• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 LANSIA 2.1.1 Definisi lansia

Undang-undang No. 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lansia menyatakan bahwa lansia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun ke atas. Dalam mendefinisikan batasan penduduk lanjut usia, ada tiga aspek yang perlu dipertimbangkan yaitu aspek biologi, aspek ekonomi dan aspek sosial (BKKBN 1998). Secara biologis penduduk lanjut usia adalah penduduk yang mengalami proses penuaan secara terus menerus, yang ditandai dengan menurunnya daya tahan fisik yaitu semakin rentannya terhadap serangan penyakit yang dapat menyebabkan kematian. Hal ini disebabkan terjadinya perubahan dalam struktur dan fungsi sel, jaringan, serta sistem organ.

Secara ekonomi, penduduk lanjut usia lebih dipandang sebagai beban dari pada sebagai sumber daya. Banyak orang beranggapan bahwa kehidupan masa tua tidak lagi memberikan banyak manfaat, bahkan ada yang sampai beranggapan bahwa kehidupan masa tua, seringkali dipersepsikan secara negatif sebagai beban keluarga dan masyarakat

Dari aspek sosial, penduduk lanjut usia merupakan satu kelompok sosial sendiri. Di negara Barat, penduduk lanjut usia menduduki strata sosial di bawah kaum muda. Hal ini dilihat dari keterlibatan mereka terhadap sumber daya ekonomi, pengaruh terhadap pengambilan keputuan serta luasnya hubungan sosial yang semakin menurun. Akan tetapi di Indonesia penduduk lanjut usia menduduki kelas sosial yang tinggi yang harus dihormati oleh warga muda

2.1.2 Klasifikasi lansia

WHO dalam menkes RI mempunyai batasan usia lanjut sebagai berikut:middle / young elderly usia antara 45-59 tahun, elderly usia antara 60-74 tahun, old usia antara 75-90 tahun dan dikatakan very old berusia di atas 90 tahun.

(2)

Pada saat ini, ilmuwan sosial yang mengkhususkan diri mempelajari penuaan merujuk kepada kelompok lansia : “lansia muda” (young old), “lansia tua” (old old). Dan “lansia tertua” (oldest old). Secara kronologis, young old secara umum dinisbahkan kepada usia antara 65 sampai 74 tahun, yang biasanya aktif, vital dan bugar. Old-old berusia antara 75 sampai 84 tahun, dan oldest old berusia 85 tahun ke atas (Papalia, Olds & Feldman, 2005).

2.1.3 Konsep Menua

Menua adalah proses yang mengubah seorang dewasa sehat menjadi seorang yang frail dengan berkurangnya sebagian besar cadangan sistem fisiologis dan meningkatnya kerentanan terhadap berbagai penyakit dan kematian (Setiati, Harimurti & Roosheroe, 2006).

Terdapat dua jenis penuaan, antara lain penuaan primer, merupakan proses kemunduran tubuh gradual tak terhindarkan yang dimulai pada masa awal kehidupan dan terus berlangsung selama bertahun-tahun, terlepas dari apa yang orang-orang lakukan untuk menundanya. Sedangkan penuaan sekunder merupakan hasil penyakit, kesalahan dan penyalahgunaan faktor-faktor yang sebenarnya dapat dihindari dan berada dalam kontrol seseorang (Busse,1987; J.C Horn & Meer,1987 dalam Papalia, Olds & Feldman, 2005). Banyak perubahan yang dikaitkan dengan proses menua merupakan akibat dari kehilangan yang bersifat bertahap (gradual loss). Watson (2003) mengungkapkan bahwa lansia mengalami perubahan-perubahan fisik diantaranya perubahan sel, sistem persarafan, sistem pendengaran, sistem penglihatan, sistem kardiovaskuler, sistem pengaturan suhu tubuh, sistem respirasi, sistem gastrointestinal, sistem genitourinari, sistem endokrin, sistem muskuloskeletal, disertai juga dengan perubahan-perubahan mental menyangkut perubahan ingatan (memori). Berdasarkan perbandingan yang diamati secara potong lintang antar kelompok usia yang berbeda, sebagian besar organ tampaknya mengalami kehilangan fungsi sekitar 1 persen per tahun, dimulai pada usia sekitar 30 tahun (Setiati, Harimurti & Roosheroe, 2006).

(3)

2.1.4 Aspek Biologis Proses Penuaan

Teori ‘radikal bebas’ merupakan salah satu dari beberapa teori mengenai proses penuaan. Teori ‘radikal bebas’ diperkenalkan pertama kali oleh Denham Harman pada tahun 1956. Harman menyebutkan bahwa produk hasil metabolisme oksidatif yang sangat reaktif (radikal bebas) dapat bereaksi dengan berbagai komponen penting selullar, termasuk protein, DNA dan lipid, dan menjadi molekul-molekul yang tidak berfungsi namun bertahan lama dan mengganggu fungsi sel lainnya. Teori radikal bebas menyatakan bahwa terdapat akumulasi radikal bebas secara bertahap di dalam sel sejalan dengan waktu, dan bila kadarnya melebihi konsentrasi ambang maka mereka mungkin berkontribusi pada perubahan-perubahan yang seringkali dikaitkan dengan penuaan (Setiati, Harimurti & Roosheroe, 2006).

2.2 KOGNITIF 2.2.1 Definisi Kognitif

Kognitif merupakan suatu proses pekerjaan pikiran yang dengannya kita menjadi waspada akan objek pikiran atau persepsi, mencakup semua aspek pengamatan, pemikiran dan ingatan (Dorland, 2002).

2.2.2 Aspek-Aspek Kognitif

Fungsi kognitif seseorang meliputi berbagai fungsi berikut, antara lain : 1. Orientasi

Orientasi dinilai dengan pengacuan pada personal, tempat dan waktu. Orientasi terhadap personal (kemampuan menyebutkan namanya sendiri ketika ditanya) menunjukkan informasi yang ”overlearned”. Kegagalan dalam menyebutkan namanya sendiri sering merefleksikan negatifism, distraksi, gangguan pendengaran atau gangguan penerimaan bahasa.

Orientasi tempat dinilai dengan menanyakan negara, provinsi, kota, gedung dan lokasi dalam gedung. Sedangkan orientasi waktu dinilai dengan menanyakan tahun, musim, bulan, hari dan tanggal. Karena perubahan waktu

(4)

lebih sering daripada tempat, maka waktu dijadikan indeks yang paling sensitif untuk disorientasi.

2. Bahasa

Fungsi bahasa merupaka kemampuan yang meliputi 4 parameter, yaitu kelancaran, pemahaman, pengulangan dan naming.

1. Kelancaran

Kelancaran merujuk pada kemampuan untuk menghasilkan kalimat dengan panjang, ritme dan melodi yang normal. Suatu metode yang dapat membantu menilai kelancaran pasien adalah dengan meminta pasien menulis atau berbicara secara spontan.

2. Pemahaman

Pemahaman merujuk pada kemampuan untuk memahami suatu perkataan atau perintah, dibuktikan dengan mampunya seseorang untuk melakukan perintah tersebut.

3. Pengulangan

Kemampuan seseorang untuk mengulangi suatu pernyataan atau kalimat yang diucapkan seseorang.

4. Naming

Naming merujuk pada kemampuan seseorang untuk menamai suatu objek beserta bagian-bagiannya.

3. Atensi

Atensi merujuk pada kemampuan seseorang untuk merespon stimulus spesifik dengan mengabaikan stimulus yang lain di luar lingkungannya.

1. Mengingat segera

Aspek ini merujuk pada kemampuan seseorang untuk mengingat sejumlah kecil informasi selama <30 detik dan mampu untuk mengeluarkannya kembali

2. Konsentrasi

Aspek ini merujuk pada sejauh mana kemampuan seseorang untuk memusatkan perhatiannnya pada satu hal. Fungsi ini dapat dinilai dengan meminta orang tersebut untuk mengurangkan 7 secara berturut-turut

(5)

dimulai dari angka 100 atau dengan memintanya mengeja kata secara terbalik.

4. Memori

1. Memori verbal, yaitu kemampuan seseorang untuk mengingat kembali informasi yang diperolehnya.

a. Memori baru

Kemampuan seseorang untuk mengingat kembali informasi yang diperolehnya pada beberapa menit atau hari yang lalu.

b. Memori lama

Kemampuan untuk mengingat informasi yang diperolehnya pada beberapa minggu atau bertahun-tahun lalu.

2. Memori visual, yaitu kemampuan seseorang untuk mengingat kembali informasi berupa gambar.

5. Fungsi konstruksi, mengacu pada kemampuan seseorang untuk membangun dengan sempurna. Fungsi ini dapat dinilai dengan meminta orang tersebut untuk menyalin gambar, memanipulasi balok atau membangun kembali suatu bangunan balok yang telah dirusak sebelumnya.

6. Kalkulasi, yaitu kemampuan seseorang untuk menghitung angka.

7. Penalaran, yaitu kemampuan seseorang untuk membedakan baik buruknya suatu hal, serta berpikir abstrak (Goldman, 2000).

2.2.3 Neurosains kognitif  Lobus frontalis

Korteks frontalis, khususnya area prafrontalis, membesar secara khusus pada manusia, dibandingkan dengan spesies lain. Secara anatomis, girus frontalis superior, medial dan inferior membentuk aspek lateral dari lobus frontalis. Secara fungsional, korteks motorik, korteks pramotorik dan korteks asosiasi prafrontalis adalah bagian yang utama. Korteks motorik terlibat dalam pergerakan otot spesifik; korteks pramotorik terlibat dalam gerakan terkoordinasi berbagai otot; dan korteks asosiasi terlibat

(6)

dalam integrasi informasi sensoris yang diproses oleh korteks sensorik primer.

Jalur dari dan ke lobus frontalis adalah banyak dan kompleks, tetapi satu kelompok jalur yang menghubungkan area prafrontalis dan nukleus mediodorsal dari talamus mempunyai kaitan dengan gangguan psikiatrik. Daerah magnoselular dari nukleus talamik menonjol keluar ke aspek orbital dan medial dari area prafrontalis; daerah parviselular menonjol keluar ke arah dorsolateral. Lesi yang mengenai jalur magnoselular menyebabkan hiperkinesis, euforia dan perilaku yang tidak sesuai, kadang-kadang disebut sebagai sindrom pseudopsikotik. Lesi yang mengenai jalur parviselular menyebabkan hipokinesis, apati dan gangguan kognisi, kadang-kadang disebut sindrom pseudodepresi. Gejala tambahan dapat berupa dandanan yang buruk, retardasi psikomotor, penurunan perhatian, kekerasan motorik, kesulitan perubahan mental dan kemampuan abstrak yang buruk.

Fungsi utama korteks frontalis adalah aktivasi motorik, intelektual, perencanaan konseptual, aspek kepribadian dan aspek produksi bahasa (Kaplan, Sadock & Grebb, 1997).

 Lobus temporal

Lobus temporalis, terletak di setiap sisi kepala berperan dalam fungsi memori, terutama bagian medial dimana terdapat dua struktur penting, yaitu hipokampus dan amigdala.

Hipokampus

Hipokampus berperan sebagai gerbang memori yang harus dilewati ketika memori baru menuju penyimpanan permanen (korteks). Hipokampus tidak menerima langsung input dari neokorteks. Data yang diterimanya berasal dari area asosiasi yang ditransmisikan terlebih dahulu ke korteks entorinal atau amigdala sebelum ke hipokampus. Kerusakan pada hipokampus dapat berakibat amnesia anterograde, dimana pasien tidak mampu membentuk memori baru, sedangkan memori lamanya masih tersimpan dengan baik.

(7)

Amigdala

Amigdala, terletak di samping hipokampus dalam lobus temporalis medial, merupakan struktur penting dalam memori emosional. Seseorang dengan kerusakan pada amigdala mungkin dapat mengingat kejadian yang pernah dialaminya, tetapi tidak bisa mengingat kandungan emosi di dalamnya.

Selain penting dalam fungsi memori, lobus temporalis juga penting dalam fungsi bahasa, dimana terdapat struktur penting, yaitu area Wernicke, yang terletak di sekeliling girus Heschl di bidang superior temporal. Serat-serat auditorik berjalan dari badan genikulatus medial dari talamus ke girus Heschl pada bidang superior temporal. Di sekeliling girus Heschl adalah korteks auditorik yang dikenal sebagai area Wernicke. Serat-serat dari area Wernicke diproyeksikan ke area Broca di lobus frontal inferior melalui fasikulus arkuatus dan mungkin jalur substansia alba lainnya. Area Broca dapat dianggap sebagai korteks motorik. Sebagai perluasan dari korteks premotorik, area Broca dapat membuat kode yang menghasilkan program artikulasi untuk area korteks motorik yang melayani pergerakan mulut, lidah dan laring (Goldman, 2000).

 Lobus Parietalis

Lobul parietalis superior dan lobul parietalis inferior membentuk lobus parietal. Lobul parietalis inferior termasuk girus supramarginalis dan girus angularis. Korteks asosiasi untuk input visual, taktil dan auditoris terkandung dalam lobus parietalis. Lobus parietalis kiri mempunyai peranan istimewa dalam proses verbal; lobus parietalis kanan mempunyai peranan yang lebih besar dala proses visual-spasial (Kaplan, Sadock & Grebb, 1997).

2.3 Kognitif pada Lansia

Setiati, Harimurti & Roosheroe (2006) menyebutkan adanya perubahan kognitif yang terjadi pada lansia, meliputi berkurangnya kemampuan meningkatkan fungsi intelektual, berkurangnya efisiensi tranmisi saraf di otak

(8)

(menyebabkan proses informasi melambat dan banyak informasi hilang selama transmisi), berkurangnya kemampuan mengakumulasi informasi baru dan mengambil informasi dari memori, serta kemampuan mengingat kejadian masa lalu lebih baik dibandingkan kemampuan mengingat kejadian yang baru saja terjadi.

Penurunan menyeluruh pada fungsi sistem saraf pusat dipercaya sebagai kontributor utama perubahan dalam kemampuan kognitif dan efisiensi dalam pemrosesan informasi (Papalia, Olds & Feldman, 2008). Penurunan terkait penuaan ditunjukkan dalam kecepatan, memori jangka pendek, memori kerja dan memori jangka panjang. Perubahan ini telah dihubungkan dengan perubahan pada struktur dan fungsi otak. Raz dan Rodrigue (dalam Myers, 2008) menyebutkan garis besar dari berbagai perubahan post mortem pada otak lanjut usia, meliputi volume dan berat otak yang berkurang, pembesaran ventrikel dan pelebaran sulkus, hilangnya sel-sel saraf di neokorteks, hipokampus dan serebelum, penciutan saraf dan dismorfologi, pengurangan densitas sinaps, kerusakan mitokondria dan penurunan kemampuan perbaikan DNA. Raz dan Rodrigue(2006) juga menambahkan terjadinya hiperintensitas substansia alba, yang bukan hanya di lobus frontalis, tapi juga dapat menyebar hingga daerah posterior, akibat perfusi serebral yang berkurang (Myers, 2008) Buruknya lobus frontalis seiring dengan penuaan telah memunculkan hipotesis lobus frontalis, dengan asumsi penurunan fungsi kognitif lansia adalah sama dibandingkan dengan pasien dengan lesi lobus frontalis. Kedua populasi tersebut memperlihatkan gangguan pada memori kerja, atensi dan fungsi eksekutif (Rodriguez-Aranda & Sundet dalam Myers, 2008).

2.3.1 Karakteristik Demografi Penurunan Kognitif pada Lansia  Status Kesehatan

Salah satu faktor penyakit penting yang mempengaruhi penurunan kognitif lansia adalah hipertensi. Peningkatan tekanan darah kronis dapat meningkatkan efek penuaan pada struktur otak, meliputi reduksi substansia putih dan abu-abu di lobus prefrontal, penurunan

(9)

hipokampus, meningkatkan hiperintensitas substansia putih di lobus frontalis. Angina pektoris, infark miokardium, penyakit jantung koroner dan penyakit vaskular lainnya juga dikaitkan dengan memburuknya fungsi kognitif (Briton & Marmot, 2003 dalam Myers, 2008)

 Faktor usia

Suatu penelitian yang mengukur kognitif pada lansia menunjukkan skor di bawah cut off skrining adalah sebesar 16% pada kelompok umur 65-69, 21% pada 70-74, 30% pada 75-79, dan 44% pada 80+. Hasil penelitian tersebut menunjukkan adanya hubungan positif antara usia dan penurunan fungsi kognitif (Scanlan et al, 2007).

 Status Pendidikan

Kelompok dengan pendidikan rendah tidak pernah lebih baik dibandingkan kelompok dengan pendidikan lebih tinggi (Scanlan, 2007).

 Jenis Kelamin

Wanita tampaknya lebih beresiko mengalami penurunan kognitif. Hal ini disebabkan adanya peranan level hormon seks endogen dalam perubahan fungsi kognitif. Reseptor estrogen telah ditemukan dalam area otak yang berperan dalam fungsi belajar dan memori, seperti hipokampus. Rendahnya level estradiol dalam tubuh telah dikaitkan dengan penurunan fungsi kognitif umum dan memori verbal. Estradiol diperkirakan bersifat neuroprotektif dan dapat membatasi kerusakan akibat stress oksidatif serta terlihat sebagai protektor sel saraf dari toksisitas amiloid pada pasien Alzheimer (Yaffe dkk, 2007 dalam Myers, 2008).

2.4 MMSE (Mini Mental Status Examination) 2.4.1. Tujuan

MMSE awalnya dirancang sebagai media pemeriksaan status mental singkat serta terstandardisasi yang memungkinkan untuk membedakan antara

(10)

gangguan organik dan fungsional pada pasien psikiatri. Sejalan dengan banyaknya penggunaan tes ini selama bertahun-tahun, kegunaan utama MMSE berubah menjadi suatu media untuk mendeteksi dan mengikuti perkembangan gangguan kognitif yang berkaitan dengan kelainan neurodegeneratif, misalnya penyakit Alzheimer.

2.4.2. Gambaran

MMSE merupakan suatu skala terstruktur yang terdiri dari 30 poin yang dikelompokkan menjadi 7 kategori : orientasi terhadap tempat (negara, provinsi, kota, gedung dan lantai), orientasi terhadap waktu (tahun, musim, bulan, hari dan tanggal), registrasi (mengulang dengan cepat 3 kata), atensi dan konsentrasi (secara berurutan mengurangi 7, dimulai dari angka 100, atau mengeja kata WAHYU secara terbalik), mengingat kembali (mengingat kembali 3 kata yang telah diulang sebelumnya), bahasa (memberi nama 2 benda, mengulang kalimat, membaca dengan keras dan memahami suatu kalimat, menulis kalimat dan mengikuti perintah 3 langkah), dan kontruksi visual (menyalin gambar).

Skor MMSE diberikan berdasarkan jumlah item yang benar sempurna; skor yang makin rendah mengindikasikan performance yang buruk dan gangguan kognitif yang makin parah. Skor total berkisar antara 0-30 (performance

sempurna). Skor ambang MMSE yang pertama kali direkomendasikan adalah 23 atau 24, memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang baik untuk mendeteksi demensia; bagaimanapun, beberapa studi sekarang ini menyatakan bahwa skor ini terlalu rendah, terutama terhadap seseorang dengan status pendidikan tinggi. Studi-studi ini menunjukkan bahwa demensia dapat didiagnosis dengan keakuratan baik pada beberapa orang dengan skor MMSE antara 24-27. Gambaran ini terfokus pada keakuratan dalam populasi. Untuk tujuan klinis, bahkan skor 27 tidak sensitif untuk mendeteksi demensia pada orang dengan status pendidikan tinggi, dimana skor ambang 24 tidak spesifik pada orang dengan status pendidikan rendah.

(11)

2.4.3. Pelaksanaan

MMSE dapat dilaksanakan selama kurang lebih 5-10 menit. Tes ini dirancang agar dapat dilaksanakan dengan mudah oleh semua profesi kesehatan atau tenaga terlatih manapun yang telah menerima instruksi untuk penggunaannya.

2.4.4 Validitas

Performance pada MMSE menunjukkan kesesuaian dengan berbagai tes lain yang menilai kecerdasan, memori dan aspek-aspek lain fungsi kognitif pada berbagai populasi. Contohnya, skor MMSE sesuai dengan keseluruhan, kecerdasan performance ataupun verbal dari Wechsler Adult Intellligence Scale

(WAIS) (Wechsler 1958) atau revisinya (WAIS-R) (Wechsler 1981) pada pasien demensia, stroke, skizofrenia atau depresi, dan lansia-lansia sehat. Skor MMSE juga memiliki kesesuaian dengan skor pada tes Clock Drawing pada pasien geriatri dan pasien dengan penyakit Alzheimer, dengan skor pada Alzheimer’s Disease Assessment Scale-Cognitive (ADAS-COG) dan juga pada tes-tes lain seperti Information-Memory-Concentration (IMC), Wechsler Memory Scale

(Wechsler 1945), tes composite neuropsychological dan Brief Cognitive Rating Scale ( BCRS).

Lima studi melaporkan bahwa MMSE sensitif untuk mendeteksi demensia. Pada satu studi diantaranya, skor MMSE pasien dengan demensia (N=29) lebih rendah daripada pasien dengan depresi dengan gangguan kognitif (N=10), depresi tanpa gangguan kognitif (N=30) dan subjek kontrol psikiatri normal (N=63). Pada studi lain, skor pasien demensia (N=44) lebih rendah daripada pasien dengan diagnosis penyakit psikiatri lain (N=33), atau diagnosis neurologis (N=33), atau subjek kontrol (N=23). Suatu studi yang terfokus pada lansia di panti jompo (N=201) menemukan bahwa lansia dengan demensia memilki skor MMSE lebih rendah daripada lansia tanpa demensia atau curiga demensia.

Skor 23 pada MMSE pertama kali diajukan sebagai ambang skor yang mengindikasikan disfungsi kognitif. Dalam 13 studi berurutan yang menilai

(12)

keefektifan ambang skor MMSE < 23 untuk mendeteksi demensia, sensitivitas berkisar antara 63%-100% dan spesifisitas berkisar antara 52%-99% (N=23-74 orang dengan demensia dan 24-2,663 orang tanpa demensia).

2.4.5 Reliabilitas

Dua studi yang menilai konsistensi internal MMSE mendapatkan nilai alfa Cronbach sebesar 0,82 dan 0,84 pada pasien lansia yang dirawat di layanan medis (N=372) dan lansia di panti jompo (N=34).

Reliabilitas MMSE lain telah ditemukan sebesar 0,827 dalam suatu studi pada pasien demensia (N=19), 0,95 dalam studi pada pasien dengan berbagai gangguan neurologis (N=15), dan 0,84-0,99 dalam dua studi pada lansia di panti jompo (N=35 dan 70). Koefisien korelasi intrakelas berkisar antara 0,69-0,78 didapatkan dalam studi di panti jompo lainnya (N=48). Rata-rata nilai kappa sebesar 0,97 didapatkan dari 5 peneliti skor performance MMSE secara terpisah pada 10 pasien neurologis.

2.4.6. Penggunaan Klinis

MMSE merupakan pemeriksaan status mental singkat dan mudah diaplikasikan yang telah dibuktikan sebagai instrumen yang dapat dipercaya serta valid untuk mendeteksi dan mengikuti perkembangan gangguan kognitif yang berkaitan dengan penyakit neurodegeneratif. Hasilnya, MMSE menjadi suatu metode pemeriksaan status mental yang digunakan paling banyak di dunia. Tes ini telah diterjemahkan ke beberapa bahasa dan telah digunakan sebagai instrumen skrining kognitif primer pada beberapa studi epidemiologi skala besar demensia. Tes ini juga digunakan secara luas pada praktik klinis dan kecermelangannya sebagai instrumen skrining kognitif telah dibuktikan dengan pencatuman bersama dengan Diagnostic Interview Schedule (DIS), dalam studi National Institute of Mental Health ECA dan oleh daftarnya yang menyebutkan MMSE sebagai penilai fungsi kognitif yang direkomendasikan untuk kriteria diagnosis penyakit Alzheimer dikembangkan oleh konsorsium National Institute of Neurological and

(13)

Communication Disorders and Stroke and the Alzheimer’s Disease and Related Disorders Association (McKhann dkk, 1984).

Data psikometri luas MMSE menunjukkkan bahwa tes ini memiliki tes

retest dan reliabilitas serta validitas sangat baik berdasarkan diagnosis klinis independen demensia dan penyakit Alzheimer. Karena performance pada MMSE dapat dibiaskan oleh pengaruh status pendidikan rendah pada pasien yang sehat, beberapa pemeriksa merekomendasikan untuk menggunakan ambang skor berdasarkan umur dan status pendidikan untuk mendeteksi demensia.

Kelemahan terbesar MMSE yang banyak disebutkan ialah batasannya atau ketidakmampuannya untuk menilai beberapa kemampuan kognitif yang terganggu di awal penyakit Alzheimer atau gangguan demensia lain (misalnya terbatasnya

item verbal dan memori dan tidak adanya penyelesaian masalah atau judgment), MMSE juga relatif tak sensitif terhadap penurunan kognitif yang sangat ringan (terutama pada individual dengan status pendidikan tinggi). Walaupun batasan-batasan ini mengurangi manfaat MMSE, tes ini tetap menjadi instrumen yang sangat berharga untuk penilaian penurunan kognitif (Rush, 2000).

2.4.7 Interpretasi MMSE

Interpretasi MMSE didasarkan pada skor yang diperoleh pada saat pemeriksaan :

1. Skor 24-30 diinterpretasikan sebagai fungsi kognitif normal 2. Skor 17-23 berarti probable gangguan kognitif

Referensi

Dokumen terkait

- Sikap, tindakan atau keputusan yang diambil oleh Direksi didalam menjalankan, mengarahkan dan mengendalikan kegiatan kerja tertentu atau menyelesaikan suatu

Pengujian yang dilakukan pada kapasitas mesin dan kebersihan kapuk dari bijinya adalah menguji output/keluaran hasil pengodolan yang paling banyak dan stabil

Berdasarkan hal tersebut maka penulis akan mencoba membuat suatu perangkat lunak sistem penentuan pemilihan jenis ikan untuk kolam, dimana aplikasi ini akan di

Merupakan perbaikan dari prosedur quenching dan digunakan untuk mengurangi distorsi dan chocking selama pendinginan. Caranya benda kerja dipanaskan sampai ke

 Prinsip: memeriksa berat jenis urine dengan alat urinometer  Tujuan: mengetahui kepekatan urine.  Alat

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui toksisitas subkronis Ekstrak Curcuma Bebas Minyak Atsiri (ECBA) yang diberikan secara per oral pada pemakaian jangka panjang dengan

Hasil pengujian pada hipotesis kedua (H2) dapat kita lihat pada tabel path coefficient dengan nilai p values memiliki besaran nilai 0.000, nilai tersebut lebih kecil dari

Untuk mengetahui efek Tai Chi terhadap kapasitas aerobik lansia di Griya Usia Lanjut Santo Yosef Surabaya, diberikan latihan Tai Chi dengan tipe Qigong selama 8