang menjadi dasar yuridis bahwa Pilkada adalah bagian dari rezim Pemerintah

Daerah. Begitupula dalam Pasal 22E UUD NRI 1945 memberikan batasan tentang Pemilihan Umum, bahwa berdasarkan Pasal 22E UUD NRI 1945

Pemilihan Umum meliputi Pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Sehingga sangat jelas bahwa Pilkada bukan

termasuk bagian dalam rezim Pemilihan Umum, akan tetapi merupakan rezim Pemerintah Daerah.

Menurut perkembangannya dari waktu ke waktu, terjadi pergeseran konsep dalam memandang Pilkada yang sebelumnya dikategorikan sebagai rezim hukum Pemerintahan Daerah, bergeser menjadi rezim hukum

Pemilihan Umum. Pergeseran Pilkada menjadi bagian dari rezim hukum

Pemilihan Umum (Pemilu) tidak bisa terlepas dari pengaruh putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 72-73/PUU/2004 tentang pengujian UU 32/2004 tentang Pemda.13 Dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah

Konstitusi, Mahkamah berpendapat bahwa Pilkada langsung tidak termasuk dalam kategori Pemilihan Umum sebagaimana dimaksudkan Pasal 22E UUD

12

Maria Farida Indrati, dalam Demokrasi Lokal Evaluasi Pemilukada di Indonesia. Judul tulisan

Sengketa Pemilukada, Putusan MK, dan Pelaksanaan Putusan MK. (Konpress; Jakarta, 2012), 54. 13

(17)

8

NRI 1945. Namun demikian Pilkada langsung adalah pemilihan umum secara

materiil untuk mengimplementasikan Pasal 18 ayat (4) UUD NRI 1945.

Lahirnya UU 32/2004 tentang Pemda diikuti dengan lahirnya

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum (selanjutnya disebut dengan UU 22/2007 tentang Pemilu) sebagaimana yang telah dirubah dengan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2011 Tentang

Penyelenggaraan Pemilihan Umum (selanjutnya disebut dengan UU 15/2011 tentang Pemilu). Dalam UU 22/2007 tentang Pemilu, dengan tegas menggolongkan Pemilihan Kepala Daerah kedalam rezim Pemilu yang

dimuat dalam pasal 1 ayat (4) Ketentuan umum yang menyatakan bahwa; Pemilihan Kepala Daerah dan wakil Kepala Daerah adalah pemilu untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara republic Indonesia Tahun 1945”

Penggolangan Pilkada kedalam rezim Pemilu menimbulkan

konsekuensi terhadap penyelesaian sengketa. Jika Pilkada masuk dalam rezim

Pemilu, maka penyelesaiannya dilaksanakan di Mahkamah Konstitusi. Oleh sebab itu, untuk semakin menegaskan bahwa Pilkada merupakan bagian dari Pemilihan Umum, lahirlah Pasal 236C Undang-undang Nomor 12 Tahun

2008, perubahan kedua atas Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang berbunyi;

(18)

9

Berlakunya pasal tersebut menunjukkan penyelesaian sengketa

Pemilukada menjadi komptensi atau kewenangan dari Mahkamah Konstitusi dan Pemilukada menjadi rezim Pemilihan Umum. Pasal ini kemudian ditindak lanjuti dengan penandatanganan nota kesepahaman (MoU) antara

Ketua Mahkamah Konstitusi saat itu, Mahfud MD, dengan Ketua Mahkamah Agung, Bagir Manan pada 29 Oktober 2008.14 Maka semenjak nota

kesepahaman ini ditanda tangani maka secara resmi penyelesaian sengketa Pemilukada dilaksanakan oleh Mahkamah Konstitusi.

Pengalihan kewenangan menyelesaikan sengketa Pemilukada oleh

Mahkamah Konstitusi menambah beban perkara yang harus ditangani Mahkamah Konstitusi, sehingga secara perlahan dapat menggeser fungsi

utama Mahkamah Konstitusi yang cenderung menjadi Mahkamah Sengketa Pemilu (Election Court) dikarenakan jumlah perkarang sengketa Pemilu atau Pemilukada lebih banyak volumenya dibandingkan pengujian undang-undang

(Judicial Review) yang merupakan kewenangan utama sebuah Mahkamah

Konstitusi. Selain itu banyaknya perkara sengketa pemilukada yang harus diselesaikan oleh 9 (Sembilan) hakim Mahkamah Konstitusi dalam waktu 14 hari, maka dikhawatirkan bisa mempengaruhi kualitas putusan Mahkamah

Konstitusi dalam sengketa Pemilukada.15

14

Laporan Tahunan Mahkamah Konstitusi 2008, Menegakkan Keadilan Substansif (Jakarta: Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008), 6.

15

(19)

10

Penambahan tugas dan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk

memeriksa dan memutus perkara Pemilukada, oleh sebagian masyarakat dinilai menambah beban kerja para hakim Konstitusi dan di khwatirkan mengesampingkan tugas utamah Mahkamah Konstitusi sebagai Judicial

Court. Oleh karena itu beberapa kelompok masyarakat yang tergabung dalam

Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK), BEM Universitas Esa Unggul,

dan Gerakan Mahasiswa Hukum Jakarta (GMHJ) mengajukan Judicial

Riview terhadap Pasal 236C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang

Perubahan Kedua atas UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah. Dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam permohonannya, para pemohon menilai bahwa

pasal-pasal tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar NRI 1945, khususnya Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945, Pasal 22E ayat (2) UUD NRI

1945, Pasal 24C ayat (1).

Permohonan ini kemudian dikabulkan secara keseluruhan oleh

Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 97/PUU-XI/2013, yang menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi tidak lagi berwenang mengadili perkara sengketa Pemilukada. Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah

Konstitusi berpendapat bahwa; dalam memahami Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, harus kembali kepada makna teks, Original Intent. Makna yang komprehensip terhadap UUD 1945. Oleh karena itu, pemilihan umum

(20)

11

memilih Anggota DPR RI, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, dan DPRD

setiap lima tahun sekali.16

Putusan ini diwarnai dissenting opinion (pendapat berbeda) diantara

para hakim. Tiga hakim konstitusi yakni Arief Hidayat, Anwar Usman, dan Ahmad Fadil Sumadi mengajukan dissenting opinion (pendapat berbeda). Ketiganya berpendapat seharusnya permohonan pemohon ditolak, sehingga

penyelesaian perselisihan hasil pemilukada tetap menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi.

Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013 yang menyatakan bahwa Pasal 236C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

Tentang Pemerintahan Daerah. Dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dinyatakan tidak berlaku dan harus segera ditunjuk atau dibentuk lembaga peradilan yang berwenang mengadili

sengketa Pemilukada. Oleh karena itu lahirlah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (selanjutnya

disebut UU 22/2014 tentang Pemilukada). Namun Undang-Undang tersebut mendapat penolakan dari masyarakat karena mengubah mekanisme pemilihan kepala daerah secara langsung menjadi pemilihan kepala daerah melalui

DPRD. Undang-Undang Pilkada tersebut akhirnya diganti dengan Perpu

Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemiliha Gubernur, Bupati, dan Walikota (selanjutnya disebut dengan Perpu 1/2014 tentang Pemilukada) yang intinya

16

(21)

12

merubah mekanisme pemilihan Kepala Daerah dari tidak langsung menjadi

langsung. Meskipun Pemilihan Kepala Daerah dilaksanakan secara langsung oleh rakyat, namun dalam Perpu tersebut diatur bahwa penyelesaian sengketa Pemilukada diselesaikan oleh Mahkamah Agung, hal ini diatur dalam Pasal

157 Pasal (1) yang berbunyi;

Dalam hal terjadi perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilihan, peserta Pemilihan dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota kepada Pengadilan Tinggi yang ditunjuk oleh Mahkamah Agung.

Perpu tersebut kemudian disahkan menjadi Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang (selanjutnya disebut dengan UU 1/2015 tentang Pemilukada). Namun tidak berselang lama undang-undang tersebut

direvisi menjadi Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang

(selanjutnya disebut dengan UU 8/2015 tentang Pemilukada). Dalam undang-undang yang baru ini terdapat revisi terhadap Pasal 157 ayat (1) yang akhirnya menyatakan bahwa lembaga yang berwenang menyelesaikan

sengketa Pemilukada adalah Badan Peradilan Khusus. Namun sampai terbentuknya badan peradilan khusus tersebut, kewenangan menyelesaikan

(22)

13

ini didasakan Pada Pasal 157 ayat (3) yang menyatakan bahwa “Perkara

perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilihan diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Konstitusi sampai dibentuknya badan peradilan khusus”.

Lahirnya UU 8/2015 tentang Pemilukada tentu menjadikan dinamika

hukum ketatanegaraan di Indonesia menjadi lebih dinamis. Mengingat dalam Pasal 157 undang-undang tersebut menyatakan bahwa perkara perselisihan

hasil Pilkada diperiksa dan diadili oleh lembaga peradilan khusus. Namun disisi lain, selama lembaga peradilan khusus tersebut belum terbentuk, penyelesaian sengketa Pilkada masih menjadi kewenangan Mahkamah

Konstitusi. Itu artinya disatu sisi kewenangan Mahkamah Konstitusi dihapus beradasarkan Putusan MK Nomor 97/PUU-XI/2013, namun disisi lain masih

berwenang menyelesaikan sengketa Pemilukada sesuai dengan UU 8/2015 tentang Pemilukada.

Pembahasan dalam tesis ini kita kaitkan dengan pandangan Islam

terhadap Pemilihan Kepala Daerah atau yang lebih dikenal dengan Gubernur.

Karena pada dasarnya Islam adalah agama sempurna yang mengatur segala aspek kehidupan, termasuk didalamnya mengatur Pemilihan Kepala Daerah, atau Gubernur. Namun tentu saja mekanisme pemilihan atau pengangkatan

dan pemberhentian Kepala Daerah atau gubernur dalam Islam berbeda dengan Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia.

(23)

14

(Khalifah).17 Sehingga apabila kita lihat dalam perspektif Islam bahwa,

pengangkatan gubernur itu hanyalah melalui pengangkatan oleh khalifah bukan lewat cara pemilihan (pemilukada) oleh rakyat di propinsi yang bersangkutan, bukan pula melalui cara penetapan secara otomatis sebagai

jabatan yang diwariskan secara turun-temurun.

Pengangkatan seseorang menjadi Gubernur oleh seorang imam

(khalifah) mengandung konsekwensi yang berbeda ketimbang Pemilihan gubernur secara langsung. Pengangkatan seseorang menjadi Gubernur oleh seorang Imam mutlak bertanggung jawab kepada Imam (Khalifah) dan jarang

terjadi sengketa. Berbeda jika pemilihan Kepala Daerah secara langsung oleh rakyat akan menimbulkan konsekwensi terjadinya sengketa yang lebih besar.

Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut maka penulis mengangkat Tesis dengan judul “Kompetensi Mahkamah Konstitusi

dalam Mengadili Sengketa Pemilukada Sebelum dan Sesudah

berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 jo Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Pemilihan Gubernur, Bupati,

dan Walikota”

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dijelaskan, kiranya dapat diidentifikasi beberapa masalah sebagai berikut:

Pertama, bahwa penyelesaian sengketa Pemilukada sering kali

berubah-rubah. Pada awal penyelesaian sengketa Pilkada dilaksanakan oleh

17

(24)

15

Mahkamah Agung berdasarkan Pasal 106 UU 32/2004 tentang Pemda.

Kemudian penyelesaian sengketa Pemilukada dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi melalui Pasal 236C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah (UU 12/2008 tentang Pemda). Kemudian

Pasal tersebut dihapus dan digantikan oleh Pasal 157 Ayat (1) UU 8/2015 tentang Pemilukada dan menyerahkan penyelesaian sengketa Pemilukada

kepada badan peradilan khusus.

Kedua, berdasarkan putusan MK Nomor 97/PUU-XI/2013, Mahkamah

Konstitusi tidak berwenang kembali mengadili sengketa Pemilukada. Hal ini

mengingat bahwa Pasal 236C UU 12/2008 tentang Pemda dan Pasal 29 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan

Kehakiman (selanjutnya disebut dengan UU 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman) bertentang dengan UUD NRI 1945 Pasal 1 ayat (3), Pasal 22E

ayat (2), dan Pasal 24C ayat (1).

Ketiga, Meski telah lahir UU 8/2015 tentang Pemilukada Pasal 157

ayat (1) tentang Pemilukada yang menyatakan bahwa sengketa Pemilukada

akan diselesaikan melalui badan peradilan khusus. Namun sampai badan peradilan khusus tersebut terbentuk, kewenangan menyelesaikan sengketa

Pilkada masih menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi. Dan keempat, dengan mengabulkan permohonan pengujian undang-undang Pasal 236C UU 12/2008 tentang Pemda, maka Mahkamah Konstitusi sejatinya telah

(25)

16

Kelima, adanya perbedaan mekanisme Pemilihan Kepala Daerah saat

ini di Indonesia, dengan Pemilihan Gubernur atau kepala Daerah dalam Islam.

Berdasarkan identifikasi permasalahan tersebut, penulis membatasi

permasalahan dalam penelitian ini mengenai;

Pertama, Kompetensi Mahkamah Konstitusi dalam menyelesaikan

sengketa Pemilukada sebelum berlakunya UU 8/2015 tentang Pemilukada.

Kedua, Kompetensi Mahkamah Konstitusi dalam menyelesaikan

sengketa Pemilukada pasca berlakunya UU 8/2015 tentang Pemilukada.

Serta bagaimana pemilihan Kepala Daerah atau Gubernur dalam Islam serta perbandingannya.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan batasan masalah yang telah

dijelaskan sebelumnya, dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut:

1.Bagaimana Prosedur Pemilihan Kepala Daerah berdasarkan UU Nomor

32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah beserta Penyelesaian Sengketa Pemilukada berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004 Pemerintah Daerah?

(26)

17

D. Tujuan Peneltian

Penelitian ini bertujuan untuk;

1. Mengetahui Prosedur Pemilihan Kepala Daerah berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah beserta Penyelesaian

Sengketa Pemilukada berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004 Pemerintah Daerah.

2. Mengetahui kompetensi Mahkamah Konstitusi dalam menyelesaikan sengketa Pemilukada sesudah lahirnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilukada.

E. Kegunaan Penelitian

1. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangsih ilmu pengetahuan terhadap perkembangan Hukum Tata Negara,

khususnya tentang;

a. Mekanisme Pemilihan Kepala Daerah tentang berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah beserta

Penyelesaian Sengketa Pemilukada berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004 Pemerintah Daerah.

(27)

18

2. Kegunaan Praktis

Adapun dari sisi praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pengetahuan secara praktis dalam proses penyelesaian sengketa Pemilukada di Mahkamah Konstitusi yang meliputi;

a. Praktik pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah beserta Penyelesaian Sengketa

Pemilukada berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004 Pemerintah Daerah.

b. Praktik dari pelaksanaan Kompetensi Mahkamah Konstitusi dalam

mengadili sengketa Pemilukada beserta batasanya setelah lahirnya UU 8/2015 tentang Pemilukada.

F. KerangkaTeoritik

1. Teori Kompetensi

Menurut Roihan Rasyid, kompetensi seringkali juga dimaknai kewenangan, kadang juga dimaknai dengan kekuasaan.18 Adapun kompentensi yang dimaksud disini adalah kewenangan mengadili yang

dimiliki oleh lembaga peradilan. Roihan Rasyid membagi kompetensi menjadi dua; Kompetensi Relatif dan Kompetensi Absolut.

Kompetensi Relatif diartikan sebagai kekuasaan pengadilan yang satu jenis dan satu tingkatan, dalam perbedaannya dengan kekuasaan pengadilan yang sama jenis dan sama tingkatan lainnya. Atau dengan kata

18

(28)

19

lain bahwa setiap lembaga peradilan mempunyai wilayah hukum tertentu,

dalam hal ini meliputi satu kotamadya atau satu kabupaten.19

Kompetensi Absolut artinya kekuasaan pengadilan yang berhubungan dengan jenis perkara atau jenis pengadilan, atau tingkatan

pengadilan, dalam perbedaanya dengan jenis perkara atau jenis pengadilan, atau tingkatan pengadilannya. Misalnya, pengadilan Agama

berkompeten atas perkara perkawinan bagi mereka yang beragama Islam, sedangkan bagi yang selain Islam menjadi kompetensi Peradilan Umum.20

R. Soeroso membagi kewenangan mengadili dibagi dalam

kekuasaan kehakiman atribusi, dan kekuasaan kehakiman distribusi. Atribusi kekuasaan kehakiman adalah kewenangan mutlak, atau juga

disebut kompetensi absolut. Yakni kewenangan badan pengadilan didalam memeriksa jenis perkara tertentu dan secara mutlak tidak dapat diperiksa

oleh badan pengadilan lain. Sedangkan tentang distribusi kekuasaan Pengadilan atau apa yang dinamakan kompetensi relative, atau kewenangan nisbi ialah bahwa Pengadilan Negeri ditempat tergugat

tinggal (berdomisili) yang berwenang memeriksa gugatan atau tuntutan hak.21 Adapun yang dimaksud Kompetensi dalam penelitian ini adalah

kewenangan mengadili Mahkamah Konstitusi dalam sengketa Pemilukada.

19

Ibid., 27. 20

Ibid., 28. 21

(29)

20

2. Teori Kewenangan

Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Adminstrasi Pemerintahan (UU 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan), yang dimaksud dengan kewenangan adalah kekuasaan Badan dan/atau

Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk bertindak dalam ranah hukum publik.22 Adanya kewenangan yang dimiliki oleh sebuah

lembaga Negara menjadi sangat penting guna menjalankan roda pemerintahan.

Kewenangan membuat keputusan oleh lembaga Negara hanya dapat

diperoleh oleh dengan dua cara, yaitu atribusi atau dengan delegasi.23 Dalam Pasal 1 ayat (22) UU 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan disebutkan bahwa; “Atribusi adalah pemberian Kewenangan kepada Badan dan/atau

Pejabat Pemerintahan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau Undang-Undang”. Sedangkan pengertian delegasi

berdasarkan Pasal 1 ayat (23) UU 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan adalah; “Delegasi adalah pelimpahan Kewenangan dari Badan

dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih tinggi kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih rendah dengan tanggung jawab dan tanggung gugat beralih sepenuhnya kepada penerima delegasi”.

Pasal 1 ayat 24 UU 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan juga ditambakan tentang kewenangan yang diperoleh Badan atau Pejabat

Pemerintahan, yakni dengan cara pemberian Mandat, yakni pelimpahan

22

Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Adminstrasi Pemerintahan. 23

(30)

21

kewenangan dari Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih tinggi

kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih rendah dengan tanggung jawab dan tanggung gugat tetap berada pada pemberi mandat.

a) Kewenangan Mahkamah Agung

Kekuasaan kehakiman pasca reformasi berpuncak pada dua kekuasaan kehakiman, yakni Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. “Kekuasaan

kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung (MA) dan badan

peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum,

lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan

peradilan tata usaha Negara (TUN), dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi

(MK)”24

Mahkamah Agung merupakan puncak dari kekuasaan kehakiman dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan tata usaha Negara, dan peradilan militer. Mahkamah Agung pada pokoknya adalah pengawa

Undang-Undang agar dilaksanakan sebaik-baiknya oleh seluruh rakyat Indonesia.25

Kewenangan Mahkamah Agung tertuang dalam Pasal 24A ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi; Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan

dibawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang, dan mempunyai

24

UUD NRI 1945 Pasal 24 ayat (2). 25

Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasai Lembaga Negara Pasca Reformasi

(31)

22

wewenang lainnya yang diberikan oleh Undang-Undang. Sedangkan dalam

UU 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 20 ayat (2) menjelaskan tentang kewenangan Mahkamah Agung, yakni:

a. Mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung, kecuali undang-undang menentukan lain;

b. menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang; dan

c. kewenangan lainnya yang diberikan undang-undang.

Berdasarkan pasal tersebut diatas, pada dasarnya kewenangan yang

diberikan oleh konstitusi atau Undang-Undang Dasar dan Undang-Undang hanya meliputi, mengadili pada tingkat kasasi, dan menguji peraturan

perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap Undang-Undang. Adapun kewenangan lainnya merupakan kewenangan tambahan yang memungkinkan bagi Mahkamah Agung guna mendapatkan kewenangan

tambahan berdasarkan Undang-Undang.

b) Kewenangan Mahkamah Konstitusi

Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga kehakiman yang lahir pasca

reformasi. Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga Negara di bidang

kehakiman juga memiliki kewenangan yang diatur dalam UUD NRI 1945. Kewenangan ini berbeda dengan kewenangan yang dimiliki oleh Mahkama Agung. Jika Mahkamah Agung merupakan penjaga Undang-Undang (the

guardian of Indonesia law), maka Mahkamah Konstitusi adalah penjaga

Konstitusi (the guardian of constitution) agar semua dilaksanakan oleh

(32)

23

Pasal 24C Ayat (1) UUD NRI 1945 jo Pasal 10 Ayat (1) Undang-Undang

Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi) yang menyatakan:26

1. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang untuk menguji Undang-undang terhadap UUD; 2. Memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang

kewenangannya diberikan oleh UUD. Misalnya, usul pemberhentian presiden dan/atau wapres oleh DPR kepad MPR apabila presiden dan/atau wapres terbukti melakukan pelanggaran hukum sebagaimana yang ditur dalam Pasal 7A UUD 1945;

3. Memutus pembubaran partai politik. 4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilu.

Adapun kewenangan Mahkamah Konstitusi yang diamanatkan UU 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman meliputi;

(1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:

a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945;

c. memutus pembubaran partai politik;

d. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; dan e. kewenangan lain yang diberikan oleh undang-undang.

(3) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

G. PenelitianTerdahulu

Pada dasarnya sudah banyak penelitian-penelitian yang membahas

tentang Pelaksanaan Pemilukada beserta pembahasan kewenangan Mahkamah Konstitusi secara umum, maupun kewenangannya secara khusus

26

(33)

24

yakni tentang penyelesaian sengketa Pemilukada. Namun demikia n dalam

penelitian ini, peneliti berusaha fokus untuk meneliti tentang prosedur pelaksanaan Pemilukada beserta penyelesaian sengketa hasil dalam UU 32/2004 tentang Pemerintah Daerah, beserta kewenangan Mahkamah

Konstitusi dalam memutus sengketa Pemilukada setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 jo Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015

tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Beberapa penelitian tentang Mahkamah Konstitusi yang sudah pernah dilakukan adalah sebagai berikut;

Pertama, Tesis yang ditulis oleh Hani Adhani sebagai tugas akhir

untuk memperoleh gelar Magister Hukum di Universitas Indonesia dengan tema “Proses Penyelesaian Sengketa Pilkada Pasca Perubahan Kedua

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah”.

Fokus dari Tesis ini adalah bagaimana proses peralihan penyelesaian sengketa Pemilukada dari Mahkamah Agung kepada Mahkamah Konstitusi serta proses beracara di Mahkamah Kontitusi jika terjadi sengketa hasil.27

Kedua, Penelitian yang dilakukan oleh Achmaduddin Rajab yang

digunakan untuk memenuhi tugas akhir (tesis) di Program Pascasarjana

Fakultas Hukum, Program Studi Magister Universitas Indonesia. Tesis tersebut berjudul; “Tinjauan Yuridis Pentingnya Pembentukan Peradilan Khusus Pemilu dalam Pemilukada”. Tesis ini fokus kepada pembahasan

tentang pentingnya Pembentukan Peradilan Khusus Pemilukada, yang

27

(34)

25

menyelesaikan sengketa Pemilukada. Pembentukan peradilan khusus ini

dimaksudkan agar segala bentuk pelanggaran dalam pemilukada dapat ditangani secara integratif.28

Ketiga, Penelitian Tesis yang dilakukan oleh Nurudin Hadi, Tesis ini

ditulis untuk memenuhi tugas akhir guna memeperoleh gelar Magister bidang Hukum di Program Pasca Sarjana Universitas Airlangga Surabaya. Tesis tersebut telah dibukukan dengan judul “Wewenang Mahkamah Konstitusi

(Pelaksanaan Wewenang Mahkamah Konstitusi dalam Menyelsaikan Hasil Pemilu)”. Tesis ini fokus kepada pengkajian kewenangan Mahkamah

Konstitusi dalam menyelesaikan perselisihan hasil pemilihan umum yang putusannya bersifat final dan mengikat.29

Adapun Tesis yang saya tulis berjudul “Kompetensi Mahkamah

Konstitusi dalam Memutus Sengketa Pemilihan Umum Kepala Daerah

Sebelum dan Sesudah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015

jo Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur,

Bupati, dan Walikota.

Tesis ini berbeda dengan ketiga tesis tersebut diatas. Tesis yang pertama fokus pembahasan kepada proses peralihan penyelesaian sengketa

Pemilukada dari Mahkamah Agung ke Mahkamah Konstitusi. Tesis kedua, fokus pembahasan kepada pentingnya pembentukan peradilan khusus pemilukada. Lembaga khusus inilah yang nantinya akan menyelesaikan setiap

28

Achmaduddin Rajab, Tinjauan Yuridis Pentingnya Pembentukan Peradilan Khusus Pemilu dalam Pemilukada, (Tesis, Universitas Indonesia, 2013).

29

(35)

26

pelanggaran dan sengketa selama pelaksanaan Pemilukada. Dan yang tesis

yang ketiga focus kepada wewenang Mahkamah Konstitusi dalam menyelesaikan perselisihan pemilihan umum. Adapun dalam Tesis saya ini yang membedakan dengan penelitian yang lainnya adalah, fokus kepada

pelaksanaan Pemilukada berdasarkan dengan UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah serta penyelesaian sengketan berdasarkan

Undang-Undang tersebut. Serta juga membahas tentang kompetensi Mahkamah Konstitusi yang baru dalam mengadili sengketa Pemilukada berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 jo Undang-undang Nomor 8 tahun

2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

H. Metode Penelitian

1. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Pendekatakan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan Undang-Undang (Statute Approach). Pendekatan undang-undang dilakukan

dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut

dengan isu hukum yang sedang ditangani.30 Dalam penelitan ini, undang-undang yang akan dijadikan objek penelitian utama adalah UUD NRI 1945, UU 32/2004 tentang Pemda, dan UU 1/2015 tentang Pemilukada yang telah

direvisi oleh UU 8/2015 tentang Pemilukada, serta aturan-aturan lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini. Selain itu guna memperoleh pemikiran yang utuh terkait dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam

30

(36)

27

menyelesaiakan sengketa Pemilukada, maka kami juga menelaah UU

12/2008 tentang Pemda, serta UU 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Penulis juga menggunakan pendekatan case approach, yaitu pendekatan yang dilakukan terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan

isu-isu yang dihadapi yang telah menjadi kekuatan hukum tetap. Kajian pokoknya adalah reasoning, yaitu pertimbangan pengadilan untuk sampai

kepada suatu keputusan.31 Keputusan yang kami kaji adalah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 72-73/PUU-2004, serta putusan-putusan lainnya yang

berkaitan dengan penelitian ini.

Karateristik dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif,

atau yang disebut juga dengan penelitian doktrinal. Pada penelitian hukum jenis ini acapkali dikonsepsikan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan

perundang-undangan (law in boks) atau hukum dikonsepsikan sebagai kaedah atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia.32 Selain itu, tesis ini termasuk dalam penelitian kepustakaan (Library Research).

Penelitian kepustakaan merupakan serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca dan mencatat, serta

mengolah bahan dan sumber kepustakaan.33

31

Ibid., 94. 32

Amiruddin dan Zainal Askin, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta; Rajawali Press, 2012), 118. 33

(37)

28

2. Sumber Data

Adapun yang dimaksud sumber data dalam penelitian adalah dari mana data diperoleh.34 Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah bersumber dari UUD NRI 1945, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang

Pemilukada jo UU 8/2015 tentang Pemilukada, UU 12/2008 tentang Pemda, UU 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan Undang-undang lainnya

yang relevan dengan Penelitian ini. Serta beberapa putusan Mahkamah Konstitsui, diantaranya adalah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013, sumber-sumber lainnya berupa Putusan Mahkamah

Konstitusi terdahulu yang telah berkekuatan hukum tetap.

Oleh karena itu, dalam penelitian ini memeliki sumber data sebagai berikut:

a. Data primer

Data primer adalah data yang didapat langsung dari sumber utama

melalui penelitian.35 Data primer dalam penelitian ini adalah; 1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945.

2) UU 8/2015 tentang perubahan UU 1/2015 tentang Pemilukada.

3) Perpu 1/2014 tentang Pemilukada.

4) UU 12/2008 tentang Perubahan Kedua UU 32/2004 tentang Pemda.

5) UU 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. 6) UU 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

7) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013.

34

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rineka Cipta, Cet 13, 2006), 129.

35

(38)

29

8) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 72-73/PUU-2004.

9) Serta peraturan-peraturan lainnya yang berkaitan denga penelitian ini. 10) Buku Akhkaamus As-Shulthainyah karya Imam Mawardi

b. Data sekunder

Data sekunder adalah bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan Undang-undang, hasil penelitian,

atau pendapat Pakar Hukum.36 Termasuk didalamnya adalah pendapat para pakar hukum yang dibukukan. Makalah serta hasil seminar kami jadikan sumber sekunder dalam penelitian ini. Di antara data yang dijadikan

sumber data sekunder adalah:

1. Buku Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara karya Jimly Asshiddiqie.

2. Buku Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia, Jimly Ashiddiqie. 3. Buku Konstitusi dan Konstitualisme karya Jimly Ashiddiqie.

4. Dan buku-buku lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini. c. Data Hukum Tersier

Sumber hukum Tersier yaitu bahan yang memberikan petunjuk

maupun penjelasan terhadap data hukum primer dan sekunder, seperti kamus hukum, dan ensklopedi.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

36

(39)

30

a. Dokumentasi, yaitu teknik pengumpulan data yang tidak langsung

ditujukan pada subyek penelitian, namun melalui dokumen.37 Penggalian data ini melalui telaah terhadap undang-undang dan peraturan-peraturan yang ada.

b. Telaah pustaka, yaitu dengan mempelajari buku-buku terkait

permasalahan yang dapat digunakan sebagai landasan teoritis terhadap

permasalahan yang dibahas. 4. Teknik Analisis Data

Analisis yuridis normatif pada hakikatnya menekankan pada metode

deduktif sebagai pegangan utama, dan metode induktif sebagai tata kerja penunjang. Analisis normatif terutama mempergunakan bahan-bahan

kepustakaan sebagai sumber data penelitiannya.38 Dalam penelitian ini teori-teori umum tentang perundangan-undangan dan teori-teori kewenangan yang

dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung serta undang-undang yang mengatur tentang kedua lembaga tersebut akan kami jadikan bahan utama dalam menganalisis penelitaian ini.

I. Sistematika Pembahasan

Sistematika pembahasan ini dipaparkan untuk mempermudah penulisan

dan pemahaman. Oleh karena itu agar lebih sistematis maka tesis ini disusun dalam beberapa bab, pada tiap-tiap bab terdiri dari beberapa sub bab. Adapun sistematika penulisannya adalah:

37

M. Iqbal Hasan, MetodologiPenelitian dan Aplikasinya, (Bogor: Gia Indonesia, 2002), 87. 38

(40)

31

Bab I, berisi pendahuluan yang akan mengantarkan pembaca pada latar

belakang penelitian ini, identifikasi dan rumusan masalah, metode penelitian yang digunakan dalam penlitian ini, yakni meliputi data yang dikumpulkan, sumber data, teknik pengolahan data, teknik pengumpulan data, dan teknik

analisis data, dan sistematika pembahasan.

Bab II, berisi konsep umum tentang teori kompetensi dan teori

kewenangan yang meliputi kewenangan Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung, Teori hierarki perundang-undangan dan konsep Pemilihan Kepala Daerah dalam Islam.

Bab III, berisi tentang hasil penelitian berupa Proses penyelesaian

sengketa Pemilukada mulai di Mahkamah Agung hingga saat ini. Serta

kompetensi Mahkamah Konstitusi sebelum dan sesudah berlakunya Undang-undang Nomor 8 tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan

Walikota serta pandangan Islam terhadap Pemilihan Kepala Daerah atau Gubernur.

Bab IV, Analisis terhadap Proses penyelesaian sengketa Pemilukada

sejak ditangani oleh Mahkamah Agung hingga saat ini, serta analisis terhadap kompetensi Mahkamah Konsitusi pasca berlakunya Undang-Undang Nomor

8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota beserta pandangan Islam terhadap Pemilihan Kepala Daerah atau Gubernur.

Bab V adalah penutup, berisi uraian singkat (kesimpulan) dari apa yang

(41)

32

BAB II

KAJIAN TEORI

Kompetensi dan Kewenangan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi,

Tata Urutan Perundang-Undangan, dan Pemilihan Kepala Daerah dalam

Islam

A. Teori Kompetensi

Menurut Roihan Rasyid, kompetensi seringkali juga dimaknai kewenangan, dan juga dimaknai dengan kekuasaan.1 Adapun kompentensi

yang dimaksud disini adalah kewenangan mengadili oleh lembaga peradilan. Roihan Rasyid membagi kompetensi menjadi dua; Kompetensi Relatif dan

Kompetensi Absolut.

Kompetensi Relatif diartikan sebagai kekuasaan pengadilan yang satu

jenis dan satu tingkatan, dalam perbedaannya dengan kekuasaan pengadilan yang sama jenis dan sama tingkatan lainnya. Atau dengan kata lain bahwa setiap lembaga Peradilan mempunyai wilayah hukum tertentu, dalam hal ini

meliputi satu kotamadya atau satu kabupaten.2

Kompetensi Absolut artinya kekuasaan pengadilan yang berhubungan dengan jenis perkara atau jenis pengadilan, atau tingkatan pengadilan, dalam

perbedaanya dengan jenis perkara atau jenis pengadilan, atau tingkatan pengadilannya. Misalnya, pengadilan Agama berkompeten atas perkara

1

Roihan Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta; Raja Grafindo Persada, 2007), 26. 2

(42)

33

perkawinan bagi mereka yang beragama Islam, sedangkan bagi yang selain

Islam menjadi kompetensi Peradilan Umum.3

R. Soeroso membagi kewenangan mengadili dibagi dalam kekuasaan kehakiman atribusi, dan kekuasaan kehakiman distribusi. Atribusi kekuasaan

kehakiman adalah kewenangan mutlak, atau juga disebut kompetensi absolut. Yakni kewenangan badan pengadilan didalam memeriksa jenis perkara

tertentu dan secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan pengadilan lain. Sedangkan tentang distribusi kekuasaan Pengadilan atau apa yang dinamakan kompetensi relative, atau kewenangan nisbi ialah bahwa Pengadilan Negeri

ditempat tergugat tinggal (berdomisili) yang berwenang memeriksa gugatan atau tuntutan hak.4

Sedangkan menurut Subekti, kompetensi juga dimaknai sebagai kekuasaan atau kewenangan. Subekti sendiri membagi kompetensi atau

kewenangan menjadi dua, yakni kompetensi absolute (kewenangan absolute) dan kompetensi relative (kewenangan relative). Komptensi absolute terkait dengan kekuasaan atau wewenang berbagai jenis pengadilan dalam suatu

Negara yang diatur dalam undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman. Sedangkan kekuasaan relative berkaitan dengan pembagian kekuasaan antara

badan-badan pengadilan dari tiap-tiap jenis pengadilan tersebut, yang umumnya diatur dalam undang-undang tentang hukum acara.5

3

Ibid., 28. 4

R. Soeroso, Praktek Hukum Acara Perdata; Tata Cara dan Proses Persidangan, (Jakarta; Sinar Grafika, 2001), 7.

5

(43)

34

Berdasarkan kedua pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa

Kompetensi relatif pengadilan merupakan kewenangan lingkungan peradilan tertentu berdasarkan yuridiksi wilayahnya, yaitu untuk menjawab pertanyaan “Pengadilan Negeri wilayah mana yang berwenang untuk mengadili suatu

perkara’. Sedangkan kompetensi Absolut adalah menyangkut kewenangan

badan peradilan apa untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara.

Sehingga kompetensi Absolut tersebut berkaitan dengan pengadilan apa yang berwenang untuk mengadili.

Sedangkat menurut Subekti, untuk membedakan kompetensi absolute

dan relative subuah lembaga peradilan dapat dilihat dari undang-undang yang mengaturnya. Kompetensi absolute dapat ditinjau dalam undang-undang

Pokok Kehakiman, sedangkan kompetensi relative dapat ditinjau dari undang-undang hukum acara lembaga peradilan tersebut.

B. Teori Kewenangan

Konteks Negara yang berdasarkan hukum tidak bisa dilepaskan dari

Konstitusi yang menjadi dasar sebuah Negara hukum. Konstitusi merupakan

bentuk manifestasi dari konsep sebuah Negara hukum. Konstitusi berfungsi untuk mengatur penyelenggaraan Negara yang dilakukan oleh organ-organ Negara. Agar organ Negara ini dapat berjalan dengan baik, maka

(44)

35

tugas dan fungsinya dengan baik dan agar tidak terjadi kewenangan yang

saling tumpang tindih diantara organ-organ Negara tersebut.

Berdasarkan Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerinatahan dijelaskan bahwa “Kewenangan

Pemerintahan, yang selanjutnya disebut Kewenangan adalah kekuasaan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk bertindak dalam ranah hukum publik”. Sedangkan menurut Philpus Hadjon,

bahwa kewenangan hanya dapat diperoleh dengan dua cara, yaitu atribusi atau dengan delegasi.6 Adapun Abdul Rasyid Thalib menambahkan bahwa

Kewenangan yang dimiliki oleh organ (institusi) pemerintahan atau Lembaga negara dalam melakukan perbuatan nyata (riil), mengadakan pengaturan, atau

mengeluarkan keputusan selalu dilandasi kewenangan yang diperoleh dari konstitusi secara atribusi, ataupun delegasi, ataupun mandat.7

Pengertian Atribusi menunjuk pada kewenangan yang asli atas dasar konstitusi (UUD) atau ketentuan Hukum Tata Negara. Pada kewenangan yang diperoleh dengan cara delegasi harus ditegaskan suatu pelimpahan wewenang

kepada organ pemerintahan yang lain. Adapun mandat tidak terjadi pelimpahan apapun dalam arti pemberian wewenang. Akan tetapi pejabat yang

diberi mandat bertindak atas nama pemberi mandat.8

Segala bentuk kewenangan organ-organ Negara harus di dasari oleh konstitusi dan tata urutan perundang-undangan yang berlaku, baik itu

6

Philipus M. Hadjon, et. al, Pengantar Hukum Adminstrasi Negara (Jogjakarta: UGM Pers, 2008), 130.

7

Abdul Rasyid Thalib, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya dalam sisitem Ketatanegaraan Republik Indonesi (Bandung: Citra aditya Bakti, 2006), 217.

8

(45)

36

kewenangan yang diperoleh dengan cara atribusi, delegasi, maupun mandat.

Hal ini dimaksudkan agar kewenangan yang dimiliki oleh organ-organ Negara tersebut sah dan tidak melanggar konstitusi. Hanya dengan kekuatan undang-undang maka kewenangan pemerintah dapat dinyatakan menurut UUD atau

undang-undang organik yang dibentuk oleh legislatif.

Berkaitan dengan atribusi, delegasi, dan mandat, H.D Van Wijk dan

Wililem Konijnenbelt, seperti yang di kutip oleh Ridwan H.R dalam bukunya Hukum Administrasi Negara, mendefinisikan sebagai berikut;

1) Atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan.

2) Delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan yang lainnya.

3) Mandat adalah pemberian izin yang dilakukan oleh organ pemerintahan agar kewenangannya dijalankan oleh organ pemerintahan yang lain atas namanya.9

Kaitannya dengan pembahasan ini yang akan kami paparkan adalah

kewenangan Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung. Kewenangan kedua lembaga kehakiman tersebut lebih kepada kewenangan atribusi karena telah diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar dan Undang-undang organik.

1. Kewenangan Mahkamah Konstitusi

Cabang kekuasaan kehakiman di Indonesia dikembangkan sebagai

satu-kesatuan sistem yang berpuncak pada Mahkamah Agung dan Mahkamah

Konstitusi. Kedua kekuasaan kehakiman tersebut berkedudukan sejajar dengan tugas dan kewenangan yang berbeda. Dalam Pasal 24 ayat (2) UUD NRI 1945 disebutkan bahwa;

9

(46)

37

“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung (MA)

dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara (TUN), dan oleh

sebuah Mahkamah Konstitusi (MK)”10

Sehingga kedudukan Mahkamah Konstitusi adalah merupakan bagian

dari kekuasaan kehakiman dengan posisi sejajar dengan Mahkamah Agung. Mahkamah Konstitusi bukan bagian dari Mahkamah Agung dalam hal

struktur unityofjurisdiction, tetapi Mahkamah Konstitusi berdiri sendiri serta terpisah dari dualitiy of jurisdiction.11 Sehingga dapat dikatakan bahwa Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung merupakan puncak

pencerminan sistem kedaulatan hukum.

Jimly Asshideqie berpendapat bahwa Mahkamah Agung merupakan

puncak perjuangan keadilan bagi setiap warga Negara. Hakikat fungsinya berbeda dengan Mahkamah Konstitusi yang tidak berhubungan dengan

tuntutan keadilan bagi warga Negara, melainkan dengan sistem hukum berdasarkan konstitusi.12

Mahkamah Konstitusi sebelumnya tidak dikenal dalam UUD NRI 1945, baik secara istilah maupun kelembagaannya. Keberadaan Mahkamah Konstitusi (constitutional court) dalam dunia ketatanegaaraan dewasa ini

merupakan perkembangan baru yang menjadi trend, terutama bagi negara-negara yang baru mengalami peruabahan rezim dari otoriterian menuju

Jimly Assdiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945

(47)

38

demokrasi. Setelah Indonesia memasuki era reformasi dan demokratisasi

dewasa ini, ide pembentukan Mahkamah Konstitusi itu menjadi luas diterima.13

Sejarah berdirinya lembaga Mahkamah Konstitusi diawali dengan diadopsinya ide Mahkamah Konstitusi (constitutional court) dalam amandemen konstitusi yang dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat

(MPR) pada tahun 2001 sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal 7B UUD NRI 1945 hasil Perubahan Ketiga yang disahkan pada 9 Nopember 2001. Ide pembentukan Mahkamah

Konstitusi merupakan salah satu perkembangan pemikiran hukum dan kenegaraan modern yang muncul di abad ke-20.14

Amandemen ketiga UUD 1945 juga mengakhiri kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi Negara. Saat ini semua lembaga Negara mempunyai kedudukan yang sama antara satu dengan lainnya. Oleh karena itu, saat ini

MPR mengalami reformasi struktural dengan diterapkannya sistem pemisahan kekuasaan dan prinsip hubungan check and balances antara lembaga-lembaga

Negara. Sehingga dapat dikatakan bahwa struktur ketatanegaraan kita berpuncak pada tiga cabang kekuasaan ditambah dengan kekuasaan eksaminatif yakni kekuasaan memeriksa keungan Negara yang dimiliki oleh

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi

(KPK). Keempat kekuasaan tersebut saling mengontrol dan saling

13

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, tt), 192. 14

(48)

39

mengimbangi secara sederajat antara satu sama lain, yakni lembaga eksekuitf,

legislative, yudikatif, dan eksaminatif.

Konteks pembentukan Mahkamah Konstitusi di Indonesia,

sebagaimana tercantum dalam Pasal 24 dan Pasal 24 C ayat (1) sampai dengan ayat (6) UUD NRI 1945 pada perubahan ketiga, pada prinsipnya dimaksudkan untuk menjaga dan memperkuat dasar-dasar konstitusionalisme sebuah

perundang-undangan. Sehingga Mahkamah Konstitusi sebagai satu-satunya lembaga yang diberikan otoritas untuk menafsirkan konstitusi (UUD NRI 1945). Disisi lain Mahkamah Konstitusi juga menjadi lembaga yang dapat

menyelesaikan sengketa antar lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD NRI 1945. Hal ini merupakan upaya untuk mendorong

dan menciptakan sistem ketatanegaraan yang demokratis.

Berbeda dengan Indonesia, beberapa negara membedakan atau memisahkan fungsi peradilan tertinggi dalam Mahkamah Agung dan

Mahkamah Konstitusi. Dalam sistem common law seperti Amerika Serikat, tidak dirasakan keperluan semacam itu. Oleh karena itulah, yang bisa disebut

(49)

40

lembaga pengawal konstitusi diluar Mahkamah Agung yang merupakan

lembaga pengawal undang-undang negara adalah sebuah keniscayaan. 15

Undang-undang Dasar suatu Negara merupakan cerminan kehendak

seluruh rakyat yang berdaulat, sedangkan Undang-undang hanyalah kehendak politik para wakil rakyat bersama-sama dengan Pemerintah. Meskipun mereka adalah institusi-institusi yang dipilih oleh rakyat dan mencerminkan suara

mayoritas rakyat, tetapi jika undang-undang yang bersangkutan dibentuk dengan cara ataupun norma-norma yang bertentangan dengan Undang-undang Dasar, maka Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pengawal UUD diberi

kewenangan untuk menyatakan bahwa suatu undang-undang tidak mengikat untuk umum.16

Berdasarkan latar belakang berdirinya Mahkamah Konstitusi yang sudah dijelaskan diawal, Mahkamah Konstitusi mempunyai peran yang sangat penting dalam rangka mengawal konstitusi agar dilaksanakan oleh seluruh

rakyat Indonesia, termasuk penyelenggara negara. Mahkamah Konstitusi memiliki kedudukan sederajat dengan lembaga-lembaga Negara lainnya yang

dalam kerangka prinsip check and balances agar tidak terjadi penyalahgunaan kewenanganoleh penyelenggara Negara.

Mahkamah Konstitusi juga melakukan penafsiran terhadap

Undang-Undang Dasar dan bertindak sebagai satu-satunya lembaga yang mempunyai

15

Nurudy Hady, Teori Konstitusi dan Negara Demokrasi; Paham Konstitusionalisme Demokrasi Pasca Amandemen UUD 1945 (Malang: Setara Press, 2010), 165.

16

Referensi

Dokumen terkait

Undang - undang Informasi dan Transaksi Elektronik adalah ketentuan yang berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam

Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 102/PUU-XIII/2015 perihal pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan

Maka implikasinya, penerapan latihan manipulatif dapat dilakukan oleh guru dalam meningkatkan kemampuan gross motor (motorik kasar) pada peserta didik dengan autisme yang

Penggunaan limbah bandeng pada perlakuan P3 sebesar 10% atau sama dengan 100% tepung ikan menghasilkan presentase lemak daging yang terendah, ini menunjukkan

Hasil pembacaan sensor inframerah dapat dimonitoring didalam web localhost, dengan memberikan informasi kondisi, durasi, dan status parkir motor kepada penjaga

PEMBANGUNAN MANUSIA MELALUI PENGURANGAN KEMISKINAN DAN PENINGKATAN PELAYANAN DASAR PP PN PP KP Percepatan Pengurangan Kemiskinan Peningkatan Pelayanan Kesehatan dan

Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota

Ambulasi dini adalah tahapan kegiatan yang dilakukan segera pada pasien pasca operasi dimulai dari bangun dan duduk sampai pasien turun dari tempat tidur dan mulai berjalan