TINJAUAN HUKUM PIDANA ISLAM
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syariah dan
Jurusan Hukum Publik
TINJAUAN HUKUM PIDANA ISLAM
SKRIPSI
Oleh
Rizka Ferdiana Sari NIM. C03212056
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syariah dan Hukum
Publik Islam Prodi Hukum Pidana Islam SURABAYA
2017
Skripsi yang berjudul “Delik Wanprestasi Terhadap Jual Beli Online Tinjauan Hukum Pidana Islam)” adalah hasil penelitian library research untuk menjawab pertanyaan yaitu bagaimana delik wanprestasi terhadap jual beli online dapat dikatakan sebagai tindak pidana yang dipersamakan dengan tindak pidana penipuan serta bagaimana hukum Islam mengatur tentang hukuman bagi para pelaku delik wanprestasi yang dapat dikatakan sebagai pelaku tindak pidana penipuan.
Data yang diperlukan dalam penelitian ini diperoleh dengan kepustakaan . Setelah data terkumpul, data dianalisis dengan metode deskripstif analisis dan pola pikir deduktif untuk memperoleh kesimpulan yang umum menurut hukum pidana Islam dan literature yang menjelaskan tentang wanprestasi serta delik penipuan.
Dari hasil penelitian ini disimpulkan bahwa pada mulanya wanprestasi merupakan kegiatan ingkar janji yang dimana seseorang tidak dapat memenuhi kewajibannya entah itu di sengaja atau tidak disengaja. Wanprestasi ini dapat dipidanakan dengan atas delik penipuan apabila yang bersangkutan merasa dirugikan dan pihak wanprestasi tidak ada iktikad baik terhadapnya dan memilih jalur pidana maka wanprestasi ini dapat dipidanakan dengan tidak melupakan unsur-unsur yang terkadung didalam delik penipuan. Namun dalam tinjauan hukum pidana Islam penerapan hukum kepada para pelaku delik wanprestasi terhadap jual beli online shop adalah jarimah takzir yang berupa pengasingan, cambukan serta denda yang harus dibayarkan sebagaimana yang telah dilakukan oleh sahabat umar bin khattab kepada pelaku penipuan, karena takzir merupakan hukuman yang dijatuhkan dan kadarnya ditentukan oleh penguasa Negara yang tidak diatur dalam alquran dan sunah.
Saran yang dapat disampaikan adalah diharapkan para aparat yang berwajib dapat mengkategorikan wanprestasi dengan delik penipuan, dimana wanprestasi dapat diangkat kepada delik penipuan atau tidak serta menggunkan UUD, KHUPerdata, KUHPidana serta dasar hukum lainnya yang dapat mendasari sebuah tuntutan, karena negara Indonesia adalah negara hukum yang menganut asas legalitas, sewajarnya para hakim memutus segala perkara sesuai dengan UU yang mengaturnya.
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM………. I
PERNYATAAN KEASLIAN……….... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING………. iii
PENGESAHAN……….... iv
PERSEMBAHAN………...…. v
MOTTO………. vi
ABSTRAK………. vii
KATA PENGANTAR……… ix
DATAR ISI………. xii
DAFTAR TRANSLITERASI……… xv
BAB I PENDAHULUAN………. 1
A. Latar Belakang……… 1
B. Identifikasi dan Batasan Masalah………... 15
C. Rumusan Masalah………... 15
D. Kajian Pustaka………. 15
E. Tujuan Penelitian……… 20
F. Kegunaan Penelitian……….... 20
G. Definisi Operasional………...………. 21
H. Metode Penelitian………... 22
27
G. Macam-macam Jarimah takzir………... 35
H. Pendapat Ulama ………. 46
BAB III DELIK WANPRESTASI JUAL BELI ONLINE……….. 52
A.Ketentuan dan Dasar Hukum Wanprestasi……… 52
B.Asas-asas Jual Beli Online Shop……….. 56
C.Pelaku-pelaku yang Terkait dalam Jual Beli Online Shop...………. 58
D. Proses Jual Beli online Shop……...……… 65
E. Pengertian, Dasar Hukum Terkait Penipuan………...……….. 73
F. Praktik Penipuan Dalam Online Shop... 78
G.Sanksi Pidana Jual Beli Online... 81
BAB IV ANALISA DELIK WANPRESTASI JUAL BELI ONLINE TINJAUN HUKUM PIDANA ISLAM…... 84
A. Analisis Hukum Pidana Terkait Delik Wanprestasi dalam Jual Beli Online…... 84
B. Analisis Hukum Pidana Islam Delik Wanprestasi Terhadap Jual Beli Online………. 92
BAB V PENUTUP……….. 95
A. Kesimpulan ………... 95
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sebagaimana kita ketahui, Indonesia merupakan negara hukum yang
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Hukum sangatlah penting
dalam menciptakan tata tertib ketentraman dalam masyarakat, baik yang bersifat
preventif maupun represif. Dalam hidup ini, kita dihadapkan dalam hal - hal yang
berkaitan dengan perjanjian untuk memenuhi kebutuhan hidup, baik kebutuhan
material ataupun imatrial. Kadang dalam suatu perjanjian, kita mendapati kendala
yang menimbulkan terjadinya wanprestasi.
Wanprestasi adalah suatu perjanjian dapat terlaksana dengan baik apabila
para pihak telah memenuhi prestasinya masing-masing seperti yang telah
diperjanjikan tanpa ada pihak yang dirugikan. Tetapi adakalanya perjanjian
tersebut tidak terlaksana dengan baik karena adanya wanprestasi yang dilakukan
oleh salah satu pihak atau debitur.
Kata wanprestasi berasal dari istilah dalam bahasa Belanda wanprestatie
yang artinya tidak dipenuhinya prestasi atau kewajiban yang telah ditetapkan
terhadap pihak-pihak tertentu di dalam suatu perikatan, baik perikatan yang
undang-undang. Sedangkan prestasi merupakan hal yang harus dilaksanankan dalam suatu
perikatan.1
Adapun yang dimaksud wanprestasi adalah suatu keadaan yang dikarenakan
kelalaian atau kesalahannya, debitur tidak dapat memenuhi prestasi seperti yang
telah ditentukan dalam perjanjian2 dan bukan dalam keadaan memaksa. Adapun
bentuk-bentuk dari wanprestasi yaitu:3
1. Tidak memenuhi prestasi sama sekali;
2. Memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya;
3. Memenuhi prestasi tetapi tidak sesuai atau keliru.
Sedangkan menurut Subekti, bentuk wanprestasi ada empat macam yaitu:4
1) Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan;
2) Melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi tidak sebagaimana
dijanjikannya;
3) Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;
4) Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.
Untuk mengatakan bahwa seseorang melakukan wanprestasi dalam suatu
perjanjian, kadang-kadang tidak mudah karena sering sekali juga tidak dijanjikan
dengan tepat kapan suatu pihak diwajibkan melakukan prestasi yang diperjanjikan.
1Mariam Darus Badrulzaman, Asas-Asas Hukum Perikatan ( Medan: FH USU,1970), 8. 2Nindyo Pramono, Hukum Komersil (Jakarta: Pusat Penerbitan UT, 2003),2.21
Perkembangan teknologi komunikasi dan komputer menyebabkan
terjadinya perubahan kultur kita sehari-hari. Dalam era yang disebut “information
age” ini, media elektronik menjadi salah satu media andalan untuk melakukan
komunikasi dan bisnis. Program komputer yang satu ini memang digandrungi oleh
banyak orang, dari anak-anak, remaja sampai orang dewasa pun hampir semua
kegiatanya tidak lepas dari yang namanya komputer, khususnya internet. Melalui
internet seseorang dapat melakukan berbagai macam kegiatan tidak hanya terbatas
pada lingkup lokal atau nasional tetapi juga secara global bahkan internasional,
sehingga kegiatan yang dilakukan melalui internet ini merupakan kegiatan yang
tanpa batas, artinya seseorang dapat berhubungan dengan siapapun yang berada di
manapun dan kapanpun. Karena masyarakat sekarang menginginkan semua
kegiatan yang dilakukan sehari-hari bergerak cepat, praktis, dan tidak bertele-tele,
termasuk kegiatan ekonomi jual beli.
Jual beli adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu
meningkatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain
untuk membayar harga yang telah dijanjikan. Jual beli itu diangap telah terjadi
antara dua belah pihak, seketika setelahnya orang-orang ini mencapai sepakat
tentang kebendaan tersebut dan harganya, meskipun kebendaan itu belum
diserahkan, maupun harganya belum dibayar. Jika kebendaan yang dijual itu berupa
suatu barang yang sudah ditentukan, maka barang ini sejak saat pembelian adalah
penjual berhak menuntut harganya. Jika barang-barang tidak dijual menurut
tumpukan, tetapi menurut berat, jumlah atau ukuran, maka barang-barang itu tetap
atas tangungan si penjual hingga barang-barang ditimbang, dihitung atau diukur.
Jika sebaliknya barang-barang dijual menurut tumpukan, maka barang-barang itu
adalah atas tanggungan si pembeli, meskipun belum ditimbang, dihitung atau
diukur. 5
Asal makna kata jual beli adalah tukar menukar antara barang yang
dianggap senilai, sedang yang dimaksudkan dengan jual beli di sini adalah
pertukaran semua barang yang bernilai atau barang yang bermanfaat, dengan dasar
sama-sama suka dan sama-sama rela. Jual beli yang demikian itulah yang
dihalalkan oleh Allah. 6
Jual beli adalah perbuatan yang dianjurakan oleh Nabi Muhammad saw. hal
ini sebagaimana tertulis dalam buku Imam Syafii jual beli merupakan termasuk
perbuatan yang mulia. Beliau berpendapat bahwa kewirausahaan dengan cara jual
beli sesuai dengan hukum syarak dalam kesahihan jual belinya sehinga menjadi
mabrur baik dalam etika jual beli, tidak ada yang sesuai dengan syarak seperti
berbohong, menipu, membodoh-bodohi atau bersumpah palsu”.7
5 Subekti R. dan Tjitrosudibio R, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Jakarta: PT. Pradnya Paramita ,1993), 66.
6Labib MZ dan Muhtadin, Kumpulan Hadits Pilihan Shahih Bukhari (Surabaya: Tiga Dua,1993), 171-174.
Asal makna kata jual beli adalah tukar menukar antara barang yang di
anggap senilai, sedang yang dimaksud dengan jual beli di sini adalah pertukarang
semua barang yang bernilai atau barang yang bermanfaat, dengan dasar sama- sama
suka dan sama- sama rela. Jual beli yang demikian itulah yang dihalalkan oleh
Allah. Allah berfirman dalam surah Albaqarah ayat 275 :
datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah, orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.
Riba itu ada dua macam: nasiah dan fadhl. Riba nasiah ialah pembayaran
lebih yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan. Riba fadhl ialah penukaran
suatu barang dengan barang yang sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya karena
orang yang menukarkan mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan
emas, padi dengan padi, dan sebagainya. Riba yang dimaksud dalam ayat ini Riba
nasiah yang berlipat ganda yang umum terjadi dalam masyarakat Arab zaman
jahiliyah.
Maksudnya: orang yang mengambil Riba tidak tenteram jiwanya seperti
orang kemasukan syaitan. Riba yang sudah diambil (dipungut) sebelum turun ayat
ini, boleh tidak dikembalikan.8
Dalil tidak boleh ada penipuan dalam jual beli adalah hadis Rasulullah :
ىبنلرك احرْناهْنعهللاضررمعنْبهللا ْبعْنع ,
ةباخاْلًقفتعيابا َاقفعويًبْلاىفًع ْحيهَنا
Artinya : Dari Abdullah bin Umar r.a., bahwasannya ada seorang laki- laki bercerita kepada Nabi saw., bahwa ia telah ditipu orang dalam jual beli, lalu
beliau bersabda “Apabila kamu melakukan jual beli, maka katakanlah tidak
boleh ada penipuan.9
Sedangkan dalam pandangan R Sosilo ia mendasarkan. Pada pasal 378
tentang penipuan: barang siapa dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri
8 Kementrian Agama ar-Rahim, Al- Qur’an dan Terjemah (Bandung : Mikhrab Khasanah Ilmu, 2014), 25.
9 Ibnu Hajar al-Asqalami, Bulughul Maram: Panduan Lengkap Masalah-masalah Fiqh, dan
atau orang lain dengan melawan hak, baik dengan memakai nama palsu atau
keadaan palsu, baik dengan akal dan tipu muslihat, maupun dengan karangan
perkataan-perkataan bohong, membujuk orang supaya memberikan suatu barang
membuat utang atau menghapus piutang, hukum karena penipuan, dengan
hukuman penjara selama-lamanya empat tahun.10
Transaksi perdagangan secara konvensional telah beralih ke sistem online.
Sistem perdagangan ini pada dasarnya sama dengan perjanjian jual beli pada
umumnya, hanya saja penjual dan pembeli tidak perlu bertemu muka. Kegiatan ini
bergerak seolah tanpa pijakan karena tidak adanya peraturan yang secara khusus
diciptakan untuk para cyber dalam hal pelindungan terhadap para pihak yang
bertransaksi, meliputi perjanjian jual beli, karakteristik yuridis kerahasiaan data
konsumen yang menguntungkan kedua belah pihak. Namun itu semua bukanlah
penghalangan bagi pelaku bisnis untuk menjalankan usahanya. Kegiatan bisnis
perdagangan melalui internet yang dikenal dengan istilah electronic commerce
yaitu suatu kegiatan yang banyak dilakukan oleh setiap orang, karena transaksi jual
beli secara elektronik ini dapat mengefektifkan dan mengefisiensikan waktu
sehingga seseorang dapat melakukan transaksi jual beli dengan setiap orang
dimanapun dan kapanpun.
E-commerce (perniagaan elektronik) pada dasarnya merupakan dampak
teknologi informasi dan telekomunikasi. Secara signifikan ini mengubah cara
manusia melakukan interaksi dengan lingkungannya, yang dalam hal ini terkait
dengan mekanisme dagang. Semakin meningkatnya dunia bisnis yang
mempergunakan internet dalam melakukan aktivitas sehari-hari secara tidak
langsung menciptakan sebuah domain dunia baru yang kerap diistilahkan dengan
cyber space atau dunia maya. Saat ini transaksi e-commerce telah menjadi bagian
dari perniagaan nasional dan internasional. Contoh untuk membayar zakat atau
berkurban pada saat Iduladha, atau memesan obat-obatan yang bersifat sangat
pribadi, orang cukup melakukannya melalui internet. Bahkan untuk membeli
majalah orang juga dapat membayar tidak dengan uang tapi cukup dengan
mendebitkan pulsa seluler melalui fasilitas SMS.11 Electronik commerce adalah
salah satu bagian dalam pembahasan cyber law yang akhir-akhir ini hangat
dibicarakan, merupakan kajian yang lebih khusus dibicarakan. Hal ini disebabkan
tentang e-commerce ini hukum yang mengaturnya baru saja disahkan.
Perjanjian-perjanjian yang terjadi di dalam e-commerce masih diragukan keabsahannya. Di
kalangan ahli hukum di Indonesia masih berbeda pendapat menyangkut keabsahan
perjanjian yang dibuat di internet.
Perdagangan elektronik atau e-dagang (Bahasa Inggeris: E-commerce)
merujuk kepada perniagaan atau perdagangan yang menggunakan peralatan dan
infrastruktur teknologi komunikasi dan maklumat sebagai medium untuk tujuan
komunikasi dan juga transaksi. Melalui konsep e-dagang ini, masa kerja dan urus
niaga menjadi lebih fleksibel, boleh memiliki pertubuhan/pejabat maya atau hanya
beroperasi di rumah, pasaran perniagaannya adalah lebih meluas iaitu serata dunia
dan ia berjalan 24 jam tanpa henti. Selain itu, faedah pembayaran di dalam bentuk
baru ini (secara dalam talian) ternyata amat murah dan mudah dibandingkan
dengan faedah pembayaran yang dibuat secara konvensional dan sekaligus
mengurangkan keperluan kepada pengaliran uang tunai.
Dikaitkan dengan KUHP perdata, keabsahan berkontrak memungkinkan
komunikasi global dan memiliki akses terhadap informasi secara luas. Hal yang
menarik untuk melihat bagaimana KUHP perdata menampung perikatan yang
menggunakan jalur internet atau perdagangan melalui internet. Dikaitkan dengan
KUHP perdata, keabsahan berkontrak memungkinkan komunikasi global dan
memiliki akses terhadap informasi secara luas. Hal yang menarrik untuk melihat
bagaimana KUHP perdata menampung perikatan yang menggunakan jalur internet
atau perdagangan melalui internet.
penipuan. Selama ini, tindak pidana penipuan sendiri diatur dalam Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”), dengan rumusan pasal sebagai berikut:
Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan menggunakan nama palsu atau martabat (hoedaningheid) palsu; dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi utang maupun menghapuskan piutang, diancam, karena penipuan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun.12
Walaupun UU ITE tidak secara khusus mengatur mengenai tindak pidana
penipuan, namun terkait dengan timbulnya kerugian konsumen dalam transaksi
elektronik terdapat ketentuan Pasal 28 ayat (1) UU ITE yang menyatakan: Setiap
orang dengan sengaja, dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan
yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksit elektronik.
Terhadap pelanggaran Pasal 28 ayat (1) UU ITE diancam pidana penjara
paling lama enam tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1 miliar, sesuai
pengaturan Pasal 45 ayat (2) UU ITE.13
Meskipun kita sudah berhati-hati dan memeriksa klausul perjanjian, nasib
terkadang tidak berpihak, kita menjadi korban tindakan wanprestasi. Langkah
pertama memastikan bahwa tindakan itu adalah wanprestasi, kita bisa diketahui
dari beberapa syarat seperti di atas atau dari ketentuan dalam surat perjanjian.
Setelah kita yakin dari korban wanprestasi, kita bisa ketahui dari beberapa syarat
12 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
seperti diatas ataudari ketentuan dalam surat peringatan kepada mereka. Surat
peringatan berisi tuntutan agar mereka memenuhi kewajiban dalam jangka
waktu tertentu. Surat peringatan berisi tuntutan agar merekan memenuhi
kewajiban dalam jangka waktu tertentu. Surat peringatan ini juga bisa
digunakan sebagai cara bukti di pengadilan jika kasus wanprestasi tersebut
berlanjut hingga pengadilan.
Setelah memberikan surat peringatan dan pihak lawan tidak mampu
memenuhi kewajiban, kita bisa menjatuhkan sanksi. Apabila debitur melakukan
wanprestasi maka ada beberapa sanksi yang dapat dijatuhkan kepada debitur,
yaitu. 14
1. Membayar kerugian yang kita derita.
2. Membatalkan perjanjian.
3. Melakukan peralihan risiko.
4. Membayar biaya perkara apabila sampai diperkarakan di muka hakim.
Bahwa kerugian yang harus diganti meliputi kerugian yang dapat diduga dan
merupakan akibat langsung dari wanprestasi, artinya ada hubungan sebab-akibat
antara wanprestasi dengan kerugian yang diderita.15
14Nindyo Pramono, Hukum Komersil, (Jakarta: Pusat Penerbitan UT, 2003), 2.22-2.25
Penggantian kerugian dapat dituntut menurut undang-undang berupa “kosten, schaden en interessen” (pasal 1243 dsl). Yang dimaksud kerugian yang bisa
dimintakan penggantikan itu, tidak hanya biaya-biaya yang sungguh-sungguh telah dikeluarkan (kosten), atau kerugian yang sungguh-sungguh menimpa benda si berpiutang (schaden), tetapi juga berupa kehilangan keuntungan (interessen), yaitu keuntungan yang didapat seandainya siberhutang tidak lalai (winstderving).16
Dunia modern identik dengan kepraktisan, kecanggihan teknologi, dan kecepatan. Hal ini juga terjadi dalam dunia bisnis. Sebuah transaksi bisnis sering terjadi hanya melalaui perantara komputer, penjual dan pembeli tidak melakukan tatap muka. Pembayaran yang dilakukan pun bermacam-macam, tidak terbatas pada pembayaran tunai semata.17
Praktiknya, untuk meringankan tuntutan pidana ataupun vonis pengadilan,
sang pelaku tak jarang disarankan menyelesaikan lebih dahulu kewajiban
keperdataannya kepada Anda.18 Disadari atau tidak, posisi sebagai pengusaha
terkadang lebih berkuasa dibandingkan dengan posisi sebagai pembeli. Akibatnya
pengusaha sering terkoda untuk melakukan penipuan kepada konsumennya untuk
mendapatkan keuntungan maksimal. Atau sebaliknya, seorang pengusaha
terkadang juga harus melakukan pembelian barang dari pemasok. Terkadang saat
kita tidak jeli atau kita belum mengenal pandangan yang berurusan bisnis dengan
kita. Mereka kerap melakukan penipuan. Bisa dengan kerap mengurangi bobot
16 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata (Jakarta: Intermasa, 2005), 148.
17Eka An Aqimuddin, Tips Hukum Praktis Solusi Bila Terjerat Khasus Bisnis (Jakarta: Redaksi RAS, 2010), 83
barang yang dibeli, memberikan barang dengan kualitas rendah, menaikkan harga
barang seenaknya, atau membawa kabur uang yang suda dibayar dan barang yang
dipesan ternyata fiktif.
Penipuan seperti ini mau tidak mau harus anda bereskan, baik dengan cara
renegosiasi ataupun melalui bantuan aparat penegak hukum. Renegosiasi patut
diutamakan karena tujuan usaha tersebut adalah mencari keuntungan, dan dengan
cara inilah yang bisa mengganti kerugian yang anda alami. Namun, tidak semua
transaksi bisa direnegosiasi. Apabila memang sudah tidak semua transaksi bisa
direnegoisasi. Apabila memang sudah tidak memungkinkan untuk dilakukan
perundingan, anda dapat langsung melaporkan ke kepolisan para pelaku ini bisa
terjerat pasat 378 KUHP dengan hukuman hingga mencapai empat tahun penjara.
Jika pedagang menjual barang yang tidak sesui spesifikasi yang dijanjikan, dapat
terjerat pasal 383 KUHP.
Agar tidak tertipu ada semua para pihak harus mencermati barang yang
diperjual belikan. Pastikan barang yang dibeli telah sesuai dengan yang dijanjikan.
Simpan bukti transaksi karena jika sewaktu-waktu ada masalah,bisa menunjukkan
bukti transaksi yang dilakukan. Lebih baik lagi jika dalam setiap transaksi
membawa seorang rekan sebagai pihak ketiga atau sebagai saksi dari transaksi.19
Prestasi diatur di dalam pasal 1234 KUHP perdata yang menegaskan sebagai
berikut: “Perikatan ditunjukan untuk memberikan sesuatu, untuk beruat sesuatu,
atau untuk tidak berbuat sesuatu.”
Sehingga tidak terpenuhinya kewajiban (prestasi) tersebut, itulah yang
disebut wanprestasi atau ingkar janji. Berarti, wanprestasi harus berhubungan
dengan suatu perjanjian atau kontrak. Artinya, pada gugatan wanprestasi tersebut
tidak didasari atas suatu kerugian material atau immateril, tetapi harus didasari
atas perilaku tidak berbuat sesuatu atau berbuat sesuatu.
Secara umum, ketika wanprestasi atau ingkar janji selalu dikaitkan dengan
munculnya kerugian secara finansial. Hal yang paling mudah dipahami oleh
masyarakat pada umumnya adalah selalu terkait dengan masalah utang piutang.
Padahal wanprestasi tidak saja karena seseorang tidak membayar utang
tetapi didalam gugatan yang harus ditonjolkan adalah karena seseorang tidak
melaksanakan kewajiban. 20
Melalui latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk mengkaji
permasalahan hukum dengan juduk “Delik Wanpresatasi Terhadap Jul Beli Online
dalam Tinjauan Hukum Pidana Islam”. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui
bagaimana delik wanprestasi terhadap jual beli online serta hukum pidana Islam
dalam memandang delik wanpresatsi terhadap jual beli online.
B. Identifikasi Masalah dan Batasan Masalah
Dari latar belakang masalah yang telah dipaparkan diatas, maka peneliti
mengidentifikasi masalah sebagai berikut:
1. Deskripsi kasus tindak pidana Pidana Wanprestasi terhadap akad jual beli
dalam online menurut hukum Pidana Islam.
2. Bermacam-macam Wanprestasi terhadap jual beli dalam online saat ini.
3. Wanspresatsi terhadap jual beli dalam online adalah jenis tindak pidana yang
sulit untuk dideteksi.
4. Kasus wanprestasi terhadap jual beli online dalam bentuk e-commerce sering
terjadi di Indonesia.
5. Berbagai teknik melakukan kejahatan wanprestasi dalam jual beli online
dalam bentuk e-commerce.
6. Aturan hukum untuk wanprestasi atau bisa disebut cyber crime yaitu
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Melihat luasnya pembahasan atasan delik wanprestasi terhadap jual beli
dalam perdagangan elektronik (online shop) tinjauan hukum Islam maka
permasalahan ini dibatasi dengan:
1. Delik wanpresatsi dalam transaksi jual beli onine.
2. Tinjauan hukum pidana islam tentang delik wanprestasi dalam jual beli online
menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang informasi dan
Transaksi Elektronik.
C. Rumusan Masalah
Agar lebih praktis, maka permasalahan yang hendak dikaji dirumuskan
dalam beberapa bentuk pertanyaan sebagai berikut:
1. Bagaimana delik Wanprestasi dalam transaksi jual bali online?
2. Bagaimana Tinjauan hukum pidana islam tentang delik wanprestasi dalam
transaksijual beli online ?
D. Kajian Pustaka
Kajian pustaka adalah deskripsi ringkas tentang kajian/ penelitian yang
bahwa kajian yang akan dilakukan ini tidak merupakan pengulangan atau duplikasi
dari kajian penelitian yang telah ada.21
Penelitian terdahulu untuk permasalahan yang saya kaji diantaranya:
1. Tinjauan Hukum Islam terhadap Praktik Ganti Rugi Wanprestasi dalam Jual
Beli Anak Burung di Pasae Empunala Mojokerto. Yang ditulis Muhammad
Nurul Falakh jurusan Muamalah UIN Sunan Ampel Surabaya, Tahun 2014.
Karya ini memuat tentang praktek ganti rugi wanprestasi dalam jual beli anak
burung di pasar Empunala Mojokerto serta tinjauan hukum Islam terhadap
praktek ganti rugi wanprestasi dalam jual beli anak burung di pasar Empunala
Mojokerto.22Yang menjadi pembeda dalam skripsi ini adalah penulis lebih
menekankan kepada tindak pidana cyber crime yang digunkan sebagai media
dalam jual beli.
2. Tinjauan Hukum Islam tentang Jual Beli melalui Elektronik di Situs Ebay.
Yang ditulis Mukarromah jurusan Muamalah UIN Sunan Ampel Surabaya,
Tahun 2012. Karya ini memuat deskripsi prosedur jual beli melalui elektronik
di situs ebay dan tinjauan hukum islam tentang jual beli melalui elektronik di
situs ebay.23 Sama halnya dengan skripsi ini, namun pada skripsi yang penelulis
susun lebih memfokuskan kepada delik pidana Islam.
21 Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam UIN Sunan Ampel Surabaya, Petunjuk Teknis Penulisan Skripsi (Surabaya: t.p., 2014), 8.
22Muhammad Nurul Falakh,
͆Tinjauan Hukum Islam terhadap Praktik Ganti Rugi Wanprestasi dalam Jual Beli Anak Burung di Pasae Empunala Mojokerto͇, (Skripsi--UIN Sunan Ampel Surabaya, 2014). 23Mukarromah,
3. Cyber crime dalam bentuk Phising dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun
2008 tentang Informasi dan transaksi elektronik prespektif hukum pidana
Islam, yang ditulis oleh Zaina Arifin jurusan hukum pidana Islam tahun 2016.
Dalam skripsi ini membahas tentang bagaimana pandangan hukum pidana
Islam terhdap sanksi hukum dalam Undnag-Undang Nomor 11 tahun 2008
tentang informasi dan transaksi elektronik terhadap tindakan cyber crime
dalam bentuk Phising.
4. Yonan Yoga Sugama, “Aspek Hukum Perjanjian Jual Beli Online Dalam
Forum Jual Beli (FJB) Kaskus Dikaitkan Dengan Kecakapan Subyek Hukum
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan
Transaksi Elektronik Dan Kuh Perdata. Fakultas Hukum Universitas
Padjadjaran Bandung”.24Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa
keabsahan perjanjian jual beli online dalam Forum Jual Beli (FJB) Kaskus yang
tidak memiliki verifikasi kecakapan subyek hukum, maka perjanjian tersebut
akan tetap sah dan mengikat para pihak. Karena kecakapan subyek hukum
bersifat kualitatif di dalam suatu sistem elektronik dan juga berpacu kepada
Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata bahwa semua perjanjian yang dibuat secara
24Yonan Yoga Sugama, “Aspek Hukum Perjanjian Jual Beli Online Dalam Forum Jual Beli (FJB)
sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Akibat
hukum dari perjanjian jual beli online dalam forum jual beli (FJB) Kaskus yang
tidak memiliki verifikasi kecakapan subyek hukum, makaperjanjian tersebut
tidak dapat dibatalkan baik oleh subyek hukum yang tidak cakap tersebut
maupun oleh orang tua atau walinya. Karena kecakapan subyek hukum bersifat
kualitatif dalam suatu sistem elektronik yang berarti bahwa seseorang tidak
dinilai dari batasan umur atau kedewasaannya dalam melakukan suatu
perjanjian, tetapi dinilai dari apakah orang tersebut mampu melakukan suatu
transaksi atau tidak. Perbedaan dengan penelitian terdahulu adalah penelitian
ini fokus pada perjanjian E-Commerce ditinjau dari aspek hukum positif dan
hukum Islam. Persamaannya sama-sama membahas tentang perjanjian jual
beli.
Dari beberapa karya tulis tersebut telah banyak memberikan inspirasi dan
kontribusi besar terhadap penulis skripsi ini, Namun berbeda dengan yang akan
penulis teliti. Dalam penelitian ini penulis akan mengkaji bagaimana delik pidana
Wanprestasi dalam transaksi jual beli onlineshop dan bagaimana tinjauan hukum
pidana Islam tentang delik wanprestasi dalam transaksi jual beli. Analisa dalam
pandangan hukum pidana Islam menjadi perbedaan penelitian sekarang dengan
E. Tujuan
Tujuan penelitian yang hendak dicapai sejalan dengan
pertanyaan-pertanyaan di atas tadi adalah:
1. Untuk mengetahui bagaimana delik pidana wanprestasi terhadap jual beli
perdagangan elektronik (online shop).
2. Untuk mengetahui bagaimana tinjauan hukum pidana Islam tentang delik
wanprestasi terhadap jual beli.
F. Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan dari hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat
sekurang-kurangnya untuk:
1. Aspek keilmuan (teoritis)
Secara teoritis, hasil dari penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan
sumbangan bagi pengembangan khazanah dan kepustakaan Islam pada
umumnya dan almamater pada khususnya.
2. Aspek terapan (praktis)
Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan berguna sebagai acuan yang
dapat memberikan informasi mengenai tinjauan hukum pidana Islam tentang
G. Definisi Operasional
Adapun untuk mempermudah gambaran yang jelas dan konkrit tentang
permasalahan yang terkandung dalam konsep penelitian ini, maka perlu dijelaskan
makna yang terdapat dalam penelitian ini. Sehingga secara operasional tidak ada
kendala terjadinya perbedaan pemahaman yang menyangut hal-hal yang dibahas.
“Delik Pidana Wanprestasi terhadap Jual Beli Online dalam Tinjauan Hukum
Pidana Islam.” definisi operasional dari judul tersebut adalah:
1. Wanprestasi:
Suatu perjanjian dapat terlaksana dengan baik apabila para pihak telah
memenuhi prestasinya masing-masing seperti yang telah diperjanjikan tanpa
ada pihak yang dirugikan. Tetapi adakalanya perjanjian tersebut tidak
terlaksana dengan baik karena adanya pihak yang menyalai kontrak.
Penyalahan terhadap kontrak atau perjanjian inilah yang disebut dengan
wanprestasi
2.Jual beli online
Pertukaran harta (benda) dengan harta berdasarkan cara khusus (yang
diperbolehkan) yang mengunakan dunia maya sebagai media transaksi.25Jual
Beli adalah sebuah kesepakatan antara dua orang atau lebih yang menciptakan
sebuah kewajiban untuk melakukan atau tidak melakukan suatu hal yang
tertentu.26E-commerce (online) adalah kegiatan bisnis yang menyangkut
konsumen (consumers), manufaktur (manufactures), service providers, dan
pedagang perantara (intermediaries) dengan menggunakan jaringan-jaringan
computer yaitu internet.27
3. Hukum pidana Islam
Ilmu tentang syarak yang berkaitan dengan masalah perbuatan yang dilarang (jarimah) dan hukumannya yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci. Teori yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Jarimah takzir .28
H. Metode Penelitian.
1. Data yang dikumpulkan
Data yang dikumpulkan adalah data yang terkait dengan delik wanprestasi
terhadap jual beli dalam perdagangan elektronik (online shop) dan tinjauan
hukum pidana islam beserta ketentuan-ketentuan pidananya.
2. Sumber data
Sumber data merupakan bagian dari skripsi yang akan menentukan keotentikan skripsi, berkenaan dengan skripsi ini, sumber data yang dihimpun antara lain:
26 M. Arsyad Sanusi, “E-Commerce Hukum dan Solusinya” (Bandung: PT. Mizan Grafika Sarana, 2001), 36.
27Mariam Darus Badrulzaman, dkk, Kompilasi Hukum Perikata (Jakarta: Citra Aditya Bakti, 2001), 283.
a. Sumber primer
Sumber primer adalah sumber data yang langsung memberikan data
kepada pengumpul data29, yaitu: bahan hukum yang diperoleh dari ketentuan
Undang-Undang nomor 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
b. Sumber hukum sekunder
Sumber hukum yang digunakan penelitidalambentuk dokumen berupa
buku-buku literatur dan dokumen yang ada hubungannya dengan masalah
yang penulis bahas. Diantaranya:
1) Ahmad Ramli,”Cyber law dan HAKI dalam Sistem Hukum Indonesia,
Bandung PT.Refika Aditama, 2004.
2) Ramdan Muhammad Rizki, jual beli oinline menurut madhab Asy -Syafii,
Bandung:Pusataka Syifa, 2015.
3. Teknik pengumpulan data
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teknik dokumentasi, yakni
cara yang digunakan adalah dengan pengumpulan data literatur, yaitu dari data
yang dilengkapi dengan penggalian bahan-bahan pustaka yang berhubungan
dengan bahasan hukuman bagi pelaku tindak wansprestasi terhadap akad jual
beli dalam perdagangan elektronik (online shop). Bahan-bahan pustaka yang
digunakan di sini adalah buku-buku yang ditulis oleh para pakar atau ahli
hukum, terutama dalam bidang hukum pidana dan hukum pidana Islam.
4. Teknik pengolahan data
Semua data yang terkumpul kemudian diolah dengan cara sebagai berikut:
a. Editing, yaitu pemeriksaan kembali terhadap semua data yang telah diperoleh
terutama dari segi kelengkapan, kevalidan, kejelasan makna,keselarasan dan
kesesuaian antara data primer maupun data sekunder,yang berkaitan dengan
tindak pidana wansprestasi terhdap akad jual beli dalam online.
b. Organizing, yaitu menyusun dan mensistematikan data yang diperoleh dalam
kerangka uraian yang sudah direncanakan.
c. Analyzing, yaitu analisis dari data yang telah dideskripsikan terhadap
hukuman bagi pelaku tindak pidana wansprestasi terhdap akad jual beli
online.
5. Teknik analisis data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Deskriptif analisis, yaitu dengan cara memaparkan mengenai hukuman yang
diputuskan dalam kasus wansprestasi terhdap akad jual beli dalam online
secara keseluruhan.
b. Deduktif, yaitu pola pikir yang membahas persoalan yang dimulai dengan
memaparkan hal-hal yang bersifat umum berupa dalil, kaidah fiqih, pendapat
terhdap akad jual beli online kemudian ditarik suatu kesimpulan yang bersifat
khusus dari hasil penelitian tersebut.
I. Sistematika Penelitian
Untuk mempermudah pembahasan masalah-masalah dalam studi ini, dan
dapat dipahami permasalahannya secara sistematis dan lebih terarah, maka
pembahasannya dibentuk dalam bab-bab yang masing-masing bab mengandung
sub-bab, sehingga tergambar keterkaitan yang sistematis. Adapun sistematika
pembahasan skripsi ini terdiri dari lima bab dengan pembahasan sebagai berikut:
Dalam bab I diuraikan tentang pendahuluan yang menjelaskan gambaran
umum yang memuat pola dasar penulisan skripsi ini, yaitu meliputi latar belakang,
identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan
penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi operasional, metode penelitian, dan
sistematika pembahasan.
Bab II membahas landasan teori tentang tinjauan umum terhadap jarimah
takzir yang memuat pengertian jarimah takzir, unsur-unsur jarimah takzir,
macam-macam jarimah takzir dan hukuman jarimah takzir.
Bab III adalah penyajian data, akan dipaparkan mengenai data hasil
penelitian yang terdiri tentang delik wanprestasi jual beli (online) tinjauan hukum
jual beli, unsur wanprestasi (penipuan) jual beli online dan sanksi pidana
wanprestasi (penipuan) jual beli online.
Bab IV mengemukakan tentang analisis hukum pidana Islam terkait delik
wanprestasi akad jual beli online yang diatur dalam pasal 378 tentang kejahatan
penipuan, dan ditinjau dari hukum pidana Islam.
Bab V merupakan kesimpulan dan saran yang memuat uraian jawaban
BAB II
LANDASAN TEORI MENGENAI JARIMAH TAKZIR
A. Pengertian Jarimah
Jarimah adalah perbuatan-perbuatan yang dilarangsyarah yang sanksinya
dapat berubah hukuman h{ad atau takzir.Menurut Imam al- Mawardi jarimah
adalah “segala larangan syarah (melakukan hal-hal yang dilarangdan atau
meninggalkan yang diwajibkan) yang diancam dengan hukuman had atau
takzir”.1
Suatu perbuatan dapat dinamai suatu jarimah (tindak pidana, peristiwa
pidana atau delik) apabila perbuatan tersebut mengakibatkan kerugian bagi
orang lain atau masyarakat baik jasad (anggota badan atau jiwa), harta
benda, keamanan, atau aturan masyarakat, nama baik, perasaan atau hal-hal
yang harus dipelihara dan dijunjung tinggi keberadaannya. Artinya, jarimah
adalah dampak dari perilaku tersebut yang menyebabkan kepada pihak lain,
baik berbentuk material (jasad, nyawa atau harta benda) maupun yang
berbentuk non materi atau gabungan nonfisik seperti ketenangan,
ketentraman, harga diri, adat istiadat dan sebagainya.2
Menurut Tresna “Peristiwa pidana itu adalah rangkaian perbuatan
manusia yang bertentangan dengan undang-undang atau peraturan-peraturan perundangan lainnya, terhadap perbuatan yang mana diadakan tindakan
penghukuman.”Menurut pengertian tersebut suatu perbuatan itu baru
dianggap sebagai tindak pidana, apabila bertentangan dengan undang-undang dan diancam dengan hukuman. Apabila perbuatan itu tidak bertentangan dengan hukum (undang-undang), artinya hukum tidak melarangnya dan tidak ada hukumannya dalam undang-undang maka perbuatan itu tidianggap sebagai tindak pidana.3
dak
B. Bentuk-bentuk Jarimah
Jarimah dapat dibagi menjadi beberapa macam dan jenis sesuai dengan
aspek yang di tonjolkan. Pada umumnya para ulama membagi jarimah
berdasarkan aspek berat dan ringannya hukuman serta ditegaskan atau
tidaknya oleh Alquran dan Hadis. Atas dasar ini mereka membaginya
menjadi tiga macam, yaitu4:
a. Jarimah hudud adalah tindak pidana yang diancam hukuman had, yakni
hukuman yang telah ditentukan macam dan jumlah (berat ringan)
sanksinya yang menjadi hak Allah Swt. melalui dalil naqli.
b. Jarimah qishash atau diyat adalah jarimah yang diancam dengan
hukuman qishash atau diyat. Baik qishash maupun diyat keduanya adalah
hukuman yang sudaah ditentukan oleh syarak.
c. Jarimah takzir adalah suatu jarimah yang hukumannya diserahkan kepada
hakim atau penguasa.
C. Unsur-Unsur Jarimah
Jarimah adalah perbuatan pidana, sebuah perbuatan dikatakan jarimah
apabila memenuhi unsur umum dan unsur khusus. Jarimah memiliki
beberapa unsur yaitu unsur umum dan unsur khusus. Unsur umum yaitu
unsur yang ada pada setiap janis jarimah, yang terdiri5:
a. Al- Rukn al- Shar’i yakni sesuatu yang sudah ada aturanya. Disebut juga
unsur formil yaitu nash yang melarang perbuatan dan mengancam
perbuatan terhadapnya. Dalam unsur ini terdapat lima masalah pokok
yaitu:
1. Asas legalitas dalam huku pidana Islam
2. Sumber-sumber aturan-atura Pidana Islam
3. Masa berlakunya aturan-aturan pidana islam
4. Lingkungan berlakunya pidana islam
5. Asas pelaku atau terhadap siapa berlakunya aturan-aturan pidana
Islam.
b. Al- Rukn al- Madi yakni terdapat suatu perbuatan yang di anggap
melanggar syarak. Disebut juga unsur materiil yaitu adanya tingkah laku
yang membentuk jarimah, baik perbuatan-perbuatan nyata (positif)
maupun sikap tidak berbuat (negatif) yang bersifat melawan hukum.
Unsur materiil ini mencakup anatara lain:
1. Jarimah yang belum selesai atau percobaan
2. Turut serta melakukan jarimah.
c. Al- Rukn al- Adabiy yakni adanya pelaku yang telah melakukan
perbuatan yang dilarang syarak. Disebut juga unsur moral yaitu orang
yang dapat dimintai pertanggung jawaban terhadap jarimah yang
diperbuatnya.6 Pembahasan mengenai unsur pertanggung jawaaban
berkisar dua masalah pokok:
1. Pertanggung jawaban pidana
2. Hapusnya pertanggung jawaban pidana.
Suatu perbuatan (jarimah) dapat dihukum apabila sudah memenuhi
ketiga unsur tersebut.7
Unsur jarimah khusus adalah unsur-unsur yang terdapat pada jarimah
namun tidak terdapat pada jarimah lainnya. Seperti contoh mengambil harta
orang lain secara pakasa secara terang-terangan adalah jarimah hirabah, atau
perbuatan yang sengaja meniru suatu benda yang asli yang mengakibatkan
kerugian terhadap seseorang, unsur tersebut dapat digolongkan pada jarimah
penipuan.
D. Pengertian Takzir
Seperti yang diuangkapakan oleh Imam Al-Mawardi mengenai jarimah
yaitu segala perbuatan yang melanggar syarak yang dapat diajatuhi hukuman
had atau takzir. Setiap perbuatan yang sanksinya diatur oleh Alquran dan
hadis disebut dengan jarimah had, sedangkang setiap perbuatan yang
sanksinya tidak diatur oleh Alquran dan hadis disebut dengan jarimah takzir.
Takzir menurut Wahbah Zuhaili mirip dengan definisi yang dikemukakan
oleh Al-Mawardi yaitu hukuman yang ditetapkan atas perbuatan maksiat
yang tidak di kenakan hukuman had dan tidak pula kifarat.8
Takzir berasal dari kata ‘azzara yang berarti menolak dan mencegah
kejahatan, atau berarti menguatkan, memuliakan, dan membantu. Dalam
Alquran disebutkan:
Artinya: supaya kamu sekalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, menguatkan (agama)-Nya, membesarkan-Nya. Dan bertasbih kepada-Nya di waktu pagi dan petang. (Q.S Alfath: 9).9
Tazir juga berarti hukuman yang berupa memberi pelajaran. Disebut
dnegan takzir karena hukuman tersebut sebenarnya menghalangi si terhukum
untuk tidak kembali kepada jarimah atau dengan kata lain membuat jera.
Dalam takzir, hukuman itu tidak ditetapkan dengan ketentuan (dari
Allah dan Rasul-Nya), dan hakim diperkenankan untuk mempertimbangkan
baik bentuk hukuman yang akan dikenakan maupun kadarnya. Pelanggaran
yang dapat dihukum dengan metode ini merugikan kehidupan dan harta serta
kedamaian dan kenyamanan masyarakat.10
Sementara berkenaan dengan meninggalkan hal-hal yang makruh, ada
dua pendapat. Pendapat pertama menyatakan bahwa tidak boleh memberikan
sanksi takzir kepada seseorang yang melakukan hal yang makruh atau
seseorang yang meninggalkan sunah. Sebab tidak ada taklif (keharusan
mengerjakan atau meninggalkan) dalam hal-hal yang sunah dan makruh.
Pendapat kedua boleh memberikan sanksi takzir kepada seseorang yang
melakukan hal yang makruh atau seseorang yang meninggalkan sunah. Hal
ini didasarkan pada peristiwa dimana Umar bin Khatab menghukum
seseorang yang tidak cepat-cepat menyembelih kambing setelah kambing itu
dibaringkan, padahal perbuatan tersebut termasuk perbuatan yang makruh.11
Hakim dalam hal ini diberi kewenangan untuk menjatuhakan hukuman
bagi pelaku jarimah takzir.12 kata “Hakim” secara etimologi berarti “orang
yang memutuskan hukum.” Dalam istilah fikih hakim merupakan orang yang
memutuskan hukum yang sama maknanya dengan qadhi. Dalam kajian usul
fikih, hakim juga berarti pihak penentu dalam pembuat hukum syariat secara
hakiki.13
10 Abdur Rahman, Tindak Pidana dalam Syariat Islam (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), 14.
11 Enceng Arif Fatzal dan Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh Jinayah: Asas-Asas Hukum Pidana Islam
(Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004), 176-177.
12Ahmad Asrofi, “Jarimah Takzir dalam Prespektif Hukum Pidana Islam “,
E. Dasar Hukum Takzir
Dasar hukum disyariatkannya takzir terdapat dalam beberapa hadis Nabi
saw. dan tindakan sahabat. Hadis-hadis tersebut antara lain sebagai berikut:
1. Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Abi Burdah
رلْورقَ يَمهلَسَوِهْيَلَعرهللاىهلَصِهلل ََْورسَرَعِمَسرهََأرهْ نَعرهللاَىِضَرْ ىِراَصْنَْْاًةدْرُىِبَأْنَع
sepuluh kali, melainkan hukuman yang telah nyata ditetapkan Allah, seperti hukuman bagi orang berzina dan sebagainya.” (Riwayat
Muslim).14
2. Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Aisyah
ْمِِِاَرَ ثَعِتاَئْ يَْْاِوَذاْورلْ يِقَأ : َلاَقَمهلَسَوِهْيَلَعرهللاىهلَصهيِبهنلهََأاَهْ نَعرهللاَىِضَرَةَشِئاَعْ نَعَو .)ىقهيبلاوىئاسنلاودوادوبأودمأ اور( َدْوردرْْا هَِإ
Artinya: Dari Aisyah bahwasanya Nabi saw bersabda : ”Ampunkanlah
gelinciran orang-orang yang baik-baik kecuali had-had.” (Riwayat
Ahmad, Abu Daud, An-Nasai, dan Baihakki)15
Secara umum ketiga hadis tersebut menjelaskan tentang eksistensi takzir dalam syariat Islam. Hadis pertama menjelaskan tentang tindakan Nabi yang menahan seseorang yang diduga melakukan tindak pidana dengan tujuan untuk memudahkan penyelidikan. Hadis kedua menjelaskan tentang batas hukuman takzir yang tidak boleh lebih dari
sepuluh kali cambukan, untuk membedakan dengan jarimah hudud.Dengan batas hukuman ini dapatlah diketahui mana yang termasuk jarimah hudud dan mana yang termasuk jarimah takzir. Para ulama sepakat bahwa yang termasuk jarimah hudud adalah zina, pencurian, minuman khamr, hirabah, qadzab, murtad, dan pembunuhan. Selaindari jarimah tersebut berarti jarimah takzir, meskipun ada yang masih diperdebatkan oleh para fukaha, seperti homoseksual, lesbian, dan lain-lain. Sedangkan hadis ketiga mengatur tentang teknis pelaksanaan hukuman takzir yang bisa berbeda antara satu pelaku dengan pelaku lainnya, tergantung pada status mereka dan kondisi-kondisi lain yang menyertainnya.
Adapun tindakan sahabat yang dapat dijadikan dasar hukum untuk
jarimah dan hukuman takzir antara lain tindakan sayidina Umar bin
Khattab ketika melihat seseorang yang menelantarkan seekor kambing
untuk disembelih, kemudian ia mengasah pisaunya. Khalifah umar
memukul orang tersebut dengan cemeti dan ia berkata: “Asah dulu pisau
itu!”16
F. Tujuan Takzir
Tujuan memberikan sanksi kepada pelaku takzir mengandung
aspek kemaslahatan bagi kehidupan masyarakat, yakni:
1. Sebagai preventif yaitu bahwa sanksi takzir harus memberikan dampak
positif bagi orang lain (orang yang tidak dikenai hukuman takzir,
sehingga orang lain selain pelaku tidak melakukan perbuatan yang sama.
2. Sebagai represif yaitu bahwa sanksi takzir harus memberikan dampak
positif bagi pelaku sehingga tidak mengulangi perbuatan yang
menyebabkan pelaku dikenakan sanksi (jera). Oleh karena itu, sanksi
takzir baik dalam tujuan sanksi preventif dan represif harus sesuai
dengan keperluan, tidak lebih dan tidak kurang dengan menerapkan
prinsip keadilan.
3. Sebagai kuratif (islah) yaitu sanksi takzir harus mampu membawa
perbaikan sikap dan prilaku terhukum dikemudian hari.
4. Sebagai edukatif yaitu sanksi takzir harus mampu menumbuhkan hasrat
pelaku ataupun orang lain untuk mengubah pola hidupnya sehingga
pelaku akan menjauhi perbuatan maksiat bukan karena takut hukuman
melainkan karena tidak senang terhadap kejahatan. Dalam hal ini
pendidikan agama sebagai sarana memperkuat keimanan dan
ketakwaannya, sehingga ia menjauhi segala macam maksiat untuk
mencari keridhaan Allah Swt.17
G. Macam-Macam Jarimah Takzir
Takzir adalah sanksi yang hak penetapannya diberikan kepada khalifah.
Dalam hal ini, terdapat sanksi-sanksi yang telah ditetapkan oleh nash
dengan sangat jelas, untuk tidak dijatuhkan (digunakan) sebagai sanksi.
Oleh karena itu, penguasa tidak boleh menghukum seseorang dengan sanksi
tersebut. Disisi lain, nash-nash dari Alquran dan hadis telah menjelaskan
sanksi-sanksi tertentu yang telah ditetapkan ukurannya, disamping adanya
perintah untuk menjatuhkan hukuman dengan sanksi yang telah ditentukan
itu. Itu sebabnya, ijtihad seorang penguasa dalam masalah takzir diatasi
hanya pada ukurannya saja, bukan pada sanksi yang dikehendaki atau
ditetapkan sebagai sanksi. Maka, keberadaan syarak yangtelah menjelaskan
sanksi-sanksi tertentu, menunjukkan bahwa vonis berbagai macam sanksi
dalam masalah takzir dibatasi dengan sanksi yang telah dijelaskan oleh
syarak. Mengenai sanksi-sanksi yang telah digunakan syarak (sebagai
hukuman), mencakup jenis-jenis sebagai berikut:18
1. Sanksi hukuman mati.
Sebagaimana diketahui, takzir mengandung arti pendidikan dan
pengajaran. Dari pengertian itu, dapat kita pahami bahwa tujuan takzir
adalah mengubah si pelaku menjadi orang yang baik kembali dan tidak
melakukan kejahatan yang sama di waktu yang lain.
Dengan maksud pendidikan tersebut, keberadaan si pelaku setelah
melakukan suatu jarimah harus dipertahankan, si pelaku harus tetap
hidup setelah hukuman dijatuhakan agar tujuan pendidikan dapat
tercapai. Oleh karena itu, hukuman yang diberikan kepada si pembuat
jarimah tidaklah sampai membinasakan pelaku jarimah, tujuan
mendidik untuk kembali kejalan yang benar, tidak akan tercapai.
Namun demikian apabila hal ini tidak mampu memberantas kejahatan,
mungkin lebih variatif jenis kejahatannya. Dalam hal ini satu-satunya
cara untuk mencegah kejahatan tersebut adalah melenyapkan si pelaku
agardampak negatifnya tidak terus bertambah dan mengancam
kemaslahatan yang lebih luas lagi. Hukuman ini juga berlaku bagi
mereka yang melakukan kejahatan yang dapat membahayakan bangsa
dan negara, membocorkan rahasia negara yang sangat penting untuk
kepentingan musuh negara.
2. Hukuman dera
Dalam jarimah takzir hukuman ini sebenarnya juga ditunjuk
Alquran untuk mengatasi masalah kejahatan atau pelanggaran yang
tidak ada sanksinya. Walaupun bentuk hukumanya tercantum dalam
surah An-nisa’ ayat 34 ditunjukan pada tujuan ta’di>b bagi istri yang
melakukan nusyu kepada suaminya. Hukuman jilid juga mempunyai
dampak lebih maslahat bagi keluarga sebab hukuman ini hanya
dirasakan fisik oleh yang menerima hukuman walaupun secara moril
juga dirasakan oleh keluarga terhukum. Namun, seiring singkatnya
hukuman tersebut, dampak terhadap morilnya tersebut akan cepat
hilang. Adapun hukuman penjara menyebabkan penderitaan yang
dialami keluarga pelaku, baik moril maupun materil. Ini berarti bahwa
hukuman tersebut juga ikut dirasakan oleh keluarga yang tidak ikut
bersalah. Dari segi moril keduanya akan berpisah dalam jangka waktu
kemanusiaanya tidak dapat disalurkan. Dari segi materil, keluarga juga
akan menanggung resiko yang tak kalah beratnya, bahkan ini yang
sangat tampak dirasakan keluarga, terutama anak-anak. Orang yang
selama ini menanggung kebutuhan materil keluarga tidak dapat lagi
melakukan pekerjaanya. Akibatnya, keluarga harus hidup seadanya
atau istri harus mencari penghasilan kalau tidak mau mati
bersama-sama. Ada kemungkinan bagi istri, dalam upaya menghidupi
anak-anaknya, melakukan hal yang menyimpang dari kesusilaan, karena
keterbatasan keterampilan yang dimilikinya. Tentu saja ini akan
menambah masalah baru, masalah sosial yang dapat berantai.
Hukuman dera juga dapat menghindarkan si terhukum dari akibat
sampingan hukuman penjara dan ini pada hakikatnya memberikan
kemaslahatan bagi si terhukum. Dalam hukuman jilid, si terhukum
setelah hukuman selesai akan kembali ke dalam keseharian bersama
keluarga, terlepas dari pergaulan buruk sesama narapidana seperti
layaknya penjara. Sebaliknya di penjara, terhukum akan berkumpul
dengan sesama narapidana dengan berbagai keahlian kejahatan. Ini
menyebabkan akan memperoleh ilmu kejahatan yang lebih tinggi yang
dapat menjadi modal baginya setelah keluar nanti, menjadikannya lebih
berani dan percaya diri. Bahkan, teman bekas narapidana bekas di
penjara dulu, tidak jarang kemudian bergabung untuk berbuat kejahatan
bersama- sama. Oleh karena itu, penjahat-penjahat profesional banyak
sistem penjara kurang efektif dalam upaya mengembalikan si terhukum
ke arah yang lebih baik, walaupun disana diadakan pembinaan mental
spiritual terpidana secara reguler serta kegiatan-kegiatan keterampilan
yang diperlukan untuk sekembalinya ke masyarakat nanti.
3. Hukuman penjara
Hukuman penjara dalam hukum Islam berbeda dengan hukum
positif. Menurut hukum Islam, penjara dipandang bukan sebagai
hukuman utama, tetapi hanya dianggap sebagai hukuman kedua atau
hukuman pilihan. Hukuman pokok dalam syariat Islam bagi perbuatan
yang tidak diancam dengan hukuman had adalah hukuman jilid.
Biasanya hukuman ini hanya dijatuhkan bagi perbuatan yang dinilai
ringan saja atau yang sedang-sedang saja.
Dalam syariat Islam hukuman penjara hanya dipandang sebagai
alternatif dari hukuman jilid. Karena hukuman itu pada hakikatnya
untuk mengubah terhukum menjadi lebih baik. Dengan demikian,
apabila dengan pemenjaraan, tujuan tersebut tidak tercapai,
hukumannya harus diganti dengan yang lainnya yaitu hukuman jilid.
Hukuman penjara dibagi menjadi dua jenis yaitu hukuman penjara
terbatas dan hukuman penjara tidak terbatas. Hukuman penjara terbatas
yaitu hukuman yang dibatasi lamanya hukuman yang dijatuhkan dan
harus dilaksakan terhukum, sedangkan hukuman penjara tidak terbatas
terhukum bertaubat seperti pembunuhan, pembunuh yang terlepas dari
qis}hash karena suatu hal-hal yang meragukan, homoseksual, pencurian.
Jadi pada prinsipnya penjara seumur hidup itu hanya dikenakan bagi
tidak kriminal yang berat-berat saja.
4. Hukuman pengasingan
Membuang si terhukum dalam suatu tempat, masih dalam wilayah
negara dalam bentuk memenjarakannya. Sebab kalau dibuang tidak
dalamtempat yang khusus, dia akan membahayakan tempat yang
menjadi pembuangan.
5. Hukuman penyaliban
Dalam pengertian takzir , hukuman salib berbeda dengan hukuman
salib yang dikenakan bagi pelaku jarimah hudud hirabah. Hukuman
salib sebagai hukuman takzir dilakukan tanpa didahului atau disertai
dengan mematikan sipelaku jarimah. Dalam hukuman salib takzir ini, si
pelaku disalib hidup-hidup dan dilarang makan dan minum atau
melakukam kewajibannya shalatnya walaupun sebatas dengan isyarat.
Adapun lamanya hukuman ini tidak lebih dari tiga hari.
6. Hukuman pengucilan
Hukuman pengucilan merupakan salah satu jenis hukuman takzir
yang disyariatkan oleh Islam. Dalam sejarah, Rasulullah pernah
melakukan hukuman pengucilan terhadap tiga orang yang tidak ikut
serta dalam perang Tabuk, yaitu Kaab bin Malik, Miroroh bin Rubaiah
tanpa diajak bicara. Sehingga turunlah firman Allah surah At-Taubah
ayat 118, yang artinya: Dan terhadap tiga orang yang tinggal, sehingga
apabila bumi terasa sempit oleh mereka meskipun dengan luasnya, dan
sesak pula diri mereka, serta mereka mengira tidak ada tempat
berlindung dari Tuhan kecuali pada-Nya, kemudian Tuhan menerima
taubat mereka agar mereka bertaubat (Q.S. AtTaubah: 118).
7. Hukuman peringatan atau ancaman
Peringatan juga merupakan hukuman dalam Islam. Bahkan dalam
berbagai bidang, seseorang menerima ancaman sebagai bagian dari
sanksi. Dalam hal ini hakim cukup memanggil si terdakwa dan
menerangkan perbuatannya salah serta menasehatinya agar tidak
melakukan dikemudian hari. Sanksi peringatan merupakan sanksi
ancang-ancang bahwa dia akan menerima hukuman dalam bentuk lain
apabila melakukan perbuatan yang sama atau lebih dari itu di kemudian
hari.
8. Hukuman pencemaran
Hukuman ini berbentuk penyiaran kesalahan, keburukan seseorang
yang telah melakukan perbuatan tercela, seperti menipu dan lain-lain.
Pada masa lalu upaya membeberkan kesalaha orang yang telah
melakukan kejahtan dilakukan dengan teriakan dipasar atau ditempat
keramaian umum. Tujuannya agar orang-orang mengetahui perbuatan
terhindar dari akibatnya. Pada masa sekarang, upaya itu dapat
dilakukan melalui berbagai media masa baik cetak maupun elektronik.
Sering kita temukan dikoran-koran, pengumuman dari perusahaan yang
merasa dirugikan akibat salah satu karyawannya. Pengumuman dalam
koran itu merupakan peringatan bagi masyarakat agar berhati-hati.
9. Hukuman terhadap harta
Hukuman terhadap harta dapat berupa denda atau penyitaan harta.
Hukuman berupa denda, umpanya pencurian buah yang masih dipohon
dengan keharusan pengembalian dua kali harga asal. Hukuman denda
juga dapat dijatuhkan bagi orang yang menyembunyikan,
menghilangkan, merusakkan barang milik orang lain dengan sengaja.
Perampasan terhadap harta yang diduga merupakakn hasil perbuatan
jahat atau mengabaikan hak orang lain yang ada didalam hartanya.
Dalam hal ini, boleh menyita harta tersebut bila terbukti harta tersebut
tidak dimiliki dengan jalan yang sah.
10. Sanksi-sanksi lain
Sanksi-sanksi yang disebutkan di atas itu pada umumnya dapat
dijatuhkan terhadap setiap jarimah atas dasar pertimbangan hakim.
Terhadap sanksi-sanksi lain yang bersifat khusus, sanksi-sanksi tersebut
dapat berupa penurunan jabatan atau pemecatan dari pekerjaan,
pemusnahan atau penghancuran barang-barang tertentu.
Kafarat pada hakikatnya adalah suatu sanksi yang ditetapkan untuk
menebus perbuatan dosa pelakunya. Hukuman ini diancam atas
perbuatan-perbuatan yang dilarang syara’ karena perbuatan itu sendiri
dan mengerjakannya dipandang sebagai maksiat. Ditinjau dari segi
terdapat dan tidak terdapatnya nas dalam alquran atau hadis, hukuman
dibagi menjadi dua, yaitu :19
1. Hukuman yang ada nasnya, yaitu hudud, qis}hash, diyat, dan
kafarah. Misalnya, hukuman-hukuman bagi pezina, pencuri,
perampok, pemberontak pembunuh, dan orang yang menzihar
istrinya (menyerupakan istrinya dengan ibunya).
2. Hukuman yang tidak ada nasnya, hukuman ini disebut takzir,
seperti percobaan melakukan jarimah, jarimah-jarimah hudud dan
qis}hashatau diat yang tidak selesai, dan jarimah-jarimah takzir itu
sendiri.
Ditinjau dari sudut pandang kaitan antara hukuman yang satu
dengan hukuman lainya, terbagi menjadi empat20 :
1) Hukuman pokok (al-‘Uqubat al-Asl}iyah), yaitu hukuman utama
bagi suatu kejahatan, hukuman mati bagi pembunuh yang
membunuh dengan sengaja, hukuman diat bagi pelaku pembunuhan
tidak sengaja, dera (jilid) seratus kali bagi pezina ghairah muhsan.
2) Hukuman pengganti (al-Uqabatal-Badaliyah), hukuman yang
menggantikan kedudukan hukuman pokok (hukuman asli) dan
karena suatu sebab tidak bisa dilaksanakan, sepeti hukuman takzir
dijatuhkan bagi pelaku karena jarimah had yang didakwakan
mengadung unsur-unsur kesamanaan atau subhad atau hukuman
diat dijatuhkan bagi pembunuhan sengaja yang dimaafkan keluarga
korban. Dalam hal ini hukuman takzir merupakan hukuman
pengganti dari hukuman pokok yang tidak bisa dijatuhkan,
kemudian hukuman diat sebagai pengganti dari hukuman qis}hash
yang dimaafkan.
3) Hukuman tambahan (al-‘Uqubat al-Taba’iyah), yaituhukuman yang
dikenakan yangmengiringi hukuman pokok. Seorang pembunuh
pewaris, tidak mendapat warisan dari harta si terbunuh.
4) Hukuman pelengkap (al-‘Uqubat al-Takmiliyah), yaitu hukuman
untuk melengkapi hukuman pokok yang telah dijatuhkan, namun
harus melalui keputusan tersendiri oleh hakim. Hukuman
pelengkap itu menjadi pemisah dari yang hukuman tambahan tidak
memerlukan putusan tersendiri seperti, pemecatan suatu jabatan
bagi pegawai karena melakukan tindakan kejahatan tertentu atau
mengalungkan tangan yang telah dipotong di leher pencuri.
Ditinjau dari segi kekuasaan hakim dalam menentukan berat ringannya
1) Hukuman yang mempunyai batas tertentu, yaitu hukuman yang telah
ditentukan besar kecilnya. Dalam hal ini hakim tidak dapat menambah
atau mengurangi hukuman tersebut atau menggantinya dengan
hukuman lain. Ia hanya bertugas menerapkan hukuman yang telah
ditentukan tadi seperti, hukuman yang termasuk kedalam kelompok
jarimah hudud dan jarimah qis}has,diyat.
2) Hukuman yang merupakan alternatif karena mempunyai batas tertinggi
dan terendah. Hakim dapat memilih jenis hukuman yang dianggap
mencerminkan keadilan bagi terdakwa. Kebebasan hakim ini, hanya ada
pada hukuman-hukuman yang termasuk kelompok takzir. Hakim dapat
memilih apakah si terhukum akan dipenjarakan atau didera (jilid),
mengenai penjara pun hakim dapat memilih, berapa lama dia
dipenjarakan.22
H. Pendapat Ulama tentang Penerapan Sanksi Takzir
Menurut mazhab Hanafi penerapan sanksi takzir itu diserahkan kepada
Ulil Amri termasuk batas minimal dan maksimalnya. Dalam hal ini harus
tetap dipertimbangkan variasi hukumannya sesuai dengan perbedaan
jarimah dan perbedaan pelakunya. Perbedaan jarimah dalam kaitannya
dengan penerapan sanksi takzir artinya bahwa sanksi itu harus disesuaikan
bahwa bila jarimah takzir yang dilakukan itu berkaitan dengan jilid, maka
jilidnya harus kurang dari batas jilid had zina. Akan tetapi, bila jarimah
takzir yang dilakukan itu bukan jarimah hudud, maka diserahkan
sepenuhnya kepada ulil amri sesuai dengan tuntutan kemaslahatan umum.
Perbedaan pelaksanaan jarimah takzir juga harus dipertimbangkan. Hal
ini berarti bahwa dalam menentukan sanksi takzir itu harus
mempertimbangkan pelakunya, karena kondisi pelakunya itu tidak selalu
sama, baik motif tindakannya maupun kondisi psikisnya. Disamping itu,
untuk menjerahkan si pelaku sudah tentu harus tidak sama antara orang
yang satu dengan orang yang lainnya ada yang harus dijilid, ada harus
dikurung, ada yang harus dicela, dan sebagainnya. Menurut mazhab Hanafi
dalam penerapan sanksi ini harus diperhatikan stratifikasi manusia, yakni
ada empat:23
1. al-Ashraf (orang-orang yang paling mulia), yaitu para ulama. Mereka
cukup diberi peringatan oleh hakim atau diajukan ke meja hijau,dan hal
ini baginya sudah tentu pelajaran yang pahit.
2. Karimun (orang-orang yang mulia), yaitu para pemimpin yang harus
diberi sanksi yang lebih berat dari pada sanksi yang diberikan kepada
para ulama, yakni bisa dengan peringatan yang keras atau dihadirkan di
depan pengadilan.
3. al-Awsat (pertengahan), bisa dengan peringatan keras atau penjara.
Derajat-derajat ini sesungguhnya hanya merupakan klasifikasi manusia
dalam kaitannya dengan pengaruh sanksi bagi dirinya, dan tidak
dimaksudkan untuk membeda-bedakan manusia di depan hukum, karena
semuannya dikena hukuman, hanya saja dalam rangka untuk
mencapaitujuan hukuman, maka stratifikasi ini diperlukan. Hal ini
dibuktikan oleh Ibn Abidin yang menyatakan bila orang yang mulia
mengulang lagi kejahatannya, maka bisa dikenai sanksi jilid seperti orang
kebanyakan.
Jadi menurut ulama Hanafi bahwa yang diserahkan kepada Ulil Amri
itu adalah tentang penentuan jenis takzir yang akan diterapkan. Hanya saja
seperti telah dikemukakan bila jarimah takzirnya berkaitan dengan jarimah
hudud, maka jilidnya tidak boleh melampaui batas had, dan bisa sanksi
takzir itu tidak berupa jilid, maka batas terendah dan tertingginya
diserahkan sepenuhnya kepada ulil amri.24
Di kalangan mazhab Maliki ada prinsip bahwa sanksi takzir itu
berbeda-beda jenisnya, jumlahnya, dan sifatnya karena perbedaan kondisi
pelakunnya, bahkan al-Qarafi menambahkan bahwa perbedaan kondisi
pelakunya, bahkan al-Qarafi menambahkan bahwa perbedaan waktu dan
tempat terjadinya kejahatan itu membawa perbedaan sanksi takzir, terutama
sekali takzir yang berkaitan dengan adat kebiasaan negeri tertentu.
Di kalangan mazhab Syafii takzir itu pada prinsipnya diserahkan