• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi komparasi pendapat Ibnu Hazm dan Sayyid Sabiq tentang syarat dan tata cara rujuk.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi komparasi pendapat Ibnu Hazm dan Sayyid Sabiq tentang syarat dan tata cara rujuk."

Copied!
96
0
0

Teks penuh

(1)

i

STUDI KOMPARASI PENDAPAT IBNU HAZM DAN SAYYID

SABIQ TENTANG SYARAT DAN TATA CARA RUJUK

SKRIPSI

Oleh

Muhammad Syaifur Rizal NIM. C01213061

Jurusan Hukum Perdata Islam

Fakultas Syariah dan Hukum Prodi Hukum Keluarga Universitas Islam Negeri Sunan Ampel

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

Skripsi ini merupakan hasil penelitian kepustakaan tentang “Studi Komparasi Pendapat Ibnu Hazm dan Sayyid Sabiq Tentang Syarat dan Tata Cara Rujuk”. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan mengenai bagaimana pendapat dan istinbat hukum yang digunakan oleh Ibnu Hazm tentang syarat dan tata cara rujuk?, bagaimana pendapat dan istinbat hukum yang digunakan oleh Sayyid Sabiq tentang syarat dan tata cara rujuk?, dan bagaimana persamaan dan perbedaan tentang syarat dan tata cara rujuk antara pendapat Ibnu Hazm dan Sayyid Sabiq?.

Dalam penyusunan skripsi ini, menggunakan jenis penelitian kualitatif. Data Primer, yaitu kitab yang berjudul Al-Muh}alla bi al-atsar karya Ibnu Hazm dan kitab Fiqh As-Sunnah karya Sayyid Sabiq. Sebagai data sekunder, yaitu literatur lainnya yang relevan dengan permasalahan tersebut. Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data adalah secara dokumentatif, Pengumpulan data dilakukan melalui penelitian pustaka, yaitu dengan membaca, mencermati sumber-sumber data di perpustakaan. Setelah data terkumpul, langkah selanjudnya menganalisis dengan metode deskriptif analitis, yaitu memaparkan dan menjelaskan data-data yang diperoleh dengan pola pikir deduktif, yaitu dimulai dari masalah yang berkaitan dengan rujuk secara umum kemudian ditarik pada perbedaan pendapat antara pendapat Ibnu Hazm dan Sayyid Sabiq dengan penekanan pada metode istinbat kedua ulama’ tersebut. kemudian dianalisis dengan metode komparatif, yaitu dengan membandingkan dua data yang berbeda atau yang sama antara pendapat Ibnu Hazm dan Sayyid Sabiq terhadap sumber-sumber data yang diperoleh tentang rujuk, Kemudian diambil kesimpulan dari dua pendapat tersebut.

Hasil penelitian menyimpulkan bahwa, untuk syarat rujuk kedua ulama tersebut berpendapat sama. Pertama, rujuk hanya dapat dilakukan ketika masih jatuh dua talak. Kedua, masih dalam masa iddah. Namun terkait dengan tata cara rujuk, kedua ulama tersebut berbeda. Ibnu Hazm berpendapat bahwa rujuk harus mendapatkan persetujuan istri, rujuk harus dengan ucapan serta wajib hukumnya menghadirkan saksi dalam rujuknya, hal ini didasarkan atas nash Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 228, 229 dan surat At-Thalaq ayat 2 serta hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Imam At-Tirmizi dan Imam Abu Daud. Sedangkan Sayyid Sabiq berpendapat bahwa rujuk adalah hak suami secara mutlak, jadi rujuk tidak membutuhkan persetujuan istri, rujuk sah dilakukan dengan ucapan atau perbuatan dan menghadirkan saksi hukumnya sunnah. Beliau menggunakan dalil Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 228 dan 229 dan hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah.

Sejalan dengan kesimpulan di atas, maka ada beberapa saran yang perlu dicantumkan, antara lain: Pertama, Masalah rujuk merupakan masalah yang sebab akibatnya erat hubungannya dengan keabsahan suatu perkawinan, oleh sebab itu hendaklah kita

berhati-hati dalam permasalahan ini. Kedua, bagi peraturan hukum perdata Islam di

(7)

DAFTAR ISI

CAVER ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... iv

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI... ... v

ABSTRAK ... vi

DAFTAR ISI ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 8

C. Rumusan Masalah ... 10

D. Kajian Pustaka ... 10

E. Tujuan Penelitian ... 13

F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 13

G. Definisi Operasional ... 14

H. Metode Penelitian ... 14

I. Sistematika Pembahasan ... 18

BAB II PENDAPAT IBNU HAZM TENTANG SYARAT DAN TATA CARA RUJUK ... 20

A. Tinjauan tentang Biografi Ibnu Hazm ... 20

1. Latarbelakang dan Pendidikan Ibnu Hazm ... 20

2. Pendidikan Ibnu Hazm ... 22

3. Guru dan Murid Ibnu Hazm . ... 24

4. Karya Ibnu Hazm ... 28

B. Metode Istinbat Ibnu Hazm tentang Syarat dan Tata

(8)

Cara Rujuk ... 35

1. Al-Qur’an ... 35

2. As-Sunnah ... . 31

3. Ijma’ ... 31

4. Ad-Dalil ... 41

C. Pendapat Ibnu Hazm tentang Syarat dan Tata Cara Rujuk ... 34

BAB III PENDAPAT SAYYID SABIQ TENTANG SYARAT DAN TATA CARA RUJUK ... 43

A. Tinjauan tentang Biografi Sayyid Sabiq ... 43

1. Latarbelakang dan Pendidikan Sayyid Sabiq ... 43

2. Pendidikan Sayyid ... 44

3. Guru dan Murid Sayyid Sabiq ... 45

4. Karya-Karya Sayyid Sabiq ... 45

B. Metode Istinbat Hukum Sayyid Sabiq tentang Syarat dan Tata Cara Rujuk ... 47

1. Al-Qur’an ... 50

2. As-Sunnah . ... 50

3. Ijma’ ... 52

4. Qiyas ... 54

5. Maslahah Mursalah ... 56

C. Pendapat Sayyid Sabiq tentang Syarat dan Tata Cara Rujuk ... 57

BAB IV ANALISIS KOMPARASI PENDAPAT IBNU HAZM DAN SAYYID SABIQ TENTANG SYARAT DAN TATA CARA RUJUK ... 62

A. Analisis Persamaan antara Pendapat Ibnu Hazm dan Sayyid Sabiq tentang Syarat dan Tata Cara Rujuk ... 62

1. Perbedaan antara Pendapat Ibnu Hazm dan Sayyid Sabiq tentang Syarat dan Tata Cara Rujuk ... 62

2. Perbedaan antara Pendapat Ibnu Hazm dan Sayyid Sabiq tentang Syarat dan Tata Cara Rujuk ... 64

(9)

C. Kelebihan dan Kekurangan Pendapat Ibnu Hazm dan

Sayyid Sabiq tentang Sayarat dan Tata Cara Rujuk ... 77

BAB V PENUTUP ... 81

A. Simpulan ... 82

B. Saran-saran ... 82

DAFTAR PUSTAKA

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia tercipta dengan memiliki naluri (nafsu yang dibawa

sejak lahir). Salah satunya berupa naluri yang memungkinkan jenis

laki-laki tertarik kepada wanita atau sebaliknya. Dalam rangka menjaga naluri

seksual ini, Islam telah mengatur penyalurannya melalui suatu institusi

yang dinamakan lembaga pernikahan atau perkawinan (penulis tidak

membedakan istilah nikah dengan kawin dan keduanya dianggap sama).

Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia

dan penuh kasih sayang. Sesuai dengan yang tercantum dalam Kompilasi

Hukum Islam (KHI) pasal 3, “Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan

kehidupan rumah tangga yangsaki<nah mawaddah dan rah}mah “.1

Namun di dalam menjalani kehidupan rumah tangga, tidak

selamanya kehidupan suami istri mulus, pasti ada rintangan dan hambatan

yang setiap saat akan menghantui perjalanan rumah tangga tersebut.

Sebuah keluarga itu ibarat perahu yang tidak jarang diterpa badai,

sehingga dapat menyebabkan tenggelam bila juru mudinya tidak

berpengalaman menyelamatkannya.2 Sehingga apabila tidak sabar dan

kuat dalam menghadapinya, maka akan timbul keretakan dan perpisahan

1

Pasal 3 InstruksiPresiden No. 1 Tahun 1991 KompilasiHukum Islam.

2

Hasan Basri, Keluarga Sakinah : Tinjauan Psikologi dan Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

1995), 4-5.

(11)

2

dalam keluarga. Keretakan dan perpisahan tersebut bisa dikarenakan

perceraian atau kematian oleh salah satu pihak.

Agar bangunan perkawinan itu tetap kokoh dan selalu tegak,

pembinaannya harus dimulai dari membenahi tatanan keluarga dengan

fondasi yang kokok pula, karena pengalaman dalam kehidupan

menunjukkan bahwa membangun keluarga itu relatif mudah, namun

membina dan memelihara keutuhan keluarga hingga mencapai taraf

kebahagian dan kesejahteraan yang selalu diharapkan oleh setiap

pasangan suami istri sangat sulit.

Pengalaman hidup menunjukkan betapa variasinya

benturan-benturan atau masalah-masalah yang mewarnai perjalanan kehidupan

sebuah keluarga. Maka dari itu, ajaran Islam yang mengatur tentang

prinsip-prinsip perkawinan yang disampaikan Allah SWT dan Rasul-Nya

dalam Al-Qur’an dan Al-Hadis adalah suatu keharusan dan keniscayaan

untuk selalu dibina dan dipupuk sejak dini, sehingga tujuan semula untuk

mencapai keluarga yang saki<nah mawaddah wa rah}mah yang

dicita-citakan setiap pasangan dapat terwujud.

Permasalahan yang menyebabkan keretakan rumah tangga, seperti

masalah ekonomi, masalah tidak adanya keharmonisan dalam keluarga,

bahkan adanya gangguan pihak ketiga serta masalah pernikahan

seseorang yang masih belum matang dalam hal usia (pernikahan dini)

akan berdampak buruk, hingga mengakibatkan pertengkaran yang sampai

(12)

3

perceraian, seperti data yang diperoleh dari Pengadilan Agama Surabaya

dari bulan Januari-Juli 2015 rata-rata permohonan cerai yang masuk ke

PA mencapai 500-an laporan, baik itu cerai gugat atau cerai talak, dan

rata-rata faktor yang melatarbelakangi perceraian di PA Surabaya adalah

karena usia pernikahan yang masih belum matang sehingga rawan terjadi

konflik.3

Meskipun disini perceraian adalah jalan terakhir untuk

menyelesaikan konflik dalam sebuah rumah tangga, namun untuk

menyusun kembali kehidupan rumah tangga yang mengalami perpisahan

tersebut, bukanlah tidak mungkin terjadi. Maka dari itulah agama Islam

mensyari‘atkan (memberikan alternatif) adanya ‘iddah4 (Masa menanti

yang diwajibkan atas seorang perempuan yang dicerai oleh suaminya

“cerai hidup atau cerai mati”). Manfaat adanya ‘iddah yaitu antara lain

dalam rangka untuk mengetahui bersihnya rahim seorang perempuan yang

telah diceraikan.5 Sehingga tidak tercampur sperma antara keturunan

seseorang dengan yang lain, juga memberikan kesempatan kepada suami

istri yang berpisah untuk berfikir kembali, apakah akan rujukatau

meneruskan cerai jika hal tersebut dianggap baik.6 Dari tujuan

disyariatkannya ‘iddah yang disebutkan diatas tersebut, salah satunya

adalah memberikan kesempatan kepada suami istri untuk berfikir

3

Bagus Riyanto, “Surabaya Update”, surabayanews.co.id/.../angka-perceraian-tiap-bulan-di-surabaya-terbilang-tinggi.html , “diakses pada” 21 Agustus 2015.

4

Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindi, 2011),414.

5

Slamet Abidin, Aminuddin, Fiqh Munakah}at II, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), 121.

6

Ahmad Sarwat, E-Book Fiqh Nikah, (Yogyakarta: Kampus Syariah, 2009), 166.

(13)

4

kembali, apakah akan melanjutkan cerai atau memperbaiki hubungan

keluarga agar damai kembali. Apabila ingin memperbaiki hubungan

tersebut, Allah memberikan alternatif bagi hamba-Nya, alternatif tersebut

dinamakan dengan rujuk. Dalil tentang rujuk sendiri telah difirmankan

oleh Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 228,

            

Artinya: “Dan suami-suaminya berhak merujuknya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki is}hlah}”.7

Dalam Hadis Nabi SAW. juga disebutkan tentang anjuran rujuk, yaitu:

,َﺮَُ ِْﺑِا ِ َ َو

َ َﻃ ﺎ َ ُ َأﱡ

َﺻ ِﱯ َا َلﺎَ ،ََُأَﺮِْا

ُﷲ ﻰ

َ َ ْﻴ

ِ

َو َﺳ

ْ

ِ

:َﺮَُ

ﺎَﻬْ ِﺟاَﺮُـﻴَْـ ُْﺮُ

(

ُاَوَر

ِْﻴََ ٌ َـ ُ

Artinya: “Dari Ibnu Umar RA. bahwa ketika ia menceraikan istrinya Nabi SAW. bersabda kepada Umar: "Perintahkanlah dia agar merujuknya kembali."(HR. Muttafaq ‘Alaihi).8

Dari dua dalil diatas itu sudah cukup jelas, bahwa Allah SWT

dan Rasul-Nya telah menganjurkan hambanya untuk tetap

mempertahankan dan memperbaiki hubungan perkawinan, yaitu dengan

cara rujuk.

Rujuk sendiri mempunyai pengertian yaitu menarik kembali

wanita yang ditalak dan mempertahankan ikatan perkawinannya dengan

syarat selama masih dalam masa ‘iddah.9 Rujuk dapat menghalalkan

hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan sebagaimana juga pada

7

Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: Cahaya Quran, 2011), 36.

8

Ibnu Hajar al-Asqolani, E-Book Bulu>ghul Mara>m, Dani Hidayat, (Jakarta: Pustaka Al-Hidayah,

2009), No. 889.

9

Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab,(Jakarta: PT. Lentera Basritama, 1996), 481.

(14)

5

perkawinan, namun antara keduanya terdapat perbedaan yang sangat

mendasar. Pada ketentuan rujuk yang disepakati ulama’, rujuk tidak

memerlukan wali, dua orang saksi dan tidak perlu mahar, dengan

demikian rujuk lebih sederhana dalam pelaksanannya dari pada

perkawinan.10 Sedangkan perkawinan harus ada wali, dua orang saksi dan

perlunya mahar.

Rujuk yang dibenarkan oleh syariat adalah karena jatuhnya talak

ra}j’i, sedangkan bagi suami yang telah menjatuhkan talak ba’in tidak bisa

rujuk. Talak ra}j’i yang bisa dirujukpun harus istri masih dalam masa

‘iddah, yaitu dimana seorang suami istri masih mempunyai hubungan

belum putus secara penuh dalam arti tanpa adanya akad baru untuk

memulihkan hubungan tersebut, dan ulama sepakat untuk hal ini.

Tata cara pelaksanaan rujuk, para ulama mazhab berbeda

pendapat, perbedaan pendapat itu dikarenakan pemahaman atas dalil

setiap ulama yang berbeda. Perbedaan tersebutpun dapat dikarenakan

berbedanya kultur budaya dan kondisi sosial pada saat seorang ulama

tersebut hidup, sehingga hal tersebut dapat mempengaruhi pemikiran

mereka dalam menggali sebuah hukum yang sama-sama berdasarkan

Al-Qur’an.

Namun secara garis besar, bahwa ketika mantan suami ingin

kembali kepada istri yang ditalak ra}j‘i, rujuk dapat dilakukan dengan niat

atau ucapan yang jelas, atau dapat dengan menggauli sang istri, dan juga

10

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2006), 338.

(15)

6

ada yang berpendapat keabsahan rujukdapat dilakukan dengan niat dan

menggauli istri secara bersamaan, sedangkan menghadirkan saksi dalam

rujuk hukumnya sunnah, karena khawatir agar nanti istrinya tidak

menyangkal kalau sudah dirujuk oleh suaminya.

Perjalanan panjang sejarah Islam menjadikan produk hukum yang

ada bercorak dan banyak menimbulkan perbedaan pendapat antara satu

dan yang lainnya. Meskipun demikian, perbedaan tersebut tidak

menjadikan hukum Islam menjadi tidak berarah, bahkan perbedaan

tersebut menjadi rah}mat lil‘ala>mi>n bagi yang mampu mencerna dan

memahami perbedaan itu. Produk hukum Islam yang biasa disebut dengan

fiqh adalah hasil pemikiran dan pemahaman cendekiawan muslim dari

dalil-dalil yang ada (Al-Qur’an atau Al-Hadis), sehingga sangat wajar

apabila banyak terjadi perbedaan, karena mereka juga manusia biasa yang

tidak lepas dari kesalahan.

Seorang ulama atau cendekiawan muslim dalam mengambil

hukum pasti bersumber dari na}sh-na}sh, tapi ada juga yang tidak

mengambil dari na}sh secara langsung, namun berdasarkan dalil-dalil yang

berdiri diatasnya dan diberi tanda-tanda. Sehingga dengan perantara

dalil-dalil diatas itu, para mujtahid mampu memahami hukum dan

menerangkannya kepada yang dimaksud. Untuk dapat memahami na}sh

atau dalil-dalil yang ada, perlu adanya upaya menginterpretasikan dalil

tersebut, akan tetapi biasanya mujtahid tidak akan melakukan

(16)

7

Namundemikian, produk hukum fiqh sebagian besar adalah hasil

interpretasi dan ijtiha>d-ijtiha>d para ulama’.11

Permasalahan selanjutnya yang perlu dikaji adalah adanya

perbedaan pendapat dua ulama’, yaitu Ibnu Hazm dan Sayyid Sabiq.

Menurut Ibnu Hazm dengan hanya menggauli istri tidak berarti

merujuknya sebelum kata rujuk itu diucapkan, dan harus menghadirkan

saksi, serta istrinya tersebut diberitahukan terlebih dahulu kalau suami

akan merujuknya sebelum masa ‘iddah sang istri habis. Jika tidak dapat

menghadirkan saksi maka bukan disebut rujuk, sebab menurutnya, Allah

tidak membedakan antara talak dan rujuk. Karena itu tidak boleh

memisahkan antara satu dan lainnya, seperti, mentalak tanpa saksi dua

orang laki yang adil atau rujuktanpa menghadirkan dua orang

laki-laki yang adil.12

Rujuk menurut Sayyid Sabiqadalah hak penuh suami, tidak perlu

syarat kerelaan, dan pengetahuanbekas istri. Rujukada ditangan suami,

maka rujuk tidak perlu wali. Keberadaan saksi sifatnya adalah sunnah,

karena khawatir agar nantinya istri tidak menyangkal rujuknya suami.13

Kedua tokoh tersebut mempunyai pendapat yang berbeda dalam

menetapkan ketentuan rujukberdasarkan dalil-dalil yang menurut mereka

dibenarkan. Keduanya merupakan ulama yang mempunyai kultur dan

latarbelakang yang berbeda. Sayyid Sabiq adalah ulama kontemporer dari

11

Muhammad Hasyim Kamali, prinsip dan teori hukum Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Offset, 1996), 109.

12

Ibnu Hazm, Al-Muh|alla, (Baitul Afkar: 2003), 1810-1811.

13

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Moh. Thalib, jilid 8, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1997), 62-63.

(17)

8

Mesir yang mempunyai karya Fiqh Sunnah yang pendapatnya dalam hal

hukum perkawinan khusunya bab rujuk hampir menyerupai empat Imam

mazhab. Sementara Ibnu Hazm adalah ulama dari Andalusia (Spanyol)

yang bermazhab Zhahiri, dengan karyanya al-Muh}alla bi Al-Atsar.

Meskipun kedua tokoh ini mendasarkan pendapatnya sama-sama

dari Al-Qur’an dan Al-Hadis yang merupakan sumber legitimasi dalam

Islam, akan tetapi tetap saja ada perbedaan yang berarti dalam

menetapkan syarat dan tata cara rujuk.

Adanya perbedaan tentang syarat dan tata cara rujuk itulah

penulis merasa tertarik untuk meneliti pendapat Ibnu Hazm dan Sayyid

Sabiq dalam kajian ini dengan judul “Studi Komparasi pendapat Ibnu

Hazm dan Sayyid Sabiq tentang syarat dan tata cara rujuk”

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas, dapat

diidentifikasikan masalah-masalah sebagai berikut:

a. Pendapat dan metode istinbat hukum yang digunakan oleh

Ibnu Hazm tentang syarat dan tata cara rujuk.

b. Pendapat dan istinbat hukum yang digunakan oleh Sayyid

(18)

9

c. Persamaan dan perbedaan tentang syarat dan tata cara rujuk

antara pendapat Ibnu Hazm dan Sayyid Sabiq.

d. Faktor yang melatarbelakangi perbedaan pendapat tentang

syarat dan tata cara rujuk dalam na{sh antara Ibnu Hazm dan

Sayyid Sabiq.

e. Relevansi tentang syarat dan tata cara rujuk menurut Ibnu

Hazm dan Sayyid Sabiq dalam konteks hukum keluarga Islam

di Indonesia.

2. Batasan Masalah

Mengingat banyaknya masalah yang menjadi obyek penelitian ini,

maka untuk memberikan arah yang jelas dalam penelitian ini penulis

membatasi pada masalah-masalah sebagai berikut:

a. Pendapat dan istinbat hukum yang digunakan oleh Ibnu Hazm

tentang syarat dan tata cara rujuk.

b. Pendapat dan istinbat hukum yang digunakan oleh Sayyid

Sabiq tentang syarat dan tata cara rujuk.

c. Persamaan dan perbedaan syarat dan tata cara rujuk antara

pendapat Ibnu Hazm dan Sayyid Sabiq.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi dan batasan masalah yang telah

dipaparkan diatas, penulis menentukan suatu permasalahan yang akan

(19)

10

1. Bagaimana pendapat dan istinbat hukum yang digunakan oleh

Ibnu Hazm tentang syarat dan tata cara rujuk?

2. Bagaimana pendapat dan istinbat hukum yang digunakan oleh

Sayyid Sabiq tentang syarat dan tata cara rujuk?

3. Apa persamaan dan perbedaan tentang syarat dan tata cara

rujuk antara pendapat Ibnu Hazm dan Sayyid Sabiq?

D. Kajian Pustaka

Perlunya kajian pustaka adalah untuk mendapatkan gambaran

tentang hal yang akan diteliti tersebut apakah sudah pernah diteliti

sebelumnya atau belum pernah sama sekali, sehingga diharapkan tidak

terjadi pengulangan dan untuk menjaga keaslian penelitian ini.

Sejauh penelitian penulis terhadap karya-karya ilmiah berupa buku

dan laporan penilitian, pembahasan tentang rujuk menurut Ibnu Hazm dan

Sayyid Sabiq belum ditemukan, namun ada beberapa skripsi yang akan

dikaji ulang mengenai rujuk, antara lain:

1. “Studi tentang kesaksian dalam rujuk menurut Imam As-Syafi‘i” yang

ditulis oleh Zakiyah14 Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel Surabaya

tahun 2002. Skripsi ini berisi 68 halaman, berbicara tentang pendapat

Imam Syafi’i dalam rujukmenurut qa}ul qa}dim yaitu wajib dan

14

Zakiyah, “Studi tentang kesaksian dalam rujukmenurut Imam As-Syafi’i”(Skripsi--IAIN SunanAmpel, Surabaya, 2002), V.

(20)

11

menurut qa}ul jadid adalah sunnah. Dasar hokum Imam Syafi’i tentang

kesaksian dalam rujuk adalah Al-quran surat at-Thalaq ayat 2, dan

qiyas yaitu qaul qadim beliau menqiyaskan rujukdengan nikah,

sedangkan pada qaul jadid Imam Syafi’i mengqiyaskan rujuk dengan

jual beli.

2. “Relevansi pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’i dengan peraturan

Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 tentang tata cara rujuk”.

Ditulis oleh Isnaini Rofi’ah, Fakultas Syariah, IAIN Sunan ampel

Surabaya, tahun 2010. Skripsi ini berisi 80 halaman, dan membahas

tentang perbedaan tata cara rujuk, menurut Imam Malik rujuk harus

disertai dengan niat dan apabila suami mencampuri istrinya dengan

niat rujuk maka rujuknya sah. Sedangkan menurut Imam Syafi’i rujuk

harus dengan ucapan atau tulisan, apabila suami mencampuri tanpa

ada ucapan dan tulisan maka rujuknya tidak sah. Dan relevansinya

dengan Peraturan menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 tentang tata

cara rujuk pendapat Imam Syafi’i lebih condong dipakai dalam

peraturan itu, karenan rujuk harus disertai dengan niat.15

3. ”Relevansi konsep rujuk antara Kompilasi Hukum Islam dan

pandangan Imam empat madzhab” Ditulis oleh Munawwar Khalil,

Fakultas Syariah, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, tahun 2011.

Skripsi ini berisi 61 halaman, dan membahas tentang Bagaimana

15

Isnaini Rofi’ah, “Relevansi pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’i dengan peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 tentang tata cara rujuk” (Skripsi--IAIN SunanAmpel, Surabaya, 2010), V.

(21)

12

pandangan madzhab fiqih tentang konsep rujukdan Bagaimana

relevansi konsep rujuk menurut Kompilasi Hukum Islam di Indonesia

dengan madzhab fiqh. Dari analisis yang dilakukan penulis, Imam

Hanbali berpendapat bahwa rujuk terjadi melalui percampuran,

walaupun tanpa niat kalau suami sudah mencampuri istrinya maka

rujuk dianggap sah walaupun tanpa niat. Menurut Imam Hanafi selain

melalui percampuran rujuk juga dapat dilakukan dengan

sentuhan-sentuhan atau ciuman dan yang lain sejenisnya. Menurut Imam Malik,

rujuk dapat dilakukan dengan percampuran tetapi harus disertai

dengan niat dari sang suami. Menurut Imam Syafi’i, rujuk harus

dilakukan dengan ucapan yang jelas dari sang suami, tidak sah rujuk

hanya dengan mencampuri istri tanpa ada ucapan rujuk. Sedangkan

pendapat yang dianggap lebih relevan dengan konteks Indonesia

adalah pendapat Imam Syafi’i, karena selain mewajibkan ucapan yang

jelas juga harus ada saksi.16

Letak perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian diatas

adalah bahwa penelitian ini hanya membahas pendapat Ibnu Hazm dan

Sayyid Sabiq tentang syarat dan tata cara rujuk, dan metode istinbat

hukum yang digunakan oleh Ibnu Hazm dan Sayyid Sabiq juga persamaan

serta perbedaan tentang syarat dan tata cara rujuk. Sepengetahuan penulis

belum ada laporan penelitian dalam kajian ini.

16

Munawwar Khalil, ”Relevansi konsep rujukantara Kompilasi Hukum Islam dan pandangan Imam empat madzhab” (Skripsi--UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang, 2011) , 58.

(22)

13

E. Tujuan Penelitian

Setelah melihat dari rumusan masalah diatas, maka tujuan

diadakannya penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui pendapat dan metode istinbat hukum yang

digunakan oleh Ibnu Hazm tentang syarat dan tata cara rujuk.

2. Untuk mengetahui pendapat dan metode istinbat hukum yang

digunakan oleh Sayyid Sabiq tentang syarat dan tata cara rujuk.

3. Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan tentang syarat dan tata

cara rujuk antara pendapat Ibnu Hazm dan Sayyid Sabiq.

F. Kegunaan Hasil Penelitian

1. Manfaat teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk memperkaya

khazanah keilmuan dan dapat dijadikan rujukan untuk pengembangan

ilmu pengetahuan dalam menjelaskan masalah perkawinan khususnya

dalam hal rujuk.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih

pemikiran bagi praktisi hukum ataupun pihak yang mempunyai

kewenangan dalam menangani masalah perkawinan khususnya dalam

(23)

14

G. Definisi Operasional

Untuk mempermudah pemahaman terhadap istilah kunci dalam

penelitian ini, maka disini akan dijelaskan maknanya sebagai berikut:

1. Studi Komparasi maksudnya adalah jenis penelitian yang

membandingkan dua pendapat atau lebih dari suatu variabel (objek

tertentu).17

2. Rujuk yang dimaksud disini adalah semua yang berkaitan dengan

rujuk, termasuk di dalamnya hukum rujuk, syarat-syarat rujuk serta

tata cara untuk melakukan rujuk.

3. Ibnu Hazm yang dimaksud adalah ulama’ ahli Fiqh dari Andalusia

(Spanyol) dengan karyanya kitab Al-Muh}alla bi Al-Atsar.

4. Sayyid Sabiq yang dimaksud adalah ulama’ kontemporer dari Mesir

yang ahli dibidang Fiqh dengan karyanya Fiqh As-Sunnah.

H. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian kepustakaan (library

reseach).18 Penelitian kepustakaan atau penelitian hukum normatif adalah

penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka

17

Al-Barry, M. Dahlan Y,. Lya Sofyan Yacub, Kamus Induk Istilah Ilmiah: Seri Intelektual,

(Surabaya: Target Press, 2003), 38.

18

Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: PT. Raja

(24)

15

atau buku-buku, majalah, baik dimedia cetak atau media elektronik.19

Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut:

1. Data yang dikumpulkan meliputi

Sesuai dengan latar belakang dan rumusan masalah yang diangkat

penulis, maka data yang diperlukan untuk menjawab rumusan masalah

tersebut meliputi:

a. data tentang syarat dan tata cara rujuk menurut pendapat Ibnu

Hazm dan Sayyid Sabiq.

b. Data tentang metode istinbat hukum yang digunakan oleh Ibnu

Hazm dan Sayyid Sabiq tentang syarat dan tata cara rujuk.

c. Data tentang persamaan dan perbedaan tentang syarat dan tata

cara rujuk menurut pendapat Ibnu Hazm dan Sayyid Sabiq.

2. Sumber Data

Sumber data yaitu sumber dari mana data digali, baik primer

maupun sekunder.

a. Sumber Primer

Sumber data primer adalah bahan hukum yang mengikat.20

Dalam penelitian yang dimaksud sumber data primer adalah:

1) Al-Muh}alla bi Al-Atsar.

2) Fiqh As-Sunnah.

19

Sutrisno Hadi, Metodologi Reseach, (Yogyakarta: Andi Offset, 1990), 9.

20

Masruhan, Metodologi Penelitian Hukum, (Surabaya:Hilal Pustaka, 2013), 103.

(25)

16

b. Sumber Data Sekunder

Sumber data sekunder adalah bahan hukum yang memberikan

penjelasan mengenai bahan hukum primer.21 Dalam penelitian

yang dimaksud sumber data sekunder adalah:

1) Ibnu Rusyd, Bid<ayatul Mujtahid.

2) Abdur Rahman Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘ala Madza<hib Al Arba’ah.

3) Abdul Aziz Muhammad, Fiqh Munakah}at.

4) Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Isla>m wa Adillatuhu>.

5) Ibnu Hajar –Asqa}lani, Terjemah Bulu>ghul Mara>m.

6) Al-Quran Al Karim dan terjemahnya.

7) Sumber rujukan lain seperti buku, jurnal, majalah dan internet

yang berkaitan dengan rujuk.

3. Teknik Pengumpulan Data

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kepustakaan

(library reseach), maka teknik yang digunakan dalam pengumpulan data

adalah secara dokumentatif.22 Teknik ini dilakukan dengan cara

mengumpulkan data-data dari berbagai sumber yang telah di tentukan.

Pengumpulan data dilakukan melalui penelitian pustaka, yaitu dengan

membaca, mencermati sumber-sumber data di perpustakaan, baik

perpustakaan yang ada di lingkungan kampus maupun di luar kampus.

4. Teknik Pengolahan data

21

Ibid, 104.

22

Suharmini Arikunto, Prosedur Penelitian; Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: PT. Rineka

Cipta, 2006), 206.

(26)

17

Setelah data yang dibutuhkan terkumpul, maka data-data tersebut

diolah melalui tahapan-tahapan sebagai berikut:

a. Editing, yaitu data yang sudah dikumpulkan tersebut lalu

diperiksa kembali secara cermat. Pemeriksaan tersebut

meliputi segi kelengkapan sumber informasi, kejelasan makna,

kesesuaian dan keselarasan satu dengan lainnya, relevansi dan

keseragaman, serta kesatuan kelompok data.

b. Organizing, yaitu pengaturan dan penyusunan data

bagian-bagian sehingga seluruhnya menjadi suatu kesatuan yang

teratur dengan memberikan kode-kode tertentu pada

masing-masing kategori atau nilai setiap variabel.

c. Tabulasi, yaitu setelah data diperoleh dan terkumpul, maka

dilakukan pengelompokan data yang telah tersusun rapi dalam

suatu bentuk pengaturan yang logis dan ringkas.

5. Teknik Analisis Data

Dalam menganalisis data yang penulis gunakan dalam penilitian

ini adalah deskriptif analitis, yang bertujuan untuk memberikan data yang

seteliti mungkin dengan pola fikir deduktif.23 Metode deduktif ini

berfungsi untuk menganalisis masalah yang berkaitan dengan rujuk secara

umum kemudian ditarik pada perbedaan pendapat antara pendapat Ibnu

Hazm dan Sayyid Sabiq dengan penekanan pada metode istinbat kedua

ulama’ tersebut. Data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis

23

Lexi, J Moloeng, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), 190.

(27)

18

kemudian dianalisis dengan menggunakan metode komparatif.24 Yaitu

dengan membandingkan dua data yang berbeda atau yang sama

antarapendapat Ibnu Hazm dan Sayyid Sabiq terhadap sumber-sumber

data yang diperoleh tentang rujuk, Kemudian diambil kesimpulan dari dua

pendapat tersebut.

6. Sistematika Pembahasan

Untuk menggambarkan secara garis besar mengenai kerangka

pembahasan dalam penyusunan skripsi ini, maka perlu dikemukakan

sistematika pembahasan sebagai berikut:

Bab pertama berisi pendahuluan untuk mengantarkan pembahasan

skripsi secara kesuluruhan. Bab ini terdiri dari sembilan sub bab; yaitu

latarbelakang masalah, identifikasi dan batasan masalah, rumusan

masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian,

definisi operasional, metode penelitian, dan sitematika pembahasan.

Bab kedua memuat biografi Ibnu Hazm yang menerangkan

tentang kelahirannya, riwayat pendidikan, kitab-kitab karya beliau,

pendapat dan istinbat hukum beliau tentang rujuk.

24

Mohammad Rosyid,”Penelitian Komparatif”, pgsdberbagi.blogspot.com, “diakses pada” 17 Januari 2014.

(28)

19

Bab ketiga akan menjelaskan biografi Sayyid Sabiq yang

menerangkan tentang kelahirannya, riwayat pendidikan, kitab-kitab karya

beliau, pendapat dan istinbat hukum beliau tentang rujuk.

Bab keempat akan membahas tentang analisis terhadap persamaan

dan perbedaan tentang syarat dan tata cara rujuk antara pendapat Ibnu

Hazm dan Sayyid Sabiq

Bab kelima, merupakan penutup yang terdiri dari kesimpulan

yang merupakan jawaban atas permasalahan yang ada, serta saran-saran

(29)

20

BAB II

PENDAPAT IBNU HAZM TENTANG SYARAT DAN TATA CARA RUJUK

A. Tinjauan Tentang Biografi Ibnu Hazm, Pendidika dankaryanya

1. Latar Belakang dan Pendidikan Ibnu Hazm

Ibnu Hazm adalah seorang tokoh besar intelektual muslim Spanyol

yang produktif dan jenius. Beliau seorang ulama dari mazhab Zhahiri yang

sangat terkenal pemikirannya. Ibnu Hazm adalah ulama yang mengeluarkan

suatu hukum berpatokan terhadap dalil Al-Qur’an maupun Al-Hadist secara

tekstual. Nama lengkap Ibnu Hazm adalah Ali bin Ahmad bin Sa’id bin

Hazm bin Ghalib bin Shalih bin Abu Sufyan bin Yazid (budak Yazid bin Abi

Sufyan bin Harb Al-Umawi). Dalam berbagai karyanya, ia sering

menggunakan nama samaran Abu Muhammad, namun di kalangan

masyarakat luas ia lebih popupler dengan nama Ibnu Hazm. Kakeknya yang

bernama Khalaf bin Sa’dan adalah orang pertama yang masuk ke Andalusia

bersama rombongan raja Andalusia yang bernama Abdurrahman bin

Muawiyah bin Hisyam yang dikenal dengan Ad-Dakhil. Ibnu Hazm di

lahirkan di Cordova, tepatnya di istana ayahnya yang saat itu menjabat

sebagai menteri, pada malam Rabu akhir Ramadhan tahun 384 Hijriyah yang

bertepatan dengan tanggal 7 November 994.1

1

Masturi Irham, Asmui Taman, 60 Biografi Ulama Salaf, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2006), 664.

(30)

21

Nasabnya seperti seperti yang disebut oleh Ibnu Khalikan dan

beberapa ahli sejarah, semisal Al-Maqqari, Adz-Dzahabi, Al-Humaidi, dan

Ibnu ‘Imad menunjukkan bahwa ia merupakan keluarga yang berasal dari

Persia, karena kakeknya yang pertama masuk Islam, Yazid adalah budak

Yazin bin Abi Sufyan, saudara Muawiyah bin Abi Sufyan, yang masuk Islam

pada hari penaklukkan (al-fath) dan diangkat oleh Abu Bakar sebagai

pemimpin pasukan pertama yang berangkat untuk menaklukkan negeri

Syam.2

Ibnu Hazm berasal dari keluarga elit-aristokrat yang pernah

menempuh jalur politik dalam menggapai kejayaan Islam, bahkan keluarga

Ibnu Hazm mempunyai andil dalam pendirian dinasti Umayyah di Spanyol,

di mana Khalaf, salah seorang kakeknya dulu menyertai keluarga Bani

Umayyah waktu pertama kali datang ke Spanyol. Setelah Bani Umayyah

berhasil mendirikan daulah Bani Umayyah di Spanyol, keluarga Khalaf

akhirnya berdomisili di Manta Lisyam. Ayah Ibnu Hazm bernama Ahmad,

yang pernah menduduki posisi wazir pada masa pemerintahan Al-Manshur,

sedangkan Ibnu Hazm sendiri pernah menduduki jabatan yang sama di masa

pemerintahan Al-Murtadha Abdurrahman bin Muhammad (Abdurrahman

IV), Al-Mustadzar (Abdurrahman V), dan Hisyam Al-Mu’tad Billah.3

2

Mahmud Ali Himayah, Ibnu Hazm, Biografi, Karya, dan Kajiaanya tentang agama-agama, (Jakarta:

PT. Lentera Basritama, 2001), 55-56.

3

Muhammad Iqbal, 100 Tokoh Islam Terhebat dalam Sejarah, cet 3, (Jakarta: Intimedia, 2003), 109.

(31)

22

Dalam aspek keilmuan, Ibnu Hazm bukan hanya seorang politikus dan

pemikir dalam bidang hukum, namun juga merupakan seorang sastrawan dan

pakar sejarah di masanya. Pada akhir hayatnya, Ibnu Hazm menghabiskan

waktu di desanya, Mint Lisyim. Di sana beliau menyebarkan ajarannya

kepada orang-orang-orang yang datang kepadanya dari daerah pedalaman. Ia

mengajarkan ilmu hadis dan fiqih, serta beliau selalu berdiskusi dengan

mereka. Pada hari Ahad malam Senin tanggal 28 Sya’ban 465 Hijriyah

bertepatan pada tanggal 15 Januari 1064 Masehi Ibnu Hazm meninggal dunia

setelah memenuhi hidupnya dengan produktifitas ilmu. Beliau wafat pada

usia 72 tahun.4

2. Pendidikan Ibnu Hazm

Telah dikemukakan sebelumnya, bahwa Ibnu Hazm selain sebagai

seorang politikus, ia juga seorang sastrawan, ahli fiqh sekaligus sejarawan.

Dalam pembahasan ini, lebih ditekankan pada sosok Ibnu Hazm sebagai ahli

fiqih. Pada mulanya Ibnu Hazm mempelajari fiqh Malikiyah, kemudian

pindah ke Syafi’iyah barulah ke fiqih Zhahiri yang mengambil makna

Al-Qura’an secara tekstual dan membatalkan qiyas. Dia menolak ketika orang

melakukan taqlid buta terhadap para fuqoha dan para imam mazhab. Ibnu

Hazm melarang mereka dan menuduh yang melakukan taklid adalah sesat.5

4

Masturi irham, Asmui Taman, 60 Biografi Ulama..., 667.

5

Khairul Amru Harahap, Ahmad Fauzan, Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah, (Jakarta:

(32)

23

Setelah menghafal Al-Quran Ibnu Hazm diasuh dan dididik oleh Abu

Hunein Ali Al-Farisi, seorang yang terkenal salih, zuhud, dan tidak beristri.

Al-Farisi inilah yang pertama kali membentuk dan mengarahkan Ibnu Hazm.

Farisi juga membawa Ibnu Hazm ke majelis Qur’an Abu

Al-Qasim,juga kepada Abdurrahman bin Abi Yazid Al-Azdi untuk belajar

bahasa Arab dan ilmu hadis. Di bidang fiqih dan peradilan Ibnu Hazm

berguru kepada Al-Khiyar Al-Lughawiy, Ibnu Hazm juga pernah belajar dari

Ahmad bin Muhammad Al-Jasur untuk belajar ilmu bahasa, logika, dan

teologi.6

Ibnu Hazm banyak melakukan perjalanan ilmiah ke beberapa kota di

negeri Andaluasia, dan tidak hanya menetap pada satu daerah saja.

Kebanyakan perjalananya selain untuk mencari ilmu juga untuk mencari

ketenangan dan keamanan hidup.7

Salah satu kota yang pernah dikunjungi Ibnu Hazm adalah Al-Meria,

Namun kota tersebut tidak kondusif bagi Ibnu Hazm,dikarenakan orientasi

politiknya menginginkan keturunan Bani Umayyah menjadi pemimpin

pemerintahan, karenanya ia menemui banyak kesulitan, ancaman, dan

kegelisahan, sehingga ia tidak betah tinggal di kota itu. Kemudian ia hijrah

ke desa Hishan Al-Qashr yang ada di sebelah barat kota Andalusia seraya

tinggal beberapa bulan di rumah sahabatnya, Abu Al-Qasim bin Hudzail

6

Abdul Aziz Dahlan, et al, Esiklopedia Islam, Jilid 2, (Jakarta: Ichtiar Baru Van House, 1996), 608.

7

Nina M. Armando, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005),76.

(33)

24

dengan betah dan tenang. Dari karyanya diketahui bahwa ia pernah pergi ke

kota Valensia dan akhirnya kembali ke Cordova.

3. Guru dan murid Ibnu Hazm

Dalam perjalanan Ibnu Hazm menuntut ilmu, banyak sekali guru-guru

beliau. Diantaranya adalah Abu Muhammad Ar-Rahuni, dan Abdullah bin

Yusuf bin Nami yang dikenal sebagai tokoh yang santun. Guru-guru beliau

yang lain Mas’ud bin Sulaiman bin Maflat Abu Khayyar. Dari guru ini Ibnu

Hazm menerima pendapatnya tentang mazhab Zhahiri sehingga ia menjadi

salah satu tokoh pemimpin mazhab ini. Selain itu guru lain yang

mempengaruhi pemikiran Ibnu Hazm diantaranya Yahya bin Mas’ud bin

Wajh Jannah, Abu Umar Ahmad bin Husain, Yunus bin Abdullah

Al-Qadhi, Muhammad bin Sa’id bin Banat, Abdullah binar Rabi’ at-Tamimi,

Abdullah bin Yusuf bin Nami, dan Ahmad bin Qasim bin Muhammad bin

Ushbuqh.8

Ibnu Hazm juga mempunyai beberapa murid yang setia, dan

merekalah yang menyebarkan pendapat-pendapatnya, diantaranya adalah

Abu Abdullah Al-Humaidi, Suraih bin Muhammad bin Suraih Al-Muqbiri,

Abu Usamah Ya’qub, Abu Sulaiman Al-Mus’ib, dan Imam Abu Muhammad

bin Al-Almaqribi.9

4. Karya-karya Ibnu Hazm

8

Masturi Irham, Asmui Taman, 60 Biografi Ulama..., 673-674.

9

Ibid., 675.

(34)

25

Ibnu Hazm adalah ulama yang sangat pandai, ia termasuk ulama yang

mempunyai pengetahuan dan wawasan yang luas, dengan pengetahuan dan

wawasannya tersebut, beliau banyak menghasilkan karya yang berbentuk

tulisan, hingga salah satu karya beliau yaitu Al-Muh}alla bi Al-Atsar menjadi

kitab fiqh mazhab Zhahiri.10

Sebuah keistimewaan bagi Ibnu Hazm adalah dengan sebuah

karyanya yang sangat banyak ini, sehingga memberi pengaruh pada

pikiran-pikiran manusia, dan para pencari ilmu banyak mempelajari karya-karyanya.

Abu Rafi’i Al-Fadhl meriwayatkan bahwa karya-karya Ibnu Hazm dalam

beragam disiplin pembahasan mencapai 400 buah atau sampai 8000 lembar.11

Namun, tidak semua karya-karya beliau yang begitu banyak dapat ditemukan

karena banyak yang dibakar oleh kelompok-kelompok yang tidak sepaham

dengan Ibnu Hazm. Diantara karya-karya beliau tersebut sebagai berikut:

a. Al-Ahkam fi Ushul al-Ahkam, memuat ushul fiqh mazhab Zhahiri.

b. Al-Muhalla Bi al-Atsar, buku fiqh yang disusun dengan metode

perbandingan, penjelasan luas, argumen Al-Qur’an, Al-Hadis, dan ijma’.

c. Ibtal Al-Qiyas, pemikiran dan berbagai argumentasi dalam menolak

kehujjahan qiyas.

d. Al-Takhsis Wa At-Takhlis, pembahasan rasional masalah-masalah yang

tidak disinggung oleh Al-Qur’an dan Al-Hadis.

10

Abdul Aziz Dahlan, et al, Esiklopedia Islam..., 608.

11

Nina M. Armando, Ensiklopedi Islam..., 77.

(35)

26

e. Al-Imamah Wa Al-Khilafah Al-Fihrasah, sejarah Bani Hazm dan asal usul

leluhur mereka.

f. Al-Akhlaq Wa As-Siyar Mudawwamah An-Nufus, sebuah buku yang

berisi sastra Arab.

g. Risalah Fi Fada’il Ahl al-Andalus, catatan-catatan Ibnu Hazm tenang

Spanyol, ditulis khusus untuk sahabatnya, Abu Bakar bin Muhammad

Al-Ishaq.12

B. Metode Istinbat Hukum Ibnu Hazm tentang Syarat dan Tata Cara Rujuk

Sebelum penulis menjelaskan bagaimana metode istinbat hukum Ibnu

Hazm, perlu diketahui terlebih dahulu pengertian istinbat. Istinbat adalah

mengeluarkan makna-makna dari na}sh-na}sh (yang terkandung) dengan

menumpahkan pikiran dan kemampuan (potensi) naluriah. Nas}h itu ada dua

macam yaitu yang berbentuk bahasa (lafdziyah) dan yang tidak berbentuk

bahasa (maknawiyah), yang berbentuk bahasa (lafadz) adalah Al-Qur'an dan

Al-Hadis, dan yang bukan berbentuk bahasa seperti istihsan, maslahah

mursalah,sadduz adz-dzariah dan sebagainya.13

Ibnu Hamz adalah seorang ulama’ bermazhab Zhahiri. Asas mazhab

ini adalah melaksanakan hukum sebagaimana yang tersurat dalam Al-Qur’an

dan Al-Hadis. Mereka menolak qiyas, ra’yu, istihsan dan ta’lil nusyus

al-12

Abdul Aziz Dahlan, et al, Esiklopedia Islam..., 610.

13

Satria Effendi, M. Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Prenada Media, 2005), 177.

(36)

27

ahkam (penetapan adanya ‘illat hukum dalam teks hukum) atas dasar

ijtihad.14

Menurut Ibnu Hazm dalam menetapkan suatu hukum harus dengan

dasar-dasar yang disebutkan dalam sebuah kitabnya sebagai berikut,

ﺴﺒ ُﺸ

ُ ﺸﻮ

ُل

ﺴﺒ

ِﱴ

ﺴـ ﺸ

ِﺮ

ُف

ﺴ ﺸ

ً

ِ

ِﺮ

ﺸـ ﺴ ِﺔ

ِﺒ

ِ ﺸـ

ﺴﻬ

ﺴو ﺎ

ِﺒ ـ ﺴﻬﺎ

ﺴﺒ ﺸر ﺴـ

ﺴ ُﺔ

ﺴو ِ

ﺴﺒ ﺸ ُ

ﺸﺮ ﺴﺒ ِن

ﺴو ﺴ

ِم

ﺴر ُ

ﺸﻮ ِل

ِﻪ

ﺴﺒ

ِﺬ

ِﺒ ي

ﺴﳕ

ُ ﺎ

ﺴﻮ

ﺴ ِ

ﺴ ﷲ

ﺴﺎ

ِﳑ

ﺴ ﺎ

ﺳﺷ

ﺴ ﺸ ُ

ﺴ ﺴ ﺸ

ِ

ِم

ﺴو ُ ِ

ـﺜ ﺒ

ﺴﺎ

ﺴتﺎ

ﺴﺒ ﺸو

ﺴﺒ ـ

ﺴﻮﺒ

ِ ﺴﺮ

ﺴو

ﺴﺸﲨﺒ

ُﺤﺎ

ِﺴﲨ ﺸ

ِ

ُﺸﺒ

ِﺔ

ﺴﺒ ﺸو

ﺴد ِ ﺸ

ِ ﺸـ

ﺴﻬ

ﺴ ﺎ

ﺸﺴ

ﺴ ِ

ُ

ِﺒ

ﺴو

ﺸﺟ

ﺴﻬ ﺴﻬ

ﺴﺒ ﺎ

ﺴ ًﺪﺒ

.

ﺺ٥

Artinya: “Dasar yang tidak diketahui dari syariat melainkan dari dasar-dasar tersebut ada empat, yaitu Al-Qur’an, As-Sunnah yang sebenarnya dari Allah juga yang shahih kita terima dari pada-Nya dan dinukilkan oleh orang-orang kepercayaan yang mutawatir dan disepakati oleh semua umat dan suatu dalil dari pada-Nya yang tidak mungkin menerima selain dari pada satu cara.

Dari keterangan di atas, dapat dipahami bahwa dasar yang digunakan

oleh Ibnu Hazm dalam ber-istimbat hukum adalah dengan Al-Qur’an,

As-Sunnah, ijma’ dan dalil (apabila tidak ditemukan pembahasan suatu masalah

di antara ketiga dasar sebelumnya tersebut). Adapun alasan Ibnu Hazm

menetapkan hukum yang bersumber dari keempat cara tersebut adalah

sebagai berikut:

1. Al-Qur’an

Al-Qur’an merupakan dasar utama bagi syariat Islam secara

keseluruhan. Al-Qur’an adalah janji Allah kepada kita, yang menetapkan kita

14

Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Abdul Hayyi al-Kattani, (Jakarta: Gema Insani,

2010), 48.

15

Ibnu Hazm, Al-Ihkam Fi Ushuli al-Ahkam, Juz 1, (Beirut: Daar al-Kitab al-Ilmiah), 70.

(37)

28

untuk mengakui Allah dan kandungan Al-Qur’an menetapkan perbuatan

manusia. Sesungguhnya Al-Qur’an adalah sesuatu yang tertulis

dilembaran-lembaran yang terkenal keasliannya yang wajib kita patuhi kandungannya,

maka dari itu, Al-Qur’an adalah sumber hukum, mengenai sesuatu yang ada

dalam Al-Qur’an wajib kita patuhi perintah dan larangannya.16

Terkait universalitas makna yang terkandung dalam Al-Qur’an , Ibnu

Hazm berpendapat bahwa penjelasan akan ayat Al-Qur’an terkadang

dihasilkan dari ayat yang lain, dalam hal ini penjelasan yang dihasilkan ada

yang jelas dan ada yang samar yang hanya bisa diketahui oleh seorang pakar

tertentu. Selain itu penjelasan untuk universalitas Al-Qur’an ada yang

membutuhkan penjelasan dari As-Sunnah.17

Apabila terjadi perselisihan di antara dua ayat atau antara hadis, atau

antar hadis dengan ayat, maka wajib mengamalkan keseluruhannya, karena

mentaati semuanya adalah wajib. Tidak seyogyanya kita meninggalkan salah

satu dari kedua nas}h tersebut selama kita bisa mengkompromikannya.

Kecuali salah satu di antara nas}h-nas}h tersebut mempunyai makna yang

lebih jelas dari yang lain. Apabila tidak bisa mengkompromikannya maka

kita dapat mengambil hukum yang lebih kuat dan jelas.18

16

Ibnu Hazm, E-BookAl-Ihkam Fi Ushuli al-Ahkam, Juz 1, (Beirut: Daar al-Kitab al-Ilmiah),95.

17

Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al Madzahib..., 570.

18

Ibnu Hazm, Al-Muhalla, Ahmad Rijali Qadir, Jilid 1, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), 117.

(38)

29

2. As-Sunnah

As-Sunnah menurut Ibnu Hazm menjadi sumber hukum syariat Islam

kedua, dan hal ini sama seperti imam mazhab yang lainnya. Namun ada

perbedaan antara Ibnu Hazm dan mazhab lainnya dalam menetapkan

As-Sunnah yang dapat dijadikan hujjah atau sumber hukum.

Ibnu Hazm berpendapat bahwa perkataan dan ketetapan Rasulullah

merupakan hujjah yang tidak dapat terbantahkan lagi dan tidak mengandung

keraguan sama sekali. Dalam menetapkan sumber hukum yang berasal dari

As-Sunnah, Ibnu Hazm menyatakan bahwa ke-hujjah-an Sunnah berlaku

pada sunnah Qouliyah yang itu adalah nyata dan harus diikuti, karena

merupakan aturan-aturan dari Allah. Sunnah Taqririyah sifatnya adalah

mubah, sedangkan Sunnah Af’aliyah tidak dianggap sebagai hujjah Nabi

yang wajib, tetapi sunnah (anjuran) kecuali disertai dengan sabda Rasul atau

firman Allah yang menunjukkan bahwa perbuatan itu merupakan aplikasi

dari keduanya.19

As-Sunnah berfungsi menerangkan isi kandungan Al-Qur’an,

menjelaskan kesimpulan, mengkhususkan keumuman, dan menguraikan

kesulitan-kesulitan. Oleh karena itu Al-Qur’an merupakan bagian yang

menyempurnakan hal-hal yang belum termuat dalam Al-Qur’an.

19

Abdul Aziz Dahlan, et al, Esiklopedia Islam..., 609.

(39)

30

3. Ijma’

Sumber hukum ketiga dalam proses pengambilan hukum dalam Islam

menurut mazhab Zhahiri adalah dengan metode ijma’, karena menurut

pengikut mazhab tersebut, ijma’ itu merupakan konsensus seluruh umat

Islam dimana pun ia berada.20 Ijma’ adalah pengambilan hukum yang

meyakinkan dalam agama Islam, dan beliau berpendapat bahwa ijma’ yang

dapat dipakai hujjah dalam pengambilan hukum adalah ijma’ para sahabat

Nabi, tidak untuk yang lain.21

ﺴﺒ ِﺸ

ﺴﺸﲨ

ُﺤﺎ

ُ ﺴﻮ ﺴ

ﺴ ﺎ

ِ

ُﺸﲔ

ﺴﺒ ﺸن

ِﺴﲨ

ﺴﺒ

ﺸ ﺴ

ﺴبﺎ

ﺴر ُ

ﺸﻮ ِل

ِﷲ

ﺴ ﺮ ُـ

ﺸﻮ ُ

ﺴو ﺴ

ُﺎ

ﺸﻮ

ِ ِ

ﺴو ﺸﺴ

ﺸﺴ ﺴ ِ

ُ

ِ ﺸـ

ُﻬ ﺸ

ﺴﺒ ﺴ

ًﺪ

Artinya: “Ijma’ adalah suatu hal yang diyakini bahwa seluruh sahabat Rasulullah mengetahui masalah tersebut dan mengatakannya, serta tidak ada diantara seorangpun mengingkari.

Ijma’ yang dipakai oleh Ibnu Hazm hanya ijma’ yang berasal dari para

sahabat, dengan alasan-alasan sebagai berikut:

1) Karena ijma’ sahabat tidak diperselisihkan oleh siapapun, maka

kesepakatan para sahabat tanpa adanya perbedaan adalah ijma’ yang pasti

benar.

2) Untuk mengetahui apa yang diinginkan oleh Allah harus melalui

Rasul-Nya, dan para sahabat adalah orang yang pernah hidup bersama,

mendengarkan, melihat, dan selalu menemani rasul, maka ijma’ merekalah

yang wajib diikuti.

20

Departemen Agama, Ensiklopedi Islam di Indonesia, (Jakarta: CV. Anda Utama, 1993), 1328.

21

Sahal Mahfudz, Mustofa Bisri, Ensiklopedi Ijma’, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1981), 5.

(40)

31

3) Ijma’ yang demikian adalah ijma’ yang berdasarkan pada Al-Qur’an dan

Al-Hadis. Hal tersebut karena pada dasarnya para sahabat hidup pada

masa Rasulullah dan banyak belajar dari beliau secara langsung, maka

menurut Ibnu Hazm apa mereka sepakati adalah ijma’ yang wajib diikuti,

karena hal tersebut dinukilkan dari Rasulullah.22

4. Dalil

Metode keempat yang digunakan dalam pengambilan suatu hukum

oleh Ibnu Hazm adalah ad-dalil. Ad-dalil adalah metode pemahaman suatu

nas}h yang pada hakikatnya tidak keluar darinas}h atau ijma’ itu sendiri.

Mazhab Zhahiri sebenarnya juga menggunakan metode analogi

(qiyas) terkadang dalam proses pengambilan suatu hukum, namun mereka

tidak menggunakan istilah tersebut, namun menggunakan istilah al-dalil.

Al-Dalil merupakan salah satu bagian dari proses pengambilan hukum dari nas}

h-nas}h yang jelas.P22F 23

Dengan pendekatan dalil dilakukan pengembangan suatu nas}h atau

ijma melalui dilalah (penunjuknya) secara langsung tanpa harus

mengeluarkan illatnya terlebih dahulu. Dengan demikian konsep ad-dalil

tidak sama dengan qiyas, karena untuk melakukan proses qiyas diperlukan

adanya kesamaan illat antara kasus asal dan dan kasus baru, sedangkan pada

dalil tidak diperlukan illat tersebut. Dalil menurut Ibnu Hazm, memiliki dua

22

Rahman Alwi, Fiqh Mazhab Adz-Dzahiri, (Jakarta: Referensi, 2012), 83.

23

Departemen Agama, Ensiklopedi Islam di Indonesia..., 1328.

(41)

32

bentuk, yaitu dalil yang terambil dari nas}h dan dalil yang terambil dari

ijma’.24

Ibnu Hazm tidak memandang bahwa illatdapat dijadikan sebagai

pertimbangan dalam menetapkan hukum. Hal ini menunjukkan bahwa ia

meyakini bahwa setiap hukum yang ditetapkan oleh Allah bagi manusia

mengandung hikmah dan kebaikan bagi manusia itu sendiri. Dengan

demikian ia menolak qiyas sebagai pendekatan dalam berijtihad.25 Allah

SWT berfirman dalam surat as-Syura

>

ayat 10:

     













 



Artinya: “tentang sesuatu apapun kamu berselisih, Maka putusannya (terserah) kepada Allah. (yang mempunyai sifat-sifat demikian) Itulah Allah Tuhanku. kepada-Nya lah aku bertawakkal dan kepada-Nyalah aku kembali”.26

Menurut Ibnu Hazm, ayat ini menjelaskan bahwasanya dalam

menetapkan hukum tidak menggunakan istilah ra’yu atau qiyas, namun

ad-dalil. Dalil dalam pandangannya termasuk dalam ruang lingkup istidlal

al-fiqh (deduksi dalam fiqih) yang bersandar pada nas}h yang jelas.

Dalam deduksi dalil, terdapat banyak teknik. Diantaranya, contoh

nas}h mengemukakan dua premis tanpa mengemukakan kesimpulannya,

hadist yang diriwayatkan Ibnu Hanbal dan Abu Daud dari Ibnu Umar:

ﺲمﺒﺴﺮﺴ ﺳﺮﺸﺴﲬ ُﺴو ،ﺲﺮﺸﺴﲬﺳﺮِ ﺸ ُ ُ

24

Abdul Aziz Dahlan, et al, Esiklopedia Islam..., 609.

25

Ibid., 610.

26

Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya, (Jakarta: Cahaya Quran, 2011), 480.

(42)

33

Artinya: “setiap yang memabukkan adalah Khamr, dan setiap khamr adalah haram”.

Kesimpulannya adalah bahwa setiap yang memabukkan adalah haram.

Mazhab Zhahiri dalam menetapkan hukum ini tidak melalui apa yang

dinamakan qiyas, tetapi melalui dilalah lafadz (indikasi lafal), atau yang

diistilahkan qiyas al-idmari (qiyas yang tersembunyikan).27

Teknik lain adalah ta’mim al-syart (generalisasi kata kerja syarat),

contoh dalam firman Allah surat al-Anfal ayat 38:

 







  

 









 

Artinya: “Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu: "Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu; dan jika mereka kembali lagi Sesungguhnya akan berlaku (kepada mereka) sunnah (Allah terhadap) orang-orang dahulu”.

Ayat ini turun berkenaan dengan orang-orang kafir, namun dalam

menafsirkan ayat ini, mazhab Zhahiri berpendapat bahwa hukumnya berlaku

bagi orang-orang yang bermaksiat, artinya apabila orang yang melakukan

maksiat berhenti dan bertaubat dari perbuatannya, maka dia akan

mendapatkan ampunan dari Allah SWT., Generalisasi ini datangnya dari arti

ayat secara tekstual, bukan dari perumpamaan atau qiyas.

Demikian sumber-sumber hukum yang digunakan Ibnu Hazm dalam

beristinbat yaitu, dengan mengambil dzahir nas}h Al-Qur’an, As-Sunnah dan

27

Ahmad Rajafi Sahran, “Fiqh Daud Adz-Dzahiri”,http://ahmadrajafi.wordpress.com/2014/03/14/fiqh-daud-al-zhahiri.html, , “diakses pada” 14 Maret 2016.

(43)

34

ijma’ yang terdiri dari atas satu nas}h. Jika tidak menemukan dalam sumber

yang ketiga itu, Ibnu Hazm menggunakan apa yang dinamakan dalil.

C. Pendapat Ibnu Hazm tentang Syarat dan Tata Cara Rujuk

Untuk memperjelas syarat dan tata cara rujuk, maka lebih dahulu

dikemukakan pengertian syarat dan tata cara, baik dari segi etimologi

maupun terminologi. Secara etimologi, dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa

Indonesia), syarat adalah ketentuan (peraturan, petunjuk) yang harus

diindahkan dan dilakukan.28 Secara terminologi, yang dimaksud dengan

syarat adalah segala sesuatu yang tergantung adanya hukum dengan adanya

sesuatu tersebut, dan tidak adanya sesuatu itu mengakibatkan tidak ada pula

hukum, namun dengan adanya sesuatu itu tidak mesti pula adanya hukum.29

Sedangkan pengertian tata cara adalah kumpulan kaidah untuk melakukan

sesuatu.30

Syarat rujuk menurut Ibnu Hazm adalah suami masih menjatuhkan

talak satu atau dua kepada sang istri, dan mereka telah melakukan hubungan

suami istri sebelumnya, dan masih dalam masa iddah. Apabila suami belum

jima’ (menggauli sang istri), maka tidak ada kesempatan untuk rujuk bagi

mereka).31

28

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2004),

996.

29

Alaiddin Koto, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), 50.

30

E-Book KBBI.

31

Ibnu Hazm, Al-Muh|alla, (T.tp: BaitulAfkar, 2003), 1813.

(44)

35

Para fuqaha telah sependapat bahwa rujuk adalah masuk dalam hak

suami, namun syarat rujuk adalah ketika istri harus dalam masa ‘iddah talak

raj’i (talak satu atau talak dua),berdasarkan firman Allah SWT dalam surat

al-Baqarah ayat 229:

 

  

 

Artinya: “Talak (yang dapat dirujuk itu) dua kali, setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik”.

Fuqaha juga sependapat bahwa syarat talak raji ini harus terjadi

setelah dukhul (bersetubuh).32 Sedangkan untuk mengemukakan pendapat

Ibnu Hazm tentang tata cara rujuk, penulis akan menukilkan dari kitab beliau

al-Muh}alla bi al-Atsar.

1. Tata cara pelaksanaan rujuk menurut Ibnu Hazm.

Suami ketika rujuk harus memberitahu istri perihal rujuknya (rujuk

harus dengan ucapan), sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Al-Qur’an

surat Al-Baqarah 228,

  



 

 

Artinya: “ Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti

tersebut, jika mereka (para suami) menghendaki is}lah, dan para wanita

mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang baik”.33

Ibnu Hazm dalam memaknai ayat tersebut adalah bahwa suami

berhak untuk merujuk istrinya jika sang suami menghendaki kebaikan (is}lah),

32

Abdurrahman Al-Jaziri, Kitab Fiqh ’Ala Madzahib al-Arba’ah,(Beirut: Dar al-Kitab, 1971), 908.

33

Departemen Agama RI, Al Qur’an danTerjemahnya..., 36.

(45)

36

namun apabila dia (suami) tidak menyampaikannya kepada istrinya perihal

rujuknya (menyembunyikan rujuknya) maka suami tidak melakukan rujuk

dengan baik, tapi dengan cara yang munkar, dan hal itu akan menghalangi

hak-hak suami istri seperti nafkah, pakaian, tempat tinggal dan juga

pembagian giliran. Beliau berpendapat dalam sebuah kitabnya,

دﺴﺒﺷﺮﺒ ِ ِﺷ ﺴُﺒ ِ ﺸﺴـ ِﰱ ﺎﺴ ِِ ﺴفﺴﺮﺴ ﺎﺴ ُفﺸوُﺮﺸﺴﺒﺴو

ﺴ ﺴو ﻻ

ﺸﺴـ

ِم ﺴﺴ ﺸِﺎ ِﺒ ﺴ ِذ ُفِﺮ

Artinya: “Dan ma’ruf yang dimaksud di sini adalah sesuatu yang dengannya kita dapat mengetahui apa yang ada di diri suami yang mau merujuk istrinya, dan itu tidak dapat dapat diketahui kecuali dengan ucapan”.34

Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwasyarat ketika merujuk harus

dengan memberitahu istrinya, dan keluarga istri jika dia masih kecil atau

gila, jika hal tersebut tidak dilakukan maka tidak dianggap rujuk sama sekali.

 

  

 

Artinya: “Talak (yang dapat dirujuk itu) dua kali, setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik”.

Allah juga menamakan rujuk dengan sebutan imsak bi ma’ruf, maka

rujuk (imsak) tidak bisa terjadi kecuali dengan cara yang ma’ruf (baik).

Ma’ruf yang dimaksud Ibnu Hazm dalam ayat ini adalah dengan cara

memberitahukan istrinya, atau keluarga istri jika dia masih kecil atau gila.

Jika suami tidak memberitahukan istrinya maka suami belum bisa dikatakan

merujuknya, sehingga dapat menghalangi hak-hak suami istri.35 Sedangkan

dalam tafsir al-Azhar pengertian ma’ruf adalah patut, yaitu hak-hak

34

Ibnu Hazm, Al-Muh|alla..., 1812.

35

Ibid., 1811.

(46)

37

kepatutan menurut hukum masyarakat, yang diakui oleh orang banyak, dan

ma’ruf itu harus dipandang dari kedua belah pihak.36

Pendapat Ibnu Hazm ini berdasarkan hadist Nabi yang diriwayatkan

oleh Ibnu Wahab dari Malik,

ﺸِﺒ ِﺸِﺮﺴ ﺸ ِ ُﺒوﺴرﺴو

: ﺴلﺎﺴ ﺳ ِﺎﺴ ﺸ ﺸ ﺳ ﺴو ِ

ﺴﺮﺴُ نﺴﺒ ﺴِﺴﺴﺴـ

ﺴﺸ ﺒ ﺸِﺒ

ﺎﺴ ِبﺎ

ُِﺷﺴ ُ ىِﺬ ﺴ

ُﺴآﺴﺮﺸِﺒ

ﺴ ﺴﻮُﺴو

ﺲ ِ ﺎ

-ﺒﺴﺮُـ ُﰒ

ُﺴﺴ ِﺟ ﺒﺴﺮُ ﺎﺴﻬﺲِﺷﺴـُـ ﺴﺴو ﺎﺴﻬُ ِﺟ

:ﺲﺴ ﺴﺴ ﺎﺴﻬﺴ ﺴـ ﺸﺪﺴﺴو

ﺎﺴﻬِﺸُﺧﺸﺪﺴ ﺸﺴﺴو ﺸ ﺴﺟوﺴﺰﺴـ ﺸنِﺒ ﺎﺴﻬـِﺒ

ﺴِﺒ ﺴ ﺸِﺴ ﺴﺴ : ﺴ ﺴﺧﺴد ﺸوﺴﺒ ﻻُﺮﺴﺧ ﺴﺸﺴﺒ ﺎﺴﻬُﺟﺸوﺴز

ﺎﺴﻬﺸـﺴِﺒ ِلو ﺴﺸﺴﺒ ﺎﺴﻬ ِﺟ ﺸوﺴز

.

ﺼﻀ

Artinya: “Kami riwayatkan dari jalan Ibnu Wahab dari Malik, beliau berkata: telah sampai kepadaku bahwa Umar bin Khattab berkata: orang yang mentalak istrinya –sedangkan dia tidak bersama istrinya- kemudian merujuknya dan tidak menyampaikan rujuknya kepada istrinya, sedangkan dia menyampaikan talaknya, maka jika wanita tadi menikah lagi dan suami kedua belum menggaulinya ataupun sudah, maka tidak ada hak baginya untuk kembali kepada istrinya yang kedua.

Pendapat Ibnu Hazm tentang makna is}lah (kebaikan) dalam rujuk ini

sesuai dengan hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah,

ﺸ ﺴ ﺴةﺴوﺸﺮُ ﺸ ﺴ ﺴو

ﺎﺴ

ﺸ ﺴﺎﺴ ﺴﺔﺴ ِ

:

ﺎﺴ

ﺎ ﺒ ﺴن

ﺴﺮﺸﺒ ُِﺷﺴ ﺲ ُ ُﺟﺮﺒﺴو ُس

ﺴﺌﺎ ﺎﺴ ُﺴﺴـ

ِﺒ ﺴ ِﺴو ﺎﺴﻬُِﺷﺴ ُ ﺸنﺴﺒ

ﺴﺮﺸ ﺴﺒ

ﺴﻬُـﺎ

ِﺒ

ﺸرﺒﺴذ

ﺎﺴﻬﺴﺴﺴﲡ

ﺴ ِﺴو

ﺒ ِﰱ

ﺪِﺸ

ﺸنِﺒﺴو ِة

ﺎِ ﺎﺴﻬﺴ ﺴ

ﺲ ُﺟﺴر ﺴلﺎﺴ ﱴﺴ ﺴﺮﺴـﺜﺸﺴﺒﺸوﺴﺒ ﺳةﺮﺴ ﺴﺔﺴ

ِ

،ِﻪﺒﺴو ِِﺴﺴﺮﺸ

ُِﺷﺴ ُﺒ

ِﺸِﺴﺷِ

، ِﺷِ

ِ ﺸِوﺴﺒ ﺴ ﺴو

،ﺒًﺪﺴﺴﺒ

ﺸ ﺴﺎﺴ

ﺴ ﺸﺴﺴو

ﺴ ِﺒﺴذ

: ﺴلﺎ

ﺸنﺴﺒ ِ ُﺪِ ﺸ ﺴﳘ ﺎﺴ ُ ﺴ ِ ُِﺷﺴ ُﺒ

ِ ُﺸ ﺴﺟﺒﺴر ﺴ ِ ﺴﺸـﺴـ

ِ ﺴﺴ ﺴﺬﺴ

ﺸ ﺴﺴﺧﺴد ﱴﺴ ُﺔﺴﺸﺮﺴﺸﺒ

ﺴ ﻰﺴﺴ

ﺴﺴ ﺴ ﺴ ﺎﺴﻬﺸـﺴﺮﺴـﺸﺧﺴﺎﺴ ﺴﺔﺴ ِ ﺎ

ﱴﺴ ُﺔﺴ ِﺎﺴ ﺸ

ﺴﺌﺎﺴﺟ

ِﱮ ﺒ

ص

ُﺸﺴﺮﺴـﺸﺧﺴﺎﺴ

ﺎﺴﺴ ﺴ ﺴ

ِﱮ

ﺴلﺴﺰﺴـ ﱴﺴ

ُنﺒﺸﺮُﺸﺒ

)            (

ﺸﺎﺴﺸ ﺎﺴ: ُﺔﺴ ِﺒ ﺴ ﺸ ﺴﺎ

ﺴ ﺴ ﺸ ُ ﺴ ﺸﺴ ﺸ ﺴﺴو ﺴ ﺴ ﺴنﺎﺴ ﺸ ﺴ ًﺴﺸﺴـﺸ ُ ُق ﺴ ﺒ ُسﺎ ﺒ ﺴ ﺴ

Artinya: “Dan dari ‘Urwah dari Aisyah, ia berkata: pernah terjadi di kalangan manusia, di mana seorang lelaki mentalak istrinya sesukanya untuk

36

Hamka, Tafsir Al-Azhar, Juz II, (Jakarta: PT. Pustaka Panjimas, 1983), 211.

37

Ibid., Al-Muh|alla,..., 1811

(47)

38

mentalaknya; perempuan yang tertalak itu tetap berstatus sebagai istrinya apabila ia merujuknya kembali, sedang ia masih dalam masa ‘iddahnya meskipun ia telah mentalaknya seratus kali atau lebih dari itu, sehingga ia pernah berkata kepada istrinya: Demi Allah aku tidak akan mentalakmutetapi berpisahlah dariku dan aku tidak akan mencapurimu selamanya. Istrinya bertanya: Bagaimana yang kau maksud itu?, suaminya menjawab: Kutalak engkau kemudian sewaktu-waktu jika hampir habis masa ‘iddahmu aku merujukmu kembali. Lalu perempuan itu pergi hingga masuklah ke rumah Aisyah lalu ia memberitahukan kepadanya, kemudian Aisyah diam, sehingga datanglah Nabi Muhammad, lalu Aisyah memberitahukan masalah itu kepada Nabi, lalu Nabi diam, sehingga turunlah ayat Al-Qur’an: “talak yang dapat dirujuk itu dua kali, maka setelah itu rujuklah dia dengan ma’ruf atau lepaskanlah dia dengan cara yang baik pula”, Aisyah berkata: Maka orang-orang mulai menangguhkan talak yang sudah terlanjur mentalak dan yang belum terlanjurpun mentalaknya juga”. (HR. Tirmidzi).

Hadis dari Aisyah ini menunjukkan atas haramnya menyakiti istri

dengan menggunakan sarana rujuk, sebab itu dilarang berdasarkan keumuman

ayat: “dan janganlah kamu menyusahkan mereka (QS. At-Thalaq: 2),

sedangkan yang dilarang berarti fasid (rusak menurut hukum) yang berati

batal, juga dikuatkan lagi oleh firman Allh SWT: “jika mereka (para suami)

menghendaki is}hlah (Al-Baqarah: 228), apabila setiap rujuk yang tidak

dimaksudkan is}hlah, maka menjadi batal.38

Ibnu Hazm yang berpendapat bahwa rujuk harus dilakukan dengan

ucapan ini sama dengan pendapat madzhab Syafi’i, yaitu rujuk hanya dapat

terjadi dengan kata-kata saja. Imam Asy-Syafi‟i berkata dalam kitab beliau

Al-Umm bahwa rujuk hanya dapat terjadi dengan perkataan bukan dengan

perbuatan, seperti bercampur atau yang lainnya. Rujuk seseorang tidak

38

Faisal bin Abdul Azizal-Mubarak, Bustanul akhbar mukhtashar Nailul Authar, Mu’amal Hamidy,

(48)

39

dianggap sah hingga ia mengucapkan perkataan yang bermakna rujuk, seperti

perkataan, “aku rujuk dengannya”, atau “aku telah merujukinya” atau dengan

“aku telah mengembalikaanya untukku”, apabila suami telah mengucapkan

kata-kata tersebut maka sang istri telah menjadi istrinya kembali dengan

sah.39

2. Kesaksian dalam rujuk

Ibnu Hazm berpendapat bahwa saksi dalam rujuk adalah termasuk

syarat keabsahan rujuk. Beliau menukilkan pendapatnya pada Al-Qur’an

surat At-Thalaq 2,

    

  

   

Artinya: “Apabila mereka telah mendekati akhir ‘iddahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu”.40

Menurut Ibnu Hazm, jika suami menggauli istrinya maka hal itu tidak

dianggap rujuk sampai dia mengucapkan kata rujuk kepada istrinya, dan

mendatangkan saksi, serta memberitahukan istrinya tentang rujuk tersebut

sebelum masa ‘iddah sang istri habis. Maka jika suami merujuk istri

sedangkan dia tidak mengucapkan kata rujuk dan mendatangkan saksi maka

dianggap tidak merujuk istrinya.41 Dalam sebuah Hadist dijelaskan juga

sebagai dasar keabsahan rujuk yang mengharuskan menghadirkan saksi

dalam proses rujuknya,

39

Imam Syafi’i, E-Book Al-Umm, Jilid 5, (Bandung: Edukasi Anak Nusantara, 2015), 607.

40

Departemen Agama RI, Al Qur’an danTerjemahnya..., 558.

41

Ibnu Hazm, Al-Muh|alla..., 1811.

(49)

40

ِ ﺸ ﺴ

ﺸ ﺴﺮ

ﺴنﺒ

ِ ﺸ

ُ ﺴ

ﺴﲔ

ﺴر ِ

ُﷲ

ﺴ ﺸ ُ

ﺴﺒ ـ

ُﻬ

ُ ِ ﺴ

ﺴ ِ

ﺮﺒ

ُﺟ

ِ

ﺲ ﺴ

ِﺷ ُ

ُﰒ

ُ ﺴ

ِﺷ

ﺴﻮ ﺴ

ُ

ﺸ ِﻬ

ُﺪ

ﺴـ ﺴ

ﺴلﺎ

:

ﺴﺒ ﺸ

ِﻬ

ﺸﺪ

ﻰﺴﺴ

ِ

ﺴﻬﺎ

ﺴو ﺴﺴ

ﺴﺮ ﺸﺟ

ﺴ ِ ﺴﻬ

ﱡ.ﺎ

ﺴر ﺴو

ُﺒ

ﺴﺒ ُـ ﺸﻮ

ﺴد ُوﺒ

ﺴد

،

ﺴو ﺴ

ﺴ ُﺪ

ُ

ﺴ ِ

ﺸ ﺲ

(

Artinya: “Dari Imran bin Hushoin RA. pernah ditanya tentang orang yang bercerai kemudian rujuk kembali tanpa menghadirkan saksi. Ia berkata: Hadirkanlah saksi untuk mentalak dan merujuknya. (HR. Abu Daud dan sanadnya shahih).42

Dalam sebuah riwayat lain diseb

Referensi

Dokumen terkait

I.P., S.H., MH untuk menanyakan pendapat serta persepsi mengenai syarat dan tata cara mendapatkan hak pembebasan bersyarat bagi narapidana tindak pidana korupsi

Menetapkan : PERATURAN KEPALA BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI, DAN GEOFISIKA TENTANG TATA CARA DAN SYARAT PENGENAAN TARIF RP.0,00 (NOL RUPIAH) ATAS JENIS

Amin Husein Nasution, Hukum Kewarisan, PT Rajagrafindo Persada, Depok, 2012, hlm.. mereka masih berlangsung sampai saat salah satu pihak suami atau istri tidak dalam keadaan

1. Wasiat kepada ahli waris menurut Imam Ibnu H}azm tidak diperbolehkan, karena Allah mencegah hal tersebut. Pendapat Imam Ibnu H}azm berdasarkan hadis larangan berwasiat

Berangkat dari pendapat dengan menggunakan alasan dalil-dalil yang digunakan oleh Ibnu Qudmah pada bab sebelumnya tentang kedudukan dan hukum perkawinan waria atau khuntsa diatas

Setelah melakukan penelitian terhadap pendapat Imam al-Mawardi mengenai hukum atau ketentuan ´ iddah bagi wanita yang ditalak setelah rujuk dan belum pernah digauli selama

Sehingga disini dapat dilihat juga bahwa peraturan yang Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Nomor 32 Tahun 2020 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pemberian Asimilasi,

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor : 99 Tahun 2012, yang mana dalam peraturan tersebut mencantumkan upaya memperketat Syarat dan Tata Cara Pemberian Hak- hak Warga