• Tidak ada hasil yang ditemukan

Monarki Inggris Di Tengah Demokrasi Eropa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Monarki Inggris Di Tengah Demokrasi Eropa"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Monarki Inggris Di Tengah Demokrasi Eropa

Sepanjang sejarah peradaban manusia, boleh dikatakan hampir seluruh wilayah di dunia ini berada di bawah kekuasaan monarki. Tentu saja terdapat bentuk-bentuk pemerintahan demokrasi seperti di Athena atau Republik Roma di tahun 31 SM, Republik Venesia, Republik Federal Swiss, dan Republik Belanda di abad ke-16. Namun, dominasi monarki di seluruh wilayah, terutama di Eropa, merupakan fakta sejarah yang tidak terbantahkan. Situasi ini mulai berubah menjelang abad ke-20 di saat peta politik dunia juga mulai berubah. Monarki secara perlahan kehilangan tempatnya di panggung politik, tergeser oleh ide-ide baru tentang demokrasi yang memperjuangkan kedaulatan penuh oleh rakyat.

Kings or People: Power and the Mandate to Rule (1978) karya Reinhard Bendix

membandingkan negara dengan sistem monarki di Eropa, salah satunya monarki Inggris, serta mengidentifikasi faktor-faktor apa saja yang berperan dalam kebangkitan sistem tersebut dan perkembangannya. Diungkapkan bahwa pada awal abad ke-20, satu per satu monarki ditumbangkan oleh gerakan-gerakan revolusi dari kaum republikan yang menginginkan tegaknya nilai demokrasi.1. Artikel ini mencoba untuk mengelaborasi data-data yang diuraikan oleh Bendix dengan data-data yang dipaparkan oleh Peter Flora, The

Growth of Mass Democracy and Welfare States (1983), berkaitan dengan

tumbuh kembangnya paham demokrasi di tanah Eropa.

Dinasti Romanov di Rusia, dinasti Hohenzollern di Jerman, dinasti Habsburgs di Austria-Hungaria dan dinasti Osmanli (Ottoman) di Turki adalah contoh monarki besar yang pernah menguasai sebagian besar wilayah dunia yang kehilangan legitimasinya akibat gerakan demokratisasi.2. Namun, nasib berbeda dialami oleh monarki Inggris yang merupakan satu dari sedikit monarki yang mampu bertahan. Di saat monarki-monarki lain tidak mengacuhkan perkembangan paham demokrasi dari kaum republikan dan gerakan-gerakan revolusi, dinasti Windsor di Inggris mampu membaca perubahan peta politik dengan mengakomodasi nilai-nilai demokrasi dan mengkonversikan diri menjadi simbol demokrasi sehingga eksistensi sistem monarki Inggris tetap berjalan.3.

(2)

Redupnya Monarki, Bangkitnya Demokrasi

Dalam konteks Global, di akhir Perang Dunia I, sistem pemerintahan monarki perlahan mulai ditinggalkan.4. Revolusi Amerika di tahun 1765 dan Revolusi Prancis 1789 menjadi inspirasi bagi transformasi total sistem pemerintahan yang awalnya didominasi oleh sistem monarki, beralih ke sebuah sistem demokrasi yang menempatkan rakyat sebagai entitas utama kedaulatan. Namun, bila dilihat dari catatan sejarah, proses transformasi ini tidaklah selalu berjalan mulus. Di beberapa wilayah Eropa, meski gerakan kudeta yang dilancarkan untuk menurunkan monarki cenderung berhasil, namun gerakan-gerakan tersebut justru menghasilkan pemerintahan diktator seperti yang terjadi pasca Revolusi Prancis. Gerakan republikan yang mengusung ide tentang kedaulatan penuh oleh rakyat mendapat tantangan berat oleh gerakan politik Napoleon Bonaparte yang mendirikan imperium baru di Prancis pada tahun 1804 serta restorasi dinasti Bourbon di tahun 1815. Pada masa ini, republikanisme menjadi paham yang dideskreditkan.5.

Meskipun demikian, semangat demokrasi dari Revolusi Prancis tetap meninggalkan jejak di panggung politik Eropa abad ke-19. Dari restorasi monarki Prancis di tahun 1815 sampai pecahnya Perang Dunia I di tahun 1914, partisipasi politik masyarakat di Eropa berkembang secara sistematis.6. Di Prancis, antara tahun 1815 sampai 1830, hak pilih perlahan mulai diberikan, meskipun masih sangat dibatasi oleh dinasti Bourbon yang kembali berkuasa. Dari total populasi Prancis yang berjumlah 30 juta, hak pilih hanya diberikan kepada para pria dewasa berusia di atas 21 tahun yang berjumlah 100 ribu atau hanya 0,5% dari total populasi Prancis. Pasca “Revolusi Juli” di tahun 1830 oleh Louis Philipe (Duke of Orleans) yang berakhir dengan penggulingan tahta Charles X (dinasti Bourbon), jumlah hak pilih meningkat menjadi 200 ribu orang. Delapan belas tahun setelahnya, yaitu pada bulan Februari 1848, sebuah revolusi oleh kaum republikan kembali terjadi untuk menggulingkan Louis Philipe dan mengembalikan sistem republik di Prancis. Pasca revolusi tersebut, semua pria dewasa Prancis yang berusia di atas 21 tahun diberikan hak pilih

(3)

pada pemilihan umum bulan Desember 1848.7.

Pada sistem monarki Inggris sendiri, pemilu tahun 1815, hak pilih hanya diberikan pada 500 ribu pria dewasa atau sekitar 4% dari total populasi, namun meningkat menjadi 800 ribu di tahun 1832 setelah The Reform Bill disahkan. Pengesahan The Second Reform Bill di tahun 1867 membuat jumlah hak pilih kembali ditingkatkan menjadi dua juta pemilih. Hak pilih meningkat drastis di tahun 1884 menjadi enam juta orang atau sepertiga dari jumlah total populasi pria usia di atas 20 tahun.8.

Sementara itu Prussia, yang merupakan bagian penting dari Konfederasi Jerman, mulai menerapkan pemilihan umum setelah gerakan demokratisasi bangkit melalui revolusi di tahun 1848, yang disusul dengan penyusunan ulang konstitusi di tahun 1850. Pada saat itu, semua penduduk pria berusia di atas 18 tahun diberikan hak untuk memilih anggota dewan perwakilan rakyat mereka.9. Kerajaan Sardinia yang berhasil merestorasi kekuatan politiknya di Italia pada tahun 1861 juga secara bertahap mengadopsi pemilihan umum untuk anggota parlemen dengan memberikan hak pilih kepada 500 ribu orang dari total populasi sebanyak 25 juta atau sebesar 3,5% dari total penduduk yang berusia di atas 21 tahun dan meningkat menjadi dua juta orang di tahun 1882. Menjelang Perang Dunia I, yaitu di tahun 1913, hak pilih telah diberikan kepada delapan juta orang atau sekitar 40% dari total populasi penduduk Italia yang berusia di atas 21 tahun.10.

Meski sedikit demi sedikit kekuatan monarki mulai tergeser oleh demokratisasi, namun pemerintahan monarki pada faktanya tetap mendominasi di sebagian wilayah Eropa sampai pecahnya Perang Dunia I. Sebelum 1914, hanya terdapat dua negara republik di Eropa, Prancis dan Swiss.11. Keadaan kemudian berbalik saat Amerika Serikat turut serta dalam Perang Dunia I dan menjadi penentu kemenangan Sekutu di Eropa. Satu per satu monarki tumbang dan wilayah-wilayah di Eropa perlahan mulai bertransformasi menjadi republik.12.

Di Eropa, transformasi tersebut ditandai oleh kejatuhan dinasti Romanov di Rusia, dinasti Hohenzollern di Jerman, dinasti Habsburgs di Austria-Hungaria dan dinasti Osmanli (Ottoman) di Turki. Revolusi Bolshevik yang dipimpin Lenin di tahun 1917 berhasil menumbangkan Tsar Alexander II di Rusia dan membentuk sebuah negara sosialis baru.13. Setahun setelahnya, Kekaisaran Jerman ditumbangkan melalui kudeta di tahun 1918 sebagai akibat kekalahan di Perang Dunia I dan menjadikan Jerman bertransformasi menjadi republik.14. Setelah Perang Dunia I berakhir, blok Sekutu di bawah tekanan dari Presiden Amerika Serikat Woodrow Wilson melalui Perjanjian Versailles di tahun 1919

(4)

memecah imperium Austria-Hungaria menjadi beberapa negara (Austria, Latvia, dan Hungaria) yang kemudian menjadi negara republik demokratik.15. Kekalahan Kekaisaran Ottoman di Perang Dunia I juga berimbas pada revolusi internal di tahun 1923 dan pecahnya wilayah-wilayah kekaisaran tersebut menjadi beberapa negara republik, termasuk Turki.16.

Depresi ekonomi yang terjadi di Eropa pada era 1930-an yang kemudian menciptakan instabilitas politik menjadi tantangan terberat bagi negara-negara republik baru tersebut. Hal ini membuka peluang bagi faham-faham fasis mengambil alih kekuasaan dan membentuk rezim dikator. Dengan melakukan kudeta atau memanipulasi sistem demokrasi dan mengklaim dapat mengatasi berbagai persoalan yang tidak mampu diselesaikan oleh liberalisme dan demokrasi, orang-orang seperti Adolf Hitler di Jerman, Benito Mussolini di Italia, Fransisco Franco di Spanyol, Antonio Salazar di Portugal, dan Getulio Vargas di Brazil, mengambil alih tampuk kekuasaan di negara masing-masing.17. Rezim-rezim tersebut melakukan ekspansi besar-besaran dan membawa dunia kembali ke era perang.

Transformasi kemudian berlanjut setelah Perang Dunia II berakhir. Pasca Perang Dunia II, blok Sekutu sebagai pemenang perang secara konstan menyebarkan paham demokrasi pada semua wilayah-wilayah bekas pendudukan Nazi. Di Eropa barat, Amerika Serikat menyebarkan paham demokrasi liberal, sementara di Eropa timur, Uni Sovyet menyebarkan paham demokrasi sosialisnya. Semangat dekolonilasasi yang berkembang pasca perang juga memunculkan banyak negara baru yang mayoritasnya menjadi negara republik dan memiliki konstitusi yang demokratis. Namun, sistem monarki Inggris mendapat legitimasi dan tak mengalami pergeseran sama sekali. Pada awal abad ke-20, di mana monarki mulai kehilangan tempatnya di panggung politik dunia, bahkan Winston Churchill pun menggambarkannya dengan istilah “the

old world in its sunset,” monarki Inggris tetap kokoh menjadi simbol kedaulatan

Inggris Raya. Revolusi Prancis seabad sebelumnya telah memberikan pelajaran penting bagi monarki Inggris mengenai perlunya memodernisasi diri dan berasimiliasi dengan ide-ide baru tentang demokrasi dalam menyongsong panggung politik di abad ke-20.18.

Sebagai hasilnya, sistem monarki Inggris menjadi salah satu monarki tertua mampu mempertahankan legitimasinya baik di Inggris maupun sebagian besar koloni warisan dunia imperialis di masa lalu. Hal tersebut tentu saja merupakan sebuah pencapaian luar biasa mengingat di era demokratisasi dan di tengah gelombang protes kaum republikan yang menginginkan penghapusan total

(5)

sistem monarki, pemegang tahta kerajaan Inggris Raya masih mampu mempertahankan hegemoni kekuasaan dan memenangkan hati sebagian besar rakyatnya. Ini dapat dilakukan sekalipun harus berkolaborasi dengan sistem parlementer yang mengubah sistem monarki Inggris dari monarki absolut ke monarki konstitusional.

Transformasi Monarki Inggris

Dalam konteks monarki Inggris secara spesifik, The Selling of the Royal Family:

The Mystique of the British Monarchy yang ditulis oleh John Pearson di tahun

1986 adalah salah satu buku yang menarik untuk dibaca. Pearson membuka argumen dengan menyajikan dua pertanyaan besar, yaitu bagaimana monarki Inggris mampu bertahan dan bagaimana keluarga kerajaan ini menjadi populer di tengah-tengah masyarakat internasional. Person menunjukkan tiga unsur penting untuk menjawab kedua pertanyaan tersebut. Pertama, foundation (pondasi). Dia menjelaskan bagaimana George V dan Ratu Mary mendesain sebuah bentuk monarki modern dengan membangun citra positif di masyarakat, seperti hidup sederhana dan merakyat, meski dikelilingi kemewahan ala monarki. Hal ini disebut Pearson sebagai sebuah karakter dasar yang harusnya dimiliki oleh semua pemimpin, terlepas apakah itu memang melekat secara nyata atau hanya pencitraan semata. Hanya saja, ini dianggap sesuatu yang kurang relevan bagi sebagian anggota keluarga kerajaan di Eropa mengingat mereka masih memegang pola pikir kebangsawanan tradisional yang aristokrat dan dekat dengan kemewahan.

Yang kedua, decline (kemunduran). Di rentang waktu tahun 1950 sampai 1960-an, saat Inggris dihantam krisis ekonomi dan inflasi hebat, Pearson melihat adanya persepsi negatif dari masyarakat terhadap keluarga kerajaan yang ditandai dengan demonstrasi besar-besaran di seluruh penjuru wilayah sebagai respon terhadap perayaan Silver Jubilee keluarga kerajaan. Inilah yang kemudian mendasari asumsi kuat Pearson yang menyatakan bahwa meski sebenarnya secara struktur kebijakan krisis dan inflasi bukanlah hasil kebijakan yang salah dari keluarga kerajaan, mengingat urusan pemerintahan sudah bukan lagi bagian dari wewenang mereka, terdapat korelasi yang serius di mana masyarakat menginginkan para anggota kerajaan juga ikut merasakan penderitaan mereka. Melakukan perayaan di tengah-tengah segala kekacauan tersebut merupakan hal yang sebenarnya kurang tepat, meski itu adalah hal yang wajib dan telah dilaksanakan turun-temurun.

(6)

bagian ini, Pearson menggambarkan bagaimana monarki bangkit kembali dari keterpurukan dan memperoleh kembali simpati rakyat dengan menggunakan teknik yang ia sebut “up-to-date public relation.” Menurut Pearson, media modern memegang peranan terpenting dalam mendekatkan keluarga kerajaan dengan masyarakat. Ia melihat bagaimana media massa dimanfaatkan sebagai corong informasi untuk memperlihatkan sisi kemanusian dari keluarga kerajaan, yang secara sengaja bertujuan membentuk sebuah citra posistif yang kuat di mata publik. Segala kegiatan yang dilakukan anggota keluarga kerajaan disebut Pearson telah dikemas apik demi memperlihatkan sebuah kehidupan yang bersahaja dan sederhana di istana. Monarki telah belajar banyak dari pengalaman di masa lalu bahwa masa depan mereka pada akhirnya berada pada hati rakyat. Jika rakyat sudah jenuh dengan mereka, peristiwa turun tahta bisa saja terjadi sewaktu-waktu. Oleh karena itu, menurut Pearson, penting bagi para bangsawan ini untuk terus berusaha menampilkan “hiburan” guna menjaga mood rakyat. Pearson melalui buku ini berusaha menggambarkan betapa pembentukan citra (branding) dengan segala makna yang dihasilkan dapat menjadi sebuah kekuatan penting untuk melanggengkan kekuasaan. Note:

1 R. Bendix, Kings or People: Power and the Mandate to Rule, University of California Press,

Berkeley, 1978, p. 15.

2 P. Flora, The Growth of Mass Democracy and Welfare States, Macmillan Press, Chicago, 1983, p.

44.

3 K. Rose, King George V, Knopf, London, 1983, p. 7.

4 G. Ferrero, Peace and War, Books for Libraries Press, Freeport, 1969, p. 94. 5 Flora, pp. 48-51.

6 Flora, p. 103.

7 B.R. Mitchell, European Historical Statistics 1750–1970, Macmillan Press, London, 1975, pp. 71-75. 8B.R. Mitchell, British Historical Statistics, Cambridge University Press, Cambridge, 2011, pp. 12-15 9 Mitchell, European Historical Statistics 1750–1970, p. 81.

10 Mitchell, European Historical Statistics 1750–1970, p. 109. 11Flora, p. 12.

12 Flora, p. 31.

13 F. Furet, The Passing of an Illusion: The Idea of Communism in Twentieth Century, Chicago

(7)

14 I. Ward (ed.), Whitaker’s Almanac, A & C Black Publisher, London, 2008, p. 16.

15 M.N. Rothbard, ‘World War I as Fulfillment; Power and the Intellectuals,’ Journal of Libertarian

Studies, vol. 9, no. 1, 1989, p. 122.

16 L. Diamond, World Religion and Democracy, John Hopkins University Press, Baltimore, 2005, p.

71.

17 J.L. Talmon, The Origins of Totalitarian Democracy, Penguin, London, 1986, pp. 22-26.

18 G. Brook-Sheperd, Royal Sunset: The European Dynasties and the Great War, Doubleday, New

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian pengaruh upah kerja dan perilaku pekerja terhadap produktivitas pemasangan batu bata yang di uji dengan analisis regresi berganda di ketahui bahwa

bahwa untuk melaksanakan ketentuan pasal 181 ayat (I) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali dan terakhir dengan

Berdasarkan hasil survey terhadap masyarkat non-rumah tangga (rumah makan/catering, toko bunga, penyedia jasa dekorasi, dan supermarket “Superindo”, “Giant”, dan

Ada 5 ide pembuatan scrapbook dari limbah padat menurut modelnya dan 3 ide pembuatan scrapbook dari limbah padat menurut fitur tambahannya sudah sesuai dengan kriteria

Kata Kunci: Penerapan Sistem Budidaya Tanam Hidroponik pada Tanaman Selada Hijau ( Lactuca Sativa L) dengan Teknik Substrat Organik dan Air Mengalir

RUMUSAN, PERBINCANGAN, IMPLIKASI DAN CADANGAN KAJIAN 5.1 Rumusan kajian 5.2 Perbincangan Dapatan Kajian 5.2.1 Perancangan, pelaksanaan, Kaedah Talaqqi Musyafaha, dan Penggunaan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian probiotik bakteri 10 8 CFU/ml pada ayam pedaging yang diinfeksi Escherichia coli menurunkan persentase lemak abdominal sebesar

Kajian ini bertujuan untuk mengenal pasti kecerdasan lain yang disebut sebagai kecerdasan pelbagai di kalangan 51 orang ahli akademik di sebuah institusi pengajian tinggi.. Kajian