• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN KAPASITAS PUSKESMAS DALAM PENGAMBILAN CONTOH MAKANAN PENYEBAB KEJADIAN LUAR BIASA (KLB) KERACUNAN PANGAN DI KABUPATEN BOGOR SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KAJIAN KAPASITAS PUSKESMAS DALAM PENGAMBILAN CONTOH MAKANAN PENYEBAB KEJADIAN LUAR BIASA (KLB) KERACUNAN PANGAN DI KABUPATEN BOGOR SKRIPSI"

Copied!
114
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN KAPASITAS PUSKESMAS DALAM PENGAMBILAN

CONTOH MAKANAN PENYEBAB KEJADIAN LUAR BIASA

(KLB) KERACUNAN PANGAN DI KABUPATEN BOGOR

SKRIPSI

DIAH AYU KARTIKA

F24080080

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012

(2)

A STUDY OF PUSKESMAS CAPABILITY IN TAKING SAMPLE OF FOOD

FOR FOOD POISONING OUTBREAKS IN BOGOR REGENCY

Diah Ayu Kartika and Muhammad Arpah

Department of Food Science and Technology, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO BOX 220

Bogor, West Java, Indonesia

Phone: +62 852 165 713 50, e-mail: diahayu.k26@gmail.com

ABSTRACT

Food poisoning outbreak is one of the food safety issues that must be handled seriously. Most of the cases of food poisoning in Indonesia are not reported yet or they are reported but unknown causes. One attempt to solve the problem is through a good food handling by taking samples of food, tested them in the laboratory, then reported the cause of food poisoning outbreaks to the related agencies, such as puskesmas. The aim of this study is to assess the readiness of puskesmas in handling the outbreak of food poisoning in Bogor district based on the capacity of puskesmas to reduce the food poisoning outbreaks, such as its human resources, tools and available materials as well as types of puskesmas. The method used in this study is the primary data collection which is obtained from direct interview to respondens and guided by questionnaires. In addition, secondary data the number of puskesmas that have experienced food poisoning outbreak in Bogor district is gathered from the Dinas Kesehatan and food poisoning outbreak data is obtained from BPOM RI. Based on the result, 44 % of puskesmas have number human resources around 20 to 30. The tools and materials owned by the puskesmas did not reach 100%. Type of puskesmas influence the readiness of the puskesmas in handling and taking sample of food poisoning outbreak. Around 39.13 % of non rawat-inap type of puskesmas were categorized ready and only 13.04 % of rawat-inap type of puskesmas were categorized ready.

(3)

DIAH AYU KARTIKA. F24080080. Kajian Kapasitas Puskesmas dalam Pengambilan Contoh Makanan Penyebab KLB Keracunan Pangan di Kabupaten Bogor. Di bawah bimbingan Muhammad Arpah dan AA. Nyoman Merta Negara. 2012

RINGKASAN

Kejadian luar biasa (KLB) keracunan pangan merupakan masalah kesehatan nasional yang terjadi di berbagai negara baik negara berkembang maupun negara maju. Kasus keracunan pangan di Indonesia sebagian besar belum dilaporkan atau dilaporkan namun tidak diketahui penyebabnya. Masalah utamanya adalah sebagian besar sampel umumnya tidak ada atau tidak layak untuk dianalisis karena kesalahan penanganan sampel yang mencakup pengamanan, pengambilan, penyimpanan, dan pengiriman sampel sehingga agen penyebab keracunan tidak diketahui dalam laporan KLB keracunan pangan. Selain itu, kesalahan yang sering terjadi adalah banyaknya petugas yang menangani KLB keracunan pangan tidak memahami langkah-langkah atau prosedur yang harus dilakukan dalam menjalankan tugasnya. Salah satu upaya untuk menyikapi masalah tersebut yaitu menangani contoh makanan yang baik dengan mengambil contoh makanan, menguji di laboratorium, kemudian melaporkan penyebab KLB keracunan pangan ke instansi terkait, contohnya puskesmas. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data mengenai kesiapan puskesmas dalam menangani dan mengambil contoh makanan penyebab KLB keracunan pangan di Kabupaten Bogor untuk mengurangi kasus KLB keracunan pangan.

Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan pengumpulan data primer yang diperoleh dari wawancara langsung kepada responden dan dipandu dengan kuesioner. Selain itu, dikumpulkan pula data sekunder berupa data jumlah puskesmas yang pernah mengalami KLB keracunan pangan di Kabupaten Bogor yang diperoleh dari dinas kesehatan dan data KLB keracunan pangan yang diperoleh dari BPOM RI.

Kesiapan puskesmas dalam menangani KLB keracunan pangan dapat dilihat dari kapasitas puskesmas tersebut, baik dari segi sumberdaya manusia, fasilitas, dan jenis puksemas. Berdasarkan peraturan kepala BPOM tahun 2009 tentang Tata Cara Pengambilan Contoh Makanan, Pengujian Laboratorium Dan Pelaporan Penyebab Kejadian Luar Biasa Keracunan Pangan, dijelaskan mengenai tata cara pengambilan contoh makanan KLB keracunan pangan, seperti alat dan bahan yang digunakan, identifikasi contoh makanan, jumlah contoh makanan yang diambil, memberi label pada setiap contoh makanan yang sudah dikemas, menyimpan contoh makanan dalam boks pendingin, dan mengirimnya ke laboratorium untuk diuji lebih lanjut.

Berdasarkan hasil penelitian, pengetahuan petugas puskesmas tentang definisi KLB keracunan pangan masih sangat kurang. Pelatihan tentang tata cara pengambilan contoh makanan KLB keracunan pangan merupakan salah satu pendukung yang dibutuhkan karena puskesmas yang pernah mendapat pelatihan hanya sebesar 22 %. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa 83 % puskesmas memiliki Tim Penyelidik dan Penanggulangan KLB keracunan pangan sehingga puskesmas memiliki kesiapan dalam menangani KLB keracunan pangan di Kabupaten Bogor. Dari data yang diperoleh, 44 % puskesmas memiliki jumlah SDM atau tenaga kerja sebanyak 20-30 orang. Berdasarkan hasil penelitian ini, alat dan bahan yang banyak digunakan puskesmas untuk mengambil contoh makanan KLB keracunan pangan adalah sendok, kantung plasik, label, dan es batu. Selain itu, kelengkapan alat dan bahan yang dimiliki puskesmas tidak mencapai 100 %. Jumlah contoh makanan yang diambil sebanyak 200 g dilakukan oleh 47.83 % puskesmas. Identifikasi contoh makanan KLB keracunan pangan dilakukan oleh 82.61 % puskesmas. Standard Operation Procedure (SOP)

(4)

mengenai tata cara pengambilan contoh makanan penyebab KLB keracunan pangan dimiliki oleh 52 % puskesmas. Sebesar 78 % puskesmas mengirim contoh makanan KLB keracunan pangan ke laboratorium untuk diuji dan waktu yang dibutuhkan puskesmas untuk mengirim contoh makanan adalah 3 jam (30.43 % puskesmas).

Jenis puskesmas memberikan pengaruh terhadap kesiapan puskesmas dalam menangani dan mengambil contoh makanan KLB keracunan pangan. Puskesmas non perawatan (non inap) memiliki kesiapan yang lebih tinggi terhadap pengambilan contoh makanan KLB keracunan pangan dibandingkan puskesmas perawatan (inap). Sebesar 39.13 % puskesmas non perawatan (non inap) yang termasuk kategori siap, diikuti dengan 26.09 % puskesmas yang termasuk kategori cukup siap, dan 4.35 % puskesmas yang termasuk kategori belum siap dalam menangani KLB keracunan pangan. Selain itu, 13.04 % puskesmas perawatan (inap) yang termasuk kategori siap, 13.04 % puskesmas yang termasuk kategori cukup siap, dan 4.35 % puskesmas yang termasuk kategori belum siap. Berdasarkan data yang diperoleh, puskesmas yang menangani pengambilan contoh makanan KLB keracunan pangan yang sesuai dengan prosedur tetap yang dikeluarkan oleh BPOM tahun 2009 adalah 0 %. Akan tetapi, jika dilihat dari tiap langkah yang dilakukan oleh puskesmas menunjukkan bahwa puskesmas di Kabupaten Bogor siap dalam menangani dan mengambil contoh makanan KLB keracunan pangan.

(5)

KAJIAN KAPASITAS PUSKESMAS DALAM PENGAMBILAN

CONTOH MAKANAN PENYEBAB KEJADIAN LUAR BIASA

(KLB) KERACUNAN PANGAN DI KABUPATEN BOGOR

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan,

Fakultas Teknologi Pertanian,

Institut Pertanian Bogor

Oleh

DIAH AYU KARTIKA

F24080080

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012

(6)

Judul Skripsi : Kajian Kapasitas Puskesmas dalam Pengambilan Contoh Makanan Penyebab KLB Keracunan Pangan di Kabupaten Bogor

Nama : Diah Ayu Kartika

NIM : F24080080

Menyetujui,

Pembimbing I, Pembimbing II,

(Dr. Ir. M. Arpah, M.Si) (Drh. AA. Nyoman Merta Negara)

NIP. 19600608.198603.1.002 NIP. 19611231.198903.1.003

Mengetahui :

Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan,

( Dr. Ir. Feri Kusnandar, M.Sc) NIP 19680526.199303.1.004

(7)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Kajian Kapasitas Puskesmas dalam Pengambilan Contoh Makanan Penyebab KLB Keracunan Pangan di Kabupaten Bogor adalah hasil karya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, November 2012 Yang membuat pernyataan

Diah Ayu Kartika F24080080

(8)

© Hak cipta milik Diah Ayu Kartika, tahun 2012

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari

Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya

(9)

BIODATA PENULIS

Diah Ayu Kartika. Lahir di Pekanbaru, 26 September 1990 sebagai anak pertama dari empat bersaudara pasangan bapak Hersi Topan dan ibu Sutirah. Jenjang pendidikan yang telah ditempuh penulis adalah SD S YPPI Tualang (1996-2002), DMP Padang Panjang (2002-2005), SMA N 1 Tualang (2005-2008), dan pada tahun yang sama diterima di IPB melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah (BUD) IPB dari Kabupaten Siak. Penulis diterima sebagai mahasiswi Progam Studi Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif dalam berbagai kegiatan dan organisasi antara lain menjadi pengurus Ikatan Keluarga Pelajar Mahasiswa Riau (IKPMR) Bogor pada tahun 2009-2010, menjadi bendahara dalam kepengurusan ISTANA MAS, sekretaris pada kepanitiaan Dies Natalis IKPMR tahun 2010, anggota divisi Humas pada kepanitiaan PLASMA pada tahun 2010, peserta kegiatan turun lapang GO FIELD IPB pada tahun 2010, anggota divisi Humas dan Sponsorship pada kepanitiaan LCTIP 18 pada tahun 2010, dan anggota divisi konsumsi pada kepanitiaan Masa Perkenalan Departemen ITP (BAUR) pada tahun 2010. Selain itu, penulis juga mengikuti kegiatan lain seperti Pelatihan Good Laboratory Practices (GLP) pada tahun 2011 dan Pelatihan Sistem Manajemen Halal pada tahun 2012. Pada tahun 2012 penulis magang di BPOM RI, Jakarta Pusat untuk menyelesaikan tugas akhir dengan judul Kajian Kapasitas Puskesmas dalam Pengambilan Contoh Makanan Penyebab Kejadian Luar Biasa (KLB) Keracunan Pangan di Kabupaten Bogor.

(10)

x

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi Rabbil „alamin, puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir yang berjudul “Kajian Kapasitas Puskesmas Dalam Pengambilan Contoh Makanan Penyebab KLB Keracunan Pangan Di Kabupaten Bogor”.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan tugas akhir ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada:

1. Bapak, Ibu, Bayu, Raras dan Ririh yang senantiasa selalu memberikan doa, kasih sayang, cinta, dukungan fisik maupun moril kepada penulis.

2. Dr. Ir. M. Arpah, M.Si selaku dosen pembimbing akademik dan pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan, arahan, dan motivasi selama penulis menjalankan studi dan menyelesaikan tugas akhir.

3. Drs. Halim Nababan, MM selaku Direktur Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan yang telah memberikan dukungan dan kesempatan kepada penulis untuk melakukan kegiatan magang di BPOM RI Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan.

4. Drh. AA. Nyoman Merta Negara selaku pembimbing lapang yang telah memberikan bimbingan dan arahan selama penulis melakukan tugas akhir.

5. Dr. Ir. Yadi Haryadi, M.Sc selaku dosen penguji yang telah bersedia meluangkan waktu dan memberikan masukan kepada penulis.

6. Ibu Ruki, Ibu Kamayanti, Pak Nugroho dan seluruh pegawai BPOM RI, khususnya Sub Direktorat Surveilan dan Penanggulangan Keamanan Pangan.

7. Seluruh dosen ITP yang telah memberikan ilmu dan nasihat selama perkuliahan. 8. Mas Muhamad Yulianto atas waktu, bantuan, perhatian, dan dukungannya. 9. Sahabat-sabahat seperjuangan tugas akhir di BPOM: Hesty, Anggi, dan Rendy.

10.Sahabat-sahabat di ITP 45: Elva, Riyah, Priska, Fathin, Latifah, mbak Opi, Mutia, Ari, Mustain, Ahmadun, Vitor, Zico, Obit, Mizu dan seluruh keluarga ITP 45 yang dibanggakan dan akan diingat selalu.

11.Keluarga Wisma Flora yang selalu menemani, menghibur, dan memberi semangat: mbak Epi, mbak Widi, Diza, mbak Ika, mbak Wani, Indi, Mepi, Chika, Kiki, bang Rudi, bang Eja, Firman, Evan, dan Aris.

12.Seluruh pihak yang telah memberikan bantuan secara langsung maupun tidak langsung sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini.

Penulis menyadari tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun guna memperbaiki segala kekurangan tersebut. Penulis juga berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi semua yang membacanya.

Bogor, November 2012

(11)

xi

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 3

II. KEADAAN UMUM INSTANSI MAGANG ... 4

2.1 Sejarah dan Perkembangan BPOM RI ... 4

2.2 Lokasi dan Tata Letak BPOM RI ... 4

2.3 Visi dan Misi BPOM RI ... 4

2.3.1 Visi BPOM ... 4

2.3.2 Misi BPOM ... 4

2.4 Fungsi BPOM RI ... 5

2.5 Struktur Organisasi BPOM RI ... 5

2.6 Deputi Bidang Pengawasan dan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya ... 5

2.6.1 Tugas ... 5

2.6.2 Fungsi ... 6

2.6.3 Tujuan ... 6

2.6.4 Struktur Organisasi ... 6

2.7 Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan ... 7

2.7.1 Tugas ... 7

2.7.2 Fungsi ... 7

2.7.3 Struktur Organisasi ... 7

2.8 Sub Direktorat Surveilan dan Penanggulangan Keamanan Pangan ... 8

2.8.1 Tugas ... 8

2.8.2 Fungsi ... 8

III. TINJAUAN PUSTAKA ... 9

3.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 9

3.2 Keamanan Pangan ... 11

3.3 Keracunan Pangan ... 12

3.4 Kejadian Luar Biasa (KLB) Keracunan Pangan ... 12

3.5 KLB Keracunan Pangan di Indonesia ... 15

(12)

xii

3.7 Penyelidikan dan Penanggulangan KLB Keracunan Pangan ... 16

3.8 Kendala-Kendala dalam Penyelidikan KLB Keracunan Pangan ... 18

3.9 Puskesmas ... 19

3.10 Pengambilan Contoh Makanan KLB Keracunan Pangan ... 20

IV. METODOLOGI PENELITIAN ... 21

4.1 Tempat dan Waktu Magang ... 21

4.2 Alat dan Bahan ... 21

4.3 Metode Penelitian ... 21

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 24

5.1 Profil Puskesmas ... 24

5.2 Sumberdaya Manusia (SDM) di Puskesmas ... 26

5.3 Isi Kuesioner Keterangan Mengenai Pengambilan Contoh Makanan KLB Keracunan Pangan ... 28

5.3.1 Pengetahuan Responden tentang Definisi KLB keracunan Pangan ... 28

5.3.2 Penanganan KLB Keracunan Pangan ... 28

5.3.3 Tim Penyelidikan dan Penanggulangan KLB Keracunan Pangan ... 29

5.3.4 Pengambilan Contoh Makanan KLB Keracunan Pangan ... 29

5.3.5 Petugas Pengambil Contoh Makanan ... 30

5.3.6 Pelatihan tentang Pengambilan Contoh Makanan ... 31

5.3.7 Alat dan Bahan ... 32

5.3.8 Jumlah Contoh Makanan yang Diambil ... 34

5.3.9 Identifikasi Jenis Contoh Makanan KLB Keracunan Pangan... 34

5.3.10 SOP tentang Tata Cara Pengambilan Contoh Makanan ... 35

5.3.11 Pengiriman Contoh Makanan ke Laboratorium Rujukan ... 35

5.3.12 Durasi Waktu yang Dibutuhkan untuk Pengiriman Contoh Makanan ... 36

5.3.13 Ketersediaan Lemari Pendingin Contoh Makanan ... 37

5.3.14 Prosedur Pengambilan Contoh Makanan ... 37

5.4 Pengaruh Jenis Puskesmas Terhadap Kesiapan Puskesmas dalam Pengambilan Contoh Makanan KLB Keracunan Pangan ... 38

5.5 Pengaruh Jumlah SDM Terhadap Kesiapan Puskesmas dalam Pengambilan Contoh Makanan KLB Keracunan Pangan ... 39

VI. SIMPULAN DAN SARAN ... 41

6.1 Simpulan ... 41

6.2 Saran ... 41

DAFTAR PUSTAKA ... 42

(13)

xiii

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Data jumlah penderita, kematian, CFR dan lokasi pada KLB keracunan pangan di

Kabupaten Bogor tahun 2007-2011 ... 10

Tabel 2. Jumlah KLB keracunan pangan yang terlaporkan berdasarkan laporan Balai Besar/ Balai POM Tahun 2001 – 2011 ... 13

Tabel 3. Pangan penyebab KLB keracunan pangan terlaporkan tahun 2001 – 2011... 14

Tabel 4. Agen penyebab KLB keracunan pangan terlaporkan tahun 2001 – 2011 ... 14

Tabel 5. Nama dan alamat puskesmas terpilih di Kabupaten Bogor ... 22

Tabel 6. Profil puskesmas ... 25

Tabel 7. Hasil puskesmas yang menangani KLB keracunan pangan di wilayah kerjanya ... 29

Tabel 8. Hasil puskesmas yang memiliki Tim Penyelidik dan Penanggulangan KLB keracunan pangan ... 29

Tabel 9. Hasil puskesmas yang melakukan pengambilan contoh makanan KLB keracunan pangan ... 30

Tabel 10. Hasil puskesmas yang memiliki petugas khusus ... 31

Tabel 11. Bidang atau bagian kerja petugas khusus ... 31

Tabel 12. Pelatihan khusus bagi SDM puskesmas tentang pengambilan contoh makanan KLB keracunan pangan ... 32

Tabel 13. Nama pelatihan khusus bagi SDM ... 32

Tabel 14. Persentase kelengkapan alat dan bahan yang digunakan oleh puskesmas ... 33

Tabel 15. Jumlah contoh makanan yang diambil ... 34

Tabel 16. Identifikasi jenis contoh makanan penyebab keracunan pangan ... 35

Tabel 17. Jumlah puskesmas yang memiliki SOP cara pengambilan contoh makanan ... 35

Tabel 18. Mengirim contoh makanan ke laboratorium untuk diuji ... 35

Tabel 19. Data laboratorium rujukan yang digunakan ... 36

Tabel 20. Data waktu yang dibutuhkan puskesmas untuk mengirimkan contoh makanan ke laboratorium ... 36

Tabel 21. Lemari pendingin khusus untuk menyimpan contoh makanan ... 37

Tabel 22. Hasil kesiapan puskesmas berdasarkan jenis puskesmas... 38

(14)

xiv

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Peta Kabupaten Bogor ... 9

Gambar 2. Persentase puskesmas berdasarkan jenis ... 24

Gambar 3. Persentase sebaran SDM puskesmas. ... 26

Gambar 4. Jumlah SDM puskesmas berdasarkan tingkat pendidikan terakhir ... 27

Gambar 5. Persentase puskesmas yang menggunakan alat dan bahan dalam pengambilan contoh makanan KLB keracunan pangan ... 33

Gambar 6. Pengaruh jenis puskesmas terhadap kesiapan puskesmas dalam pengambilan contoh makanan KLB keracunan pangan ... 39

Gambar 7. Pengaruh jumlah SDM puskesmas terhadap kesiapan puskesmas dalam pengambilan contoh makanan KLB keracunan pangan... 40

(15)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Struktur organisasi BPOM RI ... 46

Lampiran 2. Struktur organisasi Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan BPOM RI ... 47

Lampiran 3. Prosedur pengambilan contoh makanan ... 48

Lampiran 4. Kuesiner survei kapasitas puskesmas ... 68

Lampiran 5. Profil puskesmas (lengkap) ... 73

Lampiran 6. Hasil uraian singkat definisi KLB keracunan pangan menurut petugas Puskesmas ... 75

Lampiran 7. Susunan Tim Penyelidik dan Penanggulangan KLB keracunan pangan di Puskesmas ... 77

Lampiran 8. Mekanisme pelaksanaan pengambilan contoh makanan di puskesmas ... 78

(16)

I.

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang

Masalah keamanan pangan (food safety) merupakan hal penting yang harus diperhatikan oleh masyarakat selain masalah gizi pangan. Hal ini harus diberi perhatian khusus untuk menghindari adanya efek samping yang ditimbulkan dari kontaminasi, penyalahgunaan bahan pangan, hingga keracunan pangan. Salah satu masalah utama yang menarik dari keamanan pangan di Indonesia yang telah diidentifikasi oleh Fardiaz (2001) adalah kasus keracunan pangan yang sebagian besar belum dilaporkan atau dilaporkan namun tidak diketahui penyebabnya. Gaman dan Sherington (1996) mengatakan bahwa keracunan pangan adalah gejala yang disebabkan karena mengkonsumsi makanan yang beracun atau terkontaminasi bakteri atau mikroorganisme.

Pada rantai pangan dari hulu ke hilir membutuhkan pengawasan yang sangat kompleks dan melibatkan banyak lembaga terkait untuk ikut serta menentukan keamanan pangan. Hal ini menyebabkan sulitnya menciptakan keamanan pangan yang memadai. Beberapa subsistem rantai pangan ditangani oleh beberapa lembaga (overlapping) tetapi ada beberapa subsistem yang ditangani secara samar atau bahkan belum ditangani oleh satu lembaga, misalnya pengawasan keamanan pangan segar (Sparringa, 2002).

Makanan yang sudah tercemar biasanya secara visual tidak terlihat membahayakan, akan tetapi memiliki penampakan yang normal serta tidak menunjukkan tanda kerusakan baik dari segi rasa, warna, dan aroma. Oleh karena itu, masyarakat yang belum mengerti akan mudah terkecoh dan mengonsumsi makanan tersebut tanpa ada sedikit rasa curiga. Hal ini menyebabkan masih banyaknya kasus keracunan pangan yang terjadi di Indonesia (BPOM, 2007). Penyakit akibat pangan (foodborne diseases) oleh WHO didefinisikan sebagai penyakit-penyakit infeksi atau toksin yang disebabkan mengkonsumsi pangan termasuk air yang telah terkontaminasi (Sharp dan Reilly, 2000). Menurut laporan WHO (2007), secara global terjadi 1.5 milyar gangguan kesehatan karena makanan (foodborne disease), 3 juta di antaranya meninggal tiap tahun dengan jumlah yang cenderung meningkat.

Kejadian luar biasa (KLB) yang sering terjadi adalah KLB keracunan pangan. KLB keracunan pangan merupakan masalah kesehatan nasional, terjadi di berbagai negara baik negara berkembang seperti Indonesia maupun di negara maju seperti Amerika Serikat yang selalu dianggap memiliki tingkat kesehatan yang lebih tinggi. Diperkirakan satu dari tiga orang penduduk di negara maju mengalami KLB keracunan makanan setiap tahunnya (Jenie dan Rahayu, 2002). Di Eropa, keracunan pangan merupakan penyebab kematian kedua terbesar setelah infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) (Sharp dan Reilly, 2000).

Ada beberapa penyebab KLB terbesar yaitu penyiapan, penanganan dan penyimpanan makanan yang tidak tepat, paling banyak terjadi di rumah tangga, institusi, atau restauran. Di Indonesia, masih sering terjadi penyakit yang berasal dari pangan baik di masyarakat, industri, asrama maupun acara sosial. Makanan jajanan dan tempat penyajian makanan merupakan sistem suplai pangan yang penting dan akhir-akhir ini menunjukkan peningkatan. Jika tidak dikendalikan dengan baik (mulai dari penyiapan, penyimpanan dan penyajiannya) dapat menjadi sumber utama penyakit asal pangan (Sparringa, 2002).

(17)

2

Data KLB keracunan pangan oleh BPOM (2012), menunjukkan bahwa telah terjadi 128 KLB keracunan pangan di Indonesia pada tahun 2011. Sebanyak 38 (29.69 %) KLB keracunan pangan tersebut diakibatkan oleh cemaran mikroba, 19 (14.84 %) akibat keracunan cemaran kimia dan 71 (55.47 %) tidak diketahui penyebabnya. Selain itu, dari data tersebut menunjukkan bahwa kasus keracunan pangan di Indonesia pada tahun 2011 disebabkan oleh masakan rumah tangga 58 KLB (45.31 %), pangan olahan 16 KLB (12.50 %), pangan jasa boga 30 KLB (23.4 %), pangan jajanan 16 KLB (12.50 %), dan lain-lain 8 KLB (6.25 %). Dari berbagai kasus keracunan tersebut, ternyata yang menjadi penyebabnya adalah rendahnya kebersihan individu maupun sanitasi lingkungan (Yuliarti, 2007).

Dari contoh data di atas menunjukkan bahwa laporan KLB keracunan pangan di Indonesia masih jauh dari realita. Diperkirakan di negara maju yang mempunyai sistem surveilan bagus sekalipun hanya melaporkan 10% kasus penyakit akibat pangan yang sebenarnya. WHO (2007) menduga bahwa sekitar 30% penduduk di negara industri menderita penyakit akibat pangan setiap tahunnya. Di Amerika Serikat terdapat 76 juta kasus penyakit akibat pangan yang menyebabkan 325,000 penderita masuk rumah sakit dan 5,000 orang meninggal dunia.

Pada umumnya, agen penyebab keracunan (etiologic agent) tidak diketahui dalam laporan KLB keracunan pangan karena sebagian besar sampel umumnya tidak ada atau tidak layak untuk dianalisis. Analisis sampel di laboratorium hanya bersifat kualitatif yaitu menentukan hasil “positif” atau “negatif” saja, tanpa dilengkapi dengan analisis yang dinyatakan dalam jumlah atau konsentrasi tertentu. Analisis secara kuantitatif sangat sulit dilakukan karena keterbatasan sarana, sumberdaya manusia, dan metode analisis. Akan tetapi, analisis secara kualitatif saja tidak cukup untuk menyatakan suatu agen sebagai penyebab keracunan pangan karena setiap agen memiliki dosis dan respon (dose response) yang berbeda terhadap keracunan.

Banyak petugas yang menangani KLB keracunan pangan tidak memahami langkah-langkah atau prosedur yang harus dilakukan dalam menjalankan tugasnya. Kesalahan yang sering terjadi adalah kesalahan penanganan sampel yang mencakup pengamanan, pengambilan, penyimpanan, dan pengiriman sampel sehingga sampel tidak layak untuk dianalisis. Hal tersebut menyebabkan tidak teridentifikasinya makanan penyebab KLB keracunan pangan yang terjadi (Krisnovitha, 2004).

Masalah-masalah di atas merupakan sebagian kecil dari buruknya manajemen penanganan KLB keracunan pangan di Indonesia. Salah satu upaya untuk menyikapi masalah tersebut yaitu menangani contoh makanan yang baik dengan mengambil contoh makanan, menguji di laboratorium, kemudian melaporkan penyebab KLB keracunan pangan ke instansi terkait, contohnya puskesmas. Pengambilan contoh makanan penyebab KLB keracunan pangan mengacu pada Peraturan Kepala BPOM RI No HK.00.06.1.54.2797 tahun 2009 Pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa “Pengambilan contoh makanan yang dicurigai sebagai penyebab keracunan makanan dilakukan oleh Unit Pelayanan Kesehatan di tingkat provinsi atau kabupaten kota segera setelah mendapat laporan dari orang yang mengetahui adanya keracunan makanan”. Pada ayat (2) menyatakan bahwa “Unit Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) terdiri atas: puskesmas, poliklinik, rumah sakit pemerintah atau swasta, dan unit pelayanan kesehatan lainnya”.

Puskesmas merupakan salah satu unit pelayanan kesehatan yang terdekat dengan masyarakat. Puskesmas membutuhkan pedoman atau acuan mengenai pengambilan contoh makanan penyebab KLB keracunan pangan dalam menjalankan tugasnya. BPOM RI telah mengeluarkan peraturan tentang tata cara pengambilan contoh, pengujian laboratorium, dan pelaporan penyebab kejadian luar biasa keracunan makanan. Cara pengambilan contoh makanan penyebab KLB keracunan pangan harus diperhatikan, baik dalam jumlah sampel, peralatan yang digunakan, penyimpanan sampel, pengiriman sampel, dan sumberdaya manusia yang melakukannya karena dapat mempengaruhi hasil

(18)

3

pengujian yang akan dilakukan selanjutnya guna mengetahui apakah makanan tersebut benar-benar penyebab KLB keracunan pangan yang terjadi. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui kesiapan dan tata cara yang digunakan puskesmas dalam mengambil contoh makanan penyebab KLB keracunan pangan agar diketahui penyebabnya.

1.2

Tujuan

Tujuan umum:

Memperluas wawasan, melatih sikap dan kemampuan teknis mahasiswa serta mengaplikasikan ilmu selama magang di bidang surveilan dan penanggulangan keamanan pangan di BPOM RI.

Tujuan khusus:

1. Menilai kesiapan puskesmas dalam menangani KLB keracunan pangan di Kabupaten Bogor berdasarkan kapasitas puskesmas, seperti sumberdaya manusia, alat dan bahan yang digunakan, dan jenis puskesmas untuk mengurangi KLB keracunan pangan.

2. Mengetahui pengaruh dari jenis puskesmas dan banyaknya sumberdaya manusia terhadap kesiapan puskesmas dalam menangani dan mengambil contoh makanan penyebab KLB keracunan pangan.

(19)

II.

KEADAAN UMUM INSTANSI MAGANG

2.1

Sejarah dan Perkembangan BPOM RI

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) bertugas untuk mengawasi obat dan makanan sehingga dapat melindungi masyarakat dari bahaya penggunaan produk obat dan makanan. Pengawasan ini sebelumnya ditangani oleh Departemen Kesehatan, tetapi karena bertambah kompleksnya permasalahan yang ada dan kebijakan-kebijakan yang harus diambil maka tugas ini perlu ditangani secara khusus. Berdasarkan Keputusan Presiden No. 166 tahun 2000, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) ditetapkan sebagai Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) yang bertanggung jawab kepada Presiden dan dikoordinasikan dengan Kementerian Kesehatan.

Untuk melaksanakan tugasnya, BPOM RI diberi kewenangan untuk menyusun rencana nasional dan kebijakan nasional secara makro di bidang pengawasan obat dan makanan, menetapkan sistem informasi di bidang pengawasan obat dan makanan, menetapkan standar penggunaan bahan tambahan tertentu untuk makanan dan pedoman untuk mengawasinya, memberi ijin peredaran obat dan makanan serta mengawasi industri-industri farmasi, dan menetapkan pedoman penggunaan konservasi, pengembangan, dan pengawasan tanaman obat.

2.2

Lokasi dan Tata Letak BPOM RI

BPOM RI terletak di Jalan Percetakan Negara No. 23, Jakarta Pusat. Instansi ini mempunyai beberapa gedung sebagi pusat kegiatan sehari-hari, yaitu gedung A-F. Pusat aktivitas Deputi I, Deputi II dan Deputi III beserta segenap perangkatnya berada di gedung A-F. Namun, ketika kegiatan magang berlangsung, sedang ada pembangunan gedung F, sehingga kegiatan magang dilakukan di aula gedung PPOMN (Pusat Pengujian Obat dan Makanan Nasional) karena untuk sementara waktu aula gedung PPOMN digunakan sebagai kantor bagi Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan.

2.3

Visi dan Misi BPOM RI

2.3.1 Visi BPOM RI

Visi dari BPOM RI adalah menjadi Institusi Pengawas Obat dan Makanan yang inovatif, kredibel dan diakui secara internasional untuk melindungi masyarakat.

2.3.2 Misi BPOM RI

1. Melakukan pengawasan pre-market berstandar Internasional. 2. Menerapkan Sistem Manajemen Mutu secara konsisten.

3. Mengoptimalkan kemitraan dengan pemangku kepentingan diberbagai lini. 4. Memberdayakan masyarakat agar mampu melindungi diri dari obat dan

(20)

5

2.4

Fungsi BPOM RI

1. Pengkajian dan penyusunan kebijakan nasional di bidang pengawasan obat dan makanan. 2. Pelaksanaan kebijakan tertentu di bidang pengawasan obat dan makanan.

3. Koordinasi kegiatan fungsional dalam pelaksanaan tugas BPOM.

4. Pemantauan, pemberian bimbingan dan pembinaan terhadap kegiatan instansi pemerintah di bidang pengawasan obat dan makanan.

5. Penyelenggara pembinaan dan pelayanan administrasi umum di bidang perencanaan umum, ketatausahaan, organisasi dan tata laksana, kepegawaian, keuangan, kearsipan, perlengkapan dan rumah tangga.

2.5

Struktur Organisasi BPOM RI

BPOM RI ditetapkan berdasarkan Keputusan Presiden No.166 Tahun 2000 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen, sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 173 tahun 2000. Pembentukan BPOM RI ini ditindaklanjuti dengan Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 02001/SK/KBPOM RI, tanggal 26 Februari tahun 2001, tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengawas Obat dan Makanan setelah mendapatkan persetujuan Menteri Negera Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 34/M.PAN/2/2001 tanggal 1 Februari 2001. Berikut ini adalah struktur organisasi BPOM RI:

1. Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2. Sekretariat Utama.

3. Inspektorat.

4. Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif (NAPZA).

5. Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Kosmetik dan Produk Komplemen. 6. Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya.

7. Pusat Pengujian Obat dan Makanan Nasional. 8. Pusat Penyidikan Obat dan Makanan. 9. Pusat Riset Obat dan Makanan. 10.Pusat Informasi Obat dan Makanan. 11.Unit Pelaksana Teknis BPOM.

Struktur organisasi dalam bentuk skema dapat dilihat pada Lampiran 1.

2.6

Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya

2.6.1 Tugas

Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya bertugas untuk merumuskan kebijakan di bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya secara menyeluruh (Total Food Safety and Hazardous Control). Pengawasan pangan atau bahan berbahaya yang dilakukan mulai dari bahan mentah hingga siap dikonsumsi (from farm to table).

(21)

6

2.6.2 Fungsi

Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya memiliki fungsi dalam Kebijakan Peningkatan Keamanan Pangan, yaitu :

1. Meningkatkan kemampuan BPOM RI dalam melakukan berbagai kegiatan yang terkait dengan risk asessment, risk management, dan risk communication.

2. Meningkatkan networking antar lembaga secara tepadu dalam berbagai kegiatan yang terkait dengan keamanan pangan baik di dalam maupun di luar negeri.

3. Meningkatkan kesadaran produsen, khususnya industri rumah tangga akan pentingnya keamanan pangan bagi perlindungan konsumen dan peningkatan daya saing industri pangan secara lokal, regional, maupun global.

4. Meningkatkan kesadaran konsumen akan pentingnya keamanan pangan bagi kesehatan masyarakat dan memberdayakan untuk ikut mengawasi keamanan pangan yang dikonsumsinya.

5. Meningkatkan tindakan secara hukum (enforcement) bagi mereka yang melanggar peraturan perundang-undangan pangan.

2.6.3 Tujuan

Dalam undang-undang RI No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan, Pasal 3, tujuan pengaturan, pembinaan, dan pengawasan pangan adalah :

1. Tersedianya pangan yang memenuhi persyaratan keamanan, mutu, dan gizi bagi kepentingan kesehatan manusia.

2. Terciptanya perdagangan pangan yang jujur dan bertanggung jawab.

3. Terwujudnya tingkat kecukupan pangan dengan harga wajar dan terjangkau sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

2.6.4 Struktur Organisasi

Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya dibantu oleh lima direktorat, yaitu:

1. Direktorat Penilaian Keamanan Pangan. 2. Direktorat Inspeksi dan Sertifikasi Pangan. 3. Direktorat Standardisasi Produk Pangan.

4. Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan. 5. Direktorat Pengawasan Produk dan Bahan Berbahaya.

Pengawasan secara menyeluruh melibatkan faktor-faktor yang cukup kompleks. Dari mulai diproduksi hingga mencapai konsumsi, bahan tersebut akan melewati mata rantai yang sulit untuk dilacak. Beberapa mata rantai tersebut adalah budidaya, pengolahan, distribusi, pemasaran, dan konsumsi yang melibatkan pelaku-pelaku seperti produsen, distributor, pengecer, jasa boga, eksportir, importir, dan instansi-instansi terkait di luar BPOM RI yang bertugas untuk mengawasi mata rantai produksi pangan, maka pengawasan pangan dan bahan berbahaya secara menyeluruh dilakukan dengan pendekatan terhadap pelaku-pelaku tersebut.

(22)

7

Keamanan pangan dipengaruhi oleh setiap tahapan proses yang dilaluinya, sejak dari bahan mentah sampai ke produk jadi di tangan konsumen. Untuk memberikan jaminan keamanan pangan maka perlu dilakukan cara-cara pengendalian pada setiap mata rantai proses penanganan dan pengolahan pangan, mulai dari lapangan (sawah, kebun, kolam, serta praktek-praktek pertanian yang baik), proses pengolahan, penggudangan dan penyimpanan, distribusi dan pemasaran, sampai kepada konsumsi oleh konsumen.

2.7

Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan

2.7.1 Tugas

Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan mempunyai tugas penyiapan perumusan kebijakan, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan pengendalian, bimbingan teknis dan evaluasi di bidang surveilan dan penyuluhan keamanan pangan.

2.7.2 Fungsi

Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan menyelenggarakan fungsi : 1. Penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan

prosedur, serta pelaksanaan pengendalian, pemantauan, pemberian bimbingan dan pembinaan di bidang surveilan dan penanggulangan keamanan pangan.

2. Penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan pengendalian, pemantauan, pemberian bimbingan dan pembinaan di bidang promosi keamanan pangan.

3. Penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan pengendalian, pemantauan, pemberian bimbingan dan pembinaan di bidang penyuluhan makanan siap saji dan industri rumah tangga.

4. Penyusunan rencana dan program surveilan dan penyuluhan keamanan pangan.

5. Koordinasi kegiatan fungsional pelaksanaan kebijakan teknis di bidang surveilan dan penyuluhan keamanan pangan.

6. Evaluasi dan penyusunan laporan surveilan dan penyuluhan keamanan pangan.

7. Pelaksanaan tugas lain sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya.

2.7.3 Struktur Organisasi

Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan terdiri dari : 1. Subdirektorat Surveilan dan Penanggulangan Keamanan Pangan.

2. Subdirektorat Promosi Keamanan Pangan.

3. Subdirektorat Penyuluhan Makanan Siap Saji dan Industri Rumah Tangga.

Struktur organisasi Direktorat Surveilan dan Puyuluhan Keamanan Pangan dapat dilihat pada Lampiran 2.

(23)

8

2.8

Sub Direktorat Surveilan Dan Penanggulangan Keamanan Pangan

2.8.1 Tugas

Tugas pokoknya adalah melaksanakan penyiapan bahan perumusan, evaluasi dan pelaksanaan surveilan dan penanggulangan keamanan pangan. Subdit ini mengkoordinasikan tiga seksi, yaitu Seksi Surveilan Keamanan Pangan, Seksi Penanggulangan Keamanan Pangan, dan Seksi Tata Operasional. Seksi Surveilan Keamanan Pangan mempunyai tugas pokok menyiapkan bahan perumusan kebijakan teknis penyusunan rencana dan program, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, evaluasi dan penyusunan laporan, serta melakukan surveilan keamanan pangan. Seksi Penanggulangan Keamanan Pangan mempunyai tugas pokok menyiapkan bahan perumusan kebijakan teknis penyusunan rencana dan program penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, evaluasi dan penyusunan laporan, serta melakukan penanggulangan keamanan pangan. Seksi Tata Operasional memiliki tugas pokok melakukan urusan tata operasional di lingkungan Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan.

2.8.2 Fungsi

Fungsi Sub Direktorat dan Penanggulangan Keamanan Pangan adalah : 1. Penyusunan rencana dan program surveilan dan penanggulangan keamanan pangan. 2. Pelaksanaan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, penyusunan pedoman,

standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan surveilan keamanan pangan. 3. Evaluasi dan penyusunan laporan surveilan dan penanggulangan keamanan pangan. 4. Pelaksanaan urusan tata operasional di lingkungan direktorat.

(24)

III.

TINJAUAN PUSTAKA

3.1

Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Kabupaten Bogor terletak di Provinsi Jawa Barat. Kota ini terletak 54 km sebelah selatan Jakarta dengan luas sekitar 3,440.71 km2. Secara geografis Kabupaten Bogor terletak diantara 6.190 -6.470 LS dan 1060-1070 BT. Perbatasan wilayahnya adalah sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Depok, sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Lebak, sebelah barat daya berbatasan dengan Kabupaten Tangerang, sebelah timur Kabupaten Karawang, sebelah timur daya berbatasan dengan Kabupaten Bekasi, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Sukabumi, sebelah tenggara berbatasan dengan Kabupaten Cianjur. Kabupaten Bogor terdiri dari 40 kecamatan dan 139 pedesaan, dimana jumlah tersebut adalah hasil pemekaran 5 kecamatan di tahun 2005 (BPS, 2011). Kecamatan tersebut antara lain Kecamatan Leuwisadeng (pemekaran Kecamatan Leuwiliang), Kecamatan Tanjungsari (pemekaran Kecamatan Cariu), Kecamatan Cigombong (pemekaran Kecamatan Cijeruk), Kecamatan Tajurhalang (pemekaran Kecamatan Bojong Gede), dan Kecamatan Tenjolaya (pemekaran Kecamatan Ciampea).

Jumlah penduduk pada tahun 2011 adalah 4,966,621 jiwa yang terdiri dari 2,573,929 jiwa laki-laki dan 2,392,692 jiwa perempuan (BPS, 2012). Setiap tahun rata-rata penduduk Kabupaten Bogor bertambah 3.16 % atau meningkat hingga 140 ribu jiwa. Di Kabupaten Bogor terdapat 104 unit puskesmas. Peta wilayah Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Peta Kabupaten Bogor

Jumlah KLB keracunan pangan berdasarkan laporan Balai Besar/ BPOM RI yang terbesar (2001-2011) adalah Provinsi Jawa Barat yaitu sebesar 15.52 %. Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor mengenai kasus KLB keracunan pangan yang terjadi pada tahun 2007-2011 dapat dilihat bahwa terdapat 23 KLB keracunan pangan di tempat yang berbeda. Data tersebut dapat dilihat pada Tabel 1:

(25)

10

Tabel 1. Data jumlah penderita, kematian, CFR dan lokasi pada KLB keracunan pangan di Kabupaten Bogor tahun 2007-2011

Tahun Jumlah

Penderita

Jumlah

Kematian CFR (%) Lokasi

2007 114 0 0

- Desa Cisalada Kecamatan Cigombong (acara syukuran)

- Desa Kemuning Kecamatan Bojong gede (SDN Kedung Waringin IV)

- Desa Puraseda Kecamatan Leuwiliang (Mts. Al Fallahiyah)

2008 635 0 0

- PT. Lutfin Indonesia Desa Cijujung Kecamatan Sukaraja

- Desa Wirajaya Kecamatan Jasinga

- Desa Karang Asem Barat Kecamatan Citeurup

- Desa Sukaraja Kecamatan Sukaraja

- Desa Kotamekar Kecamatan Cariu

- Desa Tegal Kecamatan Kemang

- PT. Indo Karo Kecamatan Cibinong

- PT. Natra Raya Desa. Pasir Angin Kecamatan Cileungsi

2009 379 0 0

- Desa Ciomas Kecamatan Ciomas

- Kp. Cijulang Ds Kopo Kecamatan Cisarua

- Desa Bunar Kecamatan Cigudeg

- Desa Leuwiliang Kecamatan Citeureup

2010 379 0 0

- Desa Cinagara, Desa Pasir Buncir Kecamatan Caringin

- Desa Tanjung sari, Desa Cibadak Kecamatan Tanjung sari

- Desa Citayam Kecamatan Tajur Halang

- Desa Pabuaran Kecamatan Gunung Sindur

- Desa Tapos II Kecamatan Tenjolaya

- Desa Puraseda, Desa Purasari Kecamatan Leuwiliang

- Desa Cibatuga, Kecamatan Cariu SDN Kp Sawah II Kecamatan Rumpin

2011 207 0 0

- Desa Kutamekar, Cikutamahi dan Cibatu 3, Kecamatan Cariu

- Desa Pasil Laja Kecamatan Sukaraja Sumber: Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor (2011)

Keterangan:

CFR (case fatality rate) : Angka kematian kasus yang diperoleh dari hasil pembagian antara jumlah kematian dengan jumlah penderita.

(26)

11

3.2

Keamanan Pangan

Pangan mempunyai arti yang luas. Menurut UU RI No. 7 tahun 1996, pangan didefinisikan sebagai segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman. Sedangkan menurut Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 2004, keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia.

Ada 4 masalah utama keamanan pangan di Indonesia yang telah diidentifikasi oleh Fardiaz (2001), yaitu: (i) pangan yang tidak memenuhi persyaratan mutu dan keamanan pangan; (ii) kasus keracunan pangan yang sebagian besar belum dilaporkan atau dilaporkan namun tidak diketahui penyebabnya; (iii) masih rendahnya pengetahuan, keterampilan dan tanggung jawab produsen pangan; serta (iv) masih rendahnya kepedulian konsumen tentang mutu dan keamanan pangan.

Keamanan pangan (food safety) merupakan unsur penting ketahanan pangan (food security) yang tidak boleh diabaikan begitu saja dengan alasan apapun (Sulaeman dan Syarief, 2007). Dalam UU No 7 tahun 1996, disebutkan bahwa ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Dengan demikian keamanan pangan merupakan hak dan sekaligus kewajiban azasi manusia yang harus dilindungi dan dipenuhi oleh suatu pemerintahan (Sulaeman dan Syarief, 2007). Keamanan pangan bukan hanya melindungi kesehatan masyarakat dari bahaya kesehatan, tetapi juga mendorong tercapainya perekonomian yang lebih baik karena nilai ekonomis pangan aman yang dihasilkan. Pencapaian keamanan pangan bukan hal yang mudah yang secara instan dapat dicapai dalam waktu yang singkat, namun harus diupayakan secara terus menerus (Rahayu dan Nababan, 2011).

Ada beberapa masalah keamanan pangan yang dihadapi Indonesia saat ini antara lain adalah: 1. Pangan yang tidak memenuhi standar yang disyaratkan;

2. Kasus KLB keracunan pangan yang tidak terlaporkan dan tidak diketahui penyebabnya;

3. Terbatasnya pengetahuan, keterampilan dan tanggung jawab produsen pangan terutama dari skala kecil terhadap mutu dan keamanan pangan; dan

4. Rendahnya pengetahuan konsumen pangan dan keterbatasan akses untuk mendapatkan pangan yang bermutu tinggi dan aman (Rahayu dan Nababan, 2011).

Masalah keamanan pangan yang masih saja terjadi di Indonesia saat ini antara lain kasus keracunan, ditemukannya pangan tercemar oleh kontaminan mikrobiologi dan kontaminan kimia, penggunaan bahan tambahan ilegal, dan penggunaan tambahan pangan (BTP) melebihi batas yang diijinkan. Masalah keamanan pangan dapat terjadi disepanjang rantai pangan dan disebabkan karena ketidaktahuan produsen terutama produsen skala kecil terhadap bahaya keamanan pangan, ketidakpedulian produsen dan juga ketidaksadaran konsumen untuk memilih pangan yang aman, selain itu juga karena tindak lanjut pengawasan yang dilakukan instansi pemerintah belum memberikan efek jera (Rahayu, 2007).

(27)

12

3.3

Keracunan Pangan

Salah satu dampak dari pangan yang tidak aman adalah timbulnya penyakit akibat makanan yang dikenal dengan foodborne disease atau kadang disebut kasus keracunan pangan (Sulaeman dan Syarief, 2007). Penyakit akibat pangan (foodborne disease) oleh WHO didefinisikan sebagai penyakit-penyakit infeksi atau toksin yang disebabkan mengonsumsi pangan termasuk air yang telah terkontaminasi (Sharp dan Reilly, 2000). Secara global terjadi 1.8 milyar gangguan kesehatan karena makanan (foodborne disease), 3 juta di antaranya meninggal tiap tahun dengan jumlah yang cenderung meningkat (WHO, 2007).

Makanan yang sudah terlanjur tertelan sulit kembali lagi, artinya apabila makanan tersebut memiliki nilai gizi dan daya cerna yang tinggi maka proses pencernaan akan berlangsung normal, sebaliknya bila makanan tersebut sudah dicemari dan mengandung racun, maka akan terjadi gangguan pencernaan dan akibatnya bisa fatal (Winarno, 2004b). Bila ditinjau dari jenis bahayanya, maka pangan yang tercemar secara fisik, biologis, dan kimia dapat membahayakan kesehatan. Bila ditinjau dari prosesnya, keracunan dapat berasal dari bahan baku, proses penanganan, penyiapan, saat penyajiannya (Rahayu, 2011). Terjadinya keracunan pangan dari salah satu anggota keluarga di rumah akan menyebabkan keresahan dan kepanikan. Apalagi jika keracunan pangan tersebut terjadi pada sebagian besar atau seluruh anggota keluarga. Dari berbagai jenis kasus terjadinya keracunan, sebagian besar disebabkan karena ketidaktahuan terhadap penyebab awal bagaimana keracunan pangan itu dapat terjadi (Winarno, 2004a).

3.4

Kejadian Luar Biasa (KLB) Keracunan Pangan

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No. 949/MENKES/SK/VIII/2004 (Menkes, 2004), kejadian luar biasa atau dikenal dengan istilah outbreak adalah timbulnya atau meningkatnya kejadian kesakitan atau kematian yang bermakna secara epidemiologis pada suatu daerah dalam kurun waktu tertentu. Selain itu KLB sering diartikan sebagai suatu fenomena yang berbeda dari biasanya atau menyimpang dari keadaan normal. Contohnya, demam berdarah merupakan penyakit yang selalu muncul setiap tahun. Akan tetapi, pada Januari-Mei 2004 terjadi peningkatan frekuensi kejadian demam berdarah di beberapa wilayah di Indonesia yang menelan ratusan korban, baik sakit ataupun meninggal. Oleh karena itu, pemerintah menetapkan demam berdarah sebagai suatu KLB. Banyak jenis lain KLB yang dikenal seperti KLB diare, KLB malaria, KLB keracunan pangan, dan lain-lain.

KLB keracunan pangan yang disebabkan oleh mikroba patogen yang mengakibatkan gangguan kesehatan yang akut, yang disebut gastroenteritis, biasanya karena mengonsumsi pangan yang terkontaminasi bakteri patogen atau racun yang diproduksinya (Winarno, 2007). Ada beberapa kriteria kerja KLB yaitu timbulnya suatu penyakit menular yang sebelumnya tidak ada atau tidak dikenal, peningkatan kejadian penyakit atau kematian terus menerus selama 3 kurun waktu berturut-turut menurut jenis penyakitnya (jam, hari, minggu), peningkatan kejadian penyakit atau kematian 2 kali atau lebih dibanding dengan periode sebelumnya (jam, hari, minggu, bulan, tahun), jumlah penderita baru dalam satu bulan menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih bila dibandingkan dengan angka rata-rata perbulan dalam tahun sebelumnya, angka rata-rata perbulan selama satu tahun menunjukkan kenaikan dua kali lipat atau lebih dibanding dengan angka rata-rata perbulan dari tahun sebelumnya (Sutarman, 2008).

Menurut WHO (2007) diacu dalam Peraturan Kepala BPOM (2009), KLB keracunan pangan adalah suatu kejadian dimana terdapat dua orang atau lebih yang menderita sakit dengan gejala-gejala

(28)

13

yang sama atau hampir sama setelah mengonsumsi sesuatu dan berdasarkan analisis epidemiologi, makanan tersebut terbukti sebagai sumber keracunan.

Berdasarkan data BPOM (2012) menunjukkan bahwa jumlah KLB keracunan pangan yang terlaporkan pada tahun 2001-2011 sebanyak 1392 kejadian di 30 provinsi. Jumlah korban yang meninggal dunia adalah 407 orang. KLB keracunan pangan terbanyak di provinsi Jawa Barat yaitu sebanyak 216 kejadian (15.52 %). Data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Jumlah KLB keracunan pangan yang terlaporkan berdasarkan laporan Balai Besar/Balai POM Tahun 2001 – 2011 Balai total % Banda Aceh 45 3.23 Pekanbaru 31 2.23 Jambi 57 4.09 Palembang 27 1.94 Medan 17 1.22 Padang 73 5.24 Lampung 40 2.87 Bengkulu 39 2.80 Jakarta 55 3.95 Bandung 216 15.52 Semarang 143 10.27 Yogyakarta 101 7.26 Surabaya 64 4.60 Denpasar 83 5.96 Kendari 35 2.51 Makasar 80 5.75 Manado 20 1.44 Palu 7 0.50 Pontianak 37 2.66 Palangkaraya 30 2.16 Samarinda 31 2.23 Kupang 42 3.02 Mataram 48 3.45 Banjarmasin 28 2.01 Ambon 19 1.36 Jayapura 12 0.86 Gorontalo 3 0.22 Banten 5 0.36 Batam 3 0.22 Pangkal Pinang 1 0.07 Total 1392 100.00 Sumber: BPOM (2012)

Selain itu, jika ditinjau dari sumber pangannya, terlihat bahwa yang menyebabkan keracunan pangan paling besar berasal dari masakan rumah tangga sebesar 44.54 % (Tabel 3). Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat terhadap kebersihan dan higiene pengolahan pangan dalam rumah tangga masih cukup rendah.

(29)

14

Tabel 3. Pangan penyebab KLB keracunan pangan terlaporkan tahun 2001 – 2011

Jenis Pangan Total %

Masakan rumah tangga 620 44.54

Pangan Olahan 221 15.88

Pangan Jasa Boga 301 21.62

Pangan Jajanan 202 14.51

Lain-lain 23 1.65

Tidak dilaporkan 25 1.80

Total 1392 100.00

Sumber: BPOM (2012)

Ada beberapa agen penyebab KLB keracunan pangan berdasarkan laporan BPOM (2012), yaitu mikroba, kimia, dan tidak diketahui. Sebesar 57.60 % penyebab KLB tidak diketahui (Tabel 4).

Tabel 4. Agen penyebab KLB keracunan pangan terlaporkan tahun 2001 – 2011

Penyebab Total % Mikroba 275 19.76 Kimia 176 12.64 Tidak diketahui 941 67.60 Total 1392 100.00 Sumber: BPOM (2012)

Berdasarkan jenis penyebabnya, KLB keracunan pangan dapat dibagi menjadi 2, yaitu keracunan pangan karena infeksi dan intoksikasi. Keracunan pangan karena infeksi disebabkan karena masuknya kuman penyakit (mikroorganisme patogen) ke dalam tubuh bersama pangan, sehingga menimbulkan reaksi tubuh terhadap kuman tersebut (Imari, 2002) Contohnya: V. parahaemolyticus, Salmonella, E. coli pathogen dan C. perfringen tergolong dalam jenis infeksi (Winarno, 2007). Keracunan pangan intoksikasi disebabkan karena memakan bahan beracun yang terdapat pada jaringan tumbuh-tumbuhan atau hewan, yang diproduksi oleh kuman (virus, bakteri, parasit) atau terpapar racun lain yang sengaja atau tidak sengaja terdapat dalam pangan atau sumber pencemar lain (Imari, 2002). Contohnya: keracunan pangan oleh Staphylococcus dan C.botulinum (Winarno, 2007). Lebih lanjut, untuk menghindari keracunan makanan akibat pencemaran mikroorganisme, kita diharapkan mengonsumi makanan yang telah dimasak atau diolah secara sempurna. Pemasakan secara sempurna mampu mengatasi terjadinya kontaminasi bakteri ataupun toksin di atas (Yuliarti, 2007).

Menurut Jenie dan Rahayu (2002), faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya peningkatan pelaporan kejadian keracunan pangan di dunia diduga disebabkan oleh kombinasi faktor berikut : 1. Perubahan dalam praktik pertanian, seperti pertanian intensif, dimana praktek pembudidayaan dan

peternakan menyebabkan penyebaran yang cepat patogen manusia dan hewan melalui ternak dan unggas di berbagai negara. Contoh-contoh penyebaran tersebut adalah Salmonella enteritidis PT4 dalam unggas dan S. typhimurium DT 104 dalam sapi.

2. Integrasi vertikal proses produksi hewan dan praktek terkait, misalnya daur ulang produk limbah rumah potong hewan kembali ke dalam rantai pangan hewan, melalui pakan ternak, yang mengakibatkan menumpuknya agen-agen seperti salmonella dalam unggas dan prion penyebab BSE (bovine spongiform encephalopathy) dalam ternak sapi.

3. Perubahan gaya hidup, seperti lebih banyaknya orang yang melakukan perjalanan ke negara-negara dimana standar higiene-nya lebih rendah dari negara asalnya, sehingga terpapar dengan mikroba dimana mereka tidak mempunyai kekebalan (imunitas) terhadap mikroba tersebut.

(30)

15

4. Perubahan demografi, yang menyebabkan meningkatnya kepekaan terhadap infeksi pada kelompok populasi seperti bayi dan anak-anak, orang tua, orang sakit, dan orang dengan kekebalan terbatas (immunocompromised).

5. Malnutrisi di negara dunia ketiga, menyebabkan meningkatnya kepekaan terhadap penyakit. Situasi ini diperburuk dengan banyaknya orang yang mengungsi ke daerah lain dan terpapar dengan kondisi ekstrim, yang mempercepat penyebaran penyakit asal pangan dan air seperti kolera dan disentri.

6. Globalisasi suplai pangan dunia, yang memperpanjang rantai suplai (lebih banyak orang dan prosedur penanganan pangan yang terlibat dalam peningkatan risiko potensial). Peningkatan perdagangan dunia dalam bidang pangan dan bahan baku pangan merupakan salah satu hal yang perlu mendapat perhatian pula. Contoh produk mentah yang menimbulkan penyakit adalah selada yang dieksport dari Spanyol ke Norwegia, Swedia dan Inggris menyebabkan disentri basiler.

Faktor-faktor lain yang dinyatakan sebagai penyebab meningkatnya insiden penyakit asal pangan termasuk pemanasan global (global warming), berkurangnya penggunaan aditif, seperti nitrit, pada makanan yang diawetkan, serta meningkatnya pemasaran pangan yang sedikit diawetkan, pengolahan kurang, seperti daging masak dingin yang dikemas dengan atmosfir termodifikasi serta pangan yang sedikit dipanaskan dan dikemas dengan proses “sous vide cuisine”.

3.5

KLB Keracunan Pangan di Indonesia

Menurut Sparringa dan Rahayu (2011a), kuantitas laporan KLB keracunan pangan di Indonesia masih tergolong rendah, dan umumnya tidak menyertakan penyebabnya, sehingga besaran masalah KLB keracunan pangan tidak dapat diketahui secara pasti. Selain itu, dampak masalah kesehatan dan ekonomi biasanya cenderung terabaikan, ditambah lagi koordinasi antar lembaga yang masih lemah serta belum jelasnya mekanisme penyidikan dan penanggulangan KLB keracunan pangan ikut memperparah kondisi ini. Umumnya, penyebab tidak ditemukannya agen penyebab KLB keracunan pangan dapat dikarenakan oleh tidak adanya sampel, atau keterbatasan akses ke laboratorium rujukan. Oleh karena itu, perlu ditinjau atau diteliti bagaimana penanganan sampel penyebab KLB keracunan pangan di puskesmas sebagai Unit Pelayanan Terpadu kesehatan yang dekat dengan masyarakat (Sparringa dan Rahayu, 2011b).

Pada dasarnya, program penanggulangan KLB keracunan pangan dapat dijabarkan menjadi tiga bagian, yaitu melalui kegiatan kajian risiko, manajemen risiko, dan komunikasi risiko. Kegiatan kajian risiko yang perlu dilakukan antara lain meningkatkan kegiatan surveilan KLB keracunan pangan dan mengkaji penyebabnya di laboratorium. Kegiatan manajemen risiko dilakukan dengan cara melakukan pengembangan mekanisme dan SOP KLB keracunan pangan, pilot project KLB keracunan pangan, pelatihan SDM penanggulangan KLB keracunan pangan, pengembangan Jejaring Intelijen Pangan (JIP), dan membentuk pusat kewaspadaan dan penanggulangan KLB keracunan pangan. Sedangkan dalam komunikasi risiko yang perlu dilakukan adalah kegiatan informasi pencegahan KLB keracunan pangan yang lebih intensif (Sparringa dan Rahayu, 2011a).

Peningkatan kegiatan surveilan KLB keracunan pangan dan pengkajian penyebab dapat dilakukan dengan pengumpulan data KLB keracunan pangan secara proaktif, penggunaan informasi epidemiologi untuk pengolahan data KLB keracunan pangan, pengkajian laporan yang masuk dan memberi umpan balik, melakukan penguatan kapasitas laboratorium dan secara berkala menginformasikan data-data tersebut. Selama ini, data KLB keracunan pangan telah diinformasikan kepada publik melalui laporan tahunan BPOM RI (Sparringa dan Rahayu, 2011a).

(31)

16

Upaya pengembangan mekanisme dan SOP KLB keracunan pangan yang terdiri dari penyempurnaan draf mekanisme dan SOP, pembuatan surat keputusan untuk pelaksanaannya, desain kontainer untuk sampling KLB keracunan pangan, dan penyiapan modul sampling, semuanya telah dilakukan. Petugas Balai Besar POM dan Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota pun telah dilatih agar mempunyai kompetensi yang memadai dalam melakukan penelusuran KLB keracunan pangan (Sparringa dan Rahayu, 2011a).

3.6

Permasalahan Dalam Penanganan KLB Keracunan Pangan

Menurut Sparringa dan Rahayu (2011b), ada beberapa kendala yang ditemui dalam penanganan KLB keracunan pangan, antara lain adalah sebagai berikut:

1. Sampel yang diduga sebagai penyebab keracunan sering terlambat atau tidak dapat diperoleh, sehingga tidak dapat dilakukan analisis penyebab keracunan.

2. Koordinasi dan kerjasama dengan lembaga terkait setempat belum optimal, terutama dengan dihapusnya lembaga Kanwil sebagai penanggung jawab Tim Penanggulangan Keracunan Pangan di provinsi.

3. Terbatasnya kemampuan karyawan dalam bidang epidemiologi dan laboratorium khususnya mikrobiologi.

4. Akses yang terbatas terhadap laboratorium rujukan yang memadai dalam identifikasi patogen atau bahan berbahaya penyebab keracunan pangan.

5. Seringkali instansi mendapat sampel dari pihak lain yang umumnya tidak mengetahui syarat metode sampling yang benar.

6. Dana untuk investigasi kurang memadai.

7. Prosedur pelaporan maupun penanganan keracunan pangan yang belum dipahami sepenuhnya oleh petugas lapangan.

8. Ketidakjelasan mekanisme dan kewenangan dalam investigasi dan penanggulangannya.

Masalah utama di atas sebenarnya disebabkan oleh belum mantapnya manajemen investigasi KLB keracunan pangan di Indonesia, tidak adanya pedoman investigasi beserta standard operating procedure (SOP) atau prosedur tetap (protap) yang bisa dirujuk oleh lembaga terkait, khususnya pemerintah daerah sebagai penanggung jawab utama investigasi KLB keracunan pangan.

3.7

Penyelidikan dan Penanggulangan KLB Keracunan Pangan

Pemerintah telah berupaya untuk menangani KLB keracunan pangan, diantaranya dengan mengeluarkan Surat Edaran Menteri Kesehatan RI Nomor: HK.00.SJ.SE.D.0147 pada tanggal 29 Januari 1999 tentang “Prosedur Tetap Penanggulangan Terpadu KLB Keracunan Makanan”. Surat edaran ini berisi penjelasan singkat tentang langkah-langkah yang harus dilakukan oleh para petugas terkait (puskesmas, dinas kesehatan, kantor wilayah, bupati, dan lai-lain) dalam menangani KLB keracunan pangan. Selain itu, terdapat skema atau diagram yang menjelaskan mekanisme penanganan KLB keracunan pangan sesuai hierarki kelembagaan atau instansi. Surat edaran ini tidak merinci hal-hal teknis atau prosedur yang seharusnya ada dalam sebuah prosedur tetap. Selain itu, surat edaran tersebut tidak menjelaskan prosedur pelaksanaan penanganan KLB keracunan pangan, sehingga masih menimbulkan banyak pertanyaan bagi para petugas terkait, seperti puskesmas, dinas kesehatan, dan lain-lain. Akan tetapi, pada tahun 2009, BPOM RI telah mengeluarkan Peraturan Kepala BPOM RI RI Nomor: HK.00.06.1.54.2797 tentang “Tata Cara Pengambilan Contoh Makanan, Pengujian

(32)

17

Laboratorium Dan Pelaporan Penyebab Kejadian Luar Biasa Keracunan Makanan” dan di dalam peraturan tersebut dijelaskan prosedur tetapnya.

Penyelidikan KLB keracunan pangan merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan secara sistematis terhadap KLB keracunan pangan berdasarkan cara-cara epidemiologi untuk mengetahui penyebab, sumber, dan cara keracunan serta distribusi KLB menurut variabel epidemiologi (tempat, orang, dan waktu) (Imari, 2002). Manajemen penyelidikan dan penanggulangan KLB keracunan pangan terdiri dari dua kegiatan pokok, yaitu penyelidikan dan penanggulangan. Kedua hal tersebut merupakan suatu rangkaian yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Pelaporan KLB keracunan pangan harus tuntas, menyeluruh dan lengkap. Tanpa informasi yang benar dan lengkap, maka kecenderungan faktor-faktor penyebab atau faktor yang berkontribusi terhadap KLB keracunan pangan tersebut akan sangat sulit untuk dideteksi (Sharp dan Reilly, 2000).

Menurut Sparringa dan Rahayu (2011a), secara umum, penyelidikan KLB keracunan pangan bertujuan untuk memberikan dukungan upaya penanggulangan KLB keracunan serta mendapat informasi epidemiologi dari suatu kejadian KLB keracunan pangan. Sedangkan secara khusus, kegiatan ini memiliki beberapa tujuan yaitu:

1. Mengidentifikasi kasus dan menanggulangi korban. 2. Mengidentifikasi pangan berisiko tinggi.

3. Mengidentifikasi faktor risiko terjadinya KLB. 4. Menarik produk pangan yang telah terkontaminasi. 5. Menghentikan penyebarluasan penyakit.

6. Membuat rekomendasi agar terhindar dari KLB serupa dimasa yang akan datang.

Tahapan penyelidikan penanggulangan KLB keracunan pangan dapat dilakukan dengan sembilan langkah yaitu:

1. Mengidentifikasi terjadinya KLB keracunan pangan. 2. Menetapkan formulasi hipotesis awal.

3. Merencanakan investigasi.

4. Melaksanakan investigasi dan konfirmasi hipotesis. 5. Menganalisis dan menginterpretasi data.

6. Menentukan faktor-faktor yang berkontribusi.

7. Mengidentifikasi dan melaksanakan penanggulangan serta pencegahan keracunan. 8. Menghitung dampak ekonomi.

9. Membuat laporan.

Uji laboratorium dalam penanggulangan KLB merupakan hal penting yang perlu mendapat perhatian. Laboratorium harus mendapatkan informasi epidemiologi sebelum melakukan analisis pangan. Beberapa patogen yang mempunyai dosis infeksi tinggi harus diuji secara kuantitatif. Misalnya, untuk S. Aureus positif yang memiliki konsentrasi ≥ 105per gram pangan, maka perlu dilakukan uji enterotoksin. Begitu juga jika B. cereus positif dan memiliki konsentrasi ≥ 106 per gram pangan disertai gejala pertama mual/ muntah maka perlu dilakukan pengujian toksinnya. Konfirmasi hasil laboratorium harus memperhatikan beberapa kriteria seperti pangan penyebab dan gejala agar hasil yang diperoleh valid dengan input biaya yang tidak besar (Sparringa dan Rahayu, 2011a).

Salah satu ilmu yang dapat digunakan dalam penyelidikan untuk mengumpulkan informasi yang tuntas mengenai KLB keracunan pangan adalah epidemiologi study yang meliputi pengamatan atau kajian observasi yang dapat dilakukan dengan kajian deskriptif dan kajian analisis. Dalam kajian deskriptif, faktor yang diamati adalah waktu, tempat, dan korban kasus kejadian. Sedangkan untuk kajian analisis dilakukan berdasarkan cohort atau case-control studies (Sparringa dan Rahayu, 2011a).

(33)

18

Menurut Arnold dan Munce (2000) diacu dalam Krisnovitha (2004), epidemiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang penyebaran kejadian penyakit pada populasi penduduk dan faktor-faktor yang berpengaruh atau berhubungan dengan penyebaran penyakit tersebut. Analisis epidemiologi didasarkan pada tiga variabel, yaitu tempat, waktu, dan orang (jenis kelamin, umur, dll.). Tujuan utama analisis epidemiologi adalah untuk mengetahui agen penyebab keracunan. Semula epidemiologi berasal dari berbagai pengalaman yang berhubungan dengan kejadian wabah penyakit yang besar, tetapi kemudian diterapkan juga pada berbagai penyakit dan masalah kesehatan lainnya, termasuk keracunan pangan (Imari, 2002).

Kegiatan yang berfungsi mengumpulkan informasi yang lengkap dalam penyelidikan KLB keracunan pangan adalah surveilan. Surveilan merupakan kegiatan pengumpulan, pengolahan, analisis, dan interpretasi data secara sistematik dan terus menerus serta penyebaran informasi tersebut kepada pihak-pihak terkait yang membutuhkan untuk kemudian ditindaklanjuti (Sparringa, 2002). Kegiatan yang dilakukan bersifat komprehensif, sehingga diharapkan dapat menyediakan segala informasi yang diperlukan dalam menghadapi suatu masalah keamanan pangan (Rahayu, 2011). Tujuan surveilan keamanan pangan secara umum adalah mendeteksi masalah keamanan pangan, termasuk KLB, faktor-faktor risiko keracunan pangan, dan memantau kecenderungan masalah pangan, agar dapat mengambil suatu tindakan atau mengevaluasi tindakan yang telah dilakukan (Sparringa, 2002).

Secara lebih spesifik, tujuan surveilan KLB keracunan pangan, yaitu: (1) menentukan besarnya masalah kesehatan masyarakat yang disebabkan oleh KLB keracunan pangan, (2) memantau kecenderungannya, (3) mengidentifikasi KLB sedini mungkin agar dapat menetapkan tindakan tepat pada waktunya, (4) menentukan sejauh mana makanan berperan sebagai pembawa patogen tertentu, (5) mengidentifikasi makanan berisiko, populasi yang rentan, (6) mengkaji efektivitas program peningkatan keamanan pangan yang ada, dan (7) memberikan informasi untuk menyusun formulasi kebijakan kesehatan tentang keracunan pangan (BPOM, 2001).

Kegiatan surveilan harus dilakukan terus menerus dan berkesinambungan dengan tujuan untuk mengetahui tren, tindak lanjut kebijakan, dan evaluasi kebijakan sehingga dengan demikian dapat dilakukan tindakan pencegahan maupun penanggulangan KLB yang tepat. Sumber informasi penting dalam surveilan keamanan pangan berasal dari surveilan KLB keracunan pangan dan surveilan pada rantai pangan (Rahayu dan Sparringa, 2011).

Hasil kegiatan surveilan dituliskan dalam sebuah laporan yang merupakan data KLB keracunan pangan. Data ini kemudian digunakan sebagai dasar dalam membuat dan menetapkan suatu kebijakan tentang keamanan pangan. Data ilmiah tersebut sangat tergantung pada keberhasilan menghimpun informasi dari hasil surveilan KLB keracunan pangan. Menurut Arnold dan Munce (2000) diacu dalam Krisnovitha (2004), keberhasilan surveilan KLB keracunan pangan sangat ditentukan oleh 3 hal, yaitu: ketepatan waktu, kesiapan sumberdaya, dan koordinasi antara semua pihak yang terlibat.

3.8

Kendala-Kendala dalam Penyelidikan KLB Keracunan Pangan

Manajemen penyelidikan dan penanggulangan KLB keracunan pangan masih kurang baik, sehingga menimbulkan akibat menjadi beberapa kendala, diantaranya yaitu sebagai berikut: (1) lemahnya koordinasi antara lembaga atau pihak terkait, (2) kesalahan penanganan sampel, (3) ketidakjelasan mekanisme penyelidikan dan penanggulangan KLB keracunan pangan, (4) keterbatasan sumberdaya manusia, (5) keterbatasan laboratorium dalam analisis, dan (6) keterbatasan akses ke laboratorium rujukan (Sparringa, 2002).

Gambar

Gambar 1. Peta Kabupaten Bogor
Tabel 2. Jumlah  KLB  keracunan  pangan  yang  terlaporkan  berdasarkan  laporan  Balai  Besar/Balai  POM Tahun 2001 – 2011   Balai  total  %  Banda Aceh  45  3.23  Pekanbaru  31  2.23  Jambi  57  4.09  Palembang  27  1.94  Medan  17  1.22  Padang  73  5.2
Tabel 4. Agen penyebab KLB keracunan pangan terlaporkan tahun 2001 – 2011
Tabel 8. Hasil puskesmas yang memiliki Tim Penyelidik dan Penanggulangan KLB  keracunan pangan
+7

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Uuden rippikoulusuunnitelman (RKS 2017) mukai- sesta musiikkikasvatuksesta ei ole vielä tehty tutkimusta, joten tällä tutkimuksella avataan ensi kertaa myös tutkimuksellinen

 Guru mengkondisikan siswa berkemampuan tinggi untuk menerima bahan materi atau percobaan yang akan dilakukan secara kelompok Siti Mardiah , 2013 UPAYA MENINGKATKAN HASIL BELAJAR

Setelah divalidasi, produk yang dikembangkan akan diuji coba lapangan kecil menggunakan 12 peserta didik yang mengikuti kegiatan ekstrakurikuler dan seorang pembina

“Secara akademik kami akan menerjunkan tim kami, kami juga punya pakar lingkungan, kesehatan masyarakat, sosial politik, kesemuanya saya berharap bisa melakukan kajian ini

Para guru memiliki peran dan andil besar akan hasil dari proses pendidikan yang diselenggarakan oleh pesantren, oleh sebab itu setiap individu guru harus

4 Endang Rasjimun, 2011, Teaching Speaking of Spoof Using Comics to the Eleventh Year Students at SMA PGRI 3 Tuban in the Academic Year 2010 – 2011. 5 Fika Megawati, &

This study aims to find out how the expectations of each ethnic group in maintaining the issue of inter-ethnic life harmony in the Province of West Kalimantan, especially in

Nilai-nilai pendidikan Islam yang terkandung dalam upacara Peusijuek di Kecamatan Labuhan Haji Timur, Kabupaten Aceh Selatan dapat terlihat dengan adanya unsur