• Tidak ada hasil yang ditemukan

POLITIK PESANTREN DAN KESETARAAN GENDER: PENDIDIKAN KEPEMIMPINAN SANTRIWATI DI PONDOK PESANTREN PUTRI AL LATHIFIYYAH 1 BAHRUL 'ULUM TAMBAKBERAS JOMBANG.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "POLITIK PESANTREN DAN KESETARAAN GENDER: PENDIDIKAN KEPEMIMPINAN SANTRIWATI DI PONDOK PESANTREN PUTRI AL LATHIFIYYAH 1 BAHRUL 'ULUM TAMBAKBERAS JOMBANG."

Copied!
112
0
0

Teks penuh

(1)

POLITIK PESANTREN DAN KESETARAAN GENDER:

Pendidikan Kepemimpinan Santriwati di Pondok Pesantren Putri Al

Lathifiyyah 1 Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang

SKRIPSI

Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial

(S.Sos) Dalam Bidang Sosiologi

Disusun Oleh:

Fifit Mulyana

NIM : B05212019

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

JURUSAN ILMU SOSIAL

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

ABSTRAK

Fifit Mulyana, 2016: Politik Pesantren dan Kesetaraan Gender :Pendidikan

Kepemimpinan di Pondok Pesantren Putri Al Lathifiyyah 1 Bahrul ‘Ulum

Tambakberas Jombang. Skripsi Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Sunan Ampel Surabaya.

Kata kunci,Gender, Politik, Pendidikan Kepemimpinan dan Santri.

Penelitian ini berbicara tentang pendidikan kepemimpinan santri putri

yang diselenggarakan di pondok pesantren putri Al lathifiyyah 1 Bahrul ‘Ulum

Tambakberas Jombang. Berbagai macam kegiatan dilakukan dalam program ini mulai dari pelatihan kepemimpinan dan keorganisasian. Penelitian ini menarik diteliti karena objek dari pendidikan kepemimpinan itu diperuntukkan kepada santri putri yang berada di pondok.

Ada tiga permasalahan yang hendak dikaji dalam penelitian ini 1) Apa yang melatar belakangi pendidikan kepemimpinan santriwati di Pondok Pesantren putri Al Lahifiyyah 1 Tambakberas Jombang? 2) Bagaimana Bentuk Pendidikan

kepemimpinan santriwati Pondok Pesantren Putri Al Lathifiyyah 1 Bahrul ‘ ulum

Tambakberas Jombang? 3) Bagaimana pandangan santri terhadap pendidikan

kepemimpinan di Pondok Pesantren Putri Al Lathifiyyah 1 Bahrul ‘Ulum

Tambakberas Jombang?

Untuk mengungkap persoalan tersebut secara menyeluruh dan mendalam, dalam penelitian ini digunakan metode penelitian kualitatif, data diperoleh melalui metode observasi, wawancara dan dokumentasi. Data yang diperoleh kemudian disajikan secara deskriptif dan dianalisis dengan menggunakan dua teori yaitu teori konstruksi sosial Peter L Berger dan teori feminis liberal.

Dari hasil penelitian tersebut, ditemukan bahwa 1) hal yang melatar belakangi pendidikan kepemimpinan santriwati adalah dilihat dari keadaan masyarakat sekitar pondok pesantren yang hanya bekerja sebagai ibu rumah tangga dan melihat keadaan tersebut pengasuh memberikan inisiatif untuk

membuat pendidikan kepemimpinan untuk menambah skiil santri dalam

menghadapi tantangan masa depan.2) Pendidikan kepemimpinan memiliki 4 bentuk program yang mana program tersebut dibagi menjadi 2 program utama dan program tambahan. Program utama dalam pendidikan kepemimpinan ini terdiri dari pelatihan kepemimpinan dan pelatihan persidangan, sedangkan program

tambahanya terdiri dari pelatihan bina kader da’iyah dan kajian Aswaja.3)

(8)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL……….. i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING………... ii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI……… iii

HALAMAN MOTTO……….… iv

HALAMAN PERSEMBAHAN………. v

PERNYATAAN PERTANGGUNGJAWABAN PENULISAN SKRIPSI... vi

ABSTRAK……….. vii

KATA PENGANTAR……….... viii

DAFTAR ISI………... x

DAFTAR GAMBAR ……….. xiii

DAFTAR TABEL ………... xiv

BAB I : PENDAHULUAN……… 1

A. Latar Belakang………....…... 1

B. Rumusan Masalah………... 3

C. Tujuan Penelitian………... 4

D. Manfaat Penelitian………..…... 4

E. Definisi Konseptual……….….. 5

F. Kajian Pustaka ……….…... 8

G. Metode Penelitian……….…... 10

(9)

2. Lokasi dan Waktu Penelitian……….………... 12

3. Pemilihan Subjek Penelitian………..…... 13

4. Tahap-Tahap Penelitian……….…... 15

5. Teknik Pengumpulan Data………..….... 17

6. Tahap Analisis Data……….... 19

7. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data………….…... 20

H. Sistematika Pembahasan……….... 21

BAB II PENDIDIKAN KEPEMIMPINAN PRESPEKTIF TEORI KONSTRUKSI SOSIAL DAN TEORI FEMINISME LIBERAL A. Teori Konstruksi Sosial………. 23

B. Feminisme Liberal………... 37

BAB III: PERAN DAN HASIL PENDIDIKAN KEPEMIMPINAN SANTRIWATI DI PONDOK PESANTREN PUTRI AL LATHIFIYYAH 1 A.Deskripsi Umum Objek Penelitian…………...…...…... 45

1. Sejarah Pondok Pesantren……… 45

2. Letak Geografis Pondok Pesantren………47

3. Rekapitulasi Data Santri………..48

B.Deskripsi Hasil Penelitian……….…………49

1. Latar Belakang Pendidikan Kepemimpinan Santriwati..49

(10)

C.Teori Konstruksi Sosial dan Teori Feminisme dalam Pendidikan

Kepemimpinan Santriwati di Pondok Pesantren Putri Al

Lathifiyah 1………91

BAB IV: PENUTUP

A. Kesimpulan……….. 98

B. Saran……… 100

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

1. Pedoman Wawancara

2. Dokumen Lain Yang Relevan

3. Jadwal Penelitian

4. Surat Keterangan (bukti melakukan penelitian)

(11)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pondok pesantren putri Al Lathifiyyah 1 merupakan Pondok Pesantren

yang berada di Dusun Tambakrejo, Desa Tambakberas, Kecamatan Jombang,

Kabupaten Jombang. Pondok pesantren tersebut sangat lah berbeda dengan

pesantren lainya. Santriwati di Pondok Pesantren ini tidak hanya diberikan

pelajaran agama saja, akan tetapi ada tambahan kegiatan ekstra. Di

antaranya, pelatihan kepemimpinan, pelatihan kader da’iyah, Keorganisasian,

Aswaja dan Jam’iyatul Qurra’ Wal Huffadz ( JQ).

Kegiatan ekstra tersebut dilakukan secara bergantian setiap malam

selasa dan malam jum’at. Misalnya, kegiatan Bina Kader Da’yah ( BKD)

dilakukan pada malam selasa di minggu pertama yang dibimbing langsung

oleh Ibu Imadul Ummah atau biasa dikenal dengan nama neng yayang.

Biasanya materi yang diajarkan dalam kegiatan tersebut adalah latihan

berpidato yang baik atau latihan berkhitobah. Kegiatan tersebut biasanya

diikuti oleh santri yang berminat dan memiliki bakat di bidang da’iyah.

Selanjutnya yakni kegiatan Jam’iyatul Qurra’ Wal Huffadz ( JQ)

dilakukan pada setiap malam Jum’at yang dibimbing langsung oleh Bapak

As’adi. Biasanya santriwati diajarkan Qiro’ah dan sholawat. Kegiatan

tersebut biasanya diikuti oleh santriwati yang berminat dan memiliki bakat di

(12)

diwajibkan untuk diikuti oleh santri baru. Biasanya kegiatan tersebut

dilakukan pada hari libur sekolah. Adapun pembimbing atau Pembina dalam

kegiatan pelatihan kepemimpinan setiap tahun berbeda.

Dalam kegiatan keorganisasian biasanya lebih difokuskan pada daerah

asal santriwati. Misalnya, santriwati asal daerah lamongan bergabung dengan

organisasi daerah lamongan yang diberi nama Himpunan Santri Lamongan

(HISLA). Adapun kegiatan yang dilakukan tergantung dari program kerja

dari masing- masing organisasi daerah.

Tidak hanya untuk organisasi daerah saja, untuk pengurus harian

pondok pesantren juga diberikan banyak pelatihan tentang keorganisasian. Di

antaranya, pelatihan persidangan, pelatihan membuat laporan pertanggung

jawaban dan rapat kerja. Adapun untuk hari- hari biasa tetep dilakukan

kegiatan rutinan mengaji kitab- kitab kuning.

Dari keseluruhan kegiatan ekstra di Pondok Pesantren tersebut,

pelatihan kepemimpinan lah yang paling diutamakan. Hal Ini terlihat dari

keaktifan Santriwati di organisasi daerah (ORDA). Tidak hanya itu, sebagian

Santriwati yang menjabat sebagai pengurus harian juga diberikan pelatihan

kepemimpinan dan keorganisasian. Oleh karena itu, Pondok Pesantren ini

terlihat unik dan berbeda dari Pondok Pesantren Pada umumnya.

Kecenderungan Santriwati untuk aktif dalam organisasi adalah

berawal dari pengasuh Pondok Pesantren yaitu bu Nyai Machfudloh Aly

(13)

3

Beliau mulai menjabat sebagai anggota DPR RI pada tahun 1987 yang

diusung oleh partai persatuan pembangunan (PPP).1 Dari pengalaman beliau

tersebut, para santri diharapkan untuk turut aktif dalam kegiatan

keorganisasian. Walaupun santri di Pondok Pesantren tersebut seluruhnya

perempuan, tidak menutup kemungkinan mereka untuk aktif dalam dunia

publik. Asumsinya, ketika Santriwati lulus nantinya minimal mereka bisa

memimpin masyarakat dalam organisasi masyarakat (ORMAS) di daerah

asal mereka masing- masing.

Dari bentuk pendidikan kepemimpinan di pondok pesantren tersebut,

banyak prestasi yang telah dicapai. Seperti ibu Ida Fauziyah yang bisa

menjadi anggota DPR RI, ada juga santri yang pernah menjuarai lomba

pidato bahas arab. Dari pemaparan unik di atas, peneliti ingin meneliti lebih

lanjut mengenai pendidikan kepemimpinan Santriwati di Pondok Pesantren

Putri Al Lathifiyyah 1 Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dari isu sosial di atas, dapat diambil fokus

permasalahan sebagai berikut:

1. Apa yang melatar belakangi pendidikan kepemimpinan santriwati di

Pondok Pesantren putri Al Lahifiyyah 1 Tambakberas Jombang?

2. Bagaimana Bentuk Pendidikan kepemimpinan santriwati Pondok

Pesantren Putri Al Lathifiyyah 1 Bahrul ‘ ulum Tambakberas Jombang?

1

(14)

3. Bagaimana pandangan santri terhadap pendidikan kepemimpinan di

Pondok Pesantren Putri Al Lathifiyyah 1 Bahrul ‘Ulum Tambakberas

Jombang?

C. Tujuan Penelitian

Dari fokus permasalahan dan penelitian di atas, tujuan dilakukannya

penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui latar belakang pendidikan kepimimpinan santriwati di

Pondok Pesantren Putri Al Lathifiyyah 1 Bahrul ‘Ulum Tambakberas

Jombang.

2. Mengetahui bentuk pendidikan kepemimpinan santriwati di Pondok

Pesantren Putri Al Lathifiyyah 1 Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang.

3. Mengetahui bentuk pendidikan kepemimpinan santriwati di Pondok

Pesantren Putri Al Lathifiyyah 1 Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian yang akan dilakukan ini, diantaranya

adalah sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

a. Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan, pengetahuan

dan pengalaman khususnya di bidang Sosiologi.

b. Untuk dapat mengaplikasikan keilmuan yang telah didapat di bangku

(15)

5

terutama bagi mahasiswa Prodi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik UIN Sunan Ampel Surabaya.

2. Manfaat Praktis

a. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi kepada para

santriwati Al Lathifiyyah 1 tentang pendidikan kepemimpinan yang

diajarkan di pondok pesantren tersebut.

b. Untuk dapat memberikan masukan bagi santri dan pengelola

pendidikan kepemimpinan di pondok pesantren putrid Al

Lathifiyyah 1 agar terus berinovasi mengembangkan model- model

pelatihan kepemimpinan yang mereka lakukan.

c. Bagi peneliti lainya dapat memberikan kontribusi pengetahuan dan

wawasan sehingga dapat melakukan penelitian lainya.

E. Definisi Konseptual

Konsep- konsep yang peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut:

1. Politik

Meskipun terdapat berbagai definisi politik.2 Dalam penelitian ini

yang dimaksud dengan definisi politik di sini adalah keikutsertaan

masyarakat dalam pembuatan kebijakan atau partisipasi dalam

pembangunan. Pendidikan kepemimpinan yang diberikan kepada

santriwati akan menjadi bekal bagi mereka untuk ikut dalam politik.

2

(16)

2. Kesetaraan Gender

Adi genawan mendefinisikan gender sebagai jenis kelamin. Tetapi

sebenarnya gender adalah peran sosial yang diberikan oleh masyarakat

laki- laki dan perempuan. Kesetaraan gender adalah pemberian

kesempatan bagi laki- laki dan perempuan untuk berpartisipasi dalam

pembangunan dan kemanfaatan hasilnya. Dalam hal ini kesetaraan gender

yang dimaksud yaitu peran santriwati dalam pendidikan kepemimpinan

dan keikutsertaan dalam dunia organisasi.

3. Pendidikan Kepemimpinan.

Pendidikan adalah pembelajaran pengetahuan, keterampilan, dan

kebiasaan sekelompok orang yang diturunkan dari satu generasi ke

generasi berikutnya melalui pengajaran, pelatihan, atau penelitian.

Pendidikan sering terjadi di bawah bimbingan orang lain, tetapi juga

memungkinkan secara otodidak.3

Sedangkan Kepemimpinan adalah perilaku dengan tujuan tertentu

untuk mempengaruhi aktivitas para anggota kelompok untuk mencapai

tujuan bersama yang dirancang untuk memberikan manfaat individu dan

organisasi, sehingga dalam suatu organisasi kepemimpinan merupakan

faktor sangat penting dalam menentukan pencapaian tujuan yang telah

ditetapkan oleh organisasi.4

3

Dewey, John (1916/1944). Democracy and Education. The Free Press. hal. 1–4. 4

(17)

7

Yang dimaksud dalam pendidikan kepemimpinan di penelitian ini

adalah pembelajaran untuk mencetak santri sebagai seorang pemimpin.

4. Santriwati

Santriwati merupakan sebutan bagi para siswi yang belajar

mendalami agama di pesantren. Menurut Zamakhsyari Dhofir, Santri

adalah murid- murid yang tinggal di dalam pesantren. Mereka belajar

untuk memahami kitab – kitab kuning atau kitab- kitab klasik pada

umumnya. Santri terdiri dari dua kelompok yaitu: Santri mukim dan

Santri kalong atau tidak mukim. Santri mukim adalah santri yang

menetap di pesantren. Sedangkan santri kalong adalah santri yang tidak

menetap di pesantren dan pulang ke rumah. Akan tetapi, mereka bisa

bersekolah di lingkungan pesantren. Adapaun yang peneliti fokuskan

dalam penelitian ini adalah santri yang mukim di pesantren.

Di pesantren, para santri ini mengurus sendiri keperluan mereka sehari- hari. Mereka mendapat fasilitas yang sama, dan diwajibkan menaati peraturan yang sama pula. Peraturan – peraturan ini ditetapkan oleh pesantren. Apabila ada pelanggaran, maka santri akan dikenakan sanksi sesuai dengan bobot pelanggaran yang dilakukan.5 Santriwati yang dimaksud di sini adalah Santriwati yang aktif sebagai pengurus harian pondok pesantren, pengurus berbagai organisasi daerah dan santriwati aktif di pondok Pesantren Al Lathifiyyah 1 Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang.

5

(18)

F. Kajian Pustaka

Penelitian yang relevan dengan penelitian ini tentu dapat membantu

dalam memenkan fokus penelitianya. Berikut ini adalah penelitian-

penelitian yang terkait dengan penelitian ini:

1. Penelitian dengan judul “Peran Pondok Pesantren Sebagai Basis

Pendidikan Karakter Kepemimpinan Santri (Studi Deskriptif di Pondok Pesantren Darunnajah Ulujami Pesanggrahan, Jakarta Selatan)”6

, penelitian ini dilakukan oleh Gita Chinintya Gunawan pada

tahun 2014. Penelitian ini menjelaskan bahwa di pondok pesantren

Darunnajah terdapat program kegiatan ekstra kurikuler di antaranya,

leadership, kepramukaan, organisasi Darunnajah (OSDN), panggung

gembira, pidato tiga bahasa ( bahasa arab, Inggris dan Indonesia) melalui

pendidikan 24 jam. Hal ini dilakukan untuk menanggulangi krisis

kepemimpinan yang terjadi di kota Jakarta. Akan tetapi, dalam

pelaksanaan program ekstra kurikuler tersebut banyak menuai hambatan.

Pendidikan ekstra kurikuler yang dilakukan melalui pendidikan 24 jam itu

membuat santri tidak betah dengan pesantren. Penyebab tidak betahnya

santri di pesantren di antaranya adalah letak kota Jakarta yang kurang

kondusif dan padatnya kegiatan santri sehingga tidak bisa membagi waktu

dengan baik. Jadi, meskipun pesantren memprogramkan pendidikan

6

(19)

9

karakter kepemimpina dengan baik, pada dasarnya efek dari program

tersebut masih belum maksimal.

Pada skripsi tersebut, memiliki perbedaan dengan skripsi yang

ditulis oleh peneliti. Kajian yang peneliti ambil adalah para santriwati yang

menjadi pengurus harian pondok pesantren, pengurus organisasi berbagai

daerah dan santriwati aktif dalam pondok pesantren tersebut.

Sebagimana dapat dilihat dari letak perbedaan pada pada penelitian

terdahulu yang peneliti angkat dari penelitian terdahulu. Peneliti,

menggunakan penelitian terdahulu dengan tujuan untuk membandingkan

antara kajian yang peneliti ambil dengan dengan kajian yang terdapat pada

penelitian terdahulu sehingga dapat diketahui perbedaan pada penelitian

tersebut dan tidak dianggap sebagai plagiasi.

Dalam Pondok Pesantren tersebut, program ekstra kurikuler yang

digagas adalah pelatihan kepemimpinan, keorganisasian, pelatihan pidato

dan pelatihan Qiro’ah. Pelaksanaanya juga tidak menganggu kegiatan

belajar mengajar yakni setiap 2 kali sehari dalam satu minggu ( malam

selasa dan malam jum’at ). Jadi, tidak ada alasan bagi santriwati untuk

tidak bisa mengatur waktu mereka. Tujuan yang diharapkan oleh pesantren

minimal santriwati pada saat sudah lulus minimal dapat memimpin

(20)

2. Penelitian dengan judul” Manajemen Pondok Pesantren Putri

Ujungharapan Bahagia Bekasi”7

penelitian ini dilakukan oleh Siti

Badriyah pada tahun 2008. Penelitian ini menjelaskan bahwa di pondok

pesantren at taqwa putri memprogramkan santri untuk aktif dalam bidang

pengorganisasian, perencanaan dan pengawasan pesantren. Melalui

kegiatan tersebut santri dapat menjadi muslimah yang berdzikr dan berfikr

maju dalam berbagai aspek terutama dalam aspek keagamaan.

Titik perbedaan dengan penelitian yang peneliti ambil adalah

pendidkan kepemimpinan di pondok pesantren putrid Al Lathifiyyah 1

Tambakbersa Jombang lebih menfokuskan pada kemampuan memimpin

dan berorganisasi dlam berbagai bidang tidak hanya dalam aspek

keagamaan saja. Penelitian ini lebih rinci dalam pemrogramanya. Misalnya

dalam bentuk pelatihan khitobah dan organisasi berbagai daerah.

G.Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan suatu cara atau proses yang digunakan

di dalam melakukan penelitian. Sebagaimana metode penelitian dibutuhkan

oleh peneliti untuk tahapan di dalam melakukan penelitian. Menurut Dedy

Mulyana metode adalah proses, prinsip dan prosedur yang kita gunakan

untuk mendekati problem dan mencari jawaban. Dengan kata lain,

metodologi adalah suatu pendekatan umum untuk mengkaji topik penelitian.8

7

Siti Badriyah, Manajamen Pondok Pesantren At Taqwa Putri Ujungharapan Bekasi. (SH. Skrip, Universitas Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008)

8

(21)

11

1. Pendekatan dan Jenis Penelitian

a. Pendekatan

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan

penelitian kualitatif. Metodologi kualitatif sering disebut dengan

metode penelitian naturalistik karena penelitianya dilakukan pada

kondisi yang alamiah.9

Metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang

digunakan untuk meneliti objek yang alamiah. Di mana peneliti

merupakan instrument kunci. Teknik Pengumpulan data dilakukan

secara triangulasi, Analisis data bersifat induktif. Sebagai penelitian

kualitatif, maka dalam penjelasan hasil penelitian, peneliti lebih

menekankan pada makna spesifik dari pada membuat generalisasi.10

Menurut Bodgan dan Taylor metodologi kualitatif adalah

prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif kualitatif

berupa kata- kata tertulis atau lisan dari orang- orang atau perilaku

yang diamatinya.11 Sebagaimana dalam metode penelitian kualitatif

itu sendiri, analisis datanya tidak menggunakan analisis statistik.

Alasan peneliti memilih metode penelitian kualitatif adalah

untuk mengkaji lebih dalam dan mendeskripsikan pendidikan

9

Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif ( Bandung: Alfabet, 2010), 1. 10

Ibid . 11

(22)

kepemimpinan yang ada di pondok pesantren Al Lathifiyyah 1 secara

lebih detail.

b. Jenis Penelitian

Jenis penelitian dalam penelitian ini, peneliti menggunakan

format penelitian deskriptif kualitatif. Pada umumnya dilakukan pada

penelitian dalam bentuk studi kasus, memusatkan pada suatu unit

tertentu dari berbagai fenomena.12 Dari ciri yang demikian itu,

memungkinkan studi ini menjadi penelitian mendalam. Dengan kata

lain, kedalaman data yang menjadi pertimbangan dalam penelitian

model ini.

Pada cirinya yang lain, deskriptif kualitatif studi kasus

merupakan penelitian eksplorasi dan memainkan peranan yang amat

penting dalam menciptakan hipotesis atau pemahaman orang tentang

berbagai variabel sosial.

2. Lokasi dan Waktu Penelitian

a. Lokasi Penelitian

Lokasi yang dipilih oleh peneliti adalah Pondok Pesantren

Putri Al Lathifiyyah 1 Bahrul Ulum Tambakberas Jombang, terletak

di Dusun Tambakberas, Desa Tambakrejo, Kecamatan Jombang,

Kabupaten Jombang, Propinsi Jawa Timur, tepatnya ± 3 Km sebelah

utara kota Jombang. 12

(23)

13

Alasan peneliti memilih lokasi ini karena di pondok pesantren

Al Lathifiyyah 1 ini terkenal dengan pondok yang memproduksi para

pemimpin wanita.

b. Waktu Penelitian

Dalam Penelitian ini, waktu yang dibutuhkan kurang lebih 3

bulan. Diperkirakan antara bulan November sampai dengan bulan

Januari.

3. Pemilihan Subjek Penelitian

Subjek penelitian merupakan pihak–pihak yang menjadi

pendukung dalam mencari data dan menentukan permasalahan dalam

penelitian. Secara ilmiah pihak – pihak yang menjadi sumber data disebut

informan.

Menurut Moleong, jika sudah mulai terjadinya pengulangan

informasi, maka penarikan sampel harus dihentikan.13 Oleh karena itu,

ketika memperoleh jawaban yang sama dari beberapa informan, maka

pertanyaan yang sama tidak diulangi pada informan berikutnya.

Menurut sumber data dalam penelitian ini dapat dibedakan menjadi

dua yaitu, data primer dan data sekunder. 14

1. Data Primer

13

Lexy J Moleong, Penelitian Metode Kualitatif,( Bandung: Remaja Rosda Karya, 1998), 225. 14

(24)

Data primer ialah data yang diperoleh secara langsung dari

sumber data pertama di lapangan yakni berupa hasil wawancara

langsung dari dari informan yang diteliti.

Data ini adalah data dari hasil observasi dan wawancara

peneliti. Sebelumnya peneliti menyusun pertanyaan terlebih dahulu

sebelum lapangan untuk melakukan wawancara. Di sini peneliti harus

bisa memilih siapa yang akan dijadikan informan sehingga peneliti

bisa mendapatkan informasi dan keterangan sebanyak mungkin sesuai

dengan kebutuhan.

Wawancara dilakukan peneliti dengan mendatangi pondok

pesantren yang sudah ditentukan oleh peneliti membantu memberikan

informasi yang relevan. Dalam subjek penelitian ini peneliti

mengambil key informan di antaranya sebagai berikut:

1. Pengasuh Pondok Pesantren

2. Pengurus harian Pondok Pesantren.

3. Pengurus berbagai organisasi daerah.

4. Santriwati.

2. Data Sekunder

Data sekunder atau (secondary data) atau sumber data

(25)

15

oleh pembuatnya sebagai dokumen sejarah atau dokumen sejarah atau

dokumen tertulis yang diabadikan.15

Data ini sebagi pelengkap atau pendukung adanya data utama

dari informasi yang diperoleh dari peneliti di lokasi penelitian yaitu di

Pondok Pesantren Putri Al Lathifiyyah 1 Bahrul ‘Ulum Tambakberas

Jombang. Data ini berupa arsip pondok pesantren berupa profil

Pondok Pesantren Putri Al Lathifiyyah 1 Bahrul ‘Ulum Tambakberas

Jombang dan arsip kepengurusan serta arsip organisasi berbagai

daerah ( ORDA).

4. Tahap–tahap Penelitian

Dalam penelitian yang mana juga menggunakan beberapa tahapan

yang sesuai dengan prosedur atau cara penelitian yang benar. Tahapan

dalam penelitian itu sendiri meliputi:

a. Tahap Pra-Penelitian

Tahap pra lapangan ini merupakan tahap yang digunakan oleh

peneliti sebelum masuk ke lapangan objek studi. Informasi tentang

pendidikan kepemimpinan di atas belum cukup banyak diketahui

peneliti. Sehingga peneliti terdorong untuk melakukan penelitian di

Pondok Pesantren Putri Al Lathifiyyah 1 Bahrul ‘Ulum Tambakberas

Jombang untuk menggali informasi seputar pendidikan kepemimpinan

di Pondok Pesantren tersebut. Adapun tahap pra lapangan itu sendiri

dapat dilihat di antaranya sebagai berikut:

15

(26)

1. Peneliti mengkaji suatu permasalahan yang ada di lingkungan

sekitar untuk dijadikan tema penelitian yang menarik. Setelah

menemukan permasalahan, peneliti mengangkat tema di atas.

2. Melakukan perizinan penelitian untuk mempermudah dan demi

kelancaran pada saat melakukan penelitian.

b. Tahap Penelitian Lapangan

Dalam tahap penelitian lapangan ini, di mana tahap yang

digunakan oleh peneliti untuk terjun ke lapangan guna meneliti objek

studi. Tahap pekerjaan lapangan merupakan suatu proses awal yang

berkelanjutan dalam sebuah penelitian. Pada tahap ini peneliti akan

melakukan penelitian baik kepada setiap informan maupun lokasi

penelitian yang bersangkutan. Sebagaimana tahap pekerjaan lapangan

ini peneliti masuk di dalam proses penelitian yang perlu diperhatikan

oleh peneliti adalah menjalin hubungan atau interaksi terlebih dahulu

dengan subjek atau informan. Dengan begitu akan mempermudah

peneliti dalam penggalian data.

Setelah peneliti menggali data, dilanjutkan pada proses

pengumpulan data. Tahap pekerjaan lapangan ini dilakukan oleh

peneliti dalam proses penggalian data yang digunakan untuk

memperoleh data dan digunakan untuk memperoleh data yang

(27)

17

c. Tahap Penulisan Laporan

Tahap penulisan laporan merupakan tahap terakhir dari berbagai

tahapan di dalam penelitian. Setelah semua data terkumpul dalam

tahapan penelitian lapangan, penulis membuat laporan berdasarkan

hasil penelitian.

5. Teknik Pengumpulan Data

Dalam teknik pengumpulan data merupakan suatu upaya sistematik

untuk memperoleh informasi tentang objek penelitian. Penelitian ini

digunakan dua macam teknik pengumpulan data yaitu:

a. Metode Observasi

Di dalam tahapan observasi ini tidak hanya langsung melihat

saja melainkan juga perlu keaktifan untuk meresapi, mencermati,

mengamati, memaknai fenomena pendidikan kepemimpinan pondok

pesantren tersebut dan akhirnya mencatat. Peneliti melakukan

pengamatan baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap

objek penelitian. Instrument yang dapat digunakan yaitu lembar

pengamatan dan panduan pengamatan. Beberapa informasi yang

diperoleh dari hasil observasi antara lain: ruang ( tempat), pelaku,

kegiatan, objek, perbuatan, kejadian, waktu dan perasaan. Penelitian

ini dilakukan untuk menyajikan gambaran realitas perilaku atau

kejadian, menjawab pertanyaan, membantu mengerti perilaku manusia

(28)

b. Metode Interview (Wawancara)

Metode ini merupakan metode pengumpulan data dengan cara

wawancara atau Tanya jawab.16 Wawancara digunakan sebagai tehnik

pengumpulan data apabila peneliti ingin menlakukan studi

pendahuluan untuk menemukan permasalahan yang harus diteliti.,

tetapi juga apabila peneliti ingin mengetahui responden lebih

mendalam.17

Wawancara ini dilakukan untuk memperoleh data yang

mendalam. Peneliti mewawancarai pengasuh dan pengurus harian

pondok pesantren, pengurus berbagai organisasi daerah dan santriwati.

Adapun aspek- aspek wawancara dalam penelitian ini

dibedakan mulai dari pengasuh, pengurus harian, pengurus organisasi

daerah dan santri biasa. Aspek wawancara kepada pengasuh meliputi

latar belakang pendidikan kepemimpinan, bentuk- bentuk pendidikan

kepemimpinan, mulai kapan pendidikan kepemimpinan diajarkan,

manfaat dan harapan yang diinginkan pengasuh. Selanjutnya aspek

wawancara kepada pengurus harian di antaranya tentang pelaksanaan

pendidikan kepemimpinan, kendala, pembimbing yang mengampu

pelatihan tersebut apa selalu tetap atau berganti dan prestasi.

Selanjutnya yakni aspek wawancaraa kepada pengurus

organisasi daerah yaitu alasan mengapa santri terjun ke organisasi

16

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif, ( Bandung: Alfabeta,2011), 137. 17

(29)

19

daerah, alasan minat santri terhadap organisasi daerah, program –

program apa saja yang diagendakan, kendala yang dialami selama

menjadi pengurus.

c. Metode Dokumentasi

Dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu.

Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar atau karya – karya

monumental dari seseorang. Mislanya, biografi, foto, gambar, sejarah

kehidupan dan film.18 Dokumentasi dalam penelitian ini berupa foto-

foto pelaksanaan kegiatan pendidikan kepemimpinan,Arsip

kepengurusan pondok pesantren, organisasi berbagai daerah dan

sejarah pondok pesantren.

6. Teknik Analisa Data

Teknik analisa data merupakan suatu proses untuk mencari dan

menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara,

catatan lapangan dan dokumentasi dengan cara mengorganisasikan data ke

dalam kategori. Menjabarkan ke dalam unit- unit, melakukan sintesa,

menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan akan

dipelajari, dan membuat kesimpulan sehingga mudah dipahami oleh diri

sendiri ataupun orang lain.19

18

Ibid.,82.

19

(30)

Dari data- data yang telah diperoleh peneliti memilih mana data

yang relevan. Kemudian menganalisis sesuai dengan kategori tertentu

yang sesuai dengan penelitian pendidikan kepemimpinan tersebut.

7. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data

Teknik pemeriksaan keabsahan data dalam penelitian ini

menggunakan teknik triangulasi sebagai teknik untuk mengecek keabsahan

data. Di mana dalam pengertianya triangulasi adalah teknik pemeriksaan

keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain dalam

membandingkan hasil wawancara terhadap objek penelitian. 20 Teknik

pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar

data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap

data itu. Triangulasi yang digunakan adalah:

a. Triangulasi sumber dilakukan dengan cara membandingkan apa yang

dikatakan orang di depan umum dengan apa yang dikatakanya secara

pribadi, dan membandingkan preespektif seseorang dengan berbagai

pendapat dan pandangan orang lain.

b. Triangulasi metode dan pengumpulan data peneliti melakukan dengan

cara membandingkan data yang diperoleh melalui teknik

pengumpulan. Mulai dari data hasil pengamatan, wawancara dan

dokumentasi. Data yang berbeda dan pengecekan derajat kepercayaan

beberapa sumber data dengan metode yang sama. Triangulasi metode

20

(31)

21

tertuju pada kesesuaian antara data yang diperoleh dengan teknik yang

digunakan.

c. Triangulasi teori, Pengecekan data dilakukan dengan membandingkan

teori–teori yang dihasilkan para ahli yang dianggap sesuai dan

sepadan melalui penjelasan banding, kemudian hasil penelitian

dikonsultasikan dengan subjek penelitian sebelum dianggap

mencukupi.

H. Sistematika Pembahasan

Untuk mempermudah pembahasan serta pemahaman dalam

penyusunan proposal skripsi ini, maka penulis membahasnya dengan

sistematika sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN, Merupakan tahapan awal dasar dari proposal penelitian ini. Yang meliputi, latar belakang masalah, rumusan

masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, definisi konseptual

dan sistematika pembahasan.

BAB II : PENDIDIKAN KEPEMIMPINAN SANTRIWATI PRESPEKTIF TEORI KONSTRUKSI SOSIAL DAN FEMINISME LIBERAL. Dalam bab ini, peneliti mengkaji tentang teori yang digunakan di

dalam penelitian tersebut. Sebagaimana teori yang sesuai dengan

tema yang diangkat oleh peneliti.

(32)

LATHIFIYYAH. Dalam bab ini dijelaskan mengenai deskripsi

umum objek penelitian, deskripsi hasil penelitian dan analisis

data. Sebagaimana di dalam analisis data tersebut peneliti

menjelaskan tentang data yang telah diperoleh di lapangan

sebagaimana dapat menjawab permasalahan yang diangkat oleh

peneliti. Hasil data yang sudah ditemukan oleh peneliti dibentuk

analisis deskriptif dengan mendeskripsikan hasil penelitian.

Kemudian setelah dianalisis dikolerasikan dengan teori yang

relevan dan sesuai.

(33)

23 BAB II

PENDIDIKAN KEPEMIMPINAN PERESPEKTIF TEORI KONSTRUKSI SOSIAL DAN TEORI FEMINISME LIBERAL

Untuk menjelaskan pendidikan kepemimpinan santriwati, dalam

penelitian ini peneliti menggunakan dua teori yaitu teori Konstruksi Sosial

dan teori Feminisme Liberal. Teori konstruksi sosial ini akan menjelaskan

pendidikan kepemimpinan santri pondok pesantren putri Al Lathifiyyah 1. Teori

ini relevan karena mampu menjelaskan tentang realitas pendidikan

kepemimpinan santriwati yang dikonstruk sejak awal oleh pengasuh. Sedangkan

teori feminisme liberal relevan untuk menjelaskan pendidikan kepemimpinan

santriwati ini karena melalui pendidikan ini perempuan juga memiliki hak yang

sama.

A. Teori Konstruksi Sosial

Teori Konstruksi Sosial digagas oleh Peter L. Berger dan Thomas

Luckmann, Peter L.Berger merupakan sosiolog dari New School for Social

Research, New York, Amerika Serikat. sementara Thomas Luckmann adalah

sosiolog dari University of Frankfurt. Jerman. Pada tahun 1962 mereka

menulis buku “ The Social Construction of Reality, A Treatise in the

(34)

suatu kajian teoretis dan sistematis mengenai sosiologi pengetahuan.1 Akan

tetapi, Peter L Berger lebih dominan dalam menjelaskan teori ini.

Peter L Berger adalah seorang sosiolog yang mengajar Etika Sosial

di Hartford Seminary Foundation.2 Pada saat itu, dia menulis buku tentang

sosiologi agama. Kajian dalam buku ini membahas tentang fungsi atau posisi

kritis sosiologi agama yang berhadapan dengan perkembangan teologis

ummat Kristen Barat.Menurutnya, terdapat sekularisasi dalam perkembangan

teologis. Pada saat itu, sektor publik modern mulai mengalami pluralisasi

ideologi. Sehingga pemikiran masyarakat pada saat itu lebih bergeser pada

privat individu – individu, akibatnya nilai- nilai teologis mulai luntur.

Setelah mengajar di Hartford Seminary Foundation, Berger diangkat

menjadi Professor di New School For Social Research, New York yang

merupakan pusat gerakan fenomenologi di Amerika Serikat. Salah satu tokoh

dalam gerakan ini adalah Alferdz Scutzh, yang juga merupakan guru besar

di bidang ilmu- ilmu sosial. Fenomenologi merupakan teori yang lahir

sebagai teori tandingan terhadap teori – teori yang berada dalam paradigma

fakta sosial, terutama yang digagas oleh Emile Durkheim. Pada mulanya

teori sosial ini dikembangkan oleh Max Weber, meskipun pada awalnya teori

ini merupakan teori tentang kefilsafatan yang diungkapkan oleh Hegel,

Hurssel dan kemudian oleh Alferd Schutz dan melalui sentuhan Weber teori

ini menjadi teori sosial yang handal digunakan sebagai analisis fenomena

1

Burhan Bungin,Sosiologi Komunikasi : Teori Paradigma dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat, ( Jakarta : Kencana Prenada, 2007), hal 188 - 189

2

(35)

25

sosial. Adapun cara berfikir berfikir fenomenologi sendiri dimulai dari

kenyataan kehidupan sehari- hari sebagai realitas utama gejala

bermasyarakat.3 Gerakan fenomenologi tersebut mempengaruhi Berger

dalam gagasan teori konstruksi sosial, karena di situlah tempat Berger

bekerja.

Pada awalnya, Berger memulai dengan observasi. Situasi sosiologi di

Amerika dengan menggunakan pendekatan positivistis, yang sudah menjadi

tradisi ilmu- ilmu sosiologi di sana. Perkembangan teori- teori sosial

dipengaruhi oleh pengaruh pemikiran model rasionalitas teknokratis yang

dianut oleh para teknokrat, politisi, birokrat dan kelompok – kelompok

professional serta ilmuwan- ilmuwan dari disiplin ilmu lainya. Akan tetapi,

pada saat itu ilmu- ilmu sosial hanya dikembangkan dalam teoretis saja dan

perekayasaan sosial. Maka dari itu, perkembangan keilmuan di sana

mengalami kemunduran dan tidak berkembang. Sosiologi alternative dan

seperti sosiologi interpretatife atau humanistis yang menempatkan kegiatan

sosial sebagai bagian dari kegiatan manusia konkret yang multidimensional

yang dimengerti oleh filsafat manusia. Manusia- manusia konkret dengan

segala problematikanya menjadi titik tolak pencarian hakikat masyarakat

sebagai tugas utama pengembangan sosiologi.

Berger diuntungkan dengan adanya kemampuan penguasaan bahasa

Eropa dan memiliki akses ke sumber sosiologi di Eropa, terutama karya Max

3

(36)

Weber dan Emile Durkheim. Di samping itu, ia juga mempunyai akses pada

sumber- sumber awal karya sosiologi pengetahuan dalam bahasa Inggris dan

digunakan di kalangan ahli sosiologi di Eropa. Oleh karena itu Berger

meminta bantuan para pakar New School untuk membantu menerangkan

tentang literature kontinental di Eropa. Akhirnya Berger mengetahui kalau

pada saat itu situasi ilmu sosial di Amerika sedang memendam problematika

pertikaian metodologis yang mirip dengan situasi konflik metodologis pada

akhir abad ke -19 dan awal abad ke-20 di lingkungan intelektual Eropa

(khususnya di Jerman) Ketika Max Weber tampil sebagai tokoh yang

mempertahankan posisi humanistis sebagai subdisiplin ilmu humaniora.

Dalam situasi konflik itu, Weber berusaha mensintesakan pendekatan

positivistis dan pendekatan idealistis untuk membangun pendekatan ilmu-

ilmu sosial yang khas.

Dari situ lah Berger mulai berusaha mengembalikan status ekonomi

sosiologi dari dominasi ilmu- ilmu alam dan ideologi politik. Sosiologi

dikembalikan pada fungsi aslinya yaitu sebagaimana dikehendaki Weber

sebagai sarana teoretis untuk memahami serta menafsirkan secara

bertanggungjawab atas masalah- masalah peradaban manusia. Sementara itu

fenomenologi memberi makna baru dalam sosiologi pengetahuan.

Dalam konsep teoretisi lebensnswelt (terjemah Inggris, life – world

dan dalam terjemahan bahasa Indonesia dunia kehidupan) dalam tradisi

fenomenologi mengandung pengertian ‘dunia’ atau semesta yang kecil, rumit

(37)

27

manusia dan nilai-nilai yang dihayati. “ Lebenswelt” itu merupakan realitas

orang- orang biasa yang dalam fenemenologi dapat dikatakan bahwa dalam

“ Lebenswelt” terdapat gejala- gejala sosial yang harus didiskripsikan. Tugas

pemikirlah termasuk ahli sosiologi yang untuk menemukan hakikat

masyarakat di balik gejala- gejala sosial yang kompleks itu. Berger

kemudian yakin bahwa bersosiologi itu harus mengikuti proses berpikir

seperti yang dituntut oleh fenomenologi yakni dimulai dengan kenyataan

kehidupan sehari – hari sebagai utama gejala bermasyarakat. Dari situlah

lahir karya Berger yang membahas tentang sosiologi pengetahuan yaitu

The Social Construction of Reality, A Treatise in the Sociological

Knowladge.4

Berikut ini usaha Berger dalam mendefinisi ulang tentang hakikat dan

peranan sosiologi pengetahuan: 5

1. Usaha mendefinisikan kembali “kenyataan” dan “pengetahuan” konsteks

sosial sebuah teori sosiologis harus mampu menjelaskan, sehingga kita

memahami bagaimana kehidupan massyarakat itu terbentuk dalam proses

terus menerus setiap hari, yang dalam pengertian sehari- hari dinamakan

pengalaman masyarakat. Karena gejala- gejala sosial itu ditemukan

dalam pengalaman dalam masyarakat yang terus- menerus berproses,

maka perhatian terarah pada bentuk – bentuk penghayatan kehidupan

bermasyarakat secara menyeluruh dengan segala aspeknya (kognitif,

4 Ibid. 5

(38)

psikomotoris, emosional dan intuitif). Dengan kata lain kenyataan sosial

itu terbentuk dengan adanya interaksi, pergaulan sosial yang

diungkapkan lewat berbagai tindakan sosial seperti berkomunikasi. Hal

ini dikatakan sebagai kenyataan intersubjektivitas menunjuk pada

struktur kesadaran umum ke kesadaran individual suatu kelompok

khusus yang sedang saling berinteraksi.

2. Cara meneliti pengalaman intersubjektif sehingga ditemukan bangunan

sosial / konstruksi sosial dari kenyataan adalah dengan menyeleksi

kenyataan yang penting- penting saja dan sikap- sikap subjektif yang

wajar dan alamiah seperti yang dilakukan dalam kehidupan sehari- hari.

Perhatian dipusatkan pada proses terbentuknya fakta- fakta sosial atau

gejala sosial. Di mana individu ikut seta dalam proses pembentukan dan

pemeliharaan hubungan sosial tingkat mikro tampak pada komunikasi

tatap muka. Dengan menyeleksi gejala – gejala sosial ini maka yang

diperhatikan dari kenyataan sosial itu adalah aspek perkembangan,

perubahan serta proses tindakan sosial yang membantu untuk memahami

tatanan sosial yang diciptakan sendiri oleh masyarakat dan dipelihara

dalam kehidupan sehari- hari. Norma- norma dan aturan- aturan yang

mengontrol tindakan manusia dan menstabilkan struktur sosial dinilai

sebagai prestasi peneliti.

3. Usaha untuk memahami realitas sosial dalam masalah pilihan logika

macam manakah yang perlu diterapkan dalam usaha memahami

(39)

29

terus menerus sosiologi pengetahuan memusatkan pada dunia akal sehat

(common sense world) dimana kenyataan sosial didekati dengan

berbagai pendekatan seperti pendekatan mitologis irrasional , pendekatan

filosofis yang bercorak moralistis pendekatan praktis yang bersifat

fungsional ; semua jenis pengetahuan itu membangun struktur dunia akal

sehat. Setelah itu mulailah pendistribusian ke lembaga- lembaga yang

bersangkutan. Dengan pengetahuan manusia yang kompleks, maka

sosiologi didekati dengan membedakan antara kesadaran dan

pengetahuan. Kesadaran menjadikan seseorang lebih mengenal diri

sendiri yang sedang berhadapan dengan kenyataan tertentu. Sedangkan

pengetahuan merupakan kegiatan yang menjadikan suatu kenyataan

menjadi kurang lebih diungkapkan. Oleh karena itu, dalam sosiologi

pengetahuan yang penuh kontradiksi digunakan yang berfikir dengan

dunia akal sehat berpijak pada berfikir secara dialektis. ( tesis, antitesis,

sintesis).

Teori konstruksi sosial memandang masyarakat adalah sebuah produk

dari manusia. Masyarakat tidak mempunyai bentuk lain kecuali bentuk yang

diberikan kepadanya dari aktivitas dan kesadaran manusia. Masyarakat adalah

produk manusia dan manusia adalah produk dari masyarakat, dan sebaliknya

keduanya menggambarkan sifat dialektik inheren dari fenomen masyarakat.6

Proses dialektika dari masyarakat tadi terdiri dari tiga momentum

atau langkah yaitu Eksternalisasi, Objektivasi dan Internalisasi.

6

(40)

Eksternalisasi adalah proses pencurahan kedirian manusia secara terus

menerus ke dalam dunia, baik dalam aktivitas fisik maupun mentalnya,

termasuk dengan produk produk sosial yang telah dikenalkan kepadanya.

Karena pada dasarnya individu sejak lahir akan mengenal dan berinteraksi

dengan produk- produk sosial. Sedangkan produk sosial itu sendiri adalah

segala sesuatu yang merupakan hasil sosialisasi dan interaksi di dalam

masyarakat.

Proses ekternalisasi adalah keharusan antropologis, sehingga tatanan

sosial merupakan sesuatu yang telah ada mendahului setiap organisasi

individu. Tatanan sosial yang terjadi secara terus menerus dan selalu diulang

ini merupakan pola dari kegiatan yang mengalami proses pembiasaan

(habitualisasi). Tindakan – tindakan yang dijadikan pembiasaan ini tetap

mempertahankan sifatnya yang bermakna bagi individu dan diterima begitu

saja. Pembiasaan ini membawa keuntungan psikologis karena pilihan

menjadi dipersempit dan tidak perlu lagi setiap situasi didefinisikan kembali

langkah demi langkah. Dengan demikian akan membebaskan akumulasi

ketegangan- ketegangan yang diakibatkan oleh dorongan – dorongan yang

tidak terarah. Proses pembiasaan ini mendahului setiap pelembagaan.

Manusia menurut pengetahuan empiris kita tidak bisa dibayangkan terpisah

dari pencurahan dirinya terus menerus ke dalam dunia yang ditempatinya.7

Manusia merupakan sosok mahluk hidup yang senantiasa

berdialektika dengan lingkungan sosialnya. Dunia sosial, kendati merupakan

7

(41)

31

hasil dari aktivitas manusia, namun ia menghadapkan dirinya sebagai sesuatu

yang bersifat eksternal bagi manusia atau sesuatu yang berada di luar diri

manusia.

Realitas dunia sosial yang merupakan pengalaman hidup yang bisa

dijadikan sebagai dasar seseorang untuk pengetahuan dan mengkonstruksi

sesuatu. Realitas sosial, juga mengharuskan seseorang untuk memberikan

responya. Respon seseorang terhadap pranata- pranata sosial yang ada, bisa

berupa penerimaan,penyesuaian maupun penolakan. Bahasa dan tindakan

merupakan sarana bagi seseorang untuk mengkonstruksi dunia sosio

kulturalnya melalui momen eksternalisasi ini. Secara sederhana momen

eksternalisasi dapat dipahami melalui proses visualisasi atau verbalisasi

pikiran dari dimensi batiniah ke dimensi lahiriah. Eksternalisasi merupakan

proses gagasan dari dunia ide ke dunia nyata.

Dalam momen eksternalisasi, realitas ditarik ke dunia individu. Di

dalam momen ini, realitas berupa proses adaptasi melalui teks – teks suci,

kesepakatan ulama, hukum, norma, nilai dan sebagainya yang hal itu ada di

luar diri manusia. Sehingga dalam proses konstruksi sosial melibatkan

momen adaptasi diri atau diadaptasikan antara teks tersebut dengan dunia

sosio – kultural. Adaptasi dapat melalui bahasa, tindakan dan pentradisian

yang dalam khazanah ilmu pengetahuan disebut interpretasi atas teks atau

dogma. Karena adaptasi merupakan proses penyesuaian berdasarkan atas

penafsiran,maka sangat dimungkinkan terjadinya variasi- variasi adaptasi

(42)

Objektivasi adalah proses mengkristalkan ke dalam pikiran tentang

Suatu objek, atau segala bentuk eksternalisasi yang telah dilakukan dan

dilihat kembali pada kenyataan di lingkungan secara objektif. Jadi dalam hal

ini bisa terjadi pemaknaan baru ataupun pemaknaan tambahan.

Proses objektivasi merupakan momen interaksi antara dua realitas

yang terpisahkan satu sama lain, manusia di satu sisi dan realitas sosio

kultural di sisi lain. Keduanya seolah terpisah ini kemudian membentuk

jaringan interaksi intersubjektive. Momen ini merupakan hasil dari

kenyataan eksternalisasi yang kemudian mengejawentah sebagai suatu

kenyataan objektif yang unik.

Pada momen ini juga ada proses pembedaan antara dua relaitas, yaitu

realitas individu dan realitas sosial lain yang berada di luarnya, sehingga

realitas sosial itu menjadi sesuatu yang objektif. Dalam proses kontruksi

sosial, proses ini disebut interaksi sosial melalui interaksi sosial melalui

pelembagaan dan legitimasi. Dalam pelembagaan dan legitimasi tersebut,

agen bertugas menarik dunia subjektifitasnya menjadi dunia objektif melalui

interaksi sosial yang dibangun secara bersama. Pelembagaan akan terjadi

manakala terjadi kesepahaman intersubjektif atau hubungan subjek- subjek.8

Selain itu, objektivitas dunia kelembagaan adalah objektivasi yang

dibuat dan dibangun oleh manusia. Proses dimana produk- produk aktivitas

manusia yang dieksternalisasikan itu memperoleh sifat objektivitas. Dunia

kelembagaan merupakan aktivitas manusia yang diobjektivasikan dan begitu

8

(43)

33

pula dengan setiap lembaganya.9 Masyarakat adalah produk manusia yang

berakar dari manusia. Berakar dalam fenomena eksternalisasi yang pada

giliranya didasarkan pada konstruksi biologis manusia itu. Transformasi

produk- produk ini ke dalam suatu dunia tidak saja berasal dari manusia,

tetapi yang kemudian menghadapi manusia sebagai sesuatu faktisitas di luar

dirinya, adalah diletakkan dalam konsep objektivitas. Dunia yang diproduksi

manusia yang berada di luar sana memiliki sifat realitas yang objektif. Dan

dapat juga dikatakan bahwa masyarakat merupakan aktivitas manusia yang

diobjektivasikan.10

Di dalam konstruksi sosial, momen ini terdapat realitas sosial

pembeda dari realitas lainya. Objektivasi ini terjadi terjadi karena adanya

proses eksternalisasi. Ketika dalam proses eksternalisasi semua ciri- ciri dan

simbol dikenal oleh masyarakat umum.

Internalisasi adalah individu- individu sebagai kenyataan subjektif

menafsirkan realitas objektif. Atau peresapan kembali realitas oleh manusia,

dan mentransformasikanya sekali lagi dari struktur – struktur dunia objektif

ke dalam struktur- struktur dunia subjektif. Pada momen ini, individu akan

menyerap segala hal yang bersifat objektif dan kemudian akan direalisasikan

secara subjektif. Internalisasi ini berlangsung seumur hidup seorang individu

dengan melakukan sosialisasi. Pada proses internalisasi, setiap individu

9

Peter L Bergerdan Thomas Luckmann, Tafsir Sosial Atas Kenyataan ( Jakarta: LPES, 1991) Hal. 87

10

(44)

berbeda- beda dalam dimensi penyerapan. Ada yang lebih menyerap proses

ekstern, ada juga yang lebih menyerap bagian intern. Selain itu, proses

internalisasi dapat diperoleh individu melalui proses sosialisasi primer dan

sekunder.

Sosialisasi primer merupakan sosialisasi awal yang dialami individu

masa kecil, di saat ia diperkenalkan dengan dunia sosial pada individu.

Sedangkan sosialisasi sekunder dialami individu pada usia dewasa dan

memasuki dunia publik, dunia pekerjaan dalam lingkungan yang lebih luas.

Sosialisasi primer biasanya sosialisasi yang paling penting bagi individu, dan

bahwa semua struktur dasar dari proses sosialisasi sekunder harus

mempunyai kemiripan dasar dengan sosialisasi primer.11

Dalam proses sosialisasi, terdapat adanya significant others dan juga

generalized other. Significant other begitu signfikan peranya dalam

menstransformasi pengetahuan dan kenyataan objektif pada individu. Orang

–orang yang berpengaruh bagi individu merupakan agen utama untuk

mempertahankan kenyataan subjektifnya. Orang- orang yang berpengaruh itu

menduduki tempat yang sentral dalam mempertahankan kenyataan. Selain

itu, proses internalisasi yang disampaikan Berger juga menyatakan

identifikasi. Internalisasi berlangsung dengan berlangsungnya identifikasi. Si

anak mengoper peranan dan sikap orang- orang yang mempengaruhinya.

Artinya ia menginternalisasi dan menjadikanya peranan atas sikapnya

11

(45)

35

sendiri. Dalam akumulasi proses pengenalan dunianya, si anak akan

menemukan akumulasi respon orang lain ini. Abstraksi dari berbagai peranan

dan sikap orang- orang yang secara konkrit berpengaruh dinamakan orang

lain pada umunya ( generalized other).12

Adapun fase terakhir dari proses internaliasasi ini adalah

terbentuknya identitas. Identitas dianggap sebagai unsur kunci. Dari

kenyataan subjektif, yang juga berhubungan secara dialekstis dengan

masyarakat. Identitas dibentuk oleh proses – proses sosial. Begitu

memperoleh wujudnya, ia dipelihara, dimodifikasi, atau bahkan dibentuk

ulang. Identitas merupakan suatu fenomena yang timbul dari dialektika

antara individu dan masyarakat.13

Ketiga proses yang ada tersebut akan terus berjalan dan saling

berkaitan satu sama lain, sehingga pada prosesnya semua akan kembali ke

tahap internalisasi dan begitu seterusnya, sehingga individu dapat

membentuk makna dan perilaku baru apabila terdapat nilai- nilai baru yang

terdapat di dalamnya.

Berdasarkan penjelasaan dari teori Peter L Berger dan Thomas

Luckmann. Maka dapat diketahui bahwa individu merupakan produk

sekaligus pencipta pranata sosial. Melalui aktivitas kreatifnya, manusia

mengkonstruksikan masyarakat dan berbagai aspek laniya dari kenyataan

sosial. Kanyataan sosial yang diciptakanya itu lalu mengkonfirmasi individu

12

Ibid., 189-191 13

(46)

sebagai kenyataan eksternal dan objektif. Individu lalu menginternalisasikan

kenyataan ini sedemikian rupa sehingga menjadi bagian dari kesadaranya.

Bahwa di luar sana terdapat dunia sosial objektif yang membentuk individu-

individu, dalam arti manusia- manusia adalah produk dari masyarakatya.

Realitas yang objektif ini dipantulkan oleh orang lain dan diinternalisasi

melalui sosialisasi oleh individu pada masa kanak- kanak, dan di saat dewasa

mereka pun tetap menginternalisir situasi- situasi baru yang mereka temui

dalam dunia sosialnya. Oleh karena itu dalam memahami suatu konstruksi

sosial diperlukan tiga tahapan penting yaitu eksternalisasi, objektivasi dan

internalisasi.

Peneliti memilih konstruksi sosial Peter L Bergerdan Thomas

Luckmann karena pada dasarnya konsep yang dikemukakan dalam teori

tersebut relevan dengan relaitas yang hendak dikaji oleh peneliti. Peneliti

hendak melakukan kajian secara mendalam terhadap pendidikan

kepemimpinan santri di pondok pesantren putri Al Lathifiyyah 1 Bahrul

‘Ulum Tambakberas Jombang.dalam hal ini Berger telah mengemukakan

bahwa realitas yang terdapat di dalam masyarakat dikonstruksi oleh

masyarakat itu sendiri dan dunia yang ditempatinya. Dalam hal ini realitas

yang ada di pondok pesantren tersebut terdapat pendidikan kepemimpinan

dan menjadi agenda wajib pondok pesantren yang harus diikuti oleh

(47)

37

B. Feminisme Liberal

Feminisme liberal berkembang di Barat pada abad ke- 18, bersamaan

dengan populernya arus pemikiran baru “zaman pencerahan” (enlightmen

atau age a reason). Dasar asumsi yang dipakai adalah doktrin John Lock

tentang human right atau yang di dalam bahasa Indonesia dikenal dengan

hak asasi manusia (HAM). Bahwa setiap manusia mempunyai hak asasi yaitu

hak hidup dan hak mendapat kebebasan dan hak untuk mencari

kebahagiaan.14

Feminisme liberal memiliki pandangan bahwa negara sebagai

penguasa yang tidak memihak antara kepentingan – kepentingan kelompok

yang ada di negara tersebut. Para feminis liberal menyadari bahwa, negara

didominasi oleh kaum pria. Sehingga bisa menjadi menjadi refleksi

kepentingan “maskulin”. Karenanya negara dapat didominasi kuat oleh

kepentingan kaum pria tadi. Singkatnya, negara dapat ditentukan oleh

kelompok kepentingan yang memiliki kendali atas negara tersebut.

Sementara itu, perempuan cenderung berada “di dalam” sebatas

warga negara, bukanya sebagai pembuat kebijakan. Sehingga dalam hal ini

ada ketidaksetaraan perempuan dalam politik atau bernegara. Karenanya

feminis liberal ini menjadikan konsep “kesetaraan” sebagai dasar gerakan

mereka. Salah satunya adalah kesetaraan perempuan untuk melakukan

kegiatan politik seperti membuat kebijakan di sebuah negara.

14

(48)

Aliran feminisme liberal ini memiliki beberapa tokoh di antaranya,

Marry Wolstencarf, Jhon Stuart Mill, Harries Taylor dan Betty Friedan.

Marry Wolstencarf merupakan tokoh feminis liberal pada abad ke -18. Mary

Wolstencarf penggagas aliran feminisme liberal menegaskan perempuan dan

laki- laki sama- sama memilki kapasitas. Semua manusia berhak

mendapatkan kesempatan yang setara dalam mengembangkan kapasitas nalar

dan moralnya.15 Feminisme liberal juga berargumen bahwa perempuan bisa

mengklaim kesamaan dengan laki- laki atas dasar kapasitas esensial manusia

sebagai agen moral yang bernalar.16 Kapasitas yang dimiliki oleh kaum laki-

laki dan kaum perempuan sangat menentukan posisi di masyarakat, bukan

dari jenis kelamin. Semakin penuh kapasitas yang dimilki perempuan maka

akan mengangkat posisi kaum perempuan di masyarakat. Semangat untuk

belajar dan berubah lebih baik akan semakin memudahkan langkah untuk

bisa dihandalkan oleh masyarakat.

Kemudian pada abad ke- 19 Harries Taylor dan Jhon Stuart Mill

berpendapat bahwa perempuan harus memiliki hak pilih agar setara dengan

laki- laki. Pada periode ini perempuan di Amerika Serikat mengadakan

gerakan abolisi ( penghapusan diskriminasi perbudakan terhadap ras- ras

tertentu, dalam hal ini kulit hitam).17

15

Rosemarie Putnam Tong, Feminis Thought ( Yogyakarta: Jalasutra, 1998) hal 21 16

George Ritzer dan Duglas J Goodman , Teori Sosiologi Modern ( Jakarta: Prenada Media Group, 2007) hal 420

17

(49)

39

Selanjutnya perkembangan gerakan feminis pada abad ke -20 yang

dipelopori oleh Betty Friedan. Pada abad ini mulai dibentuk organisasi

perempuan misalnya National Organization for Woman(NOW), The National

Women’s Political Caucus (NWPC) dan The Woman Equity Action League.

(WEAL). Tujuan utama dari hal itu adalah untuk meningkatkan status

perempuan “ dengan menerapkan tekanan legal, sosial dan lain- lain terhadap

berbagai lembaga mulai dari Bell Telephone company hingga jaringan televisi

dan partai- partai politik utama.18

Posisi perempuan selama ini di masyarakat selalu berada di bawah

atau di belakang laki- laki. Posisi yang tidak sangat menguntungkan bagi

perempuan untuk mengembangkan dirinya sendiri. Melalui feminisme inilah

awal dari perubahan posisi perempuan di masyarakat.

Feminisme liberal berasumsi bahwa kebebasan (freedom) dan

kesamaan (equality) berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia

privat dan publik.19 Feminisme liberal ingin menempatkan perempuan

memiliki kebebasan secara penuh dan individual atas dirinya sendiri. Semua

pilihan yang diambil oleh perempuan harus benar- benar berasal dari diri

sendiri bukan atas keputusan atau pengaruh dari kaum laki- laki.

Selain itu, faham feminisme liberal menginginkan kesamaan dalam

(50)

kemampuan dan keterampilan yang tak jauh beda dengan kaum laki- laki.

Hanya saja kesempatan untuk menunjukkan kemampuan dan keterampilan

yang dimiliki perempaun sangat sedikit, sehingga tidak terlihat di

masyarakat.

Kaum feminisme liberal juga membicarakan tentang kesamaan

kesempatan dari pada kondisi.20 Kesempatan untuk melebarkan sayap bagi

kaum laki- laki lebih besar dari pada perempuan. Norma- norma yang ada di

masyarakat lebih cenderung pro, flexible dan tidak mengekang pergerakan

laki- laki. Kaum laki- laki lebih leluasa memilih pilihan hidup apa yang

disenanginya. Sedangkan kaum perempuan terisolasi dengan adanya norma-

norma yang membatasi pergerakan mereka. Sehingga ruang lingkup gerakan

perempuan sangat sedikit di masyarakat. Kesempatan mereka untuk

membuktikan kepada masyarakat bahwa mereka layak diperlakukan seperti

laki- laki hampir tidak ada lubang kecil untuk membuktikanya. Semua itu

menyebabkan kondisi kaum perempuan semakin terpuruk dan selalu di

belakang laki- laki.

Posisi perempuan dalam kebanyakan situasi tidak hanya berbeda,

tetapi juga kurang menguntungkan atau tidak setara dengan laki- laki.21

Keberadaan masyarakat dengan norma – norma yang membatasi ruang

lingkup perempuan membuat adanya perbedaan dalam perlakuan di

masyarakat. Laki- laki mendapatkan perlakuan lebih besar lebih keras dari

20

Holidin Soenyono, Teori Feminisme Sebuah Refleksi ke Arah Pemahaman,( Surabaya: Holidon Press, 2004) hal 125

21

(51)

41

masyarakat dan supaya memenggunakan rasionalnya dalam memahami

fenomena- fenomena yang terjadi. Laki- laki harus bekerja di luar rumah

untuk memenuhi semua kebutuhan keluarganya. Sedangkan perempuan

mendapatkan perlakuan lebih lembut dari masyarakat. Masyarakat lebih

menuntut perempuan untuk melakukan pekerjaan rumah tangga dari pada

berkarier di luar rumah. Kaum perempuan juga di didik untuk menggunakan

hatinya, emosinya sehingga lebih lembut dalam menghadapi permasalahan

yang terjadi.

Dalam memperjuangkan masyarakat, menurut kerangka feminisme

liberal, “kesempatan dan hak yang sama” harus diberikan bagi setiap

individu, termasuk di dalamnya kaum perempuan.22 Oleh karena itu, jika

ditanya mengapa perempuan dalam keadaan terbelakang atau tertinggal?

Menurut penganut aliran ini, jika sistem sudah memberikan kesempatan

yang sama antara laki- laki dan perempuan, tetapi ternyata kaum perempuan

tersebut kalah dalam bersaing, maka kaum perempuan sendiri yang harus

disalahkan. Aliran feminisme liberal kamudian mengusulkan, bahwa untuk

memecahkan masalah kaum perempuan cara yang dilakukan adalah dengan

menyiapkan kaum perempuan agar bisa bersaing dalam suatu dunia yang

pebnuh persaingan dan bebas.

Feminisme liberal memprioritaskan hak di atas kebaikan.23 Seseorang

dengan haknya masing – masing akan bisa memilih mana yang benar- benar

22

Narwoko dan Bagong, Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan,( Jakarta : Prenada Media Group, 2004) hal 347

23

(52)

di inginkan dan mana yang tidak diinginkan. Hak bisa dikatakan sebagai

pilihan yang sudah digariskan oleh Tuhan dan disepakati oleh masyarakat.

Akan tetapi, tidak jarang hak sesuai dengan apa yang dipilih oleh seseorang.

Dengan hak, seseorang akan bisa melakukan sesuatu yang di atas kebaikan

karena seseorang memilih berdasarkan pilihanya maka pilihanya tersebut

adalah yang terbaik meskipun itu bukan pilihan yang wajar di mata

masyarakat.

Selain itu, feminisme liberal mempercayai androgini ( tiadanya

perbedaan antara laki- laki dan perempuan).24 Laki – laki dan perempuan

tidak ada perbedaan dari segi sosial, walaupun dalam segi biologis antara

laki- laki dan perempuan jelas berbeda. Akan tetapi perbedaan secara biologis

tersebut bukanlah suatu pembeda untuk memilki kesetaraan dalam

masyarakat. Perempuan tetap mempunyai hak dan kesempatan yang sama

dalam masyarakat.

Feminisme liberal menentang pandangan biologisme dimana

perbedaan antara laki- laki dan perempuan dianggap berpangkal pada

perbedaan biologis.25 Bagi sudut pandang feminisme liberal perbedaan jenis

kelamin tidak membuat perbedaan di masyarakat. Maka dari itu masyarakat

seharusnya tidak membedakan antara laki- laki dan perempuan berdasarkan

biologisnya. Masyarakat harus melihat dari kemampuan dan keterampilanya

Gambar

Tabel 3.1 Jumlah santri pondok pesantren putri Al Lathifiyyah 1 berdasarkan jenjang
Gambar 3.1.  Drs. H.M. Fadlulloh Malik, MHI saat menyampaikan
Gambar 3.2. Suasana diskusi santri pada pelatihan kepemimpinan
Gambar 3.3.  Uji materi oleh pengurus kepada peserta pelatihan kepemimpinan pondok pesantren putri Al Lathifiyyah 118
+5

Referensi

Dokumen terkait

Kegunaan praktis dari penelitian ini adalah sebagai bahan referensi untuk Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) dan pemerintah kota (Pemkot) Surabaya untuk

Saat Ini Grand Q merupakan hotel berbintang tiga yang berada di Provinsi Gorontalo, Grand Q merupakan Bisnis Hotel ini adalah Hotel yang juga banyak melakukan promosi

Sebagaimana yang menjadi target dalam kegiatan pengabdian ini, maka hasil dari pelaksanaan kegiatan pengabdian ini adalah meningkatnya kesadaran hukum dan

Kandungan total flavonoid dan antosianin yang diberikan vinasse, baik melalui daun maupun tanah memberikan hasil yang tidak berbeda dengan tanpa pemberian vinasse

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SENI RUPA. JURUSAN

Hasil data penelitian ini menunjukkan bahwa kecepatan geser elektroda yang relatif cepat pada proses pengelasan dapat menurunkan nilai kekuatan tarik namun sebaliknya dapat

Dalam Sudut Temp. Sehingga perbedaan kuat impak untuk material SS304 dengan pengelasan TIG dan MIG sebesar 42.54%.Pada Berdasarkan Gambar 4.2 nilai kuat impak terbesar