SURAT AN-NUR AYAT 3
Skripsi
Diajukan untuk memenuhi Tugas Akhir
Oleh :
Ahkmad Abdul Ghofur (E03210017)
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
ABSTRAK
Penilitian ini mengangkat judul “Larangan Menikahi Pezinah Dalam Al-Qur’an; Studi Komparatif Tafsir Ahkam Al-Qur’an MuhmmadImaduddin At-Tabari Dan Muhammad Ibnu Al-Arabi Surat An-Nur Ayat 3”. Dalam hal
ini penulis menggunakan metode Libarary Reaserch (penelitian kepustakan) untuk memberikan jawaban terhadap rumusun masalah yang telah disusun tentang bagaimana metodologi penafsiran Kiya al-Haras dan Ibnu al-Araby dan bagaimana perbedaan serta persamaan keduan dalam menafsirkan surat An-Nur ayat 3 tentang hukum menikahi seorang pezinah?.
Hukum menikahi pada dasarnya merupakan suatu anjuran bagi umat islam, kecuali pada hal-hal yang dilarang untuk dinikahi seperti karena hubungan Mahram baik kandung maupun susuan. Secara umum larangan dalam nikah dapat diklasifikasikan menjadi dua, yakni larangan yang bersifat permananen Muabbad seperti larangan menikahi saudara kandung, serta larangan yang bersifat kondisional Muqayyadl seperti halnya menikahi orang musyrik hingga mereka masuk islam.
Secara tersurat hukum menikahi pezinah sudah dijelaskan dalam
al-Qur’an surat An-Nur ayat3. Hanya saja penjelasan melalui penafsiran fiqhy akan lebih mendalam dalam mengetahui ketentuan sebuah ayat. Dalam hal ini penulis menggunakan studi komparatif kitab tafsir ahkam al-Qur’an karya Kiya al-Haran dan Ibnu Al-Arabi. Keduanya dikenal sebagai mufassir fiqhy yang memiliki kecenderungan berbeda, al-Haras lebih cenderung terhadap
fiqhy Madzhab Syafi’i, sedangkan Ibnu Al-Arabi tidak lepas dari pengaruh Madzhab Malikinya.
Dengan demikian kajian terhadap tema Nikah tersebut akan lebih menarik diteliti melalui komparasi penafsiran Kiya al-Haras dan Ibn al-Araby untuk mengetahui lebih mendalam terkait proses munculnya istinbath hukum dalam fiqhy dengan pengaruh subyektifitas madzhab fiqhy dalam ayat-ayat hukum. Sehingga dapat diketahui ketentuan-ketentuan hukam tentenang menikahi pezinah dalam al-Qur’an surat An-Nur ayat 3.
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ... ii
PENGESAHAN TIM PENGUJI ... iii
PERNYATAAN KEASLIAN ... iv
MOTTO ... v
ABSTRAK ... vi
KATA PENGANTAR ... vii
DAFTAR ISI ... ix
PEDOMAN TRANSLITERASI ... x
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 6
C. Tujuan Penelitian ... 6
D. Kerangka Teoritik ... 7
E. Metode Penelitian ... 10
F. Tinjauan Pustaka ... 13
G. Sistematika Pembahasan ... 14
BAB II LANDASAN TEORI A. Corak Tafsir Fiqhy ... 16
1. Termenologi Tafsir Fiqhy ... 16
2. Sejarah Perkembangan Tafsir Fiqhy ... 17
B. Kaidah Asbab An-Nuzul ... 23
C. Larangan-Larangan Menikah Dalam Al-Qur’an ... 26
BAB III PEMBAHASAN
A. Biografi Kiya Al-Haras
1. Latar belakang Intelektuan ... 38
2. Karya-karyanya ... 39
3. Metodologi Penafsirn ... 42
B. Biografi Ibnu Al-Arabi
1. Latar Belakang Intelektual ... 46
2. Karya-karyanya ... 51
3. Metodologi Penafsiran ... 53
BAB IV ANALISIS
A.Larangan Menikahi Pezinah dalam Penafsiran Surat An-Nur Ayat 3 58
1. Penafsiran Kiya Al-Haras ... 58
2. Penafsiran Ibnu Al-Araby ... 62
B.Studi Komparatof Penafsiran Kiya al-Haras dan Ibnu al-Arabi tentang
Larangan Menikahi Pezinah dalam Surat An-Nur Ayat 3
1. Tekstualitas ... 66
2. Kontekstualitas ... 67
BABV PENUTUP
A. Kesimpulan ... 70
B. Saran-saran ... 72
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an sebagai pentujuk dan sumber hukum islam senantiasa
menjadi rujukan umat islam. Petunjuk Allah dalam al-Qur’an tetap akan
relevan dalam setiap kondisi dan situasi apapaun (sha>lihun li kull>i
zamanin wa al-maka>nin), dengan demikian dorongan untuk memahami
al-Qur’an menjadi suatu keharusan. Sehingga pemamahan makna-makna ayat
al-Qur’an merupaka modal utama untuk memahami petunjuk Allah melalui
firmannya.
Munculnya ilmu tafsir dengan seperangkat metodologi yang terus
berkembang menjadi bukti signifikasi pemahaman terhadap makna
al-Qur’an. Disamping itu kedudukan al-Qur’an sebagai sumber hukum
menempatkannya pada sebagai sumber primer hukum islam, sebagaimana
kitab suci lainnya, al-Qur’an mengandung ajaran-ajarang yang mengikat
dengan berbagai petunjuk kehidupan dan ketentuan hukum yang ada
didalam setiap ayatnya.
Pada dasarnya tidak semua ayat dalam al-Qur’an berupa ayat hukum,
akan tetapi keberadaan ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an menjadi sautu
kajian utama untuk memahami hukum Allah selain hadis. Oleh karenya
penafsiran terhadap ayat-ayat hukum juga memerlukan penjelasan dari
hadis nabi atau riwayat dari sahabat, sebab tidak semua perseoalan hukum
yang sifatnya furu’(cabang) dijelaskan didalamnya.
2
Penjelasan atau penafsiran terhadap ayat-ayat hukum pada
perkembangannya menjadi sebuah kecenderungan baru dalam kajian ilmu
tafsir, terlepas dari munculnya ragam perbedaan paham fiqh secara praktis.
Akan tetapi karya-karya tafsir fiqhi menjadi bukti bahwa kecenderungan
umat islam terhadap hukum islam (fiqhy) juga tidak lepas dari penafsiran
al-Qur’an.
Terma tafsir fiqhi merupakan kombinasi metode dan pendekatan
dalam memahami makna ayat-ayat al-Qur’an. Posisi tafsir fiqhi dalam
metode penafsiran menjadi bagian dari bentuk metode tafsir tahlily (analitis)
atau juga dikenal dengan tafsir ahkam1. Dengan demikian termenologi tafsir
fiqhi tidak lepas dari tujuan fiqhi sebagai corak penafsiran yang berusaha
mengambil keputusan hukum dalam al-Qur’an.
Orientasi fiqhi terhadap kajian hukum islam diawali sejak masa rasul
hingga generasi-generasi sesudahnya. Sedangkan termenologi ilmu fiqhi
adalah suatu proses melahirkan hukum syara’ yang bersifat praktis dan
diperoleh dari dalil-dalil terperinci.2 Al-Qur’an sebagai sumber utama
hukum islam, memunculkan dorongan untuk melakukan proses penafsiran.
Sedangkan perkembangan fiqhi hingga memunculkan berbagai madzhab
berbeda, merupakan cermin perbedaan pemahaman atau bahkan penafsiran
terhadap ayat-ayat hukum al-Qur’an yang berbeda pula.
1 M. Quraish shihab, Kaidah Tafsir, (Jakarta: Lentera Hati, 2015), 379.
2 Abdul Wahhab Khalaf, lmu Ushul Fiqh, (Jakarta: Majlis al-A’la wa al-Indunisai ad-Dakwah
Tafsir fiqhy meliputi domain metologi dan produk penafsiran, secara
epistemologis tafsir fiqhy sebagai corak penafsiran selain dalil-dalil dari
nash al-Qur’an dan hadis, ijtihad juga dijadikan rujukan penafsiran.
mengingat bahwa obyek hukum yang sangat luas dan banyak munculnya
prsoalan-persoalan baru terkait kehidupan amaliyah manusia. Dalam hal ini
eksistensi tafsir fiqhi dibutuhkan secara praktis menjadi sebuah model
pendekatan untuk menggali hukum dalam al-Qur’an. Sedangkan aspek
metodologis tafsir fiqhy tidak lepas dari kaidah-kaidah tafsir, hanya saja
pada perkembangannya produk tafsir fiqhy juga mengikut sertakan
pandangan madzhab fiqhy dalam proses penafsiran.
Munculnya ragam madzhab fiqhy pada dasarnya tidak hanya
berkaitan terntang metodologi penafsiran, lebih dari itu secara fundamental
perbadaan pandangan teologis juga menjadi faktor utama. Karena
perbedaan pemahaman tentang segala persoalan agama pada mulanya juga
bagian dari kajian fiqhy, sebelum menjadi disiplin ilmu kalam atau tauhid
dan disiplin ilmu lainyan.
Pengelompokan tafsir fiqhy dalam berbagai madzhab berasal dari
kajian terhadap produk-produk tafsir fiqhy yang kemudian ditarik terhadap
persoalan madzhab. Seperti yang dikemukan Farid Essack, bahwa
4
filsafat dan termasuk juga tafsir fiqhy, hal itu menunjukan adanya kesadaran
kelompok tertentu, ideologi tertentu dan horison tertentu dalam tafsir.3
Perbedaan penafsiran dalam masalah hukum menjadi suatu hal yang
biasa. Perbedaan hukum dalam fiqhi pada dasarnya merupakan implikasi
dari pemahaman terhadap nash al-Qur’an dan hadits yang berbeda. Disatu
sisi permasalahan dalam hukum fiqhi selalu akan berkembang secara
dinamis sepanjang zaman, sehingga akan memunculkan
persoalan-persoalan baru dan memungkinkan tidak terdapat penjelasan secara spesifik
dalam al-Qur’an.
Dengan demikian kajian terhadap persoalah fiqh secara domina
berasalah dari perkara furu’iyah (cabang) hukum yang terus berkembang
tak terbatas. Sedangkan teks al-Qur’an yang terbatas menjadi sumber utama
dalam hukum Islam, sehingga upaya ijtihad yang dilakukan ulama’ dalam
memahami ayat al-Qur’an seperti yang terjadi dalam tafsir surat an-Nur ayat
3,
“laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin”4
3 Farid Essack, Qur’an: Pluralism and liberation, Terj. Muhammad Ridho dalam Tafsir dan Dinamika Sosial, (Yogyakarta; Teras, 2010) 55.
Perbedaan penafsir pada ayat tersebut mengenai larangan menikahi
pezina. dalam hal ini mayoritas ulama’ sepakat boleh menikahi pezinah,
akan tetapi menurut sebagian pendapat ulama’ menyertai dengan
syarat-syarat seperti halnya imam hambali yang menghasruskan pezinah tersebut
sudah bertaubat5, atau sebagaiman penjelasan al-Harras bahwa menurut
sebagai pengikut imam syafi’an pezinah tidak boleh menikah dikahi
sebelum dicambuk sebagai hukumannya.6
Berbeda dengan dengan keduanya, Ibu al-Araby dalam tafsir Ahkam
al-Qur’an dengan menggunakan pendapat Maliki menganggap bahwa ayat
tersebut telah dinasahk dengan ayat ayat sesudahnya, an-nur ayat 327 :
“dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.”8
\Ayat diatas merupakan Tahkshish pada ayat sebelumnya tentang
larangan menikahi pezinah. Sehingga menikahi pezina boleh tanpa adanya
syarat.
5 Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Karim, (Beirut: Maktabah an-Nur al-Ilmiyah, 1992), III:
254-255
6 Imad ad-Din Kiya al-Harras, Ahkam al-Qur’an, (Beirut: Dar Kutub al-Islamy, 1983), III:
297
6
Perbedaan penafsiran tentang larangan menikahi pezinah dalam surat
an-Nur ayat 3 sebagaimana yang terjadi antara al-Haaras yang bermadhab
Syafi’i dan A’raby dengan Madzhab Maliki. Meski memiliki kesamaan
kecenderungan pada tafsir fiqhi akan tetapi berbeda dalam kecenderungan
madzhab.
Sehingga kajian terhadap tema tersebut akan lebih menarik diteliti
melalui komparasi penafsiran Kiya al-Haras dan Ibn al-Araby untuk
mengetahui lebih mendalam terkait dengan pengaruh subyektifitas madzhab
fiqhy dalam ayat-ayat hukum.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang menjadi fokus kajian utama dalam
skripsi telah penulis paparkan sebagaiman berikut :
1. Bagaimana Metode Penafsiran dalam Tafsir Ahkam Al-Qur’an
Muhammad Imaduddin At-Tabari dan Muhammad Abdullah Ibn
al-Araby terhadap surat an-Nur ayat 3 ?
2. Bagaimana Komparasi Penafsiran Muhammad Imaduddin At-Tabari
dan Muhammad Abdullah Ibn al-Araby tentang Larangan Menikahi
Pezinah dalam al-Qur’an Surat An-Nur ayat 3?
C. Tujuan Penelitian
1. Mendiskripsikan dan mengetahui metode pendekatan dalam tafsir
Imaduddin At-Tabary dan Muhammad Abdullah Ibn al-Araby terhadap
Ayat 3 surat an-Nur.
2. Mengkaji lebih mendalam persamaan dan perbedaan penafsiran
Muhammad Imaduddin At-Tabary dan Muhammad Abdullah Ibn
al-Araby tentang hukum menikahi pezinah dalam surat an-Nur ayat 3.
Sedangkang kegunann penelitian ini sebagaimana berikut :
1. Sebagai sumbangan pemikiran ilmiah untuk memperkaya khazanah
penelitian kitab tafsir khususnya yang berkaitangan dengan munakahat
(nikah)
2. Untuk memudahkan peneliti dalam menelaah kitab-kitab tafsir klasik
khususnya kitab tafsir fiqhy Muhammad Imaduddin At-Tabary dan
Muhammad Abdullah Ibn al-Araby
D. Kerangka Teori
Kajian tafsir al-Qur’an secara epistemologis dapat dikalsifikasikan
teehadap kajian terhadap produk penafsir berupa exemplar kitab-kitab tafsir
dari klasik hingga modern, atau lebih mengkaji terhadap proses penafsiran
berdasakan pada perangkat metodologi atau kaidah yang digunakan dalam
memahami dan menafsirkan al-Qur’an.
Perbedaan dalam produk kitab tafsir tidak lepas dari proses
metodologi atau kaidah yang ditempuh mufassir (penafsir) untuk
8
meliputi aspek kebahasaan dan kaidah kontekstualisasi ayat seperti asbab
an-nuzul dan nasikh mansukh, akan tetapi ranah akan lebih luas jika
dikaitkan dengan pandangan ideologi atau madzhab yang berbeda.
Ideologi dan madzhab menjadi pemisah pemahaman baik masalah
tauhid ataupun fiqhi. Sehingga tidak jika berbeda dalam madzhab akan
berdampak pada perbedaan penafsiran. Denagan demikian fanatisme
madzhab dalam tafsir menjadi pokok bahasan tafsir fiqhi hukum islam.
Dalam konteks studi komparatif perbedaan penafsiran berawal dari
epistemologi berbeda, sehingga menghasilkan produk tafsir yang berbeda
pula. Epsitemologi tafsir mencakup dalam dua hal, pertama adalah sumber
yang digunakan dalam penafsiran, dalam hal bisa berupa Tafsir bi
al-Ma’tsur (tafsir yang besumber dari dalil naqli) dan Tafsir bi al-Ra’y (tafsir
yang bersumber dari akal) dan yangkedua merupakan metod\\e yang dilalui
mufassir dalam menafsirkan al-Qur’an. Menurut Quraish Shihab metode
tafsir ada empat, antaranya, Imjali, Tahlily, Muqarin dan Maudhu’i.9
Sedangkan corak sebagai kecenderung seorang mufassir dapat
diklasifikasikan pada tujuh corak tafsir, bi al-Ma’tsur, bi al-Ra’y, Shufi,
Fiqhi, Ilmi, Falsafi dan Adad al Ijtima’i. Tidak sampai disitu kecenderungan
juga meliput pada aspek ideologi aliran atau madzhab, misalnya, Sunni,
Syi’ah, Mu’tazilah dalam ayat ilmu kalam dan Syafi’yah, Malikiyah,
Hanafiyah , Hanabila dan Dhahiriyah dalam aspek tafsir corak fiqhinya.
Diatara kitab tafsir fiqhy dengan berbagai corak madzhab hanya
terdapat beberapa kitab yang cukup representatif untuk mengkaji hukum
islam dalam al-Qur’an diantaranya adalah Kitab Ahkam al-Qur’an karya
Abu Hasan at-Thabary atau dinekal denga Kiya al-Haras merupakan kitab
tafsir yang bercorak madzhab Syafi’I dan ia sendiri merupakan pakar fiqhy
Syafi’I diawal abad 6 H.
Tafsir ini dianggap sebagai kitab tafsir fiqh Syafi’I. Seperti halnya
al-Jashshash, keduanya memiliki kesamaan dalam bab fanatisme terhadap
madzhb yang lebih menonjol. Fanatisme pengarang nampak pada
muqaddimah tafsirnya. Akan tetap ia tidak sampai mencela imam-imam
yang berbeda tidak seperti halnya al-Jashshash.10
Sedangkan yang kedua Ahkam al-Qur’an karya Ibn al-‘Araby yang
menggunakan sistem pembahasan dengn menyebutkan satu surat, kemudian
menjelaskan beberapa ayat yang didalamnya terdapat hukum-hukum.
Kemudian ia menjelaskan ayat hukum tersebut satu persatu. Misalnya pada
ayat pertama terdapat lima masalah, pada ayat kedua tujuh masalah dan
seterusnya.
Corak lain yang menjadi ciri tafsir ini adalah kecenderungannya
dalam isbtinbath ukum tetap merujuk kepada bahasa arab, sangat
menghindari cerita israiliyat yang menggunakan hadis-hadis dha’if.11
Walaupun fanatisme maliki tetap ada, akan tetapi juga sikap kenetralan Ibn
10 Muhammad Husein Adh-Dhahaby, at-Tafsir wa al-Mufassirun, (Beirut: Dar Kutub al-Ilmi,
1993). 327-328
10
Arabi dalam banyak hal, sehingga sering kali tafsir ini dijadikan rujukan
umum meskipun bermadzhab Maliki.
Kedua kitab tersebut dapat dijadikan bahan penelitian untuk
memahami suatu ayat hukum dengan kecenderungan fiqhi akan tetapi
berbeda dalam aliran, sehingga juga berimplikasi pada penafsiran yang
berbeda pula.
Dengan demikian fokus kajian dalam penelitian ini lebih terhadap
tela’ah epistemologis metodologi atau kaidah tafsir yang berimplikasi pada
perbedaan produk penafsiran. Kaidah tafsir meliputi aspek metode, corak
dan kecenderungan ideologi atau madzhab.
E. Metode Penelitian
1. Model penelitian
Penelitian ini menggunakan metodologi penelitian kualitatif, sebuah
metode penelitian atau inkuiri naturalistik atau alamiah, perspektif ke dalam
dan interpretatif.12
Inkuiri naturalistik adalah pertanyaan yang muncul dari diri penulis
terkait persoalan tentang permasalahan yang sedang diteliti. Perspektif ke
dalam adalah sebuah kaidah dalam menemukan kesimpulan khusus yang
semulanya didapatkan dari pembahasan umum. Sedang interpretatif adalah
12 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2002),
penterjemahan atau penafsiran yang dilakukan oleh penulis dalam
mengartikan maksud dari suatu kalimat, ayat, atau pernyataan.
2. Jenis penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research).
Dalam penelitian kepustakaan, pengumpulan data-datanya diolah melalui
penggalian dan penelusuran terhadap kitab-kitab, buku-buku dan catatan
lainnya yang memiliki hubungan dan dapat mendukung penelitian.
3. Metode penelitian
Adapun untuk memperoleh wacana tentang kualifiakasi mufassir
al-Quran dapat pula menggunakan metode-metode penelitian sebagai berikut:
a. Deskriptif, adalah bersifat menggambarkan, menguraikan sesuatu hal
menurut apa adanya atau karangan yang melukiskan sesuatu.
Pendeskripsian ini digunakan oleh penulis dalam memaparkan hasil
data-data yang diperoleh dari literatur kepustakaan.
b. Analitis Kompratif, adalah membandingkan metodologi penafsiran
yang berimplikasi terhadap produk tafsir yang berbeda pula. Dalam
hal perbandingan metodologi mencakup metodo, corak dan aliran.
4. Pengumpulan data
Teknik pengumpulan data dalam penulisan skripsi ini adalah dengan
dengan menggunakan metode dokumentasi. Mencari data mengenai hal-hal
atau variable berupa catatan, buku, kitab, dan lain sebagainya.melalui
12
berdasarkan konsep-konsep kerangka penulisan yang telah dupersiapkan
sebelumnya.
5. Pengolahan data
a. Editing, yaitu memeriksa kembali secara cermat data-data yang
diperoleh terutama dari segi kelengkapan, kejelasan, kesesuaian,
relevansi, dan keragamannya.
b. Pengorganisasian data, yaitu menyusun dan mensistematikakan
data-data yang diperoleh dalam kerangka paparan yang sudah
direncanakan sebelumnya sesuai dengan rumusan masalah.
6. Teknik analisis data
Dalam penelitian ini, tehnik analisa data memakai pendekatan
metode deskriptif-analitis. Penelitian yang bersifat deskriptif-analitis
memaparkan data-data yang diperoleh dari kepustakaan.13
Dengan metode ini akan dideskripsikan mengenaikualifikasi
epistemologis mufassir kontemporer sehingga dapat menjadi lebih jelas dan
lebih tajam dalam menyajikan perbandingan metodologi tafsir Kiya
al-Haras dan Ibnu Arabi. Selanjutnya, setelah pendiskripsian tersebut,
dianalisis dengan metodologi atau kaidah tafsir kedua yang berimplikasi
terhadap perbedaan penafsiran dalam surat an-Nur ayat 3 tentang larangan
menikahi pezinah.
7. Sumber data
13Ibnu Hajar, Dasar-dasar Metodologi Penelitian Kuantitatif Dalam Pendidikan (Jakarta: PT
Data yang diambil dalam penelitian ini bersumber dari dokumen
perpustakaan yang terdiri dari dua jenis sumber yaitu primer dan
sekunder:
Sumber pimer adalah rujukan utama yang akan dipakai yaitu kitab
suci Al-Quran dan terjemahannya antara lain :
a. Ahkam al-Qur’an karya Imaduddin Muhammad at-Thabary atau
Kiya al-Haras.
b. Ahkam al-Qur’an karya Muhammad Abdullah Ibnu Arabi
c. Tafsir wa Al Mufassirun karya Muhammad Husei adh-Dhahabi.
d. At-Tafsir wa Al-Mufassirun, Hayatuhum wa Manhajuhum karya Ali
al-Iyazi
Sumber sekunder sebagai rujukan pelengkap, antara lain :
a. Manahil al-Urfan fi Ulum al-Qur’an karya Muhammad Abdul
Adhim Az-Zarqani.
b. Mabahith fi Ulum al-Qur’an karya Manna’ Khalil al-Qatthan.
c. Metode Tafsir maud}hu>’i Suatu Pengantar karya Abd. Hayy al
-Farmawi.
d. Kaidah Tafsir karya Muhammad Quraish Shihab
itas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.
F. Kajian Pustaka
Adapun penelitian yang dapat dijadikan kajian pustaka dalam skripsi ini
14
1. Fidaus, “Hukum Menikahi Wanita Pezinah menurut Syafi’i dan
Hanabilah” Skripsi Perbandingan Madzhab dan Hukum Fakultas
Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
Yogyakarta 2010. penelitian tersebut hanya terfokus terhadap kajian
hukum fiqhi praktis berdasarkan perbandingan madzhab madzhab,
disatu sisi kajian tersebut mengenai pada hukum menikahi wanita
pezinah.
2. Ruslan, “Studi Atas Penafsiran al-Qurthuby terhadap ayat-ayat tentang
Nikah Beda Agama dalam Kitab Jami’ al-Bayan li Ahkam al-Qur’an”,
Skripsi Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin Unuversitas Islam
Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta 2009.
3. M. Yusron Azzahidi, “Nikah Tahlil; Komparasi Pemikiran As- Shafi’i
dan Ibn Araby”, Jurnal Schemata, Volume 3, nomor 2 Desember 2014
Universitas Negeri Malang.
G. Sistematika Pembahasan
Adapun sistematika pembahasan dalam skripsi ini dibagai pada lima bab
yang secara garis besar sebagaimana berikut :
1. BAB I Pendahuluan : Latara Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan
Penelitian, Kerangka Teori, Metode Penelitian, Kajian Pustaka dan
2. BAB II Landasan Teori : Biorafi Muhammad Imaduddin Kiya al-Haras
dan Muhammad Abdullah Ibn al-Araby, Latar Belakang Pemikiran,
Karya-karyanya.
3. BAB III Pembahasan : Penafsiran Muhammad Imaduddin Kiya al-Haras
dan Muhammad Abdullah Ibn al-Araby pada ayat 3surat an-Nur
4. BAB IV Analisis : Penafsiran Muhammad Imaduddin Kiya al-Haras
dan Muhammad Abdullah Ibn al-Araby tentang hukum menikahi
Pezinah.
16
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Corak Tafsir Fiqhy
1. Termenologi Tafsir Fiqhy
Terma tafsir fiqhi merupakan kombinasi metode dan pendekatan dalam
memahami makna ayat-ayat al-Qur’an. Posisi tafsir fiqhi dalam metode
penafsiran menjadi bagian dari bentuk metode tafsir tahlily (analitis) atau juga
dikenal dengan tafsir ahkam1. Dengan demikian termenologi tafsir fiqhi tidak
lepas dari tujuan fiqhi sebagai corak penafsiran yang berusaha mengambil
keputusan hukum dalam al-Qur’an.
Orientasi fiqhi terhadap kajian hukum islam diawali sejak masa rasul
hingga generasi-generasi sesudahnya. Sedangkan termenologi ilmu fiqhi
adalah suatu proses melahirkan hukum syara’ yang bersifat praktis dan
diperoleh dari dalil-dalil terperinci.2 Al-Qur’an sebagai sumber utama hukum
islam, memunculkan dorongan untuk melakukan proses penafsiran. Sedangkan
perkembangan fiqhi hingga memunculkan berbagai madzhab berbeda,
merupakan cermin perbedaan pemahaman atau bahkan penafsiran terhadap
ayat-ayat hukum al-Qur’an yang berbeda pula.
Tafsir fiqhy meliputi domain metologi dan produk penafsiran, secara
epistemologis tafsir fiqhy sebagai corak penafsiran selain dalil-dalil dari nash
1 M. Quraish shihab, Kaidah Tafsir, (Jakarta: Lentera Hati, 2015), 379.
2 Abdul Wahhab Khalaf , lmu Ushul Fiqh, (Jakarta: Majlis al-A’la wa al-Indunisai
al-Qur’an dan hadis, ijtihad juga dijadikan rujukan penafsiran. mengingat
bahwa obyek hukum yang sangat luas dan banyak munculnya
prsoalan-persoalan baru terkait kehidupan amaliyah manusia. Dalam hal ini eksistensi
tafsir fiqhi dibutuhkan secara praktis menjadi sebuah model pendekatan untuk
menggali hukum dalam al-Qur’an. Sedangkan aspek metodologis tafsir fiqhy
tidak lepas dari kaidah-kaidah tafsir, hanya saja pada perkembangannya produk
tafsir fiqhy juga mengikut sertakan pandangan madzhab fiqhy dalam proses
penafsiran.
Munculnya ragam madzhab fiqhy pada dasarnya tidak hanya berkaitan
terntang metodologi penafsiran, lebih dari itu secara fundamental perbadaan
pandangan teologis juga menjadi faktor utama. Karena perbedaan pemahaman
tentang segala persoalan agama pada mulanya juga bagian dari kajian fiqhy,
sebelum menjadi disiplin ilmu kalam atau tauhid dan disiplin ilmu lainyan.
Pengelompokan tafsir fiqhy dalam berbagai madzhab berasal dari kajian
terhadap produk-produk tafsir fiqhy yang kemudian ditarik terhadap persoalan
madzhab. Seperti yang dikemukan Farid Essack, bahwa munculnya berbagai
kategori semisal tafsir syi’ah, tafsir muktazilah, tafsir filsafat dan termasuk
juga tafsir fiqhy, hal itu menunjukan adanya kesadaran kelompok tertentu,
ideologi tertentu dan horison tertentu dalam tafsir.3
18
2. Sejarah Perkembangan Tafsir Fiqhy
Perkembangan tafsir fiqhi sebagai model penafsiran al-Qur’an secara
praktis juga harus melacak sejarah fiqhy dalam islam. sebab fiqhy juga
merupakan hasil atau produk penafsiran, sebab kajian fiqhi tidak lepas dari
sumber nash al-Qur’an. Tentunya sejak al-Qur’an diturunkan sebagai sumber
hukum dan dijadikan rujukan umat islam, praktis pula munculnya tafsir fiqhy.
Karena itu perkembangan tafsir fiqhy tidak lepas dari perkembangan fiqhy
sejak rasul hingga munculnya berbagai madzhab-madzhab fiqhy.
Dengan demikian untuk melacak sejara pekembangan tafsir fiqhy penulis
menggunakan pemetaan secara prioderisasi yang dikemukakan oleh
adz-Dzahaby tentang dinamikan perkembangan tafsir fiqhy. Sebagai mana berikut
:
1. Pada Masa Nabi Hingga Terbentuknya Madzhab-Madzhab Fiqhy Islam
Posisi nabi dan juga sebagai rasul (utusan) mengemban untuk
mensyiarkan islam dibekali dengan seperangkat aturan hukum, merupakan
petunjuk Allah kepada manusia yang tertuangkan dalam ayat-ayat al-Qur’an.
Bagian dari tugas kerasulan nabi pada primordialisme turut menjelaskan makna
al-Qur’an, karena nabi memiliki otoritas terhadap segala bentuk pemahaman
dan pemaknaan al-Qur’an demikian juga. Akan tetapi ada sahabat yang
bin Jabal yang pada waktu itu mensyiarkan islam di Yaman4 karena jarak yang
kurang memungkinkan untuk bertanya langsung pada nabi.
Proses dialektis sahabat dengan tentang hukum islam saat itu berakhir
pasca wafatnya nabi, akan tetapi penjelasan-penjelasan nabi dijadikan sumber
kedua setelah al-Qur’an itu sendiri. Wilayah umat islam yang semakin luas,
bersamaan pula Porsoal-persoalan baru banyak bermunculan terutama yang
berkaitan dengan hukum. Sehingga hal ini menjadi sangat komplek dan
memerlukan usaha yang lebih keras untuk mencari penjelasan hukum, pada
saat itu ijtihad menjadi epistemologi alternatif untuk memahami dan mencari
kejelasan hukum dalam al-Qur’an.
Perbedaan pemahaman sahabat terhadap ayat-ayat hukum dalam
al-Qur’an adalah buah dari hasil ijtihad. Seperti perbedaan pemahaman sahabat
Umar dan Ali tentang masalah masa I’ddah bagi perempuan hamil yang
ditinggal mati suaminya, Umar berpendapat bahwa masa I’ddahnya hanya
samapi melahirkan sedangkan menurut Ali selain melahirkan juga menunggu
hingga empat bulan sepuluh hari.5 Perbedaan pemahaman sahabat tentunya
berdasarkan pada dalil-dalil nash al-Qur’an dan hadis hanya saja ruang ijtihad
sahabat diperlukan kala menemukan persoalan yang tidak menemukan
penjelasan dalam nash.
2. Masa Awal Berdirinya Madzhab Fiqhy
4 Wahab Khalaf, hal, 29
5 Muhammad Husein Adz-Dzahaby, at-Tafsir wa al-Mufassirun, (Beirut: Dar Fikr 1998),
20
Perbedaan adalah rahmat bagi seluruh alam, tentunya jargon tersebut
dikonotasikan pada hal-hal yang positif. Pada awal berdirinya
madzhab-madzhab fiqhy seperti Syafi’i, Hanafi, Hambali, Maliki dan lainnya perbedaan
pemahaman masalah hukum tertentu dan memiliki kesamaan pemahaman pada
hukum lainya.6 Tentunya perbedaan pemahaman semakin banyak dan luas
dalam berbagai persoalan pada ruang waktu yang mengalamai perubahan
dinamis.
Akan tetapi pada masa ini sejauh perbedaan pemahaman terhadap
al-Qur’an antar fuqaha’ (ahli fiqhy), tetap saling menghormati dan menghargai
pendapat yang berbeda. Sebab masalah hukum fiqhy yang sifatnya amali tidak
dapat digeneralisir dalam satu kasus, melainkan harus dilakukakan penelitian
terhadap berbagai kasus. Sehingga eksistensi tafsir fiqhy pada masa ini murni
pada perbedaan pemahaman terhadap al-Qur’an hingga bermunculan beragam
madzhab.
3. Masa Tumbuhnya Taklid dan Fanatisme Madzhab
Setelah masa melalui masa imam-imam madzhab, munculnya ruh taklid
dan fanatisme madzhab justru tumbuh dengan suburnya. Kondisi ini terus
berlangsung hingga mencapai titik kulminasi. 7 Taklid pada dasarnya
merupakan suatu hal yang lumrah, akan tetapi taklid dalam urusan agama
menjadi indikasi matinya suatu dialektika kajian keagamaan. Sedangkan
bentuk fanatisme terhadap madzhab menjadi implikasi dari taklid dan
6 Ibid. 320
diperkuat juga dengan kehadiran madzhab-madzhab yang berbau politis, jelas
tidak akan menemukan kesamaan dalam sebuah penafsiran seperti halnya
syi’ah dan khawarij.
Pertumbuhan taklid dan fanatisme madzhab masa ini bermacam-macam,
ada yang mengkaji ucapan imam madzhabnya sebagaiman mereka mengkaji
al-Qur’an, ada yang mengeluarkan daya kemampuan untuk mendukung imam
madzhabnya dan bahkan berusaha untuk membatalkan pendapat
madzhab-madzhab lain sebagai bentuk dari fanatisme madzhab-madzhab yang membabi buta.8
3. Macam-macam Karya Tafsir Fiqhy
Kategorisasi ragam tafsir fiqhy sebenarnya sulit untuk dilakukan, sebab
membutuhkan parameter tertentu dalam setiap kategorisasinya. Akan tetapi
kajian terhadap kitab tafsir fiqhy menjadi pintu utama untuk melakukan
pengkategorisasian tafsir fiqhy dan relevasinya terhadap madzhab-madzhab
fiqhy. Sehingga telaah terhadap epistemologi tafsir fiqhy dapat dikaji melalui
kajian tafsir dengan produk. 9 Sebagaimana pengekategorisasian yang
dilakukan oleh adz-Dzahaby10, sebagaimana berikut.
1. Tafsir fiqhy madzhab Syi’ah Imamiyah Isna A’syariah antara lain: a. Ayat al-Ahkam oleh Muhammad ibn Sa’id al-Kalbi (Wafat 146H) b. Tafsir al-Khamsimi’at oleh Muqatil ibn Sulaiman Khurasani
al-Balkhi (W 15 H/)
c. Tafsir Ayat al-Ahkam oleh Hisyam Ibnu Muhammad Ibn Sa’ib al-Kalbi al-Khufi (W 206 H)
d. Ahkam al-Ahkam oleh ‘Abad Ibn Abbas al-Thaqilani
e. Syarh Ayat al-Ahkam oleh Ismail ibn A’bad
f. Al Ibanah ‘an Ma’ani al-Qira’at oleh Makki ibn Abi Thalib al-Qaysi (473 H/1045 M)
g. Fiqh al-Qur’an fi Ayat al-Ahkam oleh Quthb al-Din al-Rawandi
8 Adz-Dzahaby, hal. 321
22
h. Tafsir al-Ayat al-Ahkam oleh Muhammad ibn Husein Baihaqi al-Hisyaburi (576 H)
i. Al-Nihayah fi Tafsir al-Khamsami’at al-Ahkam oleh Ahmad ibn ‘Abdullah Mutawwaj al-Bahraini (771 H)
j. Kanz al-Irfan fi al-Fiqh al-Qur’an oleh Fadhil Niqbad ibn A’bdullah
al-Suyuri al-Asadi al-Hilli (826 H). dan masih banyak lagi nama-nama lainya
2. Tafsir Fiqhy Madzhab Syi’ah Zaidiyah anatara lain:
a. Syarh Ayat al-Ahkam oleh Yahya ibn Hamzah al-Yamani (749 H) b. Ayat al-Ahkam oleh Ahmad ibn Yahya al-Yamani
c. Syarh Ayat al-Ahkam oleh Muhammad ibn Yahya Sha’di al-Yamani
d. Ayat al-Ahkam oleh Husain al-Amri al-Yamani (1380) e. Syarh Ayat ahkam oleh Yahya ibn Muhammad al-Hasani
f. Syarah al-Khamsami’at Ayat oleh Yahya Ibn Muhammad al-Najry g. Al-Tsamarat al-Yani’ah wa al-Ahkam al-Wadhihah al-Qhati’ah, oleh
Syamsuddin ibn Yusuf abn Ahmad.
h. Muntahana al-Maram, oleh Muhammad ibn Husain Ibn Qasim
3. Tafsir Madzhab Hanafi antara lain:
a. Ahkam al-Qur’an, Oleh Ali ibn Hajar Sa’di al-Azdi al-Thahawisani (Wafat 244 H)
b. Ayat al-Ahakam oleh Ali ibn Musa (350 H)
c. Ahkam al-Qur’an, Oleh Ahmad ibn Muhammad Azdi Thahawi al-Misri (370 H)
d. Syahr Ahkam Al-Qur’an, oleh Ahmad ibn Muhammad Razi al-Jashshash (370 H)
e. Mukhtashar Ahkam al-Qur’an Oleh Makki ibn Abi Thalib Qaysi al-Qayrwani (437 H)
f. Anwar al-Qur’an fi Ahkam al-Qur’an oleh Muhammad Kafi ibn Hasan al-Basandi al-Iqhishari (1025 H)
g. Anwar al-Qur’an fi Ahkam al-Qur’an Oleh Muhammad Syams al-Din al-Harawi al-Bukhari (1119)
h. Ahkam al-Qur’an Oleh Ismail Haqqi (1127 H)
4. Tafsir Fiqhy Madzhab Maliki antara lain:
a. Ahkam al-Qur’an oleh Ahmad ibn Mudhal (240 H)
b. Ahkam al-Qur’an oleh Muhammad ibn Abdullah (Ibn Hakam) (268 H) c. Ayat Ahkam oleh Ismail ibn Ishaq al-Azdi (282 H)
d. Ayat al-Ahkam oleh al-Qhasim ibn Ashbag al-Qurthuby al-Andalusy (304H)
e. Ahkam al-Qur’an oleh Muhammad Tamimi (305)
f. Ahkam al-Qur’an oleh Musa ibn al-Abdur Rahman (306)
5. Tafsir Fiqhy Madzhab Syafi’I antara lain:
b. Al-Qaul al-Wajiz fi Ahkam al-Kitab al-Aziz oleh Syihabuddin al-Halabi c. Ahkam al-Kitab al-Mubin oleh Abdullah Mahmud al-Syanfaki (abad 9
H)
d. Iklil fi Istinbath al-Tanzil oleh Jalaluddin al-Syuyuthy (abad 10 H) e. Ahkam al-Qur’an oleh Muhammad ibn Idris al-Syafi’I (204 H)
f. Ahkam al-Qur’an Oleh Ibrahim ibn Khalid (Abu Tur al-Kalbi)
6. Tafsir Fiqhy Madzhab Hanbali antara lain:
a. Ayat al-Ahkma oleh Qhadi Abu Ya’la al-Kabir (458 H)
b. Ayat al-Ahkam oleh Abu Bakar al-Dimasyqi al-Razi (751)
7. Tafsir Fiqhy Madzhab Zahiri antara lain :
a. Ahkam al-Qur’an oleh Dawud ibn Ali al-Dhahiry al-Isfani b. Ahkam al-Qur’an oleh Abdullah ibn Ahmad (Ibn al-Muflis)11
B. Kaidah Asba>b An-Nuzu>l
Asbab an-Nuzul merupakan bagian dari Kaidah Tafsir yang berupa
Ketetapan-ketetapan yang membantu seorang penafsir untuk menarik
makna/pesan-pesan al-Qur’an, dan menjelaskan apa yang musykil dari
kandungan ayat-ayatnya.12 Ketetapan dalam penafsiran menjadi sebuah
patokan atau panduan untuk menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, dengannya dapat
memberi kemudahan bagi mufassir untuk memahami kandungan al-Qur’an
baik dari segi gramatikal bahasa maupun dari konteks historis turunnya ayat
berdasarkan pada riwayat.
Konteks historis turunnya ayat dalam kaidah tafsir dikenal dengan kaidah
Asbab an-Nuzul (sebab-sebab turunnya) ayat-ayat al-Qur’an. Banyak definisi
yang dikemukakan ulama’ tentang asbab an-nuzul, namun terdapat definisi
yang paling polular yakni peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa turunnya
11 Muhammad Ridho, hal, 60.
24
ayat, baik sebelum maupun sesudah turunnya, diman kandungan ayat tersebut
berkaitan/dapat dikaitkan dengan peristiwa itu.13
Peristiwa yang menjelaskan turunnya ayat tentunya bersumber terhadap
riwayat yang shahih. Sahabat menjadi perawi pertama dalam riwayat asbab
an-nuzul, sebab peristiwa turunnya ayat adakalanya berupa sebuah tanggapan dari
pertanyaan sahabat atau sebuah petunjuk bagi mereka tatkala rasul masih
hidup.
Meskipun tidak semua ayat memiliki riwayat tentang sebab nuzul, namun
kaidah ini tetap urgen untuk membantu mufassir menafsirkan al-Qur’an. Sebab
terdapat beberapa ayat yang sukar atau bahkan akan keliru dipahami jika tidak
mengetahui tentang sebab turunnya ayat tersebut, seperti contoh ayat 93 Surat
al-Maidah :
“tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan yang saleh karena memakan makanan yang telah mereka Makan dahulu, apabila mereka bertakwa serta beriman, dan mengerjakan amalan-amalan yang saleh, kemudian mereka tetap bertakwa dan beriman, kemudian mereka (tetap juga) bertakwa dan berbuat kebajikan. dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.”
Jika dipahami sekilas, ayat tersebut terkesan membenarkan seorang yang
beriman makan/minum apa saja, walau haram, selama mereka masih beriman.
Pemahaman ini jelas keliru, sebab terdapat riwayat yang menjelaskan bahwa
turunnya ayat ini berkaitan dengan orang yang sudah wafat, artinya bagaimana
nasib mereka yang sudah wafat, jika semasa hidupnya banyak melakukan dosa,
hingga kemudian turun ayat ini sebagai penjelasan bahwa Allah tidak meminta
pertanggung jawaban kepada orang yang telah mati.14
Terdapat beberapa redaksi riwayat tentang sebab nuzul, hal ini juga
menentukan bahwa riwayat tersebut memang benar-benar shahih dan sharih
(jelas). Diantara redaksi yang jelas dalam menyebutkan sebab nuzul ayat,
menggunakan shigat (bentuk) kata nazala (turun) yang diteruskan dengan
kisahnya, atau menjelaskan kisah peristiwa turunya ayat kemudian
menggunakan huruf Fa’ Ta’qibiyah yang disandingkan dengan lafad nazala
sehingga menjadi fanazal/at (maka turun) ayat ini yang menjelaskan sebab
nuzul ayat.
Untuk memahami sebab nuzul, ulama’ berbeda dalam menggukan kaidah
al-ibrah bi umum al-lafadz la bi khusus as-sabab (mengambil pelajaran dari
keumuman lafadz daripada sebab yang khusus) dan sebaliknya al-Ibrah bi
khusus as-sabab la bi umum al-lafadz (mengambil pelajaran dari kekhususan
sebab bukan keumuman lafadz). Perbadaan tersebut terletak pada pemahaman
ulama’ salaf dan khalaf tentang apa yang dapat dijadikan sebagai pegangan
antara keumuman lafadz atau sebab yang khusus.
26
Manna’ al-Qattan dalam kitabnya berusaha menengahi kelompok
tersebut, dengan mengambil jalur tengah ia menyatakan bahwa yang menjadi
patokan dalam sebab nuzul adalah keumuman lafadz selama tidak ada riwayat
yang menyatakan kekhususan sebab turunnya ayat. 15 Dengan demikian
keumuman lafadz tetap menjadi patokan secara dominan dalam memahami
sebab turunnya ayat. Seperti ketika hendak memami ayat 43 surat An-Nisa’:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam Keadaan
mabuk”
Potongan ayat tersebut jika dipahami berpatokan pada keumuman
lafadznya maka terkesan Allah memboleh orang beriman minum khamar atau
mabuk, akan tetapi jika berpatokan pada kekhususan sebabnya maka ayat
tersebut tidak berlaku pada umat Islam saat ini, sebab turunnya ayat tersebut
sebelum adanya larangan minum khamar.
C. Larangan-larangan Menikah dalam Al-Qur’an
1. Larangan-larangan Nikah
Meskipun perkawinan telah memenuhi seluruh rukun dan syarat
yang ditentukan belum tentu perkawinan tersebut sah, karena masih
tergantung lagi pada satu hal, yaitu perkawinan itu telah terlepas dari segala
hal yang menghalang. Halangan perkawinan itu disebut juga dengan
larangan perkawinan.
Larangan perkawinan dalam bahasan ini adalah orang- orang yang
tidak boleh melakukan perkawinan sebagaiman keterangan ayat al-Qu’an.
Diantara perempuan-perempuan yang tidak boleh dikawini oleh seorang
lelaki ataupun sebaliknya. Allah SWT berfirman di dalam surah an-Nisa
ayat 22-24:
ايبس ءاس اًتقم ً شحاف اك هَنإ فلس دق ام اإ ءاسنلا نم مكؤابآ حكن ام او كنت ا (
٢٢ تمرح)
مكتانب مكتا َمأ مكيلع يتالا مكتا َمأ تخأا انب أا انب مكتااخ مكتاَ ع مكتاوخأ
ئاسن نم مك و ح يف يتالا مكبئاب مكئاسن ا َمأ عاضَرلا نم مكتاوخأ مكنعض أ الا مك
يت
ب متلخد مكباصأ نم ني َلا مكئانبأ لئاح مكيلع انج اف َن ب متلخد اونوكت مل إف َن اوع ت أ
اً يح اً وفغ اك ََا َ إ فلس دق ام اإ نيتخأا نيب
“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah. Seburuk-buruk jalan (yang ditempuh). Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan; saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri; tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan) maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”16
Secara garis besar, dalam kedua ayat di atas tertulis bahwa larangan
kawin antara seorang pria dan seorang wanita dalam syara‘ dibagi dua, yaitu
28
halangan abadi dan halangan sementara.17 Pertama: larangan perkawinan
yang berlaku haram untuk selamanya dalam arti sampai kapan pun dan
dalam keadaan apa pun laki-laki dan perempuan itu tidak boleh melakukan
perkawinan. Larangan dalam bentuk ini disebut mahram muabbad. Kedua :
larangan perkawinan berlaku untuk sementara waktu dalam arti larangan itu
berlaku dalam keadaan dan waktu tertentu, suatu ketika bila keadaan dan
waktu tertentu itu sudah tidak lagi menjadi haram, yang disebut mahram
muaqqat.18Untuk lebih jelas dan detail penulias uraikan sebagaimana
beriktut.
a. Menikahi Mahram Muabbad
Mahram Muabbad, yaitu orang-orang yang haram melakukan
pernikahan untuk selamanya, ada tiga kelompok:19
Pertama : disebabkan oleh adanya hubungan kekerabatan, yaitu :
1) Ibu, ibunya ibu, ibunya ayah, dan seterusnya dalam garis lurus keatas.
2) Anak, anak dari anak laki-laki, anak dari anak perempuan, dan
seterusnya menurut garis lurus ke bawah.
3) Saudara, baik kandung, seayah, atau seibu.
17 Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
Cetakan ke 2, 2003), 103.
4) Saudara ayah, baik hubungannya kepada ayah secara kandung, seayah
atau seibu, saudara kakek, baik kandung, seayah atau seibu, dan
seterusnya menurut garis lurus ke atas.
5) Saudara ibu, baik hubungannya kepada ibu dalam bentuk kandung,
seayah atau seibu, saudara nenek kandung, seayah atau seibu, dan
seterusnya dalam garis lurus ke atas.
6) Anak saudara laki kandung, seayah atau seibu, cucu saudara
laki-laki kandung, seayah atau seibu, dan seterusnya dalam garis lurus ke
bawah.
7) Anak saudara perempuan, kandung, seayah atau seibu, cucu saudara
kandung, seayah atau seibu, dan seterusnya dalam garis lurus ke
bawah.
Hikmah dari larangan ini adalah karena merupakan hal yang
mustahil secara fitrah adalah orang yang merasakan syahwat terhadap
terhadap ibunya atau ia hendak berpikir untuk bersenang-senang
dengannya, karena cinta kasih yang terjalin di antara anak laki-laki
dengan ibunya. Apa yang dijelaskan mengenai keharaman menikahi ibu,
dikatakan pula dalam ketetapan keharaman menikahi
perempuan-perempuan berdasarkan keturunan yang lainnya.20Antara seorang
laki-laki dengan kerabat dekatnya mempunyai perasaan yang kuat yang
mencerminkan suatu penghormatan. Maka, akan lebih utama kalau dia
30
mencurahkan perasaan cintanya itu kepada perempuan lain melalui
perkawinan sehingga terjadi hubungan yang baru dan rasa cinta kasih
sayang yang terjadi antara kedua manusia itu menjadi sangat luas.21
Sebaliknya seorang perempuan tidak boleh kawin untuk
selama-lamanya karena hubungan kekerabatan dengan laki-laki tersebut di
bawah ini:
a. Ayah, ayahnya ayah dan ayahnya ibu dan seterusnya ke atas.
b. Anak laki-laki, anak laki-laki dari anak laki-laki atau anak perempuan,
dan seterusnya menurut garis ke bawah.
c. Saudara-saudara laki-laki kandung, seayah, atau seibu.
d. Saudara-saudara laki-laki ayah, kandung, seayah atau seibu dengan
ayah, saudara laki-laki kakek, baik kandung, seayah atau seibu dengan
kakek, dan seterusnya ke atas.
e. Saudara-saudara laki-laki ibu, baik hubungannya kepada ibu dalam
bentuk kandung, seayah atau seibu dengan ibu, saudara laki-laki
kandung, seayah atau seibu, dan seterusnya dalam garis lurus ke atas.
f. Anak laki saudara laki kandung, seayah atau seibu, cucu
laki-laki dari saudara laki-laki-laki-laki kandung, seayah atau seibu, dan seterusnya
dalam garis lurus ke bawah.
21 Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram dalam Islam, (Alih Bahasa: Mu’ammal Hamidy,
g. Anak laki-laki dari saudara perempuan, kandung, seayah atau seibu,
cucu laki-laki dari saudara perempuan kandung, seayah atau seibu,
dan seterusnya dalam garis lurus ke bawah.
a. Kedua : larangan perkawinan karena adanya hubungan perkawinan
yang disebut dengan hubungan mus{a>harah. Perempuan-perempuan
yang tidak boleh dikawini oleh seorang laki-laki untuk selamanya
karena hubungan mus{a>harah itu adalah sebagai berikut22 :
b. Perempuan yang telah dikawini oleh ayah
c. Perempuan yang telah dikawini oleh anak laki-laki
d. Ibu istri
e. Anak dari istri dengan ketentuan istri telah digauli
Bila seorang laki-laki tidak boleh mengawini karena hubungan
mus{a>harah sebagaimana disebutkan di atas, sebaliknya seorang
perempuan tidak boleh kawin dengan laki-laki untuk selamanya
disebabkan hubungan mus{a>harah sebagai berikut23 :
a. Laki-laki yang telah mengawini ibunya atau neneknya
b. Ayah dari suami atau kakeknya
c. Anak-anak dari suaminya atau cucunya
32
d. Laki-laki yang telah pernah mengawini anak atau cucu perempuannya
Larangan ini bertujuan untuk menjaga keberadaan keluarga dari
pertentangan, untuk hal-hal yang penting, semisal dengan putusnya
kekerabatan, buruknya pengertian, tersebarnya kecemburuan antara ibu
dengan anak perempuannya atau ayah dengan anak laki-lakinya, dan
sebagainya yang terkadang mengakibatkan pertentangan antara anggota
satu keluarga. Hikmah lain atas larangan pernikahan dengan
kerabat-kerabat dekat, yakni menyebabkan kelemahan fisik anak-anaknya.24
Ketiga : karena hubungan persusuan.25 Ibu susuan, yaitu ibu yang
menyusui, maksudnya seorang wanita yang pernah menyusui seorang
anak, dipandang sebagai ibu bagi anak yang disusui itu sehingga haram
melakukan perkawinan.
a. Anak susuan. Termasuk dalam anak susuan itu ialah anak yang
dipersusukan istri, anak yang disusukan anak perempuan, anak yang
dipersusukan istri anak laki-laki, dan seterusnya dalam garis lurus ke
bawah.
b. Saudara sepersusuan. Termasuk dalam saudara sesusuan itu ialah
yang dilahirkan ibu susuan, yang disusukan ibu susuan, yang
dilahirkan istri ayah susuan, anak yang disusukan istri ayah susuan,
yang disusukan ibu, yang disusukan istri ayah susuan.
24 Ali Yusuf as-Subki,Fiqh Keluarga, 124.
25 Tihami dan Sohari Sahrani, Fiqh Munakahat: Kajian Fiqh Nikah Lengkap, (Jakarta: Raja
c. Paman susuan. Yang termasuk paman susuan itu ialah saudara dari
ayah susuan, saudara dari ayahnya ayah susuan.
d. Bibi susuan. Termasuk dari arti bibi susuan itu ialah saudara dari ibu
susuan, saudara dari ibu dari ibu susuan.
e. Anak saudara laki-laki atau perempuan sesusuan. Termasuk dalam arti
anak saudara ini adalah anak dari saudara sesusuan, cucu dari saudara
sesusuan, dan seterusnya ke bawah. Orang-orang yang disusukan oleh
saudara sesusuan, yang disusukan oleh anak saudara sesusuan. Yang
disusukan oleh saudara perempuan, yang disusukan oleh istri saudara
laki-laki, dan seterusnya garis lurus ke bawah dalam hubungan nasab
dan susuan.
Hikmah dari larangan perkawinan karena susuan adalah sebab
makan (menyusu) memiliki pengaruh besar dalam pembentukan diri
seseorang, bukan hanya secara fisik, namun juga menyangkut jiwa dan
akhlak. Dengan adanya hubungan kekerabatan karena persusuan
menjadikan tubuh mereka (tulang, daging, dan darahnya) dibentuk dari
satu jenis makanan. Karena itu terlihat ada keserupaan dalam karakter
akhlak mereka.26
b. Nikah Mahram Muaqqat
26 Muhammad Washfi, Mencapai Keluarga Barokah, (Yokyakarta: Mitra Pustaka, Cet. I,
34
Mahram Muaqqat adalah larangan perkawinan dengan seorang
wanita dalam waktu tertentu saja, karena adanya sebab yang
mengharamkan. Apabila sebab itu hilang maka perkawinan boleh
dilaksanakan. Yang termasuk mahram muaqqat adalah sebagai berikut
:27
a. Mengumpulkan dua orang perempuan yang masih bersaudara, baik
saudara sekandung, saudara seayah atau saudara seibu maupun
saudara sepersusuan. Kecuali secara bergantian, misalnya : kawin
dengan kakaknya kemudian dicerai, dan ganti mengambil adiknya,
atau salah satu meninggal kemudian mengambil yang satunya lagi
sebagai istri. Ulama fikih menyatakan bahwa mengawini dua orang
wanita yang berhubungan kekerabatan bisa membuat pecahnya
hubungan kekerabatan sehingga menimbulkan permusuhan yang terus
menerus antara kerabat itu.28
b. Wanita yang sedang menjalani idah, baik idah karena kematian
maupun karena talak. Perempuan yang dalam masa idah tidak
diperbolehkan bagi laki-laki selain suaminya untuk meminang atau
menikahinya, sampai habis masa idahnya.29 Sebagaimana firman
Allah dalam surat al-Baqarah ayat 235 yang berbunyi:
27Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, (Yogyakarta :
Liberty, Cet Pertama, 1982) 35-37.
28 Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi, 1050.
29 M. Azhari Hatim, Pernikahan Islami, Dasar Hukum Hidup Berumah Tangga, (Surabaya:
اَو َحاَُج ْمُكْيَلَع اَميِف ْمُتْضَرَع ِهِب ْنِم ِةَبْطِخ ِءاَسِّلا ْوَأ ْمُتْ َ ْكَأ ِف ْمُكِسُفْ نَأ
”Dan tidak ada dosa bagimu meminang perempuan-perempuan itudengan sindiran
atau kamu sembunyikan (keinginanmu) dalam hati”.30
c. Wanita yang ada dalam ikatan perkawinan dengan laki-laki lain.
Bahkan perempuan yang sedang dalam perkawinan itu dilarang untuk
dilamar, baik dalam ucapan terus terang maupun secara sindiran
meskipun dengan janji akan dikawini setelah diceraikan habis masa
idahnya. Keharaman itu berlaku selama suaminya masih hidup atau
belum dicerai oleh suaminya dan selesai pula menjalani idahnya ia
boleh dikawini oleh siapa saja.
d. Wanita yang telah ditalak tiga kali tidak halal kawin lagi dengan bekas
suaminya, kecuali telah kawin dengan laki-laki lain telah dicerai dan
telah habis masa idahnya. Hal ini dinyatakan dalam firman Allah
dalam surat al-Baqarah ayat 230:
ْنِإَف اَهَقَلَط اَف لََِ ُهَل ْنِم ُدْعَ ب ََّح َحِكَْ ت اًجْوَز َُرْ يَغ ْنِإَف اَهَقَلَط َف ا َحاَُج اَمِهْيَلَع ْنَأ اَعَجاَرَ تَ ي ْنِإ اََظ ْنَأ اَميِقُي َدوُدُح َِّا َكْلِتَو ُدوُدُح َِّا اَهُ ِّيَبُ ي مْوَقِل َنوُمَلْعَ ي .
“Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), maka
perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan istri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) Mengetahui.”31
e. Mengawini lebih dari empat orang wanita.
36
f. Perkawinan orang yang sedang ihram, baik yang melakukan akad
nikah untuk diri sendiri atau wakil orang lain.
g. Perkawinan beda agama. Yang dimaksud dengan beda agama di sini
ialah perempuan muslimah dengan laki-laki nonmuslim dan
sebaliknya laki-laki muslim dengan perempuan nonmuslim.
Keharaman laki-laki muslim kawin dengan perempuan musyrik atau
perempuan muslimah dengan laki-laki musyrik dinyatakan Allah
dalam surat al-Baqarah ayat 221:
اَو اوُحِكَْ ت ِتاَكِرْشُمْلا ََّح َنِمْؤُ ي ةَمأَو ةَِمْؤُم رْ يَخ ْنِم ةَكِرْشُم ْوَلَو ْتَ بَجْعَأ ْمُك اَو اوُحِكُْ ت َيِكِرْشُمْلا ََّح اوُِمْؤُ ي دْبَعَلَو نِمْؤُم رْ يَخ ْنِم كِرْشُم ْوَلَو ْمُكَبَجْعَأ َكِئَلوُأ َنوُعْدَي َلِإ ِراَلا َو َُّا وُعْدَي َلِإ ِةََْْا ِةَرِفْغَمْلاَو ِِب ِهِنْذ ُِّيَبُ يَو ِهِتََآ ِساَلِل ْمُهَلَعَل َنوُرَكَذَتَ ي .
”Janganlah kamu kawini perempuan-perempuan musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya perempuan-perempuan hamba yang beriman lebih baik dari perempuan musyrik merdeka, walau ia menakjubkanmu. Janganlah kamu mengawinkan anak perempuanmu kepada laki-laki musyrik sebelum ia beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik daripada laki-laki yang musyrik
walaupun ia menarik hatimu”.32
h. Kawin dengan pezina, ini berlaku baik bagi laki-laki yang baik dengan
wanita pelacur, ataupun antara wanita-wanita yang baik dengan
laki-laki pezina haram hukumnya, kecuali setelah masing-masing
bertaubat. Sebagaimana firman Allah dalam surat an-Nu>r ayat 3
yang berbunyi: ِناَزلا ا ُحِكَْ ي اإ ًةَيِناَز ْوَأ ًةَكِرْشُم ُةَيِناَزلاَو ا اَهُحِكَْ ي اِإ ناَز ْوَأ كِرْشُم َمِّرُحَو َكِلَذ َع ىَل َيِِمْؤُمْلا
”Penzina laki-laki tidak boleh menikah dengan kecuali dengan penzina perempuan, atau dengan perempuan musyrik, dan penzina perempuan tidak boleh menikah
kecuali dengan penzina laki-laki atau dengan laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan bagi orang-orang mukmin”.33
Dengan demikian larangan-larangan nikah dalam al-Qur’an pada
esensinya disebut dengan “Mahram” atau yang diharamkan dinikahi dalam
ketentuan hukum islam berdasarkan pada nash al-Qur’an dan al-Hadis.
Dalam penelitian ini penulis akan memfokuskan terhadap larangan
menikahi pezinah sebagaiman keterangan dalam surat An-Nur ayat 3
melalui studikomparatif tafsir fiqhi Ahkam al-Qur’an karya Kiya al-Haras
dan Ibnu Arabi.
BAB III
PEMBAHASAN
A. Biografi Kiya al-Haras
Nama lengkap beliau adalah Imaduddin Abu al-Hasan Ali bin
Muhammad at-T{abary, akan tetapi lebih dikenal dengan nama Kiya
al-Haras.1 Menurut bahasa persi “Kiya” berasal dari kata “Ilkiya” memiliki
makna Kebesaran, sedangkan Haras menunjukkan tempat asal beliau dari
Khurasan Persia.2
Al-Haras dilahirkan di daratan Tibris Khurasan pada tahun 450 H
atau 1087 M dan wafat pada tahun 504 H atau 1110 M. Dikenal sebagai
seorang yanga ahli fiqhi Madhab Syafi’i tidak didapatkan secara instan.
Sepanjang hidup baliau berpinda-pindah untuk menuntut ilmu.
Keuletan al-Haras dalam menuntut ilmu senada seperti yang
disampaikan oleIbn Imad dalam kitabnya al-Syadzawat: “Kita tidak
mengetahui sedikitpun tabi’at al-Haras. Semenjak kecil ia selalu giat
menuntut ilmu pengetahuan, hingga beliu pergi meninggalkan kampung
halaman menuju kota Naisabur untuk belajar pada ulama’ terkemuka disana.
Pada umurnya 18 tahun, Imam Haramain menggolongkanya sebagai murid
yang teladan sebagaiman kawan-kawanya yang lain seperti al-Ghazali dan
al-Khawafi”
1 Muhammad Husein Adh-Dhahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, (Beirut: Dar Kitab al-Islami 1998).
327
2Mani’ Abdul Halim Mahmud, Metodologi Tafsir; Kajian Komperehensif Metode Para Ahli Tafsir,
Terj. Faisal Saleh dan Syahdianor, (Jakarta: Raja Grafindo Persada 2003), 195.
Perjalanan al-Haras dalam mencari ilmu dimulai ketika ia pindah
dari Khurasan ke Naisabur, disana ia berguru kepada Imam Haramain
al-Juwainy untuk mendalami ilmu fiqhi hingga ahli dalam bidang tersebut.
Kemudian semangatnya untuk mencari ilmu menghantarkannya keluar dari
Naisabur menuju Baihaq dan belajar disana selama satu periode. Selepas
dari Baihaq ia melanjutkan perjalanannya menuntut ilmu sampai Irak dan
menetap disana sebagai pimpinan pengajar dimadrasah Nidhamiyah hingga
wafat.3
Sebagai pimpinan pada Madrasah Nidhamiyah, kedudukan
al-Haras sangat terhormat dan berada dibarisan ulama’ terkemuka di Irak, hal
tersebut tidak lepas karena derajat keilmuan beliau berada pada level yang
tinggi pula. Pernah dituduh sebagai penganut madzhab al-Bat}iniyah hingga
ada keinginan Shult}on (raja) untuk membunuhnya, kemudain ia
menjelaskannya melalui seorang yang juga bersaksi menyangkal tuduhan
tersebut. Sebab al-Haras juga dikenal dengan kemampuan vocalnya dan
tutur katanya yang manis.4
1. karya-karya
Produktivitas al-Haras dalam menelorkan sebuah karya tidak hanya
dalam bidang fiqhi, kemampuan beliau dalam memahami dan menafsirkan
al-Qur’an mendorong untuk melakukan penafsiran terhadap ayat-ayat
40
hukum berdasarkan tela’ah fiqhi. diantara karya-karya beliau lebih jelasnya
sebagaimana berikut :
1. Ahkam al-Qur’an
2. Lawami’ al-Dala’il fi Zawaya al-Masa’il
3. Syifa’ al-Musytarsyidin fi Mabahaith al-Mujtahidin
4. Naqd Mufradat al-Imam Ahmad
5. Kitab fi Ushul Fiqh
Menurut Sayyid Muhammad Ali Iyazi, Kitab Tafsir Ahkam karya
al-Kiya al-Harasi ini merupakan karya monumental dari kalangan mazhab
Syafi'i, terutama yang menggunakan pendekatan disiplin fiqh. Dikatakan
demikian karena kitab ini merupakan kitab dari kalangan Madzhab Syafi’i
yang pertama kali terbit dan sampai kepada kita. Sebenarnya kitab Ahkâm
Al-Qur'an yang disandarkan kepada Imam Syafi'i pernah dibuat oleh
al-Baihaqi, namun tidak mengkaji seluruh ayat Al-Qur'an secara lengkap,
sementara kitab ini memaparkan seluruhnya.
Kitab tafsir ini banyak mempromosikan dan membela Mazhab Syafi'i,
sedangkan di sisi lain menyerang (pendapat) Imam Abu Hanifah,
sebagaimana yang dilakukan oleh al-Jashshash – pendukung mazhab Hanafi
– kepada Imam Syafi'i, dan atau yang dilakukan oleh Ibnu al-‘Arabi kepada
Imam Syafi'i dan Abu Hanifah.
Fanatisme mazhab ini terlihat jelas pada pembukaan tafsirnya yang
dinyatakan sebagai berikut: "Sesungguhya mazhab Syafi'i adalah mazhab
dalam banyak pokok masalah, penafsirannya telah bergeser dari yang
meragukan (zhanni) ke level kebenaran (al-haq al-Yaqîn). Hal ini
disebabkan karena Imam Syafi'i membangun pemikirannya di atas pondasi
yang kokoh dan abadi di atas sumber utama, kitabullah, yakni sumber yang
bersih dari kontaminasi kebatilan dan kebohongan".
Berangkat dari prinsip inilah maka metodologi yang dikembangkan di
dalam tafsirnya selalu diwarnai dengan pembelaan terhadap Imam Syafi'i,
baik yang berkaitan dengan pokok-pokok Ajaran Islam maupun
masalah-masalah furu' (cabang). Pada bagian lain di dalam muqaddimahnya ia
berkata:
“…….setelah melihat urusannya demikian, maka hati saya tergugah untuk menyusun kitab Ahkam al-Qur'an ini. Sebuah kitab tafsir di mana saya dapat menjelaskan pijakan Imam Syafi'i dalam menentukan dalil-dalil ketika menemukan masalah-masalah yang samar”.
Kitab tafsir ini dalam pembahasannya merujuk pada riwayat-riwayat
yang bersumber dari Rasulullah Saw., para sahabat, dan tabi’in. Metodologi
pemabahasannya dibuat secara sistematis persurat. Penulis memfokuskan
diri dan mendahulukan pembahasannya pada ayat-ayat yang terkait dengan
masalah hukum dan mengangkat berbagai pendapat yang berkisar tentang
problematika tersebut. Di samping itu, al-Harasy juga menguraikan
permasalahan teologis dan masalah-masalah kontroversial antar madzhab,
terutama antara madzhab Imam Syafi’i dan madzhab Imam Hanafi, karena
– menurut Ali Iyazi – tidak ditemukan keterangan yang merujuk kepada
42
Ali Iyazi dalam kitabnya, Al-Mufassirûn Hayâtuhum wa
Manhajuhum, mengambil kesimpulan bahwa karya al-Harasy ini tidak
moderat dalam menjelaskan permasalahan hukum, di mana ia lebih
cenderung berpihak dan meluruskan pendapat madzhabnya sendiri
(Syafi’iyah) ketika menukil berbagai pendapat dari madzhab lain. Kitab ini,
menurut adz-Dzhabi, ditulis dalam jilid besar yang sementara ini
masihterdapat di Dâr al-Kutub al-Mishriyah dan perpustakaan al-Azhar.
2. Metodologi Penafsiran
Tafsir Ahkam Al-Qur’an karya Kiya Al-Harasi merupakan salah
satu kitab tafsir terpenting yang bercorak fikih madzhab Imam Syafi’i. Kitab
tafsir ini merupakan salah satu kitab tafsir fikih Imam Syafi’i yang
terdokumentasi sampai sekarang setelah kitab Tafsir Ahkam Imam Syafi’I
yang dibukukan oleh Abu Bakar Ahmad ibn al-Husaini bin ‘Ali ibn
‘Abdullah ibn Musa al-Baihaqi an-Naisaburi (458H).5
Hanya saja, di dalam kitab tafsir Ahkam al-Qur’an, as-Syafi’i tidak
mencakup semua pembahasan ayat-ayat hukum yang ada di dalam
al-Qur’an. Sedangkan Tafsir Ahkam al-Qur’an karya Kiya al-Haras mencakup
semua ayat-ayat hukum yang ada di dalam al-Qur’an. Beliau menyusun
kitab tafsir tersebut dengan menafsirkan semua ayat-ayat ahkam
berdasarkan urutan surat-surat di al-Qur’an.