• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG"

Copied!
59
0
0

Teks penuh

(1)

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

--- RISALAH SIDANG

PERKARA NOMOR 82/PUU-XIII/2015 PERKARA NOMOR 85/PUU-XIII/2015 PERKARA NOMOR 111/PUU-XIII/2015

PERIHAL

PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2014

TENTANG TENAGA KESEHATAN [PASAL 1 ANGKA 1 DAN ANGKA 6, PASAL 11 AYAT (1) HURUF A DAN HURUF M, AYAT (2), DAN AYAT (14), PASAL 12, PASAL 21

AYAT (1), AYAT (2), AYAT (3), AYAT (4), AYAT (5), AYAT (6), PASAL 34 AYAT (1), AYAT (2), AYAT (3), DAN AYAT (5), PASAL 35, PASAL 36 AYAT (1), AYAT (2), DAN

AYAT (3), PASAL 37, PASAL 38, PASAL 39, PASAL 40 AYAT (1), DAN AYAT (2), PASAL 41, PASAL 42, PASAL 43, PASAL 90 AYAT (1), AYAT (2), DAN AYAT (3),

SERTA PASAL 94]

PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2011 TENTANG RUMAH SUSUN [PASAL 1 ANGKA 21, PASAL 59 AYAT (1) BESERTA PENJELASAN,

AYAT (2), AYAT (3), AYAT (4), PASAL 74 AYAT (1), AYAT (2), PASAL 75 AYAT (1), AYAT (2), AYAT (3), AYAT (4), PASAL 76, DAN PASAL 77 AYAT (2)]

PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2009 TENTANG KETENAGALISTRIKAN [PASAL 10 AYAT (2), PASAL 16 AYAT (1) HURUF D DAN

HURUF E, PASAL 33 AYAT (1), PASAL 34 AYAT 5, DAN PASAL 56 AYAT (2)] TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA

REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

ACARA

PENGUCAPAN PUTUSAN

JAKARTA,

(2)

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

--- RISALAH SIDANG

PERKARA NOMOR 82/PUU-XIII/2015 PERKARA NOMOR 85/PUU-XIII/2015 PERKARA NOMOR 111/PUU-XIII/2015 PERIHAL

- Pengujian Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan [Pasal 1 angka 1 dan angka 6, Pasal 11 ayat (1) huruf a dan huruf m, ayat (2), dan ayat (14), Pasal 12, Pasal 21 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), Pasal 34 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (5), Pasal 35, Pasal 36 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39, Pasal 40 ayat (1), dan ayat (2), Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 90 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), serta Pasal 94] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

- Pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun [Pasal 1 angka 21, Pasal 59 ayat (1) beserta Penjelasan, ayat (2), ayat (3), ayat (4), Pasal 74 ayat (1), ayat (2), Pasal 75 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), Pasal 76, Pasal 77 ayat (2)] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

- Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan [Pasal 10 ayat (2), Pasal 16 ayat (1) huruf d dan huruf e, Pasal 33 ayat (1), Pasal 34 ayat (5), dan Pasal 56 ayat (2)] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

PEMOHON

1. Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Pengurus Besar Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PB PDGI), dkk (Pemohon Perkara Nomor 82/PUU-XIII/2015)

2. Eva Kristanti, Rusli Usman, Danang Surya Winata, Ikhsan (Pemohon Perkara Nomor 85/PUU-XIII/2015) 3. Dewan Pimpinan Pusat Serikat Pekerja PT PLN (Persero) (Pemohon Perkara Nomor 111/PUU-XIII/2015)

ACARA

Pengucapan Putusan

Rabu, 14 Desember 2016, Pukul 09.38 -11.37 WIB Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat

SUSUNAN PERSIDANGAN

1) Arief Hidayat (Ketua)

2) Anwar Usman (Anggota)

3) Patrialis Akbar (Anggota)

4) Manahan MP Sitompul (Anggota)

5) I Dewa Gede Palguna (Anggota)

6) Wahiduddin Adams (Anggota)

7) Maria Farida Indrati (Anggota)

8) Suhartoyo (Anggota)

9) Aswanto

Achmad Edi Subiyanto Panitera Pengganti Ery Satria Pamungkas Panitera Pengganti

(3)

Pihak yang Hadir:

A. Kuasa Hukum Pemohon Perkara Nomor 82/PUU-XIII/2015:

1. Muhammad Joni 2. Zulchaira Z Tanamas 3. Ketua Umum PB IDI

4. Zaenal Abidin (Ketua KKI)

B. Kuasa Hukum Pemohon Perkara Nomor 85/PUU-XIII/2015:

1. Muhammad Joni 2. Zulchaira Tanamas

C. Pemohon Perkara Nomor 111/PUU-XIII/2015:

1. Adri

2. Eko Sumantri

D. Kuasa Hukum Pemohon Perkara Nomor 111/PUU-XIII/2015:

1. Muhammad Fandrian Hadistianto

E. PEMERINTAH:

1. Mulyanto 2. Ninik Hariwanti

F. DPR:

(4)

1. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Bismillahirrahmanirahim. Sidang pengucapan putusan dalam Perkara Nomor 82, 85, 111/PUU-XIII/2015, dan Perkara Nomor 152/PHPU.KOT-XIV/2016 dengan ini dibuka dan terbuka untuk umum.

Saya cek kehadirannya. Untuk pilkada dulu, Perkara 152 hadir Pemohonnya?

2. KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA NOMOR

152/PHPU.KOT-XIV/2016:BARDIN

Terima kasih. Hadir, Yang Mulia. Kami selaku Kuasa Hukum Prinsipal selaku Pemohon.

3. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Baik, terima kasih. Untuk PUU Perkara Nomor 82?

4. KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA NO. 82/ PUU-XIII/2015:M.

JONI

Terima kasih, Yang Mulia. Hadir kami selaku Kuasa Hukum dari Perkara Nomor 82, saya Muhammad Joni dan Zulchaira Tanamas. Hadir juga Ketua Umum PB IDI dan Ketua KKI. Terima kasih, Yang Mulia.

5. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Terima kasih Pak dr. Joni ... dr. Joni. Sekarang Ahli kedokteran sudah. Perkara 85?

6. KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA NO. 85/ PUU-XIII/2015:

M. JOIN

Terima kasih, Yang Mulia. Kami selaku Kuasa Hukum Perkara Nomor 85. Hadir saya sendiri Muhammad Joni dan Zulchaira Tanamas. Terima kasih.

7. KETUA: ARIEF HIDAYAT

SIDANG DIBUKA PUKUL 09.38 WIB

(5)

Ya, terima kasih. Perkara 111?

8. KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA NO. 111/ PUU-XIII/2015:

Izin, Yang Mulia. Assalamualaikum wr. wb. Hadir dari Pemohon, saya Kuasa Hukum Pemohon Muhammad Fandrian Hadistianto, beserta Prinsipal Bapak H. Adri sebagai Ketua Umum, dan Bapak Eko Sumantri sebagai Sekjen dari DPPS PPLN beserta jajarannya. Terima kasih.

9. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Baik, terima kasih. Dari DPR hadir? Silakan.

10. DPR: AGUS TRIMOROWULAN

Hadir, Yang Mulia. Saya Agus Trimorowulan dari Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekjen DPR-RI. Terima kasih, Yang Mulia.

11. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Baik. Dari Pemerintah?

12. PEMERINTAH: MULYANTO

Terima kasih, Yang Mulia. Assalamualaikum wr. wb.

Dari Kumham ... Kemenkumham yang hadir, saya Pak Mulyanto. Sebelah kiri saya Direktur Litigasi Ibu Ninik Hariwanti. Kemudian dari Kementerian Kesehatan dan Kementerian ESDM. Demikian, Yang Mulia.

13. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Baik, terima kasih. Ada Pihak Terkait dalam Perkara 111? Silakan.

14. TERKAIT PUU:KUNCORO

Hadir, Yang Mulia. Saya Kuncoro dari Pihak Terkait PPIP.

15. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Baik. Ada Termohon ya? Ada Termohon Perkara 152? KPU? Silakan.

(6)

Terima kasih, Yang Mulia. Saya Elisabeth Juniarti dari Kuasa Hukum Termohon pihak KPU, Kota Pematang Siantar.

17. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Baik. Pihak Terkait untuk Perkara 152?

18. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT NO 152/PHPU.KOT-XIV/2016:

SARLES GULTOM

Terima kasih, Yang Mulia. Kuasa Pihak Terkait hadir, Yang Mulia. Nama saya Sarles Gultom, Yang Mulia. Prinsipal tidak bisa hadir, Yang Mulia. Terima kasih.

19. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Baik, terima kasih.

Prinsipal Pihak Terkait sudah meninggal ya?

20. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT NO 152/PHPU.KOT-XIV/2016 :

SARLES GULTOM

Yang walikotanya sudah meninggal, Yang Mulia.

21. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Walikotanya ya, baik. Untuk itu pada persidangan ini kita mengucapkan bela sungkawa yang sedalam-dalamnya kepada Pihak Terkait Prinsipal.

22. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT NOMOR

152/PHPU.KOT-XIV/2016 : SARLES GULTOM Terima kasih, Yang Mulia.

23. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Semoga arwah Beliau diterima di sisi Tuhan Yang Maha Kuasa. Kita mulai dahulu dengan perkara pilkada. Perkara Nomor 152. Selanjutnya Putusan Perkara Nomor 82.

(7)

PUTUSAN

NOMOR 82/PUU-XIII/2015

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

[1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, diajukan oleh:

1. Nama : Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB

IDI), yang diwakili oleh dr. Zaenal Abidin, S.H., M.H., dr. Daeng Mohammad Faqih, S.H., M.H., dan Prof. dr. Harmani Kalim, MPH., Sp.JP (K), masing-masing selaku Ketua Umum, Sekretaris Jenderal, dan Wakil Ketua Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia (MKKI)

Alamat : Jalan DR. GSSY Samratulangi Nomor 29 Menteng, Jakarta Pusat

sebagai --- Pemohon I; 2. Nama : Pengurus Besar Persatuan Dokter Gigi

Indonesia (PB PDGI), yang diwakili oleh drg. Farichah Hanum, M.Kes, drg. Wiwik Wahyuningsih, M.KM., dan Prof. dr. drg. Latief Mooduto, MS., Sp.KG, masing-masing selaku Ketua Umum, Sekretaris Jenderal, dan Ketua Majelis Kolegium Kedokteran Gigi Indonesia (MKKGI)

Alamat : Jalan Utan Kayu Raya Nomor 46, Jakarta sebagai --- Pemohon II; 3. Nama : Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), yang

diwakili oleh Prof. Dr. dr, Bambang Supriyatno, Sp.A (K), Dr. dr. Sukman T.Putra, Sp.A (K), dan Prof. dr. I Oetama Marsis, Sp.OG (K)., masing-masing selaku Ketua dan Komisioner

Alamat : Jalan Cik Ditiro Nomor 6, Menteng, Jakarta Pusat sebagai --- Pemohon III; 4. Nama : Dr. Mohammad Adib Khumaidi, Sp.OT.

Pekerjaan : Dokter

Alamat : Jalan Taman Pabuaran Blok C.1 Nomor 12 RT 005 RW 008, Kelurahan Pabuaran, Kecamatan

Karawaci, Kota Tangerang, Provinsi Banten sebagai --- Pemohon IV; 5. Nama : Salamuddin, S.E.

(8)

Alamat : Dusun Mura, Kelurahan Mura, Kecamatan Brang Ene, Kabupaten Sumbawa Barat, Provinsi Nusa Tenggara Barat

sebagai --- Pemohon V; Dalam hal ini berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 15 Juni 2015 memberi kuasa kepada Muhammad Joni, S.H., M.H., Zulchaina Tanamas, S.H., Marasamin S. Ritonga, S.H., Marelang Harahap, S.H., dan Muhammad Fadli Nasution, S.H., M.H., Advokat dan konsultan hukum pada Law Office Joni & Tanamas, berkedudukan dan beralamat kantor di Gedung Dana Graha, Suite 301 & 302, Jalan Gondangdia Kecil Nomor 12-14, Menteng, Jakarta Pusat, bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa;

Selanjutnya disebut sebagai --- Para Pemohon; [1.2] Membaca permohonan para Pemohon;

Mendengar keterangan para Pemohon;

Mendengar dan membaca keterangan Presiden;

Mendengar dan membaca keterangan Dewan Perwakilan Rakyat; Mendengar Saksi para Pemohon dan Presiden serta Ahli para Pemohon dan Presiden;

Membaca keterangan Pemberi Keterangan, dr. drh. Mangku Sitepoe;

Memeriksa bukti-bukti para Pemohon; Membaca kesimpulan para Pemohon.

Bagian Duduk Perkara Dan Seterusnya Dianggap Dibacakan.

24. HAKIM ANGGOTA: ASWANTO

Pokok Permohonan

[3.8] Menimbang bahwa pokok permohonan para Pemohon adalah pengujian konstitusionalitas Pasal 1 angka 1, Pasal 1 angka 6 sepanjang frasa “Uji Kompetensi”, Pasal 11 ayat (1) huruf a, Pasal 11 ayat (1) huruf m, Pasal 11 ayat (2), Pasal 11 ayat (14), Pasal 12, Pasal 21 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), sepanjang frasa “Uji Kompetensi”, Pasal 21 ayat (6), Pasal 34 ayat (1), ayat (2), ayat (5), Pasal 35, Pasal 36 ayat (1), ayat (2), ayat (3), Pasal 40 ayat (1), Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, sepanjang frasa “Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia”, Pasal 34 ayat (3), Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39, Pasal 40 ayat (2) sepanjang kata “konsil”, Pasal 90 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), serta Pasal 94 UU 36/2014, yang menyatakan:

(9)

“Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan”.

Pasal 1 angka 6 UU 36/2014:

“Uji Kompetensi adalah proses pengukuran pengetahuan, keterampilan, dan perilaku peserta didik pada perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan tinggi bidang Kesehatan”. Pasal 11 ayat (1) huruf a UU 36/2014:

“Tenaga Kesehatan dikelompokkan ke dalam: a. tenaga medis;”

Pasal 11 ayat (1) huruf m UU 36/2014:

“Tenaga Kesehatan dikelompokkan ke dalam: m. tenaga kesehatan lain”.

Pasal 11 ayat (2) UU 36/2014:

“Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas dokter, dokter gigi, dokter spesialis, dan dokter gigi spesialis”.

Pasal 11 ayat (14) UU 36/2014:

“Tenaga Kesehatan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf m ditetapkan oleh Menteri”.

Pasal 12 UU 36/2014:

“Dalam memenuhi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatan serta kebutuhan pelayanan kesehatan, Menteri dapat menetapkan jenis Tenaga Kesehatan lain dalam setiap kelompok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11”.

Pasal 21 UU 36/2014:

(1) Mahasiswa bidang kesehatan pada akhir masa pendidikan vokasi dan profesi harus mengikuti Uji Kompetensi secara nasional.

(2) Uji Kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi bekerja sama dengan Organisasi Profesi, Iembaga pelatihan, atau lembaga sertifikasi yang terakreditasi.

(3) Uji Kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditujukan untuk mencapai standar kompetensi lulusan yang memenuhi standar kompetensi kerja.

(4) Standar kompetensi kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disusun oleh Organisasi Profesi dan konsil masing-masing Tenaga Kesehatan dan ditetapkan oleh Menteri.

(10)

(5) Mahasiswa pendidikan vokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang lulus Uji Kompetensi memperoleh Sertifikat Kompetensi yang diterbitkan oleh Perguruan Tinggi.

(6) Mahasiswa pendidikan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang lulus Uji Kompetensi memperoleh Sertifikat Profesi yang diterbitkan oleh Perguruan Tinggi.

Pasal 34 ayat (1) UU 36/2014:

“Untuk meningkatkan mutu Praktik Tenaga Kesehatan serta untuk memberikan pelindungan dan kepastian hukum kepada Tenaga Kesehatan dan masyarakat, dibentuk Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia”.

Pasal 34 ayat (2) UU 36/2014:

“Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas konsil masing-masing Tenaga Kesehatan”.

Pasal 34 ayat (3) UU 36/2014:

“Konsil masing-masing Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk Konsil Kedokteran dan Konsil Kedokteran Gigi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Praktik Kedokteran”.

Pasal 34 ayat (5) UU 36/2014:

“Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri”.

Pasal 35 UU 36/2014:

“Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia berkedudukan di ibu kota Negara Republik Indonesia”.

Pasal 36 UU 36/2014:

(1) Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia mempunyai fungsi sebagai koordinator konsil masing-masing Tenaga Kesehatan. (2) Dalam menjalankan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat

(1), Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia memiliki tugas:

a. memfasilitasi dukungan pelaksanaan tugas konsil masing-masing Tenaga Kesehatan.

b. melakukan evaluasi tugas konsil masing-masing Tenaga Kesehatan; dan

c. membina dan mengawasi konsil masing-masing Tenaga Kesehatan.

(3) Dalam menjalankan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (i), Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia memiliki wewenang menetapkan perencanaan kegiatan untuk konsil masing-masing Tenaga Kesehatan.

Pasal 37 UU 36/2014:

(1) Konsil masing-masing tenaga kesehatan mempunyai fungsi pengaturan, penetapan dan pembinaan tenaga kesehatan

(11)

dalam menjalankan praktik Tenaga Kesehatan untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan.

(2) Dalam menjalankan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), konsil masing-masing Tenaga Kesehatan memiliki tugas: a. melakukan Registrasi Tenaga Kesehatan;

b. melakukan pembinaan Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik Tenaga Kesehatan;

c. menyusun Standar Nasional Pendidikan Tenaga Kesehatan; d. menyusun standar praktik dan standar kompetensi Tenaga

Kesehatan; dan

e. menegakkan disiplin praktik Tenaga Kesehatan Pasal 38 UU 36/2014:

“Dalam menjalankan tugasnya, konsil masing-masing Tenaga Kesehatan mempunyai wewenang:

a. menyetujui atau menolak permohonan Registrasi Tenaga Kesehatan;

b. menerbitkan atau mencabut STR;

c. menyelidiki dan menangani masalah yang berkaitan dengan pelanggaran disiplin profesi Tenaga Kesehatan;

d.menetapkan dan memberikan sanksi disiplin profesi Tenaga Kesehatan; dan

e.memberikan pertimbangan pendirian atau penutupan institusi pendidikan Tenaga Kesehatan”.

Pasal 39 UU 36/2014:

“Dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenang, Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia dibantu sekretariat yang dipimpin oleh seorang sekretaris”.

Pasal 40 ayat (1) UU 36/2014:

“Keanggotaan Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia merupakan pimpinan konsil masing-masing Tenaga Kesehatan”.

Pasal 40 ayat (2) UU 36/2014:

“Keanggotaan konsil masing-masing Kesehatan terdiri atas unsur: a. kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan;

b. kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan;

c. Organisasi Profesi;

d. Kolegium masing-masing Tenaga Kesehatan; e. asosiasi institusi pendidikan Tenaga Kesehatan; f. asosiasi fasilitas pelayanan kesehatan; dan g. tokoh masyarakat”.

Pasal 41 UU 36/2014:

“Pendanaan untuk pelaksanaan kegiatan Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia dibebankan kepada anggaran pendapatan

(12)

dan belanja negara dan sumber lain yang tidak mengikat sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan”.

Pasal 42 UU 36/2014:

“Ketentuan mengenai pelaksanaan tugas, fungsi, dan wewenang Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia diatur dengan Peraturan Menteri”.

Pasal 43 UU 36/2014:

“Ketentuan Iebih lanjut mengenai susunan organisasi, pengangkatan, pemberhentian, serta keanggotaan Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia dan sekretariat Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia diatur dengan Peraturan Presiden”.

Pasal 90 UU 36/2014:

(1) Konsil Kedokteran dan Konsil Kedokteran Gigi menjadi bagian dari Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia setelah Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia terbentuk sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini.

(2) Konsil Kedokteran Indonesia sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431) tetap melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya sampai dengan terbentuknya Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia.

(3) Sekretariat Konsil Kedokteran Indonesia sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431) tetap melaksanakan fungsi dan tugasnya sampai dengan terbentuknya sekretariat Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia.

Pasal 94 UU 36/2014:

“Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:

a. Pasal 4 ayat (2), Pasal 17, Pasal 20 ayat (4), dan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku; dan

b. Sekretariat Konsil Kedokteran Indonesia sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431) menjadi sekretariat Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia setelah terbentuknya Konsil Tenaga Kesehatan lndonesia”.

terhadap Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (2), dan Pasal 28H ayat (1) UUD 1945.

[3.9] Menimbang bahwa setelah Mahkamah memeriksa dengan saksama permohonan para Pemohon, membaca keterangan

(13)

Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat, bukti-bukti surat/tulisan yang diajukan oleh para Pemohon, mendengar keterangan ahli dan saksi para Pemohon serta Presiden, dan membaca kesimpulan para Pemohon sebagaimana termuat pada bagian Duduk Perkara, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: [3.10]Menimbang bahwa dari seluruh norma UU 36/2014 yang

dimohonkan pengujian, sebagaimana diuraikan pada paragraf [3.8] di atas, sesungguhnya terdapat empat persoalan yang menjadi masalah utama yang harus dipertimbangkan oleh Mahkamah, yaitu (i) tenaga medis; (ii) uji kompetensi; (iii) pembentukan Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia; dan (iv) pembubaran Konsil Kedokteran Indonesia.

Menurut para Pemohon norma yang mengatur tenaga medis (dokter dan dokter gigi) bertentangan dengan UUD 1945, karena tidak ada mandat delegasi yang diberikan kepada UU 36/2014, sehingga pengaturan tenaga medis tersebut merupakan bentuk kesewenang-wenangan kekuasaan pembentuk Undang-Undang karena melampaui mandat delegasi (over mandatory) yang merusak sistem praktik kedokteran yang sudah mengatur tenaga medis yang berbeda dengan tenaga kesehatan. Dengan adanya pembedaan tanggung jawab profesi tenaga medis dengan tenaga kesehatan maka dalam ketentuan umum mesti jelas mendefenisikan bahwa tenaga kesehatan tidak termasuk tenaga medis. Jika defenisi tenaga kesehatan masih belum mengecualikan tenaga medis maka terjadi kekacauan sistem hukum praktik kedokteran yang merusak penyelenggaraan praktik kedokteran, sehingga menciptakan ketidakpastian hukum dalam praktik kedokteran yang pada akhirnya merugikan organisasi profesi karena menghilangkan lingkup objek dan subjek pengawasan praktik kedokteran yakni dokter dan dokter gigi.

Bahwa memasukkan pengaturan tenaga medis dan pembubaran Konsil Kedokteran Indonesia dalam UU 36/2014 adalah bentuk kesewenang-wenangan kekuasaan pembentuk Undang-Undang. Menurut para Pemohon, keberadaan Konsil Kedokteran Indonesia memiliki justifikasi juridis konstitusional dan makna penting konstitusional, sehingga pembubaran Konsil Kedokteran Indonesia adalah melanggar hak konstitusional para Pemohon.

[3.11]Menimbang bahwa terhadap persoalan pertama yaitu terkait dengan “tenaga medis” terlebih dahulu Mahkamah menyampaikan hal-hal sebagai berikut:

1. Pembangunan bidang kesehatan pada dasarnya ditujukan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal sebagai salah satu unsur

(14)

kesejahteraan sebagaimana diamanatkan oleh Pembukaan UUD 1945.

2. Dokter dan dokter gigi sebagai salah satu komponen utama pemberi pelayanan kesehatan kepada masyarakat mempunyai peranan yang sangat penting karena terkait langsung dengan pemberian pelayanan kesehatan dan mutu pelayanan yang diberikan. Landasan utama bagi dokter dan dokter gigi untuk dapat melakukan tindakan medis terhadap orang lain adalah ilmu pengetahuan, teknologi, serta kompetensi yang dimiliki dan yang diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan.

3. Pengetahuan yang dimiliki dokter dan dokter gigi harus terus menerus dipertahankan dan ditingkatkan sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri.

[3.12]Menimbang bahwa dalam menghadapi tuntutan perkembangan bidang kesehatan, rakyat mempunyai hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang terbaik, hak untuk hidup serta mempertahankan hidup dan kehidupannya sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28A UUD 1945. Pelayanan kesehatan yang diatur oleh Pemerintah melalui pembentukan peraturan perundang-undangan tentunya harus mendasarkan kepada hak-hak warga negara dan tujuan negara sebagaimana yang diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945, khususnya dalam konteks permohonan a quo, memajukan kesejahteraan umum (Alinea Keempat UUD 1945). Untuk mencapai tujuan dimaksud, menurut Mahkamah, profesi kedokteran sebagai profesi dalam pelayanan kesehatan, dalam hal ini adalah dokter dan dokter gigi, dalam menjalankan tugas profesinya memerlukan dasar hukum yang sesuai dengan hakikat yang sesungguhnya dari profesi kedokteran itu sendiri. Dokter dan dokter gigi merupakan profesi yang mempunyai kedudukan yang khusus terkait dengan tubuh dan nyawa manusia, sehingga secara mandiri dokter dan dokter gigi dapat melakukan intervensi medis teknis dan intervensi bedah terhadap tubuh manusia yang tidak dimiliki oleh jenis tenaga kesehatan lainnya yang dilakukan secara mandiri.

Kemandirian profesi dipercaya sebagai suatu nilai universal yang diberikan kepada tenaga medis, yaitu dokter dan dokter gigi disebabkan karena profesi tersebut mempunyai ciri-ciri antara lain, mempunyai body of knowledge, atau tingkat keilmuan yang dapat diukur dan dapat dikembangkan secara berjenjang mulai dari dokter, dokter spesialis, dokter gigi, dokter gigi spesialis, sampai dengan spesialis konsultan, termasuk pengembangannya dalam jenjang akademik. Kemandirian profesi dokter dan dokter gigi mempunyai code of conduct atau etika kedokteran sebagai standar dari perilaku profesi. Dokter dan dokter gigi dalam melaksanakan profesinya harus meletakkan kepentingan pasien di

(15)

atas kepentingan pribadi hal tersebut tercakup dalam etika dan disiplin profesi. Dengan demikian maka profesi dokter dan dokter gigi memperoleh otonomi untuk melakukan self regulation berdasarkan kepercayaan publik atas kepercayaan terhadap profesi itu sendiri dan kepercayaan publik. Adanya kemandirian profesi dokter dan dokter gigi tersebut maka dokter dan dokter gigi mempunyai professional trust (kepercayaan pada profesi) yang dapat melakukan tindakan pada tubuh manusia atas dasar keilmuan yang kokoh dan atas dasar kemaslahatan serta keselamatan pasien. Nilai keprofesian tersebut berlandaskan pada kebenaran ilmu dan keselamatan pasien sehingga tidak dapat diintervensi oleh kepentingan apa pun.

[3.13]Menimbang bahwa salah satu upaya dalam rangka menjaga sifat kekhususan dan kekhasan profesi dokter dan dokter gigi perlu dikawal untuk memastikan bahwa profesi dokter dan dokter gigi itu bermanfaat dan bermutu untuk masyarakat dengan membentuk suatu wadah yang sifatnya independen sesuai dengan hakikat dari profesi dokter dan dokter gigi. Konsil Kedokteran Indonesia sebagai wadah profesi dokter dan dokter gigi telah diamanahkan oleh negara untuk menjaga mutu praktik kedokteran, membina disiplin profesi kedokteran, dan memberikan perlindungan pada masyarakat. Perlindungan pada masyarakat merupakan suatu hal yang menjadi titik yang sangat mendasar bagi proses kerja dari Konsil Kedokteran Indonesia. Proses pembinaan dan penegakan disiplin, termasuk mengadili pelanggaran disiplin yang dilakukan oleh anggota profesi dilakukan oleh Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). Anggota MKDKI terdiri tidak hanya dari dokter dan dokter gigi tetapi juga sarjana hukum sebagai perwakilan dari masyarakat untuk menjamin keadilan dari keputusan yang dibuat oleh MKDKI. Oleh karenanya Konsil Kedokteran Indonesia harus berdiri sendiri, mandiri dan independen, yang berbeda dengan Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia.

Menurut Mahkamah, dokter dan dokter gigi adalah profesi mandiri yang pertimbangan maupun keputusannya salah satunya didasarkan kepada kepentingan pasien dan kepentingan public health. Apabila pertimbangan atau keputusan medik yang diambil oleh dokter dan dokter gigi bercampur dengan pertimbangan lain yang non-medis yang terkait dengan kewenangannya maka dapat disebut sebagai pelanggaran etik. Oleh karena itu, kemandirian sangat penting karena menjadi dasar dalam profesionalitas dokter dan dokter gigi. Kemandirian dokter dan dokter gigi dalam mengambil keputusan tidaklah berbeda dengan kemandirian seorang hakim dalam mengambil keputusan. Keduanya menjunjung tinggi hati nurani sebagai instrumen penting dalam

(16)

mengambil keputusan. Menurut Mahkamah, dokter dan dokter gigi dengan perangkat keilmuan yang dimilikinya mempunyai karakteristik yang khas. Kekhasannya ini terlihat dari pembenaran yang diberikan oleh hukum yaitu diperkenankannya melakukan tindakan medis terhadap tubuh manusia dalam upaya memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan. Tindakan medis terhadap tubuh manusia yang dilakukan bukan oleh dokter atau dokter gigi dapat digolongkan sebagai tindakan yang tidak tepat dan berbahaya. Tenaga medis merupakan profesi dengan ciri yang spesifik filosofis dan sosial, khususnya tanggung jawabnya terhadap kemaslahatan manusia adalah berbasis keilmuan yang kuat dalam melakukan praktik medis secara mandiri yang bertanggung jawab secara langsung pada kehidupan manusia. Oleh karena itu, tenaga medis (dokter dan dokter gigi) adalah tenaga profesional yang berbeda dengan tenaga vokasi yang sifat pekerjaannya adalah pendelegasian wewenang dari tenaga medis. Karena sifat dan hakikat yang berbeda antara tenaga medis dengan tenaga profesi dan vokasi kesehatan lainnya maka pengaturan yang menyentuh substansi keprofesian kedokteran tidak dapat digabung atau disamaratakan dengan profesi lain. Kepastian hukum bagi tenaga medis harus dapat memajukan dan menjamin pelayanan medik yang berbeda dengan tenaga kesehatan lainnya.

[3.14]Menimbang bahwa berbagai upaya hukum telah dilakukan oleh negara dalam memberikan perlindungan menyeluruh kepada masyarakat sebagai penerima pelayanan kesehatan. Dokter dan dokter gigi sebagai pemberi pelayanan telah banyak melakukan pelayanan kesehatan, akan tetapi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran yang berkembang sangat cepat tidak seimbang dengan perkembangan hukum. Perangkat hukum yang mengatur penyelenggaraan praktik kedokteran dan kedokteran gigi dirasakan selama ini belum memadai karena masih didominasi oleh kebutuhan formal dan kepentingan Pemerintah, sedangkan porsi profesi masih sangat kurang. Oleh karenanya untuk menjembatani kepentingan kedua belah pihak (profesi kedokteran dengan Pemerintah) serta untuk melakukan penilaian terhadap kemampuan objektif dokter dan dokter gigi dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat dibentuk Konsil Kedokteran Indonesia yang terdiri atas Konsil Kedokteran dan Konsil Kedokteran Gigi sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Konsil Kedokteran Indonesia merupakan suatu badan independen yang menjalankan fungsi regulator terkait dengan peningkatan kemampuan dokter dan dokter gigi dalam pelaksanaan praktik kedokteran.

(17)

Di samping itu, peran dari berbagai organisasi profesi dan asosiasi institusi pendidikan yang ada saat ini juga perlu diberdayakan dalam rangka peningkatan mutu pelayanan kesehatan yang diberikan oleh dokter atau dokter gigi. Dengan demikian, dokter dan dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran selain tunduk pada ketentuan hukum yang berlaku, juga harus menaati ketentuan kode etik yang disusun oleh organisasi profesi dan didasarkan pada disiplin ilmu kedokteran atau kedokteran gigi. Sebagai institusi yang memiliki tugas dan fungsi untuk melindungi masyarakat sebagai penerima jasa pelayanan kesehatan dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan dari dokter dan dokter gigi, Konsil Kedokteran Indonesia perlu dioptimalkan agar dapat bekerja secara optimal selaku pengawas eksternal independen dalam praktik kedokteran di Indonesia. Selaku pengawas eksternal independen maka Konsil Kedokteran Indonesia harus bebas dan merdeka dari pengaruh pihak manapun termasuk kekuasaan negara, kecuali dalam hal terjadi pelanggaran. Hal ini jelas sebagai konsekuensi logis dari sebuah institusi yang mengawasi tindakan dan perbuatan medik yang juga independen;

[3.15] Menimbang bahwa praktik kedokteran dilakukan oleh para profesional kedokteran (dokter dan dokter gigi) dan kelompok profesi kedokteran lainnya yang meliputi perawat atau ahli farmasi. Profesi dokter dan dokter gigi dianggap mempraktikkan ilmu kedokteran secara harfiah dibandingkan dengan profesi-profesi perawatan kesehatan terkait. Profesi kedokteran adalah struktur sosial dan pekerjaan dari sekelompok orang yang dididik secara formal serta diberikan wewenang untuk menerapkan ilmu kedokteran. Di berbagai negara dan wilayah hukum terdapat batasan hukum atas siapa yang berhak mempraktikkan ilmu kedokteran atau bidang kesehatan terkait. Ilmu kedokteran umumnya dianggap memiliki berbagai cabang spesialis. Sistem kedokteran dan praktik perawatan kesehatan telah berkembang dalam berbagai masyarakat sedikitnya sejak awal sejarah tercatatnya manusia. Sistem tersebut telah berkembang dalam berbagai cara dan berbagai budaya serta daerah yang berbeda. Oleh karenanya profesi kedokteran mempunyai kekhasan berbeda dengan tenaga kesehatan pada umumnya sebagaimana disebut dalam UU 36/2014;

[3.16] Menimbang bahwa oleh karena dokter dan dokter gigi sebagai “tenaga medis” meskipun merupakan bagian dari tenaga kesehatan, tetapi karena kekhususannya dalam hal-hal tertentu sebagaimana telah dipertimbangkan di atas, terutama berkenaan dengan konsil kedokteran Indonesia dan uji kompetensi (uji kompetensi dokter) dimana hal itu telah diatur dalam

(18)

Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Oleh karena itu, seharusnya sepanjang menyangkut konsil kedokteran Indonesia dan uji kompetensi (uji kompetensi dokter) tidak diatur dalam Undang-Undang a quo.

[3.17]Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah, permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian.

25. KETUA: ARIEF HIDAYAT

KONKLUSI

Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan:

[4.1] Mahkamah berwenang mengadili permohonan para Pemohon; [4.2] Para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk

mengajukan permohonan a quo;

[4.3] Permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian.

Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076);

AMAR PUTUSAN Mengadili,

1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian; 2. Menyatakan Pasal 11 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor

36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 298, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5607) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

3. Menyatakan Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan (Lembaran Negara

(19)

Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 298, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5607) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

4. Menyatakan Pasal 90 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 298, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5607) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

5. Menyatakan Pasal 94 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 298, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5607) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

6. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya.

7. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;

Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Arief Hidayat, selaku Ketua merangkap Anggota, Anwar Usman, Aswanto, Manahan M.P. Sitompul, Maria Farida Indrati, Wahiduddin Adams, Patrialis Akbar, Suhartoyo, dan I Dewa Gede Palguna, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Kamis, tanggal enam belas, bulan Juni, tahun dua ribu enam belas, dan hari Rabu, tanggal enam belas, bulan November, tahun dua ribu enam belas, yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Rabu, tanggal empat belas, bulan Desember, tahun dua ribu enam belas, selesai diucapkan pukul 10.27 WIB, oleh sembilan Hakim Konstitusi, yaitu Arief Hidayat, selaku Ketua merangkap Anggota, Anwar Usman, Aswanto, Manahan M.P. Sitompul, Maria Farida Indrati, Wahiduddin Adams, Patrialis Akbar, Suhartoyo, dan I Dewa Gede Palguna, masing-masing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Achmad Edi Subiyanto sebagai Panitera Pengganti, dihadiri oleh para Pemohon/kuasanya, Presiden atau yang mewakili, dan Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili.

Berikutnya Putusan Nomor 85.

(20)

PUTUSAN

NOMOR 85/PUU-XIII/2015

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

[1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, diajukan oleh:

1. Nama : Eva Kristanti Tempat/Tgl Lahir : Jakarta, 10 Juni 1971 Warga Negara : Indonesia

Alamat : Huma Akasia Blok C Nomor 18, RT/RW 003/008, Kelurahan Jatiwarna, Kecamatan Pondok Melati, Kota Bekasi, Provinsi Jawa Barat Sebagai ---Pemohon I; 2. Nama : Rusli Usman

Tempat/Tgl

Lahir : Kota Bumi, 28 Juli 1971 Pekerjaan : Karyawan Swasta Warga Negara : Indonesia

Alamat : Puri Pakujaya Regency Blok H Nomor 07, RT/RW 003/018, Kelurahan Pakujaya, Kecamatan Serpong Utara, Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten Sebagai ---Pemohon II; 3. Nama : Danang Surya Winata

Tempat/Tgl

Lahir : Banda Aceh, 10 Juli 1981 Pekerjaan : Karyawan Swasta

Warga Negara : Indonesia

Alamat : Jalan Kemajuan III Nomor 36, RT/RW 005/004, Kelurahan Petukangan Selatan, Kecamatan Pesanggrahan, Jakarta Selatan, Provinsi DKI Jakarta

Sebagai ---Pemohon III; 4. Nama : Ikhsan,S.H.

Tempat/Tgl Lahir : Bone, 4 Juni 1964 Pekerjaan : Karyawan Swasta Warga Negara : Indonesia

(21)

Alamat : Komplek Kehakiman Blok C-17, RT/RW 009/ 016, Kelurahan Sunter Agung, Kecamatan Tanjung Priok, Jakarta Utara, Provinsi DKI Jakarta

Sebagai ---Pemohon IV; Dalam hal ini berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 21 Mei 2015, memberi kuasa kepada: Muhammad Joni, SH., M.H., Zulhaina Tanamas, S.H., Marasamin S. Ritonga, S.H., Mukhlis Ahmad, S.H., dan Muhammad Fadli Nasution, S.H., M.H., Advokat dan Konsultan Hukum “Law Office Joni & Tanamas” yang berkedudukan dan beralamat di Gedung Dana Graha, Suite 301-302, Jalan Gondangdia Kecil Nomor 12-14, Menteng, Jakarta Pusat, bertindak baik secara bersama-sama atau sendiri-sendiri untuk dan atas nama pemberi kuasa;

Selanjutnya disebut sebagai --- Para Pemohon; [1.2] Membaca permohonan para Pemohon;

Mendengar keterangan para Pemohon; Mendengar keterangan Presiden;

Mendengar dan Membaca keterangan Dewan Perwakilan Rakyat; Memeriksa bukti-bukti para Pemohon

Mendengar keterangan ahli dan saksi para Pemohon; Mendengar keterangan ahli dan saksi Presiden; Membaca kesimpulan para Pemohon.

Duduk perkara dianggap dibacakan

26. HAKIM ANGGOTA: SUHARTOYO

Pokok Permohonan

[3.8] Menimbang bahwa setelah membaca, mendengar, dan memeriksa dengan saksama permohonan para Pemohon, keterangan Presiden, keterangan DPR, keterangan ahli dan saksi dari para Pemohon dan Presiden, bukti-bukti para Pemohon dan kesimpulan tertulis para Pemohon, yang selengkapnya sebagaimana tercantum pada bagian Duduk Perkara, selanjutnya Mahkamah berpendapat sebagai berikut:

[3.9] Menimbang bahwa pokok permohonan para Pemohon adalah pengujian konstitusionalitas UU 20/2011, khususnya pasal-pasal sebagai berikut:

1) Pasal 1 angka 21:

sepanjang frasa “para pemilik atau penghuni sarusun” 2) Pasal 59 ayat (1):

Sepanjang frasa “terbentuknya PPPSRS” 3) Pasal 59 ayat (2):

(22)

Sepanjang frasa “paling lama 1 (satu) tahun” dan frasa “penyerahan pertama kali”

4) Pasal 59 ayat (3) : Sepanjang kata “dapat” 5) Pasal 59 ayat (4) :

Sepanjang frasa “pelaku pembangunan dan pemilik sarusun” 6) Penjelasan Pasal 59 ayat (1):

Sepanjang frasa “sarusun belum sepenuhnya terjual” 7) Pasal 60:

Sepanjang frasa “penyerahan pertama kali” 8) Pasal 74 ayat (1)

Sepanjang frasa “membentuk PPPSRS” 9) Pasal 74 ayat (2)

Sepanjang frasa “beranggotakan pemilik atau penghuni yang mendapat kuasa dari pemilik sarusun”

10) Pasal 75 ayat (1)

Sepanjang frasa “memfasilitasi terbentuknya PPPSRS” dan frasa “dan penghunian”

11) Pasal 75 ayat (2)

Sepanjang frasa “PPPSRS telah terbentuk” 12) Pasal 75 ayat (3)

Sepanjang frasa “ayat (1)” dan frasa “para pemilik dan penghuni,” serta frasa “dan penghunian”

13) Pasal 75 ayat (4) sepanjang kata “dapat” 14) Pasal 76

Sepanjang frasa “para pemilik dan penghuni” dan kata “penghunian”

15) Pasal 77 ayat (2)

Sepanjang kata “penghunian”, dan frasa “setiap anggota berhak memberikan satu suara”

Menurut para Pemohon, norma Undang-Undang tersebut bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28H ayat (1), Pasal 28H ayat (4) UUD 1945, dengan alasan yang pada pokoknya sebagai berikut:

a. Bahwa ketentuan Pasal 59 ayat (1) UU 20/2011 yang hanya merumuskan “terbentuknya PPPSRS” merugikan hak konstitusional para Pemohon dan menimbulkan ketidakpastian hukum dalam perlindungan konsumen rumah susun komersial. Hal ini menurut para Pemohon karena terbentuknya PPPSRS menurut norma a quo tidak berarti sudah diakui sebagai badan hukum yang sah. Menurut para Pemohon disahkannya badan hukum PPPSRS adalah kewajiban pelaku pembangunan, oleh karena itu frasa “terbentuknya PPPSRS”, inkonstitusional secara

(23)

bersyarat apabila tidak dimaknai menjadi berbunyi “terbentuk dan disahkannya badan hukum PPPSRS”.

b. Bahwa pengujian materil atas maksud frasa “masa transisi” dari Pasal 59 ayat (1) UU 20/2011 dikaitkan dengan Penjelasan Pasal 59 ayat (1) UU 20/2011 tidak konsisten dengan ketentuan Pasal 59 ayat (2) UU 20/2011 sepanjang frasa “paling lama 1 (satu) tahun”, sehingga merugikan pemilik/konsumen cq. para Pemohon, karena menimbulkan konflik norma hukum. Penjelasan Pasal 59 ayat (1) tersebut menjelaskan maksud norma “masa transisi”. Namun justru Penjelasan itu tidak pasti bagi pemilik/konsumen, karena “masa transisi” sebagai “masa ketika sarusun belum seluruhnya terjual” justru tidak membuat jelas dan tidak ada kepastian hukum karena sama sekali tidak menyebutkan berapa jumlah atau prosentase unit sarusun terjual yang menjadi dasar berakhirnya masa transisi. Menurut para Pemohon, seharusnya Penjelasan Pasal 59 ayat (1) UU 20/2011 sepanjang frasa “sarusun belum seluruhnya terjual” bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai sebagai “paling lama 3 tahun sejak penyerahan juridis pertama kali dan sudah terbitnya sertifikat kepemilikan”.

c. Menurut para Pemohon Pasal 59 ayat (2) UU 20/2011 sepanjang frasa “masa transisi” dan dikaitkan dengan Penjelasan Pasal 59 ayat (1) UU 20/2011, yang dibandingkan dengan Pasal 59 ayat (2) UU 20/2011 sepanjang frasa “paling lama 1 (satu) tahun”, adalah terbukti tidak konsisten dan karenanya menimbulkan ketidakpastian hukum yang merugikan hak konstitusional para Pemohon. Frasa tersebut tidak sesuai dengan konsep keadilan dan menafikan tanggung jawab produk pelaku pembangunan.

d. Bahwa frasa “penyerahan pertama kali” dalam Pasal 59 ayat (2) UU 20/2011 menimbulkan ketidakpastian hukum karena objek sarusun merupakan benda tidak bergerak yang secara yuridis terikat dengan asas hukum bahwa adalah penyerahan dilakukan secara penyerahan yuridis (juridis levering) [sic!] bukan penyerahan nyata. Frasa "penyerahan pertama kali" dalam Pasal a quo tidak jelas apakah penyerahan nyata atau penyerahan yuridis, sehingga tidak ada jaminan kepastian hukum yang adil dan merugikan pemilik/pembeli/konsumen. Oleh karena itu menurut para Pemohon ketentuan Pasal 59 ayat (2) UU 20/2011 sepanjang frasa “paling lama 1 (satu) tahun” dan frasa “penyerahan pertama kali” tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai sebagai “paling lama 3 tahun sejak penyerahan juridis pertama kali dan sudah terbitnya sertifikat kepemilikan”.

(24)

e. Bahwa kata “dapat” dalam frasa “dapat bekerjasama dengan pengelola” dari Pasal 59 ayat (3) UU 20/2011 merugikan kepentingan hak konstitusional para Pemohon. Rumah susun membutuhkan pengelola, karena karakteristik barang/komoditas rumah susun berbeda dengan komoditas biasa, dengan demikian untuk melindungi hak konstitusional pemilik/pembeli atau konsumen atas kepemilikan bersama tersebut, maka untuk memastikan pelaksanaan hak konstitusional itu pelaku pembangunan wajib bekerjasama dengan pengelola.

f. Bahwa frasa “pelaku pembangunan dan pemilik sarusun”, dalam Pasal 59 ayat (4) UU 20/2011 adalah tidak konsisten dan berbeda dengan ketentuan Pasal 74 ayat (2) UU 20/2011 yang menggunakan frasa “pemilik atau penghuni yang mendapat kuasa dari pemilik sarusun”. Bahwa frasa “pelaku pembangunan dan pemilik sarusun” dalam Pasal 59 ayat (4) UU 20/2011 sebagai pihak yang menanggung biaya pengelolaan rumah susun, berarti biaya pengelolaan tidak dibebankan kepada penghuni yang mendapat kuasa dari pemilik sarusun. Padahal secara faktual dan yuridis penghuni yang mendapat kuasa dari pemilik sarusun yang memanfaatkan/menikmati unit sarusun termasuk benda bersama, bagian bersama dan tanah bersama. Oleh karena itu, sesuai dengan prinsip bahwa “prestasi setara/proporsional dengan kontra prestasi”, sehingga siapa yang menempati sarusun dengan sah adalah yang dibebankan biaya pengelolaan.

g. Frasa “penyerahan pertama kali" dalam Pasal 60 UU 21/2011 menimbulkan ketidakpastian hukum karena objek sarusun merupakan benda tidak bergerak yang secara yuridis terikat dengan asas hukum bahwa adalah penyerahan dilakukan secara penyerahan yuridis (juridish levering) [sic!] bukan penyerahan nyata. Frasa “penyerahan pertama kali" dalam Pasal 60 a quo tidak jelas apakah penyerahan nyata atau penyerahan yuridis. Hal ini menurut para Pemohon menimbulkan tidak adanya jaminan kepastian hukum yang adil sehingga merugikan pemilik/pembeli/konsumen cq para Pemohon.

h.Pasal 74 ayat (1) UU 20/2011 sepanjang frasa “membentuk PPPSRS” tidak melindungi hak konstitusional konsumen/pembeli/pemilik rumah susun komersial a quo, oleh karena terbentuknya PPPSRS tidak berarti sudah diakui sebagai badan hukum yang sah. Menurut para Pemohon frasa “membentuk PPPSRS” dalam Pasal 74 ayat (1) UU 20/2011 tidak konstitusional secara bersyarat apabila tidak dimaknai menjadi “membentuk dan disahkannya badan hukum PPPSRS”.

(25)

i. Frasa “beranggotakan pemilik atau penghuni yang mendapat kuasa dari pemilik sarusun” dalam Pasal 74 ayat (2) UU 20/2011, seharusnya dimaknai sebagai “seluruh pemilik atau penghuni yang mendapat kuasa dari pemilik sarusun”, guna memastikan perlindungan hukum yang adil bagi pemilik/pembeli atau konsumen cq para Pemohon. Dengan adanya pemilik sarusun yang tidak menjadi anggota PPPSRS, atau adanya lebih dari satu PPPSRS, hal itu menimbulkan ketidakpastian hukum, serta mengancam harta benda dan hak milik pribadi para Pemohon.

j. Pasal 75 ayat (1) UU 20/2011 sepanjang frasa “terbentuknya PPPSRS” merupakan norma yang menimbulkan ketidakpastian hukum dalam perlindungan konsumen/pembeli/pemilik rumah susun komersial a quo. Oleh karena penggunaan frasa “terbentuknya PPPSRS” tidak berarti sudah diakui sebagai badan hukum yang sah, sehingga ketentuan tersebut merugikan hak konstitusional para Pemohon, yakni hak perlindungan dan jaminan kepastian hukum, perlindungan harta benda, hak untuk mempunyai hak milik pribadi, dan hak untuk bertempat tinggal yang secara eksplisit dijamin dalam UUD 1945.

k. Tidak adanya pengesahan badan hukum PPPSRS dalam Pasal 75 ayat (2) sepanjang frasa "PPPSRS telah terbentuk” menimbulkan kerugian konstitusional para Pemohon. Menurut para Pemohon, Pasal 75 ayat (2) UU 20/2011 sepanjang frasa “PPPSRS telah terbentuk”, seharusnya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang jika tidak dimaknai sebagai “PPPSRS telah terbentuk dan disahkan sebagai badan hukum”. Sehingga ketentuan Pasal 75 ayat (2) UU 20/2011 menjadi selengkapnya berbunyi: “Dalam hal PPPSRS telah terbentuk dan disahkan sebagai badan hukum, pelaku pembangunan segera menyerahkan pengelolaan benda bersama, bagian bersama, dan tanah bersama kepada PPPSRS” l. Bahwa kata “para” dalam frasa “para pemilik dan penghuni”

dalam Pasal 75 ayat (3) UU 20/2011 menimbulkan ketidakpastian hukum, serta mengancam hak konstitusional atas perlindungan harta benda dan hak konstitusional atas perlindungan hak milik pribadi para Pemohon. Oleh karena penggunaan kata “para” dari frasa “para pemilik dan penghuni” dalam Pasal 75 ayat (3) UU 20/2011 berarti tidak seluruh (for all) pemilik sarusun, sebab kata “para” dapat hanya sebagian pemilik, atau sebagian besar pemilik, dan bukan berarti seluruh pemilik, sehingga merugikan kepentingan dan hak konstitusional para Pemohon.

(26)

m.Ketentuan Pasal 75 ayat (3) UU 20/2011 sepanjang kata “penghunian” menimbulkan kerugian konstitusional para Pemohon, karena seharusnya yang menjadi ruang lingkup PPPSRS hanyalah menyangkut mengenai “pengelolaan”.

n.Kata “dapat” dalam frasa “dapat membentuk atau menunjuk pengelola” dari Pasal 75 ayat (4) UU 20/2011 merugikan kepentingan hak konstitusional para Pemohon. Bahwa rumah susun membutuhkan pengelola, karena karakteristik barang/komoditas rumah susun yang diatur dalam UU 20/2011 berbeda dengan komoditas biasa dan merupakan bangunan vertikal beresiko tinggi dan adanya aset kepemilikan bersama yang bukan milik orang per orang yang memerlukan kegiatan perawatan, pemeliharaan dan operasional oleh pengelola yang memiliki kemampuan teknis-operasional dan keahlian manajerial, untuk melaksanakan pengelolaan rumah susun. Bahwa untuk melindungi hak konstitusional pemilik/pembeli atau konsumen atas kepemilikan bersama tersebut, pelaku pembangunan wajib bekerjasama dengan pengelola.

o. Bahwa frasa “berhak memberikan satu suara” dalam Pasal 77 ayat (2) UU 20/2011 adalah tidak konsisten dengan sistem hukum yang dikembangkan UU 20/2011, bahwa setiap anggota PPPSRS mempunyai hak yang sama dengan NPP. Prinsip hak suara anggota PPPSRS berdasarkan NPP dianut ketentuan Pasal 77 ayat (1) UU 20/2011.

[3.10] Menimbang bahwa berdasarkan dalil-dalil permohonan para Pemohon di atas, dapat dikonstruksikan isu konstitusional yang dipersoalkan para Pemohon pada pokoknya adalah:

1. Apakah kewajiban pengembang untuk memfasilitasi terbentuknya PPPSRS harus diatur hingga disahkannya PPPSRS sebagai badan hukum, sehingga rumusan Pasal 59 ayat (1), Pasal 74 ayat (1), serta Pasal 75 ayat (1) dan ayat (2) UU 20/2011 harus menyebutkan terbentuknya dan disahkannya PPPSRS sebagai badan hukum?

2. Apakah ketentuan mengenai masa transisi dalam Pasal 59 ayat (1) dan ayat (2) UU 20/2011 beserta Penjelasannya menyebabkan adanya pertentangan hukum yang menimbulkan ketidakpastian hukum?

3. Apakah ketentuan mengenai penyerahan pertama kali sarusun dalam Pasal 59 ayat (1) dan Pasal 60 UU 20/2011 menyebabkan ketidakpastian hukum karena tidak adanya penegasan mengenai penyerahan tersebut sebagai penyerahan yuridis?

4. Apakah kata “dapat” dalam frasa “dapat bekerjasama dengan pengelola” dalam Pasal 59 ayat (3) dan Pasal 75 ayat (4) UU 20/2011 merugikan para Pemohon karena seharusnya dalam

(27)

pengelolaan rumah susun, pengembang seharusnya diwajibkan bekerjasama dengan pengelola?

5. Apakah ketentuan mengenai pembebanan biaya pengelolaan kepada pelaku pembangunan dan pemilik sarusun sebagaimana diatur Pasal 59 ayat (4) UU 20/2011 inkonstitusional karena seharusnya termasuk kepada penghuni yang mendapatkan kuasa dari pemilik sarusun?

6. Apakah norma yang mengatur keanggotaan PPPSRS, dalam hal ini Pasal 74 ayat (2) dan 75 ayat (3) UU 20/2011 seharusnya menyatakan keanggotaan PPPSRS adalah seluruh pemilik dan penghuni sarusun yang mendapatkan kuasa dari pemilik, bukan “para” pemilik dan penghuni sarusun?

7. Apakah ruang lingkup dari PPPSRS dalam UU 20/2011 seharusnya hanya mengenai pengelolaan sarusun dan tidak meliputi penghunian sarusun?

8. Apakah mekanisme pengambilan keputusan dalam PPPSRS dengan sistem satu anggota satu suara inkonstitusional dan seharusnya berdasarkan nilai perbandingan proporsional?

[3.11] Menimbang bahwa sebelum menjawab masing-masing isu konstitusional di atas, Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XIII/2015, bertanggal 10 Mei 2016 telah mempertimbangkan mengenai konstitusionalitas Pasal 75 ayat (1) UU 20/2011 dikaitkan dengan Pasal 59 ayat (1) beserta Penjelasannya yang dalam pertimbangan hukum putusan dimaksud Mahkamah, antara lain, menyatakan:

“...Adanya perbedaan, bahkan pertentangan, antara bunyi Pasal 59 ayat (2) UU Rumah Susun dan penjelasannya itu dalam mendefinisikan “masa transisi” dapat dijadikan pembenaran oleh pelaku pembangunan untuk bertindak selaku pengelola dengan alasan Sarusun belum sepenuhnya terjual meskipun sudah melampaui jangka waktu satu tahun sementara ia diwajibkan oleh Pasal 59 ayat (1) UU Rumah Susun untuk menjadi pengelola selama masa transisi....”

“...telah menjadi terang bagi Mahkamah bahwa dalil para Pemohon yang menyatakan tidak mendapatkan kepastian hukum yang adil oleh berlakunya Pasal 75 ayat (1) UU Rumah Susun adalah cukup beralasan namun hal itu bukan disebabkan oleh adanya frasa “pelaku pembangunan” dalam Pasal 75 ayat (1) UU Rumah Susun, sebagaimana didalilkan para Pemohon, melainkan oleh adanya pertentangan antara Pasal 59 ayat (2) UU Rumah Susun dan Penjelasannya dalam mendefinisikan pengertian “masa transisi”...” [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XIII/2015, tanggal 10 Mei 2016, halamaan 125]

(28)

Selanjutnya dalam amar Putusan Mahkamah tersebut, mengenai Pasal 75 ayat (1) UU 20/2011 Mahkamah telah memutus sebagai berikut:

“Menyatakan Pasal 75 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5252) sepanjang frasa “Pasal 59 ayat (2)” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai bahwa yang dimaksud “masa transisi” dalam Penjelasan Pasal 59 ayat (1) tidak diartikan 1 (satu) tahun tanpa dikaitkan dengan belum terjualnya seluruh satuan rumah susun.”

Bahwa berdasarkan putusan tersebut, maka permasalahan para Pemohon mengenai inkonsistensi aturan masa transisi, yaitu dalil mengenai frasa “sarusun belum sepenuhnya terjual” dalam Penjelasan Pasal 59 ayat (1), dan frasa “paling lama 1 (satu) tahun” dalam Pasal 59 ayat (2) UU 20/2011 telah dijawab dan diputus oleh Mahkamah. Walaupun Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XIII/2015 a quo memutus mengenai syarat konstitusionalitas Pasal 75 ayat (1) UU 20/2011, namun implikasinya adalah terjadi perubahan penafsiran terhadap konstitusionalitas Pasal 59 ayat (2) dan Penjelasan Pasal 59 ayat (1), khususnya terhadap penafsiran masa transisi dalam norma tersebut. Dengan implikasi tersebut, berdasarkan pertimbangan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XIII/2015 yang mutatis mutandis berlaku terhadap permohonan a quo maka oleh karena permasalahan para Pemohon mengenai masa transisi tersebut telah dijawab dan diputus Mahkamah, dalil para Pemohon mengenai ketidakpastian hukum pada frasa “sarusun belum sepenuhnya terjual” dalam Penjelasan Pasal 59 ayat (1) dan frasa “paling lama 1 (satu) tahun” dalam Pasal 59 ayat (2) UU 20/2011 tidak akan dipertimbangkan lebih lanjut dalam putusan ini, dan dengan demikian dalil tersebut haruslah dinyatakan tidak dapat diterima.

27. HAKIM ANGGOTA: WAHIDUDDIN ADAMS

[3.12] Menimbang bahwa mengenai kewajiban pengembang untuk memfasilitasi terbentuknya PPPSRS hingga disahkannya PPPSRS sebagai badan hukum, Mahkamah berpendapat bahwa ketentuan lebih rinci mengenai “membentuk” tidak diatur dalam UU 20/2011. Ketentuan dalam Undang-Undang a quo hanya bersifat umum mengatur kewajiban membentuk PPPSRS. UU 20/2011 telah mengamanatkan mengenai ketentuan dalam Pasal 59 diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah. Undang–Undang a quo hanya

(29)

mengatur mengenai pokok materi yang bersifat umum sedang mengenai hal teknis yang merupakan penjabaran lebih lanjut dari norma dalam Undang-Undang akan diatur oleh peraturan pelaksanaan yang lebih detail yang dapat dibentuk sesuai dengan kebutuhan dan dapat diubah dengan fleksibel, berbeda dengan Undang-Undang yang proses pembentukannya memerlukan waktu yang cukup lama. Pengaturan mengenai disahkannya PPPSRS merupakan pengaturan yang besifat teknis dan masuk dalam domain administrasi pemerintahan. Selain itu, dalam Pasal 74 ayat (3) UU 20/2011 yang menyatakan, “PPPSRS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberi kedudukan sebagai badan hukum berdasarkan undang-undang ini”, telah secara eksplisit dikatakan bahwa PPPSRS akan diberikan status badan hukum. Adapun pemberian status badan hukum merupakan domain Pemerintah.

Bahwa menurut Mahkamah, memberikan kewajiban bagi pelaku pembangunan untuk memfasiltiasi terbentuknya PPPSRS paling lambat sebelum masa transisi berakhir, di mana ketentuan mengenai masa transisi telah ditegaskan dalam Putusan Nomor 21/PUU-XIII/2015 telah cukup memadai, karena kewajiban ini justru membebani pihak pelaku pembangunan untuk masuk ke dalam ranah administrasi yang merupakan ranah Pemerintah. Kekhawatiran para Pemohon bahwa hal tersebut menyebabkan munculnya PPPSRS ganda yang mewakili kepentingan yang berbeda dan menimbulkan permasalahan dalam pengelolaan rumah susun merupakan permasalahan implementasi norma dan Undang-Undang ini telah memberikan kewenangan serta tugas bagi Pemerintah untuk melakukan pengawasan dan penyelesaian persoalan hukum terkait pembentukan PPPSRS. Dalam Undang-Undang a quo, hal ini termasuk dalam ketentuan mengenai Pengendalian yang merupakan ranah Pemerintah, di mana Pasal 70 ayat (5) huruf a menyatakan, “Pengendalian penyelenggaraan rumah susun pada tahap pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilakukan melalui: a. pengawasan terhadap pembentukan PPPSRS,...”. Selanjutnya Pasal 71 ayat (1) juga menyatakan bahwa pengendalian penyelenggaraan rumah susun dilakukan Pemerintah melalui perizinan, pemeriksaan dan penertiban. Dengan demikian belum disahkannya status badan hukum PPPSRS tidak boleh menghalangi penyerahan pengelolaan dalam waktu 1 (satu) tahun sebagaimana ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XIII/2015.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka dalil para Pemohon yang mempersoalkan konstitusionalitas frasa “terbentuknya PPPSRS” dalam Pasal 59 ayat (1), frasa “membentuk PPPSRS” dalam Pasal 74 ayat (1), serta frasa

(30)

"PPPSRS telah terbentuk” dalam Pasal 75 ayat (1) dan ayat (2) UU 20/2011 tidak beralasan menurut hukum.

[3.13]Menimbang bahwa mengenai dalil para Pemohon tentang penyerahan pertama kali sarusun dalam Pasal 59 ayat (1) dan Pasal 60 UU 20/2011 yang dapat menyebabkan ketidakpastian hukum karena tidak adanya penegasan mengenai penyerahan tersebut sebagai penyerahan yuridis, menurut Mahkamah kepemilikan rumah susun mempunyai keterkaitan dengan hukum pertanahan, di mana seseorang telah memiliki atau telah membeli suatu hak pada saat terjadinya perbuatan hukum jual beli yang dilakukan secara terang dan tunai. Untuk itu apabila seseorang sudah melakukan perbuatan hukum jual beli yang sah, dalam hal ini pembayaran telah dilakukan di hadapan pejabat yang berwenang dan lebih-lebih dalam hal ini objek jual beli telah diserahkan kepada pembeli, maka orang atau pihak tersebut sudah dapat dikatakan sebagai pemilik atas tanah atau bangunan, meskipun belum diterbitkan sertifikat kepemilikan hak yang bersangkutan, sebab sertifikat bukan sebagai syarat sahnya jual beli, sehingga penyerahan objek jual beli tidak boleh dihalangi oleh persyaratan belum diterbitkannya sertifikat.

Perihal “penyerahan secara yuridis”, menurut Mahkamah, tidak terdapat tolok ukur yang jelas terhadap istilah tersebut sehingga penggunaan istilah “penyerahan secara yuridis” dalam rumusan ketentuan Undang-Undang sebagaimana dikehendaki para Pemohon justru dapat menimbulkan pertanyaan dan perdebatan di antara para pihak yang berkepentingan mengenai implikasi penggunaan istilah tersebut dalam Undang-Undang. Ketidakjelasan dan perbedaan pemahaman mengenai “penyerahan secara yuridis” justru berdampak pada berlarut-larutnya pembentukan PPPSRS. Hal ini justru bertentangan dengan apa yang diharapkan oleh para Pemohon sendiri yang menginginkan kepastian hukum dan kejelasan dalam proses pembentukan PPPSRS. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka dalil para Pemohon yang mempersoalkan konstitusionalitas frasa “penyerahan pertama kali” dalam Pasal 59 ayat (2) dan dalam Pasal 60 UU 20/2011 tidak beralasan menurut hukum.

[3.14]Menimbang bahwa mengenai dalil para Pemohon tentang kata “dapat” dalam frasa “dapat bekerjasama dengan pengelola” dalam Pasal 59 ayat (3) dan Pasal 75 ayat (4) UU 20/2011, Mahkamah berpendapat bahwa kata “dapat” pada norma tersebut pada pokoknya memberikan keleluasan bagi pelaku pembangunan untuk mengelola rumah susun pada masa transisi. Pasal 59 ayat (1) pada pokoknya telah mewajibkan pelaku pembangunan untuk mengelola rumah susun pada masa transisi sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya dalam putusan Mahkamah Nomor

(31)

21/PUU-XIII/2015, ketentuan masa transisi ini telah diberikan kepastian dan kejelasan mengenai jangka waktunya.

Kata “dapat” dalam Pasal 59 ayat (3) dan dalam Pasal 75 ayat (4) UU 20/2011 adalah merujuk pada kondisi setelah terbentuknya pengelola, baik itu dilakukan oleh PPPSRS sendiri ataupun badan hukum yang dibentuk/ditunjuk oleh PPPSRS. Oleh karena itu kerjasama dengan pelaku pembangunan tergantung pada kebutuhan pengelola tersebut. Jika kata “dapat” dalam Pasal 59 ayat (3) UU 20/2011 dimaknai “wajib” sebagaimana didalilkan oleh Pemohon maka hal itu justru menjadikan pengelola (PPPSRS sendiri ataupun badan hukum yang ditunjuk oleh PPPSRS) menjadi terus bergantung kepada pelaku pembangunan sehingga bertentangan dengan tujuan Undang-Undang a quo. Adapun kata “dapat” dalam Pasal 75 ayat (4) UU 20/2011 adalah merujuk pada kebebasan pihak PPPSRS apakah akan mengelola sendiri atau membentuk ataupun menunjuk pengelola yang tidak ada kaitannya dengan pelaku pembangunan, karena menurut Pasal 75 ayat (2) UU 20/2011 dikatakan bahwa dalam hal PPPSRS telah terbentuk, pelaku pembangunan segera menyerahkan pengelolaan benda bersama, bagian bersama, dan tanah bersama kepada PPPSRS.

Berdasarkan pertimbangan di atas menurut Mahkamah dalil para Pemohon yang mempersoalkan konstitusionalitas kata “dapat” dalam Pasal 59 ayat (3) dan dalam Pasal 75 ayat (4) UU 20/2011 tidak beralasan menurut hukum.

[3.15] Menimbang bahwa terhadap dalil para Pemohon tentang ketentuan mengenai pembebanan biaya pengelolaan kepada pelaku pembangunan dan pemilik sarusun sebagaimana diatur Pasal 59 ayat (4) UU 20/2011, Mahkamah berpendapat bahwa pada pokoknya Pasal 59 ayat (4) UU 20/2011 mengatur bahwa besaran biaya pengelolaan rumah susun pada masa transisi ditanggung oleh pelaku pembangunan dan pemilik sarusun berdasarkan Nilai Perbandingan Proporsional (NPP) setiap sarusun. Ketentuan ini dalam pelaksanaannya apabila belum seluruh sarusun terjual, maka NPP terbesar justru berada pada pelaku pembangunan, sehingga pengelolaan terbesar tetap dibebankan kepada pelaku pembangunan. Berdasarkan fakta ini, maka kecil kemungkinan para Pemohon selaku pemilik sarusun berada pada pihak yang dirugikan.

Bahwa selain itu, menurut Mahkamah adanya pihak lain, yaitu penghuni yang diberi kuasa oleh pemilik sarusun merupakan persoalan hubungan keperdataan antara kedua belah pihak tersebut. Berdasarkan asas kebebasan berkontrak maka dalam implementasinya merupakan kebebasan bagi pihak pemilik sarusun dan penghuni yang diberi kuasa oleh pemilik sarusun

(32)

untuk mendapatkan kesepakatan mengenai pembagian beban dan tanggung jawab pengelolaan berdasarkan NPP dari sarusun yang menjadi objek kesepakatan. Hal ini merupakan ranah kesepakatan di antara kedua belah pihak dan tidak secara langsung berkaitan dengan kepentingan pihak pelaku pembangunan, sehingga menurut Mahkamah tidak perlu diatur dalam Undang-Undang a quo. Berdasarkan pertimbangan di atas menurut Mahkamah dalil para Pemohon yang mempersoalkan konstitusionalitas frasa “pelaku pembangunan dan pemilik sarusun atau penghuni yang mendapat kuasa dari pemilik sarusun” dalam Pasal 59 ayat (4) UU 20/2011 tidak beralasan menurut hukum.

[3.16] Menimbang bahwa mengenai dalil para Pemohon tentang ketentuan norma yang mengatur keanggotaan PPPSRS, dalam hal ini Pasal 74 ayat (2) dan 75 ayat (3) UU 20/2011 seharusnya menyatakan keanggotaan PPPSRS adalah seluruh pemilik dan penghuni sarusun, bukan “para” pemilik dan penghuni sarusun, Mahkamah berpendapat bahwa pada pokoknya keanggotaan PPPSRS merupakan hak bagi seluruh pemilik dan penghuni sarusun. Ketentuan mengenai keanggotaan PPPSRS bukan merupakan kewajiban, penggunaan kata “para” dalam Undang-Undang a quo memberikan kebebasan bagi pemilik atau penghuni sarusun untuk menjadi anggota PPPSRS atau tidak beserta segala konsekuensinya, hak ini dijamin oleh UUD 1945 dan tidak dapat dipaksakan.

Bahwa perlu ditegaskan tidak ikutnya pemilik atau penghuni sarusun dalam PPPSRS tidak menghilangkan hak dan kewajiban pemilik atau penghuni sarusun terhadap sarusun yang menjadi objek. Bahwa pada pokoknya pelaku pembangunan, pengelola, pemilik serta penghuni sarusun terikat perjanjian keperdataan satu sama lain sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati antara para pihak sesuai dengan syarat sahnya kontrak. Hal yang sama juga berlaku pada makna kata “para” dalam Pasal 75 ayat (3) UU 20/2011, penggunaan kata tersebut bukanlah berarti ada pemilik atau penghuni sarusun yang kepentingannya tidak menjadi kewajiban dari PPPSRS, hak tersebut melekat sesuai dengan hubungan hukum antara pemilik atau penghuni dengan pihak pengelola. Pengelolaan sarusun dan pelaksanaan kesepakatan ini juga merupakan ranah pengawasan oleh Pemerintah, dan kekhawatiran para Pemohon bahwa norma ini dapat menyebabkan munculnya lebih dari satu PPPSRS yang memperjuangkan kepentingan yang berbeda adalah tidak tepat sebagaimana telah dipertimbangkan pada paragraf [3.12]. Andaikatapun hal/persoalan yang dikhawatirkan oleh para Pemohon terjadi, hal/persoalan tersebut merupakan persoalan implementasi norma, bukan permasalahan konstitusionalitas

(33)

norma. Selain itu, mengenai dalil para Pemohon mengenai Pasal 1 angka 21, menurut Mahkamah norma tersebut merupakan ketentuan umum mengenai definisi PPPSRS, yaitu, sebagai badan hukum yang beranggotakan para pemilik atau penghuni sarusun. Ketentuan mengenai keanggotaan PPPSRS telah ditegaskan dalam Pasal 74 UU 20/2011 sebagai “para pemilik atau penghuni yang mendapatkan kuasa dari pemilik”, sehingga menurut Mahkamah, hal tersebut bukanlah norma yang menimbulkan ketidakpastian hukum. Berdasarkan pertimbangan di atas menurut Mahkamah dalil para Pemohon yang mempersoalkan konstitusionalitas frasa “para pemilik atau penghuni sarusun” dalam Pasal 1 angka 21, serta kata “para” dalam Pasal 74 ayat (2) dan 75 ayat (3) UU 20/2011 tidak beralasan menurut hukum.

[3.17] Menimbang bahwa mengenai dalil para Pemohon tentang ruang lingkup dari PPPSRS dalam UU 20/2011 seharusnya hanya mengenai pengelolaan sarusun, dan tidak meliputi penghunian sarusun, menurut Mahkamah, dalam suatu lingkungan di mana ada warga yang menjadikan lingkungan tersebut sebagai tempat tinggal atau tempat hunian, maka tugas pengelola tidak terbatas hanya pengelolaan saja tanpa melibatkan aspek penghunian. Hal ini karena prinsipnya rumah susun bukan hanya terdiri atas benda yaitu tanah, gedung dan fasilitas, namun juga terdiri atas unsur manusia yang menghuni gedung tersebut, yaitu dalam hal ini disebut “penghuni”, sehingga pengelolaan rumah susun bukan sekadar pengelolaan kebendaan melainkan pula pengelolaan yang manusiawi serta memperhatikan penghuni sebagai aspek yang harus pula dikelola, dengan demikian sudah tepat apabila ruang lingkup tugas PPPSRS meliputi penghunian.

Bahwa Mahkamah tidak menemukan adanya pertentangan antara norma dalam Undang-Undang ini yang mengatur tentang penghunian dengan norma mengenai administrasi kependudukan dalam undang-undang lain. Bahwa administrasi kependudukan tetap merupakan kewenangan pemerintah dan PPPSRS selaku pengelola rumah susun dapat membantu Pemerintah dalam hal penghunian sebatas memfasilitasi Pemerintah dalam pendataan penduduk di dalam lingkungan rumah susun yang menjadi ruang lingkupnya. Berdasarkan pertimbangan di atas menurut Mahkamah dalil para Pemohon yang mempersoalkan konstitusionalitas kata “penghunian” dalam Pasal 75 ayat (3) UU 20/2011 tidak beralasan menurut hukum.

[3.18] Menimbang bahwa mengenai dalil para Pemohon tentang mekanisme pengambilan keputusan dalam PPPSRS dengan sistem satu anggota satu suara inkonstitusional dan seharusnya berdasarkan nilai perbandingan proporsional, Mahkamah berpendapat bahwa penggunaan frasa “berhak memberikan satu

(34)

suara” sudah tepat dengan tujuan untuk melindungi pemilik atau penghuni yang telah menghuni sarusun. Bila didasarkan pada NPP maka dapat berpotensi adanya dominasi kepentingan dari pemilik dengan NPP yang besar. Dalam Penjelasan Pasal 77 ayat (2) telah dinyatakan bahwa, “setiap anggota berhak memberikan satu suara” adalah apabila sarusun telah dihuni, suara pemilik dapat dikuasakan kepada setiap penghuni sarusun. Apabila sarusun belum dihuni, setiap nama pemilik hanya mempunyai satu suara walaupun pemilik yang bersangkutan memiliki lebih dari satu sarusun.

Bahwa aturan tersebut pada pokoknya berarti tiap pemilik atau penghuni mempunyai hak suara dengan pemberlakuan “one man one vote” apabila berhubungan dengan penghunian, sedangkan NPP berlaku hanya apabila dikaitkan dengan pengelolaan dan kepemilikian rumah susun. Berdasarkan pertimbangan di atas menurut Mahkamah dalil para Pemohon yang mempersoalkan konstitusionalitas frasa “berhak memberikan satu suara” dalam Pasal 77 ayat (2) UU 20/2011 tidak beralasan menurut hukum.

[3.19] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat bahwa dalil permohonan para Pemohon sepanjang menyangkut frasa “sarusun belum sepenuhnya terjual” dalam Penjelasan Pasal 59 ayat (1) dan frasa “paling lama 1 (satu) tahun” dalam Pasal 59 ayat (2) UU 20/2011 tidak dapat diterima, sedangkan dalil para Pemohon selain dan selebihnya tidak beralasan menurut hukum.

28. KETUA: ARIEF HIDAYAT

KONKLUSI

Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan:

[4.1] Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo;

[4.2] Para Pemohon mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo;

[4.3] Pokok permohonan para Pemohon mengenai frasa “paling lama 1 (satu) tahun” dalam Pasal 59 ayat (2) dan frasa “sarusun belum sepenuhnya terjual” dalam Penjelasan Pasal 59 ayat (1) UU 20/2011 tidak dapat diterima;

[4.4] Pokok permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya tidak beralasan menurut hukum.

Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penyemprotan oli tidak lain lagi untuk mendinginkan piston ketika mesin dalam kondisi bekerja (arapannya supaya suhu piston tetap terjaga dalam artian suhu piston

Akan tetapi di Pulau Gili status anak masih tetap anak dari orang tua kandungnya, ada sebagian dari keluarga yang mengangkat anak orang lain mulai sadar dengan

Penelitian tentang Quality of Work Life telah dilakukan sebelumnya, namun demikian penelitian tentang Quality of Work Life dengan melibatkan variabel Efektifitas

Kompetensi Dasar Materi Pokok/ Pembelajaran Kegiatan Pembelajaran Indikator Penilaian Alokasi Waktu Sumb er Belaj ar Teknik Bentuk Instrumen Contoh Instrumen

Oleh karena itu, pada penelitian ini akan dibuat sistem pengingat berbasis SMS yang dapat membantu dalam pengobatan pasien Tuberkulosis Paru untuk menghindari kejadian di mana

Lina Herida Pinem Stikes Mitra Keluarga Jakarta 8 Niniek Ritianingsih Poltekkes Bandung Prodi Bogor 9.. Riffa Ismanti Stikes

a) Jika dalam daftar posisi order yang terbuka dari satu akun trading ditemukan adanya dua order atau lebih dalam posisi terkunci, maka pada saat proses penutupan posisi order

Mengapa demikian, sebab dengan adanya kegiatan PPM ini, maka kualitas dan kemampuan guru dalam melakukan pembelajaran bagi anak tunarungu. harapannya akan