• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROFIL SENYAWA PENCIRI DAN BIOAKTIVITAS TANAMAN TEMULAWAK PADA AGROBIOFISIK BERBEDA WARAS NURCHOLIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PROFIL SENYAWA PENCIRI DAN BIOAKTIVITAS TANAMAN TEMULAWAK PADA AGROBIOFISIK BERBEDA WARAS NURCHOLIS"

Copied!
55
0
0

Teks penuh

(1)

BERBEDA

WARAS NURCHOLIS

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Profil Senyawa Penciri dan Bioaktivitas Tanaman Temulawak pada Agrobiofisik Berbeda adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhit tesis ini.

Bogor, Agustus 2008

Waras Nurcholis NIM G851060031

(3)

WARAS NURCHOLIS. Profile of Marker Compound and Bioactivity of Temulawak on Different Agrobiofisic. Under direction of EDY DJAUHARI PURWAKUSUMA and MONO RAHARDJO.

Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb) which belong to Zingiberaceae, empirically used as herbal medicines. The research was aimed to determine promising line A, B, and C of temulawak from Balittro based on high bioactive content (xanthorrhizol and curcuminoid) and its in vitro bioactivity (anti oxidant and toxicity), and to establish agrobiophysic environmental condition which produced high active compound. The xanthorrhizol and curcuminoid content were measured by HPLC. Anti oxidant and toxicity were determined in vitro by DPPH (1,1-diphenyl-2-picryl-hydrazyl) method and BSLT (Brine Shrimp Lethality Test) method. The result show that promising line A produced highest bioactive and bioactivity yield with productivity of xanthorrhizol and curcuminoid were 0,1568 g/ plant and 0,0564 g/ plant, respectively. Its IC50 of antioxidant activity was

65,09 ppm and LC50 of toxicity was 69,05 ppm. According to agrobiophysic

parameter of Cipenjo, temulawak was suitable in environment which have temperatur 28-34 ºC, rainfall about 223,97 mm/ year and sandy clay soil.

(4)

RINGKASAN

WARAS NURCHOLIS. Profil Senyawa Penciri dan Bioaktivitas Tanaman Temulawak pada Agrobiofisik Berbeda. Dibimbing oleh EDY DJAUHARI PURWAKUSUMA dan MONO RAHARDJO.

Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) merupakan salah satu jenis tumbuhan dari keluarga Zingiberaceae yang secara empirik banyak digunakan sebagai obat, baik dalam bentuk tunggal maupun campuran, yaitu sebagai hepatoproteksi, anti-inflamasi, antikanker, antidiabetes, antimikroba, antihiperlipidemia, dan pencegah kolera. Khasiat lainnya yang dimiliki oleh komponen kimia dalam temulawak adalah antibakteri, antijamur, antioksidan, dan antilipidemia. Sebagai bahan baku obat, temulawak selain produksi rimpang tinggi juga harus bermutu tinggi. BPOM menegaskan bahwa obat herbal harus memenuhi persyaratan yang meliputi mutu, keamanan, dan khasiat. Mutu temulawak dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain penanganan budidaya hingga proses pascapanen. Budidaya yang standar harus mengacu kepada SOP mulai dari pemilihan varietas (aksesi), lokasi, jenis dan kesuburan tanah, serta kondisi iklim (curah hujan, suhu udara, kelembaban, dan intensitas sinar matahari). Senyawa metabolit sekunder yang mengandung bahan aktif berkhasiat obat utama di dalam temulawak adalah xantorizhol dan kurkuminoid. Mutu bahan baku obat di dalam temulawak diprioritaskan terhadap tingginya kadar xantorizhol dan kurkuminoid, yang salah satunya ditentukan oleh faktor genetik dan lingkungan tumbuh tanaman temulawak. Keamanan (toksisitas) dan khasiat (efikasi) dari tanaman temulawak merupakan aktivitas biologi (bioaktivitas) dari bioaktif yang terkandung dalam tanaman temulawak.

Oleh karena itu perlu diketahui nomor harapan tanaman temulawak yang unggul dan lingkungan tumbuh yang sesuai, sehingga diperoleh produksi dan mutu rimpang yang tinggi (bioaktif dan bioaktivitas tinggi). Pada penelitian ini dilakukan uji multilokasi 3 nomor harapan temulawak A, B, dan C di Cipenjo (Cileungsi) dan Ganjar Resik (Sumedang), yang mewakili sentra pengembangan budidaya temulawak di Jawa Barat serta Kragilan (Boyolali) yang mewakili sentra pengembangan budidaya temulawak di Jawa Tengah.

Penelitian bertujuan untuk memilih diantara nomor harapan temulawak A, B, dan C dari Balittro yang terbaik berdasarkan kandungan bioaktif (xanthorrhizol dan kurkuminoid) dan bioaktivitas (antioksidan dan toksisitas) yang tinggi, dan menentukan kondisi lingkungan agrobiofisik yang menghasilkan tingkat bahan aktif tinggi. Dari penelitian ini diharapkan dapat diperoleh nomor harapan temulawak terseleksi dan kondisi lingkungan agrobiofisik yang sesuai berdasarkan kualitas bahan aktif dan potensi bioaktivitasnya.

Kandungan bioaktif xantorhizol dan kurkuminoid diukur dengan menggunakan KCKT. Antioksidan dan toksisitas ditentukan dengan menggunakan metode DPPH (1,1-diphenyl-2-picryl-hydrazyl) dan metode BSLT (Brine Shrimp Lethality Test).

Data agronomi yang diambil pada penelitian ini adalah bobot basah dan jumlah rimpang induk per tanaman temulawak yang dipanen pada 9 bulan setelah tanam. Bobot basah rimpang tertinggi adalah 1247,95 g/tanaman dihasilkan dari nomor harapan temulawak A yang ditanam di Ganjar Resik. Jumlah rimpang

(5)

harapan temulawak B yaitu 16,03% di Ganjar Resik, 13,21% di Kragilan, dan 14,94% di Cipenjo. Nomor harapan temulawak A menghasilkan rendemen tertinggi dari lokasi Cipenjo, yaitu 13,21%. Rendemen sebesar 13,37% merupakan rendemen tertinggi yang dihasilkan oleh nomor harapan temulawak C dari lokasi Ganjar Resik.

Ketiga nomor harapan temulawak memiliki kecenderungan yang berbeda dalam menghasilkan bioaktif xantorhizol dan kurkuminoid. Lokasi penanaman mempunyai pengaruh berbeda terhadap produksi bioaktif temulawak. Produktivitas xantorhizol dan kurkuminoid tertinggi dihasilkan oleh nomor harapan temulawak A di lokasi Cipenjo, yaitu 0,1568 gram xantorhizol dan 0,0564 gram kurkuminoid per tanaman temulawak.

Nilai IC50 rendah menunjukkan aktivitas antioksidan yang tinggi. Terlihat bahwa nomor harapan A memiliki aktivitas antioksidan yang tinggi di ketiga lokasi penelitian, yang tertinggi adalah nomor harapan A yang ditanam di Cipenjo dengan IC50 sebesar 65,09 ppm. Nomor harapan B yang ditanam di Cipenjo menghasilkan aktivitas antioksidan yang rendah dengan IC50 sebesar 242,67 ppm.

Nilai LC50 rendah menunjukkan toksisitas yang tinggi. Nomor harapan A baik yang ditanam di Ganjar Resik, Kragilan, dan Cipenjo memberikan nilai toksisitas yang tinggi, dengan nilai LC50 berturut-turut adalah 63,60 ppm, 77,81 ppm, dan 69.05 ppm. Jadi temulawak nomor harapan A ini memiliki hasil yang konsisten diketiga lokasi penelitian. Namun nilai toksisitas tertinggi dimiliki oleh nomor harapan C yang ditanam di Ganjar Resik, dengan LC50 sebesar 51.30 ppm. Berdasarkan kandungan bioaktif (xantorhizol dan kurkuminoid) dan bioaktivitas (antioksidan dan toksisitas) nomor harapan temulawak terbaik adalah nomor harapan temulawak A. Lokasi Cipenjo (Cileungsi) dengan kondisi temperatur 28-34 ºC, curah hujan 223,97 mm/tahun, dan tanah liat berpasir merupakan lokasi yang paling sesuai untuk budidaya temulawak dibandingkan Kragilan (Boyolali) dan Ganjar Resik (Sumedang).

Perlu dilakukan penelitian pada tingkat genetik untuk mengetahui pengaturan ekspresi gen terkait dengan produktivitas xantorhizol dan kurkuminoid pada ketiga nomor harapan temulawak. Perlu dilakukan penelitian mengenai faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi mekanisme biokimiawi pada temulawak untuk meningkatkan produksi bioaktif xantorhizol dan kurkuminoid.

(6)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2008

Hak cipta dilindungi undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencamtumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan, atau makalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

2. dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

(7)

BERBEDA

WARAS NURCHOLIS

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Departemen Biokimia

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008

(8)

Judul Tesis : Profil Senyawa Penciri dan Bioaktivitas Tanaman Temulawak pada Agrobiofisik Berbeda

Nama : Waras Nurcholis

NIM : G851060031

Disetujui Komisi Pembimbing

Diketahui

Tanggal Ujian: 22 Agustus 2008 Tanggal Lulus: Drs. Edy Djauhari PK, MSi

Ketua

Drs. Mono Rahardjo, MS Anggota

Ketua Program Studi Biokimia

Prof. Dr. drh. Maria Bintang, MS.

Dekan Sekolah Pascasarjana

(9)
(10)

PRAKATA

Sujud syukur penulis haturkan kepada Yang Maha Kuasa Allah swt, hanya karena kuasa-Nya makalah hasil penelitian yang berjudul “Profil Senyawa Penciri dan Bioaktivitas Tanaman Temulawak pada Agrobiofisik Berbeda”

dapat terselesaikan. Makalah hasil penelitian ini disusun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Magister Sains.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada segala pihak yang telah membantu selama proses penyusunan makalah hasil penelitian ini, khususnya kepada: 1) Bapak Drs. Edy Djauhari PK, MSi dan Drs. Mono Rahardjo, MS selaku pembimbing yang banyak memberi masukan selama penyusunan makalah hasil penelitian ini. 2) Ibu Prof. Dr. drh. Maria Bintang, MS, selaku Ketua Program Studi Pascasarjana Biokimia IPB yang telah memberi masukan untuk perbaikan makalah hasil penelitian ini. 3) Ibu Prof. Dr.Latifah K Darusman, MS, selaku Kepala Pusat Studi Biofarmaka yang telah memberi kesempatan meneliti mengenai topik ini dan terimakasih juga atas semangat dan doanya. 4) Orang tua serta adikku yang banyak memberi semangat untuk terus melangkah ke depan. 5) Para staf PSB-IPB yang telah banyak memberi semangat dan bantuan dalam penelitian ini.

Penulis menyadari bahwa makalah hasil penelitian ini jauh dari kesempurnaan, oleh sebab itu penulis mengharapkan adanya kritik dan juga saran yang membangun untuk perbaikkan di masa yang akan datang. Semoga makalah hasil penelitian ini bermanfaat bagi kita semua.

Bogor, Agustus 2008

Waras Nurcholis

(11)

Penulis dilahirkan di Kediri pada tanggal 02 Januari 1980 dari ayah Sekar dan ibu Sumilah. Penulis merupakan putra pertama dari dua bersaudara.

Tahun 2001 penulis lulus dari SMU Negeri 1 Pelepat dan pada tahun yang sama penulis menempuh pendidikan sarjana di Program Studi Biokimia pada Institut Pertanian Bogor, lulus pada tahun 2006. Kesempatan untuk melanjutkan pendidikan pascasarjana ditempuh di Program Studi Biokimia pada Program Pascasarjana IPB pada tahun yang sama.

Selama mengikuti perkuliahan penulis juga bekerja di Pusat Studi Biofarmaka LPPM-IPB.

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN... xii

PENDAHULUAN ... 1

TINJAUAN PUSTAKA Temulawak ... 3

Komposisi Kimia Temulawak ... 5

Xanthorrhizol... 8

Kurkuminoid... 10

Antioksidan... 12

Uji Toksisitas Larva Udang ... 14

METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian... 16

Bahan dan Alat ... 16

Metode ... 16

HASIL DAN PEMBAHASAN Parameter Agronomi 3 Nomor Harapan Temulawak ... 19

Rendemen 3 Nomor Harapan Temulawak ... 20

Kandungan Xantorhizol dan Kurkuminoid 3 Nomor Harapan Temulawak ... 21

Antioksidan dan Toksisitas 3 Nomor Harapan Temulawak ... 24

KESIMPULAN DAN SARAN... 26

UCAPAN TERIMAKASIH... 27

DAFTAR PUSTAKA ... 28

(13)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Komposisi rimpang temulawak ... 5

2 Kadar minyak atsiri rimpang temulawak ... 6

3 Sifat fisik minyak temulawak ... 7

4 Komponen minyak temulawak ... 7

5 Efek cisplatin atau kombinasinya dengan xanthorrizol dan kurkumin pada lipid peroksida dalam ginjal mencit ... 10

6 Parameter agronomi 3 nomor harapan temulawak di tiga lokasi penelitian ... 19

(14)

xi

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Struktur xantorhizol ... 8

2 Biosintesis seskuiterpenoid secara umum... 8

3 Struktur kurkumin dan desmetoksikurkumin ... 10

4 Biosintesis kurkuminoid ... 11

5 Rendemen rimpang induk 3 nomor harapan temulawak... 20

6 Produktivitas xantorhizol pada uji multilokasi 3 nomor harapan temulawak ... 22

7 Produktivitas xantorhizol pada uji multilokasi 3 nomor harapan temulawak ... 22

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Diagram alir penelitian... 33

2 Contoh probit analisis ... 34

3 Contoh perhitungan aktivitas inhibisi radikal DPPH ... 36

4 Data lengkap antioksidan dan toksisitas ... 38

5 Parameter agronomi nomor harapan temulawak A, B, dan C... 39

6 Kandungan bioaktif nomor harapan temulawak A, B, dan C ... 39

(16)

1

PENDAHULUAN

Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) merupakan salah satu jenis

tumbuhan dari keluarga Zingiberaceae yang secara empirik banyak digunakan sebagai obat, baik dalam bentuk tunggal maupun campuran, yaitu sebagai hepatoproteksi, anti-inflamasi, antikanker, antidiabetes, antimikroba, antihiperlipidemia, dan pencegah kolera (Hwang 2006). Khasiat lainnya yang dimiliki oleh komponen kimia dalam temulawak adalah antibakteri (Darusman et al. 2006, Hwang et al. 2000), antijamur (Rukayadi et al. 2007), antioksidan

(Masuda et al. 1992), dan antilipidemia (Yasni et al. 1994).

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa komponen aktif utama yang terdapat dalam temulawak adalah xantorhizol dan kurkuminoid. Beberapa efikasi dari xantorhizol adalah berpotensi sebagai antibakteri Streptococcus mutans (Rukayadi & Hwang 2006), sebagai antifungi spesies Candida (Rukayadi 2006), sebagai antikanker dan antiimflamasi (Lee et al. 2002) dan sebagai neuroproteksi

(Lim et al. 2005). Kurkuminoid dapat digunakan sebagai antioksidan,

antiimflamasi, dan antihiperkolesterolemia (Peschel et al. 2006), sebagai

antialergi (Masuda et al. 2004), berpotensi sebagai agen pengelat ion besi (Borsari et al. 2002), dan sebagai antikanker (Park et al. 2004).

Sebagai bahan baku obat, temulawak selain produksi rimpang tinggi juga harus bermutu tinggi. BPOM (2005) menegaskan bahwa obat herbal harus memenuhi persyaratan yang meliputi mutu, keamanan, dan khasiat. Mutu temulawak dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain penanganan budidaya hingga proses pascapanen. Budidaya yang standar harus mengacu kepada SOP mulai dari pemilihan varietas (aksesi), lokasi, jenis dan kesuburan tanah, serta kondisi iklim (curah hujan, suhu udara, kelembaban, dan intensitas sinar matahari). Senyawa metabolit sekunder yang mengandung bahan aktif berkhasiat obat utama di dalam temulawak adalah xantorizhol dan kurkuminoid. Mutu bahan baku obat di dalam temulawak diprioritaskan terhadap tingginya kadar xantorizhol dan kurkuminoid, yang salah satunya ditentukan oleh faktor genetik dan lingkungan tumbuh tanaman temulawak. Keamanan (toksisitas) dan khasiat (efikasi) dari tanaman temulawak merupakan aktivitas biologi (bioaktivitas) dari bioaktif yang terkandung dalam tanaman temulawak. Oleh karena itu perlu

(17)

diketahui nomor harapan tanaman temulawak yang unggul dan lingkungan tumbuh yang sesuai, sehingga diperoleh produksi dan mutu rimpang yang tinggi (bioaktif dan bioaktivitas tinggi). Pada penelitian ini dilakukan uji multilokasi 3 nomor harapan temulawak A, B, dan C di Cipenjo (Cileungsi) dan Ganjar Resik (Sumedang), yang mewakili sentra pengembangan budidaya temulawak di Jawa Barat serta Kragilan (Boyolali) yang mewakili sentra pengembangan budidaya temulawak di Jawa Tengah. Data sekunder agrobiofisik dari ke tiga lokasi penelitian digunakan sebagai data pendukung. Hal ini dilakukan karena menurut Sidik et al. (1995) produksi rimpang dan bioaktif dipengaruhi oleh tempat

tumbuh.

Tujuan penelitian ini adalah: (a) memilih diantara nomor harapan temulawak A, B, dan C dari Balittro yang terbaik berdasarkan kandungan bioaktif (xanthorrhizol dan kurkuminoid) dan bioaktivitas (antioksidan dan toksisitas) yang tinggi, dan (b) menentukan kondisi lingkungan agrobiofisik yang menghasilkan tingkat bahan aktif tinggi. Dari penelitian ini diharapkan dapat diperoleh nomor harapan temulawak terseleksi dan kondisi lingkungan agrobiofisik yang sesuai berdasarkan kualitas bahan aktif dan potensi bioaktivitasnya.

(18)

3

TINJAUAN PUSTAKA

Temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb)

Temulawak merupakan tanaman obat berupa tumbuhan rumpun berbatang semu. Di Jawa Barat temulawak disebut sebagai koneng gede sedangkan di Madura disebut sebagai temu lobak. Kawasan Indo-Malaysia merupakan tempat dari mana temulawak ini menyebar ke seluruh dunia. Saat ini tanaman ini selain di Asia Tenggara dapat ditemui pula di Cina, Indo Cina, Bardabos, India, Jepang, Korea, Amerika Serikat, dan beberapa negara Eropa (http://www.IPTEKnet.id/ ). Secara lengkap klasifikasi temulawak adalah sebagai berikut:dunia plantae, divisi spermatophyta, sub divisi angiospermae, kelas monocotyledonae, keluarga zingiberaceae, genus Curcuma, spesies Curcuma xanthorrhiza ROXB.

Secara alami temulawak tumbuh dengan baik di lahan-lahan yang teduh dan terlindung dari sinar matahari. Di habitat alamiya, rumpun tanaman ini tumbuh subur di bawah naungan pohon bambu dan jati. Meskipun demikian temulawak juga dapat tumbuh di tempat yang terik, seperti di tanah tegalan. Tanaman ini memiliki daya adaptasi yang tinggi terhadap berbagai cuaca di daerah beriklim tropis. Suhu udara yang baik untuk budidaya tanaman ini antara 19–30 °C (Afifah & Tim Lentera 2003). Tanaman ini memerlukan curah hujan tahunan antara 1.000-4.000 mm/tahun (http://www.IPTEKnet.id/). Temulawak dapat tumbuh di dataran rendah dan tinggi, sampai ketinggian 750 meter di atas permukaan laut, bahkan dapat tumbuh hingga ketinggian 1800 meter di atas permukaan laut.

Perakaran temulawak dapat beradaptasi dengan baik pada berbagai jenis tanah baik tanah berkapur, berpasir, agak berpasir, maupun tanah-tanah berat yang berliat. Produksi rimpang yang optimal diperlukan tanah yang subur, gembur dan berdrainase baik. Pemupukan anorganik dan organik diperlukan juga untuk memberi unsur hara yang cukup dan menjaga struktur tanah agar tetap gembur. Tanah yang mengandung bahan organik diperlukan untuk menjaga agar tanah tidak mudah tergenang air (http://www.IPTEKnet.id/).

Temulawak merupakan tumbuhan tahunan yang tumbuh tegak dengan tinggi hingga lebih dari 1 m tetapi kurang dari 2 m, berwarna hijau atau coklat gelap. Akar rimpang terbentuk dengan sempurna dan bercabang kuat, berwarna hijau

(19)

gelap. Tiap batang mempunyai daun 2–9 helai dengan bentuk bundar memanjang sampai bangun lanset, warna daun hijau atau coklat keunguan terang sampai gelap, panjang daun 31–84 cm dan lebar 10–18 cm, panjang tangkai daun termasuk helaian 43–80 cm. Daun termasuk tipe daun sempurna, artinya tersusun dari pelepah daun, tangkai daun, dan helai daun (Sidik et al. 1995). Perbungaan

lateral, tangkai ramping dan sisik berbentuk garis, panjang tangkai 9–23 cm dan lebar 4–6 cm, berdaun pelindung banyak dengan panjang melebihi atau sebanding mahkota bunga. Kelopak bunga berwarna putih berbulu, panjang 8–13 mm, mahkota bunga berbentuk tabung dengan panjang keseluruhan 4.5 cm, helaian bunga berbentuk bundar memanjang berwarna putih dengan ujung yang berwarna merah dadu atau merah, panjang 1.25–2 cm dan lebar 1 cm (http://www.IPTEKnet.id/).

Sebagai tanaman monokotil, temulawak tidak memiliki akar tunggang. Akar yang dipunyai adalah rimpang. Rimpang adalah bagian batang di bawah tanah. Rimpang di sebut juga umbi akar, umbi batang atau umbi tinggal. Rimpang temulawak berukuran paling besar di antara semua rimpang genus Curcuma dengan diameter sampai 6 cm. Rimpang temulawak terdiri dari rimpang induk (empu) dan rimpang anakan (cabang). Rimpang induknya berbentuk bulat seperti telur dan berwarna kuning tua atau coklat kemerahan. Bagian dalamnya berwarna jingga kecoklatan (Afifah & Tim Lentera 2003).

Rimpang kedua yang lebih kecil keluar dari rimpang induk. Arah pertumbuhannya kesamping, berwarna lebih muda dengan bentuk yang bermacam-macam, jumlahnya sekitar 3-7 buah. Jika dibiarkan tumbuh lebih dari satu tahun, akan tumbuh banyak rimpang lagi. Rimpang ini aromanya tajam dan rasanya pahit agak pedas (Afifah & Tim Lentera 2003). Produk yang diambil dari tanaman tersebut adalah rimpang induk yang tumbuh dekat permukaan tanah dengan kedalaman 5–8 cm (Wahid & Soediarto 1985). Panen dilakukan setelah tanaman mencapai 7–8 bulan atau setelah daunnya menguning dan kering. Panen yang terbaik adalah ketika tanaman berumur 11-12 bulan (Darwis et al. 1991).

(20)

5

Komposisi Kimia Temulawak

Rimpang temulawak mengandung zat kuning kurkumin, minyak atsiri, pati, protein, lemak (fixed oil), selulosa, dan mineral (Ketaren 1998). Kadar dari masing-masing komponen tersebut tergantung dari umur panen. Berdasarkan hasil analisis oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Industri Ujung Pandang (Herman 1985), rimpang kering temulawak mengandung 29–34% karbohidrat, dan 6–10% minyak atsiri, sedangkan rimpang segar mengandung air 7–80%. Suwiah (1991) menguraikan komposisi rimpang kering temulawak dengan kadar air 10% seperti Tabel 1.

Menurut Sidik et al. (1995) produksi rimpang dipengaruhi oleh tempat

tumbuh. Pada daerah rendah (240 m di atas permukaan laut) produksi rimpang segar lebih tinggi. Kadar pati di daerah rendah juga lebih tinggi dan kadar tersebut makin berkurang pada dataran tinggi. Sebaliknya kadar minyak atsiri tertinggi (1,63%) diperoleh pada ketinggian 1200 meter di atas permukaan laut. Untuk mendapatkan produksi rimpang tinggi dengan lebih besar sebaiknya temulawak ditanam di tempat yang terlindung. Namun demikian temulawak masih dapat tumbuh dengan baik di tempat yang terbuka.

Menurut Wahid dan Sudiarto (1985), mutu rimpang temulawak sangat tergantung pada umur, tempat tumbuh, dan jenis tanah. Kadar minyak atsiri rimpang temulawak dari berbagai sumber pustaka tertera pada Tabel 2.

Tabel 1 Komposisi rimpang temulawak

Komponen Besaran (%)

Pati 27.62

Lemak (fixed oil) 5.38

Kurkumin 1.93 Serat kasar 6.89 Abu 3.96 Protein 6.44 Mineral (N, P, K, Na) - Minyak atsiri 10.96

(21)

Menurut Sinambela (1985), komponen utama dari rimpang temulawak adalah fraksi zat warna dan minyak atsiri. Warna kekuningan dari temulawak disebabkan oleh adanya kurkumin (C25H32O3) yang memiliki rumus bangun seperti Gambar 2. Menurut Meijer dan Koolhaas dalam Guenther (1952), minyak temulawak mempunyai sifat fisik seperti pada Tabel 3.

Menurut Dieterle dan Kaiser (1933 dalam Sinambela 1985), minyak temulawak yang diisolasi dengan cara destilasi vakum bertingkat mengandung komponen utama berupa p-tolilmetilkarbinol yang bersifat koleresis dan sikloisoprenmirsen. Sedangkan menurut Malingre (1971) minyak atsiri yang diisolasi dengan cara ekstraksi oleh pelarut mempunyai komponen yang terdiri atas zingiberen, β-kurkumin, kurkumin, xanthorrizol, atlantan, turmeron, ar-turmeron, dan isofuranogermakren. Komponen dari minyak temulawak menurut Liang et al. (1985), Maiwald dan Schawantes (1991 dalam Anang 1992), serta

Dickes dan Nicholas (1976) dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 2 Kadar minyak atsiri rimpang temulawak

Sumber pustaka Kadar minyak atsiri (%)

Balai Penelitian dan Pengembangan Industri Ujung Pandang

(1980 dalam Herman 1985)

6-10

Meijer dan Kollhaas (1939 dalam Nurdjanah et al. 1994)

7,3-29,5 Lucker et al. (1976 dalam Liang et al.

1985)

7-11 Sirait et al. (1985)

Rimpang temulawak berumur:

- 8 bulan 4,6

- 10 bulan 5,2

- 12 bulan 5,3

(22)

7

Tabel 3 Sifat fisik minyak temulawak

Spesifikasi Besaran

Bobot jenis (27,5 ºC / 4 °C) 0,9099 - 0,9250

Putaran optic (27 °C) Indek bias (26

°C) (-)9°0’- (-)14°40’ 1,5024 – 1,5079

Tabel 4 Komponen minyak temulawak

I II III 1. tricyclin 2. α-pinene 3. camphene 4. β-pinene 5. sabrinene 6. myrsene 7. phellandren 8. limonene 9. 1,8-cineol 10.δ-terpinene 11.β- cymen 12.terpionlene 13.δ-elemene 14.camphor 15.α-bergamolene 16.β-elemene 17.caryophyllene 18.allo-aromadendrene 19.trans-β-farnesene 20.berneol 21.gerwacrene D 22.zingiberene 23.β-bisabolene 24.β-curcumene 25.β-cadinene 26.β-sesquiphellandrene 27.ar-curcumene 28.isofuranogermacene 29.turmerone 30.turmerol 31.ar-turmerone 32.xanthorrizol *seskuiterpen - β-curcumene -α-curcumene -1-sikloisoprenmyrcene -zingiberene -xanthorrizol -turunan lisabolen -epolisid-bisacuron -bisacuron A -bisacuron B -bisacuron C *ketonseskuiterpen -turmeron -α-turmeron -α-atlanton (0,3%) -germakron *monoterpen -sineol -d-borneol -d-α-phelladrene -d-champane -α-lumulene (25,2%) -camphane (21,9%) -zerumbon (21,2%) -α-curcumene (0,8%) -lumulene epolesi (4,6%) -camphor (4,2%) -α-pinene (3,4%) -borneol dan α-terpineol (0,6%) -eucalypttol (1,8%) -β-caryophyllene (1,6%) -limonene (1,5%) -linaloal (0,9%) -3-karene (0,3%) -lumulene dixcida -β-pinene (0,6%) Sumber: I = Liang et al. (1985)

II = Maiwald dan Schawantes (1991 dalam Anang 1992) III = Dicnes dan Nicholas (1976)

(23)

Xanthorrizol

Karakterisasi xanthorrizol menurut Hwang (2006) adalah sebagai berikut, golongan sesquiterpene, BM 218 g/mol, tidak berwarna dan berflavor, tidak volatil, stabil terhadap suhu dan panas, dan sangat pahit. Rumus struktur xanthorrizol terlihat pada Gambar 1.

HO H3C

Gambar 1 Struktur xanthorrizol (Hwang 2006)

Biosintesis xanthorrizol

Xanthorrizol merupakan salah satu komponen minyak atsiri dalam temulawak dan termasuk dalam golongan seskuiterpen (Hwang 2006). Belum terdapat literatur yang menjelaskan bagaimana biosintesis xanthorrhizol terjadi namun karena xanthorrizol merupakan seskuiterpenoid maka secara umum biosintesisnya berpola pada biosintesis pembentukan seskuiterpenoid.

Gambar 2 Biosintesis seskuiterpenoid secara umum (www.chem.qmul.ac. uk/iubmb /enzyme /reaction/terp/sesqui.html).

(24)

9

Aktivitas biologis xanthorrhizol

Xanthorrizol mempunyai daya hambat yang tinggi terhadap bakteri spesies Streptococcus penyebab karies pada gigi. Berdasarkan hal tersebut maka xanthorrizol dapat digunakan dalam produk makanan dan pasta gigi untuk mencegah penyakit pada gigi (Hwang 2000). Xanthorrhizol dapat digunakan sebagai agen potensial antibakteri pembentukan biofilm oleh Streptococcus mutans (Rukayadi &

Hwang 2006). Penelitian lain menunjukkan bahwa xanthorrhizol memiliki aktivitas sebagai anti-fungi pada spesies Candida, sehingga dimungkinkan xanthorrhizol

dapat digunakan untuk treatment candidiasis (Rukayadi 2006).

Xanthorrhizol juga memiliki aktivitas biologis sebagai antikanker dan antiinflamasi. Penelitian Lee et al. (2002) memperlihatkan bahwa sisquiterpenoid

alami dari C. xanthorriza (xanthorrizol) dan C. zedoaria (ar-turmeron dan β

-turmeron) dapat digunakan sebagai kandidat inhibitor COX-2 dan iNOS bagi penderita kanker chemopreventive atau sebagai anti-inflamasi.

Xanthorrhizol dapat digunakan sebagai suplemen agen antikanker. Seperti terlihat pada Tabel 5 adanya peranan xanthorrizol dan kurkuminoid yang dikombinasikan dengan Cisplatin sebagai antikanker. Cisplatin merupakan obat antikanker yang umum digunakan, tetapi penggunaannya akan menimbulkan efek samping misalnya nephrotoxicity. Data diatas mempelajari mengenai efek kurkumin dan xanthorrizol yang diisolasi dari Curcuma xanthorriza yang dikombnasikan dengan cisplatin terhadap induksi nephrotoxicity mencit. Data memperlihatkan bahwa xanthorrizol dapat mencegah efek induksi nephrotoxicity dari cisplatin dan terlihat bahwa xanthorrizol dapat menurunkan nephrotoxicity yang disebabkan oleh cisplatin. Hal ini karena xanthorrizol secara fisiologis berfugsi dalam kaitannya dengan regulasi dari fosforilasi c-Jun N-terminal Kinase (JNKs) (Kim et al. 2005).

Xanthorrizol juga dapat digunakan sebagai neuroproteksi. Penelitian Lim et al.

(2005) menunjukkan bahwa Xanthorrizol merupakan kandidat yang efektif untuk tretmen penyakit Alzheimer’s dan penyakit saraf lain yang terkait dengan Reactive oxygen species (ROS) dan inflammasi.

(25)

Tabel 5 Efek cisplatin atau kombinasinya dengan xanthorrizol dan kurkumin pada

lipid peroksida dalam ginjal mencit

Kelompok nmol MDA mg-1 protein

Kontrol 1.38 Cisplatin (45 mg/kg) 1.41 Kurkumin (200 mg/kg) + Cisplatin (45 mg/kg) 1.27 Xanthorrizol (100 mg/kg) + Cisplatin (45 mg/kg) 1.13 Xanthorrizol (200 mg/kg) + Cisplatin (45 mg/kg) 1.22 (Sumber: Kim et al. 2005)

Kurkuminoid

Fraksi kurkuminoid yang terdapat pada rimpang temulawak terdiri dari dua komponen, yaitu kurkumin dan desmetoksikurkumin (Hwang 2006). Struktur kurkumin dan desmetoksikurkumin terlihat pada Gambar 3. Kurkuminoid mempunyai warna kuning atau kuning jingga, berbentuk serbuk dengan rasa sedikit pahit, dengan BM kurkumin 368 g/mol dan BM desmetoksikurkumin 338 g/mol. Secara kimia, kurkuminoid merupakan turunan diferuloilmetan, yaitu dimetoksidiferuloilmetan (kurkumin) dan monodesmetoksidiferuloilmetan (desmetoksikurkumin) (Kiso 1985). O OH HO OH OCH3 OCH3 O OH HO OH OCH3

Gambar 3 Struktur kurkumin dan desmetoksikurkumin (Hwang 2006) Kurkumin

(26)

11

Biosintesis kurkuminoid

Kurkuminoid termasuk dalam golongan senyawa fenolik sehingga biosintesisnya mengikuti lintasan fenolik, yaitu disintesis dari fenilalanin melalui lintasan fenilpropanoid (Ramirez-Ahumada et al. 2006). Dari penelitiannya

Ramirez-Ahumada et al. tersebut ditemukan adanya aktivitas enzim tioesterase yang tinggi

pada semua jaringan, hal ini akan mengarahkan pembentukan kurkuminoid melalui lintasan fenilpropanoid sebagai penyumbang ester KoA (Gambar 4). Pada Gambar tersebut terlihat adanya aktivitas enzim polyketide synthases, reductase, dan hydroxylases dan OMTs yang akan mengubah p-Coumaroyl-CoA dan

Feruloyl-CoA menjadi bisdemethoxycurcumin (3) demethoxycurcumin (4) curcumin (1).

Gambar 4 Biosintesis kurkuminoid. Enzim yang terlibat: PAL = phenylalanine ammonialyase; C4H = cinnamate 4-hydroxylase; 4CL = 4-coumarate:CoA ligase;

CST = p-coumaroyl shikimate transferase; CS30H=p-coumaroyl 5-O-shikimate 30-hydroxylase; OMT = O-methyltransferase; CCOMT = caffeoyl-CoA O -methyltransferase, polyketide synthases, reductase, dan hydroxylases dan OMTs

(27)

Aktivitas biologis kurkuminoid

Kurkuminoid, pigmen kuning dari temulawak, dapat digunakan sebagai antioksidan, antikarsinogenik, dan antihiperkolesterolimea (Peschel et al. 2006).

Kurkuminoid terdapat tiga senyawa yaitu kurkumin, bisdetoksikurkumin, dan demethoksikurkumin, yang masing-masing senyawa tersebut memiliki aktivitas sebagai antioksidan. Penelitian Jayaprakasha et al. (2006) menunjukan bahwa

aktivitas antioksidan yang paling tinggi dimulai dari kurkumin, demetoksikurkumin, dan terakhir bisdemetoksikurkumin Kurkumin yang merupakan penyusun utama kurkuminoid dilaporkan merupakan antioksidan alami yang dapat menghambat efek sitotoksisitas dan kanker (Soudamini dan Kuttan 1988). Kurkuminoid dapat digunakan sebagai antialergi, hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Matsuda et al. (2004) bahwa kurkuminoid

dapat menghambat degranulasi dan efek pelepasan TNF-α dan IL-4 dalam sel RBL-2H3. Penelitian yang telah dilakukan Borsari et al. (2002) menunjukkan

bahwa kurkuminoid memiliki potensi sebagai agen pengelat ion besi sehingga penggunaan akan lebih luas pada tingkat klinis. Kurkuminoid dapat mencegah efek binding protein myc-max pada elemen E-bok dalam sel SNU16 dan juga dapat mencegah ekspresi target gen myc termasuk ornitine dekarboksilase (ODC), cdc25a, dan c-myc yang terekspresi berlebihan pada sel line SNU16 kanker perut manusia (Park et al. 2004).

Antioksidan

Pada keadaan normal, secara fisiologis sel memproduksi radikal bebas sebagai konsekuensi logis pada reaksi biokimia dalam kehidupan aerobik. Radikal bebas memiliki peran fisiologis pada fagositosis, fertilitas, sintesis DNA dan protein. Apabila radikal bebas berada dalam junlah berlebihan sementara jumlah antioksidan seluler tetap atau lebih sedikit maka kelebihannya tidak dapat dinetralkan dan dapat berakibat pada kerusakan sel.

Dalam upaya penstabilan diri atau pemenuhan keganjilan elektronnya, elektron yang tidak berpasangan pada radikal bebas tersebut secara cepat ditransfer atau menarik elektron makromolekul biologis di sekitarnya seperti asam lemak tidak

(28)

13

jenuh, protein, asam nukleat dan asam deoksiribonukleat (DNA). Makromolekul yang teroksidasi akan terdegradasi dan jika makromolekul tersebut merupakan bagian dari sel atau organel maka berakibat pada kerusakan sel (Halliwell & Gutteridge 1990). Kerusakan sel tersebut akan berimplikasi terhadap timbulnya penyakit-penyakit degeneratif.

Antioksidan adalah zat yang mampu memperlambat atau mencegah proses oksidasi (Schuler 1990). Pada kosentrasi yang tinggi, zat antioksidan bersifat prooksidan atau meningkatkan oksidasi (Cillard & Cormier 1980; Schuler 1990). Antioksidan biologis adalah zat yang mampu melindungi sistem biologis dari kerusakan akibat kelebihan oksidasi (Krinsky 1992). Antioksidan primer adalah zat yang dapat bereaksi dengan radikal bebas atau menubahnya menjadi produk yang stabil, sedangkan antioksidan sekunder atau preventif dapat mengurangi laju reaksi awal pada reaksi rantai (Gordon 1990).

Antioksidan diketahui bekerja pada berbagai tahap oksidasi molekul lemak, yaitu dengan cara menurunkan konsentrasi oksigen, menangkap singlet oksigen, pencegahan tahap inisiasi reaksi rantai melalui penangkapan radikal hidroksil, pengikatan ion logam katalisator, dekomposisi produk utama menjadi senyawa nonradikal dan pemutusa reaksi rantai untuk mencegah kelanjutan penarikan elektron dari substrat (Shahidi 1997).

Sistem pertahanan fisiologis terhadap senyawa-senyawa reactive oxygen spesies (ROS) dapat dibagi ke dalam dua kelompok besar, yaitu sistem pertahanan

preventif dan sistem pertahanan melalui pemutusan rantai reaksi radikal. Sebuah molekul dapat berperan dalam satu atau ke dua kelompok. Pada sistem pertahanan preventif, sistem pertahanan menghambat senyawa-senyawa ROS (mengkelat metal) atau merusak pembentukannya. Di dalam cairan ekstra seluler, terdapat berbagai senyawa dengan berat molekul kecil yang dapat menangkap senyawa-senyawa ROS pada saat pembentukannya, misalnya β-karoten dan vitamin A yang merupakan penangkal singlet oksigen. Di dalam cairan intra selluler, berbagai enzim berpartisipasi dalam degradasi senyawa-senyawa ROS intra selluler. Enzim-enzim seperti superoksida dismutase, katalase, dan glutation peroksidase mempunyai sebuah atom oligo pada sisi aktifnya.

(29)

Antioksidan alami khususnya yang berasal dari tumbuhan semakin banyak diminati karena mempunyai tingkat keamanan lebih baik dari pada antioksidan sintetik dan memiliki manfaat yang luas dalam bidang makanan, kesehatan, dan kosmetik. Senyawa-senyawa turunan fenolat tersebar luas dalam tumbuhan dan beberapa diantaranya lebih efektif dibanding dengan antioksidan sintetik (Sidik 1997).

Antioksidan dengan berat molekul kecil lainnya yang ditemukan dalam bahan pangan antara lain vitamin E, vitamin C, dan karotenoid. Antioksidan-antioksidan tersebut berperan dalam sistem pertahanan melalui pemutusan reaksi radikal. Sebagian besar antioksidan yang ditemukan pada vitamin E, C, dan karotenoid adalah komponen fenolik atau polifenolik. Sebagaimana umumnya senyawa fenolik dapat menangkap radikal bebas. Senyawa fenol dapat berfungsi sebagai antioksidan primer karena mampu menghentikan reaksi rantai radikal bebas pada oksidasi lipid (Kochlar & Rossell 1990; dalam Indriani 2004). Radikal bebas yang terbentuk pada reaksi senyawa fenol dengan radikal lemak selalu distabilkan oleh delokalisasi elektron tidak berpasangan di sekitar cincin aromatik (Ingold 1960; dalam Indriani 2004). Melalui efek induktif, substitusi gugus alkil posisi 2, 4, dan 6 pada senyawa fenol meningkatkan densitas elektron pada gugus hidroksil sehingga meningkatkan rekaktivitas terhadap radikal lemak (Gordon 1990).

Uji Toksisitas Larva Udang (Brine Shrimp Lethality Test/ BSLT)

Uji hayati dapat dilakukan dengan berbagai cara. Mc Laughin et al. (dalam

Attaur-Rahman 1991) menyarankan tiga uji hayati sederhana. Pertama, dengan mengamati kemampuan bahan aktif untuk membunuh larva udang Artemia salina

Leach.; kedua, dengan mengamati daya inhibisi bahan aktif terhadap pertumbuhan sel tumor pada kentang; ketiga, dengan mengamati pengaruh bahan aktif terhadap pertumbuhan daun Lemna minor L.

Uji hayati dalam penelitian ini dilakukan dengan mengamati letalitas larva udang Artemia salina L yang disebabkan oleh ekstrak tumbuhan Curcuma xanthorrhiza Roxb. Alasan penggunaan hewan ini dalam uji hayati adalah karena

(30)

15

dilakukan dan murah (Meyer et al. 1982). Hasil dari uji ini dapat digunakan untuk

menduga kemampuan bahan yang diuji untuk membunuh sel kanker, hama penyakit, dan untuk menduga efek farmakologi bahan tersebut. Data yang diperoleh dapat diolah untuk menduga nilai LC50 (Lethal Concentration 50%) dengan tingkat

kepercayaan 95% (Mc Laughin et al. dalam Attaur-Rahman 1991).

Uji dengan hewan ini merupakan uji hayati yang sederhanan dalam melakukan riset produk-produk alam. Uji ini bisa dilakukan di rumah, dan tidak membutuhkan suatu keahlian khusus, serta telur Artemia salina L. dapat dengan mudah diperoleh di

(31)

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Uji Biofarmaka Pusat Studi Biofarmaka LPPM IPB. Lokasi penanaman temulawak dilakukan di Desa Kragilan Kabupaten Boyolali, Desa Ganjar Resik Kabupaten Sumedang, dan Desa Cipenjo Kecamatan Cileungsi Kabupaten Bogor. Penelitian dilakukan mulai bulan Mei 2007 sampai dengan bulan Februari 2008.

Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah pisau stainless steel, oven, alat penggiling, kertas saring, evaporator, inkubator, pipet volumetrik, Erlenmeyer, gelas piala, neraca analitik, KCKT, spektrofotometer dan alat-alat gelas. Bahan-bahan yang digunakan adalah sampel temulawak yang terdiri atas temulawak nomor harapan A, B, dan C yang diambil dari lokasi penelitian di Kragilan, Cipenjo, dan Ganjar Resik, pupuk kandang, urea, SP-36, KCl, metanol, asam asetat, asetonitril, larva udang Artemia salina Leach, air laut sintetis, standar xantorhizol, standar kurkuminoid, dan DPPH (1,1-diphenyl-2-picryl-hydrazyl).

Metode Sampel Penelitian dan Budidaya Temulawak

Sampel diambil dengan memanfaatkan tanaman uji multilokasi terhadap 3 nomor harapan temulawak Balittro. Tiga nomor harapan temulawak ini merupakan hasil karakterisasi dan evaluasi terhadap 20 nomor plasma nutfah temulawak hasil eksplorasi tahun 1995. Ketiga nomor harapan temulawak tersebut memiliki rata-rata produksi 2,39 – 3,37 kg/ m2, lebih baik dibandingkan dengan rata-rata produksi nasional 1,07 kg/ m2. Ketiga nomor harapan temulawak tersebut selain mempunyai potensi produksi tinggi, juga memiliki mutu yang tinggi dengan kandungan minyak atsiri berkisar 6,2 – 9,8% dan kadar kurkumin 1,16 – 3,24%, lebih tinggi dari persyaratan ekspor (Setiyono et al. 2006). Tempat penelitian dilakukan di sentra

produksi temulawak, di tiga lokasi yaitu Cipenjo (Cileungsi), Ganjar Resik (Sumedang), dan Kragilan (Boyolali). Pelaksanaan tanamnya pada tahun 2006 dan pelaksanaan panen pada tahun 2007. Percobaan menggunakan rancangan petak

(32)

17

terbagi, dengan 4 ulangan. Perlakuan yang dicobakan adalah 3 nomor harapan temulawak (A, B, dan C). Jarak tanam yang digunakan 75 cm x 50 cm. Ukuran plot (6 m x 5 m) = 30 m2. Semua perlakuan dipupuk 20 ton/ha pupuk kandang, 200 kg/ha Urea, 200 kg/ha SP 36 dan 200 kg/ha KCl. Peubah yang diamati adalah kadar kurkuminoid, xantorhizol, antioksidan, dan toksisitas dari rimpang temulawak umur 9 bulan setelah tanam.

Ekstraksi sampel temulawak

Ekstraksi adalah cara untuk memisahkan campuran beberapa zat menjadi komponen-komponen yang terpisah, sedangkan maserasi merupakan proses perendaman sampel dengan pelarut yang digunakan pada suhu ruangan (Darwis 2000). BPOM membatasi penggunaan pelarut untuk ekstraksi tumbuhan sebagai herbal dan pelarut yang diperbolehkan adalah etanol, air, atau campuran etanol-air. Selain itu Faraouq (2003) menyatakan bahwa etanol merupakan pelarut terbaik untuk ekstraksi simplisia tumbuhan untuk tujuan menjadi obat herbal. Etanol dapat bercampur dengan air dalam berbagai perbandingan dan mudah penguapan residunya dalam ekstrak. Berdasarkan hal tersebut proses ekstraksi dalam penelitian ini menggunakan pelarut etanol 70%. Adapun prosesnya adalah 50 g serbuk kering rimpang temulawak dimasukkan ke dalam maserator, ditambah 500 ml etanol 70% direndam selama 6 jam sambil sekali-kali diaduk, kemudian didiamkan sampai 24 jam. Maserat dipisahkan, dan proses diulang 2 kali dengan jenis dan jumlah pelarut yang sama. Semua maserat dikumpulkan dan diuapkan dengan penguap vakum hingga diperoleh ekstrak kental. Rendemen yang diperoleh ditimbang dan dicatat.

Pengukuran kandungan kimiawi xantorhizol dan kurkuminoid

Pengukuran Xanthorrizol. Ekstrak yang diperoleh dari proses ekstraksi

kemudian diukur kadar xantorhizolnya dengan menggunakan KCKT. Sistem KCKT yang digunakan ialah kolom C18, detector UV-Vis, volume injeksi 10 μL, eluen H3PO4 dan metanol, dan suhu kolom 40 ºC. Perhitungan kadar xanthorrhizol sampel didasarkan dari standar xanthorhizol.

Pengukuran kurkuminoid. Ekstrak yang diperoleh dari proses ekstraksi

kemudian diukur kadar kurkuminoidnya dengan menggunakan KCKT. Sistem KCKT yang digunakan ialah kolom C18, detector UV-Vis, volume injeksi 10 μL,

(33)

dengan eluen metanol, asam asetat 2%, dan asetonitril dan suhu kolom 48 ºC. Perhitungan kadar kurkuminoid sampel didasarkan pada standar kurkuminoid (Jayaprakasha et al. 2002).

Uji Bioaktivitas

Uji toksisitas (BSLT). Air laut dimasukkan dalam wadah kecil yang sudah

dibagi menjadi dua bagian ruangan dengan menggunakan sekat. Sedikit telur udang Artemia salina Leach. dimasukkan dalam salah satu ruang, kemudian ruangan ini ditutup sedang sisi lain dibiarkan terbuka atau diberi lampu untuk menarik udang yang telah menetas melalui lubang sekat, sehingga anak udang dapat terpisahkan dari bagian telur atau kulit telur. Setelah dua hari, telur udang akan menetas menjadi udang-udang kecil yang disebut nauplii dan siap digunakan untuk melakukan pengujian. 10 ekor larva udang dimasukkan dalam vial yang didalamnya terdapat sampel uji dengan konsentrasi 10, 50, 100, dan 500 ppm, masing-masing dilakukan 3 kali pengulangan. Setelah 24 jam, jumlah larva udang yang mati untuk tiap-tiap konsentrasi dihitung dan dicatat (McLaughlin et al. 1998). Nilai LC50 diperoleh

dengan menggunakan analisis probit program SPSS.

Uji aktivitas antioksidan dengan metode DPPH. Ekstrak temulawak

dilarutkan dalam metanol dan dibuat dalam berbagai konsentrasi (10, 40, 80, 100, 150, dan 200 ppm). Masing-masing dimasukkan ke dalam botol kecil dan ditambahkan larutan DPPH 1 mM sebanyak 1 mL dalam metanol. Lalu disimpan di dalam inkubator pada suhu 37ºC selama 1 jam. Kemudian diukur absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 515 nm. Nilai IC50 diperoleh dengan cara menghitung menurut rumus y = a + b lnx. Harga y yang dimasukkan adalah 50, untuk menyatakan inhibisi sejumlah 50% setelah masa inkubasi 60 menit. Nilai a dan b diperoleh dengan perhitungan menggunakan rumus regresi linier berdasarkan data dari konsentrasi yang digunakan. Harga x yang diperoleh merupakan konsentrasi larutan yang menyebabkan inhibisi terhadap 50% radikal bebas.

(34)

19

HASIL DAN PEMBAHASAN

Parameter Agronomi 3 Nomor Harapan Temulawak

Data agronomi yang diambil pada penelitian ini adalah bobot basah dan jumlah rimpang induk per tanaman temulawak yang dipanen pada 9 bulan setelah tanam (Tabel 6). Bobot basah rimpang tertinggi adalah 1247,95 g/tanaman dihasilkan dari nomor harapan temulawak A yang ditanam di Ganjar Resik. Jumlah rimpang induk per tanaman tertinggi adalah nomor harapan A yang ditanam di Cipenjo dengan jumlah 4,67 rimpang/ tanaman. Kondisi tanah pada lokasi penelitian akan mempengaruhi produksi rimpang dan banyaknya jumlah rimpang. Kondisi tanah di Ganjar Resik lebih berpasir dibandingkan dengan Cipenjo dan Kragilan (Setiyono et al. 2006), sehingga dengan kondisi tanah yang berpasir menyebabkan pertumbuhan

rimpang lebih optimal. Kondisi tanah yang liat (Cipenjo) menyebabkan adanya tekanan pada pertumbuhan rimpang sehingga rimpang tumbuh tidak maksimal dan lebih memperbanyak jumlah percabangan rimpang dibandingkan dengan meningkatkan besarnya rimpang.

Tabel 6 Parameter agronomi 3 nomor harapan temulawak di tiga lokasi penelitian

Lokasi No Rata-rata bobot Rata-rata jumlah

Penelitian harapan basah rimpang rimpang per

temulawak (g/ tanaman) tanaman

A 1247,95 d 2,67 a B 1068,31 bcd 2,50 a Ganjar Resik C 688,08 a 2,33 a A 1084,29 bcd 2,83 ab B 1062,96 bc 3,00 ab Kragilan C 958,21 b 2,50 a A 1182,52 cd 4,67 c B 1163,82 cd 3,67 abc Cipenjo C 1068,31 bcd 4,17 bc

Keterangan: Huruf kecil yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan bahwa secara statistik perlakuan berbeda nyata pada α: 0.05 dengan uji Duncan.

(35)

Bobot basah dan jumlah rimpang induk per tanaman antara nomor harapan A dan B tidak berbeda nyata sedangkan nomor harapan C merupakan nomor harapan dengan produksi rimpang dan jumlah rimpang induk per tanaman yang rendah pada ketiga lokasi penelitian. Hal tersebut menunjukkan bahwa selain dipengaruhi oleh kondisi lingkungan/ tanah lokasi penelitian, besarnya rimpang dan jumlah rimpang induk per tanaman juga dipengaruhi oleh faktor genetik ketiga nomor harapan temulawak tersebut.

Rendemen 3 Nomor Harapan Temulawak

Pada ketiga lokasi penelitian hasil rendemen tertinggi dihasilkan oleh nomor harapan temulawak B yaitu 16,03% di Ganjar Resik, 13,21% di Kragilan, dan 14,94% di Cipenjo (Gambar 5). Nomor harapan temulawak A menghasilkan rendemen tertinggi dari lokasi Cipenjo, yaitu 13,21%. Rendemen sebesar 13,37% merupakan rendemen tertinggi yang dihasilkan oleh nomor harapan temulawak C dari lokasi Ganjar Resik.

Selain faktor pelarut dan lamanya proses maserasi, optimalisasi ekstraksi secara maserasi ini dipengaruhi oleh ketebalan dinding sel dan membran sel dari ke tiga nomor harapan tanaman temulawak. Hal tersebut dikarenakan dalam maserasi adalah merendam bahan tanaman dalam pelarut tertentu, hal itu menyebabkan terjadi pemecahan dinding sel dan membran sel akibat perbedaan tekanan antara di dalam

Nomor harapan temulawak: 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20

Ganjar Resik Kragilan Cipenjo

Lokasi penelitian R e nde m e n ( % ) A B C

(36)

21

dan di luar sel sehingga metabolit sekunder yang ada dalam sitoplasma akan terlarut dalam pelarut etanol yang digunakan. Hal inilah yang menentukan besar kecilnya rendemen yang dihasilkan dalam suatu proses ekstraksi secara maserasi. Jadi ketebalan dinding sel dan membran sel merupakan salah satu penentu keberhasilan dalam ekstraksi secara maserasi, dan faktor genetik dari ketiga nomor harapan temulawak tersebut yang akan menentukan ketebalan dinding sel dan membran sel.

Kandungan Xanthorrhizol dan Kurkuminoid 3 Nomor Harapan Temulawak

Bioaktif utama dalam temulawak adalah kandungan xantorhizol dan kurkuminoid, sehingga dalam penelitian ini metabolit sekunder yang diukur adalah kedua senyawa tersebut, dengan hasil produktivitas xantorhizol dan kurkuminoid terlihat pada Gambar 2 dan 3. Produktivitas metabolit xantorhizol dan kurkuminoid merupakan perkalian biomassa temulawak dengan kadar xantorhizol dan kurkuminoid.

Ketiga nomor harapan temulawak memiliki kecenderungan yang berbeda dalam menghasilkan bioaktif xantorhizol dan kurkuminoid. Lokasi penanaman mempunyai pengaruh berbeda terhadap produksi bioaktif temulawak. Produktivitas xantorhizol dan kurkuminoid tertinggi dihasilkan oleh nomor harapan temulawak A di lokasi Cipenjo, yaitu 0,1568 gram xantorhizol dan 0,0564 gram kurkuminoid per tanaman temulawak.

Produksi metabolit sekunder pada suatu tanaman dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya; genetik, nutrisi, enzim, umur tanaman, dan interaksi antara lingkungan baik biotik maupun abiotik. Masing-masing memiliki suatu mekanisme biokimiawi komplek tertentu yang menyebabkan ketiga nomor harapan temulawak memproduksi bioaktif xantorhizol dan kurkuminoid berbeda baik yang ditanam di Ganjar Resik, Kragilan, ataupun Cipenjo.

Akumulasi metabolit sekunder tergantung pada musim dan tahap perkembangan tanaman (Mothes 1955; dalam Seigler 1998). Umur panen sangat mempengaruhi hasil produksi bioaktif xantorhizol dan kurkuminoid temulawak, sehingga dalam penelitian ini untuk mengurangi pengaruh umur tanaman maka tanaman dipanen pada umur 9 bulan setelah tanam.

(37)

Nomor harapan temulawak: 0.00 0.02 0.04 0.06 0.08 0.10 0.12 0.14 0.16 0.18 0.20

Ganjar Resik Kragilan Cipenjo Lokasi penelitian Pr oduk ti vi ta s xant o rh iz ol (g / t a n a m a n )

A

B

C

Gambar 6 Produktivitas xantorhizol pada uji multilokasi 3 nomor harapan temulawak Nomor harapan temulawak: 0.00 0.01 0.02 0.03 0.04 0.05 0.06 0.07

Ganjar Resik Kragilan Cipenjo

Lokasi penelitian Pr odukt iv it a s k u rk um inoid (g / ta n a m a n )

A

B

C

Gambar 6 Produktivitas kurkuminoid pada uji multilokasi 3 nomor harapan temulawak

Kondisi curah hujan di lokasi penelitian menurut Setiyono et al. (2006) adalah

5500-6500 mm/thn untuk Kragilan, 2500-3000 mm/thn untuk Ganjar Resik, dan 223,97 mm/tahun untuk Cipenjo. Waterman & Mole (1989; dalam Seigler 1998) menyatakan bahwa kuantitatif dan kualitatif yang bervariasi dari metabolit sekunder pada tanaman dapat terjadi sebagai respon dari cekaman yang ditimbulkan oleh lingkungannya. Curah hujan di Cipenjo lebih rendah dan kondisi tanah lebih liat

(38)

23

dibandingkan Kragilan dan Ganjar Resik. Hal ini diduga merupakan salah satu kondisi cekaman yang memungkinkan terjadinya induksi dalam produksi xantorhizol dan kurkuminoid yang tinggi di lokasi Cipenjo. Meskipun induksi xantorhizol dan kurkuminoid dipengaruhi juga oleh faktor genetik ketiga nomor harapan temulawak tersebut. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Khaerana (2007) yang menunjukkan bahwa cekaman kekeringan menyebabkan meningkatnya kandungan metabolit jenis atsiri dalam temulawak.

Produksi suatu bioaktif dalam tanaman dapat terjadi melalui proses metabolisme yang normal maupun tidak normal. Metabolisme normal dapat terjadi melalui peningkatan metabolit primer sebagai prekursor untuk metabolit sekunder, dalam hal ini xantorhizol dan kurkuminoid. Metabolit primer akan tinggi jika terdapat CO2 sebagai sumber karbon untuk fotosintesis yang melimpah dalam suatu lingkungan di tempat tanaman itu tumbuh. Menurut Setiyono et al.

(2006) suhu di lokasi Cipenjo (28-34 ºC) lebih tinggi dibandingkan dengan lokasi Ganjar Resik dan Kragilan. Molekul CO2 ini merupakan salah satu molekul yang dapat meningkatkan suhu udara, hal ini berarti di Cipenjo lebih banyak terdapat

CO2 dibandingkan 2 lokasi lainnya. Sedangkan produksi bioaktif melalui

metabolisme yang tidak normal merupakan mekanisme biokimia tertentu, misalnya cekaman lingkungan, yang menyebabkan meningkatnya produksi bioaktif tertentu dalam suatu tanaman.

Produktivias kurkuminoid (Gambar 6) di lokasi Kragilan tidak berbeda jauh dengan lokasi Cipenjo terhadap nomor harapan temulawakA, yaitu 0,0546 gram dan 0,0564 gram per tanaman. Hal ini dimungkinkan karena pengaruh cekaman unsur hara, terutama unsur N tanah di Kragilan yang sangat rendah (0,09%) dibadingakan 2 lokasi lainnya (Setiyono et al. 2006). Ketersedian N yang rendah

dalam lingkungan merupakan aktivator gen-gen transkripsi yang berkaitan dengan metabolisme fenolik (Penuelas & Estiarte 1998), dalam hal ini kurkuminoid dalam temulawak. Sedangkan stimulasi enzim terutama dalam produksi metabolit terpenoid, dalam hal ini xantorhizol dari tanaman temulawak, tidak dipengaruhi oleh ketersedian N tanah yang rendah (Penuelas & Estiarte 1998).

(39)

Antioksidan dan Toksisitas 3 Nomor Harapan Temulawak

Pada Tabel 7 memperlihatkan hasil bioaktivitas dari 3 nomor harapan temulawak yang ditanam pada 3 lokasi penanaman, adapun bioaktivitas yang diukur adalah antioksidan dengan data dalam IC50 dan toksisitas dengan data dalam LC50 (data lengkap pada Lampiran 4).

Nilai IC50 rendah menunjukkan aktivitas antioksidan yang tinggi

(Perhitungan IC50 inhibisi DPPH pada Lampiran 5). Terlihat bahwa nomor

harapan A memiliki aktivitas antioksidan yang tinggi di ketiga lokasi penelitian, yang tertinggi adalah nomor harapan A yang ditanam di Cipenjo dengan IC50 sebesar 65,09 ppm. Nomor harapan B yang ditanam di Cipenjo menghasilkan aktivitas antioksidan yang rendah dengan IC50 sebesar 242,67 ppm.

Nilai LC50 rendah menunjukkan toksisitas yang tinggi (Contoh analisis probit pada Lampiran 3). Nomor harapan A baik yang ditanam di Ganjar Resik, Kragilan, dan Cipenjo memberikan nilai toksisitas yang tinggi, dengan nilai LC50 berturut-turut adalah 63,60 ppm, 77,81 ppm, dan 69.05 ppm. Jadi temulawak nomor harapan A ini memiliki hasil yang konsisten diketiga lokasi penelitian. Namun nilai toksisitas tertinggi dimiliki oleh nomor harapan C yang ditanam di Ganjar Resik, dengan LC50 sebesar 51.30 ppm.

Tabel 7 Bioaktivitas antioksidan dan toksisitas 3 nomor harapan temulawak Lokasi Penelitian

Bioaktivitas

Nomor harapan

temulawak Ganjar Resik Kragilan Cipenjo

A 104,41bc 87,54ab 65,09a IC50 (ppm) B 204,72f 156,76de 242,67g C 106,89bc 175,61ef 133,52cd A 63,60ab 77,81bcd 69,05abc LC50 (ppm) B 172,20f 90,22cde 114,69e C 51,30a 180,72f 103,07de

Keterangan: Huruf kecil yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan bahwa secara statistik perlakuan berbeda nyata pada α: 0.05 dengan uji Duncan.

(40)

25

Hal ini terjadi karena sampel temulawak yang digunakan dalam bentuk ekstrak kasar yang memungkinkan bioaktif selain xantorhizol dan kurkuminoid juga terekstrak, dan masing-masing bioaktif tersebut memiliki nilai toksisitas.

Bioaktivitas dari suatu ekstrak tumbuhan obat akan berbanding lurus dengan kandungan bioaktif dari ekstrak tersebut. Temulawak nomor harapan A memiliki kandungan bioaktif xantorhizol dan kurkuminoid tinggi, dan bioaktivitas antioksidan dan toksisitas dari ekstrak nomor harapan temulawak A juga tinggi. Sehingga sesuai bahwa xantorhizol dan kurkuminoid memiliki bioaktivitas sebagai antioksidan dan toksisitas.

Kurkuminoid temulawak merupakan bioaktif yang berperan dalam aktivitas antioksidan, hal ini telah ditunjukkan oleh beberapa peneliti mengenai peranan kurkuminoid temulawak sebagai antioksidan. Beberapa efikasi xanthorrhizol menunjukkan bahwa xanthorrhizol merupakan bioaktif temulawak yang memiliki aktivitas toksisitas. Namun dimungkinkan tidak hanya 2 bioaktif ini yang berperan dalam aktivitas antioksidan dan toksisitas karena yang digunakan merupakan ekstrak kasar yang mana banyak bioaktif selain xanthorrhizol dan kurkuminoid juga terekstrak.

(41)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan kandungan bioaktif (xantorhizol dan kurkuminoid) dan bioaktivitas (antioksidan dan toksisitas) nomor harapan temulawak terbaik adalah nomor harapan temulawak A. Lokasi Cipenjo (Cileungsi) dengan kondisi temperatur 28-34 ºC, curah hujan 223,97 mm/tahun, dan tanah liat berpasir merupakan lokasi yang paling sesuai untuk budidaya temulawak dibandingkan Kragilan (Boyolali) dan Ganjar Resik (Sumedang).

Saran

Perlu dilakukan penelitian pada tingkat genetik untuk mengetahui pengaturan ekspresi gen terkait dengan produktivitas xantorhizol dan kurkuminoid pada ketiga nomor harapan temulawak. Perlu dilakukan penelitian mengenai faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi mekanisme biokimiawi pada temulawak untuk meningkatkan produksi bioaktif xantorhizol dan kurkuminoid.

(42)

27

UCAPAN TERIMAKASIH

Penelitian ini didanai oleh Kerjasama Kemitraan Penelitian Pertanian dengan Perguruan Tinggi (KKP3T) Tahun 2007 kepada Latifah K Darusman dan kerjasama antara Pusat Studi Biofarmaka LPPM-IPB dengan Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (BALITTRO)-Bogor. Oleh karena itu kami mengucapkan terima kasih atas kepercayaan dan dukungan dana yang diberikan untuk melakukan penelitian ini.

(43)

DAFTAR PUSTAKA

Afifah E, Tim Lentera. 2003. Khasiat dan Manfaat Temulawak: Rimpang

Penyembuh Aneka Penyakit. Jakarta: Agromedia Pustaka.

Anang SFR. 1992. Pengaruh curcuma komplek plus terhadap kerusakan hati mencit yang diinduksi dengan karbon tetraklorida [skripsi]. Bandung: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Padjadaran.

Anonim. 2005. Temulawak. http://www.IPTEKnet.id/ . [20 Mei 2007].

Anonim. 2000. Sesquiterpenoid biosynthesis. www.chem.qmul.ac. uk/iubmb /enzyme /reaction/terp/sesqui.html . [6 Juni 2007]

Atta-ur-Rahman. 1991. Studies In Natural Products Chemistry. Volume 9B.

London: Elsevier.

Borsari M, Ferrari E, Grandi R, Saladini M. 2002. Curcuminoids as potential new iron-chelating agents: spectroscopic, polarographic and potentiometric study on their Fe(III) complexing ability. Inorg Chim Acta 328; 61–68.

[BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2005. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor HK.00.05.41.1384 Tahun 2005 tentang Kriteria dan Tata Laksana Pendaftaran Obat Tradisional, Obat Herbal Terstandar, dan Fitofarmaka. Jakarta: BPOM.

Darusman LK, Djauhari E, Nurcholis W. 2006. Kandunga xantorhizol temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) pada berbagai cara budidaya dan masa Tanam.

Di dalam: Prosiding Seminar Tumbuhan Obat Indonesia XXIX. Fakultas

Kedokteran UNS, 24-25 Maret 2006: Surakarta: Universitas Sebelas Maret. pp 567-580.

Darwis D. 2000. Teknik dasar laboratorium dalam penelitian senyawa bahan alam hayati. Workshop Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam Bidang Kimia Organik Bahan Alam Hayati. Padang: FMIPA Universitas Andalas.

Darwis SN, Hiyah S, Madjo Indo ABD. 1991. Tumbuhan Obat Famili

Zingeberaceae. Bogor: Pusat Pengembangan Tanaman Industri.

Dickes GJ, Nicholas PV. 1976. Gas Chromathography in Food Analysis. London:

Butterworths.

Faraouq. 2003. Ekstrak sebagai salah satu pengembangan bentuk obat traditional. Di dalam: Prosiding Seminar Nasional Tumbuhan Obat Indonesia XXIII.

Jakarta. Hal. 45-52.

(44)

29

Gordon I. 1994. Functional Food, Designer Food, Pharmafood, Neutra Ceuticals.

New York: Champman and Hall.

Halliwell B, Gutteridge GMC. 1990. Role of free radicals and catalytic logam ions in human disease: An Overview. Meth. Enzimol. 186: 1-83.

Herman AS. 1985. Berbagai macam penggunaan temulawak dalam makanan dan minuman. Di dalam: Prosiding Symposium Nasional Temulawak. Bandung:

Lembaga Penelitian Universitas Padjadaran.

Hwang JK. 2006. Xanthorrizol; A New Bioactive Natural Compound. Yonsei:

Departement of Biotechnology, Yonsei University.

Hwang JK, Shim JS, Pyun YR. 2000. Antibacterial activity of xanthorrhizol from Curcuma xanthorrhiza against oral pathogens. Fitoterapia 71: 321-323.

Indriani S. 2004. Uji aktivitas antioksidan ekstrak jambu biji (Psidium guajava L.)

[Laporan Penelitian Dosen Muda]. Bogor: Pusat Studi Biofarmaka LPPM-IPB.

Jayaprakasha GK, Rao LJM, Sakariah KK. 2006. Antioxidant activities of curcumin, demethoxycurcumin and bisdemethoxycurcumin. Food Chem 98:

720–724.

Jayaprakasha GK, Rao LJM, Sakariah KK. 2002. Improved HPLC method for determination of curcumin, demethoxycurcumin, and bisdemethoxycurcumin.

Agric Food Chem 50: 3668-3672.

Ketaren S. 1988. Penentuan komponen utama minyak atsiri temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb) [tesis]. Bandung: Fakultas Matematika dan Ilmu

Pengetahuan Alam, Institut Teknologi Bandung.

Kim SH, Hong KO, Hwang JK, Park KK. 2005. Xanthorrhizol has a potential to attenutate the high dose cisplatin-induced nephrotoxicity in mice. Food Chem Toxicol 43: 117-122.

Kiso Y et al. 1985. Antihepatotoxic principles of Curcuma longa rhizomes. Di

dalam: Simposium Nasional Temulawak. Bandung: Universitas Padjadjaran.

Krinsky NI. 1992. Mechanism of action biological antiocidant. Di Dalam: Soc. For Experimental Biology Medicine. Boston.

Khaerana. 2007. Pengaruh cekaman kekeringan dan umur panen yang berbeda

terhadap kandungan xanthorrhizol tanaman temulawak (Curcuma

xanthorrhiza Roxb.) [Tesis]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian

(45)

Lee SK et al. 2002. Supressive effect of natural sesquiterpenoids on inducible

cyclooxigenase (COX-2) and nitric oxide syntase (iNOS) activity in Mouse Macrofaphage cells. Environ Pathol Toxicol Oncol 21: 141-148.

Liang OB, Widjaja Y, Asparton Y, Puspa S. 1985. Beberapa aspek isolasi.

identifikasi. dan penggunaan komponen-komponen Curcuma xanthorriza

Roxb dan Curcuma domestika Val. Di dalam: Prosiding Symposium Nasional Temulawak. Bandung: Lembaga Penelitian Universitas Padjadaran

Lim et al. 2005. Antioxidant and antiinflammatory activities of xanthorrizol in

hippocampal neurons and primary cultured microglia. Neurosci Res 82:

831-838.

Malingre ThM. 1971. Curcuma xanthorriza Roxb, temulawak als planr met

Saldrapvende Werking. Pharmaceutisch Weekbled.

Masuda T, Isobe J, Jitoe A, Nakataw N. 1992. Antioxidative curcuminoids from rhizomes of Curcumaxanthorrhiza. Phytochemistry 31: 3645-3647.

Meyer BN et al. 1982. Brine shrimp: a convenient general bioassay for active

plant constituents. J Medical Plant Res 45: 31-34.

McLaughlin JL, Rogers LL, Anderson JE. 1998. The use of biological assays to evaluate botanicals. J Drug Inform 32: 513-524.

Matsuda H, Tewtrakul S, Morikawa T, Nakamura A. 2004. Anti-allergic principles from Thai zedoary: structural requirements of curcuminoids for inhibition of degranulation and effect on the release of TNF-a and IL-4 in RBL-2H3 cells. Bioorg Medicinal Chem 12: 5891–5898.

Park S et al. 2004. Determination of binding constant of transcription factor myc–

max/max–max and E-box DNA: the effect of inhibitors on the binding.

Biochim Biophys Acta 1670: 217–228.

Penuelas J, Estiarte M. 1998. Can elevated CO2 affect secondary metabolism and ecosystem function?. Tree 13; 20-23.

Peschel D, Koerting R, Nass N. 2006. Curcumin induces changes in expression of genesinvolved in cholesterol homeostasis. J Nutr Biochem 18: 113–119.

Ramirez-Ahumada MC, Timmermann BN, Gang DR. 2006. Biosynthesis of curcuminoids and gingerols in turmeric (Curcuma longa) and ginger (Zingiber officinale): Identification of curcuminoid synthase and hydroxycinnamoyl-CoA thioesterases. Phytochemistry 67: 2017–2029.

Rukayadi Y, Hwang JK. 2006. In vitro activity of xanthorrhizol against Streptococcus mutans biofilm. Appl Microbiol 42: 400-404.

(46)

31

Rukayadi Y, Yong D, Hwang JK. 2006. In vitro anticandidal activity of

xanthorrhizol isolated from Curcuma xanthorrhiza Roxb. J Antimicrob

Chemother 132: 1-4.

Shahidi DL, BV Harris, AC Goldberg. 1993. Efficiacy of psyllium in reducing serum cholesterol levels in hypercholesterolemic patients on high or low fat diet. An Intern Med 199: 545-554.

Seigler DS. 1998. Plant Secondary Metabolism. USA: Kluwer Academic

Publishers.

Setiyono RT et al. 2006. Uji multilokasi nomor-nomor harapan temulawak pada

berbagai kondisi agroekologi [laporan akhir penelitian]. Bogor: Balittro.

Schuler P. 1990. Natural Antiocidants Exploited Commercialy. Dalam BJF

Hudson (Ed) Food Antiocidant. London and New York: Esenier Applied Science.

Sidik. 1997. Antioksidan alami asal tumbuhan. Di dalam: Prosiding Seminar Nasional Tumbuhan Obat Indonesia XII. Bandung: Institut Teknologi

Bandung.

Sidik, Mulyono MW, Mutadi A. 1995. Temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb).

Jakarta: Phyto Medika.

Sinambela JM. 1985. Fitoterapia, fitostandar, dan temulawak. Di dalam:

Prosiding Symposium Nasional Temulawak. Bandung: Lembaga Penelitian

Universitas Padjadaran. Hlm 150-155.

Sirait M et al. 1985. Pemeriksaan kadar xanthorrhizol dalam Curcuma

xanthorrhiza Roxb. Di dalam: Simposium Nasional Temulawak. Bandung:

Universitas Padjadjaran.

Soudamini KK, Kuttan R. 1988. Cytotoxic and tumor reducing properties of curcumin. Indian J Pharmacol 20; 95–101.

Suwiah A. 1991. Pengaruh perlakuan bahan dan jenis pelarut yang digunakan pada pembuatan temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb) instan terhadap

rendeman dan mutunya [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Wahid P, Soediarto. 1985. Pembudidayaan tanaman temulawak. Di dalam:

Prosiding Symposium Nasional Temulawak. Bandung: Lembaga Penelitian

Universitas Padjadaran.

Yasni S et al. 1994. Identification of an active principle in essential oils_and

hexane-soluble fractions of curcuma xanthorrhiza roxb. showing

(47)
(48)

33 Lampiran 1 Diagram alir penelitian

Nomor harapan temulawak A, B, dan C ditanam di Kragilan (Boyolali), Ganjar Resik (Sumedang), dan Cipenjo (Cileungsi)

Preparasi, pembuatan simplisia, dan ekstraksi

Analisis bioaktif (xanthorrizol dan kurkuminoid), analisis bioaktivitas

(antioksidan dan toksisitas), & studi pustaka agrobiofisik

(49)

Lampiran 2 Contoh probit analisis

Probit analisis dilakukan pada sampel nomor harapan temulawak A lokasi Ganjar Resik ulangan ke-1, dengan hasil seperti berikut:

DATA Information

12 unweighted cases accepted.

30 cases rejected because of missing data. 0 cases are in the control group.

MODEL Information

ONLY Normal Sigmoid is requested. >Warning # 13527

>Parameter estimates did not converge in maximum number of iterations. Number of iterations = 20

Optimal solution not found.

Parameter Estimates (PROBIT model: (PROBIT(p)) = Intercept + BX): Regression Coeff. Standard Error Coeff./S.E.

VAR00002 .03623 .00636 5.69849

Intercept Standard Error Intercept/S.E. -2.74168 .49003 -5.59488

Pearson Goodness-of-Fit Chi Square = 1.708 DF = 10 P = .998

Since Goodness-of-Fit Chi square is NOT significant, no heterogeneity

factor is used in the calculation of confidence limits.

* * * * * * * * * * * * P R O B I T A N A L Y S I S * * * * * * * * * * * *

Observed and Expected Frequencies

Number of Observed Expected

VAR00002 Subjects Responses Responses Residual Prob 500.00 10.0 10.0 10.000 .000 1.00000 100.00 10.0 8.0 8.109 -.109 .81089 50.00 10.0 2.0 1.761 .239 .17612 10.00 10.0 .0 .087 -.087 .00867 500.00 10.0 10.0 10.000 .000 1.00000 100.00 10.0 7.0 8.109 -1.109 .81089 50.00 10.0 2.0 1.761 .239 .17612 10.00 10.0 .0 .087 -.087 .00867 500.00 10.0 10.0 10.000 .000 1.00000 100.00 10.0 9.0 8.109 .891 .81089 50.00 10.0 2.0 1.761 .239 .17612 10.00 10.0 .0 .087 -.087 .00867

(50)

35 * * * * * * * * * * * * P R O B I T A N A L Y S I S * * * * * * * * * * * *

Confidence Limits for Effective VAR00002

95% Confidence Limits Prob VAR00002 Lower Upper .01 11.46422 -22.28584 29.08070 .02 18.98861 -11.10252 34.96536 .03 23.76260 -4.04581 38.73772 .04 27.35389 1.23747 41.60074 .05 30.27512 5.51587 43.94872 .06 32.76155 9.14176 45.96293 .07 34.94166 12.30741 47.74254 .08 36.89369 15.12981 49.34802 .09 38.66899 17.68569 50.81913 .10 40.30315 20.02818 52.18349 .15 47.06901 29.60066 57.95836 .20 52.44630 37.02077 62.73583 .25 57.05954 43.20749 67.01354 .30 61.20237 48.58521 71.03321 .35 65.04132 53.38878 74.93772 .40 68.68410 57.76614 78.82349 .45 72.20854 61.82166 82.76263 .50 75.67710 65.63744 86.81476 .55 79.14566 69.28485 91.03526 .60 82.67010 72.83175 95.48303 .65 86.31289 76.34830 100.22960 .70 90.15184 79.91391 105.37207 .75 94.29467 83.62849 111.05488 .80 98.90790 87.63484 117.51297 .85 104.28520 92.17141 125.17397 .90 111.05106 97.72931 134.96343 .91 112.68522 99.05220 137.34738 .92 114.46051 100.48217 139.94440 .93 116.41254 102.04661 142.80784 .94 118.59265 103.78501 146.01471 .95 121.07908 105.75741 149.68239 .96 124.00031 108.06237 154.00382 .97 127.59160 110.88006 159.33243 .98 132.36559 114.60258 166.43898 .99 139.88999 120.42679 177.68275

Gambar

Tabel 1 Komposisi rimpang temulawak
Tabel 2 Kadar minyak atsiri rimpang temulawak
Tabel 3 Sifat fisik minyak temulawak
Gambar 2 Biosintesis seskuiterpenoid secara umum (www.chem.qmul.ac. uk/iubmb   /enzyme /reaction/terp/sesqui.html)
+7

Referensi

Dokumen terkait