• Tidak ada hasil yang ditemukan

ProdukHukum BankIndonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ProdukHukum BankIndonesia"

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

RAPAT KERJA BI DAN KOMISI IX DPR RI Tanggal 9 Oktober 2001:

Penjelasan Dewan Gubernur BANK INDONESIA

Atas Pertanyaan Lisan Anggota Komisi IX DPR RI yang diajukan

dalam Rapat Kerja Tanggal 20 September 2001

I. PERTANYAAN MENYANGKUT BIDANG MONETER

A. Masalah Pengendalian Inflasi

Anggota Dewan yang menanyakan masalah pengendalian inflasi adalah Sdr. Suratal HW, Sdr. Sudirman, Sdr. Abdullah Zainie, Sdr. Danial Tandjung, dan Sdr. Abdullah Al Wahdi. Pertanyaan :

1. Apakah ada cara/metode penanggulangan inflasi baru yang ditemukan oleh para peneliti

Bank Indonesia?

2. Apakah uang beredar yang terjadi pada saat ini sudah sesuai dengan LOI/IMF?

Bagaimana Bank Indonesia mengendalikan uang primer ?

3. Dengan terus naiknya suku bunga sejalan dengan usaha Bank Indonesia untuk

mengendalikan inflasi, beban APBN semakin besar dan fungsi intermediasi tidak jalan. Sebaiknya inflasi jangan terlalu dipermasalahkan yang penting ekonomi berjalan. Apa gunanya inflasi rendah (0%) kalau ekonomi mandeg?

4. Apakah ada upaya lain untuk menekan inflasi dan mengurangi uang kartal yang beredar.

Karena yang dilakukan selama ini upaya tersebut hanya mengakibatkan naiknya suku bunga yang justru berakibat buruk pada sektor lain.

5. Kapan Bank Indonesia mulai menurunkan suku bunga SBI?

Jawaban :

Anggota Dewan yang terhormat,

Dari pertanyaan anggota Dewan tersebut dapat kami sampaikan penjelasan sebagai berikut :

1. Kerangka Pengendalian Moneter

Dilihat dari tugas dan wewenangnya, sebagaimana diamanatkan dalam UU No.23 Tahun 1999, Bank Indonesia mempunyai tujuan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Kestabilan nilai rupiah yang dimaksud dalam pasal tersebut adalah kestabilan nilai rupiah terhadap barang dan jasa yang diukur dengan atau tercermin dari perkembangan laju inflasi serta terhadap mata uang negara lain yang diukur dengan atau tercermin dari perkembangan nilai tukar rupiah terhadap mata uang negara lain. Dengan reformulasi tujuan berdasarkan UU Bank Indonesia tersebut, Bank Indonesia memasuki babak baru dalam menjalankan tugas pokoknya dari multiple objectives menjadi single

objective yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah.

(2)

nilai tukar rupiah lebih banyak ditentukan oleh kekuatan penawaran dan permintaan di pasar. Kebijakan Bank Indonesia dengan demikian tidak dimaksudkan untuk mengarahkan pergerakan nilai tukar agar mencapai suatu tingkat tertentu, akan tetapi lebih untuk mencegah fluktuasi nilai tukar yang berlebihan antara lain melalui kebijakan menambah pasokan di pasar valas sepanjang diperlukan. Sejalan dengan itu, maka pelaksanaan tugas Bank Indonesia lebih diarahkan untuk menjaga kestabilan harga (laju inflasi), guna mendukung pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan peningkatan kesejahteraan rakyat sebagaimana dipaparkan di atas.

Pembentukan inflasi pada dasarnya dipengaruhi oleh interaksi antara permintaan dan penawaran agregat. Kondisi permintaan agregat dipengaruhi oleh berbagai perkembangan variable yang berasal dari sisi konsumsi masyarakat dan pemerintah, investasi masyarakat dan pemerintah, serta dari sisi eksternal. Dari sisi penawaran agregat, perkembangan yang terjadi banyak dipengaruhi oleh besarnya faktor input (tenaga kerja dan modal), kebijakan struktural pemerintah, kapasitas produksi yang masih menganggur serta berbagai shocks seperti gangguan distribusi dan pengaruh musim. Beranjak dari hasil interaksi permintaan dan penawaran agregat, selanjutnya secara makro akan terdapat satu kesenjangan produksi baik berlebih atau berkurang. Dalam kondisi kesenjangan produksi berlebih, maka tekanan inflasi yang terjadi akan berkurang. Sebaliknya bilamana kesenjangan produksi yang terjadi berkurang, maka secara normative inflasi yang terjadi akan meningkat. Tekanan inflasi yang berasal dari peningkatan permintaan dikenal dengan

demand pull inflation, sedangkan tekanan inflasi yang diakibatkan perubahan di sisi

penawaran dikenal dengan cost push inflation. Selain itu, tekanan inflasi juga bersumber dari ekspektasi inflasi masyarakat yang antara lain dapat dipicu oleh kebijakan pemerintah di bidang harga dan pendapatan serta depresiasi nilai tukar rupiah.

Berkaitan dengan tekanan inflasi yang berasal dari melemahnya nilai tukar rupiah dapat kami jelaskan bahwa pengaruh nilai tukar terhadap inflasi dapat terjadi baik secara langsung maupun tidak langsung. Dampak langsung depresiasi nilai tukar terhadap inflasi (exchange rate pass through) dijelaskan melalui perubahan harga barang-barang impor yang langsung mempengaruhi harga barang di dalam negeri. Sementara itu, dampak tidak langsung (indirect pass through) melemahnya nilai tukar terhadap inflasi terjadi melalui kenaikan biaya produksi terhadap sektor usaha yang masih memiliki kandungan impor yang tinggi.

Dari penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa kontrol Bank Indonesia atas inflasi menjadi sangat terbatas, karena inflasi dipengaruhi oleh banyak faktor. Oleh karena itu, Bank Indonesia selalu melakukan assessment terhadap perkembangan perekonomian termasuk melakukan survei-survei, khususnya terhadap kemungkinan tekanan inflasi. Selanjutnya respon kebijakan moneter didasarkan kepada hasil assessment tersebut. Perlu disampaikan pula bahwa pengendalian inflasi tidak bisa dilakukan hanya melalui kebijakan moneter, melainkan juga kebijakan ekonomi makro lainnya seperti kebijakan fiskal dan kebijakan di sektor riil. Untuk itulah koordinasi dan kerjasama antar lembaga lintas sektoral sangatlah penting dalam menangani masalah inflasi ini.

(3)

dalam perekonomian, seperti kebijakan sektoral, upah minimum dan kebijakan lain yang terkait dengan penyediaan berbagai kebutuhan industri dalam negeri. Sementara itu, faktor ekspektasi inflasi masyarakat tidak saja dipengaruhi oleh perilaku inflasi pada masa lalu (adaptive expectation) tetapi juga dipengaruhi oleh ekspektasi inflasi di masa mendatang (rational expectation).

Di sisi lain, kebijakan moneter tidak dapat secara langsung mempengaruhi perkembangan sisi penawaran seperti musim panen dan perkembangan harga-harga komoditi yang dikendalikan pemerintah (administered prices) yang juga dapat mempengaruhi laju inflasi. Tanggung jawab pengendalian inflasi yang dibebankan kepada Bank Indonesia dengan demikian secara tidak langsung juga berarti bahwa dalam jangka menengah panjang, pengaruh faktor-faktor non moneter terhadap inflasi perlu terus dikurangi, antara lain melalui langkah-langkah untuk memungkinkan bekerjanya mekanisme pasar dengan baik.

Pengendalian Base Money (Uang Primer) Sebagai Sasaran Operasional

Dalam mencapai tujuan mewujudkan stabilitas harga (inflasi yang rendah), Bank Indonesia menggunakan uang primer (M0) sebagai sasaran operasional dalam pengendalian moneter. Dalam mengendalikan uang primer, Bank Indonesia senantiasa mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan naik turunnya posisi uang primer, baik dari sisi permintaan dan penawaran. Dari sisi permintaan, tingginya peningkatan uang primer terutama berasal dari tingginya permintaan uang kartal oleh masyarakat sebagai salah satu komponen dalam uang primer. Sementara faktor lain yang sepenuhnya dapat dikendalikan oleh Bank Indonesia yaitu Saldo Giro Positif Bank di Bank Indonesia relatif tidak mengalami perubahan yang berarti. Permintaan uang kartal oleh masyarakat ini sebagian besar tergantung dari perilaku masyarakat dalam menggunakan uang kartal tersebut sehingga sulit untuk dapat dikendalikan oleh Bank Indonesia.

Sementara itu dari sisi penawaran, peningkatan uang primer tersebut terutama bersumber dari ekspansi rekening pemerintah (NCG) terutama untuk pembayaran subsidi, proyek dan bunga obligasi melalui sektor perbankan, serta Dana Alokasi Umum (DAU) dalam mengimplementasikan UU Otonomi Daerah. Meningkatnya likuiditas perbankan ditengah belum optimalnya fungsi intermediasi perbankan, yang tercermin dari masih rendahnya penyaluran kredit perbankan ke dunia usaha, dikhawatirkan akan mendorong perbankan untuk bertindak spekulatif yang akan mendorong semakin melemahnya nilai tukar rupiah. Guna mengatasi permasalahan tersebut, Bank Indonesia selalu berusaha untuk menyerap kelebihan likuiditas melalui instrumen OPT yaitu SBI lelang dan intervensi rupiah.

(4)

Pelaksanaan Operasi Pengendalian Moneter

Operasi pengendalian moneter dilakukan dengan instrumen utama SBI (Sertifikat Bank Indonesia) yang dilakukan dengan jangka waktu jatuh tempo 1 bulan dan 3 bulan. Dengan masih adanya potensi tekanan inflasi dan nilai tukar pada periode mendatang serta masih tingginya pertumbuhan uang primer, kebijakan moneter tetap ditujukan untuk menurunkan pertumbuhan base money kearah yang lebih sesuai dengan kebutuhan riil kegiatan perekonomian. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya target pertumbuhan uang primer s.d akhir Desember 2001 adalah 11%-12% sedangkan s.d. akhir Maret 2001 pada kisaran 12%-13%. Dalam hubungan ini, Bank Indonesia terus berupaya mengembangkan model dalam menetapkan sasaran-sasaran moneter yang sesuai dengan kebutuhan perekonomian, termasuk melakukan cash flow projection sebagai acuan dalam operasi pengendalian moneter.

Di dalam menyerap kelebihan likuiditas tersebut strategi pengendalian moneter perlu dilakukan secara berhati-hati dan terukur dengan meminimalkan dampak negatif peningkatan suku bunga yang berlebihan. Untuk itu, strategi pengendalian moneter yang ditempuh adalah sebagai berikut:

a. Operasi Pasar Terbuka harus diarahkan pada upaya meminimalkan kelebihan likuiditas perbankan termasuk kelebihan cadangan bank (excess reserves), SBI, dan intervensi rupiah, secara lebih akurat sehingga tidak menyebabkan signal kenaikan sukubunga yang berlebihan.

b. Intervensi rupiah pada dasarnya digunakan sebagai “fine tuning” untuk menyerap kelebihan likuiditas yang tidak tertampung dalam OPT dengan timing dan magnitude yang tepat serta dengan tetap mengupayakan signal kenaikan sukubunga yang tidak berlebihan.

c. Sterilisasi di pasar valas tetap menjadi opsi yang terbuka untuk membantu penyerapan likuiditas rupiah sekaligus menambah pasokan di pasar valas yang tipis sehingga dapat mengurangi tekanan dan fluktuasi nilai tukar rupiah.

Pengendalian Inflasi Dengan Pendekatan Inflation Targeting

Terkait dengan metode/cara baru dalam penanggulangan inflasi yang ditanyakan oleh Anggota Dewan, Bank Indonesia menyadari bahwa akhir-akhir ini terdapat gejala adanya pergeseran tugas Bank Sentral yang semula bersifat “multiple objectives” menjadi terfokus pada pengendalian inflasi (single objective). Secara khusus, dalam hal strategi pengendalian inflasi ini, Bank Indonesia berupaya untuk menerapkan inflation targeting (IT). Pemilihan metode IT ini sejalan pula dengan kecenderungan terkini bank-bank sentral di dunia karena terbukti cukup ampuh dalam memerangi inflasi. Selain itu, sasaran operasionalnya pun diberbagai negara telah bergeser dari quantinty targeting (uang primer) menjadi price targeting (suku bunga).

Beberapa alasan yang mendasari kecenderungan Bank Sentral menerapkan Inflation Targeting tersebut adalah,

(5)

Kebijakan moneter hanya dapat mempengaruhi variabel-variabel riil dalam jangka pendek.

- Kedua, pencapaian inflasi yang rendah merupakan prasyarat bagi tercapainya pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, karena perekonomian tidak dipacu untuk tumbuh melebihi kapasitasnya.

- Ketiga, dengan menetapkan inflasi sebagai sasaran tunggal, sasaran tersebut akan menjadi jangkar nominal (nominal achor) dalam merumuskan kebijakan moneter dan acuan berbagai kegiatan ekonomi.

Strategi yang digunakan oleh Bank Indonesia dalam mencapai sasaran inflasi yang rendah adalah:

- mengkaji efektivitas instrumen moneter dan jalur transmisi kebijakan moneter. - menentukan sasaran akhir kebijakan moneter.

- mengidentifikasi variabel yang menyebabkan tekanan-tekanan inflasi. - memformulasikan respon kebijakan moneter.

Penetapan sasaran inflasi bank sentral tidak dapat dilakukan secara reaktif tetapi lebih melihat beberapa periode ke depan (forward looking) dengan mempertimbangkan efek tunda kebijakan moneter dan memperhatikan secara seksama proyeksi (outlook) laju inflasi jangka menengah dan panjang. Dalam perkembangannya, inflation targeting secara murni belum sepenuhnya dapat dilakukan diantaranya karena masih tingginya beban fiskal yang memungkinkan Pemerintah untuk mengurangi subsidi dengan menerapkan kebijakan di bidang harga (administered price), mekanisme kelembagaan yang belum jelas (antara Pemerintah, Bank Indonesia dan DPR), dan kondisi perbankan yang belum memungkinkan untuk diterapkan inflation targeting.

Pengkajian Alternatif Metode Pengendalian Inflasi

Dalam mencari alternatif/metode pengendalian inflasi, Bank Indonesia terus berupaya untuk melakukan kajian dan penelitian secara mendalam mengenai kemungkinan meningkatkan efektivitas berbagai piranti moneter yang dimiliki Bank Indonesia. Hasil dari berbagai kajian ini diharapkan akan memberikan alternatif piranti monter yang lebih baik digunakan Bank Indonesia dalam mencapai tujuannya yakni mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Selain itu, Bank Indonesia juga terus berupaya meningkatkan kualitas hasil penelitian yang terkait dengan faktor-faktor yang mempengaruhi inflasi Indonesia secara lebih akurat.

Berkaitan dengan kebutuhan informasi mengenai adanya tekanan inflasi yang lebih tepat digunakan dalam perumusan kebijakan moneter, Bank Indonesia saat ini sedang mengembangkan sejumlah pendekatan/metoda untuk menghitung inflasi inti (core inflation) yaitu inflasi yang dipengaruhi oleh kebijkan moneter. Sebagaimana Anggota Dewan ketahui bahwa salah satu kegunaan core inflation adalah dapat digunakan sebagai guidance bagi pelaksanaan kebijakan moneter Bank Indonesia. Perhitungan core inflation yang dihasilkan tersebut diharapkan akan bisa memberikan arah dan timing yang lebih tepat bagi Bank Indonesia untuk melakukan suatu kebijakan moneter.

(6)

pelaksanaan kebijakan moneter dapat dilakukan secara lebih disiplin dan sistematis serta

forward looking dalam arti otoritas moneter tidak bersifat reaktif atas inflasi yang terjadi

tetapi lebih diarahkan pada kecenderungan inflasi di masa yang akan datang. Melalui serangkaian pengembangan di bidang riset ekonomi dan kebijakan moneter tersebut diharapkan ke depan Bank Indonesia dapat melakukan tugasnya dengan lebih baik lagi.

2. Permasalahan Yang Dihadapi Dalam Upaya Pencapaian Sasaran Uang Primer

Secara operasional, Bank Indonesia masih tetap menggunakan uang primer sebagai sasaran operasionalnya yang disesuaikan dengan target indikatif yang ditetapkan dalam

Letter of Intent (LOI) Pemerintah kepada IMF namun dengan tetap memperhatikan

perkembangan suku buga yang terjadi. Sejak bulan Mei 2001, posisi uang primer terus mengalami peningkatan yang tinggi hingga melampui target indikatif yang ditetapkan. Rata-rata pertumbuhan tahunan uang primer s.d bulan Agustus tahun 2001 telah mencapai 18,3% sementara target pertumbuhan uang primer adalah sebesar 11% – 12% pada Desember 2001 dan sebesar 12% – 13% pada Maret 2002.

Posisi uang primer sampai dengan bulan September ini terus berada di atas target indikatifnya, hal ini terkait dengan meningkatnya permintaan uang kartal oleh masyarakat, disamping adanya pengeluaran dari NCG untuk Dana Alokasi Umum (DAU) ataupun pembayaran gaji pegawai negeri. Beberapa motif yang mendorong permintaan masyarakat terhadap uang kartal tersebut yaitu untuk transaksi, berjaga-jaga, dan untuk spekulasi. Permintaan uang kartal oleh masarakat untuk bertransaksi tersebut mengalami peningkatan berkaitan dengan meningkatnya harga BBM, tarif angkutan dan cenderung melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika. Kebutuhan masyarakat terhadap uang kartal tersebut menjadi semakin tinggi sehubungangan dengan meningkatnya situasi di dalam negeri seperti Memorandum II dan Sidang Istimewa yang mendorong masyarakat untuk menyimpan uang kartal yang lebih besar untuk tujuan berjaga-jaga.

Dari perkembangan tersebut, apabila Bank Indonesia secara “all out” mengupayakan agar pertumbuhan uang primer dari bulan ke bulan berada pada kisaran target yang ditetapkan, maka yang terjadi adalah kenaikan suku bunga yang tinggi. Kondisi demikian tentu saja tidak diinginkan, karena dapat memberikan dampak kurang menguntungkan bagi restrukturisasi perbankan, beban fiskal, dan menghambat pertumbuhan ekonomi. Namun demikian, tingginya pertumbuhan uang primer ini dapat memicu terjadinya inflasi dan kemungkinan adanya tindakan spekulatif terhadap valuta asing serta untuk transaksi-transaksi yang tidak produktif. Kondisi demikian merupakan dilema bagi Bank Indonesia dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan moneter.

Suku Bunga Tinggi (Nominal) Sebagai Resultante Pengendalian Moneter

(7)

bunga yang berlebihan. Sejalan dengan itu, upaya pencapaian target uang primer akan diupayakan dengan lebih mengefektifkan instrumen lain selain SBI lelang yaitu intervensi rupiah dan sterilisasi valas.

Berkaitan dengan banyaknya permintaan penurunan suku bunga pada Bank Indonesia, dapat dikemukakan bahwa suku bunga yang terjadi di pasar pada dasarnya merupakan resultante dari proses lelang yang ditentukan sendiri oleh pasar. Sementara itu, tingginya posisi suku bunga SBI ini masih diperlukan mengingat masih adanya potensi tekanan laju inflasi. Selain itu, kondisi itu juga didasari oleh masih tingginya ekspektasi pelaku pasar terhadap melemahnya nilai tukar rupiah yang tercermin dari masih tingginya posisi forward rate yang berakibat terhadap rendahnya covered interest rate differential SBI bahkan mencapai posisi yang negatif untuk suku bunga deposito. Kedua pertimbangan inilah yang mendorong Bank Indonesia untuk tidak menurunkan suku bunga SBI dalam waktu dekat ini. Dalam hubungan ini, apabila tekanan terhadap laju inflasi dan nilai tukar telah menurun secara persisten dan hambatan-hambatan dalam pemulihan ekonomi nasional dapat diatasi, maka secara bertahap Bank Indonesia dapat menurunkan suku bunga guna mendorong pertumbuhan ekonomi.

3. Pelaksanaan dan Trade-off Dalam Pengendalian Moneter

Pengendalian harga yang diarahkan pada tingkat inflasi yang rendah sering dirasakan oleh berbagai kalangan sebagai langkah yang “kurang berpihak” kepada upaya menggenjot pertumbuhan ekonomi. Karena dengan pengendalian inflasi dari sisi moneter akan berdampak pada meningkatnya suku bunga sehingga dianggap kurang dapat mendukung kelancaran dunia usaha dan menghambat proses pemulihan ekonomi. Padahal, kestabilan harga yang persisten, apabila kredibel, sebenarnya akan memunculkan “confidence” bagi para pelaku ekonomi, tanpa mereka harus bersusah payah melakukan penyesuaian biaya produksi dan di sisi konsumen pun tidak dibebani dengan harga yang terus melonjak-lonjak. Untuk itu, pengendalian inflasi oleh Bank Sentral merupakan prasyarat penting bagi terwujudnya landasan yang kokoh bagi berlangsungnya pemulihan ekonomi dalam jangka yang lebih panjang.

Pengendalian inflasi oleh Bank Indonesia dengan kondisi demikian menjadi sulit dan dilematis. Di bidang fiskal, misalnya, beban pembayaran bunga obligasi variable rate semakin terasa dan menyebabkan beban fiskal meningkat sekitar Rp2 triliun setiap kenaikan 1% suku bunga SBI. Sementara itu, di bidang perbankan, kenaikan 1% suku bunga SBI akan berdampak pada bank-bank yang lemah atau bank yang masih melakukan konsolidasi dikhawatirkan akan memunculkan kembali kesulitan-kesulitan finansialnya.

B. Masalah Sistem Nilai Tukar

Anggota Dewan yang menanyakan masalah sistem nilai tukar adalah Sdr. Daniel Budi Setiawan, Sdr. Sudirman, Sdr. Anthony Zedra Abidin, Sdr. FX. Soemitro, dan Sdr. Mukhtar.

Pertanyaan :

(8)

2. Nilai tukar sempat menguat setelah terbentuknya pemerintahan yang baru. Namun sekarang justru melemah bahkan mencapai Rp9800 per dollar. Apa langkah-langkah Bank Indonesia menghadapi hal tersebut? Kami juga tahu bahwa Bank Indonesia tidak mampu melakukan intervensi dalam jumlah besar.

3. Mengapa nilai tukar masih bergejolak?

4. Ternyata free floating justru menyengsarakan rakyat, tidak sesuai dengan teorinya. Apakah tepat free floating exchange rate diterapkan dalam negara yang mengalami krisis? Saya rasa hal tersebut perlu dikaji ulang.

5. Apakah ini sudah saatnya Bank Indonesia untuk menentukan nilai tetap yang diadjustment sehingga mereka tidak bisa main valas lagi sebagai komoditi ?

Jawaban :

Anggota Dewan Yang terhormat,

Mengingat pertanyaan dari para anggota Dewan secara substansi terkait satu sama lain, perkenankan kami menyatukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan.

Penerapan sistem nilai tukar di Indonesia

Dalam kurun waktu 30 tahun terakhir, Indonesia telah mengimplementasikan berbagai sistem nilai tukar yaitu sistem nilai tukar tetap (Agustus 1971 - November 1978), sistem nilai tukar mengambang terkendali dengan pita intervensi yang makin melebar (November 1978 s.d. 14 Agustus 1997) dan sistem nilai tukar mengambang (14 Agustus 1997 hingga kini). Perubahan penerapan regim nilai tukar dari satu sistem ke sistem lainnya dilakukan sejalan dengan situasi dan kondisi perekonomian Indonesia serta semakin terintegrasinya dengan perekonomian dunia. Pemaparan kronologi penerapan sistem nilai tukar diharapkan dapat memberikan pemahaman mengenai kelebihan dan kelemahan masing-masing sistem.

Nilai Tukar Tetap (Agustus 1971 – November 1978)

Dalam pelaksanaannya, setiap sistem nilai tukar mempunyai kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Dalam sistem nilai tukar tetap, nilai tukar dapat dipertahankan stabil dari waktu ke waktu. Untuk menjaga nilai tukar tetap pada level yang telah ditetapkan bank sentral harus secara aktif melakukan intervensi sehingga harus memiliki cadangan devisa dalam jumlah besar khususnya apabila terjadi kecenderungan permintaan valas. Di Indonesia, sistem nilai tukar tetap dengan sistem kontrol devisa pada tahun 70-an masih dimungkinkan karena pada masa itu lembaga keuangan belum berkembang, volume transaksi devisa masih relatif kecil dan pasar valuta asing belum berkembang, sehingga tekanan-tekanan terhadap nilai tukar yang membutuhkan intervensi bank sentral untuk dapat mempertahankan nilai tukar pada level tertentu relatif kecil.

(9)

terbuka terdapat tekanan-tekanan eksternal yang berpengaruh pada nilai tukar rupiah. Upaya mempertahankan nilai tukar rupiah pada level tertentu dimana bank sentral harus terus melakukan intervensi sehingga membutuhkan cadangan devisa yang besar yang sering kali tidak mampu menghadapi kekuatan pasar eksternal global yang sangat besar. Alternatif lain yakni penyesuaian berupa kebijakan devaluasi seperti yang pernah dilakukan beberapa kali di tahun 1970-an akan menimbulkan gejolak spekulasi besar-besaran apabila masyarakat memperkirakan Bank Sentral tidak mampu lagi mempertahankan nilai tukar. Dengan demikian, semakin sulit bagi Bank Indonesia untuk mempertahankan sistem nilai tukar tetap ini.

Nilai Tukar Mengambang Terkendali (November 1978 s.d. 14 Agustus 1997)

Penerapan sistem nilai tukar mengambang terkendali memberikan kisaran tertentu bagi nilai tukar untuk bergerak mengikuti pasar. Dalam penerapannya, sistem mengambang terkendali dari waktu ke waktu disesuaikan dengan selisih inflasi antara Indonesia dan sekeranjang mata uang negara mitra dagang dan kompetitor Indonesia, untuk mempertahankan nilai tukar riil efektifnya (Real Effective Exchange Rate). Dengan penyesuaian selisih inflasi tersebut, perkembangan nilai tukar rupiah pada masa sistem nilai tukar mengambang terkendali relatif stabil dan mudah diprediksi.

Namun demikian, dengan makin berkembangnya sektor keuangan dan mobilitas modal yang tinggi, gejolak nilai tukar akan semakin membesar khususnya bila terdapat isu devaluasi. Meskipun pita (kisaran) intervensi telah terus menerus dilebarkan, pada akhirnya Bank Sentral tidak mampu menahan serangan spekulatif terhadap nilai tukar di awal periode krisis, karena cadangan devisa yang terbatas. Nilai tukar menjadi bergejolak dan kekuatan pasar begitu dominan sehingga menyebabkan terkurasnya cadangan devisa. Oleh sebab itu, sistem ini ditinggalkan dan kita beralih ke sistem nilai tukar mengambang.

Nilai Tukar Mengambang (Floating Exchange Rate)

Dalam sistem nilai tukar mengambang, fluktuasi sulit dihindari, misalnya nilai tukar pernah mencapai Rp. 16.000 per dolar AS pada tahun 1998, kemudian menguat Rp.6.900 per dolar AS pada Oktober 1999, namun kembali melemah menjadi Rp.7.463 per dolar AS pada Maret 2000 dan Rp.11.300 pada Juni 2001. Setelah pemerintahan baru nilai tukar sempat menguat hingga Rp.8600 per dolar AS di bulan Agustus 2001 namun masih berfluktuasi.

Usaha-usaha yang dilakukan dalam rangka menjaga stabilitas nilai tukar oleh Bank Indonesia dan Pemerintah antara lain: menyerap kelebihan likuiditas di pasar uang melalui operasi pasar terbuka, melakukan sterilisasi valuta asing, membatasi transaksi rupiah antara bank dengan non-residen dan melakukan penjadwalan utang pemerintah melalui Paris Club I dan II. Dapat diinformasikan bahwa dalam sistem nilai tukar mengambang, Bank Indonesia dapat melakukan intervensi sewaktu-waktu. Bank Indonesia pada umumnya melakukan intervensi sebagai upaya menambah supply valas di pasar untuk meredam volatilitas harga yang terjadi di pasar dan bukan mengarahkan pada level/kurs tertentu.

(10)

berisiko tinggi terhadap terjadinya serangan spekulatif mengingat terbatasnya cadangan devisa Bank Indonesia dan secara politis akan lebih mahal apabila dalam jangka pendek terpaksa melakukan devaluasi. Walaupun dengan menerapkan sistem mengambang terkendali, apabila faktor ketidakpastian dapat diselesaikan, maka diharapkan nilai tukar akan kembali menguat dan menjadi relatif stabil.

Berdasarkan pengalaman negara-negara di dunia, suatu sistem nilai tukar yang cocok untuk suatu negara, belum tentu berhasil diterapkan di negara lainnya. Sebagai contoh, Hong Kong berhasil menjaga stabilitas perekonomiannya dengan sistem nilai tukar tetap (Currency Board System), namun Argentina dengan sistem CBS-nya tidak dapat terhindar dari krisis dan saat ini perekonomiannya sedang terpuruk sehingga membutuhkan bantuan IMF. Singapura yang menerapkan sistem mengambang bebas berhasil menjaga stabilitas nilai tukar dan perekonomiannya. Oleh karena itu, keberhasilan pelaksanaan suatu sistem nilai tukar sangat tergantung kepada kondisi di masing-masing negara.

Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan nilai tukar

Perkembangan nilai tukar rupiah akhir-akhir ini lebih dipengaruhi oleh tiga faktor utama. Pertama, ekspektasi jangka pendek pelaku pasar (sentimen pasar) yang sering tercermin pada fluktuasi jangka pendek nilai tukar. Kedua, faktor fundamental berupa laju inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan kinerja neraca pembayaran. Ketiga, struktur mikro pasar valuta asing yaitu kondisi finansial bank dan corporate. Ketiga faktor utama tersebut saling terkait satu sama lain dan telah menimbulkan lingkaran permasalahan (vicious circle) baik dalam skala makro maupun mikro dan gejolak nilai tukar yang kita alami ini merupakan gejala dari permasalahan ekonomi yang kita hadapi.

Dalam beberapa periode (Semester I tahun 2001), nilai tukar mengalami volatilitas yang cukup tinggi. Tidak dapat dipungkiri, bahwa harapan-harapan jangka pendek pelaku pasar selama ini banyak dipengaruhi oleh ketidakstabilan situasi sosial politik (risiko politik), yang oleh pelaku pasar pada umumnya dikhawatirkan dapat mengganggu kelangsungan pemulihan ekonomi (risiko ekonomi) ke depan. Dengan relatif stabilnya situasi sosial politik saat ini dibandingkan di masa lalu, faktor pertama yang mempengaruhi nilai tukar tersebut (sentimen pasar) diharapkan dapat segera teratasi. Namun, di pihak lain gejolak nilai tukar yang berlebihan di masa lalu tersebut telah menimbulkan berbagai gangguan terhadap struktur ekonomi baik dalam skala makro dan mikro.

Dalam skala makro, faktor fundamental ekonomi yang terjadi dapat mempengaruhi pergerakan nilai tukar secara signifikan, misalnya, dengan memburuknya kinerja Neraca Pembayaran Indonesia. Demikian halnya kondisi fundamental yang terefleksi dari tingginya permintaan untuk pembayaran utang dan kondisi kestabilan dan kesinambungan fiskal jangka panjang dapat mempengaruhi pergerakan nilai tukar. Sementara itu, dalam jangka panjang fakor utang luar negeri swasta masih cukup tinggi dan tetap menjadi sumber utama tekanan permintaan valuta asing di pasar. Sedangkan sumber pasokan valuta asing yang berasal dari aliran modal masuk dalam bentuk investasi asing dan kembalinya modal akibat capital flight yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir belum terealisasi. Sementara itu, meskipun neraca perdagangan mengalami surplus, namun belum memberikan sumbangan berarti terhadap ketersediaan valuta asing di dalam negeri.

(11)

penguatan dan stabilnya nilai tukar rupiah secara fundamental dapat terjadi melalui terciptanya aliran masuk modal asing FDI secara signifikan yang mencerminkan kuatnya kepercayaan investor sekaligus kestabilan nilai tukar rupiah.

Sementara itu, dalam skala mikro gejolak nilai tukar sangat mempengaruhi kinerja perbankan dan sektor riil. Kondisi finansial dari corporate dan individual bank sangat mempengaruhi terhadap permintaan dan penawaran valuta asing di pasar dalam menjaga posisi short atau long valuta asing. Dengan demikian, meskipun situasi politik di dalam negeri relatif membaik, namun beberapa permasalahan fundamental ekonomi baik dalam skala makro maupun mikro masih belum mengalami perubahan yang signifikan untuk memberikan dukungan bagi tercapainya stabilitas nilai tukar rupiah.

C. Masalah Perkembangan Nilai Tukar

Pertanyaan :

1. Kami ingin menanyakan kebenaran pernyataan yang tertuang dalam laporan Triwulan II yang menyatakan bahwa: “Kondisi pasar valas yang tidak likuid, biaya hedging yang mahal, maka kebutuhan USD dipenuhi dari pasar spot sehinga nilai tukar menjadi melemah. Hal ini terlihat dari transaksi spot yang lebih besar dari transaksi hedging”.

Jawaban :

Anggota Dewan yang terhormat,

Sebagaimana dikemukakan di atas, pembentukan harga (kurs) rupiah terhadap USD amat ditentukan oleh seberapa kuatnya permintaan dan ketersediaan penawaran valas. Pergerakan nilai tukar di pasar spot merupakan pembentukan harga yang dipengaruhi oleh faktor-faktor yang lebih bersifat jangka pendek. Lain halnya dengan pembentukan harga di pasar swap, lebih dipengaruhi oleh persepsi jangka panjang yang masih diliputi ketidakpastian. Oleh karena itu, di pasar swap atau forward, pelaku pasar memperhitungkan premi yang merupakan harga dari risiko yang akan diterima/dibayar sebagai salah satu sarana lindung nilai (hedging) atas eksposure mata uang yang dimiliki.

Sebagaimana disebutkan di atas, pada pasar valas Jakarta terdapat perubahan komposisi transaksi pasar valas. Transaksi spot lebih tinggi dari transaksi swap pada bulan April, Mei, dan Agustus 2001. Fenomena ini disebabkan oleh makin tingginya biaya premi bersamaan dengan makin meningkatnya kebutuhan hedging pasar. Mahalnya biaya premi tersebut menyebabkan pertambahan transaksi hedging tidak sebesar tambahan transaksi spot. Sementara itu, semakin memburuknya kondisi neraca bank telah menurunkan kemampuan bank-bank domestik untuk menyediakan fasilitas lindung nilai (hedging). Situasi ini telah mendorong kalangan dunia usaha lebih banyak melakukan lindung nilai di pasar

swap off-shore atau melakukan fungsi lindung nilai melalui transaksi spot dengan cara

membeli valuta asing lebih dini untuk kebutuhan valasnya pada waktu yang akan datang. Dalam periode-periode tertentu hal ini mengakibatkan lonjakan volume transaksi spot melebihi volume transaksi swap.

(12)

pelaku pasar terhadap pergerakan nilai tukar rupiah dalam jangka panjang memburuk. Hal ini terlihat pada fenomena dalam dua bulan terakhir (Agustus dan September 2001), yang menunjukkan tingginya transaksi swap dibandingkan transaksi spot. Tercatat volume transaksi spot untuk bulan Agustus dan September (angka sementara) 2001 masing-masing sebesar USD14,7 miliar dan USD6,4 miliar. Sementara volume transaksi swap mencapai USD17,1 miliar dan USD9,2 miliar pada periode yang sama. Tingginya transaksi swap ini mencerminkan tingginya kebutuhan akan hedging pada periode dua bulan terakhir. Hal ini kemungkinan terjadi karena penguatan rupiah yang terjadi belum persisten dan belum diikuti oleh prospek jangka panjangnya, seperti tercermin dari masih tingginya premi swap dan premi risiko di Indonesia.

Pertanyaan lain mengenai masalah nilai tukar dari Sdr. Mukhtar Pertanyaan :

2. Musibah WTC dan kurs rupiah mencapai sebesar 9.800 dari 9.000 langkah apa yang diambil Bank Indonesia?

Jawaban :

Anggota Dewan yang terhormat,

Musibah serangan teroris di AS pada 11 September 2001 ini terjadi bertepatan dengan sentimen negatif di pasar valas akibat penundaan Paris Club II. Pada saat yang bersamaan pula, kebutuhan genuine demand valas dari sektor korporasi dan beberapa BUMN cukup besar berkaitan dengan pembayaran utang luar negeri dan keperluan impor. Dengan demikian, kuatnya tekanan permintaan tersebut ikut memberikan kontribusi dalam mendorong depresiasi nilai rupiah sehingga rupiah tidak dapat bertahan di bawah level Rp. 9000 per dollar AS. Sentimen negatif diperkirakan masih berlanjut berkaitan dengan maraknya aksi demo menentang rencana aksi militer AS terhadap Afganistan yang dikhawatirkan mengganggu keamanan sosial dalam negeri,

Fluktuasi nilai rupiah pada akhir-akhir ini juga dipengaruhi oleh kuotasi bank-bank off-shore menyusul kekhawatiran terhadap situasi ekonomi internasional yang cenderung memburuk. Depresiasi rupiah akhir-akhir ini juga merupakan kecenderungan global dimana pada umumnya nilai tukar mengalami depresiasi terhadap USD, kecuali Euro dan Poundsterling, akibat kekhawatiran resesi ekonomi global akan lebih berdampak negatif pada local currency yang struktur ekonominya umumnya bertumpu pada sektor ekspor.

(13)

Pertanyaan dari Sdr. Abdullah Zainie Pertanyaan :

3. Mengenai laporan triwulan, ada yang kurang begitu kami pahami. Depresiasi nilai tukar rupiah terkait dengan masalah besar nilai tukar. Disitu dikatakan bahwa sekarang terdapat perubahan perilaku pasar, khususnya sektor korporasi terhadap USD yang seharusnya dipenuhi dengan transaksi forex tapi terlambat oleh dua hal yaitu yang petama kodisi pasar derivatif yang tidak likuid dan kedua ongkos hedging premi swap yang makin mahal, akibatnya dilukiskan disini transaksi spot yang selalu lebih besar daripada transaksi swap dalam bulan April. Sehingga permintaan USD direalisasikan dalam pasar spot. Bagaimana mengatasi masalah ini, apakah ini pure masalah kebijakan atau peraturan dari Bank Indonesia?

Jawaban :

Anggota Dewan yang terhormat,

Pergesaran transaksi valuta asing dari jenis transaksi Swap menjadi transaksi Spot pada bulan April dan Mei 2001 sebagai mana pada laporan triwulan II 2001 bukan merupakan hal yang permanen. Pergeseran pada waktu itu disebabkan oleh meningkatnya biaya premi (premi swap) akibat meningkatnya tingkat risiko investasi di tanah air sejalan dengan berbagai kerusuhan sosial serta menjelang memorandum II akhir April 2001 yang dikhawatirkan memicu kerusuhan sosial yang lebih luas. Pergeseran antara dua jenis transaksi tersebut merupakan hal biasa dalam transaksi valuta asing antar bank di pasar valas domestik. Transaksi spot akan melebihi transaksi swap apabila kondisi pasar diliputi sentimen negatif yang membuat pasar panic akibat meningkatnya biaya premi sebagaiman terjadi pada bulan April, Mei, dan Juli 2001. Sebaliknya, dalam kondisi pasar yang relatif tenang transaksi spot di pasar akan cenderung melebihi transaksi swap. Pada umumnya, besarnya premi dipengaruhi oleh tingginya country risk suatu negara yang mencerminkan tingkat risiko investasi. Namun, relatif tipisnya pasar derivatif karena belum selesainya proses restrukturisasi diduga ikut menjadi faktor yang menaikkan harga premi tersebut.

Tipisnya pasar swap dalam negeri disinyalir juga disebabkan oleh pengalihan transaksi swap dari transaksi pasar domestik ke pasar luar negeri misalnya ke Singapura dan Hong Kong, terkait dengan pembukaan L/C oleh eksportir pada perbankan di negara-negara tersebut, karena belum pulihnya kepercayaan internasional terhadap perbankan nasional dalam mendukung transaksi ekspor/impor. Dengan belum berjalan baiknya sistem intermediasi perbankan di Indonesia, counterpart dagang Indonesia lebih mempercayakan penerbitan L/C pada bank-bank internasional.

(14)

ini cukup efektif mengurangi transaksi valas yang tidak terkait dengan kegiatan ekonomi dan investasi di Indonesia, yang sebelumnya dipergunakan sebagai sarana spekulasi oleh pemilik modal.

D. Masalah Akuntabilitas Pencapaian Kestabilan Nilai Rupiah

Pertanyaan dari Abdullah Al Wahdi Pertanyaan :

Bahwa di dalam Bab III Tujuan dan Tugas Bank Indonesia Pasal 7 adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai tukar rupiah tetapi kenyataannya sampai saat ini Bank Indonesia tidak mampu melaksanakan tugas untuk mencapai stabilitas nilai rupiah dengan kata lain Bank Indonesia gagal dalam tugas dan tanggungjawabnya. Bagaimana pertanggungjawaban Bank Indonesia dalam hal ini. Kalau di negara lain Bank Sentral tidak mampu melaksanakan tugas ini, mundur. Apakah Dewan Gubernur Bank Indonesia siap mundur sebagai pertanggungjawaban moral terhadap Bangsa dan negara.

Jawaban:

Anggota Dewan yang terhormat,

Sebagaimana diamanatkan dalam UU No 23/1999 pasal 7, tugas Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Kestabilan nilai rupiah yang dimaksud adalah kestabilan nilai rupiah terhadap barang dan jasa yang tercermin dari perkembangan laju inflasi serta kestabilan terhadap mata uang negara lain yang tercermin pada perkembangan nilai tukar rupiah terhadap mata uang negara lain. Hal ini tentu memberikan suatu implikasi dan tantangan baru bagi Bank Indonesia dalam pelaksanaan tugasnya. Tugas mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah terhadap barang dan jasa serta mata uang negara lain berarti bahwa Bank Indonesia harus menjaga

internal balance (keseimbangan internal) agar inflasi tetap rendah dan pada saat yang

bersamaan juga menjaga external balance (keseimbangan eksternal) agar nilai tukar rupiah cukup kuat dan stabil.

(15)

faktor-faktor moneter atau yang biasa juga disebut dengan core inflation atau underlying inflation.

Dalam hal nilai tukar rupiah, disadari sepenuhnya bahwa dengan dianutnya free

float exchange rate system, nilai tukar rupiah lebih banyak ditentukan oleh kekuatan

penawaran dan permintaan di pasar. Selain faktor fundamental ekonomi dan tehnikal, faktor sentimen pasar yang merupakan cermin dari faktor risiko dan ketidakpastian kerap mewarnai pergerakan nilai tukar rupiah. Oleh karena itu, kebijakan Bank Indonesia tidak dimaksudkan untuk mengarahkan pergerakan nilai tukar agar mencapai suatu tingkat tertentu, akan tetapi lebih untuk mencegah fluktuasi nilai tukar yang berlebihan, antara lain melalui kebijakan untuk menyediakan pasokan valas apabila diperlukan.

Terkait dengan akuntabilitas atas pelaksanaan tugas tersebut, Bank Indonesia secara rutin dan tepat waktu selalu memberikan Laporan atas pelaksanaan tugas di bidang moneter, perbankan, dan sistem pembayaran yang disampaikan kepada anggota Dewan sekalian setiap tiga bulan. Dalam laporan tersebut Bank Indonesia secara rinci menjelaskan upaya-upaya yang ditempuh dalam mencapai tujuan serta kendala-kendala yang dihadapi sesuai dengan amanat dari Undang-Undang tentang Bank Indonesia. Selain itu, langkah-langkah kebijakan di bidang moneter dan perbankan yang merupakan hasil Rapat Dewan Gubernur bulanan juga secara rutin disosialisasikan kepada masyarakat sebagai salah satu perwujudan transparansi dan akuntabilitas Bank Indonesia. Adalah menjadi wewenang selanjutnya dari anggota Dewan sekalian untuk melaksanakan fungsi pengawasan pelaksanaan tugas Dewan Gubernur Bank Indonesia, berdasarkan laporan-laporan dimaksud. Tentu saja, Dewan Gubernur Bank Indonesia dalam melaksanakan tugasnya selalu mengacu pada UU No 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia.

E. Masalah Obligasi Pemerintah

Anggota Dewan yang menanyakan masalah Obligasi pemerintah adalah Sdr. Syamsul Balda

Pertanyaan :

Ada beberapa bond atau obligasi bank-bank rekap yang dijaminkan ke Bank Indonesia atau dijual kemudian bank-bank rekap tadi mendapat dana cash. Berapa sebenarnya jumlah bond yang dijaminkan ke Bank Indonesia oleh bank-bank rekap. Kemudian bank-bank mana saja yang telah menjual bond-bond rekapnya ini melalui Bank Indonesia. Tolong kami diberikan informasi karena bagaimanapun juga ini adalah amanat yang diberikan masyarakat kepada DPR khususnya lembaga yang memiliki fungsi pengawasan juga kepada Bank Indonesia. Ini tolong dijelaskan karena sudah santer beredar bahwa hasil penjualan bond-bond rekap itu digunakan untuk main valas?

Jawaban :

Anggota Dewan yang terhormat,

(16)

Obligasi pemerintah yang telah tercatat dalam portofolio perdagangan tersebut dapat diperjualbelikan atau diagunkan.

Dalam kaitan ini, bagi suatu bank yang telah memindahkan obligasi rekap-nya ke dalam portofolio perdagangan dapat melakukan transaksi penjualan obligasi rekap atau pengagunan obligasi rekap ke bank lain/pihak lain untuk memenuhi kebutuhan likuiditasnya. Dalam konteks ini maka peranan program rekapitalisasi perbankan sangat penting untuk membantu bank-bank yang membutuhkan likuiditas yakni dengan cara bank-bank dapat menjual/mengagunkan Obligasi Pemerintah yang dimilikinya. Kemudahan bank-bank untuk menjual/mengagunkan Obligasi Pemerintah yang dimilikinya sangat tergantung dari tersedianya pasar sekunder yang likuid. Selain itu, untuk menciptakan kepastian bagi calon investor pembeli Obligasi Pemerintah tersebut, maka keberadaan suatu UU Surat Utang Negara (SUN) sangat diperlukan.

Selain itu, mengingat obligasi pemerintah merupakan surat berharga yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan, maka obligasi pemerintah tersebut dapat juga diagunkan untuk memperoleh Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) kepada Bank Indonesia dalam fungsinya sebagai Lender of Last Resort sesuai pasal 11 UU No.23/1999 tentang Bank Indonesia dan untuk memperoleh Fasilitas Likuiditas Intrahari (FLI) dalam rangka menjaga kelancaran sistem pembayaran sebagaimana tugas Bank Indonesia sesuai pasal 15 UU No.23/1999. Bank-bank yang membutuhkan Fasilitas Likuiditas Intrahari (FLI) dan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) dapat memperolehnya sepanjang memiliki agunan yang cukup, berkualitas tinggi dan mudah dicairkan yakni seperti SBI dan Obligasi Pemerintah. Dengan demikian, program rekap perbankan melalui penerbitan Obligasi Pemerintah telah menyediakan surat berharga baru yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan yang dapat digunakan sebagai agunan untuk memperoleh fasilitas pendanaan jangka pendek dari bank sentral untuk mengatasi kesulitan likuiditasnya.

Sementara itu, Bank Indonesia sebagai penatausaha obligasi pemerintah (central

registry) dengan menggunakan sistem penatausahaan tanpa warkat (book entry registry)

berfungsi mencatat kepemilikan, perpindahan kepemilikan, kliring & setelmen dan pembayaran kupon obligasi pemerintah.

Dapat dinformasikan hampir seluruh bank-bank rekap telah aktif melakukan transaksi jual beli dan atau mengagunkan obligasi rekapnya. Sampai dengan bulan Agustus 2001, posisi obligasi pemerintah yang tercatat dalam portofolio perdagangan sebesar Rp61,2 triliun dan portofolio investasi sebesar Rp 377,3 triliun.

Bank rekap yang pernah mengagunkan obligasi rekapnya ke Bank Indonesia adalah BII sebesar Rp1,38 triliun dalam rangka pemenuhan Giro Wajib Minimum (GWM) bank yang bersangkutan dari bulan Juni sampai dengan Agustus 2001 yang pada saat ini telah lunas.

F. Masalah Pemulihan Fungsi Intermediasi Perbankan

Anggota Dewan yang menanyakan masalah pemulihan fungsi intermediasi perbankan adalah Sdr. Sudirman dan Sdri. Engelina A. Pattiasina

Pertanyaan :

(17)

kesulitan untuk mendapatkan modal. Bandingkan dengan bunga obligasi rekap yang sangat besar yang menjadi tanggungan masyarakat. Kami mengharapkan agar Bank Indonesia mendorong bank-bank agar segera mengucurkan kredit.

- Dimana letak kesalahannya ?

- Sejauh mana Bank Indonesia dan jajaran perbankan telah berusaha ?

- Bank-bank perlu lebih inovatif, sampai saat ini kucuran kredit belum kunjung tiba. Padahal mereka juga tahu bahwa 80% dana ditransfer ke pusat.

Alasan penolakan bermacam-macam seperti :

- suku bunga kredit yang tinggi

- jaminan kurang

- Padahal sementara itu modal ventura dan BPR dapat menyalurkan dengan baik. 2. Dengan tragedi WTC tampaknya dorongan pertumbuhan yang berasal dari luar (ekspor)

menjadi sulit diharapkan, apakah mungkin dorongan berasal dari dalam negeri sendiri? Sementara kita tahu bahwa APBN kali ini kurang memberikan stimulus.

- Bagaimana usaha Bank Indonesia mempercepat intermediasi perbankan ?

Jawaban :

Anggota Dewan yang terhormat,

Mengingat kedua pertanyaan tersebut saling berkaitan, perkenankanlah kami menjawabnya sekaligus.

Sejalan dengan semakin membaiknya kepercayaan masyarakat kepada perbankan, dana pihak ketiga yang dihimpun bank umum terus menunjukkan peningkatan. Sampai dengan akhir Agustus 2001, dana pihak ketiga yang berhasil dihimpun bank umum dari masyarakat mencapai Rp591,65 triliun, atau meningkat sebesar Rp38,41 triliun bila dibandingkan dengan posisi pada akhir tahun 2000. Dibanding akhir tahun 2000, secara total DPK rupiah dan valas meningkat sebesar Rp26,35 triliun menjadi Rp725,46 triliun. Sementara itu, total kredit rupiah dan valas yang telah disalurkan bank umum sampai dengan Agustus 2001 meningkat sebesar Rp17,62 triliun sehingga menjadi sebesar Rp

338,02 triliun. Data diatas merupakan data berdasarkan laporan bulanan bank umum.

Namun demikian, jumlah kredit yang disalurkan tersebut memang masih jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan penghimpunan dana yang dilakukan. Hal ini menunjukkan penyaluran dana yang dihimpun perbankan masih belum dilakukan secara optimal yang juga tercermin dari masih rendahnya rasio loan to deposit (LDR). Nilai LDR perbankan meskipun meningkat dari 33,19% pada Desember 2000 menjadi 33,57% pada Juli 2001, namun masih jauh lebih rendah dibanding Desember 1996 sebesar 78,31%.

(18)

penyaluran kredit perbankan. Perkembangan tersebut dapat dikatakan memberi indikasi terjadinya credit crunch yaitu penurunan kredit yang perbankan enggan menyalurkan kredit. Kecenderungan terjadinya credit crunch juga diperkuat dengan masih besarnya penyesuaian portofolio yang dilakukan oleh perbankan dari kredit ke dalam penanaman lain seperti surat berharga (obligasi), pasar uang antar bank, dan SBI.

Upaya-upaya yang telah dan sedang dilakukan untuk memulihkan fungsi intermediasi

Guna mendorong penyaluran kredit, pemerintah dan Bank Indonesia telah dan terus melakukan langkah-langkah untuk memulihkan kondisi perbankan dari krisis melalui kebijakan perbankan yang tetap difokuskan pada kesinambungan upaya untuk mempercepat pelaksanaan program restrukturisasi perbankan. Namun demikian, mengingat masih tingginya uncertainty dan risiko yang dihadapi oleh dunia usaha, perbankan cenderung enggan dalam menyalurkan kreditnya. Di samping itu, pelaksanaan restrukturisasi utang dan restrukturisasi perusahaan juga masih berjalan belum sesuai yang diharapkan. Akibatnya, penyaluran kredit meskipun sudah berlangsung, tetapi masih dalam skala yang kecil.

Dalam upaya mendorong bank-bank menyalurkan kredit, Bank Indonesia juga menerapkan pelonggaran ketentuan, diantaranya tidak mewajibkan target pencapaian NPLs, namun target CAR 8% pada akhir tahun 2001 tetap harus dipenuhi. Di samping itu, Bank Indonesia juga terus melakukan himbauan kepada bank untuk menyalurkan dana mereka pada Usaha Kecil Menengah (UKM).

Upaya mendorong penyaluran kredit diatas telah menunjukkan kemajuan yang tercermin dari meningkatnya penyaluran kredit baru oleh perbankan, meningkatnya kredit yang berhasil direstrukturisasi dan menurunnya NPLs yang dimiliki perbankan. Penyaluran kredit baru berdasarkan laporan Sistem Informasi Debitur (SID) sampai bulan Juli 2001 sebesar Rp29,2 triliun. Jumlah tersebut termasuk penerusan kredit (chanelling) dan konversi dari L/C atau wesel ekspor yang jatuh tempo. Sementara itu, kredit yang telah direstrukturisasi yang dilaporkan melalui Satgas Restrukturisasi Kredit sejak Desember 1998 sampai dengan Juli 2001 sebesar Rp90,8 triliun yang terdiri atas 32.187 debitur. Sedangkan, kredit yang telah berhasil direstrukturisasi oleh BPPN sampai dengan bulan Juli 2001 adalah sebesar Rp30,29 triliun (meliputi implementasi proposal restrukturisasi dan terbayar penuh), atau menunjukkan peningkatan sebesar Rp11,93 triliun dibandingkan dengan posisi akhir tahun 2000.Sejalan dengan meningkatnya kredit yang berhasil direstrukturisasi, rasio NPLs yang dimiliki perbankan membaik sebesar 3,0% dibanding posisi akhir Desember 2000 sehingga menjadi 15,78%.

Pertanyaan dari Sdr. Sudirman Pertanyaan :

3. Apakah ada upaya dari Bank Indonesia agar sektor perbankan menjadi inovatif dalam memberikan kredit. Hal ini mengingat di Jawa Timur hampir 80% dana masyarakat yang dihimpun perbankan di transfer ke pusat. Mereka juga memakai suku bunga pinjaman yang tinggi dengan alasan macam-macam. Mohon penjelasan.

(19)

Anggota Dewan yang terhormat,

Dalam melakukan fungsi pengawasan perbankan, Bank Indonesia mewajibkan bank agar melakukan kegiatan usaha dengan menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya kepada bank. Disamping itu, Bank Indonesia juga mewajibkan bank agar memiliki Kebijakan Perkreditan yang bertujuan mengoptimalkan pendapatan dan mengendalikan risiko bank dengan cara menerapkan asas-asas perkreditan yang sehat.

Secara umum, faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan oleh bank dalam melakukan kegiatan penyediaan dana mencakup faktor internal (antara lain meliputi strategi usaha bank, ketersediaan dana/likuiditas, serta kapasitas permodalan) dan faktor eksternal (antara lain meliputi karakter dan kelayakan usaha calon debitur serta iklim dan tren industri).

Sebagai lembaga intermediasi, bank diharapkan dapat mengerahkan dan memobilisasi dana untuk menggerakkan sektor perekonomian. Namun, dalam berbagai kasus terdapat kecenderungan bank-bank di suatu daerah tertentu beroperasi sebagai

funding vehicle, yaitu melakukan pengerahan dana pihak ketiga di daerah operasionalnya

dan menyalurkan dananya ke kantor pusat atau daerah lainnya. Hal ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor antara lain:

- Kebijakan/strategi usaha bank yang memfokuskan pada pembiayaan kepada industri/sektor tertentu maupun kepada debitur ritel vs. korporasi;

- Kebijakan internal bank yang memungkinkan kantor bank melakukan penempatan dana antar kantor dengan suku bunga mendekati suku bunga pasar, sehingga memudahkan kantor bank mengelola dananya dengan risiko yang minimum;

- Perbedaan tingkat risk and return di setiap daerah yang menyebabkan dana mengalir ke

daerah yang menjanjikan return yang tinggi dengan risiko yang dapat ditolerir.

Namun, perlu dicermati bahwa dalam prakteknya seringkali pembiayaan kepada debitur tertentu (umumnya korporasi besar) di suatu daerah tertentu tidak dilakukan oleh kantor bank setempat, namun langsung disediakan oleh kantor pusat sehingga merupakan portofolio kantor pusat. Hal ini terkait erat dengan kebijakan perkreditan bank yang membatasi wewenang pemutusan kredit oleh kantor-kantor bank di daerah. Oleh karena itu, portfolio tersebut pencatatannya dilakukan di kantor pusat bank, bukan di daerah

G. Masalah Pengembangan Usaha Kecil

Anggota Dewan yang menanyakan masalah langkah pengembangan usaha kecil adalah Sdr. Mukhtar

Pertanyaan :

(20)

Jawaban :

Anggota Dewan yang terhormat,

Pada dasarnya penyaluran kredit yang dilakukan oleh perbankan sepenuhnya diserahkan kepada kebijakan masing-masing bank dengan mendasarkan kepada prinsip kehati-hatian, khususnya terhadap kredit yang sumber dananya berasal dari dana yang dihimpun dari masyarakat dan risiko atas kredit yang disalurkan menjadi tanggung jawab bank. Demikian pula halnya dengan kebijakan operasional masing-masing kantor cabang bank di suatu daerah, sepenuhnya menjadi kebijakan masing-masing bank. Di beberapa daerah, seringkali kita temui adanya ketidak seimbangan antara dana masyarakat yang dihimpun dari daerah tersebut dengan dana perbankan yang disalurkan untuk daerah tersebut. Hal ini tergantung pada kemampuan daerah dalam menyerap dana bank. Kemampuan menyerap disini dalam arti adanya sektor-sektor usaha yang dipandang layak (feasibel) untuk dibiayai oleh bank.

Dengan diberlakukakannya UU No. 23 tahun 1999 tanggal 17 Mei 1999 tentang Bank Indonesia, tujuan dan misi Bank Indonesia lebih difokuskan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Namun demikian, Bank Indonesia tetap mempunyai komitmen dalam membantu usaha kecil, yang dalam pelaksanaannya disesuaikan dengan kewenangan yang diatur dalam UU tersebut. Dalam hal ini, Bank Indonesia tidak lagi diperkenankan memberikan kredit likuiditas kepada perbankan untuk membantu permodalan usaha kecil. Sejak 16 November 1999 tugas pengelolaan KLBI dalam rangka kredit program telah dialihkan kepada 3 Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang ditunjuk oleh Pemerintah, yakni PT. BRI, PT. BTN dan PT. PNM. Untuk selanjutnya peran pembiayaan kepada usaha kecil dan koperasi dilanjutkan oleh Pemerintah, dengan sumber pendanaan dapat berasal dari APBN, dana masyarakat yang dihimpun oleh perbankan ataupun sumber lainnya.

Setelah dialihkannya pengelolaan pendanaan untuk usaha kecil dari Bank Indonesia kepada 3 BUMN yang ditunjuk, tugas pengembangan usaha kecil menjadi tanggung jawab Pemerintah. Kegiatan yang masih dilakukan oleh Bank Indonesia diwujudkan dalam bentuk bantuan yang bersifat tidak langsung seperti bantuan teknis dan fasilitasi serta kebijakan dibidang perbankan sbb :

1. Melanjutkan Bantuan Teknis

Bank Indonesia tetap akan membantu pengembangan usaha kecil secara tidak langsung dengan meningkatkan intensitas dan efektifitas bantuan teknis. Berbagai kegiatan bantuan teknis yang diberikan oleh Bank Indonesia tergabung dalam program Bantuan Teknis Pengembangan Usaha Kecil dan Mikro (PUKM) melalui :

a. Pelatihan untuk pembiayaan kepada usaha mikro dan kecil

(21)

Sementara untuk pembiayaan usaha kecil, pelatihan diberikan sesuai dengan permintaan perbankan dengan materi difokuskan pada pengembangan usaha kecil. Khusus untuk pelatihan ini, biayanya diambil dari sanksi KUK.

b. Proyek Kredit Mikro (PKM)

Proyek Kredit Mikro (PKM) adalah proyek pemerintah Indonesia yang dibantu dengan dana pinjaman Asian Development Bank (ADB) yang dimulai sejak tahun 1995. Sampai dengan bulan Juni 2001, kredit yang telah disalurkan sebesar Rp 162,9 miliar kepada 686.980 nasabah mikro. Jumlah lembaga yang terlibat dalam proyek ini sejumlah 1.191 buah yang meliputi LDKP 240 buah, BPR 951 buah dan LPSM 72 buah. Proyek ini mempunyai tingkat tunggakan yang relatif sangat kecil yakni hanya 0,05%.

2. Menfasilitasi Pengembangan Usaha Kecil Melalui Kegiatan Sosialisasi dan Sistem Informasi

a. Kegiatan Sosialisasi Kredit Usaha Kecil

Keberhasilan pelaksanaan suatu program sangat tergantung pada dukungan infomasi yang menunjang. Salah satu bentuk dukungan informasi yang dilakukan adalah kegiatan sosialisasi kepada perbankan. Dibidang penyaluran KUK, Bank Indonesia akan senantiasa menghimbau perbankan untuk menyalurkan kreditnya kepada kredit usaha kecil, dengan mengacu kepada keberhasilan-keberhasilan beberapa bank penyalur kredit kecil seperti BRI dan suatu bank nasional. Kegiatan sosialisasi telah dilakukan di 8 Kantor Bank Indonesia.

b. Sistem Informasi Pengembangan Usaha Kecil

Di samping itu, bentuk fasilitasi yang lain adalah pemberian informasi mengenai identifikasi peluang usaha. Perluasan akses ke sumber informasi tersebut berupa (i) Sistem Informasi Baseline Economic Survey (SIB), dan (ii) Sistem Informasi Agroindustri Berorientasi Ekspor (SIABE). Dalam SIB disajikan daftar komoditi di kecamatan pada 22 propinsi yang potensial untuk dikembangkan. Sedangkan SIABE menyajikan suatu informasi mengenai komoditi agroindustri yang berpotensi untuk diekspor. Tahun lalu, SIABE baru merupakan prototipe sehingga baru mencakup 11 komoditi agroindustri di 3 propinsi, yaitu Sumatera Barat, Sulawesi Selatan dan Jawa Tengah. Namun tahun ini akan dikembangkan di 23 propinsi yang mencakup informasi 15 komoditi agroindustri beserta produk turunannya. Kedua sistem informasi di atas sudah dapat diakses dengan internet melalui situs Bank Indonesia (www.bi.go.id).

(22)

3. Ketentuan Kredit Usaha Kecil

Sejak tanggal 4 Januari 2001, Bank Indonesia telah menyempurnakan ketentuan tentang Kredit Usaha Kecil (KUK) yakni melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 3/2/PBI/2001 tentang “Pemberian Kredit Usaha Kecil” yang pokok-pokoknya meliputi : (i) bank dianjurkan menyalurkan dananya melalui pemberian KUK, (ii) bank wajib mencantumkan rencana pemberian KUK dalam Rencana Kerja Anggaran Tahunan (RKAT), (iii) bank wajib melaporkan pelaksanaan pemberian KUK dalam Laporan Bulanan Umum, (iv) bank wajib mengumumkan pencapaian pemberian KUK kepada masyarakat melalui Laporan Keuangan Publikasi, (v) plafon KUK disesuaikan menjadi Rp. 500 juta per nasabah, (vi) bank yang menyalurkan KUK dapat meminta bantuan teknis dari Bank Indonesia, dan (vii) pengenaan sanksi dan insentif dalam rangka pencapaian kewajiban KUK dihapuskan. Sampai dengan bulan Juni 2001, posisi KUK yang telah disalurkan mencapai Rp 63,7 triliun. Sedangkan dalam RKAT Bank tahun 2001, sebanyak 53 bank berencana untuk menyalurkan KUK sebesar Rp 47,3 triliun.

Pertanyaan terkait masalah pengembangan usaha kecil juga dari Sdr. Hatta Taliwang Pertanyaan :

2. Saya tahu bahwa ada dana program Pemerintah yang tersimpan di Bank Indonesia sebesar Rp 1,9 triliun. Kalau bisa segeralah dana itu dicairkan oleh Bank Indonesia untuk UKM tetapi dengan persetujuan Menteri Keuangan.

Jawaban :

Anggota Dewan yang terhormat,

Dalam kaitan dengan penyediaan dana untuk kelanjutan kredit program, instrumen pendanaan yang saat ini tersedia adalah melalui Surat Utang Pemerintah dalam rangka pembiayaan kredit program. Surat Utang Pemerintah yang diterbitkan oleh Pemerintah kepada Bank Indonesia senilai Rp 9,97 triliun. Surat utang yang penerbitannya dimaksudkan untuk mengganti dana KLBI yang jatuh tempo pada tahun 2000 dan 2001 tersebut akan dicairkan secara bertahap sejalan dengan pengembalian KLBI pada saat jatuh tempo dengan tetap memperhatikan program moneter.

Sampai dengan periode Agustus 2001, dana SUP yang tersedia adalah sebesar Rp 2,82 triliun dan sudah dicairkan oleh Pemerintah sebesar Rp 850 miliar sehingga dana yang masih tersisa dan dapat dicairkan adalah Rp 1,97 triliun. Dapat dikemukakan bahwa Bank Indonesia sebagai pembeli SUP hanya menyediakan dana, adapun penarikan terhadap dana SUP yang masih dapat dicairkan tersebut sepenuhnya menjadi wewenang Departemen Keuangan.

(23)

H. Masalah Utang Luar Negeri

Anggota Dewan yang menanyakan masalah utang luar negeri adalah Sdr. Anthony Zedra Abidin.

Pertanyaan :

Saya mengharapkan Bank Indonesia ikut memikirkan dan bertanggung jawab bagaimana agar masalah hutang luar negeri ini bisa dikurangi bebannya tidak hanya sekedar penjadwalan utang tapi juga harus ada tanggung jawab dari pihak pemberi hutang, karena menurut pendapat saya tanggung jawab itu harus oleh kedua belah pihak.

Jawaban :

Anggota Dewan yang terhormat,

Bank Indonesia sebagai mitra Pemerintah tentunya sangat menaruh perhatian terhadap permasalahan Utang Luar Negeri Pemerintah RI, karena permasalahan ini akan membawa dampak pada berbagai sektor ekonomi baik itu sektor fiskal, sektor riil maupun sektor moneter yang menjadi fokus utama tugas Bank Indonesia. Meskipun demikian, Bank Indonesia tidak secara langsung bertanggung jawab mengenai permasalahan Utang Luar Negeri Pemerintah.

Sebagai mitra pemerintah, salah satu peran Bank Indonesia dalam mencari solusi penyelesaian Utang Luar Negeri Pemerintah adalah dengan berupaya mencari sumber dana dari dalam negeri, antara lain dengan mengembangkan pasar obligasi dalam negeri (obligasi pemerintah). Alternatif ini akan membantu Pemerintah dalam mengurangi ketergantungan terhadap Utang Luar Negeri.

Sementara itu, sampai saat ini memang harus kita akui bahwa pemerintah RI masih mengandalkan penjadualan ulang khususnya melalui Paris Club dalam rangka mengurangi atau menyelesaikan beban utang luar negeri. Penjadualan ulang itu sendiri sangat besar pengaruhnya terhadap berkurangnya beban anggaran pemerintah dalam jangka pendek, sehingga dapat memberikan ruang gerak yang lebih leluasa bagi pemerintah untuk menata ulang ‘cash flow’nya dan memprioritaskan dana yang ada untuk pembiayaan sektor-sektor lain yang relatif lebih produktif dari pada membayar kewajiban utang yang jatuh tempo. Oleh karenanya keberhasilan penjadualan ulang beban pembayaran utang luar negeri melalui Paris Club juga merupakan hal penting dan menjadi faktor penentu keberhasilan tercapainya percepatan proses pembangunan ekonomi nasional.

Dalam rangka menyelesaikan persoalan utang luar negeri ini, sebagaimana diketahui bahwa upaya-upaya yang dapat ditempuh selain melakukan ‘rescheduling’ umumnya adalah melalui cara yang lebih ‘straightforward’ yaitu ‘debt reduction’ atau alternatif lainnya yaitu melalui ‘debt conversion’.

(24)

criteria ‘Naples Terms’, antara lain debitur harus mempunyai ‘track record’ yang baik pada Paris club dan program IMF, hanya menerima pinjaman dalam bentuk IDA saja dari World Bank dan dengan GDP per Kapita USD755. Kriteria inipun belum terpenuhi oleh Indonesia. Sampai saat ini negara-negara yang tergolong kedalam HIPC umumnya adalah negara-negara miskin di Amerika Latin seperti : Bolivia, Honduras dan Nicaragua. Sementara dua negara di ASIA yang mengikuti mekanisme ini adalah Laos dan Vietnam.

Mekanisme ‘debt relief’ dilakukan juga melalui mekanisme ‘debt conversion’, diantaranya melalui Debt for Nature Swap (DNS). DNS pada prinsipnya adalah salah satu upaya menghapus sebagian utang dan mengkonversi sebagian kewajiban lainya menjadi kewajiban dalam bentuk mata uang domestik untuk pembiayaan pemeliharaan konservasi alam. DNS menjadi salah satu alternatif penting mengingat jumlah utang luar negeri Indonesia yang telah mencapai sekitar USD136 miliar, suatu jumlah yang oleh banyak pihak dianggap telah melampaui ambang batas kemampuan Indonesia untuk mengembalikannya. Sementara di sisi lain kualitas konservasi alam terus merosot dan kemampuan pemerintah serta swasta dalam membiayai program pelestarian dan konservasi alam di Indonesia sangat terbatas. DNS menjadi salah satu pilihan yang menarik karena menawarkan solusi pemecahan permasalahan utang luar negeri yang menguntungkan baik bagi debitur dan NGO maupun bagi kreditur.

Dilihat dari keuntungan pemulihan konservasi lingkungan dan perlunya alternatif lain untuk mengurangi beban pembayaran utang luar negeri pemerintah selain melalui

rescheduling, maka DNS merupakan alternatif yang perlu dipertimbangkan untuk segera

diimplementasikan di Indonesia. Negara-negara yang telah mengikuti skim ini antara lain ialah Bolivia, Ecuador, Costa Rica dan Philipina. Di Indonesia sendiri, tantangan pelaksanaan DNS terutama pada dapat tidaknya pemerintah menjalin suatu kerjasama dengan LSM mengingat sudah terbentuknya friksi antara pemerintah dan LSM yang seringkali membuat pemerintah ‘reluctant’ untuk berkerjasama dengan LSM.

Dalam hal DNS ini, Bank Indonesia juga sudah terlibat dalam pembahasan awal dengan instansi terkait seperti Menko Ekuin, Menkeu, BPPN, Bappenas dan KLH. Dari hasil pertemuan tersebut telah disepakati untuk mengagendakan gagasan tersebut dalam sidang tahunan CGI yang akan diselenggarakan dalam waktu dekat ini. Saat ini Bank Indonesia juga sedang mempersiapkan kajian detail tentang kemungkinan penerapan DNS dalam rangka mengurangi beban utang luar negeri pemerintah RI.

II. PERTANYAAN MENYANGKUT BIDANG PERBANKAN

A. Masalah Permodalan

Pertanyaan masalah permodalan disampaikan oleh Sdr. Abdullah Al Wahdi

Pertanyaan :

1. Kebijakan-kebijakan apa yang ditempuh Bank Indonesia sehingga CAR 8% bisa teratasi dengan baik atau tidak ada rencana likuidasi

(25)

3. Beberapa waktu yang lalu diumumkan sekitar 6 bank yang CAR-nya kritis dibawah 8%. Kira-kira bagaimana solusi yang paling tepat menurut Bank Indonesia. Kita ingin ketegasan dari Gubernur Bank Indonesia, 6 bank ini bank apa saja dan kira-kira terapinya bagaimana. Menurut kita kalau memang tidak bisa diselamatkan lagi likuidasi saja.

Jawaban :

Anggota Dewan yang terhormat,

Sebagai rangkaian dari program restrukturisasi yang sedang berjalan, perbankan diminta untuk meningkatkan dan mempertahankan permodalannya (CAR) minimal sebesar 8% pada akhir tahun 2001. Mengantisipasi kebijakan tersebut, Bank Indonesia telah melakukan berbagai langkah, antara lain:

- Melakukan proyeksi untuk mengetahui bank-bank yang diperkirakan tidak mampu memenuhi target CAR tersebut;

- Melakukan pertemuan dengan pemilik bank untuk mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi serta langkah-langkah strategis yang akan ditempuh untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.

Apabila seluruh upaya yang akan dilakukan pemilik bank-bank tersebut tidak membuahkan hasil dan target pencapaian CAR 8% tidak terpenuhi, maka Bank Indonesia akan melakukan beberapa langkah sesuai dengan ketentuan yang berlaku, yaitu sebagai berikut :

i. Bank-bank tersebut akan ditempatkan dalam pengawasan khusus Bank Indonesia (special surveillance) dan Bank Indonesia dapat menerapkan cease and desist order dalam jangka waktu tertentu, yaitu antara lain memerintahkan bank untuk menghentikan kegiatan usaha tertentu, meminta bank dan/atau pemilik bank untuk menambah modal, melakukan merger atau konsolidasi dengan bank lain, menjual bank kepada pembeli yang bersedia mengambil alih seluruh kewajiban bank, menyerahkan pengelolaan seluruh atau sebagian kegiatan bank kepada pihak lain; dan/atau menjual sebagian harta dan/atau kewajiban bank kepada bank atau pihak lain.

ii. Apabila dalam jangka waktu yang telah ditetapkan (3 bulan untuk bank yang tidak go

public dan 6 bulan untuk bank go public) kondisi bank menurun dengan cepat (yaitu

rasio CAR kurang dari 2% dan dinilai tidak dapat ditingkatkan menjadi 8% dan rasio GWM dalam rupiah kurang dari 0% dan tidak dapat diselesaikan) maka bank ditetapkan sebagai Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU) dan diserahkan ke BPPN.

iii. Apabila setelah berakhir jangka waktu tersebut bank masih belum dapat meningkatkan CAR-nya, namun Bank Indonesia menilai bahwa bank:

− dapat meningkatkan CAR menjadi 8 %;

− dapat menyelesaikan masalah pelampauan dan/atau pelanggaran BMPK;

− dapat menurunkan kredit bermasalah;

(26)

iv. Bagi bank yang dinilai tidak memenuhi kriteria pada butir (iii) tersebut diatas, maka Bank Indonesia akan menetapkan bank tersebut dengan status BBKU dan menyerahkannya kepada BPPN.

v. Apabila program penyehatan terhadap BDP oleh BPPN tidak dapat diselesaikan dalam jangka waktu yang disepakati atau berdasarkan pertimbangan BPPN program penyehatan BDP tidak dapat dilaksanakan walaupun belum melampaui jangka waktu yang disepakati, maka Bank Indonesia dapat mengubah status bank dimaksud dari BDP menjadi BBKU.

vi. Apabila BPPN telah melaksanakan seluruh langkah yang diperlukan untuk penyelesaian bank dengan status BBKU, maka langkah selanjutnya berdasarkan ketentuan yang berlaku adalah pencabutan ijin usaha, pembubaran badan hukum dan likuidasi.

Selanjutnya mengenai bank-bank yang CAR-nya kritis di bawah 8%, menurut hemat kani tidak selayaknya Bank Indonesia menjawab secara spesifik nama bank-bank yang kemungkinan tidak dapat memenuhi persyaratan tersebut. Apabila nama-nama tersebut diungkapkan, maka dikhawatirkan akan dapat menimbulkan dampak negatif bukan saja terhadap bank-bank yang diumumkan namanya, tetapi juga terhadap bank-bank lainnya.

B. Masalah BCA

Anggota Dewan yang menanyakan masalah BCA adalah Sdr. Dhudi Makmun Murod Pertanyaan :

1. Ingin menanyakan masalah BCA, yaitu masalah bidders. Siapa saja bidders masalah BCA yang mungkin sudah fit and proper dan yang akan di fit and proper. Siapa saja calonnya yang sudah masuk ke Bank Indonesia. Saya mendengar bahwa salah satu bidder adalah Company base on Indonesia yang dimiliki oleh Bank Indonesia. Saya khawatir dengan issu yang berkembang mengenai keinginan bahwa BCA harus dimiliki oleh orang Indonesia. Hal itu akan dimanfaatkan oleh pemilik lama menggunakan company-company di Indonesia untuk memiliki BCA kembali. Saya menyarankan Bank Indonesia, pada saat mengadakan fit and proper test sebaiknya kalau ingin mendapatkan potensial strategic investor for the future seharusnya kita mengambil investor daripada bank-bank terkemuka bukan dari perusahaan-perusahaan yang membawa uang banyak.

Jawaban :

Anggota Dewan yang terhormat,

Sebagai jawaban atas pertanyaan Anggota Dewan, dapat kami kemukakan hal-hal sebagai berikut :

Berdasarkan ketentuan Bank Indonesia dalam SK No 27/118/KEP/Dir tanggal 25 Januari 1995 tentang kriteria perbuatan tercela orang-orang yang dilarang menjadi pemegang saham atau pengurus bank antara lain ditetapkan bahwa “orang yang memenuhi kriteria perbuatan tercela di bidang perbankan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dilarang menjadi pemegang saham bank dan atau pengurus bank”.

(27)

SK Direksi Bank Indonesia No 32/50/KEP/Dir di atas. Bank Indonesia telah menyampaikan SK dimaksud kepada BPPN (Sdri. Felia Salim) untuk menjadi pedoman dalam menentukan calon bidder.

Selanjutnya dapat dikemukakan bahwa Bank Indonesia hanya dapat melakukan penyertaan modal pada badan hukum atau badan lainnya yang sangat diperlukan dalam pelaksanaan tugas Bank Indonesia antara lain lembaga kliring, badan pemeringkat dan Lembaga Penjamin Simpanan dengan persetujuan DPR (Pasal 64 UU No 23/1999). Sehubungan dengan hal tersebut di atas, dengan ini kami tegaskan bahwa Bank Indonesia (company) tidak punya rencana menjadi bidder.

Pertanyaan dari Sdr. Rizal Djalil Pertanyaan :

2. Masalah saham keluarga Salim di BCA, menurut Departemen Keuangan sudah harus dilepas pada tanggal 7 September yang lalu. Tapi ada juga yang menginformasikan katanya Bank Indonesia tidak setuju dan segala macam. Mohon klarifikasi apakah benar.

Jawaban :

Anggota Dewan yang terhormat,

Bagi Bank Indonesia, pengaturan mengenai hal ini adalah sesuai ketentuan tentang Daftar Orang Tercela (DOT) dalam SK No 27/118/KEP/Dir tanggal 25 Januari 1995 tentang “Kriteria Perbuatan Tercela orang-orang yang Dilarang menjadi Pemegang Saham dan atau Pengurus Bank, pasal 1 ayat 2 butir a, menyebutkan bahwa “Pemegang saham bank adalah perorangan atau badan hukum yang memiliki saham secara langsung atau melalui pasar modal lebih dari 35% dari jumlah saham yang terdaftar di pasar modal, bagi bank yang berbentuk hukum Perseroan Terbatas (PT)”

C.

Masalah Bank Likuidasi

Pertanyaan mengenai masalah bank likuidasi disampaikan oleh Sdr. Abdullah Al Wahdi, Sdr. Danial Tandjung, dan Sdr. Aberson Marle Sihaloho.

Pertanyaan :

1. Mengenai bank likudiasi. Aset bank likuidasi menurut BPPN saat ini masih ada di Bank

Indonesia, jadi tidak termasuk yang diserahkan kepada BPPN yang jumlahnya sekitar

Rp. 11 triliun lebih. Apakah tim-tim likuidasi yang pernah ditempatkan di bank-bank likuidasi itu masih ada dan apa laporannya. Sampai dimana sekarang yang bisa dikumpulkan daripada aset bank-bank likuidasi itu.

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perilaku konsumen produk Ice Cream Swensen's dengan meneliti hubungan antara karakteristik demografi konsumen terhadap

Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa hasil uji statistik didapatkan korelasi negatif dan p > 0,05 yang berarti tidak terdapat hubungan yang bermakna antara jumlah trombosit

Kondisi tersebut dapat didukung dengan pendapat dari Fathurrohman dan Suryana (2011: 53) yang mengatakan bahwa fungsi dari supervisi akademik ialah sebagai satu dari

Untuk mengetahui besarnya biaya yang dibutuhkan untuk pembelian bahan baku dalam rancang bangun cetakan penyangga tongkat ini berdasarkan harga material

Namun, tidak sedikit dari hadits-hadits tersebut dha’if (lemah), yang tidak bisa dijadikan sandaran (dalil) dalam syari’at ini, atau bahkan maudhu’ (palsu), yang

Sebelum melakukan penelitian, peneliti merancang sebuah kegiatan pembelajaran dengan menerapkan metode kata untuk meningkatkan ketrampilan membaca siswa kelas 1

Efektifitas Penggunaan komputer Dalam Pembelajaran Matematika Interaktif Model Tutorial untuk Meningkatkan Kemampuan Berfikir Kritis Dan motivasi Belajar Matematika

Untuk mengetahui bahan makanan dan pelengkap yang digunakan pada hidangan Main Course?. Untuk mengetahui teknik pengolahan hidangan Main Course