• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pola Sebaran Spasial

Pola sebaran spasial tumbuhan dan satwa adalah salah satu karakteristik yang penting dalam suatu komunitas ekologi. Hal ini merupakan suatu hal yang mendasar dari setiap kelompok organisme dan merupakan tahap awal dalam meneliti suatu komunitas (Connel 1963, diacu dalam Ludwig & Reynolds 1988).

Ludwig & Reynolds (1988) menyatakan ada tiga tipe pola sebaran dalam suatu komunitas, yaitu acak (random), mengelompok (clumped) dan seragam (uniform). Terbentuknya pola sebaran tersebut dipengaruhi oleh berbagai mekanisme. Berbagai proses interaksi baik biotik dan abiotik saling berkontribusi untuk membentuk pola sebaran tersebut. Suatu pola sebaran acak dalam populasi organisme disebabkan oleh lingkungan yang homogen dan pola perilaku non selektif. Di sisi lain, pola sebaran non-acak (mengelompok dan seragam) menunjukkan adanya suatu pembatas pada populasi yang ada. Pola mengelompok disebabkan oleh adanya individu-individu yang akan berkelompok dalam suatu habitat yang sesuai dengan kebutuhan hidupnya. Sebaran seragam merupakan hasil dari adanya interaksi negatif antar individu, misalkan adanya kompetisi atas makanan dan ruang tumbuh.

a b c

Gambar 1 Tiga pola dasar sebaran spasial individu dalam suatu habitat (a) acak, (b) mengelompok, (c) seragam (Ludwigs & Reynolds 1988).

(2)

Odum (1971) juga menyatakan bahwa individu dalam suatu populasi menyebar mengikuti tiga pola, yaitu acak (random), mengelompok (clumped) dan seragam (uniform). Pola sebaran random sangat jarang ditemui di alam dan hanya akan terjadi bila kondisi lingkungan seragam dan tidak ada kecenderungan terjadinya agregasi. Pola penyebaran uniform akan terjadi bila tingkat kompetisi antar individu sama atau terjadi hubungan antagonis positif yang mendukung penyebaran keruangan. Pola penyebaran clumped merupakan pola penyebaran yang paling umum. Pola ini dibagi lagi menjadi tiga, yaitu random clumped, uniform clumped dan aggregated clumped.

Hutchinson (1953), diacu dalam Ludwig & Reynolds (1988) mengidentifikasi berbagai faktor penyebab dalam terbentuknya suatu pola sebaran organisme antara lain:

a. Faktor vektorial, yaitu faktor gabungan antara berbagai aksi lingkungan (misalnya: angin, air, intensitas cahaya).

b. Faktor regenerasi, yaitu bagaimana cara organisme tersebut beregenerasi. c. Faktor sosial, yaitu bagaimana perilaku organisme tersebut.

d. Faktor ko-aktif, yaitu faktor yang dihasilkan oleh interaksi intraspesifik (misalnya: kompetisi).

e. Faktor stokastik, yaitu faktor yang dihasilkan dari kombinasi beberapa faktor di atas.

Faktor-faktor di atas secara garis besar dapat dikategorikan sebagai faktor intrinsik (misalnya: reproduksi, sosial dan ko-aktif) dan faktor ekstrinsik (vektorial). Krebs (1978) menyatakan bahwa faktor vektorial (fisik) berupa suhu udara, kelembaban, cahaya, fisik tanah dan sifat kimia air dapat membatasi distribusi suatu organisme.

Pola sebaran spasial suatu spesies dapat diidentifikasi dengan menggunakan berbagai macam indeks sebaran, antara lain dengan rasio varian dan mean, Indeks Clumping, Koefisien Green, Indeks Morisita, Standarisasi Indeks Morisita dan rasio antara kepadatan observasi dengan kepadatan harapan (Rani 2003). Iwao (1968) menyatakan bahwa Indeks Morisita (Id) adalah yang paling sering digunakan untuk mengukur pola sebaran suatu spesies karena hasil perhitungan dari indeks tersebut tidak dipengaruhi oleh perbedaan nilai rataan dan ukuran unit

(3)

sampling. Southwood (1966) dan Pielou (1969) juga menyatakan hal yang sama. Menurut Southwood, indeks Morisita dapat menunjukkan pola sebaran suatu spesies dengan sangat baik. Indeks ini bersifat independent terhadap tipe-tipe distribusi, jumlah sampel dan nilai rataannya. Oleh karena itu, menurut Pielou (1969) berapa pun ukuran contohnya, indeks Morisita akan memberikan hasil yang relatif stabil.

Standarisasi indeks Morisita merupakan perbaikan dari Indeks Morisita dengan meletakkan suatu skala absolut antara -1 hingga 1. Suatu penelitian simulasi membuktikan bahwa indeks ini merupakan metode terbaik untuk mengukur pola sebaran spasial suatu individu karena tidak bergantung terhadap kepadatan populasi dan ukuran sampel (Rani 2003).

2.2 Kesamaan Dua Komunitas

Fungsi kemiripan menghitung kesamaan dan ketidaksamaan antara dua objek yang diobservasi. Objek yang dimaksud disini adalah komunitas yang saling berbeda. Ludwig & Reynolds (1988) menyatakan bahwa kemiripan suatu komunitas dengan komunitas lain dapat dinyatakan dengan similarity coefficients dan distance coefficients. Similarity coefficients memiliki nilai yang bervariasi antara 0 (jika kedua komunitas benar-benar berbeda) hingga 1 (jika kedua komunitas identik). Similarity coefficients dapat ditunjukkan dengan beberapa indeks seperti indeks Dice dan Jaccards. Distance coefficients atau dissimilarity coefficients merupakan kebalikan dari similarity coefficients.

Distance coefficients dapat dihitung menggunakan tiga kelompok indeks yaitu E-group (the Euclidean distance coefficients), BC-group (Bray-Curtis dissimilarity index), dan RE-group (the relative Euclidean distance). Dari ketiga kelompok di atas, Ludwig & Reynolds (1988) merekomendasikan untuk menggunakan BC-group (Bray-Curtis dissimilarity index) dan RE-group (the relative Euclidean distance) dalam menghitung indeks ketidaksamaan karena perhitungan dengan Euclidean distance coefficients dapat memberikan hasil yang bias.

Bloom (1981) telah membandingkan keakuratan empat similarity indices (indeks Bray-Curtis, Canberrra metric, indeks Morisita yang dimodifikasi oleh

(4)

Horn dan Horn’s Information Theory Index). Indeks Bray-Curtis ternyata memberikan keakuratan yang lebih baik daripada ketiga indeks lainnyya. Horn’s Information Theory Index dan indeks Morisita yang dimodifikasi oleh Horn memberikan hasil yang overestimate sedangkan Canberra metric cenderung underestimate.

2.3 Hubungan antara Dua Spesies

Faktor biotik dan abiotik dapat mempengaruhi pola sebaran, kelimpahan, dan interaksi suatu spesies dengan individu lain dalam komunitasnya. Asosiasi atau hubungan antara dua spesies dapat berupa hubungan positif, negatif, atau tidak ada hubungan. Salah satu teknik yang dapat digunakan untuk mendeteksi hubungan antara dua spesies adalah dengan metode presence-absence (Ludwig & Reynolds 1988).

Hubalek (1982), diacu dalam (Ludwig & Reynolds 1988) menyatakan bahwa secara umum, hubungan antara dua spesies terjadi karena:

a. Kedua spesies memilih atau menghindari habitat yang sama.

b. Kedua spesies secara umum memiliki kebutuhan biotik dan abiotik yang sama. c. Salah satu atau kedua spesies memiliki kesamaan satu sama lain baik itu

berupa suatu ketertarikan ataupun penolakan.

Asosiasi positif terjadi apabila antara kedua spesies memerlukan suatu kondisi yang sama atau adanya predator terhadap keduanya. Asosiasi negatif dapat terjadi jika keduanya memerlukan kondisi yang berbeda atau bersaing satu sama lain (Southwood 1966).

Ludwig & Reynolds (1988) menyatakan bahwa secara umum, penentuan asosiasi antara dua spesies dapat dilakukan dalam 3 langkah, yaitu menguji ada tidaknya hubungan asosiasi dengan teknik presence-absence, menguji tipe hubungan (positif atau negatif) dan mengukur derajat asosiasi menggunakan indeks asosiasi. Southwood (1966) juga menyatakan hal yang serupa. Hubalek (1982), diacu dalam (Ludwig & Reynolds 1988) telah menganalisis 43 indeks asosiasi yang dapat digunakan untuk menyatakan besarnya derajat asosiasi namun hanya enam indeks yang dapat mengukur derajat asosiasi dengan baik.

(5)

Ludwig & Reynolds (1988) sendiri menyatakan bahwa terdapat tiga indeks yang paling umum digunakan dalam mengukur derajat asosiasi antara dua spesies, yaitu Indeks Ochiai, Indeks Dice dan Indeks Jaccard. Jackson et al. (1989) menyatakan bahwa dari delapan indeks yang dia teliti, Indeks Ochiai dapat menunjukan derajat asosiasi dengan baik dimana ukuran sampling unit dan frekuensi kejadian memiliki pengaruh yang minimum terhadap hasil perhitungannya.

2.4 Struktur Tegakan Hutan Alam

Struktur tegakan terdiri dari struktur tegakan vertikal, horizontal dan spasial. Struktur tegakan vertikal menggambarkan susunan tegakan berdasarkan tinggi tajuk. Struktur tegakan horizontal menyatakan distribusi pohon berdasarkan kelas diameter, sedangkan struktur spasial menunjukkan pola pengelompokan dan distribusi jenis dalam ruang tumbuh (Rusolono 2006).

Diameter pohon paling umum digunakan untuk mendeskripsikan bentuk struktur tegakan. Distribusi diameter pada hutan tidak seumur akan membentuk kurva huruf J terbalik, dengan kerapatan pohon yang tinggi pada kelas diameter rendah dan semakin berkurang pada kelas diameter yang lebih tinggi (Husch et al. 2003). Meyer (1953), diacu dalam Husch et al. (2003) menyatakan bahwa bentuk distribusi diameter hutan normal pada hutan alam akan mengikuti persamaan eksponensial negatif N = k e –aD, dimana N adalah kerapatan tegakan (pohon/Ha), a dan k adalah konstanta karakteristik distribusi diameter, serta D adalah kelas diameter.

2.5 Gambaran Umum Jenis Merbau (Intsia spp.) 2.5.1 Ciri Botanis Intsia spp.

Merbau termasuk ke dalam famili Fabaceae dan merupakan nama perdagangan untuk genus Intsia spp. Merbau juga dikenal dengan nama “kwila” di Papua New Guinea, “ipil” di Filipina, dan kayu besi di Malaysia Barat (Newman & Lawson 2005).

Tong et al. (2009) menyatakan bahwa terdapat 9 spesies merbau yang menyebar di beberapa belahan dunia. Terdapat tiga spesies merbau di Indoneisa

(6)

yaitu Intsia bijuga, I. palembanica dan I. acuminata. Ketiga spesies tersebut dapat ditemukan di Papua akan tetapi hanya jenis I. bijuga dan I. palembanica yang dieksploitasi secara komersial dan diketahui dengan baik. Tong et al. (2009) juga menyatakan bahwa jenis I. bijuga adalah yang paling sering ditemukan di Indonesia.

Merbau saat dewasa memiliki tinggi 7−40 m dengan pertambahan tinggi sebesar 1,5 m per tahun. Jenis ini termasuk pada jenis yang pertumbuhannya lambat dan memasuki masa dewasa setelah berumur 75−80 tahun. Pohon dewasa memiliki banir yang lebar hingga mencapai 4 m. Batang merbau tumbuh lurus dengan tajuk yang lebar serta memiliki kemampuan self-pruning yang baik. Bunga merbau bersifat biseksual sehingga dalam satu bunga terdapat bunga jantan dan betina, mahkota bunganya berwarna merah atau terkadang merah jambu. Jenis ini berbunga sepanjang tahun walaupun memiliki musim berbunga puncak pada bulan tertentu yang berbeda pada setiap daerah. Buahnya berbentuk oblong dengan ukuran 8−23 cm x 4−8 cm. Daun merbau merupakan daun majemuk yang biasanya terdiri dari 4 anak daun dengan panjang 8−15 cm/anak daun. Daun berbentuk elips dan asimetris (Thaman et al. 2006).

Batang merbau halus berwarna agak merah jambu hingga coklat kemerahan dan sedikit keabuan. Kulit kayu sering terkelupas berupa sisik dengan ukuran yang tidak terlalu besar. Kayu gubal dan kayu teras sangat mudah dibedakan karena sangat kontras. Kayu gubal berwarna putih sedangkan kayu teras berwarna coklat merah dan saat dipotong batang mengeluarkan cairan berwarna coklat kehitaman (Nugroho 2010).

2.5.2 Penyebaran dan Tempat Tumbuh Intsia spp.

Jenis ini menyebar di seluruh Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara Timur dan Papua (Heyne 1987). Menurut Rimbawanto & Widyatmoko (2006), karena tingginya intensitas perburuan merbau menyebabkan jenis ini sekarang hanya tersisa di Papua dan sebagian Maluku

Newman & Lawson (2005) menyatakan bahwa pohon merbau tumbuh di hutan hujan tropis dataran rendah dan seringkali ditemukan di daerah pesisir yang berbatasan dengan rawa, sungai dan dataran sedimentasi. Merbau tumbuh baik

(7)

pada tanah lembab yang kadang-kadang digenangi air dan dapat juga tumbuh pada tanah kering, tanah berpasir, dan tanah berbatu.

Jenis I. bijuga dapat tumbuh pada ketinggian 0−450 mdpl. Jenis merbau secara umum dapat tumbuh baik pada curah hujan tahunan 1500−2300 mm, suhu 17−330C serta pada tanah yang drainasenya baik dan pH tanah berkisar antara 6,1−7,4 (Thaman et al. 2006). Menurut Mahfudz (2010), berdasarkan eksplorasi pada 19 populasi merbau di Papua dan Maluku, populasi merbau sering ditemukan pada hutan lahan kering primer maupun sekunder pada tanah podsolik merah kuning dengan kelerengan 0−15%. Jenis I. bijuga banyak ditemukan di hutan dataran rendah sedangkan jenis I. palembanica dapat ditemukan pada ketinggian di atas 1000 mdpl. Pohon merbau di Papua secara alami berasosiasi dengan beberapa jenis Hopea spp., Palaquium sp., Maniltoa sp., Myristica spp., dan Pometia spp.

Tokede et al. (2006) menyatakan bahwa pertumbuhan merbau di alam sangat bergantung pada kondisi penutupan tajuk dari jenis-jenis lainnya. Semai merbau banyak ditemukan pada areal-areal terbuka dibanding areal dengan tegakan rapat (Gambar 2). Pada hutan yang memiliki kerapatan tajuk yang rapat, regenerasi jenis ini sering terhambat. Biji sangat mudah diperoleh dan cukup banyak ditemukan di alam terutama pada habitat alaminya namun permudaan di bawah pohon induk sulit dijumpai karena biji yang jatuh sulit berkecambah akibat kulit biji yang sangat keras (Gambar 3). Perkecambahan biji banyak dijumpai di bawah pohon induk yang tumbuh di tanah berbatu karang atau pada daerah pinggiran dan muara sungai berpasir yang sering terkena banjir. Tanah yang berbatu tersebut dapat melukai biji merbau sehingga biji mudah berkecambah.

(8)

Gambar 3 Biji merbau yang berkulit keras.

Menurut penelitian Nurhasybi & Sudrajat (2009), penaburan benih merbau secara langsung di Hutan Penelitian Parung Panjang paling baik dilakukan di bawah tegakan dengan intensitas naungan 55−65% dengan melakukan pembersihan tapak terlebih dahulu serta biji dikikir dan direndam dengan air selama 30 menit. Biji yang ditabur di atas permukaan tanah tanpa dilakukan perlakuan awal terhadap biji, tanpa pembersihan tapak, dan dilakukan pada areal yang benar-benar terbuka akan memberikan persen berkecambah yang sangat rendah. Contoh biji yang telah berkecambah disajikan dalam Gambar 4.

Gambar 4 Biji merbau yang telah dikecambahkan dalam polibag. 2.5.3 Status Konservasi

IUCN telah memasukkan jenis I. bijuga dan I. acuminata ke dalam kategori jenis yang terancam punah kategori vulnerable (rentan) berdasarkan assessment yang disepakati tahun 1998. Hal ini menunjukkan bahwa spesies tersebut menghadapi resiko tinggi menuju kepunahan di habitat aslinya. Spesies merbau lainnya tidak termasuk dalam kategori ini (IUCN 2011).

(9)

Pada tahun 2004, Dephut mengeluarkan Siaran Pers No.: S.385/II/PIK-1/2004 bahwa Indonesia mengusulkan untuk memasukkan merbau ke dalam Appendix III CITES. Akan tetapi, menurut Tongs et al. (2009), hingga saat ini usulan ini masih dalam tahap kajian karena banyaknya pihak yang pro dan kontra terhadap usulan ini. Beberapa pihak yang kurang setuju dengan usulan ini meyakini bahwa populasi merbau di Papua masih melimpah serta beranggapan bahwa merbau memberikan kontribusi yang besar bagi masyarakat Papua.

Gambar

Gambar 1  Tiga pola dasar sebaran spasial individu dalam suatu habitat (a)  acak, (b) mengelompok, (c) seragam (Ludwigs & Reynolds  1988)
Gambar 2  Permudaan merbau yang ditemukan di tepi jalan.
Gambar 4  Biji merbau yang telah dikecambahkan dalam polibag.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini sesuai dengan penelitian yang akan dilaksanakan di hutan hujan tropis Ranu Pani dan dapat dijadikan sebagai acuan dalam melakukan perhitungan

Kasmir (2012: 225) menyatakan bahwa loan to deposit ratio merupakan rasio untuk mengukur komposisi jumlah kredit yang diberikan dibandingkan dengan jumlah dana

Dimana menurut Kasmir (2010:290) menyatakan bahwa “Loan to Deposit Ratio merupakan rasio untuk mengukur komposisi jumlah kredit yang diberikan dibandingkan dengan

Menurut Tunggal (2001:1) “ EVA adalah metode manajemen keuangan untuk mengukur laba ekonomi dalam suatu perusahaan yang menyatakan bahwa kesejahteraan hanya dapat

Edy Suprihanto (2003:167) menyatakan bahwa untuk mengukur perilaku atau sejauh mana individu berperilaku sesuai dengan apa yang diharapkan oleh organisasi atau

Proses dari pembuatan user interface dan user experience adalah mengukur atau pola pembuatan dari sebuah aplikasi yang berarti memperhitungkan setiap kemungkinan yang

Indeks kapabilitas proses Cpm (disebut juga Taguchi Capability Index) digunakan untuk mengukur pada tingkat mana output suatu proses berada pada nilai spesifikasi target kualitas

Kasmir (2012: 225) menyatakan bahwa loan to deposit ratio merupakan rasio untuk mengukur komposisi jumlah kredit yang diberikan dibandingkan dengan jumlah dana