ANALISIS EFISIENSI BIAYA BAHAN BAKU DALAM IMPLEMENTASI JUST IN TIME
2 Fakultas Ekonomika dan Bisnis UKSW ([email protected]).ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis (1) bagaimana tingkat implementasi JIT terhadap upaya meningkatkan efisiensi biaya bahan baku yang ada di PT X, (2) mencari dan menjawab permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam proses implementasi JIT yang ada di PT X. Jenis penelitian ini adalah deskriptif dengan pendekatan kuantitatif. Data dikumpulkan dengan metode wawancara, kuesioner dan dokumentasi. Data yang diperoleh dari wawancara dianalisis dengan teknik deskriptif, sedangkan data yang diperoleh dari dokumentasi dianalisis dengan teknik kuantitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan (1) Adanya komitmen dalam semua aspek perusahaan untuk mewujudkan implementasi JIT. (2) Kendala dalam implementasi JIT, yaitu (a) permasalahan yang menyebabkan seperti antrian yang lama saat masuk kapal maupun keluar dari kapal di pelabuhan. Sehingga menyebabkan bahan baku lama sampai di perusahaan. Oleh karena itu, perusahaan belum bisa melakukan pembelian secara JIT. Kemudian, (b) Pemasok, pemasok untuk area perusahaan tidak tersedia. Sehingga menyebabkan perusahaan harus mencari pemasok di luar perusahaan. (3) Tingkat efisiensi biaya bahan baku dalam implementasi JIT pada tahun 2015 rata-rata sebesar 94%, artinya biaya bahan baku dalam implementasi JIT dikategorikan cukup efisien. Rasio efisiensi tertinggi berada pada bahan baku PE yaitu sebesar 104% serta rasio terendah bahan baku PP sebesar 71%.
Kata kunci: efisiensi, biaya bahan baku, JIT.
ABSTRACT
The objective of this research is to analyze (1) how JIT implementation enhance material cost efficiency at PT. X (2) problems on JIT implemetation process in PT. X. Research type is descriptive and using quantitative approach. This research used primary data which obtained through interview, questionnaire and documentation. The data which was obtained through interview was analyzed using descriptive technique. The result of this research shows (1) there is a commitment in every aspect of organization for implementing JIT (2) the constraints for implementing JIT are (a) long queuing in port (b) absence of supplier near company area (3) the average of raw material cost efficiency in 2015 is 94%, cathegorized efficient enough. The highest efficiency ratio is in raw material of PE which is 104%, and the lowest efficiency ratio is raw material of PP which is 71%.
PENDAHULUAN
Secara umum, tujuan utama dari perusahaan adalah memperoleh keuntungan atau laba yang maksimal. Tingginya persaingan di era globalisasi, menuntut perusahaan untuk bisa memilih strategi yang tepat agar perusahaan tetap memiliki keunggulan kompetitif di tingkat pasar global. Jika perusahaan ingin bersaing di pasar global, maka perusahaan memerlukan produktivitas, efisiensi, kualitas, kecepatan, dan pelayanan prima yang menjadi kata-kata kunci dalam meningkatkan daya saing perusahaan. Dengan adanya kemampuan tersebut, perusahaan dapat menjalankan operasi perusahaan secara efisien dan efektif, serta pemborosan-pemborosan sumber daya dapat dihindari (Tjahjadi, 2001:227).
Pemborosan sumber daya dapat terjadi apabila perusahaan masih menggunakan sistem pemanufakturan tradisional, yaitu dimana sistem yang mengatur skedul atau jadwal produksi berdasarkan pada peramalan kebutuhan dimasa yang akan datang. Tidak ada yang dapat memproyeksikan masa depan dengan pasti, walaupun perusahaan memiliki pemahaman yang sempurna tentang masa lalu dan memiliki intuisi yang tajam terhadap kecenderungan yang akan terjadi di pasar. Produksi berdasarkan prediksi terhadap masa yang akan datang dalam sistem tradisional memiliki resiko kerugian yang lebih besar karena kelebihan produksi dibanding dengan permintaan yang sesungguhnya (Yulianti, 2013).
Untuk mengatasi pemborosan sumber daya tersebut perusahaan dapat menggunakan Just In Time (JIT) System. Sebuah konsep yang dikembangkan oleh Taichi Ohno (1960), dikemukakan bahwa seorang pelanggan dapat memperoleh apa yang dibutuhkan, pada saat diperlukan dan jumlah sesuai dengan kebutuhannya. Penelitian sebelumnya mengenai analisis efisiensi biaya bahan baku dalam implementasi JIT dilakukan oleh Putra dan Idayati (2014) mengenai penerapan metode JIT untuk meningkatkan efisiensi biaya persedian bahan baku. Serta penelitian oleh Zunariah (2015) dengan judul, “Analisis Penerapan Just In Time (JIT) sebagai Alternatif Pengendalian Bahan Baku Untuk Menilai Efisiensi Biaya Pada PT Kediri Tani Sejahtera”. Nugroho (2007) menemukan bukti bahwa perusahaan-perusahaan manufaktur di Jawa Tengah mengimplementasikan JIT secara parsial.
Walaupun PT X masih dalam proses menerapkan JIT, dan pada tahun 2015 PT X belum mampu mencapai efisiensi biaya bahan baku sampai 100% yang merupakan target dari JIT. Hal tersebut dikarenakan biaya bahan baku yang terealisasi lebih besar, yaitu Rp 14.496.045.000, daripada biaya bahan baku yang dianggarkan, yaitu Rp 12.274.675.000. Hal ini dikarenakan adanya produk cacat, sehingga perusahaaan harus mengganti produk cacat tersebut. Seharusnya dengan menerapkan JIT, PT X dapat meminimalkan atau bahkan menghilangkan adanya produk cacat agar tidak menambah biaya dan waktu untuk pengerjaan kembali (rework) produk cacat, sehingga perusahaan dapat meningkatkan biaya efisiensi biaya bahan baku. Perusahaan juga masih belum bisa melakukan pembelian bahan baku secara JIT, karena perusahaan masih mencari pemasok yang dapat mengirimkan bahan bakunya datang tepat waktu pada saat perusahaan akan berproduksi. Dengan adanya fenomena seperti ini, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai implementasi JIT di PT X.
Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis implementasi JIT pada PT X, menganalisis kendala-kendala dalam implementasi serta memberikan solusi atas kendala-kendala-kendala-kendala dalam implementasi yang terjadi pada PT X, dan menganalisis efisiensi biaya bahan baku dalam implementasi JIT pada PT X tahun 2011-2015. Manfaat penelitian bagi perusahaan yaitu diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menetapkan keputusan yang berkaitan dengan biaya bahan baku serta referensi dalam menetapkan kebijakan-kebijakan dan strategi yang berhubungan dengan implementasi JIT dan biaya bahan baku. Bagi pengembangan ilmu akuntansi manajemen, dapat dianalisis cost benefit
dalam implementasi JIT. Bagi peneliti selanjutnya, dapat dijadikan sebuah referensi untuk penelitian yang ada kaitannya dengan implementasi JIT terhadap upaya meningkatkan efisiensi biaya bahan baku.
METODE PENELITIAN Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan termasuk dalam jenis penelitian deskriptif dan termasuk dalam penelitian studi kasus. Penelitian deskriptif dengan pendekatan studi kasus merupakan metode penelitian untuk memperoleh gambaran secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, mengumpulkan data, menyusun dan mengklasifikasikannya, menganalisisnya dan mengevaluasi masalah yang terjadi serta mencari solusi dari masalah tersebut.
Fokus Penelitian
Fokus penelitian ini adalah PT X. Objek dalam penelitian ini adalah implementasi JIT, kendala-kendala dalam implementasi JIT, dan biaya bahan baku tahun 2010-2015.
Jenis dan Sumber Data
sejarah perusahaan, permasalahan sistem manufaktur tradisional, implementasi JIT, dan kendala-kendala dalam implementasi JIT. Adapun wawancara dengan karyawan departemen FA (Financial Accounting)
untuk memperdalam dan memperjelas data mengenai biaya bahan baku dan kendala-kendala yang terjadi dalam implementasi JIT.
Wawancara dengan karyawan bagian produksi (Mixing, Blowing, Cutting) mengenai implementasi JIT. Sedangkan untuk data kuantitatif yang diperoleh dari dokumen PT X, berupa data anggaran serta realisasi biaya bahan baku tahun 2010-2015, data jadwal produksi, data perencanaan produksi, data perbaikan mesin (maintenance).
Langkah Analisis
1. Tahap awal adalah melakukan analisis deskriptif, untuk menggambarkan dengan jelas mengenai implementasi sistem JIT pada PT X, dengan menggunakan 10 prinsip-prinsip JIT menurut, White et al., (1999) dengan melakukan observasi dan wawancara kepada Direktur PT X, karyawan pabrik produksi departemen (mixing,blowing, cutting, printing) dan departement FA.
2. Setelah melakukan analisis deskriptif, langkah selanjutnya adalah membuat analisis evaluasi Implementasi JIT pada PT X. Dengan ini dapat diketahui apakah PT X telah menerapkan 10 prinsip-prinsip JIT.
3. Kemudian, melakukan analisis kuantitatif digunakan untuk mengetahui efisiensi biaya bahan baku yang dianalisis dengan menggunakan metode yang dikemukan oleh Ravianto (2000). Rasio yang digunakan untuk menghitung efisiensi biaya bahan baku adalah sebagai berikut:
4. Tahap terakhir, yaitu menganalisis kendala-kendala yang dihadapi oleh PT X dalam implementasi JIT, serta memberikan solusi dari kendala-kendala tersebut.
HASIL & PEMBAHASAN Gambaran Objek
PT X merupakan perusahaan keluarga yang berdiri pada tanggal 9 Juli 1988. Pada awal berdiri PT X bergerak dalam bidang perdagangan komoditas. Kemudian, pada tahun 1990, PT X merubah lini usahanya dari perdagangan komoditas menjadi produsen Monolayer Blown Film yang berkapasitas 350 ton per tahun. Pada tahun 1996 PT X menambah varian produk menjadi produsen Blown Film.
9001:2008 Quality Management System. Visi, Misi, dan Kebijakan Mutu Perusahaan
Visi perusahaan adalah menjadi perusahaan industri plastik pilihan utama bagi industri dan masyarakat Indonesia, serta berperan aktif sebagai pilar utama perekonomian Indonesia.
Guna mewujudkan visi tersebut, perusahaan memiliki empat misi yaitu:
1. Membangun perusahaan yang unggul dibidang solusi, inovasi dan teknologi plastik.
2. Memahami beragam kebutuhan institusi dan masyarakat banyak dengan meningkatkan nilai yang tepat dalam penggunaan dan manfaat demi tercapainya nilai perusahaan.
3. Turut serta peduli dan berperan aktif dalam menjaga lingkungan untuk mengurangi dampak negatif penggunaaan plastik.
4. Meningkatkan nilai-nilai perusahaan dan stakeholder perusahaan.
Kebijakan mutu yang diterapkan oleh perusahaan antara lain:
1. Memberikan produk berkualitas dan inovatif dengan harga bersaing. 2. Membangun jaringan distribusi yang luas dan kuat.
3. Membentuk sumber daya manusia yang berkompetisi tinggi.
4. Melakukan perbaikan cepat dan berkesinambungan melalui penerapan sistem manajemen mutu dan kualitas.
5. Menciptakan suasana kerja yang aman dan nyaman dengan penerapan program 5R dan P2K3. 6. Memenuhi peraturan perundangan dan ketentuan lainnya serta turut aktif menjaga lingkungan. 7. Penerapan dan pemeliharaan cara pembuatan plastik yang baik, higienis berdasarkan Standard
Sanitation Operation Procedure dan sistem analisa bahaya dan pengendalian titik kritis.
Struktur Organisasi
Struktur organisasi PT X merupakan struktur organisasi garis, dimana PT X dipimpin langsung oleh Direktur yang bertanggung jawab atas penentuan kebijakan perusahaan dan berwenang dalam pengambilan keputusan serta bertanggung jawab terhadap komisaris. Di dalam PT X terdapat enam departemen, yaitu:
1. Departemen HRD & GA (Human Resources and Development) & (General Affair), yang secara umum bertugas menjalankan proses rectruitmen, training, dan competency evaluation.
2. Departement FA (Financial Accounting),yang secara umum bertugas menjalani proses akuntansi, proses budget vs real dan cost control.
3. Departement PPIC (Production Planning and Inventory Control), yang secara umum bertugas menjalankan preventive dan corrective maintenance untuk mendukung proses produksi.
4. Departement PRODUKSI, yang secara umum bertugas menjalankan proses produksi dari bahan baku sampai barang jadi.
5. Departement MAINTENANCE & PDC, yang secara umum bertugas melakukan preventive dan
corrective maintenance untuk mendukung proses produksi, serta melakukan quality control dan
product development.
Implementasi JIT
PT X yang awal berdiri bergerak dalam bidang perdagangan komoditas dibawah pimpinan Bapak Soegiarto, kemudian perusahaan merubah lini usahanya menjadi produsen Monolayer Blown Film, perusahaan menerapkan sistem persediaan tradisional, pada tahun 1996 perusahaan menambah varian produk menjadi produsen Blown Film, yaitu PP, PE, HDPE, LLDPE.
Perusahaan mulai meninggalkan sistem manufaktur tradisional dan menerapkan sistem JIT pada tahun 2011. Hal ini dikarenakan perusahaan masih menggunakan sistem produksi massa (mass production)
dimana PT X belum memiliki pelanggan tetap seperti sekarang, yang menyebabkan perusahaan mengalami pemborosan dalam persediaan, meningkatnya produk cacat, dan minim keterampilan karyawan. Hal ini menjadi penyebab perusahaan untuk meninggalkan sistem manufaktur tradisional dan menerapkan sistem JIT.
Perencanaan yang tepat sebelum mengimplementasi sistem JIT itu penting, dan dimulai dengan adanya komitmen dari manajemen puncak. Pengetahuan tentang hal utama, seperti: biaya konversi ke sistem JIT, berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk konversi, dan hasil apa yang diharapkan, hal tersebut dapat membantu manajemen puncak membuat keputusan untuk mendukung usaha implementasi JIT.
Biaya konversi ke sistem JIT berdasarkan wawancara dengan Direktur PT X, perusahaan telah melakukan
cost-benefit analysis di dalam perencanaan implementasi JIT. Pada awalnya implementasi JIT di PT X memang memerlukan cost yang tidak sedikit, karena perusahaan melakukan banyak investasi, seperti: perluasan lahan pabrik, re-layout, pembelian mesin atau penambahan kapasitas dan training karyawan pabrik. Namun, perusahaan positif akan sukses implementasi JIT yang dimulai dari bahan baku. Untuk target waktu konversi, perusahaan menargetkan waktu 5 tahun, dengan tujuan dengan melakukan implementasi JIT dapat meningkatkan laba perusahaan dan membuat perusahaan dapat bersaing di pasar global.
Menurut White et al., (1999), terdapat 10 prinsip-prinsip implementasi JIT:
1. Fokus Pabrik
Setiap perusahaan pastinya memiliki tata letak (layout) yang berbeda-beda. Suatu perusahaan dikatakan memiliki fleksibilitas proses produksi dapat dilihat dari tata letak (layout) pabriknya. Memaksimalkan fleksibilitas sering dilihat sebagai salah satu manfaat utama dari JIT.
Selain dilihat dari tata letak, hal-hal lain seperti penyederhanaan struktur organisasi, mengurangi proses produksi, dan meminimalkan kompleksitas kendala fisik pabrik juga termasuk fokus dari prinsip ini. PT X pada awalnya sudah melakukan penyederhanaan struktur organisasi, struktur organisasi garis yang menyusun garis kekuasaannya secara langsung dari atasan (Direktur) ke beberapa bagian dibawahnya (departemen). Dengan struktur organisasi ini dapat terlihat jelas hierarki yang ada di dalam perusahaan, dan instruksi serta pengawasan yang dilakukan.
memberikan nilai tambah (value added) bagi produk. Untuk itu perusahaan meminimalkan proses inspeksi bahan baku secara berulang kali, peralatan atau komponen yang jauh dari jangkauan karyawan serta penerbitan surat persetujuan pesanan maupun produksi yang berbelit-belit. Meminimalkan kompleksitas kendala fisik, baik dalam setup mesin, jarak peralatan dengan mesin, dan transportasi dalam pabrik merupakan hal penting yang diperhatikan oleh perusahaan.
Tata letak pada PT X merupakan tata letak yang berdasarkan dengan proses produksi (process layout).
Untuk melihat apakah layout pabrik pada perusahaan telah mendukung implementasi JIT bisa dilihat pada Gambar 1 di bawah ini:
Gambar 1 Tata Letak PT X
Keterangan:
1 : Gudang 4 : Mesin Cutting
2 : Mesin Mixing 5 : Mesin Printing
3 : Mesin Blowing 6 : Pintu Keluar
plastik. Hal ini disebut daerah process.
Setelah rol plastik tersebut masuk ke mesin cutting (4), dimana rol plastik masuk ke masing-masing mesin pemotongan sesuai dengan ukuran pesanan pelanggan. Alasan mesin cutting diletakkan di tengah-tengah pabrik oleh perusahaan, dikarenakan mesin ini menjadi sentral untuk menjadi produk jadi (output). Untuk plastik yang nantinya akan disablon, sebelum masuk mesin cutting akan masuk ke mesin printing (5). Kemudian, produk jadi akan langsung diantar ke pelanggan melalui jalur pintu keluar (6). Sehingga perusahaan dapat memastikan bahwa tidak perlu mengeluarkan biaya penyimpanan
(holding cost).
Terlihat dari layout pabrik pada PT X ini belum memenuhi syarat JIT yaitu product layout, atau disebut juga pola sel manufaktur, yang dimana sel manufaktur ini terdiri dari mesin-mesin yang dikelompokkan dalam satu lokasi. Walaupun perusahaan belum mengaplikasikan product layout, dengan process layout perusahaan telah mengurangi proses produksi yang kurang efektif dan efisien, dan meminimalkan kompleksitas kendala fisik yang merupakan bagian dari prinsip fokus pabrik.
Berdasarkan wawancara dengan Direktur, perusahaan belum bisa mengubah layout dari process layout
ke product layout, dikarenakan bertambahnya jumlah mesin, namun tidak bertambahnya luas pabrik, dan lokasi pabrik yang terletak di kawasan padat industri. Perusahaan sudah memiliki rencana untuk re-layout menuju product layout, setelah perusahaan melakukan ekspansi terhadap lahan pabrik.
2. Teknologi Kelompok
Terlihat dari tata letak PT X yang menggunakan tipe process layout, dimana mesin atau fasilitas yang memiliki kegunaan sama dikelompokkan dan diletakkan pada tempat yang sama dan membentuk suatu departemen (mixing, blowing, cutting, printing) sehingga terlihat hanya ada satu pabrik dan belum menggunakan struktur sel manufaktur dimana adanya pabrik didalam pabrik atau disebut juga pabrik mini yang merupakan syarat dari JIT.
Untuk mewujudkan implementasi JIT, PT X harus memperbaiki rancangan alur produksi dari process layout menjadi product layout dan melakukan pendekatan sel manufaktur, dimana dengan implementasi sistem JIT maka seluruh mesin yang digunakan untuk memproses produk tertentu disatukan dalam suatu lokasi, karena product layout akan mendorong terciptanya teknologi kempok (sel manufaktur). Dengan adanya sel manufaktur perusahaan bisa meningkatkan efisiensi penjadwalan melalui meminimalkan usaha adanya duplikasi pada proses produksi.
Gambar 2
Tata Letak PT X dengan Teknologi Kelompok
Di dalam layout baru dengan teknologi kelompok, PT X memiliki 4 sel manufaktur untuk masing-masing produk yaitu PP, PE, HD, dan PCB. Sel manufaktur yang merupakan ciri dari sistem JIT akan membentuk huruf U atau setengah lingkaran yang terdiri atas mesin-mesin untuk membuat produk tersebut dikelompokkan menjadi satu tempat. Sehingga, di dalam sel manufaktur PT X ini mesin-mesin untuk membuat produk PP, PE, HD, dan PCB dikelompokkan menjadi satu yang terdiri atas mesin mixing, blowing, cutting, dan printing.
3. Pengurangan Waktu Pemasangan (setup)
ini yang diterapkan oleh PT X, walaupun layout pabrik pada PT X mesin-mesin ditempatkan secara departemen, namun tiap-tiap mesin sudah dirancang untuk satu jenis produk, sehingga tidak memerlukan perlakuan manual dalam mengubah ukuran.
Setiap mesin telah dirancang untuk sesuai dengan ukuran standar plastik yang berlaku maupun sesuai dengan keinginan pelanggan. Oleh karena itu, karyawan tidak melakukan secara manual dalam mengubah setting mesin, namun otomatis dari mesinnya terkhusus pada mesin blowing, cutting, dan printing. Hal ini menyebabkan karyawan dapat bekerja dengan cepat tanpa memerlukan bantuan dari operator.
Selain itu, terdapat kebijakan perusahaan yang tertulis dalam rencana produksi mengenai setup mesin untuk memaksimalkan produksi dan mengurangi waktu setup (tidak ada mesin yang menunggu atau menganggur) dan biaya setup, yaitu:
Mesin Blowing, produksi dimulai dengan ukuran lebarnya sama atau urutan order dari ukuran terlebar sampai terkecil, atau ukuran tebalnya sama atau ukuran order dari ukuran tertebal sampai tertipis.
Mesin cutting, apabila order non-print, urutan dimana lebarnya sama, tetapi perbedaan tebal tidak lebih dari 10 mikron, atau apabila order print, urutan order berikutnya adalah order non-print dengan panjangnya sama dan perbedaan tebalnya tidak lebih dari 10 mikron.
Mesin printing, urutan berdasarkan lebarnya sama atau warna yang digunakan sama.
4. Total Pemeliharaan Produktif
Dalam laporan perbaikan mesin terlihat dalam perusahaan rutin melakukan pemeliharan dan melakukan pencegahan secara rutin. Hal ini juga terlihat dari kuesioner, perusahaan mementingkan adanya
maintenance atau pemeliharan secara terus-menerus dan dipantau oleh operator.
Berdasarkan wawancara terhadap operator pabrik, perusahaan melakukan preventive maintenance
yang dilakukan agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan melalui tindakan pencegahan, seperti selalu memeriksa laporan kondisi mesin dari departemen teknik (PPIC), setiap melakukan proses produksi, hal ini terdapat dalam kebijakan perencanaan produksi. Selain program preventive maintenance, perusahaan juga mengutamakan kebersihan dalam pabrik. Karyawan dituntut untuk menjaga kebersihan tempat kerjanya, hal ini merupakan bagian dari kegiatan pemeliharaan, agar mesin dan peralatan selalu dalam keadaan bersih dan siap bekerja pada saat pesanan datang.
5. Pekerja Multifungsi
Salah satu perbedaan antara sistem manufaktur tradisional dengan sistem JIT adalah terletak pada keahlian karyawan. Di dalam sistem JIT, karyawan dituntut untuk bisa melakukan pekerjaannya secara multifungsi. Sedangkan didalam sistem manufaktur tradisional, karyawan tidak memiliki keahlian secara multifungsi, yang memiliki keahlian adalah operator pabrik.
Berdasarkan wawancara terhadap karyawan produksi, sebagian besar karyawan dari PT X memiliki kemampuan ganda dan fleksibel sesuai dengan lini produksinya (mixing, blowing, cutting). Misalnya, pada departemen cutting yang sebagian besar merupakan karyawan perempuan yang memiliki keahlian memasang pisau mesin, mengatur setup mesin, memasang rol plasik, maupun memasang atau mengganti karet mesin tanpa bantuan dari operator yang merupakan standar keahlian yang harus dimiliki oleh karyawan pabrik PT X.
Pada umumnya, karyawan di PT X dapat mengoperasikan peralatan dan mesin dalam jalur produksinya, sehingga ketika ada karyawan lain yang absen bekerja, karyawan lain bisa menggantikannya. Namun, pada mesin mixing, hanya karyawan dari bagian operator yang dapat mengoperasikannya, karena pada bagian ini karyawan biasa tidak dapat sembarangan mencampur bahan baku seperti produk pada HDPE, sebab kalau terjadi kesalahan dalam mencampur bahan, bahan baku tersebut tidak bisa dipakai untuk produksi yang menyebabkan kerugian bagi perusahaan.
6. Beban Kerja yang Sama
Dalam JIT, aspek yang tercakup dalam beban kerja yang sama adalah waktu siklus dan frekuensi produksi. Waktu siklus produksi pada perusahaan adalah sesuai dengan lamanya waktu yang diminta oleh pelanggan, sehingga perusahaan dapat memproduksi dengan membagi frekuensi yang sama tiap produksinya (pembebanan secara bertingkat). Perusahaan juga memastikan jeda antar proses adalah 1 hari. Dengan demikian produksi di perusahaan lebih sistematis.
Berdasarkan wawancara dengan operator, setiap mesin dalam pabrik PT X mempunyai beban kerja yang setara dengan jadwal produksi yang sama sesuai dengan kapasitas tiap mesin (mixing, blowing, cutting, printing). Perusahaan juga tidak menerima pemesanan disaat ada kerusakan berat pada mesin yang memerlukan waktu perbaikan hingga 1 minggu. Hal ini diterapkan agar tidak menganggu kelancaran produksi dan tidak adanya tumpah-tindih pada saat produksi dan pemesanan dari pelanggan dapat tepat waktu sesuai dengan yang diinginkan oleh pelanggan.
7. Sistem Kanban
Kanban merupakan alat komunikasi dalam sistem produksi JIT, dalam bahasa Jepang Kanban ini berarti papan isyarat. Kanban digunakan sebagai alat kontrol produksi untuk mewujudkan sistem produksi secara JIT.
pengiriman barang.
Dalam wawancara dengan Direktur, sistem kanban yang ada di PT X akan di update dengan teknologi baru, dimana sistem ini bisa mendeteksi adanya indikasi produk cacat dalam proses produksi, sistem tersebut akan mengeluarkan sirine. Manfaatnya adalah karyawan maupun operator dapat membantu karyawan untuk menghentikan proses produksi tersebut agar tidak merugikan perusahaan.
8. Pembelian JIT
Faktor pendukung dalam terwujudnya implementasi JIT adalah program kemitraan. Dalam program kemitraaan JIT, perusahaan mempunyai 4 pemasok yang 3 pemasok berada di luar kota dan 1 pemasok (Bapak Joni) yang berada di dekat lokasi perusahaan dan masih kerabat dengan pemilik perusahaan. Berdasarkan wawancara dengan Direktur, perusahaan mengalami kesulitan dengan pemasok antara lain:
Antrian di pelabuhan terutama seperti hari menjelang hari raya Idul Fitri, Natal, maupun Tahun Baru.
Akses transportasi menuju lokasi perusahaan, lokasi perusahaan berada di kawasan padat industri disertai jalan yang tidak rata dan bergelombang menyebabkan truk harus hati-hati melewati jalan tersebut.
Pemasok tersebut bukanlah pemasok tetap. Perusahaan hanya mempunyai kontrak jangka panjang dengan Bapak Joni yang telah bekerjasama selama 10 tahun.
Perusahaan juga sering mengganti pemasok dalam waktu 1-2 tahun. Hal ini dikarenakan perusahaan masih mencari pemasok yang dapat mendukung perusahaan untuk memenuhi salah satu syarat implementasi JIT, yaitu program kemitraan. Perusahaan mencari pemasok dengan kualitas bahan baku yang bagus dengan harga yang kompetitif, serta dapat datang tepat waktu. Sebagian besar pemasok tidak dapat menjamin bahwa bahan baku dapat datang tepat waktu selain perusahaan Bapak Joni. Hal ini menyebabkan perusahaan tidak ada kontrak jangka panjang dengan pemasok. Oleh karena itu, di dalam tata letak (Gambar 1) perusahaan masih memiliki gudang. Namun perusahaan berusaha untuk menekan persediaan hampir mendekati nol (zero inventory). Sedangkan untuk frekuensi pembelian bahan baku dikirim oleh pemasok satu bulan sekali sehingga dalam satu tahun terjadi 12 kali frekeunsi pengiriman barang pesanan.
9. Kontrol Kualitas Berbasis Proses
Di dalam perusahaan terdapat departemen PDC yang bertugas melakukan quality control dan product development. Kualitas bagi perusahaan merupakan yang paling diutamakan dan sangat penting, karena salah satu alasan perusahaan meninggalkan sistem manufaktur tradisional dan menerapkan sistem JIT adalah produk cacat. Oleh karena itu, perusahaan meminimalkan terjadinya produk cacat. Dalam kuesioner produk cacat dan rework atau pengerjaan kembali menjadi ukuran kinerja yang sangat penting bagi perusahaan.
10. Kontrol Kualitas Berbasis Produk
Produk yang dikatakan berkualitas kalau produk dapat memenuhi dimensi kualitas. Dimana dimensi kualitas ada 8 dimensi sebagai berikut: (1) kinerja (performance) (2) estetika (3) kemudahan perawatan dan perbaikan (4) fitur (5) keandalan (6) Tahan lama (7) kualitas kesesuaian (8) kecocokan penggunaan. Dengan perusahaan mengimplemtasi JIT yang dimana berproduksi ketika ada order dari pelanggan. Perusahaan akan berfokus berproduksi sesuai dengan permintaan pelanggan, dan sejumlah permintaan pelanggan. Dari hasil kuesioner, perusahaan secara penuh memperhatikan kontrol kualitas produk.
Evaluasi dari analisis prinsip-prinsip implementasi JIT menggunakan White et al., (1999) dengan implementasi JIT yang telah dilakukan oleh PT X dapat dilihat dalam Tabel 1 dibawah ini:
Tabel 1
3. Pengurangan Waktu Pemasangan Implementasi secara penuh 4. Total Pemeliharaan Produktif Implementasi secara penuh
5. Pekerja Multifungsi Implementasi secara penuh
6. Beban kerja yang Sama Implementasi secara penuh
7. Sistem Kanban Implementasi secara penuh
8. Pembelian JIT Belum terimplementasi
9. Kontrol Kualitas Berbasis Proses Implementasi secara penuh 10. Kontrol Kualitas Berbasis Produk Implementasi secara penuh
Menurut Galhenage (1997), hal yang terpenting dalam suksesnya implementasi JIT adalah adanya komitmen dari segala aspek perusahaan (manajemen puncak, karyawan, dan pemasok) tersebut untuk dapat mewujudkan implementasi JIT. Hal tersebut dapat terlihat bahwa PT X telah menerapkan 7 (tujuh) prinsip implementasi JIT. Perusahaan hanya berproduksi sesuai dengan permintaan pelanggan. Sistem JIT juga memerlukan investasi yang besar mengingat PT X adalah perusahaan keluarga. Investasi yang telah dilakukan oleh PT X adalah pembelian mesin untuk penambahan kapasitas, pelatihan karyawan yang intensif, dan perencanaan re-layout pabrik. Namun, perusahaan belum mengimplementasi JIT secara sempurna karena ada 3 (tiga) prinsip JIT, yaitu fokus pabrik, teknologi kelompok, dan pembelian JIT yang belum diimplementasikan oleh perusahaan.
Efisiensi Biaya Bahan Baku
PT X dalam proses menerapkan sistem JIT untuk meningkatkan efisiensi biaya bahan baku. Untuk mengetahui apakah dengan menerapkan sistem JIT perusahaan sudah efisien atau belum, maka dapat dihitung dengan membandingkan antara anggaran biaya bahan baku terhadap realisasinya.
Tabel 2
Rasio Efisiensi Biaya Bahan Baku Tahun 2010-2015 (dalam Rp)
Tahun Anggaran Biaya Bahan Baku Realisasi Biaya Bahan Baku Rasio Efisiensi 2010 6.415.000.000 10.033.262.500 64% 2011 7.230.000.000 9.176.250.000 79% 2012 7.440.000.000 9.824.500.000 76% 2013 7.320.000.000 9.646.000.000 76% 2014 7.740.000.000 10.611.000.000 80% 2015 12.274.675.000 14.496.045.000 85% Sumber: Data diolah
Berdasarkan dari hasil perhitungan pada Tabel 2 menunjukkan bahwa sebelum perusahaan menerapkan sistem JIT, efisiensi biaya bahan baku yang dapat dilakukan oleh perusahaan adalah sebesar 64%. Kemudian pada tahun 2011, efisiensi biaya bahan baku pada perusahaan sebesar 79%. Pada masa peralihan dari sistem manufaktur tradisional dan sistem JIT terlihat perbedaan efisiensi yang cukup besar yaitu sebesar 15% dari tahun 2010. Pada tahun 2012 efisiensi biaya bahan baku sebesar 76% mengalami penurunan sebesar 3% dari tahun 2011. Pada tahun 2013, efisiensi biaya bahan baku sebesar 76% menunjukkan tidak ada peningkatan maupun penurunan dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Pada tahun 2014, efisiensi biaya bahan baku sebesar 80%, mengalami peningkatan sebesar 4%. Kemudian, pada tahun 2015 efisiensi biaya bahan baku sebesar 85%, mengalami peningkatan efisiensi sebesar 5%. Sedangkan untuk rata-rata efisiensi biaya bahan baku setelah menerapkan sistem JIT (2011-2015) adalah sebesar 79%.
Permasalahan dan Solusi
Tabel 3
Permasalahan dan Solusi
No. Permasalahan Solusi
1. Bertambahnya jumlah mesin, namun tidak bertambahnya luas pabrik, dan lokasi pabrik yang terletak di kawasan padat industri.
Re-layout menuju product layout, dengan melakukan ekspansi terhadap lahan pabrik
2. Belum menggunakan struktur sel manufaktur dimana adanya pabrik di dalam pabrik atau disebut juga pabrik mini yang merupakan syarat dari JIT.
Layout baru dengan teknologi kelompok, PT X memiliki 4 sel manufaktur untuk
Membuat kontrak dengan pemasok yang memiliki kriteria seperti tingkat loss bahan bakunya paling sedikit, pemasok yang memberikan harga yang paling kompetitif, pemasok yang bahan bakunya berkualitas baik, pemasok yang lokasinya tidak jauh dengan perusahaan.
Perusahaan dengan pemasok bisa
terhubung dengan menggunakan
pertukaran data elektronik (Electronic Data Interchange), yaitu suatu metode terotomatisasi dari pengiriman informasi faktur sehingga dapat menurunkan biaya pemesanan.
SIMPULAN & SARAN Simpulan
Berdasarkan pembahasan pada penelitian ini, maka dapat ditarik simpulan sebagai berikut:
1. Terdapat 7 (tujuh) prinsip implementasi JIT yang telah diimplementasikan oleh PT X, antara lain: pengurangan waktu pemasangan (set up), total pemeliharaan produktif, pekerja multifungsi, beban kerja yang sama, sistem kanban, kontrol kualitas berbasis proses, dan kontrol kualitas berbasis produk. Sementara untuk 3 (tiga) prinsip implementasi JIT yang belum diterapkan oleh PT X, yaitu: fokus pabrik, teknologi kelompok, dan pembelian JIT.
2. Kendala dalam implementasi JIT, yaitu (1) Bertambahnya jumlah mesin, namun tidak bertambahnya luas pabrik, dan lokasi pabrik yang terletak di kawasan padat industri. (2) Belum menggunakan struktur sel manufaktur dimana adanya pabrik di dalam pabrik atau disebut juga pabrik mini yang merupakan syarat dari JIT. (3) Tidak adanya kontrak antara perusahaan dengan pemasok. Perusahaan sulit menemukan perusahaan yang dapat membantu mewujudkan implementasi JIT..
3. Sebelum perusahaan menerapkan sistem JIT, efisiensi biaya bahan baku perusahaan sebesar 64%. Pada tahun 2015 efisiensi biaya bahan baku sebesar 85%, mengalami peningkatan efisiensi sebesar 21%. Sedangkan untuk rata-rata efisiensi biaya bahan baku setelah menerapkan sistem JIT (2011-2015) adalah sebesar 79%.
Implikasi
PT X harus fokus pada 3 (tiga) prinsip implementasi JIT yang belum diterapkan oleh PT X, yaitu: fokus pabrik, teknologi kelompok, dan pembelian JIT. Pada prinsip fokus pabrik dan teknologi kelompok, perusahaan dapat mengubah layout dari process layout menjadi sel manufaktur (product layout). Kemudian untuk fokus pembelian JIT perusahaan harus membuat kontrak dengan pemasok atau perusahaan dapat menggunakan EDI (Electronic Data Interchange).
Keterbatasan Penelitian
Keterbatasan dalam penelitian ini adalah kurang lengkapnya data-data pendukung yang diberikan oleh perusahaan. Data-data tersebut bagi perusahaan merupakan data yang bersifat rahasia dan tidak bisa dipublikasikan oleh perusahaan.
Saran untuk Penelitian Mendatang
DAFTAR PUSTAKA
Galhenage, G. 1997. Just-In-Time Manufacturing. New York, NY.
Nugroho, P. I. 2007. “The Effects of Performance Measures and Incentive Systems on The Degree of JIT Implementation”. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Vol XIII No. 1 pp: 35-53.
Putra, C dan Idayati, F. 2014. “Penerapan Metode Just In Time Untuk Meningkatkan Efisiensi Biaya Persedian Bahan Baku”. Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 3 No. 1.
Ravianto. 2002. Dasar-dasar Produktivitas. Karunika Universitas Terbuka Jakarta.
Tjahjadi. 2001. “JIT Purchasing, JIT Production Systems:Pengaruhnya terhadap Kinerja Produktivitas”. pp: 227-236.
White. R. E., Pearson. J. N., dan Wilson. J. R. 1999. “JIT manufacturing: a survey of implementation in small and large US manufacturers”. Management Science, 45, pp: 1-15.
Yulianti. 2013. Analisis Sistem Pengendalian Persediaan Dengan Metode Just In Time dan
dampaknya Terhadap Kualitas Produk pada CV. Yan’s Fruit Vegetables. (diakses tanggal 2 Desember 2015).
LAMPIRAN