• Tidak ada hasil yang ditemukan

T POR 1101230 Chapter (2)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "T POR 1101230 Chapter (2)"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

PENELITIAN

A. KAJIAN PUSTAKA

1. Cooperative Learning

Model Cooperative Learning mulai dikembangkan pada pertengahan tahun 1970 di Hopkins University oleh Robert E Slavin. Pada awalnya, Slavin menamakan model ini dengan nama Student Team Learning (STL) dan mulai berkembang dan berubah menjadi Cooperative Learning dengan cakupan pembahasan yang lebih luas. Cooperative Lea rning merupakan seperangkat pengajaran dimana pengelompokkan siswa, pengaturan waktu dan tugas saling terkait dengan harapan agar semua siswa bisa memberikan kontribusi pada proses belajar dan memberikan hasil yang terbaik seperti yang dijelaskan oleh Metzler (2000, hlm. 221) :

...cooperative learning is not really a model by it self. It is a set of teaching strategies that sha re key attributes, the most important being the grouping of students into learning teams for set amounts of time or assigment with the expectation that all students will contribute to the learning process and outcomes.

Merujuk secara istilah, Cooperative Learning mengacu pada metode pendidikan dimana siswa bekerja sama dalam kelompok-kelompok kecil untuk mencapai tujuan bersama dan bertanggung jawab sendiri atas pembelajaran mereka sendiri serta bertanggung jawab terhadap orang lain (Gokhale, 1995, dalam Lavasani, Afzali & Afzali, 2011, hlm. 188). Cooperative Learning adalah rencana atau susunan pembelajaran yang mengarah pada pembagian siswa ke dalam kelompok kecil dan heterogen agar bisa bekerja sama untuk mencapai tujuan pembelajaran dan menjalin hubungan kolaboratif di antara anggota kelompok tersebut (Goodwin, 1999, hlm. 29). Juliantine dkk (2013, hlm. 63) menyatakan bahwa

(2)

sikap kepemimpinan dan membuat keputusan dalam kelompok serta memberikan kesempatan kepada siswa untuk berinteraksi dan belajar bersama-sama, siswa yang berbeda latar belakangnya.”

Metzler (2000) menyatakan tiga konsep dasar dari Cooperative Learning yakni :

a. Team rewa rd. Dalam CL, setiap tim diberikan tugas dimana ketika mereka mampu menyelesaikan tugas yang diberikan, mereka akan mendapatkan penghargaan atau hadiah. Bentuk dari hadiah ini bisa berupa pemberian nilai, hak istimewa dan sebagainya.

b. Individual accountability. Bagian lain dari CL adalah bahwa dalam performa semua anggota kelompok merupakan bagian dari penilaian tim. Semua siswa harus memberikan kontribusinya dalam usaha tim dan penting bagi semua anggota tim untuk bisa belajar dan memberikan potensi mereka secara optimal.

c. Equal opportunities. Dalam pembentukan kelompok atau tim, siswa harus dibagi berdasarkan tingkat keterampilan, jenis kelamin, kemampuan kognitif, sehingga tim tersebut terbentuk secara heterogen. Dengan adanya perbedaan dalam kelompok ini, para siswa dituntut untuk bisa mengembangkan keterampilan sosialnya. Keserataan kelompok dalam kemampuan akan meningkatkan iklim kompetisi yang adil dan akan meningkatkan motivasi para siswa.

(3)

satu dengan yang lain merupakan hal penting dan memudahkan mereka mencapai sukses. Sehingga prinsipnya adalah “It’s not onlystudent must learn to cooperate but that students must cooperate to learn”.

Dalam Cooperative Learning siswa tidak hanya bertanggung jawab terhadap isi pembelajaran tetapi membantu teman sekelompoknya untuk bisa mengerti terhadap materi (Wang, 2012, hlm. 109). Dalam beberapa literatur dijelaskan bahwa pendekatan dalam cooperative learning bisa dilakukan dalam 4 aspek yakni : (1) konsep/conceptual, (2) struktural/structural, (3) kurikulum/curricula r, (4) instruksi kompleks/complex intruction (Goudas & Magotsiou, 2009 ; Wang, 2012). Johnson dkk (1994) dalam Metzler (2000) mengungkapkan bahwa dalam proses pembelajaran dengan metode cooperative learning terdapat lima elemen penting dalam proses pembelajaran yakni :

1) Positive interdependence among students. Siswa harus memahami bahwa semua anggota tim diperlukan bagi seluruh tim untuk mencapai tujuannya. Setiap anggota tim membawa bakat yang unik, pengetahuan, pengalaman dan keterampilan yang dapat membantu tim.

Keberhasilan suatu karya sangat bergantung pada usaha setiap anggotanya. Untuk menciptakan kelompok kerja yang efektif, pengajar perlu menyusun tugas sedemikian rupa sehingga anggota kelompok harus menyelesaikan tugasnya sendiri agar yang lain dapat mencapai tujuan mereka (Juliantine dkk, 2013, hlm. 65)

(4)

3) Individual accountability/ personal responsibility.Cooperative learning akan bekerja dengan baik ketika setiap anggota dari kelompok memberikan kontribusi dengan pembagian yang adil. Artinya bukan setiap siswa mendapatkan nilai yang sama akan tetapi semua siswa berpartisipasi dalam proses pembelajaran sesuai dengan kemampuan mereka.

4) Interpersonal and small-groups skills. Ada penekanan pada aspek pemahaman dan percaya terhadap anggota tim, komunikasi yang baik, saling menerima dan mendukung dan resolusi terhadap konflik.

5) Group processing. Untuk lebih menekankan nilai pembelajaran sosial, guru harus secara teratur membuat siswa untuk merefleksikan pengalaman mereka bersama tim. Strategi kunci di sini adalah bahwa guru tidak boleh langsung memberitahu siswa bagaimana mereka harus bersikap dan berinteraksi dengan rekan tim. Pada prosesnya tidak boleh langsung, namun mendorong siswa untuk bisa merefleksikannya.

Desain model pembelajaran kooperatif didasarkan pada konvergensi dari empat teori utama, diantaranya adalah teori motivasi (motivational theory), teori kognitif (cognitive theory), teori pembelajaran sosial (social learning theory), dan teori perilaku (behavioral theory) (Metzler, 2000, hlm. 227).

a. Motivational theory, digunakan untuk menciptakan struktur tim yang membuat mereka menyadari bahwa satu-satunya untuk mencapai tujuan adalah kontribusi dari semua anggotanya. Yang mendorong siswa untuk memberikan yang terbaik, dan berinteraksi dalam kelompok untuk memenuhi tujuan bersama.

b. Cognitive theory, digunakan untuk memberikan tugas-tugas kepada siswa sesuai dengan tahapan perkembangan, yang memberikan jumlah tantangan yang tepat untuk mencapai tujuan tim. Jika terlalu mudah maka tim tidak akan memberikan seluruh potensi mereka. Jika terlalu susah, maka tim akan menjadi frustasi dan menarik dirinya dari tugas.

(5)

dan kemudian membagi dan menjelaskan kepada orang lain, paling sering dengan cara menunjukkan dan menjelaskan kepada mereka.

d. Behavioral theory, Teori perilaku digunakan untuk menyediakan hubungan antara proses pembelajaran kooperatif, siswa pada keterlibatan tugas, dan penghargaan prestasi tim. Tugas yang baik membuat siswa memahami dengan jelas apa keterampilan sosial yang dibutuhkan dalam situasi tertentu, apa tujuan pembelajaran, dan apa konsekuensinya ketika gagal atau berhasil menyelesaikan tugas yang diberikan.

Juliantine dkk (2013, hlm. 70) menyatakan garis besar tujuan pembelajaran kooperatif sebagai berikut :

 Untuk lebih menyiapkan siswa dengan berbagai keterampilan baru agar dapat berpartisipasi dalam dunia yang berubah terus berkembang

 Membentuk kepribadian siswa agar dapat mengembangkan kemampuan berkomunikasi dan bekerja sama dengan orang lain dalam berbagai situasi sosial.

 Mengajak siswa untuk membangun pengetahuan secara aktif karena dalam pembelajaran dengan model kooperatif, siswa tidak hanya menerima pengetahuan dari guru tetapi siswa juga menyusun pengetahuan yang terus menerus sehingga menempatkan siswa sebagai siswa yang aktif.

 Memantapkan interaksi pribadi antara siswa dengan siswa dan siswa dengan guru.

 Mengajak siswa untuk menemukan, membentuk dan mengembangkan pengetahuan.

 Meningkatkan hasil belajar, meningkatkan hubungan antar kelompok, menerima teman yang mengalami kendala akademik, dan meningkatkan harga diri.

Model pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai setidak-tidaknya tiga tujuan pembelajaran penting yang dirangkum oleh Ibrahim dkk (2000) sebagaimana yang dikutip oleh Juliantine dkk (2013, hlm. 71)

(6)

Beberapa ahli berpendapat bahwa model ini unggul dalam membantu siswa memahami konsep-konsep sulit. Para pengembang menunjukkan bahwa model struktur penghargaan kooperatif telah dapat meningkatkan nilai siswa pada belajar akademik dan perubahan norma yang berhubungan dengan hasil belajar. Di samping itu, pembelajaran kooperatif dapat memberi keuntungan baik pada siswa kelompok bawah dan kelompok atas yang bekerja bersama menyelesaikan tugas-tugas akademik.

 Penerimaan terhadap perbedaan individu

Tujuan lain dari model pembelajaran kooperatif adalah penerimaan secara luas dari orang-orang yang berbeda berdasarkan ras, budaya, kelas sosial, kemampuan dan ketidakmampuannya. Pembelajaran kooperatif memberi peluang bagi siswa dari berbagai latar belakang dan kondisi untuk bekerja dengan saling bergantung pada tugas-tugas akademik dan melalui struktur penghargaan kooperatif akan belajar saling menghargai satu sama lain.

 Pengembangan keterampilan sosial

Tujuan lainnya adalah mengajarkan kepada siswa keterampilan bekerja sama dan kolaborasi. Keterampilan-keterampilan sosial penting dimiliki oleh siswa sebab banyak anak muda masih kurang dalam keterampilan sosial.

Dalam buku Cooperative Learning: Theory, Research, and Practice (London: Allymand Bacon, 2005) karya Robert Slavin yang diterjemahkan oleh Narulita Yusron, Slavin menyajikan enam metode pembelajaran kooperatif, yaitu (1) Pembelajaran Tim Siswa (Student Team Learning), (2) STAD (Student Teams-Achievement Division), (3) TGT (Teams Games-Tournament), (4) Jingsaw II, (5) TAI (Team Acceleration Instruction), dan (6) CIRC (Cooperatif Integrated Reading and Communication).

2. Cooperative Learning Tipe TGT (Teams Games Tournament)

(7)

(Sinaga, 2012). Model cooperative learning tipe Team Games Tournament (TGT) merupakan model pembelajaran kooperatif yang merupakan tingkat lanjutan dari STAD (Student Team Achievement Devisions). Aktivitas belajar dengan permainan yang dirancang dalam pembelajaran kooperatif tipe TGT (Team Games Tournament) memungkinkan siswa dapat belajar lebih rileks dan menyenangkan. Di samping itu juga menumbuhkan rasa tanggung jawab, kerja sama, persaingan sehat dan keterlibatan belajar.

Pada TGT kompetisi terjadi tidak hanya anggota dalam satu kelompok akan tetapi terjadi secara eksternal antar tim. (Slavin, 2005, hlm. 166; Suherman, 2009, hlm. 29). Dalam TGT, setiap anggota kelompok memiliki kesempatan untuk bisa sukses. Slavin (2005) menjelaskan komponen-komponen TGT, antara lain :

1.Presentasi di kelas. Materi yang akan diberikan diperkenalkan dalam presentasi di dalam kelas. Dengan adanya presentasi di kelas, siswa menyadari bahwa mereka harus memberikan perhatian penuh selama presentasi karena akan sangat membantu mereka dalam proses pembelajaran selanjutnya.

2.Tim. Tim terdiri dari lima sampai dengan delapan siswa yang mewakili seluruh bagian kelas dalam hal kinerja akademik, jenis kelamin, ras dan etnisitas. Fungsi utama dari tim adalah memastikan bahwa semua anggota tim benar-benar belajar dan mempersiapkan anggotanya untuk bisa mengerjakan kuis dengan baik.

3.Game. Game berisikan materi-materi yang sudah disampaikan dalam proses pembelajaran dan dilakukan dengan menggunakan peraturan yang sudah disepakati sebelumnya.

4.Turnamen. Turnamen adalah sebuah struktur di mana ga me berlangsung. Kompetisi yang seimbang akan memungkinkan para siswa untuk berkontribusi secara maksimal terhadap skor tim mereka jika mereka melakukan yang terbaik.

(8)

Suherman (2009) menjelaskan garis besar langkah model pembelajaran cooperative learning tipe TGT meliputi :

1. Guru menjelaskan tujuan pembelajaran

2. Guru membagi siswa ke dalam beberapa kelompok

3. Masing-masing kelompok/ tim melakukan latihan dan seleksi anggota 4. Melakukan perlombaan antar tim

5. Berlatih dan berlomba dalam tim 6. Berlomba antar tim

7. Penilaian

Selanjutnya, sistem penilaian dilakukan berdasarkan pada jumlah peningkatan skor total hasil tim. Skor yang diperoleh setiap individu dalam tim pada dasarnya merupakan skor tim dengan demikian para siswa akan termotivasi meningkatkan skor individu dalam timnya untuk membawa kemenangan untuk timnya.

Keberhasilan penerapan model TGT dipengaruhi oleh heterogenitasnya anggota dalam suatu kelompok baik dilihat dari level keterampilan, pengalaman, etnik, jenis kelamin, keterampilan berkomunikasi, kepemimpinan, dan keinginan untuk berjuang bagi timnya. Makin heterogen anggota tim makin cenderung mudah melaksanakan penilaian keberhasilan pembelajaran ini (Suherman, 2009, hlm. 30).

3. Keterampilan Sosial

(9)

Keterampilan sosial berkaitan dengan proses interaksi yang baik antara individu dengan individu dan individu dengan lingkungannya sehingga tercipta keharmonisan seperti yang dijelaskan oleh Cartledge & Milburn (1992) dan Comb & Slaby (1977) dalam Nopembri (2008, hlm. 47). “Social skills are one’s or society member ability in establishing relationship with others and his problem

solving ability with which a harmonious society can be achieved” dan “The social

skill is the ability to intera ct with others in a given social context in specific ways

that are socially acceptable or valued at the sa me time personality beneficial,

mutually beneficial, of beneficial primarily to others”. Selanjutnya, Walker dkk (1995) dalam Nopembri (2008, hlm. 48) yaitu:

a.Social skills are the interpersonal behaviors that permit an individual to interact successfully with others in the environment.

b.Goal-directed, learned behaviors that allow one to interact and function effectively in a variety of contexts.

c. Social skills are an individual’s situation-specific behaviors that others judge as socially appropriate.

Social skills telah banyak didefinisikan oleh beberapa ahli dan peneliti yang melakukan penelitian mengenai social skills. Berikut adalah beberapa definisi tentang social skills (Lavasani dkk, 2011) :

a. Keterampilan sosial dipelajari dan menerima perilaku yang membawa hubungan interaktif dan memberikan jawaban positif dan menghindari yang negatif.

b. Menurut Morgaun dalam Cartlegde & Kiarie (2001) social skills adalah “Perilaku yang tidak hanya menyediakan kemungkinan untuk memulai dan menjaga hubungan interaktif dan positif dengan orang lain, tetapi juga membawa kemampuan potensial untuk mencapai tujuan dalam hubungan dengan bantuan yang diberikan dari orang lain”.

(10)

d. Keterampilan sosial merupakan seperangkat perilaku terintegrasi dan sesuai dengan tujuan yang dapat dipelajari dan dikendalikan oleh individu.

e. Keterampilan sosial adalah perilaku verbal dan non verbal yang membawa interaksi individu dengan orang lain yang efektif, yang mencakup: berpartisipasi, mengamati dengan bergantian, menjadi kompatibel, memilih, ramah, dan berkomunikasi dengan orang lain. (Gut & Safran, 2002).

Berdasarkan pada definisi-definisi mengenai keterampilan sosial tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan yakni : keterampilan sosial merupakan kemampuan atau perilaku individu untuk berinteraksi dengan orang lain, keterampilan sosial merupakan keterampilan yang dipengaruhi oleh keadaan individu itu sendiri dan faktor lingkungan, keterampilan sosial berperan dalam terciptanya kehidupan bermasyarakat yang harmonis. Oleh karena itu, keterampilan sosial bisa kita definisikan sebagai kemampuan atau perilaku seseorang atau individu dalam proses interaksi dengan orang lain yang dipengaruhi oleh faktor intern dan ekstern (keadaan individu tersebut dan lingkungan) dalam upaya menciptakan kehidupan bermasyarakat yang harmonis.

Keterampilan sosial bagi sebagian besar anak- anak berkembang secara alami sesuai dengan pertumbuhan mereka. Pada umumnya anak-anak mempelajari keterampilan sosial tersebut dari interaksi sehari-hari mereka dengan orang lain. Sebagai sebuah kemampuan yang diperoleh melalui proses belajar, maka perkembangan keterampilan sosial anak tergantung pada berbagai faktor, yaitu kondisi anak sendiri serta pengalaman interaksinya dengan lingkungan sebagai sarana dan media pembelajaran. Secara lebih terinci, faktor-faktor tersebut dapat diuraikan sebagai berikut (Muzaiyin, 2013) :

a. Kondisi anak

(11)

cenderung lebih agresif dan impulsif sehingga sering ditolak oleh teman sebaya. Kedua kondisi ini menyebabkan kesempatan mereka untuk berinteraksi dengan teman sebaya berkurang, padahal interaksi merupakan media yang penting dalam proses belajar keterampilan sosial.

Anak yang mampu bersosialisasi dan mengatur emosi akan memiliki keterampilan sosial yang baik sehingga kompetensi sosialnya juga tinggi. Anak yang kurang mampu bersosialisasi namun mampu mengatur emosi, maka walaupun jaringan sosialnya tidak luas tetapi ia tetap mampu bermain secara konstruktif dan berani bereksplorasi saat bermain sendiri. Sedangkan anak anak yang mampu bersosialisasi namun kurang dapat mengontrol emosi cenderung akan berperilaku agresif dan merusak interaksi anak dengan lingkungan.

Perkembangan keterampilan sosial anak juga dipengaruhi oleh kemampuan sosial kognitifnya yaitu keterampilan memproses semua informasi yang ada dalam proses sosial. Kemampuan ini antara lain kemampuan mengenali isyarat sosial, menginterprestasi isyarat sosial dengan cara yang tepat dan bermakna, mengevaluasi konsekuensi dari beberapa kemungkinan respon serta memilih respon yang akan dilakukan.

b. Usia

Anak yang masih usia pra sekolah masih belum memiliki kemampuan untuk mencerna berbagai macam informasi secara baik dan sulit memahami orang lain. Namun setelah memasuki usia sekolah, anak akan bertahap mendapatkan pemahaman akan peranan orang lain dan mulai berinteraksi dengan orang lain.

c. Interaksi anak dengan lingkungan

(12)

hukuman saat melakukan sesuatu yang tidak pantas menurut orang tua dan teman sebaya.

d. Jenis kelamin

Anak perempuan dan anak laki-laki memiliki perbedaan pola interaksi, hal ini mempengaruhi pula pada keterampilan sosial anak. Dua anak yang usianya sama tetapi berjenis kelamin berbeda, maka keterampilan sosialnya pada aspek aspek tertentu juga berbeda.

e. Keadaan sosial ekonomi

Kondisi perekonomian keluarga akan berdampak pada sosial anak. Anak-anak yang memiliki kondisi sosial ekonomi lebih baik akan memiliki kepercayaan yang baik. Mereka memiliki kesempatan untuk mengembangkan kemampuan sosialnya pada berbagai kesempatan dan kondisi lingkungan yang berbeda.

f. Pendidikan orang tua

Secara garis besar, pendidikan orang tua berpengaruh terhadap peranan dan pemahaman orang tua terhadap berbagai kondisi tahapan perkembangan anak dan memposisikan diri dalam berbagai kondisi yang dihadapi oleh anak.

g. Jumlah saudara

Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa para guru menilai siswa yang mempunyai satu saudara kandung mempunyai keterampilan interpersonal lebih baik dibandingkan yang tidak mempunyai saudara kandung.

h. Pekerjaan orang tua

Hasil penelitian dari Liebling (2004) yang menyatakan bahwa pada kondisi ibu bekerja di luar rumah mengakibatkan waktu bertemu dengan anak akan menjadi berkurang, sehingga ibu tidak bisa maksimal dalam mendidik dan membimbing anak, sehingga akan berpengaruh terhadap keterampilan sosial anak.

(13)

tanggung jawab dan peranan dalam kehidupan sosial, membantu orang lain, dan menentukan mana yang baik dan mana yang buruk (Arslan dkk, 2011, hlm. 282).

Keterampilan sosial mempunyai peran dan kedudukan yang penting dalam setiap perkembangan hidup manusia mulai dari saat anak-anak, remaja, dewasa maupun lanjut usia. Hal ini dikarenakan bahwa keterampilan sosial dibutuhkan untuk menghargai setiap orang yang berperilaku, bekerjasama, mendapatkan pengalaman yang didasarkan pada pengalaman terdahulu, mengetahui tanggungjawab masing-masing individu, dan untuk berkomunikasi dengan orang lain Andersone (2005) dalam Nopembri (2008, hlm. 52). Pada saat anak-anak, keterampilan sosial diperlukan untuk bersosialisasi, baik dengan teman maupun dengan orang yang lebih dewasa. Pada remaja, keterampilan sosial sangat dibutuhkan sebagai penyaring berbagai perilaku-perilaku sosial yang tidak jarang banyak mengandung perilaku yang menyimpang yang sangat beresiko terhadap remaja yang sedang berada dalam masa transisi dengan karakteristik rasa ingin tahu berlebih. Pada orang dewasa, keterampilan sosial dibutuhkan terutama dalam dunia pekerjaan. Sedangkan pada orang lanjut usia, keterampilan sosial dibutuhkan untuk menyikapi berbagai masalah yang sering kali timbul di masa tersebut, baik masalah fisik maupun psikis.

Nopembri (2008, hlm. 56) menyebutkan bahwa kemampuan sosial dibedakan dalam tiga dimensi komunikasi (sensitivity, expressivity, dan monitoring/control) dan dua cara berkomunikasi (verbal (sosial) dan nonverba l (emosional)). Lebih lanjut Riggio (1986) dalam Edmondson dkk (2007:577) mendefinisikan enam dimensi keterampilan sosial yang independen, yaitu: Social Sensitivity, Emotional Sensitivity, Social Expressivity, Emotional Expressivity, Social Control, dan Emotional Control. Artinya, kepekaan sosial, kepekaan emosi, pengungkapan sosial, pengungkapan emosi, kontrol sosial, dan kontrol emosi.

(14)

Nopembri (2008, hlm. 61) menyebutkan bahwa organisasi pembelajaran dan bentuk-bentuk pengajaran sangat penting dalam pembentukan keterampilan sosial, membantu memperagakan situasi sosial yang berbeda dan menggunakan keterampilan dalam berkomunikasi dan bekerja sama. Selanjutnya Nopembri menjelaskan bahwa program pengembangan keterampilan sosial yang efektif terdiri atas dua unsur penting yakni pendekatan pembelajaran sosial/perilaku dan bahasa universal atau seperangkat tahap-tahap yang memfasilitasi belajar perilaku yang baru, yang berdasarkan pada 4 pilar pendidikan yakni: (1) Learning to know, (2) Learning to do, (3) Learning to live together, (4) Learning to be.

Pengembangan keterampilan sosial dapat dilihat dari seberapa besar peran seseorang dalam interaksi sosial. Pengembangan keterampilan sosial yang utama adalah melalui belajar, baik secara formal maupun nonformal. Berbagai pembelajaran yang dilakukan di sekolah harus memberikan kesempatan berkembangnya keterampilan sosial para siswa berdasarkan urutan dan tingkatan perkembangan mereka. Begitu pula dengan situasi sosial masyarakat yang menyediakan berbagai kesempatan pada seseorang untuk berinteraksi dan memperlihatkan keterampilan sosialnya.

Banyak penelitian yang membahas mengenai keterampilan sosial. Hal ini dilandasi dengan pemahaman bahwa keterampilan sosial adalah keterampilan hidup (life skill) dan merupakan esensi dari penampilan sukses baik dalam bidang akdemik maupun dalam kehidupan (Eldar dkk, 2009, hlm. 1). Anak dengan keterampilan sosial yang baik akan bisa menghadapi berbagai tantangan dalam hidupnya dan mampu cepat beradaptasi dengan keadaan serta tidak tergantung pada orang-orang sekitarnya (Jurevicience dkk, 2012, hlm. 42-52). Oleh karena itu keterampilan sosial merupakan salah satu aspek perkembangan yang penting dan tidak bisa dipisahkan dari perkembangan seorang anak.

4. Pendidikan Jasmani

(15)

mencapai tujuan pendidikan sebagai proses menumbuhkembangkan seluruh aspek siswa. Berikut adalah gambaran mengenai pengertian dari pendidikan jasmani yang dikemukan oleh beberapa ahli :

a. Menurut Harsono (1967:2) dalam Budiman (2006, hlm. 27) :

Pendidikan djasmani adalah suatu pendidikan yang berhubungan dengan pertumbuhan, perkembangan dan penyesuaian diri dari individu melalui suatu program yang sistematis dari latihan-latihan djasmaniah yang terpilih, disusun dan diselenggarakan sesuai dengan standard-standar sosial dan hygiene serta ditujukan untuk mencapai hasil-hasil yang bersifat khusus (specific outcomes).

b. Menurut Pangrazi (2007, hlm. 1) “Physical education is a part of the total program that contributed prima rily through movement experiences to the total

growth and development of all children.” Maksudnya adalah pendidikan jasmani merupakan bagian dari pendidikan secara umum yang memberi sumbangan terhadap pemberian pengalaman gerak untuk pertumbuhan dan perkembangan anak secara menyeluruh.

c. Menurut Wuest & Bucher (1999, hlm. 6) “Physical education is not only concerned with the physical outcomes that accrue from participation in

activities but also with the development of knowledge and attitude conducive to

lifelong learning and lifespan participation.” Maksudnya bahwa pendidikan jasmani tidak hanya difokuskan pada keberhasilan jasmani yang bertambah dari keikutsertaannya dalam aktivitas tetapi juga dalam mengembangkan pengetahuan dan sikap yang mendukung terhadap belajar sepanjang hayat.

Berdasarkan pada definisi-definisi yang telah dikemukakan tersebut dapat ditarik kesimpulan yakni pendidikan jasmani adalah bagian dari pendidikan menyeluruh yang menggunakan aktivitas fisik sebagai kegiatan pembelajaran siswa untuk meningkatkan kemampuan fisik dan nilai-nilai fungsional yang mencakup kognitif, afektif, dan sosial termasuk di dalamnya pola hidup sehat. Artinya, pendidikan jasmani mempunyai kelebihan dari pendidikan lainnya karena mencakup semua domain perkembangan anak.

(16)

semata melainkan dengan keadaan emosi, mental dan hubungan sosial yang lebih baik karena mampu berinteraksi melalui sikap dan perilaku yang direstui masyarakat (Budiman, 2006, hlm. 31). Perubahan tersebut akan terbawa ke dalam lingkungan masyarakat tempat tinggal mereka. Namun, peranan pendidikan jasmani dalam mengembangkan potensi siswa secara menyeluruh hanya bisa tercapai jika siswa bisa terlibat secara aktif dalam pendidikan jasmani. Oleh karena itu peranan guru untuk bisa memanfaatkan dan memaksimalkan peranan pendidikan jasmani sangatlah penting. Guru dituntut untuk bisa mengaplikasikan pendidikan jasmani sebagai media untuk mengembangkan anak sebagai suatu kesatuan. Pemahaman yang baik dari guru mengenai berbagai komponen dalam pembelajaran yang saling berkaitan agar tujuan pembelajaran bisa tercapai dengan maksimal. Metzler (2000) menyatakan beberapa komponen penting dalam pengajaran pendidikan jasmani berbasis model yang harus diketahui oleh guru pendidikan jasmani yakni :

a) Learning contexts. Hal ini mengacu pada faktor-faktor yang mempengaruhi apa dan bagaimana pendidikan jasmani diajarkan dan dipelajari. Metzler menyatakan bahwa terdapat 5 faktor yang termasuk ke dalam learning context yakni lokasi, demografi siswa, administrasi, sumber daya manusia, sarana dan prasanana.

b) Learners. Guru perlu mengetahui karakteristik dari para siswanya seperti latar belakang sosial ekonomi, pengalaman dan pengetahuan mereka mengenai pendidikan jasmani. Selain itu, guru juga perlu memahami mengenai domain perkembangan siswa seperti perkembangan kognitif, motorik, afektif, dan motivasi belajar dari siswa.

c) Learning theories. Banyak teori yang berkaitan dengan pembelajaran. Teori-teori tersebut saling berkaitan satu sama lain. Meztler (2000: 32) menyatakan beberapa teori yang berkaitan dengan pembelajaran seperti: operant conditioning, social cognitive learning- including self efficacy, information

processing, cognitive learning and process- including constructivist learning,

(17)

d) Developmental appropriateness. Semua komponen pembelajaran seperti konten pembelajaran, lingkungan pembelajaran, dan instruksi dalam pembelajaran pendidikan jasmani harus sesuai dengan tahapan perkembangan anak agar bisa mencapai tujuan pendidikan jasmani secara fisik, emosi dan manfaat secara akademik untuk mereka.

e) Learning domains and objectives. Pembelajaran pendidikan jasmani harus mencakup tiga ranah perkembangan anak, yakni perkembangan kognitif, psikomotor dan afektif.

f) Physical education content. Berisikan mengenai segala sesuatu yang akan diajarkan dan dipelajari seperti cabang olahraga, permainan, kebugaran, dan lain sebagainya.

g) Task analysis and Content progression. Analisis tugas dilakukan untuk mengidentifikasi komponen-komponen dari keterampilan yang telah dipelajari dan untuk menentukan tujuan atau instruksi pembelajaran selanjutnya.

h) Assessment. Meztler menjelaskan penilaian memiliki tiga tujuan yakni : (1) To describe how much learning has taken place over a given amount of

intructional time, (2) to judge or evaluate the qua lity of that learning, (3) to

make decisions about how to improve learning based on that gathered

infomation.

i) Social/emotional climate. Setiap kelas pendidikan jasmani memiliki suasana sosial dan emosi tertentu yang menentukan bagaimana atmosfir pembelajaran ketika siswa berinteraksi dengan guru dan teman sekelasnya. Suasana yang nyaman, suportif, lingkungan yang terjaga akan membantu siswa dalam meraih tujuan pembelajarannya.

(18)

k) Curriculum models for physical education. Model kurikulum merupakan rencana-rencana yang komprehensif dan koheren untuk mendisain dan mengimplementasikan seluruh program pendidikan jasmani dalam satu sekolah atau wilayah.

Karakter pendidikan jasmani adalah kegiatan jasmani yang menimbulkan rasa dan kesadaran untuk menguasai emosi pribadi, mandiri, penyesuaian diri sebagai dasar bagi terbentuknya mental sehat dan kebiasaan hidup sehat di lingkungan masyarakat di mana pun siswa berada, termasuk mendapatkan pengakuan diri sebagai anggota masyarakat yang baik karena kemampuan bersosialisasinya. Karakter penjas dapat dilihat dari muatan bahan ajar yang menjadi rujukan guru melakukan proses pembelajaran yang tercantum dalam setiap kurikulum yang ada, mulai dari KTSP, KBK sampai dengan kurikulum terbaru yakni kurikulum 2013.

B. Penelitian Terdahulu Yang Relevan

Tabel 2.1. Penelitian Terdahulu yang Relevan

No Peneliti / Judul

Penelitian ini menggunakan teknik pendekatan kualitatif dengan studi kasus (case study) dengan teknik pengambilan sampel secara purposif sampling, data diolah dari Informan sebanyak 6 guru & 100 siswa melalui teknik analisis pendekatan induktif (inductive data analysis). Hasil penelitian diantaranya adalah :

 Perencanaan model pembelajaran Penjasorkes memiliki kesamaan, baik dari sisi struktur maupun konten.

(19)

keanekaragaman terbangun dari faktor penunjang, yaitu materi (conten), dan proses

Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif studi korelasional. Sampel yang digunakan adalah siswa SD kelas V sebanyak 60 orang diambil secara acak. Instrument pembelajaran penjas dan perilaku sosial menggunakan angket. Analisis statistik menggunakan koefisien korelasi.

(20)

3 Didin Budiman penelitian diperoleh dari pre-test dan post-pre-test kemudian dianalisi dengan uji-t dan ANOVA faktorial 2 X 2. Populasi dan sampel terdiri dari siswa SD kelas IV, V, dan VI yang berusia 10-12 tahun di Sumedang. Hasil penelitian diantaranya adalah :

 metode tradisional dan metode creative movement melalui pendekatan bermain dan kompetitif mampu meningkatkan proses asosiatif siswa SD.

 Metode mengajar

tradisional melalui pendekatan bermain dan pendekatan kompetitif tidak memberikan pengaruh pada terjadinya peningkatan proses disosiatif siswa sekolah dasar bahkan cenderung menurunkannya.

 Metode mengajar creative movement melalui pendekatan bermain tidak memberikan pengaruh pada terjadinya peningkatan proses disosiatif siswa sekolah dasar

 metode mengajar creative movement melalui pendekatan kompetitif telah memberikan

pengaruh pada

(21)

Melalui analisis ANOVA diketahui bahwa tidak terdapat interaksi di antara metode mengajar dengan pendekatan mengajar dalam memberikan pengaruh pada proses asosiatif dan proses disosiatif. Ontario, Canada diketahui hasil bahwa rata-rata perempuan10% lebih sedikit di setiap kelas pendidikan jasmani di provinsi ontario dan hanya rata-rata 12% yang terdaftar dalam pendidikan jasmani setiap tahunnya. Beberapa isu diidentifikasi menjadi penyebabnya diantaranya adalah : kepercayaan diri, motivasi, pemahaman tentang pentingnya aktivitas fisik,

kesempatan untuk

berpartisipasi dalam aktivitas fisik, skema penilaian, kompetisi, teman sekelas dan pendekatan pengajaran

Penelitian ini menggunakan sampel anak sekolah dasar (usia 11-14 thn) berjumlah 706 orang. Setelah analisis data dilakukan, didapat hasil bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara perempuan dan laki-laki. Anak laki-laki mendapatkan skor lebih tinggi dibandingkan dengan anak perempuan dalam skor pengukuran skala motivasi.

(22)

Social Skills Level

Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Social Skills Inventory (SSI) digunakan untuk mengukur keterampilan sosial mahasiswa. Dari hasil analisis data diketahui bahwa

anak perempuan

mendapatkan skor yang lebih tinggi daripada anak laki-laki dalam semua aspek (EE, ES, Assessment of Children’s Social Competence untuk mengukur social skill siswa. Sample yang digunakan berjumlah 57 orang pada kelompok kontrol dan 57 orang pada kelompok eksperimen. Dari hasil analisis data diketahui bahwa pad kelompok eksperimen terdapat peningkatan dalam hal keterlibatan dalam kelompok. metode cooperative learning pada social skills siswa. Sampel yang digunakan berjumlah 74 orang siswa perempuan yang terbagi menjadi kelompok kontrol 37 orang dan kelompok eksperimen 37 orang. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa kelompok metode cooperative learning memiliki skor yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok metode tradional. 9 Min Wang (2012) :

“ Effect of  cooperative learning

(23)

Cooperative learning

cooperative learning terhadap motivasi berprestasi siswa dengan sampel penelitian adalah mahasiswi berjumlah 67 orang. Dari hasil analisis data dengan menggunakan uji T, didapat hasil bahwa cooperative learning telah meningkatkan motivasi berprestasi pada mahasiswi. 10 Margaret M Tanner

(24)

belajar bermain bolavoli dengan model pembelajaran kooperatif tipe TGT lebih baik dibanding hasil belajar bermain bolavoli dengan pendekatan konvensional.

Penelitian ini menggunakan populasi siswa SMP kelas IX yang berjumlah 106. Teknik sampling menggunakan random cluster sampling. Dari hasil analisis perhitungan data dengan menggunakan uji t, diketahui hasil bahwa pada kelompok eksperimen, terdapat pengaruh signifikan dari model pembelajaran TGT terhadap hasil belajar dribbling bola basket.

C. Kerangka Berfikir

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa pendidikan merupakan

(25)

Dengan tujuan dan fungsi sekolah atau pendidikan formal yang telah dijelaskan tersebut, sudah seyogyanya pendidikan menjadi sebuah fase penting dalam perkembangan anak karena merupakan proses pembentukan individu secara holistik dan dari proses tersebut diharapkan akan menghasilkan individu-individu yang berkualitas, yang bertanggungjawab, menghormati, menghargai dirinya sendiri dan menyadari bahwa dirinya merupakan bagian dari masyarakat sehingga nilai-nilai sosial masyarakat bisa terjaga dengan sikap saling menghargai dan menghormati sesama.

Pendidikan jasmani sebagai bagian dari pendidikan menyeluruh memiliki potensi untuk bisa memberikan kontribusi yang maksimal dalam perkembangan anak. Bailey (2006, hlm. 397) mengungkapkan bahwa hasil dari pendidikan jasmani dapat dipahami dalam 5 domain perkembangan anak yakni : (1) fisik, (2) gaya hidup, (3) afektif, (4) sosial, (5) kognitif. Pendidikan jasmani merupakan waktu pembelajaran yang menyenangkan setelah para siswa berkutat dengan pelajaran teori di dalam kelas.

(26)

TGT merupakan salah satu metode cooperative learning yang telah dikembangkan oleh Slavin. Pembelajaran kooperatif model TGT (Teams Games Tournament) adalah salah satu model pembelajaran kooperatif yang mudah diterapkan, melibatkan aktifitas seluruh siswa tanpa harus ada perbedaan status, melibatkan peran siswa sebagai tutor sebaya dan mengandung unsur permainan dan reinforcement (Sinaga, 2012). Aktivitas belajar yang di dalamnya berisikan permainan yang dirancang dalam pembelajaran kooperatif tipe TGT (Team Games Tournament) memungkinkan siswa dapat belajar lebih rileks dan menyenangkan. Di samping itu menyenangkan, hal itu juga menumbuhkan rasa tanggung jawab, kerja sama, persaingan sehat dan keterlibatan belajar. TGT merupakan model cooperative learning yang menekankan pada pembelajaran dalam kelompok-kelompok. Oleh karena dalam TGT menambahkan dimensi kegembiraan yang diperoleh dari penggunaan permainan dalam pembelajaran, sehingga sebagian besar guru lebih memilih TGT karena faktor menyenangkan dalam pelaksanaan kegiatan pembelajarannya (Slavin, 2005, hlm. 14)

Tujuan dari pendidikan jasmani bisa tercapai dengan maksimal salah satunya ketika anak menyadari peranan dan pentingnya pendidikan jasmani dengan cara partisipasi secara aktif dalam kelas pendidikan jasmani. Tingkat partisipasi siswa banyak dipengaruhi oleh banyak hal seperti di antaranya adalah tingkat motivasi, kepercayaan diri, pemahaman terhadap manfaat dari aktivitas fisik, kesempatan untuk berpartisipasi, kompetisi, dan teman sekelas (Ryan & Poirie, 2012).

(27)

Emotional Expressivity/Pengungkapan emosi, dan Social Control/ Kontrol sosial. Artinya, anak perempuan mempunyai kelebihan dalam dimensi-dimensi keterampilan sosial tersebut dibandingkan dengan anak laki-laki. Dengan demikian, anak perempuan akan memiliki nilai keterampilan sosial yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak laki-laki. Di samping itu juga telah dijelaskan sebelumnya bahwa jenis kelamin merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi dalam perkembangan keterampilan sosial anak (Muzaiyin, 2013). Dari pernyataan-pernyataan tersebut bisa diasumsikan bahwa model selain model pembelajaran, jenis kelamin juga berpengaruh terhadap keterampilan sosial dan terdapat interaksi antara model pembelajaran dan jenis kelamin terhadap keterampilan sosial.

D. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan pada kerangka berfikir di atas, maka didapat hipotesis penelitian sebagai berikut :

1. Terdapat pengaruh model pembelajaran terhadap keterampilan sosial siswa.

2. Terdapat pengaruh jenis kelamin terhadap keterampilan sosial siswa. 3. Terdapat interaksi antara model pembelajaran dan jenis kelamin terhadap

Gambar

Tabel 2.1. Penelitian Terdahulu yang Relevan

Referensi

Dokumen terkait

Nilai efektivitas Virgin Coconut Oil berdasarkan perbaikan gambaran klinis di tentukan dengan membandingkan hasil skor derajat kondisi tumit kaki setelah pemakaian pelembab (H28)

Kondisi Awal Kemampuan Berbicara Sebelum Menerapkan Metode Bercerita di TK Al-Huda Cangkuang ..... Pelaksanaan Kegiatan Meningkatkan

Lalu 5 orang calon presidium tersebut akan diolah lagi dengan algoritma Gale-Shapley untuk menciptaan pasangan yang stabil antara calon presidium dengan departemen yang

Namun pada penelitian ini, algoritma Gale-Shapley tidak ditujukan untuk mencari pasangan pria dan wanita, namun digunakan untuk mencari presidium yang sesuai dengan bidang

cognitive academic learning, which Cummins asserts takes ELLs 5-7 years to refine (2000).. • ESL teachers report CBI offers a blend

Sebaliknya jika tunjangan tersebut tidak menambah gaji bruto karyawan atau dalam bentuk kenikmatan atau natllfa (tidak merupakan Obyek PPh Pasal 211Pasal 26), maka biaya

Nugroho, Dari Etika Bisnis Ke Etika Ekobisnis (Jakarta: Grasindo, 2001), hlm.. Etika dalam masalah lingkungan hidup memberikan sumbangan antara lain: 1) Pandangan-pandangan

Gedung H, Kampus Sekaran-Gunungpati, Semarang 50229 Telepon: (024)