POLITIK PESANTREN DAN KESETARAAN GENDER:
Pendidikan Kepemimpinan Santriwati di Pondok Pesantren Putri Al
Lathifiyyah 1 Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang
SKRIPSI
Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial
(S.Sos) Dalam Bidang Sosiologi
Disusun Oleh:
Fifit Mulyana
NIM : B05212019UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
JURUSAN ILMU SOSIAL
PROGRAM STUDI SOSIOLOGI
ABSTRAK
Fifit Mulyana, 2016: Politik Pesantren dan Kesetaraan Gender :Pendidikan
Kepemimpinan di Pondok Pesantren Putri Al Lathifiyyah 1 Bahrul ‘Ulum
Tambakberas Jombang. Skripsi Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Sunan Ampel Surabaya.
Kata kunci,Gender, Politik, Pendidikan Kepemimpinan dan Santri.
Penelitian ini berbicara tentang pendidikan kepemimpinan santri putri
yang diselenggarakan di pondok pesantren putri Al lathifiyyah 1 Bahrul ‘Ulum
Tambakberas Jombang. Berbagai macam kegiatan dilakukan dalam program ini mulai dari pelatihan kepemimpinan dan keorganisasian. Penelitian ini menarik diteliti karena objek dari pendidikan kepemimpinan itu diperuntukkan kepada santri putri yang berada di pondok.
Ada tiga permasalahan yang hendak dikaji dalam penelitian ini 1) Apa yang melatar belakangi pendidikan kepemimpinan santriwati di Pondok Pesantren putri Al Lahifiyyah 1 Tambakberas Jombang? 2) Bagaimana Bentuk Pendidikan
kepemimpinan santriwati Pondok Pesantren Putri Al Lathifiyyah 1 Bahrul ‘ ulum
Tambakberas Jombang? 3) Bagaimana pandangan santri terhadap pendidikan
kepemimpinan di Pondok Pesantren Putri Al Lathifiyyah 1 Bahrul ‘Ulum
Tambakberas Jombang?
Untuk mengungkap persoalan tersebut secara menyeluruh dan mendalam, dalam penelitian ini digunakan metode penelitian kualitatif, data diperoleh melalui metode observasi, wawancara dan dokumentasi. Data yang diperoleh kemudian disajikan secara deskriptif dan dianalisis dengan menggunakan dua teori yaitu teori konstruksi sosial Peter L Berger dan teori feminis liberal.
Dari hasil penelitian tersebut, ditemukan bahwa 1) hal yang melatar belakangi pendidikan kepemimpinan santriwati adalah dilihat dari keadaan masyarakat sekitar pondok pesantren yang hanya bekerja sebagai ibu rumah tangga dan melihat keadaan tersebut pengasuh memberikan inisiatif untuk
membuat pendidikan kepemimpinan untuk menambah skiil santri dalam
menghadapi tantangan masa depan.2) Pendidikan kepemimpinan memiliki 4 bentuk program yang mana program tersebut dibagi menjadi 2 program utama dan program tambahan. Program utama dalam pendidikan kepemimpinan ini terdiri dari pelatihan kepemimpinan dan pelatihan persidangan, sedangkan program
tambahanya terdiri dari pelatihan bina kader da’iyah dan kajian Aswaja.3)
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL……….. i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING………... ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI……… iii
HALAMAN MOTTO……….… iv
HALAMAN PERSEMBAHAN………. v
PERNYATAAN PERTANGGUNGJAWABAN PENULISAN SKRIPSI... vi
ABSTRAK……….. vii
KATA PENGANTAR……….... viii
DAFTAR ISI………... x
DAFTAR GAMBAR ……….. xiii
DAFTAR TABEL ………... xiv
BAB I : PENDAHULUAN……… 1
A. Latar Belakang………....…... 1
B. Rumusan Masalah………... 3
C. Tujuan Penelitian………... 4
D. Manfaat Penelitian………..…... 4
E. Definisi Konseptual……….….. 5
F. Kajian Pustaka ……….…... 8
G. Metode Penelitian……….…... 10
2. Lokasi dan Waktu Penelitian……….………... 12
3. Pemilihan Subjek Penelitian………..…... 13
4. Tahap-Tahap Penelitian……….…... 15
5. Teknik Pengumpulan Data………..….... 17
6. Tahap Analisis Data……….... 19
7. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data………….…... 20
H. Sistematika Pembahasan……….... 21
BAB II PENDIDIKAN KEPEMIMPINAN PRESPEKTIF TEORI KONSTRUKSI SOSIAL DAN TEORI FEMINISME LIBERAL A. Teori Konstruksi Sosial………. 23
B. Feminisme Liberal………... 37
BAB III: PERAN DAN HASIL PENDIDIKAN KEPEMIMPINAN SANTRIWATI DI PONDOK PESANTREN PUTRI AL LATHIFIYYAH 1 A.Deskripsi Umum Objek Penelitian…………...…...…... 45
1. Sejarah Pondok Pesantren……… 45
2. Letak Geografis Pondok Pesantren………47
3. Rekapitulasi Data Santri………..48
B.Deskripsi Hasil Penelitian……….…………49
1. Latar Belakang Pendidikan Kepemimpinan Santriwati..49
C.Teori Konstruksi Sosial dan Teori Feminisme dalam Pendidikan
Kepemimpinan Santriwati di Pondok Pesantren Putri Al
Lathifiyah 1………91
BAB IV: PENUTUP
A. Kesimpulan……….. 98
B. Saran……… 100
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
1. Pedoman Wawancara
2. Dokumen Lain Yang Relevan
3. Jadwal Penelitian
4. Surat Keterangan (bukti melakukan penelitian)
1 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pondok pesantren putri Al Lathifiyyah 1 merupakan Pondok Pesantren
yang berada di Dusun Tambakrejo, Desa Tambakberas, Kecamatan Jombang,
Kabupaten Jombang. Pondok pesantren tersebut sangat lah berbeda dengan
pesantren lainya. Santriwati di Pondok Pesantren ini tidak hanya diberikan
pelajaran agama saja, akan tetapi ada tambahan kegiatan ekstra. Di
antaranya, pelatihan kepemimpinan, pelatihan kader da’iyah, Keorganisasian,
Aswaja dan Jam’iyatul Qurra’ Wal Huffadz ( JQ).
Kegiatan ekstra tersebut dilakukan secara bergantian setiap malam
selasa dan malam jum’at. Misalnya, kegiatan Bina Kader Da’yah ( BKD)
dilakukan pada malam selasa di minggu pertama yang dibimbing langsung
oleh Ibu Imadul Ummah atau biasa dikenal dengan nama neng yayang.
Biasanya materi yang diajarkan dalam kegiatan tersebut adalah latihan
berpidato yang baik atau latihan berkhitobah. Kegiatan tersebut biasanya
diikuti oleh santri yang berminat dan memiliki bakat di bidang da’iyah.
Selanjutnya yakni kegiatan Jam’iyatul Qurra’ Wal Huffadz ( JQ)
dilakukan pada setiap malam Jum’at yang dibimbing langsung oleh Bapak
As’adi. Biasanya santriwati diajarkan Qiro’ah dan sholawat. Kegiatan
tersebut biasanya diikuti oleh santriwati yang berminat dan memiliki bakat di
diwajibkan untuk diikuti oleh santri baru. Biasanya kegiatan tersebut
dilakukan pada hari libur sekolah. Adapun pembimbing atau Pembina dalam
kegiatan pelatihan kepemimpinan setiap tahun berbeda.
Dalam kegiatan keorganisasian biasanya lebih difokuskan pada daerah
asal santriwati. Misalnya, santriwati asal daerah lamongan bergabung dengan
organisasi daerah lamongan yang diberi nama Himpunan Santri Lamongan
(HISLA). Adapun kegiatan yang dilakukan tergantung dari program kerja
dari masing- masing organisasi daerah.
Tidak hanya untuk organisasi daerah saja, untuk pengurus harian
pondok pesantren juga diberikan banyak pelatihan tentang keorganisasian. Di
antaranya, pelatihan persidangan, pelatihan membuat laporan pertanggung
jawaban dan rapat kerja. Adapun untuk hari- hari biasa tetep dilakukan
kegiatan rutinan mengaji kitab- kitab kuning.
Dari keseluruhan kegiatan ekstra di Pondok Pesantren tersebut,
pelatihan kepemimpinan lah yang paling diutamakan. Hal Ini terlihat dari
keaktifan Santriwati di organisasi daerah (ORDA). Tidak hanya itu, sebagian
Santriwati yang menjabat sebagai pengurus harian juga diberikan pelatihan
kepemimpinan dan keorganisasian. Oleh karena itu, Pondok Pesantren ini
terlihat unik dan berbeda dari Pondok Pesantren Pada umumnya.
Kecenderungan Santriwati untuk aktif dalam organisasi adalah
berawal dari pengasuh Pondok Pesantren yaitu bu Nyai Machfudloh Aly
3
Beliau mulai menjabat sebagai anggota DPR RI pada tahun 1987 yang
diusung oleh partai persatuan pembangunan (PPP).1 Dari pengalaman beliau
tersebut, para santri diharapkan untuk turut aktif dalam kegiatan
keorganisasian. Walaupun santri di Pondok Pesantren tersebut seluruhnya
perempuan, tidak menutup kemungkinan mereka untuk aktif dalam dunia
publik. Asumsinya, ketika Santriwati lulus nantinya minimal mereka bisa
memimpin masyarakat dalam organisasi masyarakat (ORMAS) di daerah
asal mereka masing- masing.
Dari bentuk pendidikan kepemimpinan di pondok pesantren tersebut,
banyak prestasi yang telah dicapai. Seperti ibu Ida Fauziyah yang bisa
menjadi anggota DPR RI, ada juga santri yang pernah menjuarai lomba
pidato bahas arab. Dari pemaparan unik di atas, peneliti ingin meneliti lebih
lanjut mengenai pendidikan kepemimpinan Santriwati di Pondok Pesantren
Putri Al Lathifiyyah 1 Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dari isu sosial di atas, dapat diambil fokus
permasalahan sebagai berikut:
1. Apa yang melatar belakangi pendidikan kepemimpinan santriwati di
Pondok Pesantren putri Al Lahifiyyah 1 Tambakberas Jombang?
2. Bagaimana Bentuk Pendidikan kepemimpinan santriwati Pondok
Pesantren Putri Al Lathifiyyah 1 Bahrul ‘ ulum Tambakberas Jombang?
1
3. Bagaimana pandangan santri terhadap pendidikan kepemimpinan di
Pondok Pesantren Putri Al Lathifiyyah 1 Bahrul ‘Ulum Tambakberas
Jombang?
C. Tujuan Penelitian
Dari fokus permasalahan dan penelitian di atas, tujuan dilakukannya
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui latar belakang pendidikan kepimimpinan santriwati di
Pondok Pesantren Putri Al Lathifiyyah 1 Bahrul ‘Ulum Tambakberas
Jombang.
2. Mengetahui bentuk pendidikan kepemimpinan santriwati di Pondok
Pesantren Putri Al Lathifiyyah 1 Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang.
3. Mengetahui bentuk pendidikan kepemimpinan santriwati di Pondok
Pesantren Putri Al Lathifiyyah 1 Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian yang akan dilakukan ini, diantaranya
adalah sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
a. Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan, pengetahuan
dan pengalaman khususnya di bidang Sosiologi.
b. Untuk dapat mengaplikasikan keilmuan yang telah didapat di bangku
5
terutama bagi mahasiswa Prodi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik UIN Sunan Ampel Surabaya.
2. Manfaat Praktis
a. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi kepada para
santriwati Al Lathifiyyah 1 tentang pendidikan kepemimpinan yang
diajarkan di pondok pesantren tersebut.
b. Untuk dapat memberikan masukan bagi santri dan pengelola
pendidikan kepemimpinan di pondok pesantren putrid Al
Lathifiyyah 1 agar terus berinovasi mengembangkan model- model
pelatihan kepemimpinan yang mereka lakukan.
c. Bagi peneliti lainya dapat memberikan kontribusi pengetahuan dan
wawasan sehingga dapat melakukan penelitian lainya.
E. Definisi Konseptual
Konsep- konsep yang peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Politik
Meskipun terdapat berbagai definisi politik.2 Dalam penelitian ini
yang dimaksud dengan definisi politik di sini adalah keikutsertaan
masyarakat dalam pembuatan kebijakan atau partisipasi dalam
pembangunan. Pendidikan kepemimpinan yang diberikan kepada
santriwati akan menjadi bekal bagi mereka untuk ikut dalam politik.
2
2. Kesetaraan Gender
Adi genawan mendefinisikan gender sebagai jenis kelamin. Tetapi
sebenarnya gender adalah peran sosial yang diberikan oleh masyarakat
laki- laki dan perempuan. Kesetaraan gender adalah pemberian
kesempatan bagi laki- laki dan perempuan untuk berpartisipasi dalam
pembangunan dan kemanfaatan hasilnya. Dalam hal ini kesetaraan gender
yang dimaksud yaitu peran santriwati dalam pendidikan kepemimpinan
dan keikutsertaan dalam dunia organisasi.
3. Pendidikan Kepemimpinan.
Pendidikan adalah pembelajaran pengetahuan, keterampilan, dan
kebiasaan sekelompok orang yang diturunkan dari satu generasi ke
generasi berikutnya melalui pengajaran, pelatihan, atau penelitian.
Pendidikan sering terjadi di bawah bimbingan orang lain, tetapi juga
memungkinkan secara otodidak.3
Sedangkan Kepemimpinan adalah perilaku dengan tujuan tertentu
untuk mempengaruhi aktivitas para anggota kelompok untuk mencapai
tujuan bersama yang dirancang untuk memberikan manfaat individu dan
organisasi, sehingga dalam suatu organisasi kepemimpinan merupakan
faktor sangat penting dalam menentukan pencapaian tujuan yang telah
ditetapkan oleh organisasi.4
3
Dewey, John (1916/1944). Democracy and Education. The Free Press. hal. 1–4. 4
7
Yang dimaksud dalam pendidikan kepemimpinan di penelitian ini
adalah pembelajaran untuk mencetak santri sebagai seorang pemimpin.
4. Santriwati
Santriwati merupakan sebutan bagi para siswi yang belajar
mendalami agama di pesantren. Menurut Zamakhsyari Dhofir, Santri
adalah murid- murid yang tinggal di dalam pesantren. Mereka belajar
untuk memahami kitab – kitab kuning atau kitab- kitab klasik pada
umumnya. Santri terdiri dari dua kelompok yaitu: Santri mukim dan
Santri kalong atau tidak mukim. Santri mukim adalah santri yang
menetap di pesantren. Sedangkan santri kalong adalah santri yang tidak
menetap di pesantren dan pulang ke rumah. Akan tetapi, mereka bisa
bersekolah di lingkungan pesantren. Adapaun yang peneliti fokuskan
dalam penelitian ini adalah santri yang mukim di pesantren.
Di pesantren, para santri ini mengurus sendiri keperluan mereka sehari- hari. Mereka mendapat fasilitas yang sama, dan diwajibkan menaati peraturan yang sama pula. Peraturan – peraturan ini ditetapkan oleh pesantren. Apabila ada pelanggaran, maka santri akan dikenakan sanksi sesuai dengan bobot pelanggaran yang dilakukan.5 Santriwati yang dimaksud di sini adalah Santriwati yang aktif sebagai pengurus harian pondok pesantren, pengurus berbagai organisasi daerah dan santriwati aktif di pondok Pesantren Al Lathifiyyah 1 Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang.
5
F. Kajian Pustaka
Penelitian yang relevan dengan penelitian ini tentu dapat membantu
dalam memenkan fokus penelitianya. Berikut ini adalah penelitian-
penelitian yang terkait dengan penelitian ini:
1. Penelitian dengan judul “Peran Pondok Pesantren Sebagai Basis
Pendidikan Karakter Kepemimpinan Santri (Studi Deskriptif di Pondok Pesantren Darunnajah Ulujami Pesanggrahan, Jakarta Selatan)”6
, penelitian ini dilakukan oleh Gita Chinintya Gunawan pada
tahun 2014. Penelitian ini menjelaskan bahwa di pondok pesantren
Darunnajah terdapat program kegiatan ekstra kurikuler di antaranya,
leadership, kepramukaan, organisasi Darunnajah (OSDN), panggung
gembira, pidato tiga bahasa ( bahasa arab, Inggris dan Indonesia) melalui
pendidikan 24 jam. Hal ini dilakukan untuk menanggulangi krisis
kepemimpinan yang terjadi di kota Jakarta. Akan tetapi, dalam
pelaksanaan program ekstra kurikuler tersebut banyak menuai hambatan.
Pendidikan ekstra kurikuler yang dilakukan melalui pendidikan 24 jam itu
membuat santri tidak betah dengan pesantren. Penyebab tidak betahnya
santri di pesantren di antaranya adalah letak kota Jakarta yang kurang
kondusif dan padatnya kegiatan santri sehingga tidak bisa membagi waktu
dengan baik. Jadi, meskipun pesantren memprogramkan pendidikan
6
9
karakter kepemimpina dengan baik, pada dasarnya efek dari program
tersebut masih belum maksimal.
Pada skripsi tersebut, memiliki perbedaan dengan skripsi yang
ditulis oleh peneliti. Kajian yang peneliti ambil adalah para santriwati yang
menjadi pengurus harian pondok pesantren, pengurus organisasi berbagai
daerah dan santriwati aktif dalam pondok pesantren tersebut.
Sebagimana dapat dilihat dari letak perbedaan pada pada penelitian
terdahulu yang peneliti angkat dari penelitian terdahulu. Peneliti,
menggunakan penelitian terdahulu dengan tujuan untuk membandingkan
antara kajian yang peneliti ambil dengan dengan kajian yang terdapat pada
penelitian terdahulu sehingga dapat diketahui perbedaan pada penelitian
tersebut dan tidak dianggap sebagai plagiasi.
Dalam Pondok Pesantren tersebut, program ekstra kurikuler yang
digagas adalah pelatihan kepemimpinan, keorganisasian, pelatihan pidato
dan pelatihan Qiro’ah. Pelaksanaanya juga tidak menganggu kegiatan
belajar mengajar yakni setiap 2 kali sehari dalam satu minggu ( malam
selasa dan malam jum’at ). Jadi, tidak ada alasan bagi santriwati untuk
tidak bisa mengatur waktu mereka. Tujuan yang diharapkan oleh pesantren
minimal santriwati pada saat sudah lulus minimal dapat memimpin
2. Penelitian dengan judul” Manajemen Pondok Pesantren Putri
Ujungharapan Bahagia Bekasi”7
penelitian ini dilakukan oleh Siti
Badriyah pada tahun 2008. Penelitian ini menjelaskan bahwa di pondok
pesantren at taqwa putri memprogramkan santri untuk aktif dalam bidang
pengorganisasian, perencanaan dan pengawasan pesantren. Melalui
kegiatan tersebut santri dapat menjadi muslimah yang berdzikr dan berfikr
maju dalam berbagai aspek terutama dalam aspek keagamaan.
Titik perbedaan dengan penelitian yang peneliti ambil adalah
pendidkan kepemimpinan di pondok pesantren putrid Al Lathifiyyah 1
Tambakbersa Jombang lebih menfokuskan pada kemampuan memimpin
dan berorganisasi dlam berbagai bidang tidak hanya dalam aspek
keagamaan saja. Penelitian ini lebih rinci dalam pemrogramanya. Misalnya
dalam bentuk pelatihan khitobah dan organisasi berbagai daerah.
G.Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan suatu cara atau proses yang digunakan
di dalam melakukan penelitian. Sebagaimana metode penelitian dibutuhkan
oleh peneliti untuk tahapan di dalam melakukan penelitian. Menurut Dedy
Mulyana metode adalah proses, prinsip dan prosedur yang kita gunakan
untuk mendekati problem dan mencari jawaban. Dengan kata lain,
metodologi adalah suatu pendekatan umum untuk mengkaji topik penelitian.8
7
Siti Badriyah, Manajamen Pondok Pesantren At Taqwa Putri Ujungharapan Bekasi. (SH. Skrip, Universitas Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008)
8
11
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
a. Pendekatan
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan
penelitian kualitatif. Metodologi kualitatif sering disebut dengan
metode penelitian naturalistik karena penelitianya dilakukan pada
kondisi yang alamiah.9
Metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang
digunakan untuk meneliti objek yang alamiah. Di mana peneliti
merupakan instrument kunci. Teknik Pengumpulan data dilakukan
secara triangulasi, Analisis data bersifat induktif. Sebagai penelitian
kualitatif, maka dalam penjelasan hasil penelitian, peneliti lebih
menekankan pada makna spesifik dari pada membuat generalisasi.10
Menurut Bodgan dan Taylor metodologi kualitatif adalah
prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif kualitatif
berupa kata- kata tertulis atau lisan dari orang- orang atau perilaku
yang diamatinya.11 Sebagaimana dalam metode penelitian kualitatif
itu sendiri, analisis datanya tidak menggunakan analisis statistik.
Alasan peneliti memilih metode penelitian kualitatif adalah
untuk mengkaji lebih dalam dan mendeskripsikan pendidikan
9
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif ( Bandung: Alfabet, 2010), 1. 10
Ibid . 11
kepemimpinan yang ada di pondok pesantren Al Lathifiyyah 1 secara
lebih detail.
b. Jenis Penelitian
Jenis penelitian dalam penelitian ini, peneliti menggunakan
format penelitian deskriptif kualitatif. Pada umumnya dilakukan pada
penelitian dalam bentuk studi kasus, memusatkan pada suatu unit
tertentu dari berbagai fenomena.12 Dari ciri yang demikian itu,
memungkinkan studi ini menjadi penelitian mendalam. Dengan kata
lain, kedalaman data yang menjadi pertimbangan dalam penelitian
model ini.
Pada cirinya yang lain, deskriptif kualitatif studi kasus
merupakan penelitian eksplorasi dan memainkan peranan yang amat
penting dalam menciptakan hipotesis atau pemahaman orang tentang
berbagai variabel sosial.
2. Lokasi dan Waktu Penelitian
a. Lokasi Penelitian
Lokasi yang dipilih oleh peneliti adalah Pondok Pesantren
Putri Al Lathifiyyah 1 Bahrul Ulum Tambakberas Jombang, terletak
di Dusun Tambakberas, Desa Tambakrejo, Kecamatan Jombang,
Kabupaten Jombang, Propinsi Jawa Timur, tepatnya ± 3 Km sebelah
utara kota Jombang. 12
13
Alasan peneliti memilih lokasi ini karena di pondok pesantren
Al Lathifiyyah 1 ini terkenal dengan pondok yang memproduksi para
pemimpin wanita.
b. Waktu Penelitian
Dalam Penelitian ini, waktu yang dibutuhkan kurang lebih 3
bulan. Diperkirakan antara bulan November sampai dengan bulan
Januari.
3. Pemilihan Subjek Penelitian
Subjek penelitian merupakan pihak–pihak yang menjadi
pendukung dalam mencari data dan menentukan permasalahan dalam
penelitian. Secara ilmiah pihak – pihak yang menjadi sumber data disebut
informan.
Menurut Moleong, jika sudah mulai terjadinya pengulangan
informasi, maka penarikan sampel harus dihentikan.13 Oleh karena itu,
ketika memperoleh jawaban yang sama dari beberapa informan, maka
pertanyaan yang sama tidak diulangi pada informan berikutnya.
Menurut sumber data dalam penelitian ini dapat dibedakan menjadi
dua yaitu, data primer dan data sekunder. 14
1. Data Primer
13
Lexy J Moleong, Penelitian Metode Kualitatif,( Bandung: Remaja Rosda Karya, 1998), 225. 14
Data primer ialah data yang diperoleh secara langsung dari
sumber data pertama di lapangan yakni berupa hasil wawancara
langsung dari dari informan yang diteliti.
Data ini adalah data dari hasil observasi dan wawancara
peneliti. Sebelumnya peneliti menyusun pertanyaan terlebih dahulu
sebelum lapangan untuk melakukan wawancara. Di sini peneliti harus
bisa memilih siapa yang akan dijadikan informan sehingga peneliti
bisa mendapatkan informasi dan keterangan sebanyak mungkin sesuai
dengan kebutuhan.
Wawancara dilakukan peneliti dengan mendatangi pondok
pesantren yang sudah ditentukan oleh peneliti membantu memberikan
informasi yang relevan. Dalam subjek penelitian ini peneliti
mengambil key informan di antaranya sebagai berikut:
1. Pengasuh Pondok Pesantren
2. Pengurus harian Pondok Pesantren.
3. Pengurus berbagai organisasi daerah.
4. Santriwati.
2. Data Sekunder
Data sekunder atau (secondary data) atau sumber data
15
oleh pembuatnya sebagai dokumen sejarah atau dokumen sejarah atau
dokumen tertulis yang diabadikan.15
Data ini sebagi pelengkap atau pendukung adanya data utama
dari informasi yang diperoleh dari peneliti di lokasi penelitian yaitu di
Pondok Pesantren Putri Al Lathifiyyah 1 Bahrul ‘Ulum Tambakberas
Jombang. Data ini berupa arsip pondok pesantren berupa profil
Pondok Pesantren Putri Al Lathifiyyah 1 Bahrul ‘Ulum Tambakberas
Jombang dan arsip kepengurusan serta arsip organisasi berbagai
daerah ( ORDA).
4. Tahap–tahap Penelitian
Dalam penelitian yang mana juga menggunakan beberapa tahapan
yang sesuai dengan prosedur atau cara penelitian yang benar. Tahapan
dalam penelitian itu sendiri meliputi:
a. Tahap Pra-Penelitian
Tahap pra lapangan ini merupakan tahap yang digunakan oleh
peneliti sebelum masuk ke lapangan objek studi. Informasi tentang
pendidikan kepemimpinan di atas belum cukup banyak diketahui
peneliti. Sehingga peneliti terdorong untuk melakukan penelitian di
Pondok Pesantren Putri Al Lathifiyyah 1 Bahrul ‘Ulum Tambakberas
Jombang untuk menggali informasi seputar pendidikan kepemimpinan
di Pondok Pesantren tersebut. Adapun tahap pra lapangan itu sendiri
dapat dilihat di antaranya sebagai berikut:
15
1. Peneliti mengkaji suatu permasalahan yang ada di lingkungan
sekitar untuk dijadikan tema penelitian yang menarik. Setelah
menemukan permasalahan, peneliti mengangkat tema di atas.
2. Melakukan perizinan penelitian untuk mempermudah dan demi
kelancaran pada saat melakukan penelitian.
b. Tahap Penelitian Lapangan
Dalam tahap penelitian lapangan ini, di mana tahap yang
digunakan oleh peneliti untuk terjun ke lapangan guna meneliti objek
studi. Tahap pekerjaan lapangan merupakan suatu proses awal yang
berkelanjutan dalam sebuah penelitian. Pada tahap ini peneliti akan
melakukan penelitian baik kepada setiap informan maupun lokasi
penelitian yang bersangkutan. Sebagaimana tahap pekerjaan lapangan
ini peneliti masuk di dalam proses penelitian yang perlu diperhatikan
oleh peneliti adalah menjalin hubungan atau interaksi terlebih dahulu
dengan subjek atau informan. Dengan begitu akan mempermudah
peneliti dalam penggalian data.
Setelah peneliti menggali data, dilanjutkan pada proses
pengumpulan data. Tahap pekerjaan lapangan ini dilakukan oleh
peneliti dalam proses penggalian data yang digunakan untuk
memperoleh data dan digunakan untuk memperoleh data yang
17
c. Tahap Penulisan Laporan
Tahap penulisan laporan merupakan tahap terakhir dari berbagai
tahapan di dalam penelitian. Setelah semua data terkumpul dalam
tahapan penelitian lapangan, penulis membuat laporan berdasarkan
hasil penelitian.
5. Teknik Pengumpulan Data
Dalam teknik pengumpulan data merupakan suatu upaya sistematik
untuk memperoleh informasi tentang objek penelitian. Penelitian ini
digunakan dua macam teknik pengumpulan data yaitu:
a. Metode Observasi
Di dalam tahapan observasi ini tidak hanya langsung melihat
saja melainkan juga perlu keaktifan untuk meresapi, mencermati,
mengamati, memaknai fenomena pendidikan kepemimpinan pondok
pesantren tersebut dan akhirnya mencatat. Peneliti melakukan
pengamatan baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap
objek penelitian. Instrument yang dapat digunakan yaitu lembar
pengamatan dan panduan pengamatan. Beberapa informasi yang
diperoleh dari hasil observasi antara lain: ruang ( tempat), pelaku,
kegiatan, objek, perbuatan, kejadian, waktu dan perasaan. Penelitian
ini dilakukan untuk menyajikan gambaran realitas perilaku atau
kejadian, menjawab pertanyaan, membantu mengerti perilaku manusia
b. Metode Interview (Wawancara)
Metode ini merupakan metode pengumpulan data dengan cara
wawancara atau Tanya jawab.16 Wawancara digunakan sebagai tehnik
pengumpulan data apabila peneliti ingin menlakukan studi
pendahuluan untuk menemukan permasalahan yang harus diteliti.,
tetapi juga apabila peneliti ingin mengetahui responden lebih
mendalam.17
Wawancara ini dilakukan untuk memperoleh data yang
mendalam. Peneliti mewawancarai pengasuh dan pengurus harian
pondok pesantren, pengurus berbagai organisasi daerah dan santriwati.
Adapun aspek- aspek wawancara dalam penelitian ini
dibedakan mulai dari pengasuh, pengurus harian, pengurus organisasi
daerah dan santri biasa. Aspek wawancara kepada pengasuh meliputi
latar belakang pendidikan kepemimpinan, bentuk- bentuk pendidikan
kepemimpinan, mulai kapan pendidikan kepemimpinan diajarkan,
manfaat dan harapan yang diinginkan pengasuh. Selanjutnya aspek
wawancara kepada pengurus harian di antaranya tentang pelaksanaan
pendidikan kepemimpinan, kendala, pembimbing yang mengampu
pelatihan tersebut apa selalu tetap atau berganti dan prestasi.
Selanjutnya yakni aspek wawancaraa kepada pengurus
organisasi daerah yaitu alasan mengapa santri terjun ke organisasi
16
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif, ( Bandung: Alfabeta,2011), 137. 17
19
daerah, alasan minat santri terhadap organisasi daerah, program –
program apa saja yang diagendakan, kendala yang dialami selama
menjadi pengurus.
c. Metode Dokumentasi
Dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu.
Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar atau karya – karya
monumental dari seseorang. Mislanya, biografi, foto, gambar, sejarah
kehidupan dan film.18 Dokumentasi dalam penelitian ini berupa foto-
foto pelaksanaan kegiatan pendidikan kepemimpinan,Arsip
kepengurusan pondok pesantren, organisasi berbagai daerah dan
sejarah pondok pesantren.
6. Teknik Analisa Data
Teknik analisa data merupakan suatu proses untuk mencari dan
menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara,
catatan lapangan dan dokumentasi dengan cara mengorganisasikan data ke
dalam kategori. Menjabarkan ke dalam unit- unit, melakukan sintesa,
menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan akan
dipelajari, dan membuat kesimpulan sehingga mudah dipahami oleh diri
sendiri ataupun orang lain.19
18
Ibid.,82.
19
Dari data- data yang telah diperoleh peneliti memilih mana data
yang relevan. Kemudian menganalisis sesuai dengan kategori tertentu
yang sesuai dengan penelitian pendidikan kepemimpinan tersebut.
7. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data
Teknik pemeriksaan keabsahan data dalam penelitian ini
menggunakan teknik triangulasi sebagai teknik untuk mengecek keabsahan
data. Di mana dalam pengertianya triangulasi adalah teknik pemeriksaan
keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain dalam
membandingkan hasil wawancara terhadap objek penelitian. 20 Teknik
pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar
data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap
data itu. Triangulasi yang digunakan adalah:
a. Triangulasi sumber dilakukan dengan cara membandingkan apa yang
dikatakan orang di depan umum dengan apa yang dikatakanya secara
pribadi, dan membandingkan preespektif seseorang dengan berbagai
pendapat dan pandangan orang lain.
b. Triangulasi metode dan pengumpulan data peneliti melakukan dengan
cara membandingkan data yang diperoleh melalui teknik
pengumpulan. Mulai dari data hasil pengamatan, wawancara dan
dokumentasi. Data yang berbeda dan pengecekan derajat kepercayaan
beberapa sumber data dengan metode yang sama. Triangulasi metode
20
21
tertuju pada kesesuaian antara data yang diperoleh dengan teknik yang
digunakan.
c. Triangulasi teori, Pengecekan data dilakukan dengan membandingkan
teori–teori yang dihasilkan para ahli yang dianggap sesuai dan
sepadan melalui penjelasan banding, kemudian hasil penelitian
dikonsultasikan dengan subjek penelitian sebelum dianggap
mencukupi.
H. Sistematika Pembahasan
Untuk mempermudah pembahasan serta pemahaman dalam
penyusunan proposal skripsi ini, maka penulis membahasnya dengan
sistematika sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN, Merupakan tahapan awal dasar dari proposal penelitian ini. Yang meliputi, latar belakang masalah, rumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, definisi konseptual
dan sistematika pembahasan.
BAB II : PENDIDIKAN KEPEMIMPINAN SANTRIWATI PRESPEKTIF TEORI KONSTRUKSI SOSIAL DAN FEMINISME LIBERAL. Dalam bab ini, peneliti mengkaji tentang teori yang digunakan di
dalam penelitian tersebut. Sebagaimana teori yang sesuai dengan
tema yang diangkat oleh peneliti.
LATHIFIYYAH. Dalam bab ini dijelaskan mengenai deskripsi
umum objek penelitian, deskripsi hasil penelitian dan analisis
data. Sebagaimana di dalam analisis data tersebut peneliti
menjelaskan tentang data yang telah diperoleh di lapangan
sebagaimana dapat menjawab permasalahan yang diangkat oleh
peneliti. Hasil data yang sudah ditemukan oleh peneliti dibentuk
analisis deskriptif dengan mendeskripsikan hasil penelitian.
Kemudian setelah dianalisis dikolerasikan dengan teori yang
relevan dan sesuai.
23 BAB II
PENDIDIKAN KEPEMIMPINAN PERESPEKTIF TEORI KONSTRUKSI SOSIAL DAN TEORI FEMINISME LIBERAL
Untuk menjelaskan pendidikan kepemimpinan santriwati, dalam
penelitian ini peneliti menggunakan dua teori yaitu teori Konstruksi Sosial
dan teori Feminisme Liberal. Teori konstruksi sosial ini akan menjelaskan
pendidikan kepemimpinan santri pondok pesantren putri Al Lathifiyyah 1. Teori
ini relevan karena mampu menjelaskan tentang realitas pendidikan
kepemimpinan santriwati yang dikonstruk sejak awal oleh pengasuh. Sedangkan
teori feminisme liberal relevan untuk menjelaskan pendidikan kepemimpinan
santriwati ini karena melalui pendidikan ini perempuan juga memiliki hak yang
sama.
A. Teori Konstruksi Sosial
Teori Konstruksi Sosial digagas oleh Peter L. Berger dan Thomas
Luckmann, Peter L.Berger merupakan sosiolog dari New School for Social
Research, New York, Amerika Serikat. sementara Thomas Luckmann adalah
sosiolog dari University of Frankfurt. Jerman. Pada tahun 1962 mereka
menulis buku “ The Social Construction of Reality, A Treatise in the
suatu kajian teoretis dan sistematis mengenai sosiologi pengetahuan.1 Akan
tetapi, Peter L Berger lebih dominan dalam menjelaskan teori ini.
Peter L Berger adalah seorang sosiolog yang mengajar Etika Sosial
di Hartford Seminary Foundation.2 Pada saat itu, dia menulis buku tentang
sosiologi agama. Kajian dalam buku ini membahas tentang fungsi atau posisi
kritis sosiologi agama yang berhadapan dengan perkembangan teologis
ummat Kristen Barat.Menurutnya, terdapat sekularisasi dalam perkembangan
teologis. Pada saat itu, sektor publik modern mulai mengalami pluralisasi
ideologi. Sehingga pemikiran masyarakat pada saat itu lebih bergeser pada
privat individu – individu, akibatnya nilai- nilai teologis mulai luntur.
Setelah mengajar di Hartford Seminary Foundation, Berger diangkat
menjadi Professor di New School For Social Research, New York yang
merupakan pusat gerakan fenomenologi di Amerika Serikat. Salah satu tokoh
dalam gerakan ini adalah Alferdz Scutzh, yang juga merupakan guru besar
di bidang ilmu- ilmu sosial. Fenomenologi merupakan teori yang lahir
sebagai teori tandingan terhadap teori – teori yang berada dalam paradigma
fakta sosial, terutama yang digagas oleh Emile Durkheim. Pada mulanya
teori sosial ini dikembangkan oleh Max Weber, meskipun pada awalnya teori
ini merupakan teori tentang kefilsafatan yang diungkapkan oleh Hegel,
Hurssel dan kemudian oleh Alferd Schutz dan melalui sentuhan Weber teori
ini menjadi teori sosial yang handal digunakan sebagai analisis fenomena
1
Burhan Bungin,Sosiologi Komunikasi : Teori Paradigma dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat, ( Jakarta : Kencana Prenada, 2007), hal 188 - 189
2
25
sosial. Adapun cara berfikir berfikir fenomenologi sendiri dimulai dari
kenyataan kehidupan sehari- hari sebagai realitas utama gejala
bermasyarakat.3 Gerakan fenomenologi tersebut mempengaruhi Berger
dalam gagasan teori konstruksi sosial, karena di situlah tempat Berger
bekerja.
Pada awalnya, Berger memulai dengan observasi. Situasi sosiologi di
Amerika dengan menggunakan pendekatan positivistis, yang sudah menjadi
tradisi ilmu- ilmu sosiologi di sana. Perkembangan teori- teori sosial
dipengaruhi oleh pengaruh pemikiran model rasionalitas teknokratis yang
dianut oleh para teknokrat, politisi, birokrat dan kelompok – kelompok
professional serta ilmuwan- ilmuwan dari disiplin ilmu lainya. Akan tetapi,
pada saat itu ilmu- ilmu sosial hanya dikembangkan dalam teoretis saja dan
perekayasaan sosial. Maka dari itu, perkembangan keilmuan di sana
mengalami kemunduran dan tidak berkembang. Sosiologi alternative dan
seperti sosiologi interpretatife atau humanistis yang menempatkan kegiatan
sosial sebagai bagian dari kegiatan manusia konkret yang multidimensional
yang dimengerti oleh filsafat manusia. Manusia- manusia konkret dengan
segala problematikanya menjadi titik tolak pencarian hakikat masyarakat
sebagai tugas utama pengembangan sosiologi.
Berger diuntungkan dengan adanya kemampuan penguasaan bahasa
Eropa dan memiliki akses ke sumber sosiologi di Eropa, terutama karya Max
3
Weber dan Emile Durkheim. Di samping itu, ia juga mempunyai akses pada
sumber- sumber awal karya sosiologi pengetahuan dalam bahasa Inggris dan
digunakan di kalangan ahli sosiologi di Eropa. Oleh karena itu Berger
meminta bantuan para pakar New School untuk membantu menerangkan
tentang literature kontinental di Eropa. Akhirnya Berger mengetahui kalau
pada saat itu situasi ilmu sosial di Amerika sedang memendam problematika
pertikaian metodologis yang mirip dengan situasi konflik metodologis pada
akhir abad ke -19 dan awal abad ke-20 di lingkungan intelektual Eropa
(khususnya di Jerman) Ketika Max Weber tampil sebagai tokoh yang
mempertahankan posisi humanistis sebagai subdisiplin ilmu humaniora.
Dalam situasi konflik itu, Weber berusaha mensintesakan pendekatan
positivistis dan pendekatan idealistis untuk membangun pendekatan ilmu-
ilmu sosial yang khas.
Dari situ lah Berger mulai berusaha mengembalikan status ekonomi
sosiologi dari dominasi ilmu- ilmu alam dan ideologi politik. Sosiologi
dikembalikan pada fungsi aslinya yaitu sebagaimana dikehendaki Weber
sebagai sarana teoretis untuk memahami serta menafsirkan secara
bertanggungjawab atas masalah- masalah peradaban manusia. Sementara itu
fenomenologi memberi makna baru dalam sosiologi pengetahuan.
Dalam konsep teoretisi lebensnswelt (terjemah Inggris, life – world
dan dalam terjemahan bahasa Indonesia dunia kehidupan) dalam tradisi
fenomenologi mengandung pengertian ‘dunia’ atau semesta yang kecil, rumit
27
manusia dan nilai-nilai yang dihayati. “ Lebenswelt” itu merupakan realitas
orang- orang biasa yang dalam fenemenologi dapat dikatakan bahwa dalam
“ Lebenswelt” terdapat gejala- gejala sosial yang harus didiskripsikan. Tugas
pemikirlah termasuk ahli sosiologi yang untuk menemukan hakikat
masyarakat di balik gejala- gejala sosial yang kompleks itu. Berger
kemudian yakin bahwa bersosiologi itu harus mengikuti proses berpikir
seperti yang dituntut oleh fenomenologi yakni dimulai dengan kenyataan
kehidupan sehari – hari sebagai utama gejala bermasyarakat. Dari situlah
lahir karya Berger yang membahas tentang sosiologi pengetahuan yaitu
“The Social Construction of Reality, A Treatise in the Sociological
Knowladge.4
Berikut ini usaha Berger dalam mendefinisi ulang tentang hakikat dan
peranan sosiologi pengetahuan: 5
1. Usaha mendefinisikan kembali “kenyataan” dan “pengetahuan” konsteks
sosial sebuah teori sosiologis harus mampu menjelaskan, sehingga kita
memahami bagaimana kehidupan massyarakat itu terbentuk dalam proses
terus menerus setiap hari, yang dalam pengertian sehari- hari dinamakan
pengalaman masyarakat. Karena gejala- gejala sosial itu ditemukan
dalam pengalaman dalam masyarakat yang terus- menerus berproses,
maka perhatian terarah pada bentuk – bentuk penghayatan kehidupan
bermasyarakat secara menyeluruh dengan segala aspeknya (kognitif,
4 Ibid. 5
psikomotoris, emosional dan intuitif). Dengan kata lain kenyataan sosial
itu terbentuk dengan adanya interaksi, pergaulan sosial yang
diungkapkan lewat berbagai tindakan sosial seperti berkomunikasi. Hal
ini dikatakan sebagai kenyataan intersubjektivitas menunjuk pada
struktur kesadaran umum ke kesadaran individual suatu kelompok
khusus yang sedang saling berinteraksi.
2. Cara meneliti pengalaman intersubjektif sehingga ditemukan bangunan
sosial / konstruksi sosial dari kenyataan adalah dengan menyeleksi
kenyataan yang penting- penting saja dan sikap- sikap subjektif yang
wajar dan alamiah seperti yang dilakukan dalam kehidupan sehari- hari.
Perhatian dipusatkan pada proses terbentuknya fakta- fakta sosial atau
gejala sosial. Di mana individu ikut seta dalam proses pembentukan dan
pemeliharaan hubungan sosial tingkat mikro tampak pada komunikasi
tatap muka. Dengan menyeleksi gejala – gejala sosial ini maka yang
diperhatikan dari kenyataan sosial itu adalah aspek perkembangan,
perubahan serta proses tindakan sosial yang membantu untuk memahami
tatanan sosial yang diciptakan sendiri oleh masyarakat dan dipelihara
dalam kehidupan sehari- hari. Norma- norma dan aturan- aturan yang
mengontrol tindakan manusia dan menstabilkan struktur sosial dinilai
sebagai prestasi peneliti.
3. Usaha untuk memahami realitas sosial dalam masalah pilihan logika
macam manakah yang perlu diterapkan dalam usaha memahami
29
terus menerus sosiologi pengetahuan memusatkan pada dunia akal sehat
(common sense world) dimana kenyataan sosial didekati dengan
berbagai pendekatan seperti pendekatan mitologis irrasional , pendekatan
filosofis yang bercorak moralistis pendekatan praktis yang bersifat
fungsional ; semua jenis pengetahuan itu membangun struktur dunia akal
sehat. Setelah itu mulailah pendistribusian ke lembaga- lembaga yang
bersangkutan. Dengan pengetahuan manusia yang kompleks, maka
sosiologi didekati dengan membedakan antara kesadaran dan
pengetahuan. Kesadaran menjadikan seseorang lebih mengenal diri
sendiri yang sedang berhadapan dengan kenyataan tertentu. Sedangkan
pengetahuan merupakan kegiatan yang menjadikan suatu kenyataan
menjadi kurang lebih diungkapkan. Oleh karena itu, dalam sosiologi
pengetahuan yang penuh kontradiksi digunakan yang berfikir dengan
dunia akal sehat berpijak pada berfikir secara dialektis. ( tesis, antitesis,
sintesis).
Teori konstruksi sosial memandang masyarakat adalah sebuah produk
dari manusia. Masyarakat tidak mempunyai bentuk lain kecuali bentuk yang
diberikan kepadanya dari aktivitas dan kesadaran manusia. Masyarakat adalah
produk manusia dan manusia adalah produk dari masyarakat, dan sebaliknya
keduanya menggambarkan sifat dialektik inheren dari fenomen masyarakat.6
Proses dialektika dari masyarakat tadi terdiri dari tiga momentum
atau langkah yaitu Eksternalisasi, Objektivasi dan Internalisasi.
6
Eksternalisasi adalah proses pencurahan kedirian manusia secara terus
menerus ke dalam dunia, baik dalam aktivitas fisik maupun mentalnya,
termasuk dengan produk produk sosial yang telah dikenalkan kepadanya.
Karena pada dasarnya individu sejak lahir akan mengenal dan berinteraksi
dengan produk- produk sosial. Sedangkan produk sosial itu sendiri adalah
segala sesuatu yang merupakan hasil sosialisasi dan interaksi di dalam
masyarakat.
Proses ekternalisasi adalah keharusan antropologis, sehingga tatanan
sosial merupakan sesuatu yang telah ada mendahului setiap organisasi
individu. Tatanan sosial yang terjadi secara terus menerus dan selalu diulang
ini merupakan pola dari kegiatan yang mengalami proses pembiasaan
(habitualisasi). Tindakan – tindakan yang dijadikan pembiasaan ini tetap
mempertahankan sifatnya yang bermakna bagi individu dan diterima begitu
saja. Pembiasaan ini membawa keuntungan psikologis karena pilihan
menjadi dipersempit dan tidak perlu lagi setiap situasi didefinisikan kembali
langkah demi langkah. Dengan demikian akan membebaskan akumulasi
ketegangan- ketegangan yang diakibatkan oleh dorongan – dorongan yang
tidak terarah. Proses pembiasaan ini mendahului setiap pelembagaan.
Manusia menurut pengetahuan empiris kita tidak bisa dibayangkan terpisah
dari pencurahan dirinya terus menerus ke dalam dunia yang ditempatinya.7
Manusia merupakan sosok mahluk hidup yang senantiasa
berdialektika dengan lingkungan sosialnya. Dunia sosial, kendati merupakan
7
31
hasil dari aktivitas manusia, namun ia menghadapkan dirinya sebagai sesuatu
yang bersifat eksternal bagi manusia atau sesuatu yang berada di luar diri
manusia.
Realitas dunia sosial yang merupakan pengalaman hidup yang bisa
dijadikan sebagai dasar seseorang untuk pengetahuan dan mengkonstruksi
sesuatu. Realitas sosial, juga mengharuskan seseorang untuk memberikan
responya. Respon seseorang terhadap pranata- pranata sosial yang ada, bisa
berupa penerimaan,penyesuaian maupun penolakan. Bahasa dan tindakan
merupakan sarana bagi seseorang untuk mengkonstruksi dunia sosio
kulturalnya melalui momen eksternalisasi ini. Secara sederhana momen
eksternalisasi dapat dipahami melalui proses visualisasi atau verbalisasi
pikiran dari dimensi batiniah ke dimensi lahiriah. Eksternalisasi merupakan
proses gagasan dari dunia ide ke dunia nyata.
Dalam momen eksternalisasi, realitas ditarik ke dunia individu. Di
dalam momen ini, realitas berupa proses adaptasi melalui teks – teks suci,
kesepakatan ulama, hukum, norma, nilai dan sebagainya yang hal itu ada di
luar diri manusia. Sehingga dalam proses konstruksi sosial melibatkan
momen adaptasi diri atau diadaptasikan antara teks tersebut dengan dunia
sosio – kultural. Adaptasi dapat melalui bahasa, tindakan dan pentradisian
yang dalam khazanah ilmu pengetahuan disebut interpretasi atas teks atau
dogma. Karena adaptasi merupakan proses penyesuaian berdasarkan atas
penafsiran,maka sangat dimungkinkan terjadinya variasi- variasi adaptasi
Objektivasi adalah proses mengkristalkan ke dalam pikiran tentang
Suatu objek, atau segala bentuk eksternalisasi yang telah dilakukan dan
dilihat kembali pada kenyataan di lingkungan secara objektif. Jadi dalam hal
ini bisa terjadi pemaknaan baru ataupun pemaknaan tambahan.
Proses objektivasi merupakan momen interaksi antara dua realitas
yang terpisahkan satu sama lain, manusia di satu sisi dan realitas sosio
kultural di sisi lain. Keduanya seolah terpisah ini kemudian membentuk
jaringan interaksi intersubjektive. Momen ini merupakan hasil dari
kenyataan eksternalisasi yang kemudian mengejawentah sebagai suatu
kenyataan objektif yang unik.
Pada momen ini juga ada proses pembedaan antara dua relaitas, yaitu
realitas individu dan realitas sosial lain yang berada di luarnya, sehingga
realitas sosial itu menjadi sesuatu yang objektif. Dalam proses kontruksi
sosial, proses ini disebut interaksi sosial melalui interaksi sosial melalui
pelembagaan dan legitimasi. Dalam pelembagaan dan legitimasi tersebut,
agen bertugas menarik dunia subjektifitasnya menjadi dunia objektif melalui
interaksi sosial yang dibangun secara bersama. Pelembagaan akan terjadi
manakala terjadi kesepahaman intersubjektif atau hubungan subjek- subjek.8
Selain itu, objektivitas dunia kelembagaan adalah objektivasi yang
dibuat dan dibangun oleh manusia. Proses dimana produk- produk aktivitas
manusia yang dieksternalisasikan itu memperoleh sifat objektivitas. Dunia
kelembagaan merupakan aktivitas manusia yang diobjektivasikan dan begitu
8
33
pula dengan setiap lembaganya.9 Masyarakat adalah produk manusia yang
berakar dari manusia. Berakar dalam fenomena eksternalisasi yang pada
giliranya didasarkan pada konstruksi biologis manusia itu. Transformasi
produk- produk ini ke dalam suatu dunia tidak saja berasal dari manusia,
tetapi yang kemudian menghadapi manusia sebagai sesuatu faktisitas di luar
dirinya, adalah diletakkan dalam konsep objektivitas. Dunia yang diproduksi
manusia yang berada di luar sana memiliki sifat realitas yang objektif. Dan
dapat juga dikatakan bahwa masyarakat merupakan aktivitas manusia yang
diobjektivasikan.10
Di dalam konstruksi sosial, momen ini terdapat realitas sosial
pembeda dari realitas lainya. Objektivasi ini terjadi terjadi karena adanya
proses eksternalisasi. Ketika dalam proses eksternalisasi semua ciri- ciri dan
simbol dikenal oleh masyarakat umum.
Internalisasi adalah individu- individu sebagai kenyataan subjektif
menafsirkan realitas objektif. Atau peresapan kembali realitas oleh manusia,
dan mentransformasikanya sekali lagi dari struktur – struktur dunia objektif
ke dalam struktur- struktur dunia subjektif. Pada momen ini, individu akan
menyerap segala hal yang bersifat objektif dan kemudian akan direalisasikan
secara subjektif. Internalisasi ini berlangsung seumur hidup seorang individu
dengan melakukan sosialisasi. Pada proses internalisasi, setiap individu
9
Peter L Bergerdan Thomas Luckmann, Tafsir Sosial Atas Kenyataan ( Jakarta: LPES, 1991) Hal. 87
10
berbeda- beda dalam dimensi penyerapan. Ada yang lebih menyerap proses
ekstern, ada juga yang lebih menyerap bagian intern. Selain itu, proses
internalisasi dapat diperoleh individu melalui proses sosialisasi primer dan
sekunder.
Sosialisasi primer merupakan sosialisasi awal yang dialami individu
masa kecil, di saat ia diperkenalkan dengan dunia sosial pada individu.
Sedangkan sosialisasi sekunder dialami individu pada usia dewasa dan
memasuki dunia publik, dunia pekerjaan dalam lingkungan yang lebih luas.
Sosialisasi primer biasanya sosialisasi yang paling penting bagi individu, dan
bahwa semua struktur dasar dari proses sosialisasi sekunder harus
mempunyai kemiripan dasar dengan sosialisasi primer.11
Dalam proses sosialisasi, terdapat adanya significant others dan juga
generalized other. Significant other begitu signfikan peranya dalam
menstransformasi pengetahuan dan kenyataan objektif pada individu. Orang
–orang yang berpengaruh bagi individu merupakan agen utama untuk
mempertahankan kenyataan subjektifnya. Orang- orang yang berpengaruh itu
menduduki tempat yang sentral dalam mempertahankan kenyataan. Selain
itu, proses internalisasi yang disampaikan Berger juga menyatakan
identifikasi. Internalisasi berlangsung dengan berlangsungnya identifikasi. Si
anak mengoper peranan dan sikap orang- orang yang mempengaruhinya.
Artinya ia menginternalisasi dan menjadikanya peranan atas sikapnya
11
35
sendiri. Dalam akumulasi proses pengenalan dunianya, si anak akan
menemukan akumulasi respon orang lain ini. Abstraksi dari berbagai peranan
dan sikap orang- orang yang secara konkrit berpengaruh dinamakan orang
lain pada umunya ( generalized other).12
Adapun fase terakhir dari proses internaliasasi ini adalah
terbentuknya identitas. Identitas dianggap sebagai unsur kunci. Dari
kenyataan subjektif, yang juga berhubungan secara dialekstis dengan
masyarakat. Identitas dibentuk oleh proses – proses sosial. Begitu
memperoleh wujudnya, ia dipelihara, dimodifikasi, atau bahkan dibentuk
ulang. Identitas merupakan suatu fenomena yang timbul dari dialektika
antara individu dan masyarakat.13
Ketiga proses yang ada tersebut akan terus berjalan dan saling
berkaitan satu sama lain, sehingga pada prosesnya semua akan kembali ke
tahap internalisasi dan begitu seterusnya, sehingga individu dapat
membentuk makna dan perilaku baru apabila terdapat nilai- nilai baru yang
terdapat di dalamnya.
Berdasarkan penjelasaan dari teori Peter L Berger dan Thomas
Luckmann. Maka dapat diketahui bahwa individu merupakan produk
sekaligus pencipta pranata sosial. Melalui aktivitas kreatifnya, manusia
mengkonstruksikan masyarakat dan berbagai aspek laniya dari kenyataan
sosial. Kanyataan sosial yang diciptakanya itu lalu mengkonfirmasi individu
12
Ibid., 189-191 13
sebagai kenyataan eksternal dan objektif. Individu lalu menginternalisasikan
kenyataan ini sedemikian rupa sehingga menjadi bagian dari kesadaranya.
Bahwa di luar sana terdapat dunia sosial objektif yang membentuk individu-
individu, dalam arti manusia- manusia adalah produk dari masyarakatya.
Realitas yang objektif ini dipantulkan oleh orang lain dan diinternalisasi
melalui sosialisasi oleh individu pada masa kanak- kanak, dan di saat dewasa
mereka pun tetap menginternalisir situasi- situasi baru yang mereka temui
dalam dunia sosialnya. Oleh karena itu dalam memahami suatu konstruksi
sosial diperlukan tiga tahapan penting yaitu eksternalisasi, objektivasi dan
internalisasi.
Peneliti memilih konstruksi sosial Peter L Bergerdan Thomas
Luckmann karena pada dasarnya konsep yang dikemukakan dalam teori
tersebut relevan dengan relaitas yang hendak dikaji oleh peneliti. Peneliti
hendak melakukan kajian secara mendalam terhadap pendidikan
kepemimpinan santri di pondok pesantren putri Al Lathifiyyah 1 Bahrul
‘Ulum Tambakberas Jombang.dalam hal ini Berger telah mengemukakan
bahwa realitas yang terdapat di dalam masyarakat dikonstruksi oleh
masyarakat itu sendiri dan dunia yang ditempatinya. Dalam hal ini realitas
yang ada di pondok pesantren tersebut terdapat pendidikan kepemimpinan
dan menjadi agenda wajib pondok pesantren yang harus diikuti oleh
37
B. Feminisme Liberal
Feminisme liberal berkembang di Barat pada abad ke- 18, bersamaan
dengan populernya arus pemikiran baru “zaman pencerahan” (enlightmen
atau age a reason). Dasar asumsi yang dipakai adalah doktrin John Lock
tentang human right atau yang di dalam bahasa Indonesia dikenal dengan
hak asasi manusia (HAM). Bahwa setiap manusia mempunyai hak asasi yaitu
hak hidup dan hak mendapat kebebasan dan hak untuk mencari
kebahagiaan.14
Feminisme liberal memiliki pandangan bahwa negara sebagai
penguasa yang tidak memihak antara kepentingan – kepentingan kelompok
yang ada di negara tersebut. Para feminis liberal menyadari bahwa, negara
didominasi oleh kaum pria. Sehingga bisa menjadi menjadi refleksi
kepentingan “maskulin”. Karenanya negara dapat didominasi kuat oleh
kepentingan kaum pria tadi. Singkatnya, negara dapat ditentukan oleh
kelompok kepentingan yang memiliki kendali atas negara tersebut.
Sementara itu, perempuan cenderung berada “di dalam” sebatas
warga negara, bukanya sebagai pembuat kebijakan. Sehingga dalam hal ini
ada ketidaksetaraan perempuan dalam politik atau bernegara. Karenanya
feminis liberal ini menjadikan konsep “kesetaraan” sebagai dasar gerakan
mereka. Salah satunya adalah kesetaraan perempuan untuk melakukan
kegiatan politik seperti membuat kebijakan di sebuah negara.
14
Aliran feminisme liberal ini memiliki beberapa tokoh di antaranya,
Marry Wolstencarf, Jhon Stuart Mill, Harries Taylor dan Betty Friedan.
Marry Wolstencarf merupakan tokoh feminis liberal pada abad ke -18. Mary
Wolstencarf penggagas aliran feminisme liberal menegaskan perempuan dan
laki- laki sama- sama memilki kapasitas. Semua manusia berhak
mendapatkan kesempatan yang setara dalam mengembangkan kapasitas nalar
dan moralnya.15 Feminisme liberal juga berargumen bahwa perempuan bisa
mengklaim kesamaan dengan laki- laki atas dasar kapasitas esensial manusia
sebagai agen moral yang bernalar.16 Kapasitas yang dimiliki oleh kaum laki-
laki dan kaum perempuan sangat menentukan posisi di masyarakat, bukan
dari jenis kelamin. Semakin penuh kapasitas yang dimilki perempuan maka
akan mengangkat posisi kaum perempuan di masyarakat. Semangat untuk
belajar dan berubah lebih baik akan semakin memudahkan langkah untuk
bisa dihandalkan oleh masyarakat.
Kemudian pada abad ke- 19 Harries Taylor dan Jhon Stuart Mill
berpendapat bahwa perempuan harus memiliki hak pilih agar setara dengan
laki- laki. Pada periode ini perempuan di Amerika Serikat mengadakan
gerakan abolisi ( penghapusan diskriminasi perbudakan terhadap ras- ras
tertentu, dalam hal ini kulit hitam).17
15
Rosemarie Putnam Tong, Feminis Thought ( Yogyakarta: Jalasutra, 1998) hal 21 16
George Ritzer dan Duglas J Goodman , Teori Sosiologi Modern ( Jakarta: Prenada Media Group, 2007) hal 420
17
39
Selanjutnya perkembangan gerakan feminis pada abad ke -20 yang
dipelopori oleh Betty Friedan. Pada abad ini mulai dibentuk organisasi
perempuan misalnya National Organization for Woman(NOW), The National
Women’s Political Caucus (NWPC) dan The Woman Equity Action League.
(WEAL). Tujuan utama dari hal itu adalah untuk meningkatkan status
perempuan “ dengan menerapkan tekanan legal, sosial dan lain- lain terhadap
berbagai lembaga mulai dari Bell Telephone company hingga jaringan televisi
dan partai- partai politik utama.18
Posisi perempuan selama ini di masyarakat selalu berada di bawah
atau di belakang laki- laki. Posisi yang tidak sangat menguntungkan bagi
perempuan untuk mengembangkan dirinya sendiri. Melalui feminisme inilah
awal dari perubahan posisi perempuan di masyarakat.
Feminisme liberal berasumsi bahwa kebebasan (freedom) dan
kesamaan (equality) berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia
privat dan publik.19 Feminisme liberal ingin menempatkan perempuan
memiliki kebebasan secara penuh dan individual atas dirinya sendiri. Semua
pilihan yang diambil oleh perempuan harus benar- benar berasal dari diri
sendiri bukan atas keputusan atau pengaruh dari kaum laki- laki.
Selain itu, faham feminisme liberal menginginkan kesamaan dalam
kemampuan dan keterampilan yang tak jauh beda dengan kaum laki- laki.
Hanya saja kesempatan untuk menunjukkan kemampuan dan keterampilan
yang dimiliki perempaun sangat sedikit, sehingga tidak terlihat di
masyarakat.
Kaum feminisme liberal juga membicarakan tentang kesamaan
kesempatan dari pada kondisi.20 Kesempatan untuk melebarkan sayap bagi
kaum laki- laki lebih besar dari pada perempuan. Norma- norma yang ada di
masyarakat lebih cenderung pro, flexible dan tidak mengekang pergerakan
laki- laki. Kaum laki- laki lebih leluasa memilih pilihan hidup apa yang
disenanginya. Sedangkan kaum perempuan terisolasi dengan adanya norma-
norma yang membatasi pergerakan mereka. Sehingga ruang lingkup gerakan
perempuan sangat sedikit di masyarakat. Kesempatan mereka untuk
membuktikan kepada masyarakat bahwa mereka layak diperlakukan seperti
laki- laki hampir tidak ada lubang kecil untuk membuktikanya. Semua itu
menyebabkan kondisi kaum perempuan semakin terpuruk dan selalu di
belakang laki- laki.
Posisi perempuan dalam kebanyakan situasi tidak hanya berbeda,
tetapi juga kurang menguntungkan atau tidak setara dengan laki- laki.21
Keberadaan masyarakat dengan norma – norma yang membatasi ruang
lingkup perempuan membuat adanya perbedaan dalam perlakuan di
masyarakat. Laki- laki mendapatkan perlakuan lebih besar lebih keras dari
20
Holidin Soenyono, Teori Feminisme Sebuah Refleksi ke Arah Pemahaman,( Surabaya: Holidon Press, 2004) hal 125
21
41
masyarakat dan supaya memenggunakan rasionalnya dalam memahami
fenomena- fenomena yang terjadi. Laki- laki harus bekerja di luar rumah
untuk memenuhi semua kebutuhan keluarganya. Sedangkan perempuan
mendapatkan perlakuan lebih lembut dari masyarakat. Masyarakat lebih
menuntut perempuan untuk melakukan pekerjaan rumah tangga dari pada
berkarier di luar rumah. Kaum perempuan juga di didik untuk menggunakan
hatinya, emosinya sehingga lebih lembut dalam menghadapi permasalahan
yang terjadi.
Dalam memperjuangkan masyarakat, menurut kerangka feminisme
liberal, “kesempatan dan hak yang sama” harus diberikan bagi setiap
individu, termasuk di dalamnya kaum perempuan.22 Oleh karena itu, jika
ditanya mengapa perempuan dalam keadaan terbelakang atau tertinggal?
Menurut penganut aliran ini, jika sistem sudah memberikan kesempatan
yang sama antara laki- laki dan perempuan, tetapi ternyata kaum perempuan
tersebut kalah dalam bersaing, maka kaum perempuan sendiri yang harus
disalahkan. Aliran feminisme liberal kamudian mengusulkan, bahwa untuk
memecahkan masalah kaum perempuan cara yang dilakukan adalah dengan
menyiapkan kaum perempuan agar bisa bersaing dalam suatu dunia yang
pebnuh persaingan dan bebas.
Feminisme liberal memprioritaskan hak di atas kebaikan.23 Seseorang
dengan haknya masing – masing akan bisa memilih mana yang benar- benar
22
Narwoko dan Bagong, Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan,( Jakarta : Prenada Media Group, 2004) hal 347
23
di inginkan dan mana yang tidak diinginkan. Hak bisa dikatakan sebagai
pilihan yang sudah digariskan oleh Tuhan dan disepakati oleh masyarakat.
Akan tetapi, tidak jarang hak sesuai dengan apa yang dipilih oleh seseorang.
Dengan hak, seseorang akan bisa melakukan sesuatu yang di atas kebaikan
karena seseorang memilih berdasarkan pilihanya maka pilihanya tersebut
adalah yang terbaik meskipun itu bukan pilihan yang wajar di mata
masyarakat.
Selain itu, feminisme liberal mempercayai androgini ( tiadanya
perbedaan antara laki- laki dan perempuan).24 Laki – laki dan perempuan
tidak ada perbedaan dari segi sosial, walaupun dalam segi biologis antara
laki- laki dan perempuan jelas berbeda. Akan tetapi perbedaan secara biologis
tersebut bukanlah suatu pembeda untuk memilki kesetaraan dalam
masyarakat. Perempuan tetap mempunyai hak dan kesempatan yang sama
dalam masyarakat.
Feminisme liberal menentang pandangan biologisme dimana
perbedaan antara laki- laki dan perempuan dianggap berpangkal pada
perbedaan biologis.25 Bagi sudut pandang feminisme liberal perbedaan jenis
kelamin tidak membuat perbedaan di masyarakat. Maka dari itu masyarakat
seharusnya tidak membedakan antara laki- laki dan perempuan berdasarkan
biologisnya. Masyarakat harus melihat dari kemampuan dan keterampilanya