• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kelas Reguler Angkatan 2014 - 2015

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kelas Reguler Angkatan 2014 - 2015"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

AHMADRISWAN NASUTION. Peran Modal Sosial terhadap Pengurangan Kemiskinan Rumah Tangga Perdesaan di Indonesia. Dibimbing oleh ERNAN RUSTIADI, BAMBANG JUANDA, dan SETIA HADI.

Selama lebih dari 30 tahun, Indonesia menerapkan model pembangunan yang menekankan pada pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita. Tahun 2013, Produk Domestik Bruto Indonesia (PDB) mencapai sekitar Rp.9,09 ribu triliun dengan nilai PDB per kapita sebesar Rp.36,5 juta. Berdasarkan pencapaian ini, Indonesia termasuk kelompok negara maju G-20. Namun ada kontradiksi, dimana tingkat kemiskinan masih relatif tinggi dan penurunannya cenderung melambat.

Pemerintah Indonesia telah menerapkan berbagai program percepatan pengurangan kemiskinan yang dijalankan oleh berbagai kementerian dan lembaga. Program-program tersebut disamping tidak terintegrasi juga masih fokus pada pengembangan infrastruktur (modal fisik), bantuan kredit (modal keuangan) dan bantuan pendidikan (modal manusia). Padahal, kemiskinan merupakan permasalahan yang kompleks yang melibatkan banyak faktor termasukkelembagaan lokal dan modal sosial.

Pembangunan perdesaan dapat direalisasikan karena adanya perubahanperubahan organisasi sosial dan sistem nilai. Sedangkan, produktivitas sistem ekonomi dan pengelolaan sumberdaya di perdesaan dikondisikan oleh budaya dan kelembagaan lokal yang ada di daerah. Dengan demikian, pembangunan di perdesaan perlu mendorong berkembangnya lembaga-lembaga sosial yang memungkinkan terbentuknya modal sosial yang berpotensi mengurangi kemiskinan dalam jangka panjang.

Bertitik tolak dari uraian dan permasalahan di atas, penelitian memiliki empat tujuan: (1) menganalisis dampak modal sosial terhadap pengeluaran per kapita rumah tangga di perdesaan; (2) menganalisis dampak modal sosial terhadap peluang rumah tangga menjadi miskin di perdesaan Indonesia; (3) menganalisis hubungan kausal dua-arah antara modal sosial dan kemiskinan di perdesaan Indonesia; dan (4) merumuskan kebijakan pengembangan modal sosial dalam pengurangan kemiskinan di perdesaan Indonesia.

Pengukuran modal sosial dalam penelitian ini menggunakan dua pendekatan, yaitu indeks modal sosial dan partisipasi dalam kegiatan sosial. Pengukuran kemiskinan menggunakan pendekatan pengeluaran per kapita rumah tangga dan status kemiskinan rumah tangga berdasarkan garis kemiskinan absolut yaitu sebesar US$ 2 PPP (purchasing power parity) tahun 2012 atau setara dengan Rp.402.528 per kapita per bulan.

Untuk menjawab tujuan di atas, penelitian ini menerapkan metode analisis, yaitu analisis deskriptif, ordinary least squares (OLS), pendugaan variabel instrument, Two stage least squares (2SLS), Two-stage probit least squares (2SPLS), dan model pendugaan dua-tahap non-rekursif. Adapun sumber data penelitian ini menggunakan data berskala nasional hasil survei BPS, yaitu Survei

Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Tahun 2012 dan Pendataan Potensi Desa (Podes) Tahun 2011.

(2)

temuan di atas, pemerintah diharapkan memfasilitasi rumah tangga miskin berpartisipasi pada kegiatan sosial dan mendorong berkembangnya organisasi-organisasi sosial untuk pengembangan modal sosial dalam upaya mempercepat pengurangan kemiskinan di perdesaan Indonesia.

(3)

AMARULLAH. Model Pengembangan Wilayah Berkelanjutan di Selat Sebuku, Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan. Dibimbing oleh SETIA HADI, TRIDOYO KUSUMASTANTO dan ACHMAD FAHRUDIN.

Selat Sebuku memiliki sumberdaya pesisir yang produktif baik sumberdaya yang bisa diperbaharui (renewable resource), sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui (non-renewable resource) maupun jasa-jasa lingkungan (environment services). Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis nilai ekonomi total sumberdaya pesisir, menganalisis trade off interaksi stakeholders dalam pengelolaan sumberdaya pesisir, mengidentifikasi status indeks keberlanjutan dan membangun model dinamis pengembangan wilayah di Selat Sebuku.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah valuasi ekonomi Selat Sebuku meliputi: Production Approach, benefit transfer method (BTM) dan traffic cost method (TCM), pendekatan Game theory pada permainan yang kooperatif menggunakan landasan pareto optimum dan analisis keberlanjutan terhadap kawasan Selat Sebuku menggunakan metode Multi Dimentional Scalling (MDS) yang diadopsi dari Rapfish (Rapid Appraisal of Fisheries) yang dalam penelitian ini disebut dengan Rap-Sebuku serta model sistem dinamik dengan menggunakan tools powersim constructor 2.5.

(4)

ton/tahun pada tahun 2023, tetapi setelah tahun 2023 akan terus turun dan jumlah wisatawan 15.300 orang tahun 2013 naik mencapai 1.3 juta orang pada tahun 2054. Skenario adanya kegiatan tambang di Selat Sebuku akan mempengaruhi kegiatan perikanan, produksi ikan hanya 1.967 ton tahun 2013 dan terus meningkat sampai tahun 2029 mencapai 3.528 ton/tahun, tetapi setelah tahun 2029 produksi ikan terus turun sampai hanya 1.084 ton/tahun. Skenario adanya eksploitasi tambang batubara sebesar 445,1 juta ton dan penambahan area tangkapan ikan ke Selat Makasar atau Laut Jawa, diperoleh produksi ikan sebesar 4.109,55 ton/tahun dan terus meningkat sampai tahun 2023 mencapai 5.325,07 ton/tahun, tetapi setelah tahun 2023 produksi ikan terus turun sampai hanya 349,62 ton/tahun. Penambahan wilayah tangkapan ikan bagi nelayan sesuai dengan RTRW Kabupaten Kotabaru Tahun 2012/2032.

Pengembangan wilayah Selat Sebuku berdasarkan pertimbangan hasil valuasi ekonomi, analisis untuk trade off dan analisis keberlanjutan yang dibangun dalam suatu model dinamik diperoleh skenario terbaik, yaitu skenario 3 (tiga). Skenario 3 (tiga) melalui pemanfaatan perikanan, wisata bahari dan tambang batubara 445,1 juta ton merupakan skenario yang memiliki potensi kontribusi paling besar terhadap pendapatan masyarakat, Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan PDRB, dengan tetap memperhatikan aspek sosial dan lingkungan.

(5)

BUDI WARDONO. Model Pengembangan Perikanan Tangkap Skala Kecil Untuk Mendukung Perekonomian Wilayah. Dibimbing oleh AKHMAD FAUZI, ACHMAD FAHRUDIN, dan AGUS HERI PURNOMO

Perikanan skala kecil mempunyai peranan penting dalam perekonomian baik dalam aspek makro maupun mikro. Dalam perspektif sosial ekononomi, masyarakat pesisir sebagian besar tergantung pada sumber daya perikanan laut, dimana mata pencahariannya rentan terhadap guncangan dan perubahan mendadak. Memahami kondisi tersebut, merupakan hal yang penting untuk lebih memperhatikan nelayan skala kecil dan mengembangkan kebijakan direktif yang lebih baik dimasa depan. Pemahaman meliputi bagaimana karakteristik sumber daya perikanan, bagaimana nelayan skala kecil mengatasi ketidakpastian dan biaya operasional yang tinggi, bagaimana nilai tambah, dan bagaimana jaringan sosial di masyarakat pesisir.

Penelitian ini dilakukan di dua lokasi yaitu nelayan Desa Weru Komplek di Kabupaten Lamongan, Jawa Timur dan nelayan di Pelabuhanratu, Kabupaten Sukabumi. Sumberdaya perikanan di Lamongan sebagian besar adalah jenis pelagis kecil dan demersal, sedangkan di Pelabuhanratu sebagian besar sumberdayanya pelagis besar. Pemilihan lokasi juga berdasarkan kriteria sosial ekonomi dari dua lokasi tersebut. Lamongan dengan jumlah produksi lebih 70 ribu ton (18% dari total produksi di Provinsi Jawa Timur), dan lebih dari 28.000 nelayan yang sebagian besar adalah nelayan kecil. Jumlah produksi di Pelabuhanratu sekitar 8 ribu ton (4,4% dari total produksi di Provinsi Jawa Barat). Lebih dari 5.000 nelayan yang bekerja dengan berbagai armada perikanan. Selain alasan ekonomi, nelayan di Lamongan memiliki lembaga sosial yang dikenal dengan nama "Blandongan" yang berfungsi sebagai "penyangga" dalam menghadapi ketidakpastian. Blandongan merupakan organisasi nelayan yang menyuarakan kepentingan nelayan dan membangun "aturan main" untuk memfasilitasi kepentingan nelayan. Sedangkan di Pelabuhanratu, meskipun tidak ada organisasi tertentu seperti "Blandongan" di Lamongan, namun memiliki kelembagaan formal dan informal seperti kelompok nelayan dan kelompok perantara yang dapat memfasilitasi kebutuhan nelayan. Tujuan penelitian adalah melakukan analisis efisiensi alokasi sumber daya dan analisis perubahan faktor produktifitas total; melakukan analisis indeks ketidakstabilan perikanan tangkap; melakukan analisis value added perikanan tangkap skala kecil; dan melakukan analisis untuk mengetahui kecenderungan nelayan skala kecil dalam memenuhi modal untuk biaya operasional. Data yang digunakan adalah data skunder dan data primer yang diperoleh dari pelaku usaha perikanan. Total jumlah responden sebanyak 157 orang terdiri 83 orang di Lamongan dan 74 orang di Pelabuhanratu. Analisis dilakukan dengan menggunakan pendekatan Data Envelopement Analysis (DEA) dan analisis indeks Malmquist (MI) untuk mengetahui kapasitas sumber daya perikanan dan tingkat perubahan total produktifitas total perikanan. Analisis Indeks Ketidakstabilan (Coppoct Instability Indexs/CII) untuk mengetahui tingkat ketidakstabilan. Analisis regresi multinomial logistik digunakan untuk mengetahui kecenderungan nelayan dalam menggunakan sumber permodalan. Model yang direkomendasikan merupakan sintesa dari analisis-analisis yang telah dilakukan, yang merupakan saran kebijakan untuk pengembangan perikanan skala kecil.

(6)

menunjukan hasil yang berbeda. Analisis di Kabupaten Lamongan menunjukkan bahwa efisiensi skala masih menunjukkan indikator IRS (increasing return to scale) pada perikanan skala kecil di Desa Weru Komplek. Kelebihan armada penangkapan ikan (overcapitalization) dan under-utilization kapasitas penangkapan memberikan indikasi pemborosan bersifat ekonomis. Hasil analisis indeks Malmquist terjadi fluktuasi faktor produktifitas total yang sangat besar (berkisar antara 30% sampai 250 %). Hal ini disebabkan karena perubahan faktor teknologi yang mengalami perubahan ekstrim dibandingkan dengan perubahan efisiensinya. Analisis dengan indek ketidakstabilan (Coppock Index Instability) dapat diketahui penyebab perubahan faktor produktifitas total dari produksi maupun dari input. Kondisi ini disebabkan karena ternjadi fluktuasi produksi dari tahun ke tahun. Indeks ketidakstabilan produksi sebagian berada di kuadran kanan atas yang menunjukan pertumbuhan yang tinggi namun diikuti oleh ketidakstabilan yang tinggi. Fluktuasi produksi yang menyebabkan ketidakstabilan bukan merupakan fenomena mandiri, kondisi tersebut berkaitan dengan indikator lain, seperti input yang diberikan dalam perikanan. Tingkat ketidakstabilan input BBM menunjukan karakteristik sebagian besar berada pada kondisi tingkat pertumbuhan tinggi dengan ketidakstabilan yang tinggi yang menggambarkan resiko yang tinggi. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa beberapa teknologi kapal armada responsif terhadap penggunaan BBM. Hubungan tengkulak/langgan dengan nelayan berdasar hubungan kepentingan sosial dan ekonomi, keberadaan tengkulak/ langgan memainkan peran terutama sebagai "sosial cushion" ekonomi ketika nelayan menghadapi permasalahan biaya, dimana kelembagaan keuangan formal tidak mampu menjalankan perannya. Kecenderungan nelayan skala kecil untuk memanfaatkan sumber dana operasional dipengaruhi oleh lokasi, dimana karakteristik wilayah penangkapan, dan kesenjangan antar daerah berkontribusi terhadap keterikatan antara nelayan dengan tengkulak/langgan. Hasil analisis rantai pasok, rantai nilai dan value added menunjukan bahwa perikanan skala kecil berperanan dalam pembentukan nilai tambah yang sebagian besar dinikmati oleh masyarakat setempat. Sumber daya perikanan pelagis kecil dan demersal lebih dominan diproses menjadi produk jadi/setengah jadi yang menghasilkan nilai tambah. Sebaliknya perikanan yang didominasi oleh sumberdaya pelagis besar nilai tambahnya lebih banyak dinikmati oleh masyarakat luar, sehingga perannya terhadap pembangunan wilayah relatif lebih kecil.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, model yang direkomendasikan untuk kebijakan mengembangkan perikanan skala kecil harus memperhatikan kondisi potensi sumber daya perikanan, tingkat eksploitasi, tingkat kestabilan, hubungan para pelaku (nelayan-pemilik modal/patron-client) dan dukungan kebijakan direktif yang fokus untuk nelayan skala kecil. Karakteristik nelayan dan kondisi sumberdaya menentukan perilaku terhadap sumberdaya, interaksi nelayan dengan sumber-sumber pembiayaan lebih kuat pada lokasi Lamongan dimana masyarakat kurang mempunyai alternatif pekerjaan lain. Hubungan yang kuat antara nelayan dan tengkulak merupakan fenomena yang kompleks, pengembangan perikanan skala kecil harus menyertakan hubungan antara sektor perikanan, nelayan sebagai pemain dan perantara/langgan/tengkulak yang menjembatani pelaku dalam mata pencaharian masyarakat pesisir agar nelayan skala kecil mampu memainkan peran lebih besar dalam kehidupan ekonomi lokal pesisir.

(7)

DUWI YUNITASARI. Model Pengembangan Agroindustri Gula Tebu sebagai Upaya Peningkatan Perekonomian Wilayah di Jawa Timur. Dibimbing oleh DEDI BUDIMAN HAKIM, BAMBANG JUANDA dan RITA NURMALINA.

Jawa Timur (Jatim) merupakan daerah penghasil tebu dan gula terbanyak di Indonesia. Pada tahun 2013, produksi tebu Jawa timur menyumbang 50,75% dan produksi gula menyumbang sebesar 51,32% terhadap produksi Nasional. Potensi tebu sebagai bahan baku gula dan produk derivasi tebu (PDT) memiliki potensi yang besar. Hal ini mendorong pemerintah pusat menetapkan target produksi gula untuk Jatim sebesar 1,65 juta ton dalam rangka mendukung program swasembada gula nasional. Produksi gula Jatim tidak bisa dipisahkan dari peran pabrik gula (PG) sebagai tempat mengolah tebu menjadi gula. Dari 62 PG di Indonesia, terdapat 31 PG yang ada di Jawa Timur. Fakta yang ada, sebagian besar (53%) PG di Jawa didominasi oleh pabrik dengan kapasitas giling kecil (lebih besar dari 3.000 Ton Cane per Day), berumur lebih dari 75 tahun, dan kurang mendapat perawatan secara memadai. Kondisi ini menyebabkan tingkat efisiensi rendah dan biaya produksi gula per ton pada PG berskala kecil lebih tinggi. Jika hal ini terus berlangsung, PG yang ada di Jatim akan mengalami kerugian dan tutup. Pada masa yang akan datang, diharapkan PG bisa mengolah PDT untuk menambah keuntungan PG.

Penelitian ini bertujuan untuk (i) menganalisis dampak agroindustri gula tebu terhadap produksi Gula Kristal Putih (GKP), produksi PDT, Pendapatan Asli Daerah (PAD), keuntungan PG, pendapatan petani dan perekonomian wilayah; (ii) menganalisis dampak kebijakan Revitalisasi Industri Gula Nasional (RIGN) terhadap pengembangan PDT pada produksi GKP, produksi PDT, keuntungan PG, pendapatan petani dan perekonomian wilayah; (iii) merumuskan kebijakan alternatif terhadap produksi GKP, produksi PDT, PAD, keuntungan PG, pendapatan petani dan perekonomian wilayah Jawa Timur. Untuk menjawab tujuan penelitian tersebut digunakan pendekatan dinamika sistem. Dampak kebijakan RIGN dianalisis dengan menggunakan 3 skenario, yaitu: (i) skenario 1, peningkatan luas areal tebu sebesar 3,2%/tahun; (ii) skenario 2, peningkatan produktivitas tebu sebesar 1,6%/tahun; (iii) skenario 3, peningkatan rendemen sebesar 2,41% /tahun. Sedangkan untuk menyusun alternatif kebijakan digunakan 2 skenario, yaitu: (i) skenario 4, penggabungan skenario 1,2, dan 3, peningkatan luas areal tanam (3,5%), peningkatan produktivitas (1,6%) dan rendemen 2,41%, dan (ii) skenario 5, penggabungan skenario 1,2, dan 3, peningkatan luas areal tanam (3,5%), peningkatan produktivitas (1,6%) dan rendemen 6%.

(8)

tertinggi bagi perekonomian wilayah Jawa Timur. Namun jika hanya mengandalkan kebijakan peningkatan rendemen saja (skenario 3), maka target produksi GKP tidak tercapai.

Kebijakan alternatif dengan skenario 5 (gabungan peningkatan luas areal, peningkatan produktivitas dan peningkatan rendemen) memiliki kinerja yang lebih baik dibandingkan dengan skenario 4. Perekonomian wilayah Jawa Timur, produksi GKP, produksi PDT, keuntungan PG, pendapatan petani dan PAD pada skenario 5 mencapai kinerja tertinggi dibanding skenario 1, 2, 3, dan 4. Pada skenario 5, target produksi GKP Jatim dapat terpenuhi pada tahun 2016 sebesar 1.738.437 ton. Sumbangan tambahan peningkatan PDRB terhadap perekonomian wilayah rata-rata sebesar 2,63%, produksi GKP 6,92%, PDT 80,39%, keuntungan PG 13,69%, pendapatan petani 33,70% dan PAD 6,40%.

Kebijakan RIGN secara simultan mampu meningkatkan produksi GKP sehingga mencapai target sesuai program pusat untuk mendukung program swasembada gula nasional, meningkatkan produksi PDT, PAD, keuntungan PG, pendapatan petani dan perekonomian wilayah Jatim. Sehingga alternatif kebijakan dengan skenario 5 (gabungan peningkatan luas areal, peningkatan produktivitas dan peningkatan rendemen) mampu mendorong perkembangan sistem agroindustri gula tebu secara keseluruhan lebih baik dibanding skenario lainnya.

Kebijakan yang sebaiknya tetap diterapkan oleh pemerintah dalam upaya mendukung program swasembada gula nasional dan pengembangan PDT, yaitu: 1) tetap melaksanakan program RIGN, 2) memfokuskan pada peningkatan rendemen, karena rendemen memiliki pengaruh yang sangat besar dalam upaya meningkatkan produksi gula, 3) memfokuskan pada petani TR memiliki peran yang sangat besar dalam pengusahaan gula tebu, 4) mempermudah pemberian kredit sebagai upaya meningkatkan kualitas tanaman tebu, 5) merubah sistem bagi hasil berdasarkan rendemen, dan 6) diharapkan dapat memberikan insentif pada petani TR dalam bentuk kepastian harga.

(9)

EBED HAMRI. Analisis Pemekaran Wilayah dan Pengembangan Pusat-Pusat Pertumbuhan Ekonomi (Studi Di Kota Baubau Propinsi Sulawesi Tenggara dan Kota Tasikmalaya Propinsi Jawa Barat). Komisi Pembimbing EKA INTAN KUMALA PUTRI sebagai Ketua, HERMANTO J. SIREGAR dan DEDDY SUPRIADY BRATAKUSUMAH sebagai Anggota.

Desentralisasi dan Otonomi daerah menjadi isu yang penting sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah direvisi dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Desentralisasi dan Otonomi daerah dengan implikasi pemekaran wilayah telah mendorong menguatnya tuntutan dari daerah-daerah untuk melakukan pemekaran wilayah, hal karena selama ini daerah-daerah merasakan terjadi ketimpangan dan ketidak merataan hasil-hasil pembangunan, disatu sisi sistem pemerintahan yang sentralistik membuat daerah-daerah kurang berkembang. Sehingga akibat kondisi tersebut daerah-daerah menuntut dilaksanakan pemekaran wilayah sebagai upaya percepatan pembangunan dan mengurangi ketimpangan pembangunan antar wilayah. Pemekaran wilayah sebagai fenomena pembentukan propinsi, kabupaten dan kota telah menciptakan perbedaan antara daerah, ada daerah yang penduduk/kegiatan terkonsentrasi pada suatu tempat yang dikenal istilah kota, pusat perdagangan, pusat industri, simpul industri, pusat perdagangan, daerah perkotaan atau daerah nodal dan ada juga yang kurang terkonsentrasi dikenal istilah seperti daerah pedalaman, daerah pertanian, daerah pedesaan atau disebut sebagai wilayah belakang (hinterland). Terciptanya daerah nodal tidak hanya di propinsi, namun terjadi di kabupaten/kota, kabupaten dengan wilayah yang luas biasanya membagi dua wilayah secara administratif, wilayah kota (kotamadya) dan wilayah kabupaten. Wilayah kota inilah yang kemudian dijadikan sebagai pusat kegiatan ekonomi (pusat pertumbuhan), sedang kabupaten sebagai daerah hinterland.

Penelitian ini bertujuan: 1) Mengevaluasi penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 78 tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah khususnya faktor-faktor yang dipergunakan untuk menilai usulan pemekaran wilayah di Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya. 2) Menganalisis perkembangan struktur perekonomian wilayah Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya serta sektor unggulan yang menjadi daya saing perekonomian wilayah Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya sehingga potensial menjadi pusat-pusat pertumbuhan dibandingkan dengan daerah sekitarnya. 3) Menganalisis perkembangan wilayah, interaksi ekonomi dan daya tarik wilayah Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya terhadap daerah sekitarnya. 4) Menganalisis persepsi stakeholder dan merumuskan kebijakan yang ditempuh pemerintah pasca pemekaran agar bermanfaat bagi daerah.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: 1) Analisis Deskriptif, 2) Analisis Skalogram, 3) Analisis Model Gravitasi, 4) Analisis Tipologi Klassen, 5) Analisis Diversitas Entropy, 6) Analisis Shift Share, 6) Analisis Location Quotient, 7) Analisis Hirarki Proses.

(10)

juga berada pada klasifikasi daerah berkembang cepat, Kabupaten Muna berada pada klasifikasi daerah maju tapi tertekan, Kabupaten Buton dan Kabupaten Bombana berada pada klasifikasi daerah relatif tertinggal. Hasil Analisis Tipologi Klasen menunjukkan Kota Tasikmalaya berada pada klasifikasi daerah berkembang cepat, sedang daerah sekitarnya (hinterland) berada pada klasifikasi daerah relatif tertinggal. Hasil analisis Loqation Quotient menunjukkan sektor perekonomian wilayah Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya lebih maju dan unggul. Sektor-sektor unggulan yang menjadi sektor basis Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya adalah sektor bangunan, perdagangan, hotel dan restoran; pengangkutan dan komunikasi; keuangan, persewaan dan jasa keuangan; dan sektor jasa-jasa. Namun pada Analisis Shift Share dimana pada ditingkat lokal (differential shift) menunjukkan sektor-sektor yang menjadi sektor-sektor basis Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya justru mengalami pergeseran dan pertumbuhan yang lambat. Hasil Analisis Skalogram menunjukkan Kota Baubau berada pada wilayah Hirarki II/sedang; sedangkan kabupaten hinterland yaitu Kabupaten Buton Utara justru berada pada wilayah Hirarki I/tinggi, Kabupaten Buton, Muna masuk kategori hirarki III/rendah. Analisis Skalogram menunjukkan Kota Tasikmalaya berada pada wilayah hirarki I/tinggi, kabupaten/kota sekitarnya (hinterland) yaitu Kabupaten Garut dan Kabupaten Ciamis berada pada kategori wilayah hirarki II/sedang; Kabupaten Tasikmalaya dan Kota Banjar pada wilayah hirarki III/rendah. Hasil Analisis Gravitasi menunjukkan interaksi ekonomi dan daya tarik wilayah Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya dengan wilayah hinterlandnya bervariasi intensitasnya. Interaksi ekonomi dan daya tarik wilayah Kota Baubau yang kuat adalah dengan Kabupaten Buton dan Kabupaten Muna, sedang dengan Kabupaten Buton Utara, Kabupaten Wakatobi dan Kabupaten Bombana sangat lemah terlihat dari nilai indeks gravitasi yang kecil. Interaksi ekonomi dan daya tarik wilayah Kota Tasikmalaya dengan wilayah hinterlandnya yang kuat adalah dengan Kabupaten Tasikmalaya dan Kabupaten Ciamis terlihat dari indeks gravitasi yang besar, sedang dengan Kabupaten Garut, Kota Banjar dan Kabupaten Pangandaran sangat lemah terlihat dari indeks gravitasi yang kecil. Hasil analisis persepsi masyarakat dengan analytical hierarchy process (AHP) secara umum menunjukkan pemekaran wilayah memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat baik dari sisi pendapatan, pelayanan dan ketersedian infrastruktur maupun bagi perkembangan perekonomian daerah Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya. Hasil analisis AHP menunjukkan dari empat alternatif strategi dalam penelitian ini, alternatif strategi yang menjadi prioritas utama adalah “pemekaran wilayah menciptakan pusat pertumbuhan (PW-PP)”.

(11)

ENDAH KURNIA LESTARI. Efisiensi dan Kerangka Kelembagaan Tebu Rakyat Dalam Mendukung Perekonomian Wilayah di Kabupaten Jember. Dibimbing oleh AKHMAD FAUZI, M. PARULIAN HUTAGAOL dan ACENG HIDAYAT.

Gula merupakan salah satu komoditas strategis dalam perekonomian Indonesia. Upaya pengembangan industri gula sangat tergantung akan ketersediaan bahan baku yaitu tebu sebagai bahan baku utama. Keterbatasan lahan untuk perkebunan tebu, rendahnya kualitas bibit serta fenomena kembalinya petani tebu rakyat pada tanaman tebu keprasan yang berulang-ulang di kabupaten Jember menjadikan peningkatan produksi gula dalam kondisi dilemma. Untuk itu perlunya efisiensi dpada tehnologi yang sekarang dengan intensifikasi melalui input-input produksinya Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tingkat efisiensi tehnis, efisiensi alokatif dan efisiensi ekonomi usahatani tebu keprasan serta faktor-faktor yang mempengaruhi, menganalisis pengaruh biaya input produksi terhadap keuntungan dan tingkat efisiensi, mengkaji ketersediaan lahan dan target produksi tebu dan mengkaji kelembagaan dalam pengembangan tebu rakyat.

Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Jember, Jawa Timur. Pengambilan sampel secara purposive pada petani tebu keprasan di wilayah kerja PG Semboro. Pendekatan yang digunakan untuk mengestimasi tingkat efisiensi usahatani tebu dengan menggunakan Data Envelopment Analysis (DEA) (Banker, Channer, Cooper 1978).

Hasil analisis penelitian bahwa efisiensi tehnis, pada usahatani tebu masih memiliki peluang untuk meningkatkan efisiensi teknis pada penggunaan input produksi sebesar 30% . Rata-rata tingkat efisiensi alokatif dan ekonomi usahatani tebu keprasan relatif lebih besar dikarenakan biaya produksi yang dikeluarkan besar dan rendahnya harga yang diterima petani tebu. Faktor-faktor yang signifikan terhadap efisiensi teknis yaitu jumlah keprasan tebu, status usahatani tebu dan penyuluhan.Rata-rata petani tebu keprasan memperoleh keutungan. Biaya pupuk organik dan pupuk non organik signifikan dan positif terhadap keuntungan, efiseinsi teknik, ekonomi dan alokatif. Ketersediaan lahan untuk mendukung usahatani tebu dan target produksi tebu bisa dicapai dengan memperhatikan dan memanfaatkan input tanaman tebu milik petani dan pemberdayaan petani agar hasil produksi optimal. Secara peraturan perundangundangan petani tidak mendapat dukungan untuk berkembang, artinya petani mempunyai kepentingan tetapi tidak mempunyai pengaruh dan begitu sebaliknya. Sehingga perlu struktur yang baru yang memungkinkan dapat mendukung petani tebu.

Saran implikasi kebijakan berdasarkan hasil penelitian yaitu bahwa pemerintah diharapkan dapat memfasilitasi petani dalam penyediaan modal untuk bongkar ratoon, sehingga petani dapat menanam tebu dengan bibit yang berkualitas dan dapat meningkatkan produksi.

(12)

RINGKASAN

ERNAWATI PASARIBU. Dampak Spillover dan Multipolaritas Pengembangan Wilayah Pusat-Pusat Pertumbuhan di Kalimantan. Dibimbing oleh D.S. PRIYARSONO, HERMANTO SIREGAR dan ERNAN RUSTIADI.

Pengembangan wilayah pusat-pusat pertumbuhan menjadi salah satu strategi yang populer digunakan dalam mengatasi permasalahan ketimpangan antarwilayah. Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh Perroux pada tahun 1950 dengan istilah Growth Pole (Kutub Pertumbuhan) yang dipercaya akan dapat memberikan dampak spillover yang positif dalam jangka panjang. Konsep ini mengalami pengembangan menjadi Growth Center (Pusat Pertumbuhan) agar lebih konkrit dan mudah diaplikasikan dalam Ilmu Perencanaan Wilayah. Beberapa peneliti telah melakukan pengujian terhadap dampak yang ditimbulkan dan menghasilkan temuan yang menimbulkan pro dan kontra akan keberhasilan strategi ini. Demikian juga terhadap dampak polarisasi yang justru mengarah pada “bencana migrasi” karena daya tarik yang kuat kearah wilayah pusat pertumbuhan. Konsep ini masih terus digunakan dan banyak diadopsi terutama oleh negara-negara berkembang termasuk Indonesia.

Pembentukan pusat-pusat pertumbuhan di Indonesia baik sebagai Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) maupun sebagai Koridor Ekonomi Indonesia masih belum mampu mengurangi ketimpangan antarpulau yang justru belakangan makin membesar. Pulau Kalimantan yang dalam program Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) ditetapkan sebagai lumbung energi nasional diharapkan mampu mengejar ketertinggalannya baik dari sisi pertumbuhan output, tenaga kerja, maupun investasi. Disisi lain, penetapan Kalimantan sebagai lumbung energi nasional dalam jangka panjang dikhawatirkan menimbulkan dampak pengurasan sumberdaya (backwash effect) yang lebih besar dibanding dampak penyebarannya (spread effect).

Beragam cara telah digunakan untuk memperhitungkan dampak spillover pusat-pusat pertumbuhan, baik menggunakan model statis maupun dinamis. Penggunaan model-model tersebut dinilai belum mampu menangkap besaran dampak spillover dan multipolaritas. Analisis spasial sangat diperlukan untuk dikembangkan dalam konsep-konsep ilmu ekonomi, agar dapat memberikan alternatif sudut pandang baik dalam identifikasi permasalahan maupun pemecahannya. Disisi lain, dengan memasukkan peubah spasial akan menghindari terjadinya kesalahan spesifikasi dalam model.

Terkait dengan permasalahan tersebut, maka penelitian ini secara umum bertujuan untuk : mengeksplorasi dampak spillover dan polarisasi pusat-pusat pertumbuhan di Kalimantan, dengan tujuan khusus yaitu : (1) Mendeteksi pengaruh ketergantungan spasial (spatial lag dependent) antara hinterland dengan pusat-pusat pertumbuhan di Kalimantan (2) Mengidentifikasi faktor-faktor yang secara simultan mempengaruhi pertumbuhan output, tenaga kerja, dan investasi di Kalimantan, dan (3) Menguji multipolaritas antar pusat-pusat pertumbuhan di Kalimantan dan luar Kalimantan.

Dampak spillover pusat-pusat pertumbuhan di Kalimantan yang dideteksi menggunakan Uji LM Spatial lag secara signifikan membuktikan adanya ketergantungan wilayah baik terhadap pertumbuhan output, tenaga kerja, dan investasi. Kedekatan suatu wilayah dengan pusat pertumbuhan akan berdampak makin baik (positif) manakala diikuti oleh makin besarnya aliran ekonomi yang terjadi antara pusat pertumbuhan dengan wilayah sekitarnya. Sayangnya, beberapa pusat-pusat pertumbuhan di Kalimantan yaitu Kota Palangkaraya, Kota Pontianak, Kota Singkawang, dan Kabupaten Kapuas Hulu belum dapat memberikan dampak spillover terhadap wilayah sekitarnya.

(13)

pertumbuhan investasi membuktikan adanya efek umpan balik, dimana pengaruh pertumbuhan investasi terhadap pertumbuhan output justru lebih besar dibandingkan sebaliknya. Oleh karenanya, pengembangan wilayah pusat-pusat pertumbuhan di Kalimantan akan lebih baik bila fokus utamanya pada peningkatan investasi yang pada gilirannya juga berdampak pada pertumbuhan output. Peningkatan investasi ini bukan semata-mata bersumber dari investasi swasta, akan tetapi lebih menekankan efisiensi belanja modal yang dalam penelitian ini secara nyata menunjukkan pengaruh yang negatif terhadap pertumbuhan tenaga kerja. Sayangnya, model pertumbuhan tenaga kerja di Kalimantan belum dapat membuktikan adanya efek umpan balik dengan pertumbuhan output.

Hasil uji multipolarisasi antar pusat-pusat pertumbuhan di Kalimantan dan luar Kalimantan yang dikonfirmasi dengan uji spatio-temporal terhadap aliran barang dan aliran penumpang menunjukkan hasil yang signifikan. Polarisasi masuknya barang di Kalimantan cenderung lebih cepat, berkebalikan hasil untuk polarisasi arus penumpang ke Kalimantan. Temuan ini menunjukkan bahwa pusat-pusat pertumbuhan di Kalimantan memiliki tuntutan tinggi untuk barang dari luar wilayahnya, sementara penduduk yang tinggal pada pusat-pusat pertumbuhan di Kalimantan lebih cenderung untuk bermigrasi ke pusat-pusat pertumbuhan di luar Kalimantan.

Temuan-temuan di atas menjadi bahan untuk memberikan saran serta implikasi kebijakan. Salah satu saran yang diberikan adalah mempercepat pembangunan jalan trans Kalimantan, sebagai salah satu rencana komprehensif untuk pembangunan nasional secara terintegrasi. Oleh karenanya, dukungan pemerintah baik pusat maupun daerah terhadap MP3EI masih sangat diperlukan, utamanya dalam pembangunan infrastruktur dasar baik secara kuantitas maupun kualitas.

(14)

RINGKASAN

IDA ZULFIDA. Keragaan Program Pemberdayaan dalam Pembangunan Perdesaan (Kasus PNPM Mandiri Perdesaan di Kabupaten Bandung Provinsi Jawa Barat). Dibimbing oleh AKHMAD FAUZI, ERNAN RUSTIADI, dan YUSMAN SYAUKAT.

Kabupaten Bandung merupakan wilayah yang strategis dan potensial. Posisi Kabupaten Bandung bersebelahan langsung dengan Kota Bandung yang menjadi pusat perekonomian dan pemerintahan di Jawa Barat. Namun kedekatan wilayah tersebut belum efektif menurunkan tingkat kemiskinan di Kabupaten Bandung yang relatif masih tinggi. Berbagai program baik dari pemerintah maupun yang bersifat lokal sudah digalakkan untuk menurunkan tingkat kemiskinan. Salah satunya adalah Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan. Masalah yang menjadi isu dalam penelitian ini adalah adanya kelemahan target dan fokus yang ditandai dengan semakin meningkatnya alokasi anggaran PNPM Mandiri Perdesaan mulai dari tahun 2008 hingga 2014, namun ada kecenderungan terjadinya perlambatan penurunan tingkat kemiskinan di Kabupaten Bandung. Sehingga tujuan dalam penelitian ini adalah evaluasi terhadap kinerja program sebagai salah satu cara pengurangan tingkat kemiskinan dengan peningkatan pendapatan dan partisipasi masyarakat di perdesaan.

Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah Data Envelopment Analysis (DEA). Penelitian ini mengeksplorasi efektivitas program yang diukur dari input dan output yang terkait dengan program pemberdayaan dengan menggunakan data di kecamatan dan desa. Evaluasi ini meliputi efisiensi dan total faktor produktivitas Indeks Malmquist yang diukur selama periode 2009 hingga 2013. Metode analisis regresi linier digunakan untuk melihat variabel-variabel yang mempengaruhi peningkatan pendapatan rumah tangga yang telah berpartisipasi dengan kelembagaan pemberdayaan dalam kegiatan ekonomi. Selanjutnya untuk melihat kaitan pemberdayaan dengan partisipasi maka model analisis logit digunakan untuk melihat kecenderungan anggota rumah tangga untuk berpartisipasi dalam lembaga pemberdayaan.

(15)

dapat disimpulkan menggunakan komponen input tidak optimal, yaitu sumber dana. Dengan asumsi CRS terjadi inefisiensi anggaran mulai dari Rp 133 juta di Kecamatan Ciwidey hingga Rp 2,17 miliar di Kecamatan Pacet. Sementara dengan menggunakan asumsi VRS inefisiensi dapat ditekan mulai dari 132,5 juta sampai 1.91 miliar di kecamatan yang sama. Temuan ini berbeda dengan Vennesland (2005) dimana dijumpai kelebihan dan kekurangan alokasi anggaran di daerah-daerah yang tidak efisien sehingga kelebihan dana pada satu wilayah dapat direalokasikan pada wilayah yang kekurangan dana. Partisipasi masyarakat ditujukkan dengan penggunaan alokasi dana bergulir dalam kegiatan ekonomi. Dengan asumsi CRS terdapat enam kecamatan (66,67 persen) yang telah mencapai target dalam menghasilkan output, dan hanya empat kecamatan saja yang belum mencapai target. Solusi optimal untuk kecamatan yang belum mencapai target adalah meningkatkan pencapaian mulai dari 33 persen (kecamatan Cikancung) sampai dengan 45 persen (kecamatan Pacet). Dengan menggunakan asumsi VRS jumlah kecamatan yang mencapai target dan yang belum mencapai target juga dalam posisi yang sama, namun peningkatan pencapaian pada asumsi VRS ini lebih kecil dibandingkan dengan menggunakan CRS yaitu mulai dari 29 persen (kecamatan Nagreg) sampai dengan 39 persen (kecamatan Pacet). Secara umum total faktor produktivitas Indeks Malmquist kinerja PNPM Mandiri Perdesaan selama periode 2009 hingga 2013 menunjukkan tren peningkatan sebesar 1.139.

Faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan pendapatan rumah tangga partisipan menunjukkan variabel-variabel umur, pendidikan dan berpartisipasi dalam kelembagaan pemberdayaan signifikan. Sementara kecenderungan anggota rumah tangga untuk berpartisipasi dalam kelembagaan pemberdayaan dipengaruhi oleh variabel-variabel jumlah anggota rumah tangga, lapangan usaha, dan tipe kelembagaan yang diminati masyarakat. Efek multiplier alokasi kegiatan ekonomi dapat menciptakan perluasan tenaga kerja dan peningkatan ekonomi rumah tangga di perdesaan. Implikasi spillover program pemberdayaan berupa pengetahuan, peningkatan kapasitas dan keterampilan merupakan pintu masuk kebijakan dan strategi pembangunan wilayah.

(16)

RINGKASAN

SHERLY G JOCOM. Keterkaitan antara Modal Sosial dan Kemiskinan menurut Tahapan Perkembangan Desa di Provinsi Gorontalo. Dibimbing oleh D.S. PRIYARSONO, BAMBANG JUANDA dan ERNAN RUSTIADI

Di negara-negara berkembang termasuk Indonesia, kemiskinan umumnya merupakan fenomena umum di perdesaan dan pertanian. Berbagai kajian tentang kemiskinan di Indonesia menunjukkan bahwa penurunan kemiskinan di daerah perdesaan merupakan penyumbang terbesar terhadap penurunan kemiskinan secara agregat, dan pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu komponen terpenting dari upaya pengurangan kemiskinan (poverty reduction) di Indonesia. Sebagai salah satu provinsi baru pemekaran dari Provinsi Sulawesi Utara, Provinsi Gorontalo berkembang pesat dan menjadi salah satu provinsi yang diperhitungkan di Kawasan Timur Indonesia. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi ternyata tidak serta merta menurunkan kemiskinan di Provinsi Gorontalo. Fenomena menarik yang terjadi di Provinsi Gorontalo adalah meskipun laju pertumbuhan ekonomi meningkat dari waktu ke waktu namun tingkat kemiskinan di Provinsi Gorontalo juga sangat tinggi dengan laju penurunan kemiskinan di daerah perdesaan lebih cepat dibandingkan di daerah perkotaan. Himanshu et al. (2011) menawarkan solusi untuk mengatasi persoalan kemiskinan di kawasan perdesaan dengan transformasi perdesaan melalui diversifikasi non pertanian. Junaidi 2012 selanjutnya mengkaji transformasi perdesaan melalui tahapan perkembangan desa yang dikemukakan oleh Rustiadi et al. (2009).

Di Indonesia, Grootaert (2001), Miller et al. (2006) dan Brata (2004) menunjukkan bahwa modal sosial menjadi salah satu alternatif untuk mengatasi masalah kemiskinan, kesehatan, pendidikan dan ketersediaan modal di tingkat rumah tangga. Budaya Huyula sebagai salah satu wujud dari modal sosial di Provinsi Gorontalo mulai terkikis (Yunus, 2013). Penelitian ini bertujuan (1) menganalisis faktor-faktor yang berkaitan dengan kemiskinan perdesaan di Provinsi Gorontalo (2) Mengidentifikasi komponen/dimensi modal sosial yang dominan di perdesaan Provinsi Gorontalo (3) Menganalisis pengaruh dimensi modal sosial (trust, network dan norm) dan interaksi masing-masing dimensi terhadap kemiskinan di Provinsi Gorontalo (4) Menganalisis keterkaitan antara modal sosial (trust, network dan norm) dan kemiskinan perdesaan pada berbagai tingkat perkembangan desa di Provinsi Gorontalo.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah model Logit dan Model Persamaan Struktural (Structural Equation Modeling). Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Untuk melihat pengaruh modal sosial terhadap kemiskinan, dipilih dua kabupaten yaitu Kabupaten Gorontalo yang relatif dekat dengan ibukota provinsi dan Kabupaten Pohuwato yang relatif jauh dari ibukota provinsi. Disamping itu Kabupaten Gorontalo dan Kabupaten Pohuwato merupakan kabupaten dengan tingkat kemiskinan yang tinggi di Provinsi Gorontalo. Selanjutnya di pilih dua kecamatan di masing-masing kabupaten secara sengaja yaitu Kecamatan Tibawa dan Kecamatan Tolangohula untuk Kabupaten Gorontalo serta Kecamatan Randangan dan Kecamatan Popayato untuk Kabupaten Pohuwato yang memiliki jumlah penduduk miskin terbanyak serta memiliki jarak terdekat dan terjauh dari ibukota kabupaten.

(17)

kawasan perdesaan di Provinsi Gorontalo adalah modal manusia yang direpresentasikan dengan umur, pendidikan kepala keluarga dan jumlah tanggungan kepala keluarga, modal fisik yaitu akses terhadap energi listrik (PLN) dan akses terhadap telekomunikasi, modal finansial berupa kepemilikan modal fisik, modal sumberdaya alam yaitu domisili dekat hutan serta modal sosial yang di proxy dengan partisipasi dalam kegiatan kemasyarakatan dan jumlah jam kerja (2) komponen dominan yang membentuk modal sosial di perdesaan Gorontalo adalah rasa percaya (3) komponen atau dimensi yang memiliki keterkaitan dengan kemiskinan di perdesaan Gorontalo adalah norma, jaringan dan interaksi rasa percaya dan jaringan (4) desa-desa yang memiliki taraf perkembangan yang lebih maju dicirikan dengan keragaman bentuk-bentuk modal sosial yang berpengaruh dalam pengurangan kemiskinan di Provinsi Gorontalo.

(18)

RINGKASAN

YANA TATIANA. Analisis Perwilayahan Pembangunan dan Investasi di Provinsi Bengkulu. Ketua Komisi Pembimbing MUHAMMAD FIRDAUS, HERMANTO J. SIREGAR DAN HIMAWAN HARIYOGA sebagai anggota Komisi Pembimbing.

Provinsi Bengkulu adalah Provinsi yang ada di wilayah Indonesia Bagian Barat tepatnya di pulau Sumatera. Provinsi ini mengalami ketertinggalan dalam Pembangunan dibandingkan Provinsi lain di Pulau sumatera. Salah satu penyebab ketertinggalan provinsi ini adalah karena rendahnya kemampuan pembiayaan pembangunan yang berasal dari investasi. Minat investor di wilayah ini relatif rendah. Share pertanian terhadap PDRB di Provinsi Bengkulu masih relatif besar yaitu 38.34 persen, Hal ini menandakan masih belum berkembangnya pertumbuhan ekonomi di Provinsi ini.

Tujuan dari penelitian ini adalah : (1). Kondisi di Provinsi Bengkulu dalam kaitannya dengan struktur ekonomi, pola pertumbuhan dan penentuan sektor unggulan, dalam kaitan antar wilayah. (2). Iklim investasi yang ada di Provinsi, sekaligus perbaikan iklim investasi dalam kaitannya dengan usaha meningkatkan daya tarik daerah. (3). Faktor-faktor penentu yang menjadi daya tarik investor untuk menanamkan modalnya di Provinsi Bengkulu. (4). Sektor yang dapat mendorong percerpatan pertumbuhan ekonomi dalam kaitannya dengan usaha peningkatan investasi. Penelitian. Metode untuk perkembangan pembangunan di Provinsi Bengkulu dianalisis denga menggunakan Tipologi Klassen, Location Quation (LQ), Shiftshare, dan Kapasitas Fiskal. Metode untuk model faktor penentu iklim investasi menggunakan metode analisis regresi logistik. Metode untuk model faktor penentu investasi dianalisis dengan menggunakan metode regresi Panel. Variabel yang dipergunakan dalam analisis iklim investasi dengan regresi logistik meliputi akses lahan, infrastruktur daerah, Perizinan, Peraturan daerah, dan Biaya Transaksi. Analisis regresi logistic menggunakan data primer. Data yang diperoleh berasal kuesioner yang disebarkan kepada 33 responden yaitu PMA, PMDN dan usaha kecil yang ada di Propinsi Bengkulu. Variabel yang dipergunakan dalam analisis investasi industry adalah Pendapatan Domestik Regional Brutto (PDRB) perkapita, Infrastruktur jalan, infrastruktur listrik, infrastruktur air bersih, share pertanian terhadap PDRB, dan share pertambangan terhadap PDRB. Data yang dipergunakan dalam analisis regresi panel adalah data sekunder periode 2010-2013 berasal dari Biro Pusat Statistik Provinsi Bengkulu, Departemen perindustrian dan Perdagangan, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).

(19)

signifikan. dari seluruh faktor tersebut, hanya faktor perizinan saja (P value 0.116). Diantara seluruh faktor yang berpengaruh signifikan, faktor yang paling dominan pergerakannya dalam mendorong iklim investasi adalah akses lahan. Sedangkan faktor terlemah peranannya dalam menciptakan iklim investasi adalah Peraturan Daerah. Berdasarkan hasil tabulasi data diketahui bahwa kondisi akses lahan, infrastruktur daerah, perizinan, Peraturan daerah dan Biaya transaksi masih belum memadai. Hasil analis data sekunder dengan menggunakan analisis Regresi panel untuk mengetahui faktor penentu investasi industry total, industry pertanian, dan bukan pertanian memberikan hasil analisis adanya pengaruh yang signifikan antara PDRB perkapita, Infrastruktur jalan, pangsa pertanian pada PDRB, dan pangsa pertambangan pada PDRB terhadap investasi industri pertanian. Investasi industry bukan pertanian di Provinsi Bengkulu hanya dipengaruhi oleh kualitas tenaga kerja terdidik. Sedangkan hasil analisis faktor yang menentukan investasi industri total adalah PDRB, infrastruktur jalan, pangsa pertanian terhadap PDRB dan pangsa Pertambangan terhadap PDRB.

Referensi

Dokumen terkait

Kasus Diare di Kota Payakumbuh yang tercatat melalui Profil Kesehatan yaitu terlihat dari penderita diare pada balita dan dewasa yang datang dan dilayani

Untuk melengkapi informasi tentang antenna Shorty Dipole, Penulis pernah membuat antenna Shorty Dipole untuk Band 80 m dengan dimensi A hanya sekitar 9,25 meter

Logo adalah simbol yang biasanya dibuat sebagai ikon yang mempunyai karakteristik atau ciri khas. “Gethuk Kethek” belum mempunyai logo oleh karena itu perlu

Dari hasil penelitian didapat bahwa grup facebook forum komunikasi pecinta alam sulut memiliki peran yang sangat penting karena didalam grup terjadi pertukaran informasi mengenai

Berdasarkan data diatas dinyatakan bahwa penggunaan pupuk tunggal Fosfat alam dapat diaplikasikan dengan pupuk Urea, MOP, dan dolomit, karena pada percobaan tersebut

Di PT Telkom, program knowledge management disebut Knowledge Management Kampiun sedangkan di PT INTI program ini disebut Knowledge Tree. Pada bagian ini akan dijelaskan 1)

Dimana nilai K merupakan konstanta kerugian lokal, yang diperhitungkan konstan pada setiap peralatan selama aliran tersebut ialah turbulen. Pada tabel-tabel di dalam

Berdasarkan hasil analisis, dapat disimpulkan bahwa : (1) keterampilan komunikasi tulis selama pembelajaran daring termasuk dalam kategori baik, sebagian besar