1
A.
Latar Belakang
Perkebunan yang ada di Indonesia diperkenalkan oleh pemerintah kolonial Belanda sejak mereka datang ke Indonesia dengan keuntungan yang sangat melimpah. Potensi alamiah yang cukup baik membuat selama bertahun-tahun masyarakat Indonesia berada di bawah jajahan kolonialisme. Sebagai negara yang memiliki banyak pulau yang dilewati garis khatulistiwa, Indonesia mempunyai beragam jenis tanah yang akan memberikan keuntungan bagi tanah karena dengan sinar matahari yang konsisten , maka kondisi yang demikian akan memberikan peluang besar di sektor pertanian termasuk tanaman perkebunan. Belanda sebagai salah satu negara yang penjajah mempunyai peran dalam sejarah perkebunan terutama yang telah meletakkan dasar bagi Perkebunan di Indonesia.1
Sistem perkebunan diwujudkan dalam bentuk usaha pertanian dalam skala yang besar dan komplek, mempunyai sifat padat modal penggunaan area yang cukup atau sangat lluas, memiliki organisasi tenaga kerja besar, pembagian kerja yang sangat rinci dan juga penggunaan tenaga kerja upahan. Semua sistem yang ada pada dasarnya tujuan utama dari Kebijaksanaan Perkebunan adalah meningkatkan penghasilan devisa. Usaha Perkebunan rakyat yang terdapat di Indonesia ini memerlukan tenaga kerja yang cukup banyak, maka drai itu sektor Perkebunan merupakan lapangan kerja bagi penduduk yang tinggal di wilayah pedesaan dan juga merupakan sumber utama pendapatan
1
Mubyarto.dkk, Tanah dan Tenaga Kerja Perkebunan: Kajian Sosial Ekonomi.
penduduk. Usaha perkebunan rakyat sebagai usaha tani keluarga mencakup berbagai tanaman perdagangan seperti karet, kopi, lada, tembakau dan juga cengkeh.2 Jenis-jenis komoditi tersebut merupakan sektor yang diandalkan untuk memberikan sumbangan bagi perekonomian Indonesia.
Hadirnya Perkebunan ini merupakan kepanjangan dari perkembangan kepitalisme agraris barat yang diperkenalkan mellui sistem perekonomian yang bersifat kolonial. Perkebunan mulai masuk untuk yang pertama kali di Indonesia sebagai sistem perekonomian pertanian komersial yang bercorak kolonial. Istilah tersebut berbeda dengan istilah sistem kebun yang ditetapkan pada negara jajahan sebelum masa pra kolonial. Sistem kebun dipahami sebagai bagian dari sistem pertanian tradisional yang merupakan usaha tambahan / pelengkap, alam kerangka ekonomis kapitalis sistem Perkebunan dipahami sebagai bentuk usaha pertanian skala besar dan kompleks. 3
Pada masa penjajahan Kolonial Belanda dengan dijalankannya Sistem Tanam Paksa bagi Masyarakat Indonesia (1830-1870), Perkebunan sudah mulai dijalankan dengan berbagai macam tanaman untuk memenuhi permintaan pasar dunia antara lain tebu, kopi, nila, teh, tembakau, kayu manis dan juga kapas. Sistem tanam paksa bagi pribumi di Jawa merupakan melakukan penanaman yang dipaksakan sebagai pengganti pajak yang berupa uang dengan hasil bumi yang mereka tanam tersebut. di bawah sistem tanam paksa tersebut bisa dikatakan bahwa setiap tanama yang pada masa itu ditanam dapat berkembang dengan baik dan juga mendapatkan keuntungan yang besar bagi pemerintah.
2
Ibid., hlm.131. 3
Sartono Kartodirdjo dan Djoko Suryo, Sejarah Perkebunan di Indonesia: Kajian Sosial Ekonomi,(Yogyakarta: Aditya Media),1991, hlm. 5
Hadirnya konumitas Perkebunan di tanah jajahan ini, melahirkan lingkungan yang berbeda dengan lingkungan setempat baik dari segi lokasi, tata ruang, ekologi, maupun organisasi sosial dan juga ekonomi. Secara topografis, semua Perkebunan dibangun ditempat yang subur, baik yang berada di dataran rendah maupun yang berada di dataran tinggi. Tanaman yang ditanam juga merupakan tanaman yang memiliki nilai jual ekspor dan berbeda dengan tanaman pertanian penduduk setempat. Bentuk dan juga orientasi lingkungan Perkebunan lebih tertuju ke dunia luar dan menjadikan seolah olah terpisah dari lingkungan agraris yang ada di wilayah Indonesia.
Sejarah Perkebunan yang terdapat di Hindia Belanda sangat terkait dengan terbentuknya lapisan sosial buruh yang ada di tengah-tengah masyarakat. Pada hal ini maka masyarakat sering dikaitkan dengan ikatan sosial „tradisional‟ yang non ekonomis dan bersifat gotong royong. Di wilayah Perkebunan teh petani selalu mendapatkan bagian tanah yang memiliki mutu rendah sehingga menyebabkan penurunan produksi teh yang ada. Hal ini merupakan faktor pendorong masyarakat menjadi buruh upahan. Salah satu dampak dari pembukaan Perkebunan adalah kebutuhan akan tenaga kerja yang tidak mudah diperoleh maka dari itu tenaga kerja merupakan unsur pokok dalam Perkebunan. Tidak bisa dipungkiri bahwa bruruh memiliki kedudukan khusus dalam masyarakat yang sedang membangun. Tanpa adanya tenaga kerja, sebuah Perkebunan tidak dapat berjalan sama sekali.
Eksploitasi tenaga kerja selalu terjadi terutama dalam sistem tanam paksa. Semua pekerjaan selalu dibebankan kepada para buruh seperti dilaksanakannya wajib kerja pancen khusus untuk melayani rumah tangga pejabat, kerja wajib tanam terdiri dari berbagai jenis kerja di bidang penanaman, pengolahan, pengangkutan tanaman
wajib, kerja wajib desa terdiri dari jenis kerja untuk keperluan kepala desa dan bermacam-macam pekerjaan yang berkaitan dengan kepentingan warga desa dan lingkungan desa pada umumnya. Pada dasarnya sasaran dari pengerahan tenaga kerja yang dilakukan oleh perusahaan Perkebunan adalah kelompok petani kecil. Kondisi ini dapat dihubungkan pada pola dasar masyarakat tani Jawa yaitu merupakan ikatan feodal hubungan ketergantungan antara keluarga tani yang tak bertanah atau petani kecil dengan pemilik tanah. 4
Pada penelitian ini mengambil batasan wilayah di daerah Sukabumi Jawa Barat yang merupakan perkebunan pertama yang ada di wilayah Sukabumi tepatnya di desa Cisarua kecamatan Sukaraja Sukabumi Jawa Barat. Perkebunan teh Goalpara merupakan Perkebunan terbesar yang ada di Sukabumi. Dan merupakan warisan Belanda.
Perkebunan Goalpara didirikan pada tahun 1908 oleh Perusahaan Hindia Belanda sampai dengan tahun 1957 dibawah Pengusaha Cultuur Maatshappij NIL. Tiedeman Van Kerchem. Kebun Goalpara adalah salah satu unit dari Kebun PT Perkebunan Nusantara VIII, yang termasuk dalam salah satu wilayah II yang berlokasi di Sukabumi dan kegiatan usaha perusahaan meliputi pengolahan/produksi tanaman teh dan aneka usaha lain seperti : Jambu Air dan Alpukat.5
Dengan memiliki sebanyak 6 afdeling (Afd. Gol. I, II,III, IV dan Bungamelur I dan II) yang tersebar di beberapa desa yang berada di Kecamatan Sukaraja, Kecamatan
4
Mubyarto, 1992, Tanah dan Tenaga Kerja perkebunan, Kajian Sosial Ekonomi,
Yogyakarta: Aditya Media, hlm. 107-112 5
Sukabumi dan Kecamatan Nyalingdung (yang berlokasi di Sukabumi Selatan) Propinsi Jawa Barat. Perusahaan ini didirikan dengan maksud dan tujuan untuk menyelenggarakan usaha di bidang agro bisnis dan agro industri, serta optimalisasi pemanfaatan sumber daya Perseroan untuk menghasilkan barang dan/ atau jasa yang bermutu tinggi dan berdaya saing kuat, serta mengejar keuntungan guna meningkatkan nilai perseroan dengan menerapkan prinsip-prinsip Perseroan Terbatas.
Mengenai batasan waktu yaitu antara tahun 1958-1998, karena pada tahun tersebut merupakan awal perkebunan tersebut di nasionalisasi menjadi milik negara sampai pada saat masa reformasi 1998.
Nasionalisasi adalah proses di mana negara mengambil alih kepemilikan suatu perusahaan milik swasta atau asing. Apabila suatu perusahaan dinasionalisasi, negara yang bertindak sebagai pembuat keputusan, selain itu para pegawainya menjadi pegawai negeri.6 Perkebunan Goalpara dinasionalisasi menjadi milik negara dan dikelola oleh negara setelah tahun 1958. Keberadaan Perkebunan teh tersebut membuat sebagian besar masyarakatnya menjadi buruh perkebunan, maka jauh berbeda pada saat mereka mengolah tanah sendiri dengan tanaman yang berbeda dengan teh.
6
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Nasionalisasi di unduh pada tanggal 21 juni 2016 pukul 12.30 WIB
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan dalam penelitian ini yaitu: 1. Bagaimana kondisi geografis, ekologis dan sosial ekonomi dan budaya
masyarakat Sukabumi?
2. Bagaimana sistem sewa menyewa lahan Perkebunan teh Goalpara tahun 1958-1998 ?
3. Bagaimana sistem perburuhan yang ada di pabrik teh Goalpara tahun 1958-1998 ?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan permasalah tersebut, tujuan yang ingin dicapai adalah:
1. Untuk mengetahui kondisi geografis, ekologis dan sosial ekonomi dan budaya masyarakat Sukabumi
2. Untukmengetahui bagaimanakah sistem menyewa lahan perkebunan di perkebunan teh Goalpara
3. Untuk mengetahui sistem prburuhan yang berlaku di pabrik teh Goalpara
D. Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :
Memberikan informasi kepada para pembaca bahwa terdapat perkebunan teh yang besar di daerah Sukabumi Jawa Barat.Menambah pengetahuan kita bahwa di Jawa Barat terdapat sebuah Kota yaitu Sukabumi yang saat itu belum dikenal atau diketahui banyak
orang dan daerah ini merupakan daerah yang sejuk nyaman untuk ditinggali dan juga cocok digunakan untuk dijadikan daerah perkebunan.
E. Tinjauan Pustaka
Dalam kajian pustaka ini menampilkan dasar-dasar yang telah dikaji oleh para peneliti sebelumnya yang sudah tentu berkaitan terutama dengan masalah perkebunan teh dan kemudian digunakan sebagai bahan acuan untuk mengkaji dan menelusuri pokok permasalahan. Adapun beberapa literatur yang digunakan dalam penelirian ini antara lain:
Sartono Kartodirdjo dan Djoko Suryo, Sejarah Perkebunan di Indonesia (1991). Buku ini membahas tentang sejarah dari perekonomian di Indonesia. Buku ini membahas secara terbuka mengenai perkebunan Indonesia sejak masa pra-kolonial sebagai masa sebelum datangnya bangsa Barat ke Nusantara hingga masa pemerintahan Orde Baru dimana perkebunan mulai terlihat kembali setelah sebelumnya terjadi penurunan yang sangat tajam. Pertumbuhan perkebunan di Indonesia ditandai dengan masuknya kekuatan Kolonial ke Nusantara. Praktek-praktek perkebunan mulai diperkenalkan. Perkebunan mulai dijadikan sebagai lahan pertanian utama dalam menghasilkan devisa negara. VOC sebagai kongsi perdagangan mulai memonopoli perdagangan di Nusantara. Keberadaan VOC yang dahulunya sebagai kongsi dagang berubah menjadi penguasa teritorial. Para petani diwajibkan menyetorkan bahan-bahan dasar dari hasil pertanian seperti, beras, kopi dan gula kepada penguasa VOC. Pada tahun 1800, kekuasaan VOC digantikan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Pada
kekuasaan baru unu menetapkan cultuurstelsel atau sistem tanam paksa pada tahun 1830 sebagai akibat dari kekosongan kas negara.
Sejak tahun 1850, pasaran dunia mengalami kemajuan pesat. Perubahan politik dan ideologi di negara induk menyebabkan perubahan pula kebijakan-kebijakan di negara jajahan. Pada negara jajahan dilaksanakan sistem perekonomian liberal dengan dibuka seluas-luasnya perekonomian bagi investasi swasta di Hindia Belanda. Ditunjang juga dengan adanya Undang-Undang Agraria tahun 1870, yang membuka kesempatan bagi pihak swasta untuk ikut andil dalam perekonomian negara. Sejak tahun 1870, pembangunan yang dilaksanakan dan industrialisasi yang terjadi di Nusantara telah membawa Indonesia ke ambang pintu modernisasi dan dengan dubukanya terusan Suez telah membyka akses antara Indonesia dan Eropa. Sejak terjadinya resesi dunia pada tahun 1930, perkembangan perkebunan di Indonesia lebih terarah kepada pasaran dalam negeri. Namun, kegiatan ekspor pertanian masih memegang peranan penting 10% di Jawa dan 20% di Sumatra.
Budaya masyarakat perkebunan yang terlihat di masyarakat Deli Sumatra Utara, banyak menampilkan karakteristik yang juga dijumpai di perkebunan Jawa yang sejenis. Baik dari segi lokasi, isolasi dan otonomi komunitasya, dualisme ekonomi Kolonial, pluralisme sosialnya, hegemoni pengusaha eropa, eksploitasi tenaga sejenis dengan perkebunan di Jawa. Perbedaan antara taraf hidup golongan eropa dengan taraf hidup pribumi amat sangat mencolol, namun karena kesadaran akan diskriminasi belum berkembang, maka rakyat menerima saja perbedaan yang mencolok tersebut.
Pada buku ini Sartono Kartodirdjo menggunakan pendekatan sosio kultural, hal ini dilakukan untuk menjelaskan bagaimana dinamika kehidupan masyarakat disuatu wilayah perkebunan teh. Penelitian ini dalam bagian bab I pembaca akan disajikan dengan gambaran umum mengenai perkebunan yang ada di Indonesia dan juga informasi sekilas tentang Perkebunan Teh Goalpara, dan di bab V akan membahas sistem sewa lahan dan juga sistem perburuhan yang ada di Perkebunan Goalpara pada sekitar tahun 1958-1998.
Mubyarto dkk, Tanah dan Tenaga Kerja Perkebunan : Kajian Sosial Ekonomi (1992). Buku ini membahas mengenai usaha pengusaha perkebunan dalam memperoleh tanah dan tenaga kerja rakyat yang dilihat dari aspek sejarah dan aspek teknis agronomis. Selain itu, dibahas pula mengenai perkebunan rakyat dan perkebunan besar. Tanah dan tenaga kerja merupakan unsur pokok sistem perkebunan yang telah ada di masa kekuasaan pemerintahan Kolonial Belanda. Perbedaan antara perkebunan dataran rendah dan dataran tinggi berpengaruh pula dalam sistem manajemen produksi dan kekuasaan yang lebih otoriter pada perkebunan dataran tinggi. Hal inilah yang membuat masyarakat lebih menderita karena banyaknya tekanan dari penguasa desa tradisional dan pengusaha perkebunan. Penelitian hanya akan berfokus kepada pasar tenaga kerja yang ada di Perkebunan Teh Goalpara. Cara perekrutan tenaga kerja dan juga sistem upah yang berlaku di Perkebunan Teh Goalpara.
Ita Setiawati dan Nasikun, Teh: Kajian Sosial Ekonomi (1991). Buku ini membahas tentang aspek-aspek sosial ekonomi, maupun sosial budaya serta tinjauan singkat dari segi teknis agronomis dan beberapa aspek dalam pengolahan teh. Buku ini juga menyajikan beberapa uraian tentang kondisi sosial ekonomi
perkebunan-perkebunan teh yang ada di Indonesia mulai dengan membahas tentang gambaran umum perkebunan teh, mekanisme kerja di lingkungan perkebunan teh dan seberapa jauh peranan teh dalam peningkatan kesejahteraan petani.
Suhartono, Apanage dan Bekel: Perubahan Sosial di Pedesaan Surakarta 1830-1920 (1991). Buku ini membahas tentang apanage dan bekel di karesidenan Surakarta terutama mengenai perubahan sosial di pedesaan-pedesaan sekitar Karesidenan Surakarta. Karesidenan Surakarta lahan yang luas dan subur adalah tanah apanagr dan kepemimpinan seorang bekel diperlukan sekali bagi kehidupan sosial di tanah apanage. Apanage atau tanah lungguh adalah tanah jabatan sementara, sebagai upah atau gaji seorang priyayi atau bangsawan. Tanah apanage dapat dieksploitasikan sehingga dapat menghasilkan pajak yang berupa uang, barang dan tenaga kerja. Bekel sendiri mula-mula para cikal bakal yang berhasil membuka tanah desa disebut pemimpin desa, oleh karena itu ia bertugas membagi-bagi tanah desa itu untuk calon penggarap, bekel kemudian bisa diesbut juga kepala desa. Setelah adanya tanah apanage diangkatlah seorang bekel dari kepala dessa itu yang berfungsi sebagai penebas pajak. Sedikit demi sedikit bekel diberi keleluasaan sebagai kepala desa sehingga peranannya berubah dari penebas pajak menjadi pemegang kekuasaan desa.
Sistem apanage timbul dari suatu konsep bahwa penguasa adalah pemilik tanah seluruh kerajaan. Didalam menjalankan pemeritahannya penguasa dibantu oleh seperangkat pejabat dan keluarganya dan sebagai imbalannya, mereka diberi tanah apanage. Tanah ini merupakan tanah jabatan dan mereka para patuh berhak mendapatkan layanan kerja dan sebagian hasil dari tanag apanage. Munculnya istilah bekel tidak dapat dipisahkan dari sistem apanage, karena patuh yang tinggal di
Kuthanagara tidak mengerjakan apanage sendiri, ia kemudian mengangkat seorang bekel.
Jan Breman, Menjinakkan Sang Kuli: Politik Kolonial, Tuan Kebun, dan Kuli di Sumatra Timur pada Awal Abab Ke-20 (1997). Buku ini menceritakan tentang skandal ketengakerjaan di Indonesia pertama kali terjadi di zaman kolonial sekitar 1864 pada awal kapitalisasi pembukaan lahan perkebunan di Deli Sumatra Timur. Tembakau merupakan komoditi ekspor Hindia Belanda yang telah membuat industri perkebunan di Deli bersifat internasional. Pada tahap akumulasi modal pimitif, perusahaan perkebunan di Deli telah menggunakan teror dan kekerasan untuk mengatur proses produksi ekonomi, bukan semata-mata rasionalitas industri. Pada waktu itu buruh kontrak didatangkan langsung dari Cina dan Jawa. Disisi lain, Ordonansi Kuli ditetapkan berlaku pada 1880 untuk mengatur dan mengawasi sepak terjang para majikan.
Para kuli kontrak menerima porsekot, mengikatkan diri bekerja selama tiga tahun di perkebunan. Kontrak berisi rincian tentang sifat kerja, jangka waktu dan juga persyaratan lainnya. Mereka yang melanggar akan dihukkum oleh pejabat pemerintah yang menjabat selaku hakim. Sebaliknya, majikan juga berkewajiban memberi nafkah kuli kontrak dan harus memperlakukannya dengan baik. Tuan kebun pertama di Sumatra Timur adalah Nienhuys yang telah menyerahkan pengelolaan kebun tembakaunya kepada sekelompok haji yang ia datangkan dari Penang. Peristiwa tersebut mengawali prinsip pemborongan pekerjaan menjadi unsur hakiki dalam kontrak kuli. Sistem pembayaran upah harian beralih pada sistem upah yang ditentukan oleh prestasi kerja.
Pada saat pertama kali bekerja tiap kuli menerima uang Panjar sebagai hutang dan berkewajiban mengembalikan uang panjar tersebut sampai lunas. Perjanjian kerja berlaku untuk satu tahun, sedangkan perpanjangan kontrak berlaku secara otomatis. Kuli yang melakukan pemutusan hubungan kerja dianggap melakukan pelanggaran dan wajib dihukum. Pada praktiknya kuli bekerja mati-matian selama delapan bulan, atau selama satu musim panen. Pemimpin perusahaan masih memotong jumlah gaji keseluruhan untuk menutup berbagai pengeluaran yang seharusnya menjadi kewajiban perusahaan. Skandal kuli kontrak di era kolonial justru dibuktikan oleh berlakunya Ordonansi Kuli beserta penerapan sanksi yang sengaja diciptakan untuk menjamin terus masuknya arus tenaga kerja.
Studi mengenai sejarah kota Sukabumi sendiri salah satunya ditulis oleh Irman „Sufi‟ Firmansyah dalam bukunya Soekaboemi The Untold Story: Kisak Dibalik Sejarah Sukabumi (2016). Buku ini membahas tentang sejarah terbentuknya tatar sukabumi dari mulai sukabumi pada saat purbakala, asal muasal penduduk sukabumi dan juga kerajaan-kerajaan yang terdapat di tatar sukabumi. Selain itu dalam buku ini dijelaskan juga proses datangnya bangsa eropa ke wilayah sukabumi sampai mereka menguasai tanah-tanah rakyat sukabumi. Cultuurstelsel juga diterapkan di sukabumi dengan dibukanya perkebunan-perkebunan swasta milik kolonial. Sukabumi merupakan wilayah yang tidak banyak orang ketahui karena letaknya diantara gunung Gede dan Gede Pangrango, gunung Salak, gunung Walat, gununng Halimun, Jampang, Palabuhanratu dan Ciletuh. Banyaknya gunung yang membatasi wilayah Sukabumi menjadikan wilayah ini memiliki dataran tinggi dan juga memiliki dataran rendah wilayah Jampang, Ciletuh dan juga Palabuhanratu. Setelah dikelurkannya
Undang-undang Agraria tahun 1870 yang memberikan kesempatan kepada pribumi untuk memiliki tanah dan menyewakannya kepada perusahaan swasta menyebabkan banyak pengusaha swasta yang menanamkan modalnya. Seiring dengan masuknya swasta dalam bisnis perkebunan, maka munculah komoditas yang ada di Sukabumi seperti kopi, teh, kina dan karet.
Skripsi yang berjudul “Perkebunan teh Kemuning dan dampaknya terhadap Masyarakat Lokal 1945-1965”, karya Arif Rahmat (2010). Membahas tentang perkebunan teh yang ada di Kemuning awalnya dilakukan oleh orang Belanda yang menyewa tanah Mangkunegaran dan terus mengalami perkembangan hingga masa pemerintaha Indonesia yang memberikan dampak yang sangat besar bagi masyarakat sekitar Kemuning yaitu terbukanya lapangan pekerjaan bagi masyarakat Kemuning sehingga dapat meningkatkan pendapatan ekonomi masyarakatnya. Hadirnya perkebunan terh tersebut juga dapat mendorong terbukanya isolasi penduduk pedesaan di Kemuning karena dibangunnya sarana transportasi baik dilingkungan perkebunan teh maupun diluar perkebunan teh. Jalan dan jembatan yang merupakan sarana prasarana penting dalam pengangkutan hasil produksi teh membuat perusahaan perkebunan mulai diberikan tunjangan untuk memelihara jalan dan jembatan yang diserahkan kepada kepala desa. Perkembangan perkebunan teh juga memunculkan stratifikasi sosial baru yang berdasarkan jabatan pekerjaan di perkebunan. Dalam penelitian ini sewa lahan yang dilakukan oleh Perkebunan Teh Goalpara menggunakan sistem Hak Guna Usaha (HGU). Jadi lahan yang awalnya merupakan lahan pertanian masyarakat di minta hak guna lahan yang selanjutnya dipakai untuk memperluas lahan perkebunan teh. Pekerja yang bekerja pada lahan HGU tersebut akan memberikan sebagian hasil perkebunannya
kepada Perkebunan Teh Goalpara yang telah meminta HGU atas lahan tersebut dengan beberapa syarat yang sudah ditentukan oleh kedua pihak.
Skripsi yang berjudul “Perkebunan Teh Di Hindia Belanda Studi Kasus: Perkebunan Teh Malabar Di Pangalengan –Bandung 1930-1934”, karya Siti Julaeha (2010). Membahas tentang cara pengurus Perkebunan Teh Malabar menghadapi kondisi perekonomian pada tahun 1930-1934 dan juga seberapa besar pengaruh Perkebunan Teh Malabar pada masyarakat sekitarnya. Perkebunan Teh Malabar yang didirikan oleh Karel Albert Rudolf (KAR) Bosscha pada tahun 1896 di Pangalengan Bandung merupakan salah satu perkebunan teh terbesar pada masanya. Dari tahun ke tahun perkebunan mengalami peningkatan baik dari luas lahan yang digunakan maupun volume produksi. Penurunan terjadi setelah Bosscha wafat pada tahun 1928 hingga tahun 1930-an pasca terjadinnya depresi ekonomi. Dalam menghadapi krisis, pengurus perkebunan mengambil beberapa langkah yaitu menghentikan sementara pengiriman teh ke pasaran dunia di London, melakukan penghematan serta pemecatan pegawai, memakai cadangan-cadangan modal dan terakhir meminta bantuan dana kepada pemerintah. Oleh karena langkah-langkah yang diambil tersebut belum mampu menolong kondisi perkebunan, maka pada tahun 1934 Perkebunan Teh Malabar diambil alih oleh pemerintah Belanda. Perkebunan Teh Malabar telah memberi dampak cukup besar bagi masyarakat sekitar. Dampak tersebut tidak hanya dirasakan pada masa pemerintahan Belanda, tetapi hingga saat ini masyarakat sekitar dan bahkan negara masih tetap merasakan manfaat dari keberadaan perkebunan ini. Dengan dibukanya Perkebunan Teh Goalpara ini sudah cukup banyak memberikan dampak yang positif
bagi masyarakat sekitar. Perekrutan tenaga kerja juga akan diambil dari masyarakat sekitar dengan syarat-syarat yang sudah ditentukan oleh pihak Perkebunan.
F. Metode Penelitian
Suatu penulisan yang bersifat ilmiah tidak dapat lepas dari adanya data atau fakta yang mendukung. Apalagi penelitian tentang sejarah keberadaan fakta sangat amat diperlukan, dianalisis dan dikembanhkan untuk merekontruksi peristiwa masa lampau sedangkan fakta tidak mungkin ditemukan tanpa tersedianya data. Berasal dari data-data itulah fakta dapat ditemukan setelah melalui proses interpretasi sedangkan data baru dapat ditemukan setelah melakukan penelusuran terhadap sumber-sumber sejarah.7
Sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas, maka metode yang digunakan adalah metode sejarah. Menurut Louis Gottschalk yang dimaksud metode sejarah adalah proses menguji dan menganalisis secara kritis rekaman dari pengalaman masa lampau.8 Metode sejarah memiliki empat tahap yang saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya, yaitu: heuristik, kritik sumber, intepretasi, historiografi. Berikut penjelasan dari empat tahap tersebut:
1. Heuristik
Heuristik adalah tahap mengumpulkan berbagai data dan sumber sejarah, baik berupa sumber tertulis maupun lisan melalui wawancara. Dalam penulisan ini teknik yang digunakan untuk memperoleh sumber adalah studi dokumen, dan wawancara.
7
Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu-Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, Jakarta; Gramedia, 1992, hlm. 90.
8
Louis Gottschalk. Mengerti Sejarah, edisi terjemahan Nugroho Notosusanto, Jakarta; UI Press, 1986, hlm. 32
a. Studi Dokumen
Dalam penelitian ini digunakan sumber-sumber tertulis yang berupa dokumen-dokumen yang relevan atau berkaitan dengan objek penelitian dan manfaat untuk mendukung penelitian ini agar menjadi tulisan yang dapat dipercaya. Karena ada bukti tertulis untuk mendukung sejumlah fakta yang ada. Menurut Kuntowijoyo sebuah sumber itu menurut bahannya dibagi menjadi dua yaitu sumber tertulis atau dokumen dan juga artifact atau berupa foto-foto. 9
Dalam dokumen tersebut terdapat banyak data-data, tetapi kumpulan dari data tersebut bukan atau tidk bisa disebut dengan sejarah. Karena data-data tersebut hanyalah penunjang atau fakta sejarah. Sebuah data perlu diolah dan dikelompokkan menurut kriteria seleksi tertentu. Kriteria tersebut bergantung pada subjek yang sedang melakukan pengkajian, tentang bagaimana data tersebut disusum agar lebih bermakna, itu semua tergantung dari masalah yang akan dipecahkan. Salah satu dokumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah surat keputusan untuk dibukanya lahan yang digunakan untuk pembukaan Perkebunan.
Data yang digunakan dalam penelitian ini antara lain arsip tentang sejarah berdirinya perkebunan Goalpara, arsip-arsip sewa menyewa lahan perkebunan pada tahun 1958-1998 dan juga arsip perburuhan yang ada di tahun 1958-1998. Arsip tersebut terdapat dan merupakan koleksi di PTPN VIII Perkebunan teh Goalpara Sukabumi.Arsip yang digunakan antara lain arsip Sejarah Singkat PT. Perkebunan XI Goalpara, arsip Surat Perjanjian Sewa Tanah,arsip Himpunan Peraturan Kepegawaian,
9
arsip Surat Keputusan Pembayaran Upah, serta data kependudukan Kabupaten Sukabumi yang terdapat di BPS Kabupaten Sukabumi dan Pusat Studi Kependudukan UGM.
b. Wawancara
Wawancara adalah percakapan dengan tujuan memperoleh informasi tertentu. Dari hasil wawancara dengan informan yang tepat akan menjadi sumber yang sangat membantu dalam penulisan hasil penelitian. Tokoh yang diwawancari guna memperoleh informasi yang sesuai dengan tema penelitian ini adalah: Hani selaku staf SDM yang bekerja di Perkebunan Goalpara, Erwin juga staf yang bekerja di Perkebunan Goalpara, Didin selaku staf administrasi Perkebunan Goalpara, R. Soehardi selaku Administratur Perkebunan Goalpara tahun 1973, R. M. Mardjono selaku Administratur Perkebunan Goalpara tahun 1959. Wawancara dilakukan di kantor Perkebunan Teh Goalpara pada saat penelitian mencari sumber tertulis yang terdapat di PTPN VIII Perkebunan teh Goalpara. Wawancara dilakukan tidak terjadwal karena hanya dilakukan dengan cara tanya jawab biasa tanpa memberikan fom pertanyaan terlebih dahulu atau dilakukan secara spontan pada saat berbincang-bincang di kantor saja.
2. Kritik Sumber
Kritik Sumber merupakan langkah atau cara untuk membuktikan kebenaran dari sumber data yang telah dikumpulkan. Pengujian yang telah dilakukan terhadap sumber-sumber yang dianggap benar atau valid dijadikan dasar untuk membangun fakta. Kritik
sumber dibedakan menjadi dua: Kritik ekstern: dilakukan untuk menemukan otentitas. Dalam melakukan kritik ekstern penulis melakukan beberapa hal seperti membuktikan relevansi sumber, melacak keaslian sumber dan latar belakang sumber. Kritik intern: dilakukan untuk mencari kredibilitas. Dalam melakukan kritik intern, dipelajari keterikatan antara sumber-sumber dengan cara membandingkannya.
3. Interpretasi
Menurut Gilbert J. Garraghan interpretasi adalah suatu bentuk penafsiran sejarawan atas fakta sejarah menjadi satu kesatuan alur cerita harmonis dan masuk akal. Penafsiran sejarah sifatnya subyektif yang berarti bahwa sangat bergantung kepada sipenafsir sejarah itu. Perbedaan interpretasi pada sejarawan pada umumnya terjadi karena adanya perbedaan latar belakang, pola pikir, pengaruh dan motivasi.
4. Historiografi
Historiografi merupakan penyajian hasil penelitian dalam bentuk tulisan yang baru, yang didasarkan pada bukti-bukti yang telah diuji. Sumber sejarah yang berupa dokumen dan referensi dari studi kepustakaan dianalisis, kemudian diinterpretasikan dan ditafsirkan isisnya dan ditulis menjadi tulisan sejarah dimana fakta dari data yang ditemukan dapat dipertanggungjawabkan.
G. Sistematika Penulisan
Bab I, berisi tentang latar belakang, perumusan masalah, tujuan, manfaat penelitian, kajian pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II, menguraikan tentang letak geografis dan kondisi alam wilayah Sukabumi dan juga kondisi demografi dan sosial ekonomi dan budaya masyarakat Sukabumi.
Bab III, menguraikan tentang sistem sewa lahan perkebunan yang ada di Perkebunan Teh Goalpara. Sistem sewa tanah sebelum nasionalisasi dan juga setelah nasionalisasi. Serta sewa tanah yang terjadi pada saat bergabungnya kembali afdeling Bungameleur.
Bab IV, bab ini mengupas tentang sistem perburuhn yang terjadi di pabrik teh Goalpara. Kondisi tenaga kerja yang terdiri dari status tenaga kerja pendidikan, sistem perekrutan tenaga kerja, waktu kerja, sistem penelesaian masa kerja atau pemutusan hubungan kerja dan juga hubungan perburuhan pabrik antara atasan dan bawahan, perjanjian kerja, serikat buruh, sistem pengupahan, dan penyelesaian perselisihan.